Anda di halaman 1dari 43

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pneumotoraks
2.1.1 Definisi

Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga potensial
diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan normal rongga pleura di penuhi
oleh paru – paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan
permukaaan ( tekanan negatif ) antara kedua permukaan pleura,adanya udara pada rongga
potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru terdesak sesuai
dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura tersebut, semakin banyak udara
yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena
terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada intrapleura. Secara otomatis
terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan atauorgan, akibat darah yang
menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami proses ventilasi, sehingga proses
oksigenasi tidak terjadi.
Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma (British Thoracic Society 2003). Tension pneumothorax
disebabkan karena tekanan positif pada saat udara masuk ke pleura pada saat inspirasi.
Pneumothorax dapat menyebabkan cardiorespiratory distress dan cardiac arrest.
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara atau gas dalam rongga pleura, yang berada
antara paru-paru dan toraks. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan pada orang tanpa
kondisi paru-paru kronis (biasa disebut Pneumotoraks Primer) dan orang dengan penyakit
paru-paru (Pneumotoraks Sekunder). Selain itu, banyak juga ditemui kasus pneumotoraks
yang disebabkan trauma fisik pada dada, cedera akibat ledakan atau komplikasi dari berbagai
pengobatan. Udara dapat ke luar dari paru-paru ke rongga pleura saat kantung udara di paru-
paru, atau bulla, meledak. Latihan fisik secara berlebihan dapat mendorong terjadinya
pneumotoraks. Komplikasi kondisi paru-paru seperti asma dan chronic obstructive
pulmonary disease juga dapat memicu kondisi ini.

1.1.2 Patogenesis
Udara dapat masuk ke dalam rongga pleura melalui lesi pada pleura, baik pleura
viseralis ataupun parietalis. Trauma pada dinding dada dapat merobek dinding dada
beserta pleura parietalis, dan akan terjadi pneumotoraks traumatik karena udara
atmosferlangsung menembus dinding dada dan masuk ke dalam rongga pleura. Jika lesi
berada pada pleura viseralis, udara atmosfer yang masuk akan melewati saluran napas
terlebih dahulu. Jika penyebab pneumotoraks tidak diketahui, kasusnya disebut sebagai
pneumotoraks spontan, biasanya penderitanya laki-laki muda yang memiliki habitus lebih
tinggi dan kurus.Jika pneumotoraks diketahui sebagai komplikasi suatu penyakit yang
mendasarinya, kasus ini disebut sebagai pneumotoraks akibat penyakit tersebut
(secondary to pneumotorax to emphysema) (Djojodibroto, 2016).
1.1.3 Etiologi

Di RSU Dr. Sutomo, lebih kurang 55% kasus Pneumothoraks disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau
emfisema lokal, bronchitis kronis dan emfisema. Selain penyakit tersebut diatas,
pneumotorak dapat terjadi pada wanita dapat terjadi saat menstruasi dan sering berulang,
keadaan ini disebut pneumothoraks katamenial yang disebabkan oleh endometriosis di pleura.
Pneumotorak dapat terjadi secara artificial, dengan operasi atau tanpa operasi, atau
timbul spontan.
Pneumotoraks artifisial disebabkan tindakan tertentu atau memang disengaja untuk
tujuan tertentu, yaitu tindakan terapi dan diagnosis.
Pneumotorak traumatik terjadi karena penetrasi, luka tajam pada dada, dan karena
tindakan operasi.
Pneumotoraks spontan terjadi tanpa adanya trauma. Pneumotoraks jenis ini dapat
dibagi dalam:
1. Pneumotoraks spontan primer. Disini etiologi tidak diketahui sama sekali
2. Pneumothorak spontan sekunder. Terdapat penyakit paru atau penyakit dada sebagai
faktor predisposisinya.

2.1.3 Epidemiologi

Kekerapan pneumotoraks berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 penduduk per tahun.
Menurut Barrie dkk, seks ratio laki-laki : perempuan 5:1. Pneumotoraks lebih sering
ditemukan pada hemitoraks kanan daripada hemitoraks kiri. Pneumotoraks bilateral kira-kira
2% dari seluruh pneumotoraks spontan. Kekerapan pneumotoraks ventil 3 – 5% dari
pneumotoraks spontan.
Laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20¬30
(4, 14) tahunPneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun
sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering pada
orang -orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang
mempunyai kebiasaan merokok .Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dari pada kiri.

