Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
2.1 Pneumotoraks
2.1.1 Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga potensial
diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan normal rongga pleura di penuhi
oleh paru – paru yang mengembang pada saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan
permukaaan ( tekanan negatif ) antara kedua permukaan pleura,adanya udara pada rongga
potensial di antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru terdesak sesuai
dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura tersebut, semakin banyak udara
yang masuk kedalam rongga pleura akan menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena
terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada intrapleura. Secara otomatis
terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen kejaringan atauorgan, akibat darah yang
menuju kedalam paru yang kolaps tidak mengalami proses ventilasi, sehingga proses
oksigenasi tidak terjadi.
Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura. Pneumothorax dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma (British Thoracic Society 2003). Tension pneumothorax
disebabkan karena tekanan positif pada saat udara masuk ke pleura pada saat inspirasi.
Pneumothorax dapat menyebabkan cardiorespiratory distress dan cardiac arrest.
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara atau gas dalam rongga pleura, yang berada
antara paru-paru dan toraks. Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan pada orang tanpa
kondisi paru-paru kronis (biasa disebut Pneumotoraks Primer) dan orang dengan penyakit
paru-paru (Pneumotoraks Sekunder). Selain itu, banyak juga ditemui kasus pneumotoraks
yang disebabkan trauma fisik pada dada, cedera akibat ledakan atau komplikasi dari berbagai
pengobatan. Udara dapat ke luar dari paru-paru ke rongga pleura saat kantung udara di paru-
paru, atau bulla, meledak. Latihan fisik secara berlebihan dapat mendorong terjadinya
pneumotoraks. Komplikasi kondisi paru-paru seperti asma dan chronic obstructive
pulmonary disease juga dapat memicu kondisi ini.
1.1.2 Patogenesis
Udara dapat masuk ke dalam rongga pleura melalui lesi pada pleura, baik pleura
viseralis ataupun parietalis. Trauma pada dinding dada dapat merobek dinding dada
beserta pleura parietalis, dan akan terjadi pneumotoraks traumatik karena udara
atmosferlangsung menembus dinding dada dan masuk ke dalam rongga pleura. Jika lesi
berada pada pleura viseralis, udara atmosfer yang masuk akan melewati saluran napas
terlebih dahulu. Jika penyebab pneumotoraks tidak diketahui, kasusnya disebut sebagai
pneumotoraks spontan, biasanya penderitanya laki-laki muda yang memiliki habitus lebih
tinggi dan kurus.Jika pneumotoraks diketahui sebagai komplikasi suatu penyakit yang
mendasarinya, kasus ini disebut sebagai pneumotoraks akibat penyakit tersebut
(secondary to pneumotorax to emphysema) (Djojodibroto, 2016).
1.1.3 Etiologi
Di RSU Dr. Sutomo, lebih kurang 55% kasus Pneumothoraks disebabkan oleh
penyakit dasar seperti tuberkulosis paru aktif, tuberkulosis paru disertai fibrosis atau
emfisema lokal, bronchitis kronis dan emfisema. Selain penyakit tersebut diatas,
pneumotorak dapat terjadi pada wanita dapat terjadi saat menstruasi dan sering berulang,
keadaan ini disebut pneumothoraks katamenial yang disebabkan oleh endometriosis di pleura.
Pneumotorak dapat terjadi secara artificial, dengan operasi atau tanpa operasi, atau
timbul spontan.
Pneumotoraks artifisial disebabkan tindakan tertentu atau memang disengaja untuk
tujuan tertentu, yaitu tindakan terapi dan diagnosis.
Pneumotorak traumatik terjadi karena penetrasi, luka tajam pada dada, dan karena
tindakan operasi.
Pneumotoraks spontan terjadi tanpa adanya trauma. Pneumotoraks jenis ini dapat
dibagi dalam:
1. Pneumotoraks spontan primer. Disini etiologi tidak diketahui sama sekali
2. Pneumothorak spontan sekunder. Terdapat penyakit paru atau penyakit dada sebagai
faktor predisposisinya.
2.1.3 Epidemiologi
Kekerapan pneumotoraks berkisar antara 2,4 – 17,8 per 100.000 penduduk per tahun.
