Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

FILSAFAT IPA

FILOSOFI DAN PENDIDIKAN LIBERAL

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan IPA

DisusunOleh:

Afifah Yuliani Adhim


19070795008

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN SAINS


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
SURABAYA
2019
A. Pendahuluan
Ketika suatu masalah serius muncul di dalam masyarakat, baik itu
berkaitan dengan hubungan pribadi, domestik, atau internasional, seseorang pasti
akan bersikeras berpendapat bahwa “pendidikan merupakan solusinya”. Tidak ada
seorangpun yang berfikir bahwa kita harus memiliki pendidikan yang kurang atau
beberapa institusi pendidikan. Bahkan muncul kesepakatan bersama bahwa
pendidikan adalah sesuatu yang baik jika kita dapat memperoleh tipe atau macam
pendidikan yang benar. Kita berharap sekolah atau kampus kita sebagai lembaga
dasar diantara masyarakat yang mana bebas dan demokratis. Untuk menutup
sekolah-sekolah atau untuk memiliki buku-buku dan catatan-catatan yang belum
dibaca bahkan untuk beberapa generasi akan menyebabkan, kita semua jatuh,
terutama dalam hal hilangnya warisan budaya dan peradaban kita.
Pendidikan lebih, bagaimanapun, tidaklah cukup. Hal terpenting adalah
tipe pendidikan. Kita sering mendengar “pendidikan adalah kekuatan”, namun
perlu untuk kita ingat bahwa hal tersebut mungkin menjadi kekuatan bagi
kesejahteraan hidup dan manusia atau kekuatan untuk kematian dan kehancuran.
Seseorang dapat melatih seekor anjing baik untuk membunuh domba atau untuk
melindungi mereka. Kita dapa mengajar seseorang untuk menjadi egois, picik,
jingoisme (agresif), atau kita dapat memberikan mereka sebuah pendidikan yang
dapat memperluas simpati dan pandangan serta menjadikan mereka anggota yang
koperatif dari masyarakat di dunia.
Mempelajari ide-ide, cita-cita, dan nilai-nilai yang menjadi dasar dari peradaban
Barat, dan mereka takut jika pendidikan yang berlaku di munculkan, jika hal
tersebut berlanjut, dapat menghancurkan peradaban Barat1.
Dalam sebuah buku yang mencakup serangkaian penelitian di Inggris, Sir
Walter Moberly membuat sebuah pernyataan yang menerapkan pendidikan sama
baiknya dengan pendidikan di Amerika. Dia mengatakan bahwa:
Kesulitan kita saat ini adalah ini. Kebanyakan siswa pergi ke kampus-
kampus kita tanpa pernah dipaksa untuk melatih pikiran mereka pada
isu-isu yang benar-benar krusial. Dibawah pandangan mengenai
netralitas akademik, mereka secara halus dikondisikan untuk sebuah
persetujan tanpa pemikiran mengenai status quo politik dan sosial
serta dalam sekularisme yang mana tidak pernah mereka refleksikan
secara serius. Karena fragmentasi studi/penelitian yang berlaku,
mereka tidak diminta untuk memutuskan secara bertanggung jawab
terhadap tujuan hidup atau diperuntukkan untuk membuat keputusan
bijak seperti itu. Mereka tidak dipaksa untuk menguraikan dan
membahas secara kritis mengenai asumsi dan sikap emosional yang
mendasari penelitian tertentu yang mereka inginkan, profesi yang
mereka siapkan, penilaian etis yang biasa mereka lakukan, keyakinan
politik dan agama yang mereka pegang. Pada dasarnya, mereka tidak
berpendidikan.2
Berbicara mengenai “tiga kesalahan dengan tujuan untuk menghitung
kelemahan pendidikan modern/kontemporer” di area Barat, Gilbert Highet
mengatakan bahwa yang pertama adalah gagasan yang salah jika sekolah muncul
terutama untuk melatih peserta didik untuk diintegrasikan dengan kelompok
mereka atau “diatur dalam keluarga dan masyarakat.” Sedangkan ada beberapa
nilai dalam sebuah pola yang hampir sama dengan budaya, tujuan utama dari
pendidikan harus “melatih pikiran setiap individu” dan untuk membantu
seseorang “menjaga kebebasan pribadi.” Kesalahan kedua adalah “kepercayaan
bahwa pendidikan merupakan proses tertutup, yang mana
menghentikan…..dengan segera saat kehidupan dewasa dimulai.” Kenyataannya,
pendidikan merupakan sebuah proses yang abadi. Kesalahan ketiga adalah, dia
menyatakan, bahwa pandangan “mengenai belajar dan mengajar harus memiliki
hasil secara langsung, memberikan keuntungan, dan mengarahkan pada sebuah
kesuksesan.” Fungsi utama dari pendidikan adalah untuk “memberikan
keuntungan bagi seluruh kepribadian” dan mengarahkan pada kehidupan yang
lebih berharga, sehingga seseorang dapat mengapresiasi kekayaan dari masa lalu
dan hidup secara kreatif di masa sekarang dan masa depan.3
Mari kita ringkas beberapa pembahasan yang diarahkan pada pendidikan
modern/kontemporer, ingat, tentunya, jika pembahasan-pembahasan tersebut tidak
diterapkan pada semua sekolah.
1. Lembaga pendiidkan kita, menyatakan bahwa, tidak memiliki gambaran jelas
dan konsisten mengenai tujuan pendidikan mereka – yang aman tidak sesuai
dengan arah atau misi atau tujuan yang akan dicapai. Sedangkan peserta didik
mungkin memperoleh berbagai pembelajaran bagus dari berbagai subjek,
pengetahuan ini sering tidak diorganisir atau diintegrasikan ke dalam berbagai
keseluruhan konsitensi. Pengetahuan tersebut mungkin ditunjukkan dalam paket
yang terpisah. Departemenisasi dan spesialisasi telah berjalan sejauh dimana kita
cenderung untuk melihat dunia dalam potongan-potongan kecil yang tidak saling
terhubung dan untuk menghilangkan rasa persatuan dan makna. Karena lembaga
pendidikan kita sering gagal menangani masalah dasar dalam kehidupan, lulusan
mereka sering tidak mampu berpikir secara jernih dan koheren. Kita tidak bisa
berasumsi bahwa dengan mengumpulkan hal lebih dan “fakta” lebih mengenai
seseorang yang memperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang hidupnya dan
dunia dimana dia tinggal.
2. Tekanan pada lembaga pendidikan kita adalah terlalu banyak jam, poin, nilai,
pelajaran, dan ujian kelulusan dalam rangkaian selang waktu. Sistemnya,
dikatakan bahwa, cenderung menekankan pada tempat yang salah dan untuk
memperbaiki perosalan mengenai standar yang salah. Simbol-simbol atau keadaan
luar cenderung merebutkan tempat dalam suatu tujuan. Seorang peserta didik
cenderung untuk belajar demi nilai/skor atau untuk pujian dalam daftar catatan.
Sering kali peserta didik hanya mau untuk “bertahan”, dan menunjukkan sikap
pasif. Jika peserta didik tersebut mampu untuk mendapatkan pujian, peserta didik
tersebut mungkin merasa puas walaupun dia mengetahui semuanya atau tidak.
Namun, tujuan asli dari proses pendidikan adalah mengenai pemahaman atau
pengetahuan, bukan jam, nilai, atau bahkan pujian.
3. Sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita, menyatakan bahwa, tidak
menanamkan berbagai perangkat umum mengenai ide-ide, dan cita-cita bagi
lulusan mereka. Sering kali, terasa sulit bagi seorang lulusan untuk berbicara
kepada orang lain dalam sebuah percakapan dengan tingkatan yang tinggi karena
mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan dan beberapa, jika mungkin,
ketertarikan umum. Pada kenyataannya, satu hal yang saat ini dimiliki mahasiswa
tingkat akhir (sarjana) pada umumnya yakni fakta bahwa mereka dengan sukses
telah “lulus” dalam 120 sampai 128 jam semester belajar.
Bahkan yang lebih serius daripada kurangnya pengetahuan umum adalah
kurangnya ide-ide dan keyakinan umum. Pendidikan terlalu sering gagal untuk
membangun berbagai penguatan yang penting dari keyakinan dan kedispilinan.
Hal tersebut merupakan sebuah pemisahan berbahaya dalam keilmuan dan
penelitian mengenai nilai kemanusiaan dan loyalitas. Sebagai suatu negara
khusus, kita cenderung menerapkan keahlian teknik pada bagian terpisah kita dan
untuk sedikit berasumsi atau tidak ada pertanggung jawaban dalam urusan
manusia dan hubungan sosial. Hasil dari sikap ini, pengetahuan kita dan teknik-
teknik baru kita mungkin digunakan dengan mudahnya oleh orang-orang jahat
untuk mengahancurkan peradaban kita sebagaimana oleh orang-orang yang
berkeinginan baik untuk memajukan kesejahteraan manusia. Kebingungan, moral,
dan ferensi, serta sinisme sudah terlalu sering menjadi produk yang ditunjukkan
oleh remaja laki-laki dalam “proses pendidikan”.
Kegagalan sekolah dan kampus untuk mengetahui kemungkinan tertinggi
dijelaskan sebagian melalui kurangnya respek mengenai beasiswa dan bagian
pendidikan pada umumnya. Seorang pemimpin berpendidikan tinggi mungkin
mengetahui jika gelar sarjana, kemampuan untuk berbicara Bahasa Inggris, dan
pikiran yang tajam merupakan sebuah rintangan diantara beberapa bagian
populasi. Seperti seseorang yang mungkin diejek sebagai orang “terpelajar”.
Faktanya bahwa kita mungkin tertinggal jauh dibelakang beberapa negara lain
dalam hal prestasi ilmiah dan budaya, dimana dapat membantu untuk membuang
rasa tidak percaya dalam pikiran manusia dan menghilangkan anti-intelektualisme
yang dapat memunculkan sebuah bencana.
B. PEMBAHASAN
a) Pendidikan Liberal Selama Bertahun-Tahun
Sejak zaman klasikal awal, seni liberal memegang tempat penting dalam
pendidikan karena penelitian-penelitian tersebut dirasa memberikan perspektif
yang jelas, luas, dan rasional di dunia. Nama yang diperoleh dari istilah Latin
artes liberales, yang diterapkan dalam penelitian tersebut sesuai untuk seseorang
yang bebas yang merupakan kebalikan dari istilah yang sesuai untuk budak.
Pokok bahasan ini mencakup berbagai persoalan mengenai seni liberal
yang telah berubah dari satu masa ke masa yang lain. Pada masa pertengahan,
misalnya, seni liberal meliputi tata bahasa, retorik, dan logika serta dialek
(“Trivium”), dan aritmatika, geometri, astronomi, dan musik (“Quadrivium”).
Pada masa Renaisans (kebangkitan), ada pertumbuhan besar dalam ketertarikan
mengenai bahasa dan pemikiran klasik, hasilnya, Yunani dan Latin datang untuk
memainkan bagian penting pda seni liberal. Oleh sebab itu, kampus-kampus yang
ditemukan selama masa kolonial di Amerika menekankan pada Yunani dan Latin
klasik, argumentasi seni, dan – karena mereka ditemukan dengan pandangan
untuk menyebarkan agama Kristen – Kristen klasik.
Hingga sampai pada paruh kedua abad ke-19, kebanyakan pembelajaran di
kampus telah ditentukan, atau diwajibkan, sehingga peserta didik hanya memiliki
pilihan kecil dalam memilih mata pelajaran yang akan dipelajari. Pelajaran-
pelajaran yan diwajibkan biasanya pada waktu itu meliputi Bahasa Inggris,
Bahasa klasik, matematika, filosofi moral, dan Alkitab (Bible), atau agama
Kristen. Semua lulusan kampus pada waktu itu memiliki latar belakang yang
cukup sama, karena mereka belajar mata pelajaran yang sama dengan cara yang
sama pula. Kedua kondisi tersebut, bagaimanapun, mengarah pada pengenalan
sistem mata pelajaran pilihan yang mana akan mengizinkan mahasiswa untuk
memilih pelajaran yang ingin mereka pelajari. Yang pertama adalah kenaikan
jumlah yang begitu cepat dan pentingnya pelajaran baru, terutama mengenai ilmu
pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Yang kedua adalah penekanan
pada pertumbuhan setiap “individu”. Ketertarikan dan kebuthuan individu,
dinyatakan bahwa, harus muncul sebelum berbagai program yang ditetapkan pada
pembelajaran. Sekitar tahun 1970, presiden Charles W. Eliot dari Harvard
menganjurkan sistem mata pelajaran pilihan. Pada tahun 1884, satu-satunya
pelajaran yang diwajibkan di Universitas Harvard adalah pelajaran mahasiswa
tingkat pertama, dan hanya beberapa dari pelajaran tersebut ditetapkan. Terlepas
dari pertentangan yang cukup besar, metode dari mata pelajaran pilihan bebas
menyebar dengan cepat diseluruh Amerika Serikat (US), meskipun jumlah
kebebasan sangat bervariasi dari lembaga satu ke lembaga lainnya.
Laju penggandaan dan penandaan mata pelajaran meningkat saat
pendaftaran peserta didik, bersamaan dengan sistem mata pelajaran pilihan,
menyebabkan bahaya potensial tertentu, dan kritikan tertuju pada mereka. Mereka
menganggap jika individu cenderung untuk mengabaikan sistem pendidikan
massal seperti itu, dan jika ada kedangkalan, kejanggalan, dan kebingungan yang
nyata dari ide-ide yang menjadi bagian dari berbagai produk pada sistem tersebut.
Hal ini dikarenakan sebagaian besar dari kurangnya integrasi dalam pelajaran
peserta didik pada kajian tersebut. Kami telah mempertimbangkan beberapa kritik
yang muncul.
Usaha untuk mendapat kritikan dan menghindari bahaya yang disebutkan
di atas menyebabkan berbagai perubahan dalam metode pendidikan dan
persyaratannya. Contohnya, peserta didik diwajibkan untuk memilih bidang atau
departemen seperti “jurusan” yang mana menjadi pusat selama dua tahun terakhir
dari mata kuliah mereka. Beberapa peserta didik diwajibkan untuk memilih satu
atau dua bidang “tambahan” yang sama namun tidak menjadi pusatnya. Dalam
beberapa kasus, “persyaratan kelompok” ditetapkan. Peserta didik mungkin
diwajibkan untuk memilih bebrapa pelajaran tertentu atau jam dari tiga atau empat
kelompok atau divisi, seperti ilmu pengetahuan alam dan matematika, ilmu
pengetahuan sosial, Bahasa, filosofi, agama, dan seni rupa.
Saat ini, ada sebuah tren mengenai arah program orientasi dan survei atau
pelajaran umum yang melampaui garis departemen. Ada sebuah pertumbuhan
yang menekankan pada penggabungan dan peningkatan usaha pendidikan melalui
program dan perlengkapan sebagai pengawas dan penasehat, pembelajaran
tentang tanda jasa, sistem pengajaran tambahan, seminar, ujian pengetahuan
umum, pembelajaran lokakarya, dan karyawisata. Sebagian besar sekolah saat ini
mewajibkan mata pelajaran umum “inti” yang dirasa penting bagi semua peserta
didik, tanpa memperhatikan rencana kehidupan mereka di masa mendatang.

