Anda di halaman 1dari 53

TUGAS PERENCANAAN STRUKTUR KAYU

KELOMPOK 10

FARHAN ZUL ATSYARI 190404082

ALDO 190404083

DEWI RAHMAWATI 190404084

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

TA. 2021/2022
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pembebanan

1.1.1. Umum

Pada dasarnya, struktur bangunan harus didesain agar memiliki kekuatan


nominal sama atau lebih besar dari efek beban yang dialami. Kekuatan nominal
didefenisikan sebagai kemampuan suatu struktur atau komponen struktur untuk
menahan efek beban.

Efek beban merupakan gaya atau deformasi yang terjadi akibat beban yang
bekerja. Beban merupakan gaya atau aksi lainnya akibat berat seluruh bahan
bangunan, penghuni dan barang-barang yang dimilikinya, efek lingkungan,
perbedaan pergerakan, dan gaya kekangan akibat perubahan dimenesi.

Beban yang bekerja pada gedung dan struktur lain disebut sebagai beban
layan. Beban layan dapat diakibatkan oleh:

a. Beban sendiri dan beban mati tambahan

Merupakan beban yang diakibatkan oleh berat struktur itu sendiri atau
beban tambahan lainnya. Contoh beban sendiri adalah beban dari
struktur kayu. Sedangkan beban mati tambahan dapat berupa beban
atap.

b. Beban hidup

Beban hidup merupakan beban yang diasumsikan berasal dari fungsi


layanan strutur tersebut atau beban pekerja pada proses pemeliharaan
selama umur masa layannya. Beban hidup dapat berupa beban hidup
atap akibat pekerja pada masa pemeliharaan.

c. Beban lingkungan

Beban lingkungan merupakan beban yang terjadi akibat pengaruh


lingkungan selama masa layannya. Contoh dari beban lingkungan
adalah beban hujan dan beban angin.

d. Beban akibat gaya dan efek regangan sendiri

Perhitungan pembebanan pada gedung atau struktur lain harus didasarkan


pada peraturan atau ketentuan yang berlaku. Acuan yang digunakan untuk
menghitung pembebanan pada perencanaan struktur kayu kali ini adalah SNI
1727:2020 tentang beban desain minimum dan kriteria terkait untuk bangunan
gedung dan struktur lain.
1.1.2. Jenis Beban

1.1.2.1. Beban Mati

Beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang
terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi tetap,
finishing, klading gedung dan komponen arsitektural dan struktural lainnya serta
peralatan layan terpasang lain termasuk berat derek dan sistem pengangkut
material. Beba mati pada perencanaan struktur kayu kali ini adalah kayu struktur
dan atap.

Untuk berat jenis kayu diambil dari SNI 7973:2013 seperti pada tabel
dibwah ini.

Untuk keperluan desain, diambil jenis kayu Meranti dengan berat jenis kayu
0,63 . Berat jenis ini merupakan perbandingan berat kayu dengan berat air pada
volume yang sama. Apabila berat jenis air 9,81 kN /m3, maka berat isi kayu adalah
3
6,18 kN /m .

Untuk berat jenis atap, digunakan atap Onduline® 0.3 dengan spesifikasi
terdapat pada bagian 1.2.
1.1.2.2. Beban Hidup

Beban hidup adalah Beban yang diakibatkan oleh pengguna dan penghuni
bangunan gedung atau struktur lain yang tidak termasuk beban konstruksi dan
beban lingkungan, seperti beban angin, beban hujan, beban gempa, beban banjir,
atau beban mati. Karena struktur yang direncanakan tidak memiliki penggunaan
lain, maka tidak terdapat beban hidup.

Beban hidup atap merupakan beban pada atap yang diakibatkan (1) selama
pemeliharaan oleh pekerja, peralatan, dan material, dan (2) selama masa layan
struktur akibat benda bergerak, seperti tanaman pot atau perlengkapan dekoratif
kecil serupa lainnya yang bukan terkait hunian. beban hidup terkait hunian pada
atap seperti area berkumpul di atap, atap dek dan atap vegetatif atau atap lansekap
pada area yang bisa dipakai, diperhitungkan sebagai beban hidup pada atap
daripada beban hidup atap. Beban hidup atap dapat dilihat pada SNI 1727:2020
seperti yang terdapat pada tabel dibawah ini.
Beban hidup atap dapat direduksi sesuai dengan ketentuan SNI 1727:2020
dengan rumus dibawah ini.

Lr =L0 R1 R2 dengan 0,58≤ Lr ≤ 0,96 (1.1)


Dengan,

Lr = beban hidup atap tereduksi per ft2 (m2) dari proyeksi horizontal yang
ditumpu oleh komponen struktur
L0 = beban hidup atap desain tanpa reduksi per ft2 (m2) dari proyeksi horizontal
yang ditumpu oleh komponen struktur

Faktor reduksi R1 dan R2 harus ditentukan sebagai berikut:

{} { }
1 A T ≤18,58 m2
R1= 1,2 −0,011 AT untuk 18,58 m 2< A T <55,74 m2 (1.2)
0,6 A T ≥55,74 m2

{} { }
1 F≤ 4
R2= 1,2 −0,05 F untuk 4< F <12 (1.3)
0,6 F ≥ 12
Dimana,

AT = luas tributari dalam ft2 (m2) yang didukung oleh setiap komponen struktural
F = jumlah peninggian dalam in. per foot (dalam SI: F = 0,12 x kemiringan
(slope), dengan kemiringan dinyatakan dalam persentase), dan untuk atap
lengkung atau kubah, F = rasio tinggi terhadap bentang dikalikan dengan 32

Nilai AT diperoleh dari luas pembebanan yang ditahan oleh gording. Nilai
tersebut diperoleh dari penjumlahan setengah jarak antar gording. Luas tributari
dapat dilihat pada bagian 1.3.4.