Menurut Barrie dkk, seks ratio laki-laki : perempuan 5:1. Pneumotoraks lebih sering
ditemukan pada hemitoraks kanan daripada hemitoraks kiri. Pneumotoraks bilateral kira-kira
2% dari seluruh pneumotoraks spontan. Kekerapan pneumotoraks ventil 3 – 5% dari
pneumotoraks spontan.
Laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20¬30
(4, 14) tahunPneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun
sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering pada
orang -orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang
mempunyai kebiasaan merokok .Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dari pada kiri.
2.1.4 Patofisiologi
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan
proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang – tulang yang menyusun struktur
pernapasan seperti tulang klafikula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot
pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi 6 .Jika salah satu dari
dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan
oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat
kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail chest atau kerusakan pada otot pernapasan
akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-
paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya 4 di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat
masukkedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada
kapiler pembuluh darah rata-rata (706 mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah
ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36cmH2O) yang
sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada
rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal
atau visceral, atau disebabkan kelainan konginetal adanya bula pada subpleura yang akan
pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura.
Alveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,
apabila alveol tersebut melebar dan tekanan di dalam alveol meningkat maka udara dengan
mudah menuju ke jaringan peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan
obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan terjadinya
robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari alveol dapat mengoyak jaringan fibrotik
peribronkovaskular. Robekan pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan
menimbulkan pneumotorak sedangkan robekan yang mengarah ke hilus dapat menimbulkan
pneumomediastinum. Dari mediastinum udara mencari jalan menuju ke atas, ke jaringan ikat
yang longgar sehingga mudah ditembus oleh udara. Dari leher udara menyebar merata ke
bawah kulit leher dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema subkutis. Emfisema
subkutis dapat meluas ke arah perut hingga mencapai skrotum.
Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernafasan
dan akan meningkat lebih besar lagi pada permulaan batuk, bersin dan mengejan.
Peningkatan tekanan intrabronkial akan mencapai puncak sesaat sebelum batuk, bersin,
mengejan, pada keadaan ini, glotis tertutup. Apabila di bagian perifer bronki atau alveol ada
bagian yang lemah, maka kemungkinan terjadi robekan bronki atau alveol akan sangat
mudah.
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara pleura
parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan
serous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif pada
intrapleura membantu dalam proses respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase
inspirasi dan fase eksprasi. Pada fase inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O;
sedangkan pada fase ekspirasi tekanan intrapleura: -3 s/d -6 cmH2O.
Pneumotorak adalah adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum
pleura menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu pada proses respirasi.
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya :
1. Pneumotorak spontan karena primer (ruptur bleb), sekunder (infeksi, keganasan),
neonatal
2. Pneumotorak yang didapat karena iatrogenik, barotrauma, trauma
Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis :
1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan luar menjadi :
1. Open pneumotorak
2. Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar patofisiologi yang
hampir sama. Pneumotorak spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura
visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura visceralis yang lemah ini pecah, maka akan
ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura. Mekanismenya pada saat
inspirasi rongga dada mengembang, disertai pengembangan cavum pleura yang kemudian
menyebabkan paru dipaksa ikut mengembang, seperti balon yang dihisap.
Pengembangan paru menyebabkan tekanan intralveolar menjadi negatif sehingga
udara luar masuk. Pada pneumotorak spontan, paru-paru kolaps, udara inspirasi ini bocor
masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif. Pada saat inspirasi akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada
saat ekspirasi mediastinal kembali lagi keposisi semula. Proses yang terjadi ini dikenal
dengan mediastinal flutter.
Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru sisi
sebaliknya masih bisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan sempurna.
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock atau shock dikenal
dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya udara pada cavum pleura dengan tidak adanya
hubungan dengan lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak.
Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena
elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses ini
semakin berlanjut, hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke
sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka
yang bersifat katup tertutup, terjadilah penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang
sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh
karena penekanan vena cava. Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan lingkungan
luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan dapat inkomplit (sebatas
pleura parietalis) atau komplit (pleura parietalis dan visceralis). Bilamana terjadi open
pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura.
Akibatnya paru tidak dapat mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya
akan terjadi hiperekspansi cavum pleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser ke mediastinal yang sehat. Terjadilah mediastinal flutter.
Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi dapat terjadi hiperekspansi
cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada cavum pleura dan paru karena luka yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah
penekanan vena cava, shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas.
Akibatnya dapat timbulah gejala preshock atau shock oleh karena penekanan vena cava.
