Anda di halaman 1dari 3

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan energi sepanjang tahun terus meningkat hampir di semua sektor kehidupan.
Selama ini sumberdaya energi yang dimanfaatkan berasal dari bahan bakar berupa
minyak bumi, gas alam, dan batubara (bahan bakar fossil) yang bersifat tak terbarukan
(unrenewable) serta jumlahnya selalu berkurang dari waktu ke waktu. Sumber energi
yang berasal dari bahan bakar bersifat terbarukan (renewable) merupakan solusi bagi
permasalahan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena bahan bakar ini dapat
diregenerasi terus menerus karena bersumber dari tumbuhan dan hewan. Bahan bakar
fossil maupun bahan bakar non fossil dalam proses produksinya sangat membutuhkan
ketersediaan katalis. Katalis berperan dalam mempercepat terbentuknya produk. Salah
satu jenis produk dari sumber energi yang bersifat renewable berasal dari minyak nabati
adalah biodiesel (metil ester). Biodiesel atau metil ester merupakan bahan bakar dari
minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel atau solar.
Ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fossil terutama minyak
bumi telah mendorong banyak negara termasuk Indonesia untuk mengembangkan bahan
bakar nabati. Beberapa bahan baku untuk pembuatan biodiesel diantaranya adalah kelapa
sawit, kedelai, jarak pagar, dan kacang kedelai. Dari beberapa bahan baku tersebut maka
bahan bakar nabati yang paling potensial untuk digunakan sebagai bahan baku
pembuatan biodiesel adalah kelapa sawit mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup
melimpah dalam bentuk minyak kelapa sawit. Saat ini Indonesia merupakan produsen
dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia yang ditunjukkan oleh share ekspor
Indonesia sebesar 45.50 % periode tahun 2001-2017 (Trade Map, 2018) dan ekspornya
mampu mencukupi sekitar 37 % dari konsumsi global (Oil World, 2017). Sejak
pengembangan bahan bakar nabati dimulai pada tahun 2004 di Indonesia, dari kapasitas
produksi terpasang industri biodiesel dari minyak kelapa sawit yaitu 3.184.311
kiloliter/tahun tercatat baru sekitar 10% atau 318.431 kiloliter/tahun yang terpakai.

Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai
panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel
dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan. Biodiesel
bersifat biodegradable, hampir tidak mengandung sulfur, dan bahan bakar terbarukan,
meskipun masih diproduksi dengan jalan yang tidak ramah lingkungan. Alternatif bahan
bakar terdiri dari metil atau etil ester, hasil transesterifikasi baik dari trigliserida (TG)
atau esterifikasi dari asam lemak bebas (FFA) (Ma et al., 1999 dalam Hikmah dan
Zuliyana, 2010).
Bahan bakar biodisel menjadi lebih menarik karena manfaatnya terhadap
lingkungan. Tanaman dan minyak nabati serta lemak hewani adalah sumber biomassa
yang dapat diperbaharui (Zheng, S. et al.,2006 dalam Hikmah dan Zuliyana, 2010). Saat
ini, sebagian besar biodiesel muncul dari transesterifikasi sumber daya yang dapat
dimakan, seperti lemak hewan, minyak sayur, dan bahkan limbah minyak goreng,
dengan proses katalis kondisi basa. Namun, konsumsi tinggi katalis, pembentukan sabun,
dan rendahnya hasil panen membuat biodisel saat ini lebih mahal daripada bahan bakar
yang diturunkan dari minyak bumi (Haas, M.J., 2005 dalam Hikmah dan Zuliyana,
2010).
Dengan ketersediaan minyak bumi yang saat ini terbatas, menyebabkan perhatian
terhadap penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar telah bangkit 1 2 kembali.
Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa berbagai minyak nabati memiliki potensi
cukup besar sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel (Biodiesel), karena memiliki
karakteristik yang serupa dengan bahan bakar mesin diesel yang berasal dari minyak
bumi (Petroleum) (Hamid, 2003).
Sedangkan kelemahan dari katalis heterogen untuk produksi biodiesel adalah
membutuhkan waktu reaksi yang relatif lama dibanding katalis homogen karena
membuat campuran reaksi menjadi sistem tiga fasa, yaitu minyak, metanol, katalis yang
menghambat perpindahan massa secara efektif sehingga memperlambat reaksi
(Wahyudin dkk, 2018).
1.2. Dasar Teori
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang digunakan sebagai pengganti solar yang
memiliki peluang dimasa yang akan datang. Biodiesel berasal dari hasil proses
transesterifikasi lemak hewani atau minyak nabati, misalnya dari minyak nabati seperti
minyak biji sawit, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak biji dan minyak bunga matahari.
Bahan baku tersebut berasal dari pangan, sedangkan melihat keadaan sekitar diperlukan
pencarian bahan baku alternatif lain dari non pangan, bahan baku dari non pangan untuk
pembuatan biodiesel ini adalah minyak nyamplung (Amrullah dkk., 2017: 1).
Penelitian yang mendukung dalam pemanfaatan limbah minyak jelantah untuk diolah
menjadi biodiesel telah banyak dilakukan. Haryono et al (2018) mensintesis biodiesel
dari minyak goreng bekas menggunakan kalsium oksida (3%) mikropartikel sebagai
katalis menghasilkan biodiesel dengan yield 77,76%. Sementara itu dalam penelitian
lain, Sumartono et al (2017) mensintesis biodiesel dari minyak biji carica Dieng sebagai
bahan baku biodiesel menggunakan metode reaksi esterifikasi-transesterifikasi dengan
perbandingan minyak dan alkohol 6 : 1 dan katalis kalium hidroksida 1% dari massa
minyak. Kondisi operasional dilakukan pada suhu 60 ˚C selama 120 menit menghasilkan
rendemen metil ester sebesar 67%. Berdasarkan perbandingan metil ester yang
dihasilkan, penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel dinilai lebih
efektif.
Proses pembuatan biodiesel dibutuhkan alkohol sebagai salah satu reaktannya. Alkohol
dibutuhkan dalam jumlah yang berlebih untuk menggeser keseimbangan reaksi ke arah
produk. Oleh karena itu, keberadaan alkohol sangat perlu dalam reaksi esterifikasi
maupun transesterifikasi. Metanol adalah jenis alkohol yang paling diminati, karena
mempunyai reaktivitas yang paling tinggi di antara jenis yang lainnya. Sifat reaktif
metanol terkait dengan rantai atom C yang dimilikinya. Rantai atom C alkohol yang
pendek akan memperkecil hambatan sterik pada saat penyerangan gugus karbonil
trigliserida berlangsung (Budiman dkk, 2017). Metanol (CH3OH) memiliki tingkat
toksisitas yang tinggi, mempunyai densitas sebesar 0,792 g/ml. Titik leleh metanol ialah
-104°C dan titik didihnya yaitu 64,7°C Metanol sedikit larut dalam air, eter dan etanol
dengan kelarutan kurang dari 10%. Metanol murni sangat mudah terbakar dan pada suhu
330°C tekanan 1 atm metanol berada dalam fase cair (Budiman dkk, 2017).

Daftar Pustaka
Agarwal, A.K. dan L.M. Das, 2001. “Biodiesel Develovment and Characterization for Use
as a Fuel in Compression Ignition Engines”, Madison: University of Wisconsin
Astuti, E. & Mufrodi, Z., 2017. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas Proses
Kontinyu : Uji Kualitas. Simposium Nasional Teknologi Terapan, Volume 5, pp. 342-
346.

Anda mungkin juga menyukai