Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam Indonesia merupakan komunitas muslim
terbesar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat
menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas
Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh
kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air,
misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan teori-teori tentang pemberlakuan hukum Islam
yang pernah diberlakukan di Indonesia
Hukum Islam telah lama hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia
seiring dengan tumbuh dan berkembangnya Islam. Namun sejak datangnya penjajah, hukum
Islam mengalami pasang surut. Pemberlakuan syariat Islam di Indonesia saat ini sering kali
tidak semata-mata didasarkan pada apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat, tetapi lebih
menunjukkan wujudnya sebagai hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh penjajah, dengan
maksud untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai antitesis dari kebijakan kolonial, berbagai
teori penegakan hukum Islam dicetuskan oleh para sarjana Indonesia, yang awalnya bertujuan
untuk menentang kebijakan kolonial. Pasca kemerdekaan, seiring dengan perkembangan
zaman, muncul beberapa teori penegakan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam masa sebelum kemerdekaan dan
pasca kemerdekaan
2. Teori apa saja yang mempengaruhi pasang surut perkembangan hukum Islam
3. Bagaimana perkembangan peradilan agama sebagai institusi penegak hukum Islam di
Indonesia
C. Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam dan agar bisa memahami sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia dari masa sebelum penjajahan hingga kemerdekaan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Perkembangan Hukum Islam Masa Sebelum Kemerdekaan dan Pasca
Kemerdekaan
a. Masa sebelum penjajahan Belanda
Masyarakat Indonesia sebelum Islam masuk telah menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang dibangun atas dasar
kepercayaan yang dianutnya, lalu disusul dengan lahirnya kerajaan Islam yang didukung
para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa
akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara dimulai pada abad pertama hijriah atau
sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Titik awal gerakan dakwah para pendatang
muslim dimulai di kawasan utara pulau Sumatera. Kemudian secara perlahan gerakan
dakwah itu membentuk masyarakat Islam pertama di Perlak, Aceh Timur. Dari komunitas
muslim di wilayah itu menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan Islam pertama yang dikenal
dengan Samudera Pasai di wilayah Aceh Utara sekitar abad ketiga belas Masehi.
Kehadiran kerajaan-kerajaan Islam yang menggantikan kerajaan Hindu-Budha
membawa hukum Islam di Indonesia, untuk pertama kalinya yang digunakan dalam
hukum positif. Pada masa itu para penguasa kerajaan Islam memposisikan hukum Islam
sebagai hukum negara. Dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqhi yang ditulis oleh
para ulama nusantara pada abad enam belas dan tujuh belasan. Raja-raja di Indonesia
secara yuridis memberlakukan hukum Islam secara kredo yang dikenal dengan teori Kredo
atau syahadat, yaitu mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya
akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum
Islam di berlakukan dalam konteks ijtihad ulama, jika muncul permasalahan yang tidak
dapat diselesaikan oleh perundang-undangan kerajaan, maka diserahkan kepada ulama
untuk melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqhi.
Dengan pola seperti itu mazhab Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam
Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hukum Islam terus berjalan
bersamaan dengan sistem hukum Adat di Indonesia hingga masuknya kolonial Belanda di
Indonesia.
b. Masa penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran VOC
sebagai sebuah organisasi dagang Belanda, juga menjadi perpanjangan tangan kerajaan

2
Belanda di kawasan Hindia Timur dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan
hukum Belanda yang mereka bawa. Namun penggunaan hukum Belanda mendapat
kesulitan, oleh karena penduduk pribumi sangat sulit menerima hukum-hukum yang asing
bagi mereka sehingga VOC membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang
selama ini telah mereka jalankan. Keadaan inilah yang oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem
Cristian van den Berg, disebut telah terjadi receptio in complexu yaitu penerimaan hukum
Islam secara menyeluruh oleh umat Islam. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah teori
receptio in complexu. Teori ini menyatakan bahwa ”bagi setiap penduduk berlaku hukum
agamanya masing-masing. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang
berlaku baginya, demikian juga bagi pemeluk agama lain.” Bukti teori receptio in
complexu dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan berikut:
Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa
sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk
keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium (buku ringkasan) yang dikenal dengan
Compendium Freijer yang berisi hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang telah
direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu. Selain itu dipergunakan juga Kitab Hukum
Mogharraer (dari al-Muharrar) dipakai di Semarang berisi kaidah-kaidah hukum pidana
Islam dan Pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr. P.C. Hosselaar.
Aturan ini dipakai sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di
wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Gowa
untuk dijadikan undang-undang. Pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda melalui VOC
mengeluarkan Resolutie der Indische Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris
dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Salomon Keyzer (1823-
1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan bahwa hukum mengikuti agama
yang dianut seseorang. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan
hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda
kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun
(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia
Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-
kuku kekuasaannya di wilayah Indonesia. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat
adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya. Dengan
melihat realitas yang ada membuat pejabat pemerintahan Hindia Belanda memulai politik
campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur Jenderal dibenarkan mencampuri