2.1.4 Patofisiologi

Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan
proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang yang menyusun struktur
pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot
pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi 6 .Jika salah satu dari
dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan
oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat
kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan
akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-
paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya 4 di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat
masukkedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada
kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah
ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36cmH2O) yang
sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada
rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal
atau visceral, atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura yang akan
pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,
apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol meningkat maka udara dengan
mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan
obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya
robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveol dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan
menimbulkan pneumotorak sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum. Dari mediastinum udara mencari jalan menuju ke atas, ke jaringan ikat
yang longgar sehingga mudah ditembus oleh udara. Dari leher udara menyebar merata ke
bawah kulit leher dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema subkutis. Emfisema
subkutis dapat meluas ke arah perut hingga mencapai skrotum.
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernafasan
dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan batuk, bersin dan mengejan.
Peningkatan tekanan intrabronkial akan mencapai puncak sesaat sebelum batuk, bersin,
mengejan, pada keadaan ini, glotis tertutup. Apabila di bagian perifer bronki atau alveol ada
bagian yang lemah, maka kemungkinan terjadi robekan bronki atau alveol akan sangat
mudah.
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara pleura
parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan
serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada
intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase
inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O;
sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O.
Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum
pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya :
1. Pneumotorak spontan karena primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi, keganasan),
neonatal
2. Pneumotorak yang didapat karena iatrogenik, barotrauma, trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis :
1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar menjadi :
1. Open pneumotorak
2. Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi yang
hampir sama. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura
visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan
ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat
inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.
Pengembangan paru menyebabkan tekanan intralveolar menjadi negatif sehingga
udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi ini bocor
masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada
saat ekspirasi mediastinal kembali lagi keposisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal
dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi
sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal
dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya
hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak.
Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena
elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini
semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke
sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka
yang bersifat katup tertutup, terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang
sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkungan
luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas
pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open
pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya
akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter.
Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi
cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala preshock atau shock oleh karena penekanan vena cava.
Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.

2.1.5 Tanda dan Gejala


Menurut Price dan Wilson (2006), tanda dan gejala Pneumotoraks adalah sebagai
berikut :
1. Dispnea (jika luas)
2. Nyeri pleuritik hebat
3. Trakea menjauhi sisi yang terkena pneumotorak
4. Takikardia
5. Sianosis (jika luas)
6. Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yangTerkena
7. Perkusi hipersonor di atas pneumotoraks
8. Perkusi meredup diatas paru yang kolaps
9. Suara napas berkurang.

2.1.6 Klasifikasi
Menurut Dewi (2011), klasifikasi pneumotoraks adalah sebagai
berikut:
A. Berdasarkan penyebabnya pneumotoraks dapat dibagi menjadidua yaitu:
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks ini
dapat diklasifikasikan lagi dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks ini disebabkan oleh ruptur kistakecil udara subpleural di
apeks (“blebs”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang
signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun)
bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. PSP merupakan jenis paling
sering pada pneumotoraks (prevalensi 8/10/tahun pada orang dengan tinggi
badan >1,9 m). Setelah PSP kedua, mungkin terjadi rekurensi
(>60%).Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis
yang menggunakan tindakanmedis (misalnya insersi bleomisin atau talkum
ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura)
dianjurkan (Ward, 2007).
b. Pneumotoraks spontan sekunder (SP)
SP dihubungkan dengan penyakit respirasi yangmerusak arsitektur paru,
paling sering bersifat (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK,
asma), fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia), dan kadang-kadang
gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, fibrosis kistik).
Insidensi SP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya
penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya dirawat di rumah sakit
karena meskipun SP kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang
berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada PSP besar.
Pasien ICU dengan penyakit paru sangat beresiko mengalami SP karena
tekanan tinggi (“barotrauma”)dan distensi pada alveolar (“volutrauma”)
akibat ventilasi mekanis. Strategi ventilasi “protektif” yang menggunakan
ventilasi bertekanan rendah, dengan volume terbatas mengurangi risiko
tersebut (Ward, 2007).
2. Pneumotoraks traumatik (iatrogenik)
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat trauma, baiktrauma penetrasi maupun
bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks jenis ini juga dapat diklasifikasikan lagi kedalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks traumatik non-iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental.
Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental adalah suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan
atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iotrogenik artifisial (deliberate).
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menialai
permukaan paru.
B. Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.Tekanan
didalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun
berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada
rongga pleura, meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.Pada
waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada
dada). Dalam tekanan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.
Pada pnuemotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Pada inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan jadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasimediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin tambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil.Pada saat inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka.Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar.Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi
dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura
ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.
C. Berdasarkan luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (<50% volume paru).
b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru
(>50% volume paru).
2.1.7 Pemeriksaan penunjang
Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnose pada pneumotorak dapat
dilakukan cara sebagai berikut :
1. GDA : Variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi
O2 biasanya menurun.
2. Sinar X dada : Menyatakan akumulasi urada atau cairan pada era pleura, dapat
menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal jantung.
3. Torasentesis : Menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak)
4. HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah (Doenges,
2005)
2.1.8 Komplikasi
Menurut Corwin, (2009) ada 2 komplikasi pada pneumotoraks yaitu:
1. Tension pneumotorax dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps, akibatnya
pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun. Paru yang sehat juga
dapat terkena dampaknya.
2. Pneumotoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat.
Kematian dapat terjadi.
Menurut Williams, (2013) komplikasi pneumotoraks adalah gangguan paru dan
gangguan sirkulasi yang fatal.

