KEUANGAN NEGARA
1. Pendahuluan
Di Indonesia, sejarah pengelolaan keuangan pemerintahan sudah ada sejak masa lampau.
Setiap pemerintahan, mulai zaman kerajaan sampai sekarang, memiliki pengelola keuangan
untuk memastikan terlaksananya pembangunan dalam pemerintahannya.
Pembangunan ekonomi akan berjalan lancar jika disertai dengan administrasi yang baik dalam
pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan tersebut dilakukan atas dana yang
dihimpun dari masyarakat, antara lain berupa upeti, pajak, bea dan cukai, dan lain-lain.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan
pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai
dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam UndangUndang Dasar. Dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan
belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata
uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan
amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan
perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang
berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische
Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah
dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku
pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan
Reglement voor het Administratief Beheer DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 21 (RAB)
Materi Keuangan Negara
Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban
keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer
(IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat
mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara
dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun
berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari
ketentuan dalam peraturan perundangundangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab
terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya
menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang
berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur
pengelolaan keuangan negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah
dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang
tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah
dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945.
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek,
subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki
negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses,
Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan
obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan
sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub
bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan.
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, DHendianto-
BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 23 dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam UndangUndang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang
Materi Keuangan Negara
Dasar 1945, Undangundang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi
baik asasasas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru
sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan
keuangan negara, antara lain :
• akuntabilitas berorientasi pada hasil;
• profesionalitas;
• proporsionalitas;
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip
pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar
1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan
Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen
keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undangundang ini meliputi
penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan
pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem
akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran,
penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam
penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen
kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam
upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan
secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan
anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar
1945.
Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja
daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, DHendianto-BiroHukum
BPK-RI/5/26/2008 25 dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran
antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan
DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di
sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem
anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi
serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam
sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan
akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja
kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor
publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang
digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah
tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan
gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi
dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan
kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan
anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran
belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti
pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya
duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana
pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan
dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Materi Keuangan Negara
7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah,
Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan
Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu
diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga
infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan
keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta
dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam
penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah
daerah, undangundang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan
dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula
perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana
masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal
kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat
persetujuan DPR/DPRD.
DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan
dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama
dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD
ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat
lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/lembaga di
lingkungan pemerintah.
Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945 menetapkan berlakunya mata uang bersama
di wilayah Republik Indonesia (RI), yaitu uang De Javasche Bank, uang Hindia Belanda dan uang
Jepang.
Setelah dekrit ini diterbitkan, berakhirlah masa “Nanpo Gun Gunsei Kaikei Kitein” (Peraturan
Perbendaharaan Pemerintah Bala Tentara Angkatan di Daerah Selatan) dan dimulailah babak
baru pengurusan keuangan negara yang merdeka.
Pada masa itu, susunan pertama organisasi Kementerian Keuangan terdiri dari lima Penjabatan
(Eselon I) yang terdiri dari:
Pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia yang
menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Kemudian Maklumat
Presiden Republik Indonesia 3 Oktober 1945 yang menentukan jenis-jenis uang yang sementara
masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang
yang sah.
Pertama, sisa zaman kolonial Belanda yaitu uang kertas De Javasche Bank. Kedua, uang kertas
dan logam pemerintah Hindia Belanda yang telah disiapkan Jepang sebelum menguasai
Indonesia yaitu DeJapansche Regering dengan satuan gulden (f) yang dikeluarkan tahun 1942.
Ketiga, uang kertas pendudukan Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia yaitu Dai Nippon
emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah. Keempat, Dai Nippon Teikoku Seibu, emisi 1943
bergambar Wayang Orang Satria Gatot Kaca bernilai 10 rupiah dan gambar Rumah Gadang
Minang bernilai 5 rupiah.
Tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta selaku tim pencari data, mencari percetakan
dengan teknologi yang relatif modern di Jakarta mengusulkan G. Kolff di Jakarta dan percetakan
Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang sebagai calon
percetakan yang memenuhi persyaratan.
