Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERJANJIAN TERTULIS

OLEH
NAMA : YOMPI E. NESIMNASI
NIM : 2174201067
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian,


yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dengan dipenuhinya 4 syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanian
menjadi sah dan mengikat secara hkum bagi para pihak yang membuatnya.

Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan
mengikat pada pihak,yaitu dalam proses perundingan atau preliminiary
negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti
meminjamkan uang,membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final
antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal ni dapat terjadi
karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-
janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan
mengalami jalan buntuh dan tidk tercapai kesepakatan,misalnya tidak tercapai
kesepakatan mengenai fees,royalities atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat
dituntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan kepada
rekan bisnisnya. Karena menurut teori kontrak yang klasik,belum terjadi kontrak,
mengingat besarnya fees,royalities dan jangka waktu perjanjian merupakan hal
yang essential dalam suatu perjanjian lisensi dan franchising.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian Perjanjian ?

2. Apa saja macam-macam Perjanjian ?

3. Bagaimana syarat Sahnya Perjanjian ?

4. Bagaimana Saat Lahirnya Perjanjian ?

5. Bagaimana Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian ?

6. Apa saja Pihak-pihak dalam perjanjian?


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,”
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Pedata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini
berarti dari suatu perjanjian lahirnya kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih
orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak
atas prestasi tersebut merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau
subjek hukum tersebut. Dengan demikian,rumusan tersebut memberikan
konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua
pihak,dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan
pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan
dengan berkembangnya ilmu hukum,pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu
atau lebih badan hukum. definisi perjanjian dalam pasal 1313 ini adalah : (1)
tidak jelas,karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak
asas konsensualisme,dan (3) bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini
disebabkan didalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja,sehingga
yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas
pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori
lama),yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi diatas,telah tampak adanya asas
konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan
kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne,yang diartikan


dengan perjanjian,adalah :

“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
4
2. Bentuk-bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu : tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oelh para pihak dala wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Ada tiga bentuk
perjanjian tertulis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.

a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang


bersangkutan saja. Perjanjian semacam itu hanya mengikat para pihak
dalam perjanjian,tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga.
Dengan kata lain, jika perjanjian tersebut disangkal pihak ketiga, maka
para pihak atau salah satu pihak dari perjanjian tersebut berkewajiban
untuk mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk membuktikan bahwa
keberatan pihak ketiga dimaksud adalah tidak berdasar dan tidak dapat
dibenarkan.
b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.
Fungsi kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk

melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi kesaksian


tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah
satu pihak mungkin saja menyangkal isi perjanjian. Namun,pihak yang
menyangkal tersebut adalah pihak yang harus membuktikan
penyangkalannya.
c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu
adalah notaris,camat PPAT, dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan
alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun
pihak ketiga.

Ada tiga fungsi akata notariel (akta autentik), yaitu:


a. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu.
b. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
5
c. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu,kecuali
jika ditentukan sebaliknya, para pihak telah mengadakan perjajian dan
bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.

Akta notariel merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu


pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris,mengingat notaris
diindonesia adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan kesaksian atau melegalisir suatu fakta. Jika isi dari fakta semacam
itu disangkal disuatu pengadilan,maka pengadilan harus menghormati dan
mengakui isi akta notariel,kecuali jika pihak yang menyangkal dapat
membuktikan bahwa bagian tertentu dari akata telah diganti atau bahwa hal
tersebut bukanlah yang disetujui oleh para pihak,pembuktian mana sangat berat.

3. Syarat Sahnya Perjanjian


Seperti telah dikemukakan bahwa sumber perikatan yang terpenting adalah
perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala
macam perikatan, sesuai degan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam
buku III BW. Tetapi seperti juga telah dikemukakan kebebasan berkontrak
tersebut bukan bearti boleh membuat kontrak/perjanjian secara bebas, melainkan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu kontrak/perjanjian.
Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menetukan atau menetapkan isi
dan macamnya kontrak / perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang kesusilaan dan ketertiban umum (pasal 1335 dan 1337 BW). Dengan kata
lain pihak pembuat kontrak/perjanjian tersebut dalam keadaan bebas, tetapi bebas
dalam arti tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Syarat-syarat untuk sahnaya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal
1320 BW yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa
para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemuan
atau saling menyetujui kehendak masing-masing,yang dilahirkan oleh para
pihak dengan tiada paksaan11,kekeliruan dan penipuan. Persetujuan mana dapat
dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.