3
masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama. Akhirnya muncul
teori Receptie yang mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah
hukum adat mereka masingmasing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi
oleh hukum Adat. Jadi hukum Adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
Dengan munculnya teori ini, Snouck Hurgronye menjadikannya sebagai alat agar
orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan Hukum Islam. Jika
mereka kuat memegang ajaran Islam dan Hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit
menerima dan dipengaruhi oleh budaya barat. Upaya Belanda mengontrol
operasionalisasi hukum Islam dengan berbagai cara membuat posisi hukum Islam terus
melemah hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia
pada tahun 1942.
c. Masa Kemerdekaan
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase resepsi dan
eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Untuk memposisikan kembali hukum
Islam seperti sebelum adanya teori Receptie, maka Prof. DR. Hazairin memunculkan teori
Receptie Exit dan Sayuti Thalib dengan teori Receptie a contrario yaitu teori yang
mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Receptie a contrario, Ichtiyanto
melahirkan teori eksistensi. Teori ini menerangkan hukum Islam berada dalam hukum
nasional sebagai bagian yang integral. Dengan demikian kedudukan hukum Islam pada
masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun mayoritas masyarakat
Indonesia beragama Islam, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum
Islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum Islam, sebagai
konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai ideologi negara.
Di masa kemerdekaan ini hukum Islam mengalami dua periode, yaitu periode
persuasive-source dan authoritative-source. Pada periode persuasive adalah periode
penerimaan hukum Islam sebagai persuasif, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus
yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi UUD
1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun
dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun hukum Islam berlaku
bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-sourcedi mulai ketika piagam Jakarta ditempatkan dalam
Dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans Dekrit presiden disebutkan “bahwa
kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945

4
dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.” Dengan
demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan
perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya
memiliki kedudukan hukum yang sama.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus
diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis- garis Besar Haluan
Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional, menghendaki terciptanya
hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila
dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus
memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama
(termasuk hukum Islam) sebagai unsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya
formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional. Formalisasi hukum Islam dilakukan
dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perundangan. Dalam
peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah
kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Pasal 2
ayat (2) UU No.1tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan
hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan
agama.
2. Teori-teori Yang Mempengaruhi Pasang Surut Perkembangan Hukum Islam
Dalam pemberlakuan hukum Islam di Indonesia setidaknya memiliki beberapa
teori yang mempengaruhi pasang surut perkembangan di Indonesia, yakni:
a. Teori Kredo atau Syahadat
Teori Kredo atau teori syahadat di sini ialah teori yang mengharuskan pelaksanaan
hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai
konsekuensi logis dari pengucapan kredonya. Teori kredo atau Syahadat ini sesungguhnya
kelanjutan dari prinsip Tauhid dalam filsafat hukum Islam. Prinsip Tauhid menghendaki
setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada ke-Maha Esaan Allah, maka ia
harus tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh Allah. Dalam hal ini taat kepada
perintah Allah dalam Al-Qur'an sebagaimana ayat-ayatnya telah disebutkan di atas, dan
sekaligus pula taat kepada Rasul dan Sunnahnya. Gibb menyatakan bahwa orang Islam
yang telah menerima Islam sebagai agamanya berarti ia telah menerima otoritas hukum
Islam atas dirinya.