AT =1,403 × 4=1,603m2

Nilai F diperoleh dari keterangan diatas, dimana kemiringan atap dapat


diperoleh dari tangen sudut atap. Jumlah peninggian (F) diperoleh,

F=0,12 × tan 27=6,11

Sehingga, faktor reduksi R1 dan R2 didapat,

R1=1−0,011 A T =0,9824

R2=1,2−0,05 F=0,8945

Dengan beban hidup atap tanpa reduksi sebesar 0,96 kN /m2 (dari tabel
diatas dan faktor reduksi yang telah diketahui, maka beban hidup atap dapat
diperoleh dari persamaan 1.1,
2
Lr =L0 R1 R2=0,8436 kN /m
1.1.2.3. Beban Hujan

Setiap bagian dari atap harus dirancang untuk mampu menahan beban dari
air hujan yang terakumulasi apabila sistem drainase primer pada bagian tersebut
terhambat ditambah beban merata akibat kenaikan air di atas lubang masuk sistem
drainase sekunder pada aliran desainnya. Persamaan yang dapat digunakan untuk
menetukan beban hujan adalah:

R=0,0098(d s + d h) (1.4)
Dimana:

ds = kedalaman air pada atap yang tidak melendut meningkat ke lubang


masuk sistem drainase sekunder apabila sistem drainase primer tertutup
(yakni, tinggi statis), dalam in. (mm)
dh = tambahan kedalaman air pada atap yang tidak melendut di atas lubang
masuk sistem drainase sekunder pada aliran desainnya (yakni, kepala
hidraulik), dalam in. (mm)
R = beban air hujan pada atap yang tidak melendut, dalam lb/ft2 (kN/m2).
Apabila istilah "atap yang tidak melendut" digunakan, lendutan dari
beban (termasuk beban mati) tidak perlu diperhitungkan ketika
menentukan jumlah air hujan pada atap.
Akan tetapi, atap yang digunakan pada perencanaan kali ini adalah atap
dengan bentuk pelana/berbubung dimana air hujan langsung mengalir kebawah
tanpa melewati saluran drainase/talang. Untuk kerperluan desain, digunakan tinggi
statik (d s) sebesar 1∈.(25 mm).

Maka dari itu, beban hujan dapat ditentukan dari persamaan 1.4, yakni
sebesar,
2
R=0,0098 ( d s +d h ) =0,245 kN /m

1.1.2.4. Beban Angin

Bangunan gedung dan struktur lain, termasuk Sistem Penahan Gaya Angin
Utama (SPGAU) dan seluruh Komponen dan Klading (K&K) gedung, harus
dirancang dan dilaksanakan untuk menahan beban angin. Didalam soal, telah
ditentukan besar beban angin yang bekerja pada struktur. Beban angin yang bekerja
adalah 35 kg /m2 . Apabila percepatan gravitasi sebesar 9,81 m/s 2, maka beban angin
yang bekerja dapat dikonversi menjadi 0,343 kN /m2. Akan tetapi, disini juga akan
dijelaskan mengenai prosedur untuk mendapatkan beban angin sesuai peraturan
yang berlaku.

Beban angin dapat dihitung berdasarkan SNI 1727:2020 dengan prosedur


terarah. Beban angin dihitung dengan mempertimbangkan bangunan gedung
terbuka dengan atap berbubung (hanya memperhitungakan luas atap). Langkah-
langkah perhitungan beban angin dapat dilihat sebagai berikut.

1) Menentukan kecepatan angin dasar (V )

Kecepatan angin dasar merupakan parameter penting untuk menentukan


tekanan kecepatan. Akan tetapi, SNI 1727:2020 belum menyediakan
Buku Peta Angin Indonesia. Sebagai acuan normatif, digunakan
Australian Standards - Design Wind Speeds for the Asia – Pacific
Region dengan kode buku HB 212-2002. Dalam kode tersebut, untuk
wilayah Asia Tenggara (khususnya Indonesia), digunakan kecepatan
angin dasar V =32m/s untuk periode ulang 50 tahun.

2) Menentukan koefisien dan faktor untuk tekanan kecepatan

a) Koefisien arah angin (K ¿¿ d )¿

Koefisien arah angin harus ditentukan berdasarkan tabel dibawah.

Dari tabel diatas, didapat nilai K d =0,85.

b) Koefisien topografi (K zt )

Efek peningkatan kecepatan angin harus dimasukkan dalam


perhitungan beban angin desain dengan menggunakan faktor K zt :

K zt =(1+ K 1 K 2 K 3)2 (1.5)

Dengan K 1 , K 2 , K 3 ditentukan sesuai SNI 1727:2020. Akan tetapi,


koefisien topografi hanya berlaku untuk gedung yang berlokasi
sesuai dengan ketentuan SNI 1727:2020 (bukit, bukit memanjang
dan tebing). Apabila kondisi dan lokasi bangunan tidak memenuhi
persyaratan tersebut, maka nilai K zt =1,0 .

c) Koefisien elevasi permukaan tanah ( K e )

Faktor elevasi permukaan tanah untuk menyesuaikan densitas udara,


K e , harus ditentukan sesuai dengan tabel dibawah. Untuk semua
elevasi, boleh diambil nilai K e =1.

d) Koefisien eksposur tekanan kecepatan (K z )

Sebelum menentukan koefisien eksposur, perlu ditentukan terlebih


dahulu kategori eksposur sesuai dengan ketentuan dibawah ini.

Kategori kekasaran permukaan

- Kekasaran Permukaan B: Daerah perkotaan dan pinggiran


kota, daerah berhutan, atau daerah lain dengan penghalang
berjarak dekat seukuran tempat tinggal keluarga tunggal atau
lebih besar dalam jumlah banyak.

- Kekasaran Permukaan C: Dataran terbuka dengan penghalang


tersebar yang memiliki tinggi umumnya kurang dari 30 ft
(9,1m). Kategori ini mencakup daerah terbuka datar dan padang
rumput.

- Kekasaran Permukaan D: Permukaan datar, area tanpa


halangan dan permukaan air. Kategori ini termasuk hamparan
lumpur halus.

Kategori eksposur

- Eksposur B: Untuk bangunan gedung atau struktur lain dengan


tinggi atap rata-rata kurang dari atau sama dengan 30 ft (9,1m),
Eksposur B berlaku bilamana kekasaran permukaan tanah,
sebagaimana ditentukan oleh Kekasaran Permukaan B, berlaku
di arah melawan angin untuk jarak yang lebih besar dari 1.500 ft
(457m). Untuk bangunan gedung atau struktur lain dengan
tinggi atap rata-rata lebih besar dari 30 ft (9,1m), Eksposur B
berlaku bilamana Kekasaran Permukaan B berada dalam arah
melawan angin untuk jarak lebih besar dari 2.600 ft (792 m) atau
20 kali tinggi bangunan atau struktur, pilih yang terbesar.

