Anda di halaman 1dari 8

KESIALAN DAN KEBERUNTUNGAN

‫ َمنْ َي ْه ِد ِه هللاُ َفاَل‬،‫ت َأعْ َمالِ َن ا‬


ِ ‫شر ُْورِ َأ ْنفُسِ َنا َو َس ِّيَئ ا‬ ُ ْ‫هلل مِن‬ ِ ‫ َو َنع ُْو ُذ ِبا‬،ُ‫ِإنَّ ْال َح ْم َد هَّلِل ِ َنحْ َم ُدهُ َو َنسْ َت ِع ْي ُن ُه َو َنسْ َت ْغفِ ُره‬
ُ‫ َوَأ ْش َه ُد َأنَّ م َُحم ًَّدا َع ْب ُده‬،ُ‫ْك لَ ه‬ َ ‫ َوَأ ْش َه ُد َأنْ اَل ِإلَ َه ِإاَّل هللاُ َوحْ دَ هُ اَل َش ِري‬،ُ‫ِي لَه‬ َ ‫ َو َمنْ يُضْ لِ ْل َفاَل َهاد‬،ُ‫مُضِ َّل لَه‬
‫ (( َيا َأ ُّي َها ال َّناسُ ا َّتقُ و ْا‬،))‫ُون‬ َ ‫ِين آ َم ُنو ْا ا َّتقُو ْا هّللا َ َح َّق ُت َقا ِت ِه َوالَ َت ُم و ُتنَّ ِإالَّ َوَأن ُتم م ُّْس لِم‬ َ ‫ (( َيا َأ ُّي َها الَّذ‬،ُ‫َو َرس ُْولُه‬
‫ث ِم ْن ُه َما ِر َج االً َكثِيراً َون َِس اء َوا َّتقُ و ْا هّللا َ الَّذِي‬ َّ ‫س َواحِ َد ٍة َو َخلَ َق ِم ْن َها َز ْو َج َها َو َب‬ ٍ ‫َر َّب ُك ُم الَّذِي َخلَ َق ُكم مِّن َّن ْف‬
ً‫ِين آ َم ُن وا ا َّتقُ وا هَّللا َ َوقُولُ وا َق ْوال‬ َ ‫ (( َيا َأ ُّي َها الَّذ‬،))ً ‫ان َعلَ ْي ُك ْم َرقِيب ا‬ َ ‫ون بِ ِه َواَألرْ َح ا َم ِإنَّ هّللا َ َك‬ َ ُ‫َت َس اءل‬
: ‫ َأمَّا َبعْ ُد‬.))ً ‫از َف ْوزاً عَظِ يم ا‬ َ ‫َسدِيداً*يُصْ لِحْ لَ ُك ْم َأعْ َمالَ ُك ْم َو َي ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم َو َمن يُطِ عْ هَّللا َ َو َرسُولَ ُه َف َق ْد َف‬
‫ َو ُك َّل‬،‫ َو َشرَّ اُألم ُْو ِر مُحْ دَ َثا ُت َها‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ي م َُح َّم ٍد‬ ُ ‫ َو َخي َْر ْال َه ْديِ َه ْد‬،‫هللا‬ ِ ُ‫ث ِك َتاب‬ ِ ‫َفِإنَّ َخي َْر ْال َح ِد ْي‬
‫ضاَل لَ ٌة‬ َ ‫ ِب ْد َع ٍة‬.

Ma’asyiral mukminin,

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman mengabarkan tentang keadaan Firaun dan


kaumnya:

ِ ‫ُوس ٰى َو َمنْ َم َع ُه ۗ َأاَل ِإ َّن َما َط اِئ ُر ُه ْم عِ ْن دَ هَّللا‬


َ ‫َفِإ َذا َجا َء ْت ُه ُم ْال َح َس َن ُة َقالُوا لَ َنا ٰ َه ِذ ِه ۖ َوِإنْ ُتصِ ْب ُه ْم َس ِّيَئ ٌة َي َّط َّيرُوا ِبم‬
َ ‫َولَكِنَّ َأ ْك َث َر ُه ْم اَل َيعْ لَم‬
‫ُون‬ ٰ

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:


“Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan
dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-A’raf:
131).