5
Teori Gibb ini sama dengan apa yang telah diungkapkan oleh imam madzhab,
seperti al-Syafi’i dan Abu Hanifah ketika mereka menjelaskan teori mereka tentang politik
hukum internasional Islam (Fiqh Siyasah Dauliyyah) dan hukum pidana Islam (Fiqh
Jinayah). Mereka mengenal teori teritorialitas dan non teritorialitas, teritorialitas dari Abu
Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam
sepanjang ia berada di wilayah hukum dimana hukum Islam diberlakukan. Sementara
teori non teritorialitas dari al-Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya
terikat untuk melaksanakan hukum Islam dimanapun ia berada, baik diwilayah hukum
dimana hukum Islam diberlakukan, maupun di wilayah hukum di mana hukum Islam tidak
diberlakukan. Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah
penganut madzhab Syafi'i sehingga berlakunya teori syahadat ini tidak dapat disangsikan
lagi. Teori Kredo atau Syahadat ini berlaku di Indonesia sejak kedatangannya hingga
kemudian lahir teori Receptio in Complexu di zaman Belanda
b. Teori Receptio in Complexu (Periode penerimaan hukum Islam secara penuh)
Periode penerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio in complexu) adalah
periode dimana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai
pegangan dalam kehidupan beragama. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini
diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927). Ia
dikenal sebagai "orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum Islam
di Indonesia" walaupun sebelumnya telah banyak penulis yang membicarakannya. Berg
mengkonsepsikan Stbl. 1882 No. 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi
atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berada didalam lingkungan hidupnya.
Hukum Islam berlaku bagi masyarakat yang menganut agama Islam. Oleh karena itu,
sesuai dengan konsepnya dalam Stbl. Tersebut diatas itulah ia dikenal sebagai pencetus
teori receptio in complexu sebagaimana dijelaskan di atas. Teori receptio in complexu ini
telah diberlakukan pula dizaman VOC sebagaimanaterbukti telah dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyelesaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal didalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal
sebagai Nederlandsch Indie.
c. Teori Receptie (Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat)
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. yang dikenal dengan teori
Receptie, adalah periode dimana hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki
atau diterima oleh hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang
teori yang telah berlaku sebelumnya, yaitu teori Receptie In Complexu. Teori ini

6
dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Yakni penasehat pemerintah
Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan bukan dan Bumi Putera. Menurut Snouck hukum
Islam dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari hukum adat. Bagi Snouck sikap
pemerintah Hindia Belanda sebelumnya menerima teori Receptie In Compexu bersumber
dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya masyarakat
muslim. Ia berpendapat bahwa sikap terhadap umat Islam selama ini merugikan
pemerintah Jajaran sendiri, di samping itu snock berharap situasi agar orang-orang
pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang agama
Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama Islam (Hukum Islam)
tidak mudah mempengaruhi orang peradaban barat Kemudian teori resepsi ini oleh
Snouck diberi dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi
pengganti RR yang disebut Wet Op De Staat Snrichting Van Nederlands Indie, yang
disingkat Indische Staat Regeering (IS) yang diundangkan pada tahun 1929. lebih lanjut
disebutkan pada pasal 134 ayat 2, yang berbunyi “Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
d. Teori Receptie Exit
Pelopor berlakunya teori receptie exit bagi hukum Islam di Indonesia adalah Prof.
Dr. Hazairin, S. H. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45) dijadikan Undang-
undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi, Alasan yang dikemukakan
Hazairin menyatakan bahwa teori Receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum
Indonesia Merdeka. Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Secara
tegas UUD "45 menyatakan bahwa "negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dan
"negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Demikian dinyatakan
dalam pasal 29 ayat (1) dan (2).
e. Teori Receptio A Contario
Teori ini oleh Hazairin dan Sayuti Thalib sebagai pematah teori receptie. Dikatakan
sebagai pematah, karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan
arah dengan toeri receptie Christian Hurgronje. Pada teori ini justru hukum adatlah yang
berada di bawah hukum Islam dan harus sejiwa dengan hukum Islam, sehingga hukum
adat baru dapat berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam. Sayuti Thalib menyatakan