Kejadian ini dikenal dengan tension pneumotorak.
2.1.6 Klasifikasi
Menurut Dewi (2011), klasifikasi pneumotoraks adalah sebagai
berikut:
A. Berdasarkan penyebabnya pneumotoraks dapat dibagi menjadidua yaitu:
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks ini
dapat diklasifikasikan lagi dalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks ini disebabkan oleh ruptur kistakecil udara subpleural di
apeks (“blebs”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang
signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun)
bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. PSP merupakan jenis paling
sering pada pneumotoraks (prevalensi 8/10/tahun pada orang dengan tinggi
badan >1,9 m). Setelah PSP kedua, mungkin terjadi rekurensi
(>60%).Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis
yang menggunakan tindakanmedis (misalnya insersi bleomisin atau talkum
ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura)
dianjurkan (Ward, 2007).
b. Pneumotoraks spontan sekunder (SP)
SP dihubungkan dengan penyakit respirasi yangmerusak arsitektur paru,
paling sering bersifat (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK,
asma), fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia), dan kadang-kadang
gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, fibrosis kistik).
Insidensi SP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya
penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya dirawat di rumah sakit
karena meskipun SP kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang
berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada PSP besar.
Pasien ICU dengan penyakit paru sangat beresiko mengalami SP karena
tekanan tinggi (“barotrauma”)dan distensi pada alveolar (“volutrauma”)
akibat ventilasi mekanis. Strategi ventilasi “protektif” yang menggunakan
ventilasi bertekanan rendah, dengan volume terbatas mengurangi risiko
tersebut (Ward, 2007).
2. Pneumotoraks traumatik (iatrogenik)
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat trauma, baiktrauma penetrasi maupun
bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks jenis ini juga dapat diklasifikasikan lagi kedalam dua jenis, yaitu:
a. Pneumotoraks traumatik non-iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iotrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental.
Pneumotoraks traumatik iotrogenik aksidental adalah suatu
pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan
atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iotrogenik artifisial (deliberate).
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menialai
permukaan paru.
B. Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.Tekanan
didalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun
berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada
rongga pleura, meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.Pada
waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif.
2. Pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada
dada). Dalam tekanan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.
Pada pnuemotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan.
Pada inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan jadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasimediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang
terluka (sucking wound).
3. Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin tambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil.Pada saat inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka.Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat
keluar.Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi
dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura
ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.
C. Berdasarkan luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
a. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil
paru (<50% volume paru).
b. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru
(>50% volume paru).
2.1.7 Pemeriksaan penunjang
Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnose pada pneumotorak dapat
dilakukan cara sebagai berikut :
1. GDA : Variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi,
gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi
O2 biasanya menurun.
2. Sinar X dada : Menyatakan akumulasi urada atau cairan pada era pleura, dapat
menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal jantung.
3. Torasentesis : Menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak)
4. HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah (Doenges,
2005)
2.1.8 Komplikasi
Menurut Corwin, (2009) ada 2 komplikasi pada pneumotoraks yaitu:
1. Tension pneumotorax dapat menyebabkan pembuluh darah kolaps, akibatnya
pengisian jantung menurun sehingga tekanan darah menurun. Paru yang sehat juga
dapat terkena dampaknya.
2. Pneumotoraks dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat.
Kematian dapat terjadi.
Menurut Williams, (2013) komplikasi pneumotoraks adalah gangguan paru dan
gangguan sirkulasi yang fatal.
2.1.9 Penatalaksanaan
Dasar pengobatan pneumotoraks tergantung pada: berat dan lamanya keluhan atau
gejala, adanya riwayat pneumotoraks sebelumnya, jenis pekerjaan penderita. Sasaran
pengobatan adalah secepatnya mengembangkan paru yang sakit sehingga keluhan- keluhan
juga berkurang dan mencegah kambuh kembali.
Pneumotorak mula-mula diatasi dengan pengamatankonservatif bila kolaps paru-paru
20% atau kurang. Udara sedikit demi sedikit diabsorpsi melaului permukaan pleura yang
bertindak sebagai membran basah, yang memungkinkan difusi oksigen dan karbondioksida.