Agama Islam adalah agama yang memotivasi agar pemeluknya menjadi


seorang yang optimis. Agama Islam adalah agama kegembiraan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut terwujud dalam ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan berserah diri kepada-Nya. Kepada-Nya lah
berserah diri orang-orang yang bertawakkal. Dan kepada-Nya orang-orang
bertakwa mengusahakan amal ibadah mereka.

Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, manusia hidup


dalam kejahiliyahan yang fanatik dan kesesatan yang buta. Suara burung
dapat menghalangi mereka dari sesuatu, karena anggapan sial. Mereka
hidup dalam khurofat dan hawa nafsu yang mungkar. Dan di antara
kebiasaan jahiliyah tersebut yang dilarang oleh Islam adalah sifat pesimis
karena anggapan sial.
Pesimis dan merasal sial adalah lawan dari anugerah dan keberkahan.
Anggapan sial adalah sebuah sikap yang menunjukkan prasangka buruk
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan optimis artinya berprasangka
baik kepada-Nya. Dan seorang mukmin adalah orang yang berprasangka baik
kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan.

Syariat Islam datang dengan melarang tathayyur. Karena hal ini termasuk
bentuk pesimis yang disebabkan melihat atau mendengar sesuatu. Dan ini
juga merupakan bentuk keyakinan yang lemah dari orang-orang yang
berbuat syirik. Mereka tidak bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Tathayyur adalah anggapan sial karena melihat atau mendengar bunyi


burung, kijang, bintang, atau selainnya. Apa yang mereka lihat dan dengar
menghalangi mereka dari aktivitas yang mereka niatkan. Maka syariat Islam
datang menghapuskan hal ini. Islam menekankan bahwa yang demikian
sama sekali tidak berdampak dalam mendatangkan manfaat dan menolak
bahaya. Yang demikian hanyalah keyakinan-keyakinan yang tidak berdasar
sama sekali.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

‫َأال ِإ َّن َما َطاِئ ُر ُه ْم عِ ندَ هّللا ُ َولَـكِنَّ َأ ْك َث َر ُه ْم الَ َيعْ لَمُون‬

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah,


akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa
tathayyur adalah amalannya orang-orang musyrikin. Dan perbuatan itu
dicela oleh syariat. Dahulu, kaum Firaun apabila mereka ditimpa pacek kelik
dan kemarau panjang, mereka sangka bahwa musibah dan bala’ itu karena
Musa dan kaumnya yang membawa sial. Sebagaimana dalam firman Allah,

َ ‫َوِإن ُتصِ ْب ُه ْم َس ِّيَئ ٌة َي َّط َّيرُو ْا ِبم‬


‫ُوسى َو َمن م ََّع ُه‬

“Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu
kepada Musa dan orang-orang yang besertanya.” (QS. Al-A’raf: 131).

Maka Allah bantah mereka dengan firman-Nya,

‫َأال ِإ َّن َما َطاِئ ُر ُه ْم عِ ندَ هّللا ُ َولَـكِنَّ َأ ْك َث َر ُه ْم الَ َيعْ لَمُون‬
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah,
akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131).

Yakni musibah yang menimpa mereka merupakan qadha dan qadar yang
telah Allah tetapkan disebabkan kekufuran, dosa, dan pengingkaran mereka
terhadap risalah yang dibawa Nabi Musa ‘alaihissalam. Setelah itu Allah sifati
mayoritas mereka sebagai orang-orang yang bodoh.

Musa ‘alaihissalam adalah utusan Rabb semesta alam. Ia datang dengan


membawa kebaikan, keberkahan, dan kemenangan bagi siapa yang beriman
dan mengikutinya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

َ ‫ك ۚ َقا َل َطاِئ ُر ُك ْم عِ ْندَ هَّللا ِ ۖ َب ْل َأ ْن ُت ْم َق ْو ٌم ُت ْف َت ُن‬


‫ون‬ َّ ‫َقالُوا‬
َ ‫اطيَّرْ َنا ِب‬
َ ‫ك َو ِب َمنْ َم َع‬

Mereka menjawab: “Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu


dan orang-orang yang besertamu”. Shaleh berkata: “Nasibmu ada pada sisi
Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji”. (QS.
An-Naml: 47).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik


di selain zaman Nabi Musa. Ketika mereka ditimpa musibah, maka mereka
merasa pesimis dan menyangka bahwa sebab musibah tersebut datangnya
dari para rasul.