Sebagai pembuat desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca dipercayakan
kepada percetakan Balai Pustaka Jakarta. Kerja yang rumit ini dilakukan oleh Bunyamin
Suryohardjo, sedangkan pelukis pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah Abdulsalam
dan Soerono. Proses pencetakan berupa cetak offset dilakukan di Percetakan Republik
Indonesia, Salemba, Jakarta yang berada di bawah Kementerian Penerangan.
Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam dari Januari 1946.
Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan
Materi Keuangan Negara
Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946 ditetapkan berlakunya ORI
secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946
menetapkan penerbitan ORI. Pada detik-detik diluncurkankannya ORI, Wakil Presiden
Mohammad Hatta memberikan pidatonya pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik
Indonesia (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara
berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita.
Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia
sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang
Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu
ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah
keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat
kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara.
Usaha penerbitan uang sendiri memperlihatkan hasil dengan diterbitkannya Emisi Pertama uang
kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai
tanggal beredarnya ORI. ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh rakyat
Indonesia. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia oleh
Presiden, berdasarkan lahirnya emisi pertama ORI.
Pada ORI penerbitan pertama yang berlaku mulai 30 Oktober 1946 tercantum tanggal emisi 17
Oktober 1945. Ini menunjukkan cukup panjangnya proses yang harus ditempuh dalam
mempersiapkan penerbitan ORI sebagai salah satu identitas negara.
Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia sebelum mengedarkan ORI adalah
menarik uang invasi Jepang dan uang Pemerintah Hindia Belanda dari peredaran. Penarikan
kedua uang tersebut dilakukan berangsur-angsur melalui pembatasan pemakaian uang dan
larangan membawa uang dari satu daerah ke daerah lain.
Pembatasan larangan membawa uang tunai lebih dari Rp500 seorang atau Rp1.000 sekeluarga
ke kota Jakarta dan Bogor, atau sebaliknya harus seizin Menteri Keuangan. Uang invasi Jepang
dan uang NICA tidak boleh dikeluarkan dari dari Jawa dan Madura dan juga tidak boleh
dimasukkan ke daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Nilai ORI melalui Undang-Undang
tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni, kurs ORI terhadap uang
Jepang sebesar 1:50 untuk Pulau Jawa & Madura, dan 1:100 untuk daerah lainnya.
Penerbitan ORI selain ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik Indonesia juga
bertujuan untuk menyehatkan ekonomi yang tengah dilanda inflasi hebat. Pada awal beredarnya
ORI, setiap penduduk diberi Rp1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat
digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946. Namun, pada saat itu peredaran ORI belum bisa
menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan selain faktor perhubungan, masalah
Materi Keuangan Negara
keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah
kedudukan Belanda. Kedua hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan untuk
menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan moneter. Bahkan, mulai tahun 1947 pemerintah
terpaksa memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya
sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Uang tersebut bersifat sementara dan kebanyakan dinyatakan oleh penguasa setempat sebagai
alat pembayaran yang hanya berlaku di tempat tertentu. Contohnya, ORIDABS-Banten, ORIPS-
Sumatera, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten
Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu. Jenis ORIDA tersebut berupa bon, Surat Tanda
Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat.
Dalam kondisi perang, jumlah uang beredar di wilayah Republik Indonesia sulit dihitung dengan
tepat. Kesulitan melakukan pemisahan data juga terjadi dalam memperkirakan indikator-indikator
perekonomian lainnya, seperti neraca perdagangan, posisi cadangan devisa dan keuangan
negara.
Jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat
menjadi Rp6 milyar pada akhir 1949. Selain itu, penyebab kesulitan penghitungan lainnya adalah
karena uang De Javasche Bank dan Pemerintah Hindia Belanda belum ditukarkan atau belum
disimpan pada bank berdasarkan ketentuan Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946.
Pada tahun pembukuan 1949-1950, De Javasche Bank membuat data perkembangan uang
beredar. Pada waktu itu deposito berjangka juga dihitung masuk dalam komponen uang giral.