- Eksposur C: Eksposur C berlaku untuk semua kasus di mana


Eksposur B atau Eksposur D tidak berlaku.

- Eksposur D: Eksposur D berlaku bilamana kekasaran


permukaan tanah, sebagaimana ditentukan oleh Kekasaran
Permukaan D, berlaku di arah melawan angin untuk jarak yang
lebih besar dari 5.000 ft (1.524m) atau 20 kali tinggi bangunan
gedung atau tinggi struktur, pilih yang terbesar. Eksposur D juga
berlaku bilamana kekasaran permukaan tanah dekat dari situs
dalam arah melawan angin adalah B atau C, dan situs yang
berada dalam jarak 600 ft (183 m) atau 20 kali tinggi bangunan
gedung atau tinggi struktur, pilih yang terbesar, dari kondisi
Eksposur D sebagaimana ditentukan dalam kalimat sebelumnya.

Dari kategori diatas, bangunan yang direncanakan kali ini diambil


kategori eksposur B. koefisien eksposur tekanan kecepatan, K z atau
K h , sebagaimana berlaku, harus ditentukan dari tabel dibawah.

Karena ketinggian atap tidak diketahui, makad diambil ketinggian


9,1 m. Maka dari itu, nilai K z=0,7 .

3) Menentukan tekanan kecepatan (q h)


Tekanan kecepatan, q h, yang dievaluasi pada ketinggian xh di atas tanah
harus dihitung dengan persamaan berikut:

q h=0,613 K d K zt K e K z V
2
(1.6)

Maka dari itu, nilai q h dapat dicari,


2 2
q h=0,613 K d K zt K e K z V =0,373 kN /m

4) Menentukan faktor efek hembusan angin (G)

Faktor efek hembusan angin untuk suatu bangunan gedung dan struktur
lain yang kaku boleh diambil sebesar 0,85. Akan tetapi, bila perlu, SNI
1727:2020 juga mengatur tentang besarnya faktor efek hembusan angin.

5) Menentukan koefisien tekanan netto (C N )

Koefisien tekanan neto, C N , memasukkan kontribusi dari permukaan


atas dan bawah. Semua kasus beban yang ada pada setiap sudut
kemiringan atap harus diinvestigasi. Tanda positif dan negatif masing-
masing menandakan tekanan yang bekerja menuju dan menjauh dari
permukaan atas atap. Koefisien C N dapat dilihat pada gambar dibawah.
Dari hasil interpolasi untuk sudut kemiringan atap 27 ° dan aliran angin
tidak terhalang, didapat nilai C N sebagai berikut.

Kasus beban C NW C NL
A 1,22 0,22
B -0,16 -0,68

Sebagai penyederhanaan, diambil nilai C N yang terbesar.

6) Tekanan desain netto ( p)


Tekanan desain neto untuk SPGAU dari bangunan gedung terbuka
dengan atap miring sepihak, berbubung, atau cekung harus ditentukan
oleh persamaan berikut:

p=qh GC N (1.7)

Maka tekanan desain dapat dihitung sebagai berikut.

untuk kasus beban A:

p=qh GC NW =0,387 kN /m2

Untuk kasus beban B:


2
p=qh GC NL =−0,216 kN /m

Dari hasil perhitungan diatas, didapat beban angin tekan (mengarah atap)
sebesar 0,387 kN /m2 dan beban angin hisap (menjauhi atap) sebesar
2
−0,216 kN /m . Akan tetapi, untuk keperluan desain, tetap akan digunakan beban
angin sesuai soal yaitu sebesar 0,343 kN /m2.

1.1.3. Kombinasi Beban

1.1.3.1. Umum

Bangunan gedung dan struktur lainnya harus dirancang sesuai dengan


ketentuan kombinasi pembebanan Desain Faktor Beban dan Ketahanan (DFBK)
atau Desain Tegangan Izin (DTI). Simbol yang umum dijumpai pada kombinasi
beban adalah:

D = Beban mati
L = Beban hidup
Lr = Beban hidup atap
R = Beban hujan
S = Beban salju
W = Beban angin
Umumnya, beban salju tidak diperhitungkan untuk kondisi iklim di
Indonesia. Kombinasi pembebanan DFBK dan DTI dapat dilihat pada bagian
selanjutnya.

1.1.3.2. Desain Faktor Beban dan Ketahanan (DFBK)

Struktur, komponen, dan fondasi harus didesain sedemikian rupa sehingga


kekuatan desainnya sama atau melebihi efek beban-beban terfaktor dalam
kombinasi berikut. Efek dari satu atau lebih beban yang tidak bekerja harus
dipertimbangkan.

1) 1,4 D
2) 1,2 D+ 1,6 L+ 0,5 ( Lr atau S atau R )

3) 1,2 D+ 1,6 ( Lr atau S atau R ) + ( L atau0,8 W )

4) 1,2 D+ 1,6W + L+ 0,5( Lr atau S atau R)

5) 0,9 D+1,6 W

Beban seismik juga dapat diperhitungkan pada kombinasi beban Desain


Faktor Beban dan Ketahanan (DFBK). Akan tetapi, pada perencanaan kali ini,
tidak akan menggunakan beban seismik/gempa.
1.2. Spesifikasi Atap

Spesifikasi didapat melalui website resmi merek atap tersebut. Untuk atap
Onduline® dengan ketebalan 3 mm, dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Dari spesifikasi diatas berat atap adalah 3,4 kg /m2 atau 0,033354 kg/m2. Jarak antar
gording minimal sesuai spesifikasi atap adalah 45 cm. Apabila disesuaikan dengan
gambar rencana, maka didapat jarak antar gording yang digunakan adalah 40,08 cm.
Gambar susunan gording dapat dilihat pada gabar bagian 1.3.4.
1.3. Sketsa Geometri Atap

1.3.1. Sketsa Tampak Depan (Kuda-kuda)

1.3.2. Luas Distribusi Pembebanan (Luas Tributari)

1.3.3. Sketsa Arah Pembebanan


1.3.4. Sketsa Tampak Atas (Atap)
BAB II

PERENCANAAN GORDING

2.1. Pembebanan Gording

2.1.1. Umum

Sebelum menghitung analisa struktur gording, perlu dicari beban yang


bekerja pada struktur gording yang kita tinjau. Beban yang bekerja adalah semua
beban yang telah kita tentukan sebelumnya pada bagian 1.1.2. beban-beban yang
telah ditentukan itu nantinya akan dikombinasikan dengan kombinasi pembebanan
DFBK seperti pada bagian 1.1.3.2.