b) Pendidikan Formal dan Pendidikan Lanjutan


Konflik utama dalam teori dan praktek pendidikan adalah antara
“pendidikan formal” dan “pendidikan lanjutan”. Formalism terkadang disebut
sebagai “esensialis” - cenderung menekankan pada materi pelajaran. Dimana
mereka menklaim mengenai pokok pengetahuan tertentu yang membentuk dasar
dari budaya manusia dan yang harus di salurkan pada setiap generasi. Sehingga
muncul tendesi untuk memperluas pada area industri, disiplin, materi pelajaran,
dan organisasi logis.
Pergerakan tersebut disebut sebagai pendidikan lanjutan yang menekankan
pada ketertarikan dan kelas dari individu, pada kebebasan, dan pada anak atau
peserta didik daripada pada materi pelajaran tertentu. Tekanan juga ditempatkan
pada kehidupan berdemokrasi dan bekerja sama dalam kelompok sosial. Karena
orang belajar seperti mereka hidup, keunggulan diberikan pada program kegiatan
dan proyek.5
Saat ini ada banyak diskusi dan cukup banyak experimen mengenai
pendidikan. Hal ini menjadi sebuah tanda semangat dan pertumbuhan. Terlepas
dari konflik antara pendidikan formal dan lanjutan, ada pertanyaan lain yang
mengundang perhatian. Diantaranya, haruskah kita melihat keunggulan dalam
inspirasi dan arah?. Tugas dari pendidikan, menurut salah satu pendekatan, adalah
untuk menyalurkannya pada generasi mendatang mengenai warisan budaya masa
lalu. Pendidikan liberal, dinyatakan bahwa harus berdasar pada materi
pembelajaran yang telah bertahan dalam ujian waktu - yakni, pada buku besar,
atau sastra. Masalah manusia mirip dari waktu ke waktu. Kita menhadapi banyak
masalah yang sama yang dihadapi oleh Plato, Aristotle, nabi dari Israel, Dante,
dan Kant. Belajar pada guru besar dan pembelajaran yang mereka kontribusikan
akan memberikan kita analisis yang tepat dari elemen abadi dalam masalah
tersebut. Hal tersebut juga memberikan kita latar belakang umum dan persediaan
informasi umum, dimana sangat diperlukan diantara orang-orang terpelajar.
Kajian mengenai pemikiran besar di masa lalu, seperti saat ini, menjadi nuansa
klasik, menjadi cara yang lebih efektif untuk mengembangkan kapasitas
terpendam manusia.

Haruskah kita berusaha untuk melatih orang-orang muda untuk pekerjaan


tertentu?. Hal paling tajam berbeda dari cita-cita klasik adalah pandangan
mengenai pendidikan yang harus menjadi persiapan dari pekerjaan seumur hidup
seseorang. Pertumbuhan yang sangat cepat dari pembelajaran pada dekade saat ini
menggambarkan pandangan ini. Bukti selanjutnya terlihat pada sebuah
kecenderungan dimana sekolah teknik dan profesional saat ini memberikan
hampir semua perhatian mereka pada persiapan beberapa profesi spesifik atau
keterampilan.

Haruskah pendidikan melatih sebagian orang untuk berbangsa dalam


masyarakat saat ini?. Berdasarkan pendekatan ini, pertanyaan krusial yang akan
ditanyakan dari berbagai program pendidikan adalah, “Apa kontribusi terhadap
promosi dari budaya masyarakat modern/kontemporer?”. Informasi mengenai
masa lalu dan keahlian dalam manipulasi teknik moderen merupakan instrumen
yang mungkin digunakan untuk membantu dalam menyelesaikan masalah
mendesak kita. Pemikir yang baik di masa lalu, baik filosofi atau ilmu
pengetahuan, berkaitan dengan budaya dan masalah mendesak mereka sendiri.
Kita harus mengikuti contoh mereka, tidak hanya mempelajari ide-ide mereka,
Bahasa, dan metode. Pendidikan diklaim sebagai pertumbuhan utama dalam arah
menuju kebebasan, demokrasi, toleransi, kehidupan bekerja sama, dan pengakuan
hak orang lain.

Sementara beberapa lembaga mengikuti satu atau pergerakan lainnya


secara ekskulisf, banyak lembaga sedang mencoba untuk memberikan pengakuan
yang seimbang terhadap manfaat penekanan klasik, kejuruan, dan sosial serta
mewajibkan pembelajaran pada pendidikan umum, serta dalam satu atau beberapa
bidang khusus.

c) Fungsi dari Filosofi dalam Pendidikan Liberal

Dalam suatu waktu, filosofi mencakup semua ilmu khusus. Selama dan
sesudah masa Renaisans, matematika dan fisika terpisah dari filosofi. Selanjutnya
pada ilmu pengetahuan dan disiplin lain dipisahkan. Psikologi telah menjadi ilmu
yang terpisah hanya pada akhir dekade ini, di beberapa lembaga masih
dihubungkan dengan filosofi. Saat ini, banyak ilmu dan seperti sebuah labirin
spesialisasi dalam beberapa ilmu yang mana banyak orang cenderung untuk
melupakan acuan ataupun keseluruhannya, dimana ilmu-ilmu tersebut hanya
sebagian.