Penyusunan statistik uang beredar dilakukan dengan mengkonsolidasikan neraca De Javasche
Bank dengan neraca dari tujuh bank komersial yaitu Nederlansche Handel Maatschappij,
Nederlandsch Indische Handelsbank, Escomptobank, Chartered Bank of India, Australia and
China, Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Bank of China dan Overseas Chinese
Banking Corporation.
ORI dan berbagai macam ORIDA hanya berlaku sampai 1 Januari 1950 dan dilanjutkan dengan
penerbitan uang Republik Indonesia Serikat.
Dari salah satu hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilakukan pada tanggal 23
Agustus sampai 2 November 1949, Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27
Desember 1949. Kemudian, dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri
dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overlaag (BFO) atau Badan
Permusyawaratan Federal yang lebih dikenal dengan negara boneka bentukan Belanda. Sebagai
upaya untuk menyeragamkan uang di wilayah Republik Indonesia Serikat, pada 1 Januari 1950
Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan bahwa alat pembayaran yang sah
adalah uang federal.
Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengeluarkan uang kertas yang memberikan hak piutang
kepada pembawa uang terhadap RIS sejumlah dana yang tertulis pada uang tersebut dalam
rupiah RIS. Undang-Undang Darurat tanggal 2 Juni 1950 yang mulai diberlakukan 31 Mei 1950
menatur berbagai hal berbagai tentang pengeluaran uang kertas atas tanggungan Pemerintah
RIS.Dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS)
Materi Keuangan Negara
tanggal 27 Desember 1949, berakhir pula masa perjuangan bersenjata melawan Belanda dalam
rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Mulai 27 Maret 1950 telah dilakukan penukaran ORI dan ORIDA dengan uang baru yang
diterbitkan dan diedarkan oleh De Javasche Bank. Sejalan dengan masa Pemerintah RIS yang
berlangsung singkat, masa edar uang kertas RIS juga tidak lama, yaitu hingga 17 Agustus 1950
ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk kembali.
Dari sudut moneter, keadaan kembali ke NKRI memungkinkan untuk menyatukan mata uang
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. Secara hukum kesatuan
moneter barulah terwujud setelah dikeluarkannya Undang-Undang Mata Uang 1951 untuk
mengganti Indische Muntwet 1912. Undang-Undang Mata Uang 1951 antara lain menyatakan: (i)
Semua logam yang dikeluarkan berdasarkan Indische Muntwet dicabut mulai 3 November 1951,
kecuali uang uang tembaga yang pencabutannya masih akan ditentukan oleh Menteri Keuangan.
(ii) Satuan hitung dari uang di Indonesia adalah rupiah yang disingkat Rp dan terbagi menjadi
100 sen. (iii) Uang logam Indonesia yang merupakan alat pembayaran yang sah adalah dari nikel
dalam pecahan 50 sen serta dari aluminium pecahan 25 sen, 10 sen, 5 sen dan 1 sen. (iv) Untuk
memenuhi kebutuhan yang mungkin timbul pada suatu waktu, pemerintah dapat mengeluarkan
kertas pecahan 1 rupiah dan 2,50 rupiah. (v) Pembuatan uang logam dan uang kertas pemerintah
hanya dapat dilakukan oleh atau atas nama pemerintah. (vi) Menteri Keuangan menetapkan
desain logam nikel dan alumni, kadar logam uang, berat dan ukuran garis tengah serta batas
toleransinya. (vii) Di daerah-daerah tertentu dengan peraturan pemerintah dimungkinkan untuk
sementara waktu dilakukan pembayaran dengan uang selain tersebut di atas .