Akan tetapi, beban yang telah kita tentukan sebelumnya memiliki bentuk
yang berbeda-beda. Oleh karenanya, semua beban yang kita tentukan akan dirubah
kedalam kN /m panjang gording. Artinya, semua beban yang telah kita cari dalam
bentuk kN /m2 akan dikali dengan lebar pembebanannya (lebar tributari).

Terdapat dua bentuk pembebanan nantinya, yaitu untuk gording paling


pinggir akan dikali dengan setengah jarak antar gording (200,41 mm) dan ada yang
dikali dengan masing-masing setengah-setengah jarak antar gording kanan dan kiri
(400,83mm). Lebar inilah yang dinamakan lebar tributari. Gambar distribusi beban
yang diterima gording (luas tributari) dapat dilihat pada gambar bagian 1.3.2.

Untuk beban mati, beban hidup atap dan beban hujan, beban dihitung
dengan mempertimbangkan dua arah. Hal ini dikarenakan beban yang bekerja
menuju arah gravitasi sedangkan atap yang digunakan miring. Ilustrasi
pembebanan dapat dilihat pada gambar bagian 1.3.3. untuk beban angin, beban
yang dihitung hanya terhadap sumbu y karena gaya yang bekerja tegak lurus
terhadap atap.

2.1.2. Beban Mati

Berat kayu γw = 6,18 kN /m3


Tinggi gording hg = 0,15 m
Lebar gording bg = 0,1 m
Berat atap γr = 0,033 kN /m
2

Lebar distribusi beban atap wt = 0,401 m


Beban kayu gording Dw = γ w ×h g × b g=0,093 kN /m
Beban atap Dr = γ r × L=0,013 kN /m
Beban mati total D = D w + D r =0,106 kN /m
Beban mati sb-x Dx = D sin ( 27 ° )=0,048 kN /m
Beban mati sb-y Dy = D cos ( 27 ° )=0,095 kN /m
2.1.3. Beban Hidup Atap

Berat beban hidup atap γ Lr = 0,844 2


kN /m
Lebar distribusi beban atap wt = 0,401 m
Beban hidup atap Lr = γ Lr × Lr =0,338 kN /m
Beban hidup atap sb-x Lrx = Lr sin ( 27 ° )=0,153 kN /m
Beban hidup atap sb-y Lry = Lr cos ( 27 ° )=0,301 kN /m

2.1.4. Beban Hujan

Berat beban hujan γR = 0,245 2


kN /m
Lebar distribusi beban atap wt = 0,401 m
Beban hujan R = γ R × L=0,098 kN /m
Beban hujan sb-x Rx = R sin ( 27 ° )=0,045 kN /m
Beban hujan sb-y Ry = R cos ( 27 ° )=0,087 kN /m

2.1.5. Beban Angin

Berat beban angin γW = 0,343 kN /m2


Lebar distribusi beban atap wt = 0,401 m
Beban hidup angin W = γ W × L=0,137 kN /m

2.1.6. Kombinasi Beban

Kombinasi beban akan dihitung berdasarkan kombinasi beban DFBK


seperti pada bagian 1.1.3.2. pada kombinasi 2), 3) dan 4), terdapat beban yang
harus dipilih salah satu (Lr atau S atau R). Karena beban Lr lebih besar dari pada
beban R , maka beban Lr yang akan digunakan. Terdapat dua kombinasi beban,
yaitu:

Kombinasi beban sb-x

1,4 D = 0,067 kN /m
1,2 D+ 1,6 L+ 0,5 ( Lr ) = 0,134 kN /m
1,2 D+ 1,6 ( Lr ) + ( L atau 0,8 W ) = 0,303 kN /m
1,2 D+ 1,6W + L+ 0,5( Lr ) = 0,134 kN /m
0,9 D+1,6 W = 0,043 kN /m

Kombinasi beban sb-y

1,4 D = 0,132 kN /m
1,2 D+ 1,6 L+ 0,5 ( Lr ) = 0,264 kN /m
1,2 D+ 1,6 ( Lr ) + ( L atau 0,8 W ) = 0,705 kN /m
1,2 D+ 1,6W + L+ 0,5( Lr ) = 0,484 kN /m
0,9 D+1,6 W = 0,305 kN /m

Dari hasil kombinasi beban diatas, didapat kombinasi yang menghasilkan


beban terbesar adalah pada kombinasi 3).
2.2. Analisa Struktur Gording

Analisis struktur didapat dari hasil kombinasi beban yang telah dihitung
sebelumnya. Pada kombinasi beban sebelumnya, terdapat dua arah beban yang bekerja.
Untuk menghitung M ux dan V ux digunakan kombinasi beban arah sb-y. sedangkan
untuk M uy dan V uy digunakan kombinasi beban arah sb-x.