Pada tahun 1943, Komisi pada Fungsi filosofi dalam Pendidikan Liberal
ditunjuk oleh Asosiasi Filosofis Amerika. Komisi ini menjalankan kajian luas
mengenai peran dimana filosofi mungkin berperan dalam pendidikan moderen
dan pada masa setelah perang dunia pada tahun 1945, komisi ini
mempublikasikan laporan dalam bentuk buku yang berjudul Philosophy in
American Education (Filosofi pada Pendidikan di Amerika), tertulis pada “The
Climate of Opinion”. BRAN Blanshard mengatakan bahwa “tuntutan utama pada
filosofi” adalah “integrasi”, bagi “pemikiran masyarakat”, “penafsiran ulang dari
demokrasi”, dan “filosofi bagi kehidupan”. Pada tuntutan untuk integrasi, dia
menyatakan bahwa, “Salah satu tugas bersejarah terbesar dari filosofi ialah
menempatkan secara bersamaan hasil dari penyelidikan manusia, agama, sejarah,
ilmiah, ke dalam pandangan konsisten mengenai dunia. “Filosofi tidah harus
menjadi kekhususan lain, seperti yang digambarkan pada sebagian manusia”.

Isu besar dalam waktu kita adalah masalah filosofis. Mereka harus
melakukannya dengan pertanyaan mengenai hak, keadilan, kebebasan, manusia,
masyarakat, dan alam. Penemuan di masa mendatang tidak akan membuatnya
menjadi kuno/usang. Masalah filosofis tidak hanya menjadi pusat namun juga
tanpa batas waktu. “Tidak ada peradaban yang dapat bertahan,” kata Robert Ulich,
tanpa sebuah kebersatuan definisi dari kepercayaan dan nilai. Hanya orang-orang
biasa saja yang puas dengan pengetahuan massal yang membingungkan dan asing.
Fakta sendirian tidaklah cukup. Orang-orang dewasa ingin memahamai diri
mereka, masyarakat dimana mereka tinggal, dan hubungan mereka terhadap
semesta. Filosofi memberikan makna yang memungkinkan peserta didik untuk
menyusun, mengasimilasi, dan mengevaluasi banyak sekali pengetahuan. Refleksi
filosofis atau diskusi merupakan salah satu pengertian terbaik yang mana
digunakan untuk mengembangkan pespektif.

Dalam sebuah pernyataan mengenai fungsi filosofi dalam program seni


liberal, salah satu guru filosofi mengatakan bahwa:
Filosofi secara tradisional telah menjadi batu pondasi untuk
pendidikan seni liberal bagi mahasiswa, dalam area humanistik,
seharusnya diakui bahwa filosofi merupakan “Kecintaan
Pengetahuan”, tidak bisa, secara biasa, di ajarkan. Ini bukanlah
keahlian seperti mengetik, atau ilmu seperti fisika. Ini lebih mengarah
pada seni, dimana guru filosofi hanya dapat berharap untuk
membangkitkan keinginan siswa yang mendalam dan abadi dalam
menggapainya, dengan penuh kasih, dan religius, mengenai
pengetahuan yang akan memberikan makna mendalam pada seluruh
hidupnya dalam hubungannya dengan orang lain.
Namun, aspek akademik dari filosofi dapat diharapkan dengan
baik untuk menginstruksikan peserat didik mengenai sejarah dari ide-
ide dan cita-cita dari filofis-filosofis besar, sehingga pengetahuan
lainnya mungkin dimanfaatkan oleh peserta didik dalam menemukan
pengetahuan hidup mereka. Kita juga mungkin berharap untuk dapat
memberikan peserta didik beberapa keahlian dalam pemikiran logis
dan tidak berkesambungan satu sama lainnya, seperti peralatan
intelektual yang digunakan untuk menggali pengetahuan.
Karena, dalam filosofi, kita mungkin memfilosofikan tentang
segala hal, kita menemukan bahwa pembelajaran kita mungkin
disediakan dalam pelajaran seperti filosofi agama, filosofi kemoralan
(etika), filosofi seni (aestetik), dan literatur, filosofi ilmu, filosofi
hukum, filosofi sejarah, dan lain sebegaianya. Seperti area tersebut,
kita berkeinginan untuk memberikan peserta didik beberapa wawasan
mengenai pelajaran seni liberal dan memenuhi kebutuhan mereka
untuk menghubungkan wawasan tersebut dengan keseimbangan
secara intelektual dan emosianal pada jalan menuju kedewasaan
hidup.
Dasar dari semua filosofi tradisional adalah metafisika –
penyelidikan mengenai sifat realitas tertinggi dan sifat pengetahuan,
makna dan kebenaran. Analsis pernyataan mendasar tersebut, yang
meliputi semua sistem filosofis besar, dan semua pelajaran, penyajian
yang membuat peserta didik sensitif terhadap karakter naif yang
sering muncul dalam pandangan mereka mengenai semua masalah
penting tersebut. Pesrpektif intelektual mereka diperluas dan
diliberalkan sehingga mereka secara sadar dan secara simpati sadar
dan jujur membedakan pendapat mengenai pelajaran tersebut. Dalam
tipe dunia dimana kita tinggal, yang mana perbedaan metafisika
membuat sebuah perbedaan (seperti materialisme dialektik komunisme
dengan konsepsi Kristen mengnai Tuhan dan manusia). Hal ini pada
dasarnya kita jelas menyadari alasan dari perbedaan-perbedaan
tersebut. Hidup berkecukupan di dunia adalah untuk hidup dengan
pemahaman penuh kasih saying pada perbedaan ideologi. Kajian
filosofi mungkin diharapkan mampu menghasilkan pemahaman seperti
itu.9

d) Apa Itu Pendidikan Liberal?

