Anda di halaman 1dari 30

PERJANJIAN INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 10

AHMAD ABDUL KHOIRI (2042019001)


MUHAMMAD RISKI (2042019021)
KHAIRUL MIZAN (2042019027)

DOSEN PENGAMPU : MUHAJIR., S.Ag, L.L.M

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa
ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang
“Perjanjian Internasional”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan
banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami
tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif.
Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh
setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Langsa, Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Pengertian Perjanjian Internasional..................................................3
B. Klasifikasi Perjanjian Internasional.................................................7
C. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional.............................................9
D. Berakhirnya Perjanjian Internasional...............................................13
BAB III PENUTUP.........................................................................................25
A. Kesimpulan........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan kerja sama antarbangsa biasanya diresmikan ke dalam satu atau
beberapa perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan salah satu
instrumen paling penting dalam hubungan antarbangsa. Sampai saat ini para ahli
masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-¬beda terhadap makna perjanjian
internasional sehingga makna istilah tersebut masih beraneka ragam.Dari
pendapat-pendapat para ahli tersebut kemudian dapat disimpulkan makna
perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara dua
atau lebih subjek hukum internasional (misalnya negara, lembaga internasional)
yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak yang membuat kesepakatan. Perjanjian yang dilakukan oleh subjek- subjek
hukum internasional tersebut mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat
hukum tertentu. Selain itu, tujuan perjanjian internasional di antaranya yaitu untuk
menyelesaikan sengketa antarbangsa, memelihara perdamaian, ketertiban serta
kesejahteraan manusia.
Menurut pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, dinyatakan
bahwa perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus,
mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
negara yang bersangkutan.
Berkenaan dengan pasal tersebut, maka setiap negara yang mengadakan
suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu asas yang dipakai dalam
perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa
setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh masing-masing pihak yang
bersangkutan.
Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu
negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses
pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian lainnya.

1
Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh
setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional. Adapun tahap dan
proses yang perlu dan biasa dilakukan antara lain Perundingan (Negoitation),
Penandatanganan (Signature), Pengesahan (Ratification), dan Pengumuman
(Publication).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka masalah
yang diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Apa pengertian perjanjian internasional?
2. Bagaimana klasifikasi perjanjian internasional?
3. Bagaimana tahap-tahap perjanjian internasional?
4. Bagaimana berakhirnya perjanjian internasional?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian Internasional


Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-
beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut
masih beranekaragam. Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan beberapa
pendapat dari para ahli hukum internasional mengenai istilah perjanjian
internasional sebagai berikut.1
1) Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa "Perjanjian
internasional adalah perjanjian antaranggota masyarakat
bangsa¬bangsa yang mengakibatkan berlakunya hukum tertentu."
2) G. Schwarzenberger mengemukakan bahwa "Perjanjian intemasional
sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional
yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat, baik
berbentuk bilateral maupun multilateral. Subjek¬subjek hukum dalam
hal ini bukan hanya lembaga-lembaga internasional melainkan negara-
negara."
3) Michel Virally mengemukakan bahwa “Sebuah perjanjian merupakan
perjanjian internasional bila melibatkan dua atau lebih Negara atau
subjek internasional dan diatur oleh hukum Internasional.”
4) Oppenheimer-Lauterpacht mengemukakan bahwa "Perjanjian
internasional adalah persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak
dan kewajiban di antara kedua pihak."
5) Definisi perjanjian internasional dari Konvensi Wina 1969, yaitu
"Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya, mengatur
perjanjian antamegara selaku subjek hukum internasional,"

1
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 (edisi kesepuluh), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm: 504-507

3
6) Menurut Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, perjanjian
internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas
oleh negara-negara yang bersangkutan.
7) Dalam Academy of Sciences of USSR, perjanjian internasional adalah
suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua negara
atau lebih mengenai pemantapan, perubahan, atau pembatasan dari
hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan. Namun,
pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama. Pengertian pertama dan kedua
perjanjian internasional dilakukan oleh seluruh subjek hukum internasional, baik
negara maupun lainnya. Pada pengertian ketiga dan keempat hanya negara yang
bisa melakukan perjanjian internasional dengan negara-negara lainnya.
Dari beberapa batasan perjanjian internasional diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pihak-pihak yang dapat masuk di dalam perjanjian
internasional, yaitu:2
a. Perjanjian antarnegara.
b. Perjanjian antara negara dengan organisasi internasional.
c. Perjanjian antar-organisasi internasional.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian
internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional
(lembaga internasional, negara) yang menurut hukum internasional menimbulkan
hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan.
Berkenaan dengan hal itu, setiap bangsa dan negara yang ikut dalam suatu
perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati seluruh ketentuan yang
ditetapkan. Hal tersebut sudah merupakan kewajiban dan sesuai dengan asas
hukum perjanjian yang berbunyi "Janji itu mengikat para pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik." Asas ini disebut asas pacta sunt servanda.3

2
Damos Dumoli A, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek.
Bandung:PT Refika Aditama, 2014. Hal.4.
3
Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan Kritis
Terhadap Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm 58