Gambar 2.1. Pembebanan untuk arah y

Gambar 2.2. Pembebanan untuk arah x

Momen lentur maksimum:


2 2
w l 0,705(4)
M ux = = =1,411 kNm
8 8
2
w l 2 0,303(4)
M uy = = =0,607 kNm
8 8

Gaya geser maksimum:

wl 0,705(4)
V ux = = =0,353 kN
8 8

wl 0,303( 4)
V uy = = =0,152 kN
8 8
2.3. Perencanan Lentur

2.3.1. Modulus Penampang

Direncanakan gording dengan ukuran sebagai berikut:

Tinggi gording hg = 150 mm


Lebar gording bg = 100 mm
Modulus penampang dapat dicari sebagai berikut:
2
bg h g 3
S x= =375000 mm
6
2
hg bg 3
S y= =250000 mm
6

2.3.2. Data Perencanaan

Mutu yang digunakan untuk perencanaan gording ini adalah E16 Mutu A.
untuk nilai desain dan modulus elastisitas lentur acuan dapat dilihat pada tabel
dibawah.
2.3.3. Menentukan Faktor Koreksi

CM = 0,85 (SNI 7973:2013, Tabel 4.2.2)


Ct = 1,0 (SNI 7973:2013, Tabel 2.3.3)
CL = Dicari
CF = 1,0 (SNI 7973:2013, Pasal 4.3.6.1)
C fu = 1,0 (SNI 7973:2013, Pasal 4.3.7)
Ci = 0,8 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.8)
Cr = 1,0 (SNI 7973:2013, Pasa. 4.3.9)
KF = 2,54 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.1)
∅b = 0,85 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.1)
λ = 0,8 (SNI 7973:2013, Tabel N.3.3)

Untuk menentukan faktor koreksi C L, terlebih dahulu ditentukan panjang


efektif l e. Untuk mendapatkan nilai l e , perlu ditentukan panjang tak tertumpu, l u,
yang didapat dari panjang gording yang digunakan. Besar panjang tak tertumpu, l u,
adalah 4000 mm Panjang efekif, l e , untuk komponen struktur lentur dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.

Sehingga didapat panjang efektif, l e , adalah,


l e =1,63 l u+ 3 d=6970 mm

Kemudian, ditentukan rasio kelangsingan sebagai berikut,

R B=
√ le d
b
2
=10,22

Rasio kelangsingan untuk komponen lentur, R B, tidak boleh lebih dari 50.
Kemudian, ditentukan nilai F b ' dan F bE.
'
F b=F b × C M × Ct × C F ×C i × Cr × K F × ∅ b × λ=17,62 MPa

1,2 E min '


F bE= 2
=117,45
RB

Dimana Emin ' didapat dari perkalian Emin × C M ×C t × Ci × K F × ∅b . Maka dari


itu, faktor koreksi C L dapat dicari dengan persamaan,

√[ ]
2

( ) ( )
F bE F bE
1+ ' '
'
1+( F bE /F b ) F b Fb
C L= − − =0,99
1,9 1,9 0,95

2.3.4. Kontrol Tahanan Lentur

Dicari terlebih dahulu nilai desain terfaktor untuk batang lentur sebagai
berikut:

Fb = F b acuan× 0,8=12,00 MPa


Fb' = F b × C M × Ct × C L ×C F × Cfu ×C i ×C r × K F × ∅ b × λ=13,97 MPa

Setelah didapat nilai desain terfaktor, maka ditentukan momen lentur


nominal yang terjadi pada batang baik terhadap sb-x maupun sb-y.

Mx = S x × F b=5,24 kNm

M x > M ux (OK !)

My = S y × F b=3,49 kNm

M y > M uy (OK !)

Dari hasi perhitungan nominal diatas, maka didapat kontrol tahanan lentur
terhadap resultan arah gaya.

M ux M uy
+ <1
Mx M y
0,443<1(OK !)

2.4. Perencanaan Geser

2.4.1. Menentukan Faktor Koreksi

CM = 0,97 (SNI 7973:2013, Tabel 4.2.2)


Ct = 1,0 (SNI 7973:2013, Tabel 2.3.3)
Ci = 0,8 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.8)
KF = 2,88 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.1)
∅b = 0,75 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.1)
λ = 0,8 (SNI 7973:2013, Tabel N.3.3)
2.4.2. Kontrol Tahanan Geser

Dicari terlebih dahulu nilai desain terfaktor untuk geser sebagai berikut:

Fv = F v acuan× 0,8=1,41 MPa


Fv ' = F v × C M × Ct × Ci × K F ×∅ b × λ=1,88 MPa

Setelah didapat nilai desain terfaktor, maka ditentukan geser nominal yang
terjadi pada batang baik terhadap sb-x maupun sb-y.

2
V' × F v ' ×b × d=30,21 kNm
= 3

V ' >V ux (OK !)

V ' >V uy (OK !)

Dari hasi perhitungan nominal diatas, maka didapat kontrol tahanan geser
terhadap resultan arah gaya.

V ux V uy
+ <1
V' V'

0,027<1(OK !)

2.5. Kontrol Lendutan

2.5.1. Inersia Penampang

Tinggi gording hg = 150 mm


Lebar gording bg = 100 mm
Inersia penampang dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut:

b g hg 3
I x= =28125000 mm4
12
3
hg b g 3
I y= =12500000 mm
12

2.5.2. Menentukan Faktor Koreksi

CM = 0,9 (SNI 7973:2013, Tabel 4.2.2)


Ct = 1,0 (SNI 7973:2013, Tabel 2.3.3)
Ci = 0,95 (SNI 7973:2013, Tabel 4.3.8)
2.5.3. Kontrol Lendutan

Modulus elastisitas terkoreksi dicari dengan,

E = E acuan × 0,8=12800 MPa


E' = E ×C M ×C t ×C i ×=10944 MPa

Lendutan pada arah sb-x dan sb-y adalah,


4
∆x 5 wyL
= =7,640 mm
384 E ' I x
4
∆y = 5 wx L
=7,393 mm
384 E' I y
Besar resultan lendutan adalah,


∆= ( ∆x ) + ( ∆ y ) =10,631 mm
2 2

Lendutan yang terjadi harus lebih kecil dari,

L 4000
∆ izin= = =13,333 mm
300 300

∆ <∆izin (OK !)
BAB III

ANALISA STRUKTUR TRUSS

3.1. Identifikasi Joint dan Member

Identifikasi titik buhul (joint) dan komponen batang (member) perlu dilakukan
sebelum melakukan analisa struktur. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bentuk dan
ukuran rangka kuda-kuda atap yang akan digunakan. Titik buhul dan komponen batang
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3.1. Dimensi kuda-kuda atap

Dari hasil penggambaran diatas, diketahui jumlah titik buhul yang ada pada
rangaka kuda-kuda atap diatas sebanyak 8 titik. Sedangkan jumlah komponen batang
ada sebanyak 13 buah. data ukuran dari masing-masing komponen batang tersebut
dapat dilihal pada tabel dibawah ini.