2.1.9 Penatalaksanaan

Dasar pengobatan pneumotoraks tergantung pada: berat dan lamanya keluhan atau
gejala, adanya riwayat pneumotoraks sebelumnya, jenis pekerjaan penderita. Sasaran
pengobatan adalah secepatnya mengembangkan paru yang sakit sehingga keluhan- keluhan
juga berkurang dan mencegah kambuh kembali.
Pneumotorak mula-mula diatasi dengan pengamatankonservatif bila kolaps paru-paru
20% atau kurang. Udara sedikit demi sedikit diabsorpsi melaului permukaan pleura yang
bertindak sebagai membran basah, yang memungkinkan difusi oksigen dan karbondioksida.
Tindakan Dekompresi
• Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara:
1. menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk ronga pleura
2. membuat hubungan dengan dunia luar melalui kontra ventil:
 Dapat memakai infus set
 Jarum abbocath
✓ Pipa water sealed drainage (WSD)
• Penghisapan terus-menerus (Continous suction)
• Pencabutan drain
Tindakan bedah
 Dicari lubang penyebab pneumotoraks dan dijahit
 Dekortikasi
 Reseksi
• Pleurodesis
Pengobatan tambahan
Bila terdapat proses lain di paru, pengobatan ditujukan terhadap proses penyebabnya:
 Terhadap bronkitis kronis:
 Terhadap proses tuberkulosis paru untuk mencegah obstipasi dan memperlancar defakasi
• Istirahat total

1. Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary


survey – secondary survey).
2. Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan).
3. Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :
portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan
melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
4. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk
menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
5. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah
melakukan prosedur penanganan trauma.

PENATALAKSANAAN PNEUMOTHORAKS (UMUM)

Tindakan dekompressi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada beberapa
cara :

1. Menusukkan jarum melalui diding dada sampai masuk ke rongga pleura, sehingga tekanan
udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu dengan :

a) Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk ke rongga pleura.
b) Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan dengan infus set.
c) WSD : pipa khusus yang steril dimasukkan ke rongga pleura.

PENATALAKSANAAN PNEUMOTHORAKS (SPESIFIK)


1. Pneumotoraks Simpel : Pneumotoraks Simpel adalah pneumotoraks yang tidak disertai
peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.

Ciri :

 Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
 Tidak ada mediastinal shift
 Pemeriksaan Fisik : bunyi napas menurun, hyperresonance (perkusi), pengembangan
dada menurun

Penatalaksanaan : Water Sealed Drainage (WSD)

2. Pneumotoraks Tension : Pneumotoraks tension adalah pneumotoraks yang disertai


peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada
pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi
tidak dapat keluar).

Ciri :

1. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinalshift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return menurun → hipotensi & respiratory distress berat.
2. Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP meningkat, asimetris statis & dinamis.
3. Merupakan keadaan life-threatening tidak perlu foto Rontgen.