4
Apabila yang terjadi adalah sebaliknya atau ada sebagian negara atau
bangsa yang melanggar atau tidak menaati aturan-aturan yang telah diputuskan
sebelumnya, ketidakdamaian atau ketidakharmonisan akan tercipta. Bahkan, akan
menimbulkan pertentangan di antara negara-negara yang melakukan perjanjian.4
Dalam mempelajari perjanjian internasional, berikut ini dike mukakan
beberapa istilah perjanjian intemasional yang sering dipakai dikalangan
internasional.
1) Traktat (Treaty)
Artinya, perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang
sifatnya lebih formal karena mempunyai kekuatan hukum yang lebih
mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata
lain, para peserta yang membuat perjanjian tidak dapat menarik diri
dari kewajiban-kewajibannya tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.
2) Konvensi (Convention)
Artinya, jenis perjanjian yang digunakan bagi hal-hal yang lebih
khusus dibandingkan dengan traktat, namun bersifat multilat¬eral.
Dengan kata lain, konvensi tidak menyangkut kebijaksanaan tingkat
tinggi dan harus ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa
penuh.
3) Pakta (Pact)
Artinya, persetujuan yang lebih khusus jika dibandingkan dengan
traktat. Jadi, pakta merupakan traktat dalam arti sempit sehingga pakta
pun harus mendapat pengesahan (ratifikasi).
4) Perikatan (Arrangement)
Artinya, suatu bentuk perjanjian yang tidak seresmi traktat atau
konvensi. Oleh karena itu, perikatan merupakan persetujuan yang
biasanya hanya digunakan bagi transaksi-transaksi yang bersifat
sementara.

4
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia,
cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 65.

5
5) Persetujuan (Agreement)
Artinya, suatu perjanjian yang bersifat teknis/administratif sehingga
persetujuan tidak seresmi traktat/konvensi cukup ditandatangani oleh
wakil-wakil departemen dan tidak perlu diratifikasi.
6) Deklarasi (Declaration)
Artinya, perjanjian yang digunakan dengan tujuan menunjukkan suatu
perjanjian yang menyatakan hukum yang ada, membentuk hukum
yang baru, atau untuk menguatkan beberapa prinsip kebijaksanaan
umum.
7) Piagam (Statute)
Artinya, perjanjian yang menunjukkan himpunan peraturan yang
ditetapkan oleh perjanjian internasional untuk mengatur fungsi
lembaga internasional atau anggaran dasarnya, seperti piagam
mahkamah internasional (statute of the international court of justice).
8) Convenan
Artinya, suatu istilah yang digunakan oleh piagam Liga
Bangsa¬Bangsa (LBB) yang disebut dengan The convenant of the
league of nations tahun 1920.
9) Charter
Artinya, istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional yang
diadakan oleh PBB dan mempunyai fungsi administratif. Dengan kata
lain, PBB dalam membuat anggaran dasarnya berbentuk charter.
Misalnya, Atlantic Charter 1941, dan The char¬r ter of the united
nations 1945.
10) Protokol (Protocol)
Artinya, perjanjian yang sifatnya kurang resmi dibandingkan dengan
traktat atau konvensi. Biasanya protokol digunakan sebagai naskah
tambahan dari konvensi. Namun, protokol tidak kalah pentingnya
daripada konvensi itu sendiri. Misalnya, protokol tambahan terhadap
Konvensi Jenewa 1949.

6
11) Modus Vivendi
Artinya, perjanjian internasional yang merupakan dokumen untuk
mencatat persetujuan tanpa memerlukan ratifikasi dan bersifat
sementara. Maksud sementara adalah sampai diwujudkan hasil
perjanjian yang lebih tetap (permanen) dan rind (sistematis).
12) Ketentuan Penutup jangan (Final Act)
Artinya, dokumen dalam bentuk catatan ringkasan dari hasil
konferensi, seperti catatan mengenai negara peserta, para utusan dari
negara-negara yang turut dalam perundingan, dan segala kesimpulan
tentang hal-hal yang disetujui konferensi. Ketentuan penutup ini tidak
memerlukan ratifikasi.
13) Ketentuan Umum (General Act)
Artinya, traktat yang bersifat resmi atau tidak resmi. Liga
bangsa¬bangsa pernah' fnenggunakan istilah ini, seperti dalam
menye¬lesaikan permasalahan secara damai dan pertikaian
internasional (arbitrasi) pada 1928.

B. Klasifikasi Perjanjian Internasional


Beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional,
antara lain berdasarkan: jumlah pesertanya, strukturnya, objeknya, cara
berlakunya, instrumen pembentuk perjanjiannya.
Menurut jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat berupa:5
1. Perjanjian bilateral (bila melibatkan dua negara saja) misalnya
perjanjian RI dengan RRC mengenai Dwikenegaraan pada
tahun 1954
2. Perjanjian multilateral (bila melibatkan lebih dari dua negara)
misalnya Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban
Perang.

