Anda di halaman 1dari 9

PERTUSIS

Nama Kelompok :
1. Hilldya Amilia Prastiti / 19700005
2. Fadila Putri Masita / 19700020
3. Ananta Sandi Putra / 19700030
4. Cindy Peviliantono Putri / 19700031
5. Nita Septiana Putri Adiningtias / 19700045
6. Radina Dewi Sariva Y / 19700059
7. Khansa Qonita Arista Widya / 19700071
8. Dimas Ghani Ananda / 19700084
9. Intan Purnama Sari / 19700095
10. Ni Putu Ayu Tarissa Aprilia Ratri / 19700109
11. I Ketut Gede Toya Sedana / 19700122
12. Ni Putu Dinda Prasasti / 19700133
13. Gegegl Purnomo Wicaksono / 19700145

BLOK TROPICAL MEDICINE SYSTEM


2021/2022
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Bordetella pertussis adalah bakteri gram negatif berbentuk batang


kokus dan patogen yang menyerang saluran pernapasan dan sangat mudah
menular. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari
batuk spasmodik dan paroksismal disertai mengi karena pasien berupaya
keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang
khas. Serangan batuk seringkali diikuti oleh muntah dan dapat berlangsung
berbulan-bulan. Organisme ini dapat menyerang segala usia, tetapi jika bayi
yang terkena akan berakibat serius (Sariadji et al., 2016).
Manusia sampai saat ini adalah satu-satunya pejamu bakteri pertusis
dan penularannya melalui udara dan kontak langsung dengan droplet
penderita selama batuk. Pertusis salah satu penyakit paling menular yang
dapat menimbulkan attack rate sebesar 80-100% pada penduduk yang
rentan. Penyakit ini pertama kali 52 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia .
Vol.5.1.2016: 51-56 dikenal pada abad pertengahan (tahun 1640) oleh
Guillaume de Baillou. Pada tahun 1906 Bordet dan Gengou berhasil
mengisolasi B. pertussis dan melaporkan bahwa B. pertussis sebagai etiologi
penyebab penyakit pertusis (Sariadji et al., 2016).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis atau disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi


akut yang menyerang saluran pernapasan disebabkan oleh Bordetella
pertussis Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri
dari batuk yang spasmodik dan paroksismal karena pasien berupaya
keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang
khas (Abdoerrachman, 2007).

B. Etiologi

Berdasarkan (Hulu et.al., 2020) pertusis terjadi akibat dari bakteri


Bordetella pertussis yang mana merupakan bakteri gram negatif yang
memiliki bentuk coccobacillus. Metabolisme bakteri ini secara aerob dan
tidak pernah memfermentasi. Bakteri ini biasanya dapat di kultur pada
media blood agar darah karena bakteri ini termasuk bakteri yang sangat
pemilih terhadap nutrisi. Kultur bakteri ini juga dapat dilakukan dalam
media sintesis buffer, garam, asam amino sebagai sumber energi dan
faktor pertumbuhan seperti nicotinamide.

C. Epidemiologi

Pertusis ini lebih sering menyerang anak balita, khususnya anak


wanita. Penularan terjadi melalui percikan ludah (droplet infection),
dengan masa penularan berlangsung antara 2 hari sebelum timbul gejala
sampai 3 minggu setelah munculnya gejala. Karena itu anak tidak
diperbolehkan masuk sekolah sampai 3 minggu setelah munculnya
gejala. Masa inkubasi (masa sejak terpapar oleh bakteri sampai timbulnya
gejala pertama) berkisar antara 6-20 hari (rata-rata 7-10 hari) (Asni
Hasanuddin 2015) .

D. Klasifikasi

Pada dasarnya batuk rejan / pertussis adalah penyakit yang dimediasi


oleh toksin yang memiliki 3 fase gejala menurut (Marcdante, K., et al
2015), yaitu :

1. Stadium Catarrhal
Ditandai dengan peningkatan secret di hidung (pilek), bersin, demam
ringan, dan batuk ringan (tanda – tanda nonspesifik) yang
berlangsung selama 1 – 2minggu. Pasien yang tidak diobati dapat
menularkan infeksi selama 3 minggu / lebih setelah timbulnya
serangan batuk mengi. Lalu secara bertahap akan bertambah parah.