Setelah masa RIS berakhir, perekonomian Indonesia yang terbuka menyebabkan situasi dalam
negeri sangat mudah terpengaruh oleh gejolak perekonomian dunia. Pada awal pengakuan
kedaulatan, terjadi devaluasi mata uang oleh beberapa negara Eropa Barat terhadap dolar
Amerika Serikat dan pecahnya perang Korea. Di sisi lain, pemakaian devisa untuk impor belum
meningkat.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan Gunting Sjafruddin yang bertujuan untuk
menyedot uang beredar yang terlalu banyak serta menghasilkan pinjaman sekitar Rp1,5 milyar
dari penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 karena Indonesia belum mampu mencari
sumber pembiayaan dari pasar. Pengguntingan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan tanggal 19 Maret 1950 kepada uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan
Belanda atau uang NICA. Bersamaan dengan itu, pemerintah meluncurkan penerbitan Obligasi
Republik Indonesia 1950 sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3% yang ditawarkan untuk
ditukarkan dengan guntingan uang kertas bagian kanan. Bagian kiri uang kertas di atas pecahan
f2,50 diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Jadi, nilai uang yang berlaku hanya setengah
dari nilai nominal.
Dalam jangka waktu yang telah ditentukan, bagian kiri uang dapat ditukar dengan uang baru yang
diterbitkan De Javasche Bank dengan pecahan f2,50, f1 dan f0,50. Pengguntingan uang tersebut
dilakukan karena cara yang lazim dilakukan, yaitu dengan penyetoran ke dalam rekening yang
dibekukan tidak mungkin dijalankan di Indonesia.
Materi Keuangan Negara
Pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai
bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai
dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1
Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De
Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.
Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp5,
sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp5 ke atas .
Hak tunggal Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-
Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 didasarkan pertimbangan antara uang kertas
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada
perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup
dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.
Saat ini, uang rupiah memuat tanda tangan pemerintah dan Bank Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pemerintah dalam Undang-Undang
tersebut adalah Menteri Keuangan yang sedang menjabat pada saat uang tahun emisi 2016
terbit. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Desember 2016, tanda tangan Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati disertakan bersama dengan tanda tangan Gubernur Bank Indonesia Agus D.W
Martowardojo di berbagai pecahan uang baru tersebut.
Materi Keuangan Negara
KEPABEANAN
Kepabeanan
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu
lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan
bea keluar. Pengawasan lalu lintas barang tersebut dilakukan terhadap kawasan-
kawasan pabean di wilayah Indonesia.
Daerah Pabean
Daerah pabean Republik Indonesia meliputi darat, perairan dan ruang udara di atasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.
Kawasan Pabean
Kawasan pabean merupakan kawasan dengan batas-batas tertentu di Pelabuhan laut,
bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya
berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sebagai negara kepulauan, wilayah laut Indonesia terdiri atas wilayah perairan dan
wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Indonesia berhak
melakukan pengelolaan dan pemanfaatan atas kekayaan alam dan lingkungan laut di
wilayah lautnya. Pengelolaan dan pemanfaatan tersebut tetap harus dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional yang
berlaku. Wilayah perairan tersebut meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan,
serta laut territorial. Sementara wilayah yurisdiksi yang dimaksud meliputi zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.
Indonesia sebagai negara berdaulat, memiliki kedaulatan pada perairan pedalaman,
perairan kepulauan, dan laut territorial. Sedangkan pada zona tambahan, Indonesia
memiliki yurisdiksi tertentu saja. Indonesia juga memiliki hak berdaulat pada zona
ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen.
“perairan pedalaman” adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
air rendah pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan
yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
“perairan kepulauan” adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai.
Yang dimaksud dengan“laut teritorial” adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia
Terkait zona tambahan, Indonesia berhak menetapkan zona tambahan negaranya
hingga jarak 24 mil laut dari garis pangkal. Di zona tambahan tersebut Indonesia berhak
untuk mencegah pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan tentang bea
cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya. Indonesia juga
berhak untuk menghukum pelanggaran terhadap ketentuan tentang pelanggaran-
pelanggaran tersebut.
“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia” adalah suatu area di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari
garis pangkal. Hak berdaulat yang dimiliki adalah untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari
perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan
dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut,
seperti produksi energi dari air, arus dan angin.
Mengenai landas kontinen, Indonesia berhak untuk mengklaim landas kontinen di luar
200 mil laut dari garis pangkal sampai dengan 350 mil laut dari garis pangkal. Batas landas
kontinen tersebut harus disampaikan dan dimintakan rekomendasinya kepada Komisi
Batas-Batas Landas Kontinen PBB sebelum ditetapkan sebagai landas kontinen oleh
Pemerintah. Dalam landas kontinen, Indonesia memiliki Hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam (SDA non hayati dan SDA hayati dasar laut
tidak bergerak).