5
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia,
cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 74

7
Menurut strukturnya, perjanjian internasional berupa:6
1. Perjanjian Internasional yang bersifat law making artinya
mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua
negara di dunia, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958,
Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik,
2. Perjanjian internasional yang bersifat contract, yaitu hanya
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
membuat perjanjian saja. Misalnya: Perjanjian Ekstradisi 1974
antara Indonesia dan Malaysia.
Dari segi obyeknya, perjanjian internasional dapat dibagi menjadi:
1. Perjanjian yang berisi soal-soal politik
2. Perjanjian yang berisi masalah-masalah ekonomi, budaya, dan
lain-lain.
Dari segi cara berlakunya, terdiri atas:7
1. Perjanjian internasional yang bersifat self executing (berlaku
dengan sendirinya). Disebut self executing, bila sebuah
perjanjian internasional langsung berlaku setelah diratifikasi
oleh negara tertentu.
2. Perjanjian Internasional yang bersifat non self-executing. Bila
harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum
berlaku, maka perjanjian internasional itu disebut non self-
executing.
Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI) ada
yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam
bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention,
agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol,

6
Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan Kritis Terhadap
Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm 66
7
Anthony Aust, 2010, Handbook of International Law, Penerbit Cambridge University Press, New
York, hlm. 50

8
declaration, dan lain-lain.8 Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui
instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis,
misalnya:
 Perjanjian Internasional Lisan (international oral agreement)
PI lisan disebut juga gentlement agreement, biasanya disepakati
secara bilateral, untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit,
bersifat tekhnis namun merupakan materi umum. Misalnya: The
London Agreement 1946 yang mengatur distribusi keanggotaan
Dewan Keamanan (DK) PBB.
 Deklarasi Sepihak (Unilateral Declaration)
Deklarasi Unilateral adalah pernyataan suatu negara yang
disampaikan wakil negara tersebut yang berkompeten (presiden,
perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri lain) dan
ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi
perjanjian apabila memang mengandung maksud untuk berjanji
sehingga menimbulkan kewajiban pada negara yang berjanji dan
hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi tujuan deklarasi
tsb. Misalnya: pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Palestina.
 Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit Consent) atau
Persetujuan Tersimpul (Implied Agreement)
Perjanjian ini dibuat secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut
dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku,
baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau subyek hukum
internasional lainnya.

8
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan PraktekIndonesia,
cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 77

9
C. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional
Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu
negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses
pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian
lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional.
Adapun tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan adalah
sebagai berikut.9
1. Perundingan (Negotiation)
Pembuatan perjanjian internasional biasanya dimulai dengan
perundingan di antara negara-negara yang akan membuatnya. Hal ini
dilakukan dengan dasar kebutuhan atau kepentingan dan kemampuan
negara-negara yang bersangkutan agar kelak dapat dihindari adanya
masalah.
Isi dari perundingan yang dilakukan biasanya menyangkut beberapa
masalah pokok, antara lain menyangkut masalah politik, masalah
keamanan, masalah pertikaian, masalah perdagangan, masalah pertikaian
dalam bidang ekonomi, masalah pertikaian dalam bidang sosial-budaya,
masalah pertikaian dalam bidang pertahanan, serta masalah-masalah
lainnya yang menyangkut pembentukan dan pelaksanaan perjanjian
internasional.
Dalam rangka membentuk perjanjian internasional, tidak semua orang
dapat melakukan perundingan. Menurut ketentuan hukum internasional
tentang kuasa penuh (powers full), seseorang hanya dapat dianggap
mewakili suatu negara dengan sah apabila is dapat menunjukkan surat
kuasa penuh (full powers atau credential). Kecuali, jika dari semula peserta
konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh seperti yang

9
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, hlm. 15

10
dijelaskan tidak diperlukan. Keharusan menunjukan surat kuasa penuh,
tidak berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri),
menteri luar negeri, atau yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili
negaranya dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat
negaranya pada perjanjian yang diadakan, termasuk perwakilan diplomatik.
2. Penandatanganan (Signature)
Setelah perundingan selesai, dilanjutkan dengan pengesahan bunyi
naskah yang merupakan tindakan formal. Bagi perjanjian multilateral
(perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara), penandatangan naskah
perjanjian dapat dilakukan apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga)
suara peserta yang hadir. Kecuali, jika ada ketentuan lain yang
mengaturnya.
Adapun dalam perjanjian bilateral (perjanjian yang dilakukan oleh dua
negara), penerimaan secara bulat dan penuh mutlak diperlukan oleh kedua
belah pihak yang melakukan perundingan. Persetujuan dalam bentuk
penandatanganan merupakan suatu tindakan yang sangat penting dalam
rangka mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional. Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak saat ditandatanganinya tanpa harus menunggu
adanya ratifikasi (pengesahan).
3. Pengesahan (Ratification)
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, adakalanya suatu perjanjian belum
mengikat sepenuhnya sehingga diperlukan proses ketiga, yaitu pengesahan.
Pengesahan tanda tangan atau ratifikasi dilakukan oleh wakil negara yang
turut serta dalam perundingan. Maksudnya, untuk meyakinkan bahwa
utusan tersebut benar-benar melakukan tugasnya serta tidak melampaui
wewenangnya. Dengan kata lain, ratifikasi sebenarnya memiliki arti sebagai
persetujuan secara formal terhadap perjanjian yang melahirkan kewajiban-
kewajiban internasional agar suatu perjanjian berlaku bagi setiap negara
peserta.