Tindakan Dekompresi
• Membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan cara:
1. menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk ronga pleura
2. membuat hubungan dengan dunia luar melalui kontra ventil:
Dapat memakai infus set
Jarum abbocath
✓ Pipa water sealed drainage (WSD)
• Penghisapan terus-menerus (Continous suction)
• Pencabutan drain
Tindakan bedah
Dicari lubang penyebab pneumotoraks dan dijahit
Dekortikasi
Reseksi
• Pleurodesis
Pengobatan tambahan
Bila terdapat proses lain di paru, pengobatan ditujukan terhadap proses penyebabnya:
Terhadap bronkitis kronis:
Terhadap proses tuberkulosis paru untuk mencegah obstipasi dan memperlancar defakasi
• Istirahat total
Tindakan dekompressi yaitu membuat hubungan rongga pleura dengan udara luar, ada beberapa
cara :
1. Menusukkan jarum melalui diding dada sampai masuk ke rongga pleura, sehingga tekanan
udara positif akan keluar melalui jarum tersebut.
2. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil, yaitu dengan :
a) Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk ke rongga pleura.
b) Abbocath : jarum Abbocath no. 14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandrin
dicabut, dihubungkan dengan infus set.
c) WSD : pipa khusus yang steril dimasukkan ke rongga pleura.
Ciri :
Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
Tidak ada mediastinal shift
Pemeriksaan Fisik : bunyi napas menurun, hyperresonance (perkusi), pengembangan
dada menurun
Ciri :
1. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,
mediastinalshift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea , venous
return menurun → hipotensi & respiratory distress berat.
2. Tanda dan gejala klinis : sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,
JVP meningkat, asimetris statis & dinamis.
3. Merupakan keadaan life-threatening tidak perlu foto Rontgen.
Penatalaksanaan :
1. Dekompresi segera : large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. Water Sealed Drainage (WSD)
3. Open Pneumothorax : Open pneumothorax terjadi karena luka terbuka yang cukup besar
pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah.
Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-
wound. Terjadi kolaps total paru.
Penatalaksanaan :
2.1.7 Prognosis
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara
meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat
leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri,
2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa
dagu kearah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan dibelakang gigi seri (incisor ) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift
tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini
berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada
pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri
berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar
pada maxila (Arifin, 2012)
d. Oropharingeal Airway (OPA)
Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan
napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah
(Kene, davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang
sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga)
sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong
pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-
hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas
dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan
pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena
lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang
muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan
KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-
faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke
dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan
jalan nafas sudah bebas.
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau
trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan
pada penemuan - penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas
dengan cara-cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas
(GCS < 8)
6. ]Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a.
femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan tubuh untuk menentukan
adanya kelainan – kelainan dari sustu sistem atau suatu organ tubuh
dengan cara melihat (inspeksi), meraba (palpasi), mengetuk (perkusi)
dan mendengarkan (auskultasi). (Raylene M Rospond, 2009)
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mendapatkan data objektif dari
riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan bersamaan dengan wawancara. Fokus pengkajian fisik
adalah pada kemampuan fungsional pasien. Metode dan langkah
pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung
seluruh tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan.
Inspeksi adalah kegiatan aktif, proses ketika perawat harus
mengetahui apa yang dilihatnya dan dimana lokasinya.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
- Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka
- Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas
b. Palpasi
Palpasi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan perabaan
dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau
tangan. Tangan dan jari adalah intrumen yang sensitif digunakan
untuk mengumpulkan data. Teknik palpasi dibagi menjadi dua :
- Palpasi ringan : ujung – ujung jari pada satu atau dua tangan
digunakan secara simultan. Tangan diletakkan pada area yang
dipalpasi, jari – jari ditekan kebawah perlahan sampai ada
hasil
- Palpasi dalam : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua
tangan. Satu tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi,
tangan lainnnya untuk menekan kebawah.
Cara pemeriksaan :
c. Perkusi
Adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi
getaran atau gelombang suara yang dihaantarkan kepermukaan
tubuh dari bagian tubuh yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan
dengan ketokan jari atau tangan pada permukaan tubuh karakter
bunyi yang dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk
dan kepadatan struktur dibawah kulit. Sifat gelombang suara
yaitusemakin banyak jaringan, semakin lemah hantarannya dan
udara atau gas paling resonan.
Cara pemeriksaan :
- Posisi pasien dapat tidur, duduk, atau berdiri
- Pastikan pasien dalam keadaan rileks
- Minta pasien untuk nafas dalam agar meningkatakan relaksasi
otot
- Kuku jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
- Lakukan perkusi secara seksama dan sistematis
- Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan
oleh perkusi. Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada
tinggi, waktu agak lama dan kualitas seprti drum (lambung).
Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada rendah,
waktu lama, kualitas bergema (paru normal). Bunyi hipersonar
mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama, kuaalitas
ledakan (empisema paru). bunyi pekak mempunyai intensitas
lembut sampai menengah, nada tinggi, waktu agak lama,
kualitas seprti petir (hati).
d. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara
mendengarkan suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya
menggunakan stetoskop. Hal – hal yang di dengarkan adalah
bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus. Penilaian pemeriksaan
auskultasi meliputi :
- Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran per menit.
- Durasi yaitu lam bunyi yang terdengar
- Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat atau lemahnya suara
- Kualitas yaitu warna nada atau variasi suara
Cara pemeriksaan :
Tindakan :
- Auskultasi :
Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa
dan bell pada anak
Letakkan stetoskop pada interkostalis,
menginstruksikkan pasien untuk nafas pelan
kemudian dalam dan dengarkkan bunyi nafas:
vesikuler/wheezing/creckels
b) Jantung / Cordis
Tindakan :
- Inspeksi : Amati denyut apek jantung pada area
midsternu lebih kurang 2 cm disamping bawah
xifoideus
- Palpasi :
Merasakan adanya pulsasi
Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk
menentukkan area aorta dan spasium interkosta ke-
2 kiri letak pulmonal kiri.
Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk
mengetahui area trikuspidalis/ventikuler amati
adanya pulsasi
Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral
5-7 cm ke garis midklavicula kiri dimana akan
ditemukkan daerah apical jantung atau PMI
( point of maximal impuls) temukkan pulsasi
kuat pada area ini.
Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada
area epigastika atau dibawah sternum
- Perkusi :
Perkusi dari arah lateral ke medial untuk
menentukkan batas jantung bagian kiri,
Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri
untuk mengetahui batas jantung kanan.
Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui
batas atas dan bawah jantung
Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada
pada daerah perkusi
- Auskultasi :
Menganjurkkan pasien bernafas normal dan
menahanya saat ekspirasi selesai
Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan
stetoskop pada interkostalis ke-5 sambil
menekan arteri carotis ( Bunyi S1: dengarkan
suara “LUB” yaitu bunyi dari menutupnya katub
mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis pada waktu
sistolik; Bunyi S2: dengarkan suar a “DUB” yaitu bunyi
menutupnya katub semilunaris (aorta dan pulmonalis)
pada saat diastolic; Adapun bunyi : S3: gagal jantung
“LUB-DUBCEE…” S4: pada pasien hipertensi “DEE..-
LUB-DUB”)
5) Perut / Abdomen
Tujuan :
- Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
- Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
- Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam
abdomen
Tindakan :
Tujuan :
- Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
- Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
- Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada
rectal/hemoroid
Tindakan :
7) Pemeriksaan Muskuloskeletal
Tujuan :
- Untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan
persendian
- Untuk mengetahui mobilitas, kekuatan otot, dan
gangguan-gangguan pada daerah tertentu
A. PENGKAJIAN
Identitas Pasien
Nama : Tn.
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan :-
Agama :-
Tanggal Masuk RS :-
Penanggung Jawab :
PENGKAJIAN PRIMER
Jalan Nafas : Tidak Paten
Paten
Obstruksi: Lidah Cairan Benda Asing Tidak Ada
Tidak ada
Keluhan Lain: mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin
bertambah
Grade...........%
- Suhu : 37 C
a.
Monitoring SaO2 : tidak terkaji
b.
Monitoring EKG : tidak terkaji
c.
Pemasangan NGT : tidak terkaji
d.
Kateter Urine : tidak terkaji
e.
Pemeriksaan Lab : tidak terkaji
2. G: Give Comfort
a.
Onset : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri.
b.
Predispositin/ problem : Pasien mengeluh nyeri dada,
sesak nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri
terasa nyeri ,dada terbentur stang motor dan nyeri pada
bahu sebelah kiri.
c.
Quality : -
d.
Region/ Range : Pasien mengatakan nyeri pada bahu
kiri.
e.
Severity :-
f.
Treatment :-
g.
Understanding : -
h.
Values :-
3. H1 (SAMPLE)
a.