‫َقالُوا ِإ َّنا َت َطيَّرْ َنا ِب ُك ْم‬

“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu.”


(QS. Yasin: 18).

Allah bantah mereka dengan mengatakan,

‫َقالُوا َطاِئ ُر ُك ْم َم َع ُك ْم‬

Rasul-rasul itu berkata: “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri”.


(QS. Yasin: 19).
Tidaklah orang-orang musyrik itu ditimpa musibah yang telah Allah tetapkan
dengan qadha dan qadar-Nya, kecuali dikarenakan dosa-dosa mereka. Para
rasul datang dengan kebaikan dan keberkahan bagi orang-orang yang
mengikuti mereka.

Dalam sebuah hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫الَ َع ْد َوى َوالَ طِ َي َر َة َوالَ َها َم َة َوال‬


‫ص َف َر‬

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh


(mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada
burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak
ada kesialan di bulan shafar” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan lafadz,

‫الَ َن ْو َء َوالَ ُغ ْو َل‬

“Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”

Kehidupan pada masa jahiliyah, dipenuhi dengan hal-hal yang berbau klenik
dan khurofat. Ketika Islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membuang jauh-jauh keyakinan demikian dengan sabdanya “Tidak ada
penularan penyakit (dengan sendirinya)”.

Penyakit itu tidak menular dengan sendirinya, akan tetapi ia menular atas
takdir dan ketetapan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadits yang
menjelaskan bahwa penyakit tidak menular dengan sendirinya ini, tidak
bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.
Semisal sabda beliau,

‫َوفِرَّ م َِن ْال َمجْ ُذو ِم َك َما َتفِرُّ م َِن اَأل َس ِد‬

“Menjauhlah (menghindarlah) dari penyakit kusta sebagaimana engkau


menjauh dari singa.”(HR. al-Bukhari dan yang lainnya). Hadits ini
menjelaskan agar seseorang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan cara berusaha menjauhi musibah tersebut. Dan Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman,
‫َوالَ ُت ْلقُو ْا ِبَأ ْيدِي ُك ْم ِإلَى ال َّت ْهلُ َك ِة‬

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”


(QS. Al-Baqarah: 195). Dan di antara bentuk khurofat lainnya yang terjadi di
masa jahiliyah adalah pesimis dengan sesuatu yang mereka dengar di suatu
tempat. Jika ada bunyi burung tertentu di sebuah rumah, maka penghuni
rumah itu merasa akan ditimpa kesialan dan musibah. Mereka berkeyakinan
salah seorang di antara mereka penghuni rumah akan meninggal. Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menepis keyakinan ini dengan mengatakan,

‫َوالَ طِ َي َر َة َوالَ َها َم َة‬

“Tidak ada tiyarah (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau
didengar) dan tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota
keluarga yang mati.”

Burung adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak memiliki


campur tangan dalam urusan ketetapan takdir-Nya. Suatu ketika ada burung
tertentu yang lewat lalu berkicau, maka seseorang berkata akan datang
kebaikan dan kebaikan. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,
“Tidak ada keberuntungan (karena burung itu) dan tidak juga keburukan.”
Beliau mengingkari keyakinan demikian. Di antara bentuk pesimis dan
anggapan sial yang lainnya adalah anggapan sial dengan angka. Biasanya
angka 13 dijadikan angka sial. Inilah keyakinan orang-orang Nasrani. Ada lagi
anggapan sial pada hari tertentu. Kemudian juga anggapan sial atau tidak
beruntung ketika orang menyatukan jari-jari tangan kanan dan jari-jari
tangan kiri (tasybiq). Atau benda tertentu pecah. Atau tanggal pernikahan.
Dll. Bentuk anggapan sial lainnya adalah anggapan sial kepada seseorang.
Seperti perkataan: Fulan wajahnya membawa sial. Atau juga anggapan sial
pada warna. Seperti warna hitam karena dianggap warna kesedihan dan
duka cita. Demikian juga orang-orang yang membuka Alquran saat mereka
akan berdagang atau bersafar. Mereka berkeyakinan akan mendapatkan
keberuntungan. Apabila saat membuka Alquran, mereka langsung
menemukan ayat-ayat yang bercerita tentang surga, maka mereka yakin
akan dapat keberuntungan. Mereka pun dengan percaya diri dan optimis
melakukan aktivitasnya. Namun apabila berjumpa dengan ayat-ayat tentang
neraka, mereka pun tidak berani melanjutkan atau mengurungkan safarnya.
Ini sama persis dengan amalan orang-orang jahiliyah yang mengundi nasib
dengan anak panah.
Di antara bentuk khurofat orang-orang jahiliyah juga adalah anggapan sial
pada bulan-bulan tertentu seperti bulan Shafar. Orang-orang jahiliyah juga
tidak mengadakan resepsi pernikahan di bulan-bulan tertentu. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberantas keyakinan demikian
dengan sabda beliau yang telah khatib sebutkan