Materi Keuangan Negara
Kewajiban Pabean
Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.
Kewajiban pabean yang berlaku bagi subjek hukum berupa menyerahkan pemberitahuan
pabean. Pemberitahuan pabean dilakukan dengan membuat pernyataan dalam rangka
melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk yang ditetapkan undang-undang. Maka
berdasarkan pemberitahuan pabean tersebut subjek hukum wajib melunasi pungutan
negara.
Barang Tertentu
Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang
yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi.
Impor
Impor adalah kegiatan memasukkan barang dari luar daerah pabean (luar negeri) ke dalam
daerah pabean (dalam negeri). Barang yang di impor wajib dalam keadaan baru, bukan
barang bekas / second. Atas barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk. Terhadap barang yang akan di
impor dapat dikategorikan dalam 3 jenis, yaitu barang Larangan, barang pembatasan dan
barang yang diperbolehkan.
Barang larangan adalah barang yang dilarang masuk kedalam Indonesia karena berbahaya
dan dapat menimbulkan dampat negatif, misalnya Narkoba, Pakaian bekas dan limbah B3
(Bahan Berbahaya dan Beracun).
Barang Pembatasan adalah barang yang sebenarnya dilarang masuk, akan tetapi dengan
memenuhi persyaratan tertentu yang di syaratkan oleh peraturan maka barang tersebut
dapat di impor, contohnya BPO (barang perusak ozon), kain tekstil dan mesin fotocopy /
mesin printer berwarna, limbah non B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), beras, gula, dll.
Barang yang diperbolehkan, adalah barang yang secara umum dapat diimpor dengan
memenuhi kewajiban pabeannya (bayar BM, PDRI, dll)
Ekspor
Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean (dalam negeri) ke luar
daerah pabean (luar negeri).
Kewenangan Pengawasan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai garda terdepan dalam pengawasan alur lalu
lintas barang mempunyai tugas salah satunya adalah melakukan pengawasan terhadap
seluruh kegiatan pemasukan/ pegeluaran barang dari dan ke wilayah NKRI. Dalam Undang
– undang Kepabeanan dan Cukai, DJBC diberikan kewenangan untuk melakukan
pengawasan dengan melakukan upaya fisik yang bersifat administratif berupa Penghentian,
pemeriksaan, penegahan dan penyegelan. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian urutan
kegiatan yang tidak terpisah terkait kewenangan pengawasan DJBC.
Dalam melaksanakan kewenangannya, Petugas DJBC dapat menggunakan senjata api
dinas sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK
113/PMK.04/2017 tentang Penggunaan Senjata Api Dinas di Lingkungan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai
Materi Keuangan Negara
Penghentian
Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk melakukan penghentian kegiatan pembongkaran/
pengangkutan barang dan/atau menghentikan sarana pengangkut dalam rangka
pemeriksaan kepabeana dan cukai.
Pemeriksaan
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas barang, sarana
pengangkut, bangunan/ tempat, surat/dokumen dan/atau badan.
Penegahan
Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan penegahan terhadap barang dan/atau sarana
pengangkut yang diduga terkait dengan pelanggaran kepabeanan dan cukai..
Yang dimaksud dengan "menengah barang" adalah tindakan administrasi untuk menunda
pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang impor atau ekspor sampai dipenuhinya
kewajiban pabean.
Yang dimaksud dengan "menegah sarana pengangkut" adalah tindakan untuk mencegah
keberangkatan sarana pengangkut.
Penyegelan
Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda
pengaman yang diperlukan terhadap barang impor / ekspor yang belum diselesaikan
kewajiban pabeannya atau barang lain yang harus diawasi yang berada di sarana
pengangkut, tempat penimbunan dan/atau bangunan/ tempat lain.
Materi Keuangan Negara
CUKAI
1. Definisi Cukai
Cukai adalah salah satu jenis pajak atas konsumsi barang yang memiliki sejarah panjang.