Member Joint-i Joint-j Pajang (m)


S1 A B 2,500
S2 B C 2,500
S3 C D 2,500
S4 D E 2,500
S5 A F 2,806
S6 F G 2,806
S7 G H 2,806
S8 H E 2,806
S9 B F 1,274
S 10 C F 2,806
S 11 C G 2,548
S 12 C H 2,806
S 13 D H 1,274

3.2. Pembebanan Truss


3.2.1. Beban Mati

3.2.1.1. Beban Sendiri

Untuk keperluan desain, diambil dimensi awal yaitu,

Tinggi h = 0,18 m
Lebar b = 0,12 m
Luas Penampang A = h × b=0,0216 m 2

Apabila berat jenis kayu sebesar γ w =6,18 kN / m3, maka berat kayu per
satuan panjang adalah,

q=γ w × A=0,133 kN /m

Apabila berat diatas dikali dengan panjang masing-masing komponen


batang, maka didapat beban pada batang adalah,

P S1 = 0,33372 kN
P S2 = 0,33372 kN
P S3 = 0,33372 kN
P S4 = 0,33372 kN
P S5 = 0,37456733 kN
P S6 = 0,37456733 kN
P S7 = 0,37456733 kN
P S8 = 0,37456733 kN
P S9 = 0,17006371 kN
P S10 = 0,37456733 kN
P S11 = 0,34012742 kN
P S12 = 0,37456733 kN
P S13 = 0,17006371 kN

Beban yang dipikul masing-masing titik buhul adalah setengah dari beban
batang pada titik buhul tersebut. Maka dari itu, didapat beban mati sendiri disetiap
titik buhul adalah,

P MS A = 0,35414366 kN
P MS B = 0,41875186 kN
P MS C = 0,87835104 kN
P MS D = 0,41875186 kN
P MS E = 0,35414366 kN
P MS F = 0,64688285 kN
P MS G = 0,54463104 kN
P MS H = 0,64688285 kN

3.2.1.2. Beban Gording


Pada BAB II, telah diketahui berat gording sebelumnya, yakni sebesar
q w =0,0927 kN /m. Apabila diasumsikan rangka atap berada ditengah bentang,
dengan jarak antar gording sebesar L=4 m, maka didapat beban satu buah gording
sebesar,

P=qw × L=0,3708 kN

Banyak gording yang dipikul masing-masing titik buhul dapat dilihat pada
tabel dibawah ini,

Gambar 3.2. Pembebanan Gording

Banyak gording di A = 4
Banyak gording di F = 7
Banyak gording di G = 8
Banyak gording di H = 7
Banyak gording di E = 4

Sehingga beban gording pada masing-masing titik buhul adalah,

PG A = 1,4832 kN
PG F = 2,5956 kN
PG G = 2,9664 kN
PG H = 2,5956 kN
PG E = 1,4832 kN

3.2.1.3. Beban Atap

Diketahui berat jenis atap adalah γ r =0,033 kN /m2. Apabila jarak antar
rangka atap adalah L=4 m, maka berat atap per atuan lebar adalah,

q r=γ r × L=0,133 kN / m

Lebar yang dimaksud adalah lebar atap yang dipikul setiap titik buhul. Titik
buhul A dan E merupakan buhul eksterior karena terletak paling luar, sedangakan
buhul F, G dan H adalah buhul interior. Lebar pembebanan tersebut bisa dilihat
dibawah,
Lebar Pembebanan Buhul eksterior = 1,403 m
Lebar Pembebanan Buhul interior = 2,806 m

Berat atap yang diketahui dikali dengan lebar pembebanan diatas. Maka
dari itu, didapat beban atap pada masing-masing titik buhul adalah,

Pr A = 0,1872 kN
Pr F = 0,3744 kN
Pr G = 0,3744 kN
Pr H = 0,3744 kN
Pr E = 0,1872 kN

3.2.2. Beban Hidup Atap

Diketahui berat hidup atap adalah γ Lr=0,844 kN /m2. Apabila jarak antar
rangka atap adalah L=4 m, maka berat hidup atap per atuan lebar adalah,

q Lr =γ Lr × L=3,374 kN /m

Lebar pembenan titik buhul adalah,

Lebar Pembebanan Buhul eksterior = 1,403 m


Lebar Pembebanan Buhul interior = 2,806 m

Maka beban hidup atap pada masing-masing titik buhul adalah,

P Lr A = 4,7343 kN
P Lr F = 9,4686 kN
P Lr G = 9,4686 kN
P Lr H = 9,4686 kN
P Lr E = 4,7343 kN

3.2.3. Beban Hujan

Diketahui berat hujan adalah γ R=0,245 kN /m2 . Apabila jarak antar rangka
atap adalah L=4 m, maka berat hujan per atuan lebar adalah,

q R =γ R × L=0,98 kN /m
Lebar pembenan titik buhul adalah,

Lebar Pembebanan Buhul eksterior = 1,403 m


Lebar Pembebanan Buhul interior = 2,806 m

Maka beban hujan pada masing-masing titik buhul adalah,

PR A = 1,3749 kN
PR F = 2,7499 kN
PRG = 2,7499 kN
PR H = 2,7499 kN
PR E = 1,3749 kN
3.2.4. Beban Angin

3.2.4.1. Beban Angin Tekan

Koefisien angin tekan berdasarkan PPURG 1987 dapat dicari dengan


perhitungan sebagai berikut,

C 1=( 0,02× α ) −0,4=0,14

Dimana α adalah sudut kemiringan atap.