Penatalaksanaan :

1. Dekompresi segera : large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. Water Sealed Drainage (WSD)
3. Open Pneumothorax : Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar
pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah.
Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-
wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan :

1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)


2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks
lain .Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

2.1.7 Prognosis

Pasien dengan pneumotoraks spontan mengalami pneumotorak ulangan, tetapi tidak


ada komplikasi jangka panjang dengan terapi yang berhasil.5 Kesembuhan dari kolap paru
secara umum membutuhkan waktu 1 sampai 2 minggu. Pneumotoraks tension dapat
menyebabkan kematian secara cepat berhubungan dengan curah jantung yang tidak adekuat
atau insufisiensi oksigen darah (hipoksemia), dan harus ditangani sebagai kedaruratan medis

2.2 Primary survey dan Secondary Survey


1.2.1 Primary Survey
Survei primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses melakukan
penilaian keadaan korban gawat darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE
untuk menentukan kondisi patofisiologis korban dan pertolongan yang dibutuhkan
dalam waktu emasnya. Penilaian keadaan korban gawat darurat dan prioritas terapi
dilakukan berdasarkaan jenis perlukaan, stabilitas tanda - tanda vital.
Adapun prioritas ABCDE yaitu :
a) Airway,menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol )
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan
gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran
jalan nafas. Menurut ATLS (Advanced Trauma Life Support) 2004, Kematian-
kematian dini karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat
disebabkan oleh :
a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung

Teknik-teknik mempertahankan airway :

a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara
meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat
leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri,
2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa
dagu kearah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan dibelakang gigi seri (incisor ) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift
tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini
berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada
pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri
berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar
pada maxila (Arifin, 2012)
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan
napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah
(Kene, davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang
sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga)
sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong
pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-
hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas
dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan
pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena
lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang
muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan
KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-
faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke
dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan
jalan nafas sudah bebas.
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau
trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan
pada penemuan - penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas
dengan cara-cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas
(GCS < 8)
6. ]Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling


sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal
merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada pasien yang
membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan
dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif
apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan
intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan
airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka
dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
- Lihat (look ), melihat naik turunnya dada yang simetris dan
pergerakan dinding dada yang adekuat.
- Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada
kedua sisi dada.
- ]Rasa ( feel ), merasa adanya hembusan nafas.
b) Breathing , menjaga pernafasan dengan ventilasi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh
memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang
reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus
dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Pada keadaan
normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam
aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak
dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt,
2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang
penting untuk pemberian oksigen.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan
menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang
efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang
dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan
pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai
bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien,
tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula,
ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit
kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama
(tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka
bersamasama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk
memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu
( squeeze-bag )

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya


airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan
melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks

c) Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control )


Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma
(Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian
dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai
tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat
merupakan tanda hipovolemia.

c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a.
femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama.

d) Disability, status neurologis


Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan
tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC
(Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam
mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey
sekunder. Adapun AVPU adalah :
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang


sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.

e) Exposure/environmental control , membuka baju penderita, tetapi


cegah hipotermia
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus
dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan
bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan
cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering
dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-
vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi.

1.2.2 Secondary Survey


Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda
syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimalharus
diperolehlangsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya,usia, dan
cacat atau Kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga ( Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat - obatan
herbal) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu apat dilakukan pengkajian PQRST saat pasien mengeluhkan
nyeri, adapun pengkajian PQRS adalah :
- P (Provokes/palliates) : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang
membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih
buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu
membuat anda terbangun saat tidur?
- Q (Quality) : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya? apakah
seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan katakatanya sendiri.
- R (Radiates) : apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
- S (Severity) : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan
0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
- T (Time) : kapan nyeri itu timbul? Berapa lama nyeri itu timbul?
Apakah terus menerus atau hilang timbul? apakah pernah merasakan
nyeri ini sebelumnya? apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya
atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah


pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi
nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri. Tanda-
tanda vital pada tahapan usia adalah sebagai berikut :

TTV Bayi Anak Remaja Dewasa Dewasa


tua
Nadi 120 – 130 80 – 90 70 - 80 70 - 80 60 - 70
RR 30 – 40 20 – 30 16 – 20 16 – 20 14 – 16
x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt x/mnt
TD 70-90/50 80-100/60 90-110/66 110-125/60- 130-
mmHg mmHg mmHg 70 mmHg 150/80-
90
mmHg
Suhu 36,5-37oC 36,5-37oC 36,5-37oC 36,5-37oC 36,5-
37oC

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan
adanya kelainan – kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh
dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi)
dan mendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond, 2009)
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari
riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik
adalah pada kemampuan fungsional pasien. Metode dan langkah
pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung
seluruh tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan.
Inspeksi adalah kegiatan aktif, proses ketika perawat harus
mengetahui apa yang dilihatnya dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan
dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau
tangan. Tangan dan jari adalah intrumen yang sensitif digunakan
untuk mengumpulkan data. Teknik palpasi dibagi menjadi dua :
- Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan
digunakan secara simultan. Tangan diletakkan pada area yang
dipalpasi, jari – jari ditekan kebawah perlahan sampai ada
hasil
- Palpasi dalam : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua
tangan. Satu tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi,
tangan lainnnya untuk menekan kebawah.
Cara pemeriksaan :