Penulis pendidikan tidak selalu menyetujui pembelajaran yang tepat dari


kajian-kajian yang harus mengangkat pemahaman mengenai pendidikan liberal.
Bagaimanapun, persetujan yang sesungguhanya adalah bahwa pendidikan liberal
memiliki beberapa tujuan berikut: (1) Harus melatih manusia untuk berfikir secara
kritis dan konstruktif, (2) Harus memberikan beberapa wawasan ke dalam nilai
moral, estetis, dan agama, serta membantu manusia untuk membedakan setiap
nilai, (3) Harus melatih manusia sebagai warga negara konstruktif dalam
masyarakat yang bebas dan berkembang – yang mana harus membuat manusia
bebas dan memperbolehkan mereka untuk menggunakan kebebasaanya secara
bijak, (4) Sedangkan pendidikan liberal, seperti itu, tidak ditujukan secara
langsung pada perolehan keahlian teknik khusus, harus memberikan latar
belakang intelektual yang diperlukan untuk sukses dalam area bisnis dan
profesional.

Selama beberapa tahun terakhir, banyak komisi dan kelompok khsuus


yang mempelajari mengenai pendidikan liberal dan peranya dalam masyarakat
moderen. Dalam sebuah laporan, Komisi Pendidikan Liberal dari Asosisasi
Kampus Amerika menyatakan bahwa:
Tujuan dari pendidikan liberal adalah untuk membantu manusia
mendapatkan kualitas manusia tertentu yang mana mengarahkan
mereka pada karakter dalam kebiasaan dan sikap. Tes terakhir dari
berbagai pola pendidikan adalah macam laki-laki dan perempuan
yang dihasilkan. Dalam sebuah demokrasi, pendidikan liberal harus
menjadi sebuah nilai bagi laki-laki dan perempuan baik secara
individu pribadi dan mandiri, serta anggota masyarakat yang
betanggung jawab dimanapun mereka berada. Harus membantu
mereka sebagai individu untuk menumbuhkan penguasaan diri dan
pendalaman diri untuk mengembangkan apresiasi yang lebih luas dan
guna memperoleh semangat kerja keras, untuk hidup dengan
pembicaraan yang baik dan buku-buku yang baik, untuk menikmati
petualangan mengenai keinginan intelektual, untuk berpikiran terbuka
dan bermurah hati dalam semua tanggapan manusia.10

e) Beberapa Test Orang Yang Berpendidikan

Hampir di semua permulaan kampus, beberapa senior memperoleh ijazah sebelum


teman-temannya dan mengatakan bahwa “Baik, inilah buktinya – Saya
berpendidikan”. Bagi beberapa orang “menjadi berpendidikan” artinya
menyelesaikan kuliah dan mendapatkan ijazah. Tidak ada gunanya untuk berkata,
sikap itu, jika secara serius dilakukan, hal tersebut cukup salah. Kepemilikan
ijazah semata – atau berbagai symbol lain, dalam hal ini, bukanlah bukti dari
pendidikan.

Ada ciri-ciri tertentu yang mengindikasikan orang berpendidikan, yaitu:

