PERJANJIAN TERTULIS
OLEH
NAMA : YOMPI E. NESIMNASI
NIM : 2174201067
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan
mengikat pada pihak,yaitu dalam proses perundingan atau preliminiary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti
meminjamkan uang,membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final
antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal ni dapat terjadi
karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-
janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan
mengalami jalan buntuh dan tidk tercapai kesepakatan,misalnya tidak tercapai
kesepakatan mengenai fees,royalities atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat
dituntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan kepada
rekan bisnisnya. Karena menurut teori kontrak yang klasik,belum terjadi kontrak,
mengingat besarnya fees,royalities dan jangka waktu perjanjian merupakan hal
yang essential dalam suatu perjanjian lisensi dan franchising.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,”
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Pedata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini
berarti dari suatu perjanjian lahirnya kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih
orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak
atas prestasi tersebut merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau
subjek hukum tersebut. Dengan demikian,rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua
pihak,dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan
pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan
dengan berkembangnya ilmu hukum,pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu
atau lebih badan hukum. definisi perjanjian dalam pasal 1313 ini adalah : (1)
tidak jelas,karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak
asas konsensualisme,dan (3) bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini
disebabkan didalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja,sehingga
yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas
pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori
lama),yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi diatas,telah tampak adanya asas
konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan
kewajiban).
“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
4
2. Bentuk-bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu : tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oelh para pihak dala wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga bentuk
perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
6
Prof. Subekti SH dalam bukunya Hukum perjanjian menyatakan bahwa
menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan
pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik
lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu maka hal
itu menjadi tsnggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-
surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek
suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan,asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutanya,dalam pasal 1334 ayat (1) BW
ditentukan bahwa barang- barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat
7
menjadi obyek suatu perjanjian.
Menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H. Barang yang belum ada
yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut)
dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi). Belum ada dalam tanamannya baru
sedang berbunga. Sedangkan belum ada dalam pengertian relatif misalnya
perjanjian jual-beli beras, beras yang diperjual-belikan sudah berwujud beras,pada
saat perjanjian diadakan masih milik orang lain, tetapi akan menjadi milik
penjual.
Namun, menurut pasal 1334 ayat (2) BW barang-barang yang akan masuk
hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggalkan dunia dilarang
dijadikan obyek suatu perjanjian, kendati pun hal itu dengan kesepakatan orang
yang meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini karena
menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek perjanjian bertentangan
denga kesusilaan. Lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh
calon suami kepada calon istri dalam perjanjian kawin atau leh pihak ketiga
kepada calon suami atau calon istri, ini diperkenakan.
Kemudian dalam pasal 1332 BW ditentukan bahwa barang-barang yang
dapat dijadkan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan
umum danggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa
dijadikan obyek perjanjian (selanjutnya lihat pasal 521,522 dan 523 BW).
3. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya
perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Ternyata pembentukan undang-undang membayangkan 3 macam perjanjian
mungkin terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab, (2) perjanjian dengan
suatu sebab ang alsu atau terlarang, dan (3) perjanjian dengan suatu sebab yang
halal.
Akhirnya,Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
8
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian pada umumnya sebagaimana dikehendaki Pasal 1320 BW. Untuk
perjanjian-perjanjian tertentu adakalanya ditentukan syarat lain berupa
formalitas- formalitas tertentu misalnya perjanjan perdamaian (Pasal 1851 ayat
(2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga (Pasal 1767 ayat (3) BW, perjanjian
yang dimaksud mengalihkan hak atas tanah (Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai subyek
yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ke-2 dan 3 dinamakan syarat-
syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.
Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya dapat
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang
memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan
perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (1454 BW). Selama tidak dibatalkan
perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan syarat-syart obyektif yang tidak
dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya,dri semula tidak pernah
dilahirkkan suatu perjanjian dan tidak perna ada perikatan. Sehingga tiada dasar
untuk saling menuntut dimuka hakin(pengadilan).
Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya
suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu
berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil
dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan
pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi
9
dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat
dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat-menyurat dan tilgram (kawat)
dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk
tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa
ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, apa yang ditulis dalam surat, atau yang
diberitahukan lewat tilgram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari
apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat-menyurat atau tilgram
tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai
mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi
kehendak tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang
dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu
perselisihan antara apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan oleh sesuatu
pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjannjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang
dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau
menagkap suatu peryataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah
yang lazim dipakai dalam suatu kalangan, disuatu tempat dan pada suatu waktu
tertentu. Suatu contoh: kalau sekrang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan
mobilnya dengan menyebut harga satu setengah, maka tiap orang harus mengerti
bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu
setengah ribu.
a. Macam-macam Kebatalan
Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat
dibatalkan jika perjanjian terserbut dalam pelaksanaannya akan merugikan
pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini, yang berhak untuk memintakan
pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga
setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian tersebut
dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan
maupun setelah presentasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian
yang dibuat tertentu dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan
Pasal 1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua
kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum
perjanjian dibuat. Secara lengkapnya rumusan Pasal 1451 dan Pasal 1452
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1451
Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-
orang yang disebutkan dalam Pasal 1330, berakibat bahwa barang dan orang-
orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum perikatan dibuat, dengan
11
pengertian bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada
orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat perikatan itu, hanya dapat
dituntut kembali sekadar barang yang bersangkutan masih berada di tangan
orang tak berkuasa tersebut, atau sekadar ternyata bahwa orang ini telah
mendapatkan manfaat dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu atau
bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi kepentingannya.
Pasal 1452
Pernyataan batal yang berdasarkan paksaan, kekhilafan atau penipuan, juga
berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalamkeadaan sewaktu
sebelum perikatan dibuat.
13
Mengenai barang takbergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada
waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi
riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan.
Pertama: untuk menyerahkan hak milik atau suatu benda tak bergerak,
diperlukan suatu akta transport yang merupakan suatu akta bilateral, yang
harus diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti
dengan suatu ponis atau putusan hakim.
Lain halnya, dengan apa yag lazim dinamakan standard clausa. Ini,
oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimasukan dalam hal-
hal yang selalu diperjanjikan. Menurut pasal tersebut, hal-hal yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam
perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap
sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal
yang menurut kebiasaan selalu diperjanjijikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
Pasal 1315:
“Pada umumnya tak dapat mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”
Pasal 1340:
“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.”
Pasal 1317:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji
guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang
dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang
dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.”
Pasal 1318:
“Jika seorang minta diperjanjikan suatu hal, maka dianggap bahwa itu
adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan jika dengan tegas ditetapkan atau
dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya”
17
KESIMPULAN
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel
Syarat-syarat untuk sahnaya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal 1320 BW yaitu:
Dalam perjanjian,perjanjian dapat dibatalkan dari perjanjian yang dinyatakan batal demi
hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat
kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu
perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau
dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
18
Daftar Pustaka
HS Salim, 2005. Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Jakarta,; Sinar Grafika
Soenandar Taryaba, 2001. Kompilasi hukum perikatan, Bandung: pt.citra aditya bakti
Subekti Prof, 2004. Hukum Perjanjian , Jakarta : pt intermasa
Syahrani Riduwan, 1992.Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Bandung;Alumni
Widjaja Gunawan,2006. Memahami prinsip keterbukaan dalam Hukum perdata,
Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada
19