Berdasarkan literatur sejarah, praktek pungutan cukai telah diterapkan sejak jaman Dinasti
Han di Cina (206 SM – 221 M) dan periode Kekaisaran Mauryan di India (322 M). Di
Indonesia, cukai mulai diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1886
dengan pemberlakuan Ordonansi Cukai Minyak Tanah.
Secara definisi cukai adalah jenis pungutan pajak tidak langsung atas konsumsi terhadap
suatu barang atau jasa tertentu yang didasarkan atas tujuan (motivasi) tertentu dari
pemerintah. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
mendefinisikan cukai sebagai pajak yang dikenakan pada produk-produk tertentu atau pada
sejumlah produk yang terbatas, dikenakan pada setiap tahap produksi atau distribusi dan
biasanya dinilai dengan mengacu pada berat atau kandungan atau kuantitas produk dan
terkadang terhadap referensi harga.
Alasan memungut cukai:
a. Untuk meningkatkan penerimaan;
b. Untuk merefleksikan biaya eksternalitas negatif;
c. Sebagai beban kepada pengguna jalan (khusus untuk jalan-jalan yang disediakan
pemerintah); dan berbagai tujuan lainnya.
2. Cukai di Indonesia
Pungutan cukai di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1995 Tentang Cukai, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2007.
Menurut UU Cukai, pungutan cukai dikaitkan dengan sifat atau karakteristik yang
ditetapkan dalam UU Cukai. Adapun sifat atau karakteristik dasar pungutan cukai diatur
dalam Pasal 2 UU Cukai, di mana sifat atau karakteristiknya tersebut tidak bersifat akumulatif
melainkan alternatif, sebagai berikut:
a. Konsumsinya perlu dikendalikan;
Bila dikaitkan dengan prinsip dasar pemungutan cukai yang berlaku secara universal
adalah adanya maksud “pembatasan” terhadap konsumsi suatu produk. Otoritas
negara menghendaki agar masyarakatnya tidak mengkonsumsi secara berlebihan
terhadap suatu produk. Alasannya beragam, antara lain: karena alasan kesehatan,
sumber daya yang terbatas, dan lainnya. Indonesia termasuk salah satu negara yang
menggunakan alasan pembatasan konsumsi dalam sistem pemungutan cukai.
Pungutan cukai dipakai sebagai alasan instrument fiskal yang membatasi konsumsi
terhadap barang-barang yang dapat merusak kesehatan seperti: etil alkohol, minuman
mengandung etil alkohol (MMEA), dan produk hasil tembakau. Pungutan cukai cocok
digunakan sebagai instrument pengendali konsumsi terutama di negara-negara
berkembang oleh karena pola behaviour atau perilaku konsumsi masyarakatnya
Materi Keuangan Negara
cenderung sensitif pada harga. Apabila beban cukai diterapkan dalam besaran yang
tepat maka pola konsumsi masyarakat cenderung akan menurun.
b. Peredarannya perlu diawasi;
Tujuan utamanya adalah agar tidak menimbulkan gangguan pada kehidupan sosial
dan ekonomi masyarakat. Salah satu obyek cukai yang memiliki kriteria ini adalah
produk MMEA. Dampak negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat terhadap
peredaran MMEA yang tidak terkontrol adalah timbulnya keresahan masyarakat. Oleh
karenanya otoritas pemerintah menetapkan kebijakan memungut Cukai sebagai salah
satu upaya untuk mengontrol peredaran MMEA di pasaran. Logika berfikirnya
sederhana saja, apabila produk MMEA dikenakan cukai maka harga produk relatif
akan menjadi lebih mahal. Harga produk yang mahal akan membatasi akses
masyarakat terhadap konsumsi MMEA.
c. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan
hidup;
Pungutan Cukai dapat digunakan sebagai instrumen fiskal yang akan membebani
pihak-pihak yang menggunakan suatu produk yang berpotensi menimbulkan dampak
negatif terhadap sektor lain. Bahasa universalnya adalah pajak eksternalitas negatif.