1 Orang yang berpendidikan tahu setidaknya satu bidang ketelitian.


Pendidikan harus menjadi bagian dari pekerjaan seseorang. Prinsip
berbahaya saat ini tidak terlalu banyak jika mahasiswa mengabaikan
element praktis dalam pendidikan namun lebih pada banyaknya yang akan
berhenti pada titik ini.
2 Untuk menjadi seorang yang berpendidikan artinya mampu untuk
berkomunikasi dengan orang lain, mampu untuk berbicara, dan menulis
Bahasa asli dengan kompetensi tingkat tinggi. Seseorang tinggal pada
dunia yang kecil dan terisolasi jika mereka tidak bisa berkomunikasi
secara bebas dengan orang lain. Hal ini sangat diperlukan sekali jika
seseorang yang berpendidikan mengethaui setidaknya Bahasa selain
Bahasa aslinya. Pengetahuaan mengenai Bahasa asing memungkinkan
seseorang untuk belajar juga mengenai budaya asing, dalam cara ini, dia
tidak hanya memperluas pemahamannya namun mungkin memperluas
jarak simpati dan toleransinya juga. Hanya melalui komunikasi medium,
kita mampu mendapatkan pemahaman mengenai kekayaan warisan budaya
kita sehingga perlu sekali untuk mengembangkan individu.
Dalam beberapa kajian pada spesialis terlatih yang tidak berhasil
dengan baik – akuntan dan insinyur, contohnya – kesulitan yang
ditemukan adalah pada ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi.
Mereka tidak bisa menulis laporan dengan jelas dan efektif atau pergi
sebelum kelompoknya, seperti Direktur Dewan, dan menyatakan atau
menemukan pandangan mereka secukupnya. Ide-ide yang tidak bisa
disampaikan atau dipastikan ke orang lain kehilangan efektifitasnya.
3 Untuk menjadi seseorang yang berpendidikan harus bisa hidup dalam
dunia yang berubah-ubah dan memiliki ide-ide baru. Perubahan
merupakan ciri-ciri dari zaman. Dalam artian tertentu, setiap zaman
merupakan zaman perubahan, namun dalam zaman kita perubahan muncul
dengan sebuh desakan. Faktnya bahwa zaman kita merupakan zaman yang
dinamis dalam menciptakan masalah baru. Pendidikan kita, jika efektif,
harus menyiapkan kita untuk hidup dalam perubahan dunia dan ide-ide
baru. Sejarah, seperti yang seseorang katakan bahwa, “lebih cepat dari
jadwal”. Dengan pemecahan atom dan pelepasan sumber energi baru yang
baik, dan keajaiban zaman angkasa/ruang baru, kita mungkin melihat
perubahan lebih cepat bahkan yang lebih siginifikan. Kemampuan kita
untuk mempertimbangkan ide-ide baru, kemudian, sangat penting saat ini.
Sikap seseorang dalam menghadapi perubahan merupakan suatu
pernyataan penting mengenai mereka. Ada “suara pendiri” yang
menentang perubahan dan menyembunyikan dari segala hal yang berbeda.
Mereka terlihat percaya jika tidak ada yang harus diselesaikan pada waktu
yang pertama, sekalipun sikap ini, jika secara universal dipakai, akan
menyebabkan stagnasi. Pada perbedaan sebaliknya merupakan “akar dan
batang” dari orang, yang ingin menyingkirkan segala hal yang sudah kuno.
Revolusioner akan menghancurkan potensi kuno dan juga kejahatan.
Antara suara pendiri dan revolusioner adalah mereka yang mencoba
memepertahankan nilai dan potensi kuno saat menunjukkan kesiapan
untuk menggunakan penemuan-penemuan dan wawasan. Mereka ingin
integrasi dinamis pada masa lampau dan masa sekarang. Mereka sadar jika
masa sekarang muncul dari masa lalu dan mereka ingin masa depan untuk
muncul dari masa sekarang melalui proses yang rapi dan cerdas.
4 Untuk menjadi seseorang yang berpendidikan artinya mampu hidup rukun
dengan orang lain. Problem kehidupan kooperatif dengan orang dan
kelompok lain merupakan salah satu masalah utama pada zaman kita.
Sejarah peradaban menjadi bagian cerita pembelajaran manusia untuk
terlibat dalam hubungan yang lebih besar dan lebih besar. Kemajuan dari
konsep “kita” dari keluarga ke suku, marga, bangsa, dan sekarang
perjuangan untuk tatanan dunia merupakan bagian dari perkembangan ini.
Kita perlu belajar untuk tertarik pada yang lain, mampu untuk menghibur
mereka, dan mampu hidup secara damai bersama. Berpendidikan ialah
untuk mencapai pemahaman mengenai pernyataan “Kita merupakan
anggota satu sama lain”. Ini lah masalah dari semua kehidupan
berkelompok.
Kita perlu penekanan baru dalam hak untuk hidup. Jika manusia
tidak tertarik dengan hak hidup manusia lain dan berdiri dengan siap untuk
melawannya, dia akan segera menemukan minatnya sendiri dan haknya
terancam. Kecuali jika masyarakat dipersiapkan untuk menggunakan
usaha gabungannya dalam membela satu korban dari kejahatan hukum
atau ketidakadilan lainnya, tidak ada hukum, bahkan keadilan, bahkan