2. Stadium Paroksismal
Tahap yang paling khas dan berlangsung 2 – 4 minggu. Ditandai
dengan batuk yang lebih sering dan kejang, juga terdapat semburan /
paroxysms, serta batuk yang cepat dikarenakan kesulitan
mengeluarkan lendir yang kental dari trakeobronkial. Selama
terinfeksi, pasien bisa menjadi sianotik (membiru) karena . Pada bayi
dan anak – anak, pada fase ini akan tampak sangat sakit dan juga
tertekan. Kelelahan dan muntah juga terjadi. Gejala – gejala pada
fase ini sering terjadi di malam hari dengan rata – rata 12 serangan /
24 jam. Disetiap minggu berikutnya, serangan dan gejala yang ada
pada fase ini akan meningkat.

3. Stadium konvalesen (Tahap Pemulihan)


Bertahap selama 1 – 2 minggu ditandai dengan batuk yang lebih
jarang dan tidak terlalu parah (sudah memulih secara bertahap),
batuk sudah mulai jarang terjadi terutama pada malam hari. Meskipun
penyakit ini biasanya berlangsung 6 -8 minggu, batuk sisa dapat
bertahan selama berbulan – ulan, terutama dengan stress fisik atau
iritasi pernapasan

E. Mekanisme

Bordetella pertussis adalah bakteri kokobasil gram negatif. Bakteri


ini memproduksi toksin pertussis (PT), filamentous hemagglutinin (FHA),
agglutinogen, pertactin, adenilat siklase, dan sitotoksin trakeal (Kapita
Selekta).

Transmisi melalui droplet, bakteri masuk melalui saluran nafas,


dan menempel pada silia epitel respiratorik kemudian menghasilkan
toksin. Toksin melumpuhkan silia dan menyebabkan respon inflamasi
sehingga menyebabkan gangguan bersihan sekret saluran pernafasan.
Pada pertusis terjadi respon imun berupa limfositosis namun terdapat
gangguan kemotaksis. Masa inkubasi umumnya 7-10 hari, dapat
memanjang hingga 21 hari (Kapita Selekta).

F. Gejala Klinis

Menurut (Long, SS., et al 2016) gejala klinis dari pertusis yaitu :

Sistem organ Gejala

sistemik demam, sianotik

mata perdarahan konjungtiva

hidung rhinorrea, bersin

respirasi batuk paroksismal, jarang ditemukan ronchi kecuali


sudah terjadi pneumonia
gastrointestinal Muntah

kulit petekie pada tubuh bagian atas

G. Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks perlu dibuat pada semua pasien batuk kronik, bila ada
foto lama ikut dievaluasi. Foto toraks perlu dibuat pada hampir semua
anak dengan batuk kronik untuk menyingkirkan kelainan respiratorik
bawah dan patologi kardiovaskular. Uji fungsi paru dilakukan pada semua
anak yang sudah mampu laksana (di atas lima tahun), sebelum dan
setelah pemakaian bronkodilator (Setyanto, 2016).

Bila dicurigai adanya refluks gastro-esofagus, perlu dilakukan


pemeriksaan monitoring 24 jam pH esofagus, bila perlu dilakukan
pemeriksaan endoskopi. Foto sinus paranasalis terindikasi pada pasien
dengan IRA disertai sekret purulen, batuk yang bertambah pada posisi
telentang, nyeri daerah frontal, dan nyeri tekan / ketok di atas sinus. CT
scan sinus lebih dianjurkan terutama untuk anak kecil yang sinusnya
belum berkembang sepenuhnya. Foto dengan kontras barium diperlukan
pada kasus batuk yang berhubungan dengan pemberian makanan, batuk
yang disertai stridor atau mengi yang terlokalisir di saluran respiratorik
besar (Setyanto, 2016).