َ َ‫الَ َع ْد َوى َوالَ طِ َي َر َة َوالَ َها َم َة َوال‬


‫ص َف َر‬

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh


(mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada
burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak
ada kesialan di bulan shofar” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bulan Shafar itu sama dengan bulan-bulan lainnya. Tidak memiliki pengaruh
terhadap ketetapan takdir Allah. Orang-orang jahiliyah juga memiliki
keyakinan yang menyimpang tentang bintang-bintang. Mereka berkeyakinan
letak-letak bintang atau bintang tertentu menentukan datangnya hujan.
Mereka juga berkeyakinan kalau ada hantu yang bisa mencelakakan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus keyakinan demikian
dengan sabdanya,

‫الَ َن ْو َء َوالَ ُغ ْو َل‬

“Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”

Bintang tidak berpengaruh sama sekali pada turunnya hujan. Bintang dan
juga setan atau hantu tidak akan mampu menyesatkan dan mencelakakan
seseorang kecuali atas izin Allah. Dan seorang muslim disyariatkan untuk
berlindung dari kejelekannya.

‫الص ا ِدقِي َْن‬َّ ‫ِك الم ُْخ ِب ِتي َْن‬ َ ‫ْت َعلَ ْي َنا َوَأنْ َن ُك ْو َن مِنْ عِ َباد‬
َ ‫ك فِي َم َقا ِم َنا َه َذا َأنْ َت ْوفِ َق َنا ل ِْلقِ َي ِام ِب َما َأ ْو َجب‬ َ ُ‫للَّ ُه َّم ِإ َّنا َنسْ َأل‬
َ ‫ك َج َوا ٌد َك ِر ْي ٌم َو ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َربِّ ال َعالَ ِمي َْن َو‬
‫صلَّى هللاُ َو َسلَّ َم َعلَى َن ِب ِّي َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬ َ ‫اري َْن َيا َربَّ ال َعالَ ِمي َْن ِإ َّن‬ ِ ‫ال َب‬
َ ‫َأ‬
ٍ ‫آلِ ِه َو صْ َح ِاب ِه َو َمنْ َت ِب َع ُه ْم بِِإحْ َس‬
‫ان ِإلى َي ْو ِم ال ِّدي َْن‬

Khutbah Ke 2

َ ‫ار ًكا فِ ْي ِه َوَأ ْش َه ُد اَاَّل ِالَ َه ِااَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري‬
‫ْك لَ ُه َش َهادَ ًة َنرْ ج ُْو ِب َها ال َن َجا َة َي ْو َم‬ ً ‫اَ ْل َحمْ ُد هَّلِل ِ َح‬
َ ‫مْدا َك ِثيْرً ا َط ِّيبًا ُم َب‬
‫ان ِإلَى َي ْو ِم‬ ٍ ‫ص َح ِاب ِه َو َمنْ َت ِب َع ُه ْم بِِإحْ َس‬ْ ‫ص لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َوَأ‬ َ ‫َن ْل َقاهُ َوَأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُ ُه‬
‫ َأمَّا َبعْ ُد‬.‫ْن‬ ِ ‫ال ِّدي‬:
Ibadallah,

Wajib bagi kaum muslimin menjauhkan dan menjaga diri dari keyakinan-
keyakinan batil seperti yang telah khotib sebutkan. Kaum muslimin wajib
bertawakal hanya kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Di tangan Allah
lah segala ketentuan yang terjadi. Tidak ada yang bisa menangkalnya.