Ketiga BKC (etil alkohol, MMEA dan hasil tembakau) yang menjadi pilihan Pemerintah
Indonesia untuk dikenakan cukai memiliki karakteristik dapat menimbulkan dampak
negatif. Etil alkohol dan MMEA memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu
dan juga dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hasil tembakau
memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga kesehatan masyarakat
secara luas.
d. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan.
berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Cukai, mengacu pada status Cukai
sebagai instrumen fiskal yang dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan
mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok. Tujuan
utamanya adalah menjaga keseimbangan pungutan antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah (equity). Bila
dikaitkan dengan instrumen fiskal lainnya maka karakteristik dasar ini memiliki
kemiripan dengan karakteristik dasar pemungutan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM). PPnBM merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
Cukai. Kontribusi Cukai memiliki peran yang sangat strategis khususnya dari sisi
penerimaan DJBC. Penerimaan yang dihimpun oleh DJBC sebagian besar diperoleh
dari sektor Cukai dan secara nominal nilainya selalu lebih besar dibanding
penerimaan bea masuk atau bea keluar dari waktu ke waktu. Sementara dari sisi
kontribusi penerimaan Cukai terhadap penerimaan perpajakan juga memiliki andil
yang cukup signifikan. Peran strategis Cukai terhadap penerimaan perpajakan
mencapai angka rata-rata 11,3% selama periode tahun 2014 sampai dengan 2018.
b. Fungsi Cukai Sebagai Alat Regulerend
Disamping berfungsi sebagai alat pengumpul penerimaan negara, Cukai juga
berfungsi sebagai instrumen kontrol pemerintah terhadap pola perilaku konsumsi
terhadap BKC. Kebijakan strategis pemerintah terhadap pungutan Cukai tidak
semata-mata ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara, namun pemerintah
juga memperhitungkan tujuan- tujuan lain seperti kesehatan masyarakat,
pengendalian dampak sosial, dan sebagainya.
*Tahun 2017 dan 2019 merupakan hasil Survei Internal Rokok Ilegal (SIRI) DJBC dengan
menggunakan metodologi yang sama dengan UGM dan coverage sampel yang lebih luas.
Materi Keuangan Negara
b. Palsu
Dimana barang kena cukai dilekati pita cukai, tetapi pita cukai tersebut tidak memenuhi fitur
keaslian pita cukai / palsu
c. Bekas
Dimana barang kena cukai terdapat pita cukai akan tetapi pita cukai terlihat terdapat sobekan
/ bekas pakai / kusut berkerut.
d. Salah Peruntukan
Dimana barang kena cukai dilekati oleh pita cukai tetapi pita cukai yang dilekati tidak sesuai
dengan jenis produk yang tertera pada pita cukai. Misal produk rokok SKM (Sigaret Kretek
Mesin) dilekati pita cukai SKT (Sigaret Kretek Tangan)
Materi Keuangan Negara
e. Salah Personalisasi
Dimana barang kena cukai dilekati oleh pita cukai tetapi pita cukai yang digunakan bukan
merupakan pita cukai milik dari perusahaan yang memproduksi barang kena cukai. Misal
rokok produksi Sampoerna, tetapi dilekati oleh pita cukai merk gudang garam.
Materi Keuangan Negara
Definisi Patroli
Patroli Bea dan Cukai adalah patroli yang dilaksanakan oleh Satuan Tugas Bea dan Cukai di laut,
darat dan udara dalam rangka pencegahan penindakan dan penyidikan terhadap pelanggaran
peraturan perundang undangan kepabeanan dan cukai serta tujuan lain berdasarkan ketentuan
yang berlaku.
Wilayah Patroli
Patroli bea dan cukai dilaksanakan di :
Darat seluruh wilayah darat Republik Indonesia di luar kawasan pabean.