kebebasan. Prinsip ini, yang ditekankan oleh kode moral yang matang di
seluruh dunia, menerapkan kekuatan yang sama pada negara dan setiap
individu.
5 Untuk menjadi seseorang yang berpendidikan baik berarti mampu untuk
menghibur diri sendiri, mengembangkan kehidupan batin yang kaya dan
beragam apresiasi serta kontrol batin. Pendidikan yang nyata terjadi di
dalamnya. Seseorang membutuhkan pengembangan dalam berbagai minat
sehingga dia merasa dalam kumpulan yang baik bahkan ketika sendirian.
Beberapa orang rupanya terlalu picik secara harfiah mereka “bosan
menangis” jika mereka harus menghabiskan satu atau dua jam sendirian.
Mereka harus menyalakan radio atau telvisi, atau mencari hiburan dari
beberapa sumber eksternal lainnya, sehingga perhatian mereka tertuju
keluar.
Umumnya, kita terlihat berubah sebagai orang yang diarahkan dari
dalam ke orang luar atau orang lain yang diarahkan. Begitu kita
menghargai individualitas dan keanekaragaman, saat ini kita terlihat untuk
mencoba menjadi orang lain. Apa yang kita hilangkan adalah integritas –
integritas seseorang yang melakukan pemikirannya sendiri, mencapai dan
mengikuti perasaannya sendiri mengenai skala nilai dan kehidupan dengan
menggunakan beberapa filosofi kehidupan pribadi.
Jika seseorang melakukan apa yang dia lakukan saja karena tekanan
adat istiadat, hukum, atau tekanan lain dari luar, dia tidak pada perasaan
tertinggi dari orang dewasa. Jika hak hidup merupakan hal ekternal,
seseorang cenderung untuk melawannya atau menjadih patuh. Jika
kontrolnya adalah batin dan pilihan sendiri, mereka memiliki kemudahan
dan energi yang lebih besar. Sesuatu yang ada dalam diri seseorang harus
memberikan motivasi dan rangsangan. Kontrol diri atau disiplin batin
merupakan suatu prasyarat prestasi pada berbagai bidang baik itu dalam
olahraga, ilmu pengetahuan, atau ilmu sastra.
6 Untuk berpendidikan harus mampu untuk lebih sensitif pada tatanan
spiritual yang lebih besar yang berhubungan dengan manusia. Kehidupan
manusia tidak lah mandiri. Dia memiliki hubungan dengan kenyataan
diluarnya yang memperkuat dirinya serta dia mungkin memiliki sebuah
persahabatan. Manusia merupakan makhluk yang terlibat dalam fluks
alam, namun ia sadar akan keterlibatannya. Oleh sebab itu, dia tidak
sepenuhnya dilibatkan. Manusia merupakan organisme hewan, itu benar,
namun dia mampu untuk mempelajari dirinya sebagai suatu organisme dan
untuk membandingkan serta mengintepretasikan bentuk kehidupan dan
untuk menanyakan arti dari kehadiran manusia. Untuk melakukan hal
tersebut, dia harus bisa pada beberapa pemikiran untuk berdiri di luar, atau
untuk melewatinya, kehidupan dan kondisi yang mereka nilai dan
bandingkan. Manusia hidup pada titik ini dimana alam dan roh entah
bagaimana bertemu.
Seorang filsuf dan psikolog yang luar biasa, William James, merujuk
pada apa yang dia sebut sebagai “Kelebihan” yang mengelilingi kehidupan
manusia dan yang dia alami. Ketika manusia masuk ke dalam hubungan
harmonis dengan “Kelebihan”, energi mengalir ke dalam hidupnya dan
semangat baru serta kepastian bertambah. Semua orang memiliki
pengalaman yang sama namun interpretasi atau simbol deskriptif mereka
bervariasi. Pada masa Yunani, salah satunya adalah Logos, untuk Hindu
adalah Brahman, bagi Yahudi-Kristen adalah Tuhan atau Jiwa.
Di awal abad ini, Dr. William Rainey Harper, presiden luar biasa
dari Universitas Cikago, membuat pidato singkat namun siginifikan
kepada sekelompok mahasiswa baru. Seperti yang di laporkan dari salah
satu anggota kelompok, dia mengatakan bahwa:
Hadirin sekalian, kalian datang kesini dengan harapan untuk
melanjutkan pendidikan kalian. Jika kalian melakukanya, akan lebih
baik bagimu untuk memiliki beberapa ide tentang seperti apa manusia
berpendidikan itu. Kemudian, kalian akan tahu apa tujuan kalian di
sini, apakah tujuan lembaga ini ada untuk membantu kalian menjadi
apa. Seseorang yang berpendidikan adalah dia yang pada saat dia
berumur dua puluh lima tahun memiliki teori yang jelas, terbentuk
dari pengalaman manusia selama berabad-abad, dari apa yang
menjadi kepuasan hidup, kehidupan yang sinifikan, dan dia yang
berumur tiga puluh memiliki filosofi moral yang sesuai dengan
pengalaman rasial. Jika seseorang mencapai umur tersebut tanpa
memiliki teori semacam itu, filosofi semacam itu, kemudian tidak
peduli berapa banyak fakta yang telah dia pelajari atau berapa
banyak proses yang dia kuasai, orang tersebut bodoh dan tolol, tidak
bahagia, mungkin juga berbahaya. Sekian.