6
Prof. Subekti SH dalam bukunya Hukum perjanjian menyatakan bahwa
menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan
pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferte) menerima yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik
lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu maka hal
itu menjadi tsnggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-
surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Menurut Prof. Dr.Wirjono Prodjodikoro SH, Ontvangs theorie dan


Vernemings theorie dapat dikawinkan sedemikian rupa,yaitu dalam keadaan biasa
perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat peneriman sampai pada alamat
penawar (Ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan biasa kepada sipenawar
diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat mengetahui
isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai di alamatnya, melainkan baru
beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian,misalnya karena
berpergian atau sakit keras.

Menurut wils-theorie (teori kemauan),tidak terjadi perjanjian,tetapi pihak


yang mengeluarkan pernyataan tersebut tidak lepas begitu saja dari tanggung
jawab atas akibat-akibat yang timbul karena pernyataan yang dikeluarkan tapi
keliru itu. Sehingga dalam hal ini ia diwajibkan untuk membayr ganti kerugian
kepada siapa yang menderita kerugian akibat tindakannya mengeluarkan
pernyataan meskipun tidak sesuai dengn keinginanya. Sedangkan menurut
vertrouwens-theorie (teori kepercayaan),telah terjadi erjanjian. Sebab kemauan
yang masih disimpan dalam hati sanubari artinya belum dinyatakan belum diatur
oleh hukum. Hukum hanya mengatur apa-apa yang lahir dan dilahirkan yakni
segala yang tampak dari tingkah laku orang seorang dalam pergaulan hidup
ditengah-tengah masyarakat.

2. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek
suatu perjanjian. Menurut pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu
perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,
sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan,asalkan saja kemudian dapat
ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutanya,dalam pasal 1334 ayat (1) BW
ditentukan bahwa barang- barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat
7
menjadi obyek suatu perjanjian.
Menurut Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H. Barang yang belum ada
yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut)
dan bisa dalam pengertian relatif (nisbi). Belum ada dalam tanamannya baru
sedang berbunga. Sedangkan belum ada dalam pengertian relatif misalnya
perjanjian jual-beli beras, beras yang diperjual-belikan sudah berwujud beras,pada
saat perjanjian diadakan masih milik orang lain, tetapi akan menjadi milik
penjual.

Namun, menurut pasal 1334 ayat (2) BW barang-barang yang akan masuk
hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggalkan dunia dilarang
dijadikan obyek suatu perjanjian, kendati pun hal itu dengan kesepakatan orang
yang meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini karena
menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai obyek perjanjian bertentangan
denga kesusilaan. Lain halnya jika barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh
calon suami kepada calon istri dalam perjanjian kawin atau leh pihak ketiga
kepada calon suami atau calon istri, ini diperkenakan.
Kemudian dalam pasal 1332 BW ditentukan bahwa barang-barang yang
dapat dijadkan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan
umum danggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa
dijadikan obyek perjanjian (selanjutnya lihat pasal 521,522 dan 523 BW).
3. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya
perjanjian. Mengenai syarat ini pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Ternyata pembentukan undang-undang membayangkan 3 macam perjanjian
mungkin terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab, (2) perjanjian dengan
suatu sebab ang alsu atau terlarang, dan (3) perjanjian dengan suatu sebab yang
halal.
Akhirnya,Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.

8
Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian pada umumnya sebagaimana dikehendaki Pasal 1320 BW. Untuk
perjanjian-perjanjian tertentu adakalanya ditentukan syarat lain berupa
formalitas- formalitas tertentu misalnya perjanjan perdamaian (Pasal 1851 ayat
(2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga (Pasal 1767 ayat (3) BW, perjanjian
yang dimaksud mengalihkan hak atas tanah (Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997.
Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai subyek
yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ke-2 dan 3 dinamakan syarat-
syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.
Kalau syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya dapat
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang
memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan
perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (1454 BW). Selama tidak dibatalkan
perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan syarat-syart obyektif yang tidak
dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya,dri semula tidak pernah
dilahirkkan suatu perjanjian dan tidak perna ada perikatan. Sehingga tiada dasar
untuk saling menuntut dimuka hakin(pengadilan).

4. Saat dan tempat lahirnya perjanjian

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik


tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-
hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu
persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal
balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah telah lahirnya suatu


perjanjian dan bila perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai
kesepakatan dan bila kesepakatan itu tercapai?

Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya
suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu
berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian. Dalam suatu masyarakat kecil
dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan
pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dipakai, tetapi

9
dalam suatu masyarakat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat
dipertahankan lagi. Sejak orang memakai surat-menyurat dan tilgram (kawat)
dalam menyelenggarakan urusan-urusannya, maka ukuran dan syarat untuk
tercapainya suatu perjanjian diharuskan adanya persesuaian kehendak, terpaksa
ditinggalkan. Sebab, sudah sering terjadi, apa yang ditulis dalam surat, atau yang
diberitahukan lewat tilgram, karena sesuatu kesalahan, berlainan atau berbeda dari
apa yang dikehendaki oleh orang yang menggunakan surat-menyurat atau tilgram
tadi. Berhubung dengan kesulitan-kesulitan yang timbul itu, orang mulai
mengalihkan perhatiannya pada apa yang dinyatakan. Yang terpenting bukan lagi
kehendak tetapi apa yang dinyatakan oleh seorang, sebab pernyataan inilah yang
dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain. Jadi, apabila ada suatu
perselisihan antara apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan oleh sesuatu
pihak, maka pernyataan itulah yang menentukan. Sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjannjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang
dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Dalam menerima atau
menagkap suatu peryataan diperlukan suatu pengetahuan tentang istilah-istilah
yang lazim dipakai dalam suatu kalangan, disuatu tempat dan pada suatu waktu
tertentu. Suatu contoh: kalau sekrang (dalam tahun 1963) seorang menawarkan
mobilnya dengan menyebut harga satu setengah, maka tiap orang harus mengerti
bahwa yang dimaksudkan itu adalah satu setengah juta dan bukannya satu
setengah ribu.

Suatu pernyataan yang diucapkan secara bersendagurau tidak boleh


dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu
pernyataan yang nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, tidak boleh dianggap
sudah terbentuknya suatu kesepakatan dan dijadikan dasar bagi suatu perjanjian
yang mengikat. Misalnya pemilik mobil tersebut diatas, memasan suatu iklan dan
di situ secara keliru dituliskan harga satu setengah ribu (yang dimaksudkan satu
setengah juta). Setiap orang yang berpikiran sehat harus mengerti, bahwa dalam
iklan tersebut tentu ada suatu kekeliruan atau orang yang memasang iklan itu
orang tidak sehat pikirannya. Bagaimanapun, pernyataan yang dipasang dalam
iklan tadi menimbulkan kesangsian tentang kebeanarnya. Teranglah, kita tidak
boleh menerima penawaran tersebut dan tidak boleh mendasarkan jual beli itu
telah tercipta, serta menuntut penyerahan mobil tersebut dengan pembayaran
harga yang ditulis dalam iklan itu. Tetapi, seandainya ditulis satu perempat juta,
10
maka iklan tidak akan menimbulkan kesangsian. Mungkin para pembaca iklan
menganggap harga itu agak murah, tetapi belum termasuk hal yang aneh.

5. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu perjanjian

1. Pembatalan suatu perjanjian

a. Macam-macam Kebatalan

Dengan berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulitas dibedakan dalam


perjanjian yang dapat dibatalkan dari perjanjian yang dinyatakan batal demi
hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan
sifat kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan
mutlak.

1. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan

Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat
dibatalkan jika perjanjian terserbut dalam pelaksanaannya akan merugikan
pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini, yang berhak untuk memintakan
pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga
setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang
mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian tersebut
dapat terjadi, baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan
maupun setelah presentasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian
yang dibuat tertentu dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, ketentuan
Pasal 1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua
kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum
perjanjian dibuat. Secara lengkapnya rumusan Pasal 1451 dan Pasal 1452
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut.

Pasal 1451
Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-
orang yang disebutkan dalam Pasal 1330, berakibat bahwa barang dan orang-
orangnya dipulihkan dalam keadaan sebelum perikatan dibuat, dengan

11
pengertian bahwa segala apa yang telah diberikan atau dibayarkan kepada
orang-orang yang tidak berkuasa, sebagai akibat perikatan itu, hanya dapat
dituntut kembali sekadar barang yang bersangkutan masih berada di tangan
orang tak berkuasa tersebut, atau sekadar ternyata bahwa orang ini telah
mendapatkan manfaat dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu atau
bahwa apa yang dinikmati telah dipakai atau berguna bagi kepentingannya.

Pasal 1452
Pernyataan batal yang berdasarkan paksaan, kekhilafan atau penipuan, juga
berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dipulihkan dalamkeadaan sewaktu
sebelum perikatan dibuat.