- Posisi pasien bisa tidur, duduk, atau berdiri


- Pastikan pasien dalam keadaan rileks denga posisi yang
nyaman
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Minta pasien untuk menarik nafas dalam agar meningkatkan
relaksasi otot
- Lakukan palpasi dengan sentuhan perlahaan dengan tekanan
ringan
- Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan,
menandakan kelainan
- Lakukan palpasi secara hati – hati apabila diduga adaanya
fraktur tulang
- Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah
- Rasakan dengan seksama kelainan organ atau jaringan, adanya
nodul, tumor bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal,
bersifat kasar atau lembut, ukurannya dan ada atau tidaknya
getaran/trill, serta ras nyeri raba atau tekan.

c. Perkusi
Adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi
getaran atau gelombang suara yang dihaantarkan kepermukaan
tubuh dari bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
dengan ketokan jari atau tangan pada permukaan tubuh karakter
bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk
dan kepadatan struktur dibawah kulit. Sifat gelombang suara
yaitusemakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan
udara atau gas paling resonan.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks
- Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi
otot
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis
- Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan
oleh perkusi. Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada
tinggi, waktu agak lama dan kualitas seprti drum (lambung).
Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada rendah,
waktu lama, kualitas bergema (paru normal). Bunyi hipersonar
mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kuaalitas
ledakan (empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas
lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama,
kualitas seprti petir (hati).

d. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya
menggunakan stetoskop. Hal – hal yang di dengarkan adalah
bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus. Penilaian pemeriksaan
auskultasi meliputi :
- Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran per menit.
- Durasi yaitu lam bunyi yang terdengar
- Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat atau lemahnya suara
- Kualitas yaitu warna nada atau variasi suara

Cara pemeriksaan :

- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri


- Pastikan pasien dalam keadaan rileks dengan posisi yang
nyaman
- Pastikan stetoskop sudah terpasang baik.
- Pasanglah ujung stetoskop bagian telinga ke lubang telinga
pemeriksa sesuai arah
- Hangatkan dulu kepala stetoskop dengan cara
menempelkan pada telapak tangan pemeriksa
- Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh yang akan
diperiksa
- Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan
bunyi bernada rendah pada tekanan ringan yaitu pada
bunyi jantung dan faskuler serta gunakan diafragma stetoskop
saat melakukan pemeriksaan untuk bunyi bernada tinggi
seperti bunyi usus dan paru.

Pemeriksaan Head to Toe :

Pemeriksaan tubuh pasien secara keseluruhan atau


hanya beberapa bagian saja yang dianggap perlu oleh dokter yang
bersangkutan

Sebelum melakukan pemeriksaan fisik perawat harus melakukan


kontrak dengan pasien, yang didalamnya ada penjelasan maksud
dan tujuan, waktu yang di perlukan dan terminasi/mengakhiri.

1) Pemeriksaan Kulit, Rambut dan Kuku


2) Pemeriksaan kepala
3) Leher
4) Dada / Thorax
a) Paru / pulmonalis
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk, kesimetrisan, ekspansi
paru
- Untuk mengetahui frekuensi, irama pernafasan
- Untuk mengetahui adanynyeri tekan, adanya massa,
peradangan, edema, taktil fremitus
- Untuk mengetahui batas paru dengan organ
disekitarnya
- Mendengarkan bunyi paru / adanya sumbatan aliran
udara

Tindakan :

- Inspeksi : Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati


adanya retraksi interkosta, amati gerkkan paru, Amati
klavikula dan scapula simetris atau tidak
- Palpasi :
Palpasi ekspansi paru :
 Berdiri di depan klien dan taruh kedua telapak
tangan pemeriksa di dada dibawah papilla,
anjurkan pasien menarik nafas dalam, rasakkan
apakah sama paru.
 Berdiri deblakang pasien, taruh telapak tangan
pada garis bawah scapula/setinggi costa ke-10,
ibu jari ka.ki di dekatkan jangan samapai
menempel, dan jari-jari diregangkan lebih
kurang 5 cm dari ibu jari. Suruh pasien kembali
menarik nafas dalam dan amati gerkkan ibu jari
ka.ki sama atau tidak