Pemeriksaan imunologis (IgG, IgE, IgM, IgA) perlu dilakukan pada


kasus batuk yang berhubungan dengan otitis berulang, bronkiektasis,
atau batuk produktif yang tidak responsif dengan antibiotic (Setyanto,
2016).

H. Diagnosis

Berdasarkan (Kapita Selekta edisi IV) Pertusis ditegakkan dengan temuan


gejala klinis yang khas, seperti batuk rejan dan dibuktikan dengan
identifikasi bakteri penyebab melalui :
- Biakan secret nasofaring ( pada stadium kataralis dan awal stadium
proksismal) atau
- Uji immunofluorescent, atau
- Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau
- Enzyme immunoassay IgG dan IgM
Dan dapat ditemukan leukositosis dengan limfositosis

I. Diagnosis Banding

Diagnosis Banding dari pertusis menurut (Kapita Selekta edisi IV) yaitu :
- Infeksi virus : Adenovirus, respiratory syncytial virus ( RSV )
- Infeksi M pneumonia yang menyebabkan bronchitis kronis (pada anak
besar atau remaja )
- Bordetella Parapertussis
- Bordetella Bronchiseptica

J. Penatalaksanaan

Menurut (WHO, 2013) penatalaksaan dari pertusis yaitu :


 Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat
jalan dengan perawatan penunjang.
 Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama,
atau kebiruan setelah batuk.
 Beri eritromisin oral (12.5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari) selama 10 hari
atau jenis makrolid lainnya. Hal ini tidak akan memperpendek
lamanya sakit tetapi akan menurunkan periode infeksius.
Terapi Oksigen
 Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi berhenti napas atau batuk
paroksismal berat.
 Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter
nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang
hidung bersih dari mukus agar tidak menghambat aliran oksigen.
 Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas
tidak ada lagi.
 Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs
berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan
bahwa semua sambungan aman.
Tatalaksana jalan napas
 Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih
rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi
muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
 Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
 Bila apnea, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan
manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
Perawatan penunjang
 Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan
tenggorokan dan penggunaan NGT.
 Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau
antihistamin.
 Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu.
 Jika anak demam (≥ 39º C) yang dianggap dapat menyebabkan
distres, berikan parasetamol.
 Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang
pipa nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering
untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres
pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko
terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi
yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering.
Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.
Pemantauan
 Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali
sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini
terhadap serangan apnea, serangan sianotik, atau episode batuk
yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat
dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Juga ajarkan orang tua
untuk mengenali tanda serangan apnea dan segera memanggil
perawat bila ini terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Sariadji, K., Rizki, A., Sunarno, S., Puspandari, N., Rachmawati, F., Muna, F.,
Khariri, K., Heriyanto, B., & Putranto, R. (2016). Studi Kasus Bordetella
Pertussis pada Kejadian Luar Biasa di Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah yang Dideteksi dengan PCR. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia,
5(1), 51–56.
Setyanto, D. B. (2016). Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tata laksana. Sari
Pediatri, 6(2), 64. https://doi.org/10.14238/sp6.2.2004.64-70
WHO. (2013). Pocket book of hospital care for children: guidelines for the
management of common childhood illnesses. World Health Organization.
Abdoerrachman, 2007. Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Long, SS., et al (2016). Pertussis (Bordetella pertussis and Bordetel-la
parapertussis). Nelson textbook of pediatrics. 24(1). pp 587-589
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007.Ilmu Kesehatan Anak Jilid
II.Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Jakarta
Buku Kapita Selekta edisi IV
Hulu, V. T., Salman, S., Supinganto, A., Amalia, L., Khariri, K., Sianturi, E., ... &
Syamdarniati, S. (2020). Epidemiologi Penyakit Menular: Riwayat,
Penularan dan Pencegahan. Yayasan Kita Menulis.
Setyanto, D. B. (2016) ‘Batuk Kronik pada Anak: masalah dan tata laksana’, Sari
Pediatri, 6(2), p. 64. doi: 10.14238/sp6.2.2004.64-70.

Anda mungkin juga menyukai