2. Perjanjian yang Batal Demi Hukum


Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum jika terjadi Pelanggaran
terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya
suatu hal tertentu yang menjadi objek dalam perjanjian ini dirumuskan dalam
Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengenai hak tertentu dalam perjanjian yang diikuti dengan Pasal 1335 sampai
dengan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur
mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban
umum.
Dengan adanya suatu hal tertentu yang berwujud dalam kebendaan yang
telah ditentukan yang merupakan objek dalam suatu perjanjian, maka jelas
perjanjian tidak pernah ada sehingga tidak pernah pula menerbitkan perikatan
di antara para pihak (yang bermaksud membuat perjanjian tersebut). Perjanjian
demikian adalah kosong adanya.

3. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak

Di samping pembedaan tersebut di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke


dalam nulitas atau kebatalan relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu
kebatalan disebut dengan relatif jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap
individu orang-perorangan tertentu saja dan disebut dengan mutlak jika
kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa
kecuali. Di sini perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak memiliki
12
hubungan apa pun dengan jenis kebatalan ini. Suatu perjanjian yang dapat
dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian
yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.

2. Pelaksanaan suatu perjanjian


Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu.

Memilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-


perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang.

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Hal yang


harus dilaksanakan itu dinamakan: prestasi.
Perjanjian macam pertama, misalnya: jual beli, tukar menukar,
penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.

Perjanjian macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan,


perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membikin sebuah garasi, dan lain
sebagainya.

Perjanjian macam ketiga, misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan


tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis
dengan kepunyaan seorang lain, dan lain sebagainya.

Mengenai perjanjian macam pertama, yaitu perjanjian untuk


memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk
dalam undang-undang.

Mengenai barang yang tak tertentu,(artinya barang yang sudah


disetujui atau dipilih) dapat dikatakan bahwa para ahli hukum dan
yurisprudensi sependapat bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya
jual beli suatu barang bergerak yang tertentu. Jika mengenai barang yang tak
tertentu, eksekusi riil tak mungkin dilakukan.

13
Mengenai barang takbergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada
waktu sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi
riil tidak mungkin dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan.

Pertama: untuk menyerahkan hak milik atau suatu benda tak bergerak,
diperlukan suatu akta transport yang merupakan suatu akta bilateral, yang
harus diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak mungkin diganti
dengan suatu ponis atau putusan hakim.

Kedua: Alasan a contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat 3 Kitab


Undang-Undang Hukum perdata, ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa
barang siapa yang berdasarkan undang-undang atau perjanjian, diwajibkan
memberikan hipotik, dapat dipaksa untuk itu dengan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan yang sama, seolah-olah ia telah memberikan
persetujuannya untuk hipotik itu, dan yang dengan terang akan menunjuk
benda-benda diatas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh
karena untuk hipotik ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil
terhadap seorang yang wajib memberikan hipotik tetapi bercidra janji,
sedangkan dalam hal seseorang yang wajib menyerahkan hak milik atas suatu
benda tidak bergerak tidak ada aturannya, bahwa untuk yang terkahir ini tiada
suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu eksekusi riil. Seperti sudah
dikatakan, ada juga sarjana-sarjana yang berpendapat lain, yaitu menganggap
bahwa dalam hal perjanjian untuk menyerahkan suatu benda tak bergerak itu
dapat dilakukakn eksekusi riil terhadap pihak yang tidak menetapi janjinya
untuk menyerahkan benda tersebut. Mereka ini menganut pendirian, bahwa
bila oleh Undang-Undang tidak ditetapkan sebaliknya, maka suatu hak yang
diperoleh dari sesuatu perjanjian pada asasnya dapat direalisasikan, asal tidak
bertantangan dengan sifat perjanjian. Kamis sendiri condong pada pendirian
yang terakhir ini, karena lebih memenuhi rasa keadilan. Orang yang
mengadakan suatu perjanjian juga merasa lebih terjamin sebab ia akan
mendapat apa yang dijanjikan kepadanya, dengan tak usah menerima
pengarem-arem yang berupa pembayaran ganti rugi!

Untuk melaksanakan suatu perjanjian lebih dahulu harus ditetapkan


secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain,
apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang
14
mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara
teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang
pokok dan penting saja . dalam jual beli, misalnnya hanya ditetapkan tentang
barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan
tentang penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran,
bagaimana kalau barang musnah diperjalanan dan lain sebagainya.

Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu


perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatuan, kebiaasan dan undang-
undang”. Dengan demikian, setiap perjanjian dilengkapi dengan atura-aturan
yang terdapat dalam undang-undang, dalam adat kebiasaan (disuatu tempat
dan disuatu kalangan tertentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang
diharuskan oleh kepatuan (norma-norma kepatuan) harus juga diindahkan.