Apabila berat beban angin adalah γ W =0,343 kN /m 2 dan jarak antar rangka
atap adalah L=4 m, maka berat angin tekan per atuan lebar adalah,

q W =γ W × L=0,192 kN /m

Lebar pembenan titik buhul adalah,

Lebar Pembebanan Buhul eksterior = 1,403 m


Lebar Pembebanan Buhul interior = 2,806 m

Maka beban angin tekan pada masing-masing titik buhul adalah,

PW A = 0,2695 kN
PW F = 0,5390 kN
PW G = 0,2695 kN

Karena beban angin membentuk sudut terhadap sumbu horizontal sebesar


sudut kemiringan atap, maka beban angin dapat diuraikan menjadi,

PW A x = 0,24011578 kN
PW F x = 0,48023156 kN
PW Gx = 0,24011578 kN
PW A y = 0,12234510 kN
PW F y = 0,24469020 kN
PW G y = 0,12234510 kN

3.2.4.2. Beban Angin Hisap

Koefisien angin hisap berdasarkan PPURG 1987 dapat dicari dengan


perhitungan sebagai berikut,

C 2=−0,4

Apabila berat beban angin adalah γ W =0,343 kN /m2 dan jarak antar rangka
atap adalah L=4 m, maka berat angin tekan per atuan lebar adalah,
q W =γ W × L=−0,549 kN /m

Lebar pembenan titik buhul adalah,

Lebar Pembebanan Buhul eksterior = 1,403 m


Lebar Pembebanan Buhul interior = 2,806 m

Maka beban angin hisap pada masing-masing titik buhul adalah,

PW G = -0,76997 kN
PW H = -1,53993 kN
PW E = -0,76997 kN
Karena beban angin membentuk sudut terhadap sumbu horizontal sebesar
sudut kemiringan atap, maka beban angin dapat diuraikan menjadi,

PW Gx = -0,6860451 kN
PW H x = -1,3720902 kN
PW E x = -0,6860451 kN
PW G y = -0,3495574 kN
PW H y = -0,6991149 kN
PW E y = -0,3495574 kN

3.2.4.3. Gambar Pembebanan untuk Beban Angin

Gambar 3.3. Angin Kiri

Gambar 3.4. Angin Kanan


3.3. Analisa Struktur Truss

3.3.1. Umum

Analisa struktur dihitung dengan bantuan software SAP2000. Langkah awal


untuk menghitung analisa struktur rangka atap adalah dengan menentukan grid
system data. Kemudian menetukan load patterns dan load combinations. Setelah
itu memasukkan semua beban yang bekerja. Terakhir menjalankan analisis
sehingga didapat gaya dalam yang terjadi pada struktur rangka.

Gambar 3.5. define grid system data

3.3.2. Menentukan Beban

Beban yang bekerja terdiri dari beban mati sendiri, beban gording, beban
atap, beban hidup atap, beban hujan dan beban angin.
Gambar 3.6. define load patterns

3.3.3. Menentukan Kombinasi Beban

Kombinasi pembebanan ditentukan sebaagai berikut:

a. 1,4 D

Gambar 3.7. kombinasi beban 1

b. 1,2 D+ 0,5 L r

Gambar 3.8. kombinasi beban 2

c. 1,2 D+ 0,5 R
Gambar 3.9. kombinasi beban 3

d. 1,2 D+ 1,6 Lr +0,8 W kiri

Gambar 3.10. kombinasi beban 4a

e. 1,2 D+ 1,6 Lr +0,8 W kanan

Gambar 3.11. kombinasi beban 4b

f. 1,2 D+ 1,6 R+ 0,8 W kiri


Gambar 3.12. kombinasi beban 5a

g. 1,2 D+ 1,6 R+ 0,8 W kanan

Gambar 3.13. kombinasi beban 5b

h. 1,2 D+ 1,6W kiri + 0,5 Lr

Gambar 3.14. kombinasi beban 6a

i. 1,2 D+ 1,6W kanan + 0,5 Lr


Gambar 3.15. kombinasi beban 6b

j. 1,2 D+ 1,6W kiri + 0,5 R

Gambar 3.16. kombinasi beban 7a

k. 1,2 D+ 1,6W kanan + 0,5 R

Gambar 3.17. kombinasi beban 7b

l. 0,9 D+1,6 W kiri


Gambar 3.18. kombinasi beban 8a

m. 0,9 D+1,6 W kanan

Gambar 3.19. kombinasi beban 8b

3.3.4. Memasukkan Beban

Setelah ditentukan beban yang bekerja, maka dimasukkan nilai beban yang bekerja
tersebut pada titik buhul. Beban yang bekerja berupa beban terpusat. Gambar
beban-beban tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 3.20. beban mati sendiri


Gambar 3.21. beban gording

Gambar 3.22. beban atap

Gambar 3.23. beban hidup atap

Gambar 3.24. beban hujan


Gambar 3.25. beban angin kiri

Gambar 3.26. beban angin kanan

3.3.5. Hasil Analisis

Kombinasi 1

Kombinasi 2

Kombinasi 3
Kombinasi 4a

Kombinasi 4b

Kombinasi 5a

Kombinasi 5b
Kombinasi 6a

Kombinasi 6b

Kombinasi 7a

Kombinasi 7b

Kombinasi 8a
Kombinasi 8b

3.4. Identifikasi Batang Tarik dan Tekan

Gaya tekan dan tarik diambil dari kombinasi yang menghasilkan gaya terbesar.
Dari hasil analisis, didapat kombinasi beban 4a dan 4b menghasilkan gaya yang
terbesar.

Kombinasi 4a

Kombinasi 4b

Komponen Batang Tarik (kN) Tekan (kN)


S1 +58,36
S2 +56,91
S3 +55,57
S4 +56,91
S5 -63,33
S6 -44,96
S7 -44,98
S8 -63,25
S9 -2,91
S10 -16,44
S11 +18,84
S12 -16,62
S13 -2,84
BAB IV

PERENCANAAN BATANG TARIK DAN TEKAN

4.1. Perencanaan Batang Tarik

4.1.1. Data Desain

Data desain untuk perencanaan batang tarik dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.