Ma’asyiral mukminin,

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« ‫ َقالُوا َو َما ْال َفْأ ُل َقا َل « َكلِ َم ٌة َط ِّي َب ٌة‬. » ‫ َويُعْ ِج ُبنِى ْال َفْأ ُل‬، ‫ َوالَ طِ َي َر َة‬، ‫الَ َع ْد َوى‬

“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa


ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al-fa’lu
membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al-fa’lu?” beliau
bersabda,“Kalimat yang baik thayyib.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Anggapan sial hanya memandang jelek dan pesimis. Misalnya seseorang


berkeinginan untuk menikah atau bersafar, kemudian dia melihat atau
mendengar sesuatu yang membuatnya khawatir atau benci, ia pun
membatalkan keinginannya tadi. Hukum yang demikian adalah syirik. Karena
yang demikian sama saja berburuk sangka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Hal seperti ini hanyalah was-was dan khayalan. Dimana hati
bersandar kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun al-fa’lu yakni kalimat-
kalimat yang baik, terjadi karena adanya sifat optimis dan merasa lapang. Ia
merasa mudah dan kuat rasa harapnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti seorang yang menderita sakit, kemudian ia mendengar seseorang
berkata kepadanya “wahai orang yang sehat”, maka di hatinya akan
tertanam energi positif. Ia yakin akan sembuh dari sakitnya. Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub dengan orang yang memiliki sifat al-fa’lu.
Karena ia memasukkan kebahagiaan kepada hati seseorang tanpa bersandar
kepada dirinya. Yang demikian dianjurkan dalam agama kita karena
menanamkan prasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Ta’ala berfirman,

‫َو َمن َي َت َو َّك ْل َعلَى هَّللا ِ َفه َُو َحسْ ُب ُه ِإنَّ هَّللا َ َبالِ ُغ َأم ِْر ِه َق ْد َج َع َل هَّللا ُ لِ ُك ِّل َشيْ ٍء َق ْدرا‬
‫‪“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus‬‬
‫‪kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.” (QS.‬‬
‫‪Ath-Thalaq: 5).‬‬