Lain halnya, dengan apa yag lazim dinamakan standard clausa. Ini,
oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimasukan dalam hal-
hal yang selalu diperjanjikan. Menurut pasal tersebut, hal-hal yang selalu
diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukan dalam
perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap
sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal
yang menurut kebiasaan selalu diperjanjijikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.

Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum perdata,


semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa
belanda tegoeder trouw; dalam bahasa inggris in goog faith, dalam bahas
perancis de bonne fot). Norma yang dituliskan diatas ini merupakan salah satu
sendi yang terpenting dari hukum perjanjian. Apakah artinya, bahwa semua
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik itu?

Pertama, mengenai isitlah itikad baik, diterangkan bahwa kita juga


menjumpai istilah tersebut dalam hukum belanda, dimana misalnya ada
perkataan-perkataan pemegang barang yang beritikad baik, pembeli barang
yang beritikad baik dan lain sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang
beritikad buruk. Seorang pembeli barang yang beritikad baik, adalah seorang
15
yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-
sungguh pemilik dari barang yang dibelinya itu. Ia sama sekali tidak
mengetahui bahwa ia membeli dari seorang yang bukan pemilik. Ia adalah
seorang pembeli yang jujur. Dalam hukum benda, diganti dengan: itikad baik
yang berarti kejujuran atau bersih. Si pembeli yang beritikad baik, adalah
orang yang jujur, orang yang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya
cacad-cacad yang melekat pada barang yang dibelinya. Artinya cacad
mengenai asal-usulnya. Dalam hukum benda itu itikad baik adalah suatu
anasir subyektif. Bukan anasir subyektif inilah yang dimaksudkan oleh pasal
1338 ayat 3 tersebut diatas bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik. Yang dimaksudkan, pelaksanaan itu harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, ukuran-ukuran
obyektif untuk menilai pelaksanaan tadi. “pelaksanaan perjanjian harus
bearjalan diatas rel yang benar”
Dalam pasal 1338 (3) itu hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi

pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar


kepatutan atau keadilan. Ini berarti, hakim itu berkuasa untuk menyimpang
dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu
bertantangan dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan
kepastian hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga ini harus kita pandang
sebagai seuat tuntutan keadilan. Memang hukum itu selalu mengejsr dua
tujuan : Menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan.
Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi
(ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinya janjit itu, janganlah orang
meninggalkan norma –norma keadilan atau kepatutan. “Berlaku adil dalam
menuntut pemenuhan janji itu”! demikian maksudnya pasal 1338 ayat 3 itu.
6. Pihak-pihak dalam perjanjian (Subjek)

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis dalam KUH


Perdata,yaitu Pasal 1315, pasal 1340, pasal 1317, pasal 1318. Mengingat
bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka adalah penting untuk
mencari kaitan-kaitan diantara pasal-pasal tersebut.

Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang


16
terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUHPerdata membedakan tiga
golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu:

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri


2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari
padanya.
3. Pihak ketiga.

Pasal 1315:
“Pada umumnya tak dapat mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”

Pasal 1340:
“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya.”

Persetujuan-persetujuanitu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-


pihak ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.

Pasal 1317:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji
guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang
dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang
dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.”

Pasal 1318:
“Jika seorang minta diperjanjikan suatu hal, maka dianggap bahwa itu
adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan jika dengan tegas ditetapkan atau
dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya”

17
KESIMPULAN

Menurut ketentuan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,” Perjanjian


adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.

Macam-macam perjanjian yaitu :


1. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan saja
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak

3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel

Syarat-syarat untuk sahnaya suatu perjanjian disebutkan dalam pasal 1320 BW yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Suatu hal tertentu

3. Suatu sebab yang halal

Dalam perjanjian,perjanjian dapat dibatalkan dari perjanjian yang dinyatakan batal demi
hukum dengan pengertian tidak dapat dilaksanakan, sedangkan berdasarkan sifat
kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Suatu
perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau
dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

18
Daftar Pustaka

HS Salim, 2005. Pengantar hukum perdata tertulis (BW), Jakarta,; Sinar Grafika
Soenandar Taryaba, 2001. Kompilasi hukum perikatan, Bandung: pt.citra aditya bakti
Subekti Prof, 2004. Hukum Perjanjian , Jakarta : pt intermasa
Syahrani Riduwan, 1992.Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Bandung;Alumni
Widjaja Gunawan,2006. Memahami prinsip keterbukaan dalam Hukum perdata,
Jakarta ; PT RajaGrafindo Persada

19

Anda mungkin juga menyukai