11
4. Pengumuman(Publication)
Hat lain yang biasa ditemukan dalam perjanjian intemasional adalah
lembaga persyaratan. Keberadaan lembaga ini sangat'dibutuhkan oleh
negara-negara yang ikut serta dalam perjanjian internasional, khususnya
perjanjian yang sifatnya multilateral. Lembaga persyaratan dibutuhkan
karena biasanya ada saja negara-negara peserta.yang kurang sepenuhnya
menerima'isi materi perjanjian atau kurang sesuai dengan kepentingan
nasional negaranya. Selain itu, dimungkinkan pula merugikan kepentingan
nasional negaranya sehingga untuk melaksanakannya dibutuhkan
persyaratan-persyaratan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, lembaga persyaratan adalah pemyataan yang
diajukan oleh suatu negara untuk dapat terikat pada perjanjian. Artinya,
dalam melakukan perjanjian, negara yang mengajukan persyairatan tidak
berarti hares mengundurkan diri dari perjanjian, tetapi tetap terikat terhadap
apa-apa yang diajukan dan membawa keuntungan bagi negaranya.
Oleh karena itu, setiap pihak (negara) yang mengadakan perjanjian atau
turut serta dalam suatu perjanjian, berkeinginan agar apa yang dijanjikan
dapat terselenggara dengan baik atau dihormati dan ditaati oleh masing-
masi.'ng pihak. Namun, dalam kenyataannya semua perjanjian tidak dapat
bertahan lama seperti yang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini bisa saja
terjadi jika salah satu pihak meminta pembatalan perjanjian yang telah
mereka setujui. Tmdakan pembatalan pada dasarnya tidak dilarang, bahkan
diperkenankan asal pembatalan dilaksanakan dengan itikad baik dan
tindakan yang jujur.
Konvensi Wina 1969 menetapkan alasan-alasan yang dapat diajukan
oleh suatu negara untuk membatalkan persetujuan atau perjanjian yang
telah disepakati, di antaranya sebagai berikut.10

10
Anthony Aust, 2010, Handbook of International Law, Penerbit Cambridge University Press, New
York, hlm. 53

12
a. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional
salah satu peserta yang berlcaitan dengan kewenangan
(kompetensi) kuasa penuh negara yang bersangkutan.
b. Terdapat unsur kesalahan (error) berkenaan dengan suatu fakta
atau keadaan pada waktu perjanjian dibuat.
c. Terdapat unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap
negara peserta lain pada waktu pembejitukan perjanjian.
d. Terdapat kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dari
negara peserta tertentu.
e. Terdapat unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan
ancaman kepada seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu.
f. Terdapat ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar
atau asas jus cogent. Maksud asas ini adalah kaidah atau nortna
yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional
secara keseluruhan yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat
diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang
baru dan mempunyai sifat sama.
Adapun mengenai berakhir atau hapusnya suatu perjanjian internasional
secara umum dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini,
a. Telah tercapai tujuan perjanjian.
b. Habis masa berlakunya.
c. Salah satu pihak peserta perjanjian punah (misalnya, Negara
tersebut hancur akibat peperangan atau bencana alam).
d. Persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Diadakannya perjanjian baru antarpeserta yang isinya meniadakan
perjanjian terdahulu.
f. Telah dipenuhinya tentang berakhirn berakhirnya perjanjian sesuai
dengan ketentuan-ketentuan sendiri.

13
D. Berakhirnya Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasinal
dalam Bab VI Pasal 18 mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional.
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam
perjanjian;
b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. Objek perjanjian hilang;
h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Sedangkan menurut Konvensi Wina 1969, alasan – alasan untuk
mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional adalah
Berakhirnya perjanjian dibagi atas 3 kelompok:11
1. Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negara-negara pihak
a. Berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sendiri perjanjian yang berakhir dengan cara ini dijelaskan dalam
pasal 54 a Konvensi Wina tentang hukum perjanjian yang
berbunyi:
berakhirnya suatu perjanjian atau penarikan diri dari suatu Negara
dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
Penyelesaian terbaik adalah bila perjanjian itu sendiri berisi
ketentuan-ketentuan mengenai kapan dan bagaimana cara-cara
berakhirnya perjanjian tersebut. Bila ketentuan ini dilaksanakan,
tidak mungkin lagi terjadi kesalahan menganai interpretasinya.
Berakhirnya masa perjanjian biasanya terjadi antara 1-99 tahun.
Praktek ini menurut kebiasaan terdapat dalam perjanjian aliansi,