Palpasi Taktil vremitus posterior dan anterior

 Meletakkan telapak tangan kanan di belakang


dada tepat pada apex paru/stinggi supra scapula
(posisi posterior)
 Menginstrusikkan pasien untuk mengucapkkan
kata “Sembilan-sembilan” (nada rendah)
 Minta klien untuk mengulangi mengucapkkan
kata tersebut, sambil pemeriksa mengerakkan
ke posisi kemudian kebawah sampai pada basal paru atau
setinggi vertebra thoraxkal ke-12.
 Bandingkan vremitus pada kedua sisi paru
 Bila fremitus redup minta pasien bicara lebih
rendah
 Ulangi/lakukkan pada dada anterior
- Perkusi :
 Atur pasien dengan posisi supinasi
 Untuk perkusi anterior dimulai batas clavikula
lalu kebawah sampai intercosta 5 tentukkan batas
paru ka.ki (bunyi paru normal : sonor seluruh
lapang paru, batas paru hepar dan jantung:
redup)
 Jika ada edema paru dan efusi plura suara
meredup

- Auskultasi :
 Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa
dan bell pada anak
 Letakkan stetoskop pada interkostalis,
menginstruksikkan pasien untuk nafas pelan
kemudian dalam dan dengarkkan bunyi nafas:
vesikuler/wheezing/creckels

b) Jantung / Cordis
Tindakan :
- Inspeksi : Amati denyut apek jantung pada area
midsternu lebih kurang 2 cm disamping bawah
xifoideus
- Palpasi :
 Merasakan adanya pulsasi
 Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk
menentukkan area aorta dan spasium interkosta ke-
2 kiri letak pulmonal kiri.
 Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk
mengetahui area trikuspidalis/ventikuler amati
adanya pulsasi
 Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral
5-7 cm ke garis midklavicula kiri dimana akan
ditemukkan daerah apical jantung atau PMI
( point of maximal impuls) temukkan pulsasi
kuat pada area ini.
 Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada
area epigastika atau dibawah sternum

- Perkusi :
 Perkusi dari arah lateral ke medial untuk
menentukkan batas jantung bagian kiri,
 Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri
untuk mengetahui batas jantung kanan.
 Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui
batas atas dan bawah jantung
 Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada
pada daerah perkusi

- Auskultasi :
 Menganjurkkan pasien bernafas normal dan
menahanya saat ekspirasi selesai
 Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan
stetoskop pada interkostalis ke-5 sambil
menekan arteri carotis ( Bunyi S1: dengarkan
suara “LUB” yaitu bunyi dari menutupnya katub
mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis pada waktu
sistolik; Bunyi S2: dengarkan suar a “DUB” yaitu bunyi
menutupnya katub semilunaris (aorta dan pulmonalis)
pada saat diastolic; Adapun bunyi : S3: gagal jantung
“LUB-DUBCEE…” S4: pada pasien hipertensi “DEE..-
LUB-DUB”)

5) Perut / Abdomen
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
- Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
- Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam
abdomen

Tindakan :

- Inspeksi : Amati bentuk perut secara umum, warna kulit,


adanya retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan,
adanya asites
- Palpasi : Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa
dan respon nyeri tekan letakkan telapak tangan pada
abdomen secara berhimpitan dan tekan secara mmerata
sesuai kuadran.Palpasi dalam: Untuk mengetahui posisi
organ dalam seperi hepar, ginjal, limpa dengan metode
bimanual/2 tangan

6) Rektum dan Anal

Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada
rectal/hemoroid

Tindakan :

- Inspeksi : Inspeksi jaringan perineal dan jaringan


sekitarnya kaji adanya lesi dan ulkus
- Palpasi : ulaskan zat pelumas dan masukkan jari-jari ke
rectal dan rasakan adanya nodul dan atau pelebaran vena
pada rectum

7) Pemeriksaan Muskuloskeletal
Tujuan :
- Untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan
persendian
- Untuk mengetahui mobilitas, kekuatan otot, dan
gangguan-gangguan pada daerah tertentu

2.3. Asuhan Keperawatan Kasus

A. PENGKAJIAN

Identitas Pasien
Nama : Tn.
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Agama :-
Tanggal Masuk RS :-
Penanggung Jawab :

Diagnosa Medis : Pneumotorax Kanan

PENGKAJIAN PRIMER
Jalan Nafas :  Tidak Paten
Paten
Obstruksi:  Lidah Cairan Benda Asing  Tidak Ada