C. KESIMPULAN
1) Pendidikan dapat menjadi kekuatan bagi kesejahteraan hidup dan
manusia atau bahkan sebaliknya.
2) Perkembangan pendidikan mengalami perubahan dari masa ke
masa
3) pendidikan liberal memiliki beberapa tujuan berikut: (1) Harus melatih
manusia untuk berfikir secara kritis dan konstruktif, (2) Harus
memberikan beberapa wawasan ke dalam nilai moral, estetis, dan
agama, serta membantu manusia untuk membedakan setiap nilai, (3)
Harus melatih manusia sebagai warga negara konstruktif dalam
masyarakat yang bebas dan berkembang – yang mana harus membuat
manusia bebas dan memperbolehkan mereka untuk menggunakan
kebebasaanya secara bijak, (4) Sedangkan pendidikan liberal, seperti
itu, tidak ditujukan secara langsung pada perolehan keahlian teknik
khusus, harus memberikan latar belakang intelektual yang diperlukan
untuk sukses dalam area bisnis dan profesional.
4) Kepemilikan ijazah semata – atau berbagai symbol lain, dalam hal ini,
bukanlah bukti dari pendidikan.

D. Daftar Pustaka

Titus, Smith. 1959. Living Issues in Philosophy. The United States of


America: American Book Company.

Anda mungkin juga menyukai