11
I Wayan Parthiana, Op.Cit . hlm. 17

14
arbitrasi wajib, penyewaan bagian-bagian tertentu wilayah Negara,
dan lain-lain. Dapat juga disebut bila perjanjian itu telah sampai
waktunya dapat diperbaharui secara diam-diam untuk selama
waktu yang dipakai untuk perjanjian pertama.
b. Klausula Pembubaran Diri
Yang dimaksud dengan klausula ini ialah perjanjian dapat berakhir
dengan dibuatnya perjanjian lain yang dianggap lebih penting.
Misalnya Pakta Warsawa, yang didirikan tahun 1955, sebagai
jawaban atas NATO yang lahir 1949, berisikan klausula bahwa
Pakta tersebut akan bubar bila telah didirikan suatu sistem
keamanan kolektif. Namun tanpa adanya sistem kolektif dimaksud,
pakta warsawa kenyataannya membubarkan diri, sedangkan NATO
tidak bubar bahkan telah memperluas keanggotan.
c. Penarikan Diri.
Suatu Negara dapat mengakhiri keikutsertaannya dalam suatu
perjanjian melalui penarikan diri ini terutama dipakai dalam
perjanjian-perjanjian multilateral. Penarikan diri adalah hasil dari
perbuatan sepihak (unilateral) Negara pihak. Penarikan diri ini
bukan merupakan pemutusan persetujuan sekehendaknya, tetapi
perjanjian tersebut memang memuat syarat-syarat tertentu setelah
jangka waktu tertentu. Misalnya sesuai pasal 13 Pakta NATO,
penarikan diri hanya mungkin setelah 20 tahun dan dengan
memberitahukan setahun sebelumnya. Penarikan diri semacam ini
dinamakan penarikan diri diatur. Itu yang terjadi dengan Perancis
yang menarik diri dari Organisasi Militer NATO pada tahun 1969
setelah 20 tahun berdirinya organisasi tersebut.
d. Pengurangan pihak-pihak dari perjanjian multilateral dibawah
jumlah yang ditentukan untuk keberlakuannya.12
Pasal 55 Konvensi Wina

12
Andreas Pramudianto, Op., Cit. hlm. 150-152

15
Kecuali jika perjanjian itu sendiri menyatakan, suatu perjanjian
multilateral tidak berakhir dengan alasan hanya dari kenyataan
bahwa jumlah pihak berada di bawah jumlah yang diperlukan
untuk memberlakukan perjanjian itu.
2. Berakhirnya perjanjian Atas persetujuan kemudian.
Inilah yang dinamakan abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat
dilakukan dengan terang-terangan bila Negara pihak membuat
perjanjian baru dengan tujuan untuk mengakhiri perjanjian lama.
Abrogasi diam-diam dapat juga dilakukan dengan membuat perjanjian
baru mengenai hal yang sama tetapi berisi ketentuan yang berbeda
dengan yang lama. Berbeda dengan modifikasi, abrogasi menghendaki
persetujuan semua Negara pihak.
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian
internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang
(baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada
perjanjian yang lama, kemudian membuat perjanjian baru, dan
memang para pihak bermaksud untuk menggantikan perjanjian yang
lama (meskipun pada perjanjian yang baru tidak secara tegas
mengakhiri eksistensi perjanjian yang lama- dan memang hal ini tidak
lazim dalam hukum perjanjian internasional) dan juga karena
substansi dari kedua perjanjian tersebut sangat berbeda satu sama lain
bahkan bertentangan sehingga tidak mungkin untuk menerapkannya
secara bersamaan. Maka dari itu salah satu dari perjanjian tersebut,
(dalam hal ini perjanjian yang lama) harus diakhiri eksistensinya, dan
yang harus diberlakukan adalah perjanjian yang baru.
3. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu
Tentu saja terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ini sama sekali tidak
termasuk dalam perjanjian yang dibuat. Peristiwa-peristiwa tersebut
harus yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian. Hal ini
menjadi kontroversi antara pengikiut-pengikut dan penentang

16
berakhirnya perjanjian secara demikian. Empat sebab pembatalan
berlakunya perjanjian :
a. Tidak dilaksanakannya perjanjian
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas
substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan
untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk
keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan
dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh
salah satu pihak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk
bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian
tersebut, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak
dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau
(ii) antara semua pihak. Pengakhiran semacam ini bersifat
fakultatif, artinya, para pihak diberikan pilihan, apakah sepakat
untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan
pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran.
Keadaan ini terutama berasal dari pelanggaran ketentuan
perjanjian oleh suatu Negara pihak. Pelanggaran baru dianggap
serius bila pelanggaran tersebut menyinggung hal-hal yang
substansial. Hal ini perlu ditegaskan karena sering terjadi negara-
negara menjadikan pelanggaran kecil sebagai alasan untuk
membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap
perjanjian. Presiden Coolidge sebagai juri dalam penyelesaian
sengketa antara Peru dan Chili menolak tuduhan Peru terhadap
Chili yang dianggap telah melanggar disposisi-disposisi
perjanjian.
Juri menyatakan:
Memang penyalahgunaan administratif dapat mengakhiri
berlakunya suatu perjanjian, tetapi harus dibuktikan, bahwa
penyalahgunaan tersebut betul-betul telah menimbulkan suatu
keadaan yang benar-benar buruk, sehingga menghalangi