Keluhan Utama : Pasien mengeluh nyeri dada, sesak
nafas yang semakin bertambah, dan bahu kiri terasa
nyeri.
b.
Sign/ Tanda Gejala : . Nafas cepat dan dangkal,
suara tambahan didapatkan (gurgling dan snoring). Terdapat jejas
pada thorax kanan, JVP meningkat, pergerakan dada
kanantertinggal, perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun,
emfisema sub cuti (+). Regio bahu kiri terdapat jejas (+),
perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+), deformitas (+),
nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).
c.
Allergi :-
d.
Medication/ Pengobatan : -
e.
Past Medical History : -
f.
Last Oral Intake/ Makan terakhir : -
g.
Event leading injury : pasien mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan tinggi, menabrak pohon
ketika menghindari hewan yang melintas.
Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada
terbentur stang motor dan nyeri pada bahu sebelah
kiri.
4. H2 (head toe toe)
a.
Kepala dan wajah : -
b.
Leher : Tidak ada kaku leher, tidak ada krepitasi
tulang, tidak ada edema.
c.
Dada : Terdapat jejas pada thorax kanan, JVP
meningkat, pergerakan dada kanan tertinggal,
perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun,
emfisema sub cuti (+).
d.
Abdomen dan Pinggang : -
e.
Pelvis dan Perineum : Tidak terdapat perdarahan maupun cedera.
f.
Ekstremitas : perdarahan aktif di femur dextra (+), oedem (+),
deformitas (+), nyeri tekan (+) dan krepitasi (+).
5. Inspection of Back
KEPERAWATAN
DS :
Trauma
1. Sesak nafas Ketidakefektifan pola
tumpul
nafas
thorax
DO :
sinistra
1. Kesadaran GCS 8
2. Nafas cepat dan dangkal
3. Adanya suara tambahan
(gurgling dan snoring)
4. Nadi: 130 x/menit
5. TD: 90/70 mmHg
6. Suhu: 37 derajat C
7. RR: 32x/menit
8. Terdapat jejas pada thorax
kanan
9. JVP meningkat
10. Pergerakan dada kanan
tertinggal
11. Perkusi hipersonor
12. Auskultasi vesikuler menurun
13. Emfisema subcuti (+)
14. Regio bahu kiri terdapat jejas
(+)
DS Nyeri Akut
Agen
1. Pasien mengeluh nyeri
Pencedara
2. Bahu kiri terasa nyeri
Fisik
DO : (D.0077)
1. Nyeri tekan (+)
2. Regio bahu kiri terdapat
jejas (+)
3. Emfisema subcuti (+)
4. Perdarahan aktif di femur
dextra (+)
5. Oedem (+)
6. Deformitas (+)
7. Krepitasi (+)
8. RR: 32x/menit
9. Terdapat jejas pada thorax
kanan
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DIAGNOSA PRIMER
DIAGNOSA SEKUNDER
keperawatan
Ketidakefektifan Setelah dilakukanasuhan NIC LABEL:
Pola Nafas keperawatan selama 1x4jam
Manajemen jalannafas
pola pernafasan pasienefektif.
1. Posisikan pasienuntuk memaksimalkan
Dengan kriteria hasil
ventilasi
NOC LABEL:
2. Buka jalan nafaspasien denganteknik chin lift
Status pernafasanventilasi atau sebagaimana mestinya
1. Frekuensi nafas normal 3. Auskultasi suaranafas, catat areayang
2. Tidak ada ventilasinya menurun dan Adanya
suara nafas tambahan
suara nafastambahan
Manajemen ventilasi mekanikinvasif
3. Tidak ada retraksi pada
1. Monitor kondisiyang mengindikasikanperlunya
dinding dada
dukungan ventilasi
4. Pengembangan dinding dada
2. Konsultasikan dengan petugaskesehatan
simetris
dalampemilihan jenisventilator yang akan
5. Tidak adagangguan suara
digunakan
pada saatauskultasi
3. Dapatkan data dasar pengkajian seluruh tubuh
pasien
4. Monitor adanya penurunan volume yang
dihembuskan dan peningkatan pernafasan
5. Dokumentasikan semua respon pasien terhadap
ventilator danperubahan pada ventilator
6. Pastikan peralatan emergensi tersedia di sisi
tempat tidur pasien sepanjang waktu
Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS. (2007). Pneumothorax : An Update.
Postgrad Med J 83(981):461-5
AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing, pp: 2339-46.