Laut seluruh wilayah perairan Indonesia, laut wilayah/zona tambahan zona ekonomi ekslusif
landas kontinen terutama pada pulau pulau buatan instalasi instalasi dan bangunan bangunan
lainnya dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Udara seluruh ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia
Dalam hal tertentu patroli bea dan cukai dapat melaksanakan patroli laut dalam rangka :
a. Melaksanakan patroli bersama dengan administrasi pabean negara lainnya
b. Ikut serta dalam patroli keamanan laut Kamla ) berdasarkan permintaan Badan Koordinasi
Keamanan Laut
c. Membantu instansi penegak hukum lainnya berdasarkan permintaan instansi terkait atas
dasar nota persepahaman
d. Ikut serta dalam kegiatan Search and rescue (SAR) berdasarkan permintaan Badan SAR
Nasional/Daerah; atau
e. Ikut serta melaksanakan pertahanan keamanan negara dan pengamanan pejabat negara
berdasarkan perintah Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI atau pejabat yang
ditunjuk
terhadap sarana pengangkut di Laut atau di sungai menggunakan kapal patroli atau sarana
lainnya”
Dalam melaksanakan kewenangan pengawasannya, satuan patroli laut dapat melaksakan
kewenangan pengawasan DJBC yaitu Menghentikan, memeriksa, menegah dan menyegel
sarana pengangkut dan/atau barang di atasnya.
Pimpinan Kapal
Pimpina Kapal terdiri dari 2 yaitu, Nahkoda dan Kepala Kamar Mesin (KKM)
Nahkoda, bertugas : - Mengoperasikan Kapal Patroli
- Menjaga keselamatan Kapal Patroli dan Anak Buah Kapal (ABK)
- Bertanggung jawab atas kegiatan dan kejadian diatas Kapal Patroli
Kepala Kamar Mesin (KKM), bertugas : - Membantu Nakhoda dalam mengoperasikan mesin
Kapal Patroli
- Bertanggung jawab atas kegiatan dan kejadian
dalam permesinan Kapal Patroli.
Mualim II, bertugas : - Melaksanakan dinas jaga laut dan darat (navigasi)
- Menyiapkan dan memelihara alat navigasi
- Bertanggung jawab atas bahan makanan dan perlengkapan AKP
- Bertanggung jawab atas pendataan administrasi kapal
- Berada di anjungan menggantikan mualim saat terjadi kebocoran
- Berada di sekoci penolong dan menyiapkan peralatannya saat ada
musibah tenggelam
- Menyiapkan obat2an dan P3K
Mualim III, bertugas : - Melaksanakan dinas jaga laut dan darat (navigasi)
- Membantu tugas mualim I dan 2
- Merawat alat labuh tambat
- Bertanggung jawab atas alat-alat penolong dan pemadam kebakaran
- Menjaga kebersihan Kapal Patroli
Materi Keuangan Negara
Kru Mesin
Kru Mesin terdiri atas 2, yaitu Juru Minyak dan Kelasi Mesin, yang mempunyai tugas :
- Melaksanakan dinas jaga laut dan darat
- Membantu masinis memelihara kebersihan kamar mesin, mesin induk, mesin bantu dan
perlengkapannya
- Membantu melaksanakan perbaikan instalasi mesin
- Membantu mempersiapkan perlengkapan dan peralatan kamar mesin
- Melakukan tugas jagalaut / darat secara bergilir dengan masinis
- Memberitahukan Kepala Kamar Mesin/masinis bila terjadi hal darurat dikamar mesin
- Membantu di kamar mesin untuk menyiapkan tabung dan selang kebakaran
kelokasikebakaran saat musibah kebakaran
- Menyiapkan bahan dan peralatan yang diperlukan dan membantu masinis dikamar mesin
saat menanggulangi kebocoran
- Membantu menurunkan sekoci dan alat keselamatan lainnya dan turun ke sekoci untuk
melayani mesin outboardpada saat peninggalan kapal
Adalah unit yang berada di DJBC yang memiliki tugas dan fungsi Melaksanakan pengelolaan dan
pengoperasian sarana operasi Bea dan Cukai dalam menunjang patroli dan operasi pencegahan
dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai berdasarkan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
Operasi Jaring Wallacea adalah Operasi Patroli Laut terpadu yang dilaksanakan di wilayah
perairan timur Indonesia (dari perairan sulawesi sampai dengan perairan papua).