17
pelaksanaan perjanjian dan menurut pendapat kami keadaan yang
demikian tidak dapat dibuktikan.
Jadi jelaslah bawa pelanggaran tersebut harus bersifat serius dan
dibuktikan sebelumnya, sehingga dapat mengakhiri beralkunya
suatu persetujuan. Presiden Jurisprudensi tidak banyak dalam hal
ini, namun keputusan Presiden Coolidge cukup tegas dan dapat
diterima.. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan disebut diatas,
Pasal 60 Konvensi Wina menetapkan ketentuan sebagai berikut:
 dalam suatu perjanjian bilateral, suatu negara dapat
menjadikan suatu pelanggaran substansial yang dilakukan oleh
negara lain sebagai motif untuk mengakhiri berlakunya suatu
perjanjian baik secara definitif maupun secara sementara.
Pelanggaran ini tidak ipso facto mengakhiri suatu perjanjian
tetapi hanya baru membuka kesempatan untuk memakai
prosedur mengakhiri suatu perjanjian yang diatur oleh pasal 65
Konvensi Wina.
 Dalam perjanjian multilateral, bila terjadi suatu pelanggaran
oleh suatu pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut hanya
dapat terjadi melalui suatu perundingan antara negara-negara
pihak dan atas persetujuan semua negara pihak. Jadi perjanjian
akan tetap berlaku, sementara prosedur yang demikian belum
dilaksanakan. Dengan menerima cara tersebut Konvensi Wina
hanya mengikuti praktek.
 Demikianlah Peradilan Militer Nurenberg 1946 memutuskan
bahwa pelanggaran perjanjian Briand-Kellog oleh jerman tidak
mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut. Walaupun terjadi
pelanggaran terhadap kenetralitasan Belgia oleh Jerman tahun
1941, perjanjian 1839 yang mendirikan kenetralitasan tersebut
tetap berlaku sampai 1919 dan baru dalam Perjanjian
Versailles dan atas persetujuan Belgia pula maka
kenetralitasan itu berakhir. Disamping itu Konvensi Wina

18
menambahkan bahwa suatu negara yang terkena pelanggaran
dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menghentikan
semnetara pelaksanaan suatu perjanjian dalam hubungannya
dengan negara yang melakukan pelanggaran.
b. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan Pasal 61 Konvensi Wina
tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa suatu negara dapat
mengakhiri suatu perjanjian bila terjadi keadaan force majure dan
menghentikan sementara berlakunya perjanjian tersebut bila force
majure itu bersifat sementara pula. Misalnya tenggelamnya suatu
pulau, keringnya suatu sungai, pecahnya bendungan, dan lain-lain.
Karena terjadinya salah satu hal tersebut di atas maka perjanjian
tidak dapat dilaksanakan. Tetapi dalam praktek hal-hal seperti ini
jarang terjadi. Hilangnya personalitas internasional suatu negara,
juga dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian.
c. Perubahan keadaan secara mendasar Doktrin dan praktek
menerima secara bulat, bahwa perubahan fundamental dari
keadaan dapat mengakhiri suatu perjanjian. Hanya dasar dari
berakhirnya perjanjian tersebut berbeda-beda. Kadang-kadang ada
suatu kalusula diam-diam dalam perjnjian yang dapat diartikan
bahwa perjanjian hanya akan tetap mengikat bila keadaan tetap
seperti biasa. Klausula diam-diam ini dinamakan clause rebus sic
stantibus. Mengenai hal ini pasal 62 Konvensi Wina menyatakan:
Suatu negara boleh mempergunakan perubahan keadaan sebagai
alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila
dapat dibuktikan bahwa keadaan benar-benar sudah berubah dan
para negara pihak pada perjanjian sama-sama setuju dan juga
perubahan tersebut betul-betul akan merubah secara radikal
kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan
perjanjian tersebut.
Apa yang dimaksud dengan perubahan keadaan yang fundamental
(fundamental change of circumstances), sama sekali tidak ada

19
penegasannya dalam Konvensi. Tidak adanya penegasan ini dapat
diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negara-
negara ataupun pada putusan badan penyelesaian sengketa jika
menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau tidaknya
perubahan keadaan yang fundamental. Dengan kata lain,
penentuannya harus ditentukan secara kasus per kasus.
Pasal 62 ayat 1 Konvensi membatasi perubahan keadaan yang
fundamental ini dengan dua pembatasan yang harus dipenuhi.
Pertama, pembatasan berdasarkan waktu terjadinya, yaitu
terjadinya haruslah pada waktu proses pembuatan perjanjian,
tegasnya pada waktu perundingan untuk memutuskan naskah
perjanjian. Jadi buka perubahan keadaan yang terjadi setelah
berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian tersebut. Jika
terjadinya setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian,
maka hal itu termasuk ke dalam alasan berakhir eksistensi
perjanjian internasional disebabkan ketidakmungkinan untuk
melaksanakannya. Pembatasan yang kedua, adalah pembatasan
yang bersifat subjektif, yakni perubahan keadaan itu tidak dapat
diduga atau dipredikasi sebelumnya oleh para pihak.
Namun, meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 61 ayat 1, masih ada
beberapa kualifikasi yang lebih spesifik yang harus dipenuhi,
yaitu:
a) adanya keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi
para pihak untuk terikat pada perjanjian ;
b) akibat atau efek dari perubahan keadaan itu menimbulkan
perubahan yang secara radikal terhadap luasnya kewajiban
yang harus dilakukan berdasarkan perjanjian tersebut.
Yang dimaksudkan keadaan tersebut (the existence of
circumstances) adalah keadaan sebelum terjadinya perubahan
keadaan yang fundamental itu sendiri. Adanya keadaan inilah yang