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو َسلَّ َم َو َشرَّ اُألم ُْورِ‬ ‫ي م َُح َّم ٍد َ‬ ‫هللا َو َخي َْر الُ َه ْديِ َه ْد ُ‬ ‫ث ِك َتابُ ِ‬ ‫َواعْ لَم ُْوا َأنَّ َخي َْر ْال َح ِد ْي ِ‬
‫اع ِة اِجْ َت ِم ُع ْوا َواَل َت َت َفرَّ قُ ْوا اِجْ َت ِم ُع ْوا‬ ‫ضاَل لَ ٌة َف َعلَ ْي ُك ْم ِب ْال َج َم َ‬ ‫ْن ِب ْد َع ٌة َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة َ‬ ‫مُحْ دَثا َ ُت َها َو ُك َّل مُحْ َد َث ٍة فِي ال ِّدي ِ‬
‫َّ‬
‫اع ِة َو َمنْ َش ذ‪َ ،‬ش ذ فِي‬ ‫َّ‬ ‫هللا َعلَى ْال َج َم َ‬ ‫صاَل ُح فِي ِد ْي ِن ُك ْم َو ُد ْن َيا ُك ْم َفِإنَّ َيدَ ِ‬ ‫هللا اِجْ َت ِمع ُْوا َعلَى َما فِ ْي ِه ال َّ‬ ‫ْن ِ‬ ‫َعلَى ِدي ِ‬
‫صلَّى َعلَ ْي ِه َمرَّ ًة َواحِدَ ًة‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َفِإنَّ َمنْ َ‬ ‫صاَل ِة َوال َّساَل ِم َعلَى ال َّن ِبي م َُح َّم ٍد َ‬ ‫ار َوَأ ْك ِثر ُْوا م َِن ال َّ‬ ‫ال َّن ِ‬
‫ك َو َر ُس ْول َِك م َُح َّم ٍد اَللَّ ُه َّم ارْ ُز ْق َنا َم َح َّب َت ُه َوا ِّت َبا َع ُه‬ ‫ص لِّي َو َس لِّ ْم َعلَى َع ْب ِد َ‬ ‫ص لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه ِب َها َع ْش رً ا اَللَّ ُه َّم َ‬ ‫َ‬
‫َأ‬
‫ض ِه اَللَّ ُه َّم ْدخ ِْل َنا فِي‬ ‫اس قِ َنا مِنْ َح ْو ِ‬ ‫ش رْ َنا فِي َزم َْرتِ ِه اَللَّ ُه َّم ْ‬ ‫َظ ا ِهرً ا َوبَاطِ ًنا اَللَّ ُه َّم َت َو َّف َنا َعلَى ِملَّ َت ُه اَللَّ ُه َّم احْ ُ‬
‫الش َهدَا ِء‬ ‫الص ِّد ْيقِي َْن َو ُّ‬ ‫ت َعلَي ِْه ْم م َِن ال َّن ِب ِّيي َْن َو ِّ‬ ‫ت ال َّن ِعي ٍْم َم َع الَّ ِذي َْن َأ ْن َع ْم َ‬ ‫َش َفا َع ِت ِه اَللَّ ُه َّم اجْ َمعْ َنا بِ ِه فِي َج َّنا ٍ‬
‫ان ِإلَى‬ ‫الص َحا َب ِة َأجْ َم ِعي َْن َع ِن ال َّت ِاب ِعي َْن لَ ُه ْم بِِإحْ َس ٍ‬ ‫اش ِدي َْن َو َع ِن َّ‬ ‫الر ِ‬ ‫ض ى َعنْ ُخلَ َفاِئ ِه َ‬ ‫الص الِ ِحي َْن‪ .‬اَللَّ ُه َّم ارْ َ‬ ‫َو َّ‬
‫اًّل‬
‫ان َواَل َتجْ َع ْل فِي قُلُ ْو ِب َنا َغ لِلَّ ِذي َْن آ َم ُن ْوا َر َّب َنا ِإ َّن َ‬
‫ك‬ ‫اغفِرْ لَ َنا َوِإل ْخ َوا ِن َنا الَّ ِذي َْن َس َبقُ ْو َنا ِباِإْل ْي َم ِ‬ ‫َي ْو ِم ال ِّدي َْن َر َّب َنا ْ‬
‫ُص لِحْ لَ ُك ْم‬ ‫ِيدا‪.‬ي ْ‬ ‫ِين آ َم ُنوا ا َّتقُوا هَّللا َ َوقُولُ وا َق ْواًل َس د ً‬ ‫الر ِح ْي ُم َأمَّا َبعْ ُد‪َ .‬ف َق ْد َقا َل هللاُ َت َعالَى‪َ ( :‬يا َأ ُّي َها الَّذ َ‬ ‫الرُؤ ْوفُ َ‬ ‫َ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫ض نا ا َمان ة َعلى‬ ‫َ‬ ‫َأْل‬ ‫َ‬ ‫َأعْ َم الك ْم َو َيغفِرْ لك ْم ذن و َبك ْم ۗ َو َمنْ ُيطِ ِع َ َو َر ُس ول ُه فق د ف از ف ْوزا عَظِ يمًا (ِإنا َع َر ْ‬
‫َّ‬ ‫ً‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫هَّللا‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬
‫ان َظلُومًا َج ُه واًل‬ ‫ال َف َأ َبي َْن َأنْ َيحْ م ِْل َن َها َوَأ ْش َف ْق َن ِم ْن َها َو َح َملَ َها اِإْل ْن َس انُ ۖ ِإ َّن ُه َك َ‬ ‫ض َو ْال ِج َب ِ‬ ‫ت َواَأْلرْ ِ‬ ‫الس َم َاوا ِ‬ ‫َّ‬
‫ان ُ‬‫هَّللا‬ ‫َ‬
‫ت ۗ َوك َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ِين َوالمُْؤ ِمنا ِ‬ ‫ْ‬
‫وب ُ َعلى المُْؤ ِمن َ‬ ‫َ‬ ‫هَّللا‬ ‫ت َو َيت َ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ِين َوال ُمش ِركا ِ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬
‫ت َوال ُمش ِرك َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ِين َوال ُمنافِقا ِ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫ب ُ ال ُمنافِق َ‬ ‫هَّللا‬ ‫ِّ‬
‫لِي َُعذ َ‬
‫غفورً ا َرحِيمًا‬ ‫ُ‬ ‫َ‬

Anda mungkin juga menyukai