Dari tabel diatas, didapat data desain sebagai berikut:

Mutu Kayu E16 Mutu A = 0,8


Modulus Elastisitas Acuan E = 16000 MPa
Modulus Elastisitas Acuan Emin = 8000 MPa
Kuat Tarik Desain Acuan Ft = 13,2 MPa
4.1.2. Faktor Koreksi

Keberlakuan faktor koreksi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

CM = 1 (Kering udara)
Ct = 1 (¿ 38 ℃)
CF = 1 (Faktor koreksi ukuran standar)
CI = 0,8 (Faktor tusukan)
KF = 2,7 (Tabel 4.3.1)
ϕt = 0,8 (Tabel 4.3.1.)
λ = 0,8 (untuk kombinasi beban 4, digunakan 0,8)
4.1.3. Menentukan Kuat Tarik Terkoreksi

Kuat tarik desain acuan yang didapat pada data desain harus dikali dengan
faktor koreksinya. kuat tarik sejajar serat untuk kayu mutu A didapat sebagai
berikut,

F t=0,8× Ft =10,56 MPa


acuan

Maka dari itu, kuat tarik terkoreksi dapat dicari,

F 't=F t ×C M ×C t ×C F × C I × K F × ϕ t × λ
'
F t=14,598 MPa
4.1.4. Kontrol Tahanan Tarik

4.1.4.1. Komponen Batang S1, S2, S3 Dan S4

Ukuran batang tarik untuk komponen ini adalah,

d = 150 mm
L = 100 mm
Ag = 15000 mm2

Luas netto dapat dicari dengan,

Ag 2
An = =12000 mm
1,25

Gaya tarik terbesar ada pada batang S1 dengan besar,

T 'u=58,36 kN

Sehingga tahanan tarik untuk batang S1, S2, S3 dan S4 adalah,

T ' =F't × A n=175,18 kN


' '
T >T u OK !

4.1.4.2. Komponen Batang S11

Ukuran batang tarik untuk komponen ini adalah,

d = 120 mm
L = 100 mm
Ag = 12000 mm2
Luas netto dapat dicari dengan,

Ag 2
An = =9600 mm
1,25

Gaya tarik terbesar pada batang S11 adalah,


'
T u=18,84 kN

Sehingga tahanan tarik untuk batang S11 adalah,

T ' =F't × A n=140,14 kN


' '
T >T u OK !
4.2. Perencanaan Batang Tekan

4.2.1. Data Desain

Data desain untuk perencanaan batang tarik dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.

Dari tabel diatas, didapat data desain sebagai berikut:

Mutu Kayu E16 Mutu A = 0,8


Modulus Elastisitas Acuan E = 16000 MPa
Modulus Elastisitas Acuan Emin = 8000 MPa
Kuat Tekan Desain Acuan Fc = 12,6 MPa
Ukuran batang tekan ditentukan sebagai berikut,

Batang S5, S6, S7 dan S8


d = 150 mm
L = 100 mm
Ag = 12000 mm2
Batang S9 dan S13
d = 100 mm
L = 100 mm
Ag = 12000 mm2
Batang S10 dan S12
d = 120 mm
L = 100 mm
Ag = 12000 mm2
4.2.2. Rasio Kelangsingan

Koefisien panjang tekuk dapat dilihat pada tabel dibawah ini,

Batang tekan pada struktur rangka atap dianggap memiliki perletakan sendi-
sendi. Maka dari itu besarnya koefisien panjang tekuk untuk desain adalah K e =1.
Panjang tekuk dan rasio kelangsingan selanjutnya dapat dihitung sebagai berikut,

Batang S5, S6, S7 dan S8

Le 1=¿ 2805,82 mm
Le 2=¿ 2805,82 mm
Le 1
=¿ 18,70
d1
Le 2
=¿ 28,06 ¿ 50 OK !
d2
Batang S9 dan S13

Le 1=¿ 1273,81 mm
Le 2=¿ 1273,81 mm
Le 1
=¿ 12,74
d1
Le 2
=¿ 12,74 ¿ 50 OK !
d2
Batang S10 dan S12

Le 1=¿ 2805,82 mm
Le 2=¿ 2805,82 mm
Le 1
=¿ 23,38
d1
Le 2
=¿ 28,06 ¿ 50 OK !
d2

4.2.3. Faktor Koreksi

Untuk F c

CM = 1 (Kering udara)
Ct = 1 (¿ 38 ℃)
CF = 1 (Faktor koreksi ukuran standar)
CI = 0,8 (Faktor tusukan)
CP = Dicari
KF = 2,7 (Tabel 4.3.1)
ϕc = 0,8 (Tabel 4.3.1.)
λ = 0,8 (untuk kombinasi beban 4, digunakan 0,8)

Untuk Emin '

CM = 1 (Kering udara)
Ct = 1 (¿ 38 ℃)
CI = 0,8 (Faktor tusukan)
CT = 1,22
KF = 2,7 (Tabel 4.3.1)
4.2.4. Menentukan Kuat Tekan

Kuat tekan sejajar serat untuk kayu mutu A didapat sebagai berikut,

F c =0,8 × F c =10,5 6 MPa


tabel
Untuk mencari faktor stabilitas kolom, perlu dicari nilai F c∗¿ . Nilai
tersebur didapat dari hasil perkalian F c dengan semua faktor koreksi kecuali C P.

F c∗¿ Fc ×C M ×C t ×C F × C I =6,4 5 MPa

Emin ' =E min ×C M ×C t ×C I ×C T × K F =12471,83 MPa

4.2.5. Faktor Stabilitas Kolom

 Untuk Batang S5, S6, S7 dan S8


0,822 Emin '
F c E= 2
=13,02 MPa
( l e /d )
c=0,8
C P =1+ ¿ ¿
C P =0,87
 Untuk Batang S9 dan S13
0,822 Emin '
F cE= 2
=63 ,18 MPa
( l e /d )
c=0,8
C P =1+ ¿ ¿
C P =0 , 98
 Untuk Batang S10 dan S12
0,822 Emin '
F cE= 2
=13,02 MPa
( l e /d )
c=0,8
C P =1+ ¿ ¿
C P =0,87

4.2.6. Kontrol Tahanan Tekan

 Untuk Batang S5, S6, S7 dan S8

F c ' =F c ×C M ×C t ×C F × C I × C P × K F × ϕ c × λ=12,10 MPa

C ' =F'c × An =181,58 MPa> 63,33 MPa (OK !)

 Untuk Batang S9 dan S13

F c ' =F c ×C M ×C t ×C F × C I × C P × K F × ϕ c × λ=13,63 MPa

C ' =F'c × An =136 , 32 MPa>2,91 MPa (OK !)

 Untuk Batang S10 dan S12

F c ' =F c ×C M ×C t ×C F × C I × C P × K F × ϕ c × λ=12,10 MPa


' '
C =Fc × An =1 45 ,26 MPa> 16,62 MPa(OK !)
BAB V

GAMBAR

Anda mungkin juga menyukai