20
merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada
perjanjian tersebut. Dengan terjadinya atau berubahnya keadaan itu
secara fundamental (keadaan sebelumnya sangat berdeda secara
prinsip dengan keadaan yang terjadi sesuudahnya), maka hal ini
berarti, bahwa dasar yang esensial bagi negara-negara itu terikat
perjanjian sudah mengalami perubahan. Di samping itu, perubahan
keadaan sebagaimana ditentukan dalam pasala 61 ayat 1 butir a
tersebut, menimbulkan efek atau pengaruh secara radikal terhadap
luasnya kewajiban yang harus dilakukan yang bersumber dari
perjanjian itu.
Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 2, ada dua larangan untuk
menggunakan perubahan keadaan yang fundamental ini sebagai
alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional.
Pertama, negara peserta tidak boleh menggunakan klausul ini
sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian tentang garis
batasa wilayah negara. Kedua, klausul ini juga tidak dapat
dijadikansebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian
internasional, jika perubahan keadaan yang fundamental ini terjadi
sebagi akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang
bersangkutan atas ketentuan perjanjian internasional tersebut.
d. Timbulnya norma imperatif hukum internasional Pasal 64
Konvensi Wina menyatakan Bila timbul norma baru imperatif
hukum internasional umum, maka perjanjian-perjanjian yang
telah ada dan betentangan dengan norma-norma tersebut menjadi
batal dan berakhir.
e. Perang Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap
perjanjian. Dalam kaitan ini, komisi Hukum Internasional
meninjau persolan ini sebab konfrensi tentang Hukum Perjanjian
akan terpakasa mempelajari pula soal-soal penggunaan kekerasan
yang tentunya akan memperluas pula studi mengenai hukum
perjanjian.

21
Namun demikian hukum kebiasaan telah menetapkan ketentuan
sebagai berikut:
 Perjanjian bilateral akan berakhir bila kedua negara
berperang.
 Dalam perjanjian multilateral pelaksanaan pejanjian hanya
dihentikan diantara negara-negara yang berperang.
 Perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk
dilaksanakan di waktu perang tentu saja akan berlaku.
f. Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler
Pasal 63 Konnvensi Wina Putusnya hubungan diplomatik atau
konsuler di antara para pihak perjanjian tidak berpengaruh pada
hubungan hukum yang di buat dengan perjanjian di atara mereka,
kecuali jika adanya hubungan diplomatik atau konsuler tersebut
sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian.

Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional


Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya
berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat
1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-
negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara
tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah
yang seyogyanya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut.
Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan
terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian
tersebut (kecuali dalam keadaan yang sangat khusus), ternyata tidak ada satu
pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang
mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan
dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir
eksistensinya kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau
pernyataan itu harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala
negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan

22
oleh pejabat lain selain dari ketiga itu, maka harus disertai dengan suarat kuasa
atau kuasa penuh (full power). Jika tidak, maka keabsahannya dapat dipersoalkan
oleh pihak-pihak atau negaara-negara yang lainnya.
Sementara jika ada negara-negara peserta yang menolak atau tidak
menyetujui usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, atau dengan
kata lain terjadi perbedaan pendapat bahkan dapat mengarah pada perselisihan
(dispute) diantara negara-negara tersebut.13 Maka dalam hal ini, pasal 65 ayat 3
menyarankan para pihak menyelesaikannya melalui jalan damai sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 33 Piagam PBB. Jika para pihak bermaksud untuk
menyelesaikan perselisihan ini ke hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti
peradilan, arbitrase atau konsiliasi, setelah gagal menempuh upaya damai, maka
pasal 66 Konvensi memberikan petunjuk yang dapat ditempuh oleh para pihak.
Dalam tempo 12 bulan setelah keberatan itu diajukan, ternyata belum dicapai
penyelesaiannya, salah satu dari pihak yang berselisih atau bersengketa tentang
masalah penafsiran atau penerapan atas pasal 53 atau 64 (berkenaan dengan jus
cogens), dengan suatu permohonan tertulis dapat menyerahkan perselisihan itu ke
hadapan Mahkanah Internasional untuk diputuskan, kecuali para pihak
berdasarkan persetujuan bersama sepakat untuk mengajukan perselisihan itu ke
hadapan arbitrase (pasal 66 butir a).
Sedangkan pasal 66 butir b menegaskan tentang perselisihan yang timbul
berkenaan dengan interpretasi ataupun pelaksanaan atas Bagian V Konvensi
(berkenaan dengan ketidakabsahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya
perjanjian) dapat menempuh prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana secara
rinci diatur dalam Annex (dari Konvensi dengan cara mengajukan permohonan
tentang penyelesaian tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB. Adapun
penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Annex dari Konvensi ini adalah
penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi.
Meskipun demikian, Konvensi masih memberikan kesempatan kepada
para pihak yang berubah pendirian, misalnya di tengah jalan ternyata