Muntahan  Darah Oedema

Suara Nafas : PSnoringGurgling crowing


AIRW

Tidak ada
Keluhan Lain: mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin
bertambah

Nafas :  Spontan  Tidak Spontan


Gerakan dinding dada:  Simetris  Asimetris
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur

Jenis :  Dispnoe  Kusmaul  Cyene Stoke  Lain… …


BREATHING

Suara Paru :  Vesikuler  Wheezing  Ronchi


Sesak Nafas :  Ada  Tidak
Ada Cuping hidung  Ada PTidak
Ada
Retraksi otot bantu nafas : Ada P Tidak Ada
Pernafasan :  Pernafasan Dada  Pernafasan Perut
RR : 32 x/mnt
Keluhan Lain: sesak nafas yang semakin bertambah
Nadi : 130 x/mnt
Tekanan Darah : 90/70
mmHg
Pucat :  Ya  Tidak

Sianosis : Ya  Tidak


CIRCULATION

CRT :  < 2 detik  > 2


detik
Akral :  Hangat  Dingin  S: 33 C
Pendarahan :  Ya, Lokasi: femur dextra  Tidak
ada Turgor :  Elastis  Lambat
Diaphoresis: Ya Tidak

Riwayat Kehilangan cairan berlebihan:  Diare  Muntah  Luka


bakar
Keluhan Lain: -

Kesadaran:  Composmentis Delirium  Somnolen  Koma


GCS : 8
DISABILITY

Pupil : Isokor  Unisokor  Pinpoint


 Medriasis

Refleks Cahaya:  Ada  Tidak


Ada Kekuatan Otot : -
Keluhan Lain : … …
E Deformitas :  Ya  Tidak  Lokasi dinding dada
X Contusio :  Ya  Tidak  Lokasi dinding dada
P Abrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
O Penetrasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
S
Laserasi :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...
U
Edema :  Ya Tidak  Lokasi
R
E Luka Bakar :  Ya  Tidak  Lokasi ... ...

Grade...........%

Jika ada luka/ vulnus,


kaji: Luas Luka : ...
...
Warna dasar luka: ... ...

Kedalaman : ... ...

Lain-lain : ... ...


Vital sign monitor

- Suhu : 37 C

- Frekuensi nafas : 32x/mnt

- Frekuensi nadi : 130 X/mnt

- Tensi : 0/70 mmHg


Heart monitor : -

Adapun pengkajian sekunder (Planas & Waseem,


2017)berdasarkan kasus yaitu sebagai berikut.
1. F: Five Intervention

a.
Monitoring SaO2 : tidak terkaji

b.
Monitoring EKG : tidak terkaji
c.
Pemasangan NGT : tidak terkaji
d.
Kateter Urine : tidak terkaji
e.
Pemeriksaan Lab : tidak terkaji

2. G: Give Comfort
a.
Onset : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri.
b.
Predispositin/ problem : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri ,dada terbentur stang motor dan nyeri pada
bahu sebelah kiri.

c.
Quality : -
d.
Region/ Range : Pasien mengatakan nyeri pada bahu
kiri.
e.
Severity :-
f.
Treatment :-
g.
Understanding : -
h.
Values :-
3. H1 (SAMPLE)
a.
Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri dada, sesak
nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri terasa
nyeri.
b.
Sign/ Tanda Gejala : . Nafas cepat dan dangkal,
suara tambahan didapatkan (gurgling dan snoring). Terdapat jejas
pada thorax kanan, JVP meningkat, pergerakan dada
kanantertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun,
emfisema sub cuti (+). Regio bahu kiri terdapat jejas (+),
perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+), deformitas (+),
nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).
c.
Allergi :-
d.
Medication/ Pengobatan : -
e.
Past Medical History : -
f.
Last Oral Intake/ Makan terakhir : -
g.
Event leading injury : pasien mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan tinggi, menabrak pohon
ketika menghindari hewan yang melintas.
Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada
terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah
kiri.
4. H2 (head toe toe)
a.
Kepala dan wajah : -
b.
Leher : Tidak ada kaku leher, tidak ada krepitasi
tulang, tidak ada edema.
c.
Dada : Terdapat jejas pada thorax kanan, JVP
meningkat, pergerakan dada kanan tertinggal,
perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun,
emfisema sub cuti (+).
d.
Abdomen dan Pinggang : -
e.
Pelvis dan Perineum : Tidak terdapat perdarahan maupun cedera.
f.
Ekstremitas : perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+),
deformitas (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).