13
Sefriani,Pengakhiran Sepihak Perjanjian Perdagangan Internasional ,PADJAJARAN
Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1,tahun 2015

23
mengurungkan niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Dalam hal ini, pasal 68
Konvensi memberikan kesempatan kepada negara atau negara-negara tersebut
untuk pada saetiap saat menarik kembali pemberitahuan ataupun instrument-
instrumen yang berkenaan dengan pengakhiran perjanjian seperti ditegaskan
dalam pasal 65 dan 67, sepanjang semua itu belum menimbulkan akibat-akibat
hukum.

Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional


Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian
internasioan diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi.
1. Kecuali jika perjanjian itu menyebutkan atau para pihak menyetujuinya, maka
berakhirnya suatu perjanjian yang ada atau menurut konvensi ini:
a) melepaskan para pihak dari suatu kewajiban dan selanjutnya untuk
melaksanakan perjanjian tersebut.
b) tidak berpengaruh pada sesuatu hak, kewajiban, atau situasi hukum dari
para pihak yang timbul melalui pelaksanaan perjanjian sebelum berakhir.
2. Jika suatu negara mengadukan atau menarik diri dari perjanjian multilateral,
maka ayat (1) tersebut dapat diterapkan dalam hubungan antara negara
tersebut dan masing-masing dari para pihak lainnya dari tanggal pada waktu
pengaduan atau penarikan diri itu berlaku.
Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur
tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya ; jika pengaturan tidak ada,
kemungkinan yang kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan
kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat
mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.
Mengenai kemungkinan yang pertama, maka para pihak cukup
menerapkan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi dalam
prakteknya, memang sangat jarang ada- bahkan mungkin tidak ada – perjanjian
internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai
perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya.
Kemungkinan yang kedua, yaitu para pihak akan mengatur tersendiri (di luar

24
perjanjian), hanya mungkin apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian
internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak.
Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan
kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancer, maka
berakhirlah semua masalahnya.
Jika kemungkinan pertama dan kedua itu tidak ada, maka menurut ayat 1,
jika pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional itu berdasarkan atas
alasan-alasan seperti ditentukan dalam Konvensi, maka pengakhiran perjanjian itu
akan : (a) membebaskan para pihak dari kewajiban-kewajiban yang bersumber
dari perjanjian tersebut; (b) tidak mengganggu hak, kewajiban ataupun situasi
hukum (legal situation) dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian
selama perjanjian itu masih berlaku atau sebelum berakhirnya eksistensi
perjanjian tersebut.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sampai saat ini para ahli masih mempunyai sudut pandang yang berbeda-
¬beda terhadap makna perjanjian internasional sehingga makna istilah tersebut
masih beraneka ragam. Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut kemudian dapat
disimpulkan makna perjanjian internasional. Perjanjian internasional adalah
kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional (misalnya negara,
lembaga internasional) yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan.
Dalam mempelajari perjanjian internasional, dike¬mukakan beberapa
istilah perjanjian intemasional yang sering dipakai dikalangan internasional
seperti Traktat (Treaty), Konvensi (Convention), Pakta (Pact), Perikatan
(Arrangement), Persetujuan (Agreement), Deklarasi (Declaration), Piagam
(Statute), Convenant, Charter, Protokol (Protocol), Modus Vivendi, Ketentuan
Penutup (Final Act), dan Ketentuan Umum (General Act).
Beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara
lain berdasarka jumlah pesertanya, strukturnya, objeknya, cara berlakunya,
instrumen pembentuk perjanjiannya. Mengingat pentingnya suatu perjanjian
internasional, baik bagi suatu negara maupun sebagai salah satu sumber hukum
internasional, proses pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti
perjanjian lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional. Adapun
tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan adalah antara lain perundingan
(negotiation), penandatanganan (signature), pengesahan (ratification), dan
pengumuman (publication).

26
DAFTAR PUSTAKA

Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional; Kajian Teori dan


PraktekIndonesia, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung, 2010

Eddy Pratomo,2016,Hukum Perjanjian Internasional,Dinamika dan Tinjauan


Kritis Terhadap Politik Hukum Indonesia, Elex Media Komputindo,
Jakarta

I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit


Mandar Maju, Bandung

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2 (edisi kesepuluh), (Jakarta: Sinar


Grafika, 2008)

Sefriani,Pengakhiran Sepihak Perjanjian Perdagangan


Internasional ,PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor
1,tahun 2015

27

Anda mungkin juga menyukai