5. Inspection of Back

Inspection of Back : Tidak


terdapat luka terbuka pada punggung pasien, tidak
terdapat perdarahan, tidak terdapat krepitasi dan
deformitas pada tulang belakang
Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH

KEPERAWATAN
DS :
Trauma
1. Sesak nafas Ketidakefektifan pola
tumpul
nafas
thorax
DO :
sinistra
1. Kesadaran GCS 8
2. Nafas cepat dan dangkal
3. Adanya suara tambahan
(gurgling dan snoring)
4. Nadi: 130 x/menit
5. TD: 90/70 mmHg
6. Suhu: 37 derajat C
7. RR: 32x/menit
8. Terdapat jejas pada thorax
kanan
9. JVP meningkat
10. Pergerakan dada kanan
tertinggal
11. Perkusi hipersonor
12. Auskultasi vesikuler menurun
13. Emfisema subcuti (+)
14. Regio bahu kiri terdapat jejas
(+)

DS Nyeri Akut
Agen
1. Pasien mengeluh nyeri
Pencedara
2. Bahu kiri terasa nyeri
Fisik
DO : (D.0077)
1. Nyeri tekan (+)
2. Regio bahu kiri terdapat
jejas (+)
3. Emfisema subcuti (+)
4. Perdarahan aktif di femur
dextra (+)
5. Oedem (+)
6. Deformitas (+)
7. Krepitasi (+)
8. RR: 32x/menit
9. Terdapat jejas pada thorax
kanan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DIAGNOSA PRIMER

1. Ketidakefektifan pola napas b.d

Trauma tumpul thorax sinistra

DIAGNOSA SEKUNDER

1.Nyeri akut b.d trauma tumpul


C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan Intervensi

keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukanasuhan NIC LABEL:
Pola Nafas keperawatan selama 1x4jam
Manajemen jalannafas
pola pernafasan pasienefektif.
1. Posisikan pasienuntuk memaksimalkan
Dengan kriteria hasil
ventilasi
NOC LABEL:
2. Buka jalan nafaspasien denganteknik chin lift
Status pernafasanventilasi atau sebagaimana mestinya
1. Frekuensi nafas normal 3. Auskultasi suaranafas, catat areayang
2. Tidak ada ventilasinya menurun dan Adanya
suara nafas tambahan
suara nafastambahan
Manajemen ventilasi mekanikinvasif
3. Tidak ada retraksi pada
1. Monitor kondisiyang mengindikasikanperlunya
dinding dada
dukungan ventilasi
4. Pengembangan dinding dada
2. Konsultasikan dengan petugaskesehatan
simetris
dalampemilihan jenisventilator yang akan
5. Tidak adagangguan suara
digunakan
pada saatauskultasi
3. Dapatkan data dasar pengkajian seluruh tubuh
pasien
4. Monitor adanya penurunan volume yang
dihembuskan dan peningkatan pernafasan
5. Dokumentasikan semua respon pasien terhadap
ventilator danperubahan pada ventilator
6. Pastikan peralatan emergensi tersedia di sisi
tempat tidur pasien sepanjang waktu

Nyeri akut b.d Setelah dilakukanasuhan Manajemen Nyeri (I. 08238)


trauma tumpul keperawatan selama 1x4jam
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Tingkat Nyeri menurun
(L.08066)
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun
2. Identifikasi skala nyeri
2. Meringis, sikap protektif, dan
gelisah menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal

3. Kesulitan tidur menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan

4. Anoreksia menurun memperingan nyeri


5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
5. Mual muntah menurun
nyeri
6. Frekuensi nadi dan tekanan
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
darah membaik
nyeri
7. Nafsu makan dan pola tidur
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
membaik
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
10. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
14. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
16. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
17. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
18. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
19. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS. (2007). Pneumothorax : An Update.
Postgrad Med J 83(981):461-5

Djojodibroto.(2016). Respirologi. Jakarta. Buku Kedokteran EGC.

Doenges, Maryllin E, 2006, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakarta:

EGC. Hisyam B, Budiono E. (2009). Pneumotoraks Spontan. Dalam : Sudoyo

AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing, pp: 2339-46.

Posner K, Needleman JP. (2008). Pneumothorax. N Engl J Med 342 :868-74

PPNI, 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan


II. DPP PPNI. Jakarta
PPNI, 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan
II. DPP PPNI. Jakarta
PPNI, 2019. Standart I Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan
II. DPP PPNI. Jakarta

Ward, dkk.(2007). Sistem Respirasi. Jakarta. Erlangga

Anda mungkin juga menyukai