7
bahwa dalam hukum perkawinan dan kewarisan bagi umat Islam berlaku hukum Islam.
Hal ini sesuai dengan keyakinan, cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yakni teori ini
mengemukakan bahwa hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam manakala tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa teori Receptio A
Contrario merupakan kebalikan dari teori Receptie. Teori receptie a contcario dapat
berlaku juga bagi hukum agama selain agama Islam, yaitu agama yang diakui oleh
peraturan perundang-undangan Indonesia.
3. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Perjalanan pengadilan agama mengalami pasangnya. Adakalanya berwenang dan
kekuasaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Dan pada kesempatan lain kekuasaan dan otoritasnya dibatasi dengan
berbagai kebijakan dan peraturan perudang-undangan, sering kali mengalami berbagai
rekayasa dari penguasa dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama
melemah. Pada awal periode masuknya Islam, bentuk peradilan yang dilaksanakan masih
sangat sederhana. Yaitu dalam bentuk tahkim kepada pemuka agama. Para pihak yang
terlibat dalam suatu perkara perselisihan dengan sukarela menyerahkan perkara mereka
kepada orang yang dianggap bisa menjadi penengah dan orang yang berperkara akan
tunduk dengan keputusannya. Tradisi ini merupakan cikal bakal peradilan agama di
Indonesia. Pada tahun 1882 dibentuklah Pengadilan Agama di tempat terdapatnya
Pengadilan Negeri (Landraad). Wewenang Pengadilan Agama meliputi hukum-hukum
perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Keberadaan Pengadilan Agama
dicantumkan dalam pasal 78 ayat (2) R.R. tahun 1882, bahwa dalam hal terjadinya perkara
perdata antara sesama orang bumi putera dengan mereka yang disamakan dengan
mereka maka mereka tunduk pada putusan Hakim Agama atau kepala masyarakat yang
menyelesaikan perkara itu menurut Undang-undang Agama (Godsdientige wetten) atau
ketentuan-ketentuan lain mereka. Tanggal 1 Agustustus 1882, keputusan Raja Belanda
(Konninkklijk Besluit) No. 24 Raja Willem III dinyatakan mulai berlaku. Keputusan yang
dimuat dalam Staatsblad 1882 No. 152 itu memuat pembentukan badan peradilan yang
disebut Bepaling betreffende de Priesterraden op Jawa en Madura (sering disingkat
Priesterraden saja). Selanjutnya disebut dengan Raad Agama atau Rapat Agama dan
terakhir disebut Pengadilan Agama. Keputusan Raja Belanda ini lebih bersifat
administratif dan prosedural. Walaupun dalam pelaksanaanya mengalami berbagai
kendala finansial dan administratif. Akan tetapi kebijakan ini masih menguntungkan bagi
penetapan hukum Islam.

8
Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti menyangkut
Peradilan Agama. Keadaan yang sudah ada dilanjutkan sampai Jepang kalah dalam Perang
Dunia II. Dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1942, pemerintah Jepang menetapkan
Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon. Pengadilan itu pada dasarnya
adalah lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada. Karena situasi yang tidak
mendukung, Jepang tidak melaksanakan perubahan besar secara praktis. Akan tetapi
nama yang digunakan untuk lembaga peradilan itu diganti dengan bahasa Jepang, seperti
Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Keen
Hooin, Raad van Justitie (Pengadilan Negeri) diganti dengan Tihoo Hooin dan Pengadilan
Agama diganti dengan Sooryo Hooin. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebuah
departemen yang menangani masalah keagamaan dibentuk, tepatnya tanggal 3 Januari
1946. Semua urusan serta pengawasan peradilan agama dipindahkan dari Menteri Urusan
Agama. Pemindahan ini tidak hanya mempertegas identitas peradilan agama tapi juga
memperluas jurang antara peradilan umum dan peradilan agama. Di lain pihak,
pemerintah merasa perlu untuk mempunyai ketentuan pencatatan nikah, talak dan ruju’.
Karena itudikeluarkan UU No. 22 Tahun 1946. Untuk sementara UU itu hanya berlaku
untuk wilayah Jawa dan Madura. Sementara itu sejak 1 Agustus 1946, diluar Jawa dan
Madura berdiri peradilan agama dengan nama Mahkamah Syari’ah yang berwenang
menangani masalah kewarisan dan wakaf.
Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap peradilan agama
sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya UU ini kedudukan
peradilan Agama menjadi sama dan sejajar dengan peradilan lainnya. Tanggal 28
Desember 1989, pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. UU ini merupakan landasan kedudukan dan kekuasaan peradilan agama sekaligus
memperkuat posisi peradilan agama.

9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam telah berkembang jauh sebelum penjajahan yang dilakukan Belanda
terhadap Indonesia. Hukum Islam berkembang dari kerajaan-kerajaan yang di dirikan
sesuai dengan agama yang dianutnya pada masa itu, kerajaan Islam pertama adalah
Samudera Pasai di wilayah Aceh Utara. Kemudian perkembangan hukum Islam berlanjut
di masa penjajahan Belanda hingga pasca penjajahan Belanda. Hukum Islam mengalami
pasang surut di Indonesia sebagaimana yang terjadi di beberapa teori perkembangan.
Dalam penegakannya, Islam memiliki institusi sendiri yang berwewenang dalam mengadili
perkara-perkara umat Islam khusus perkawinan dan lainnya. Pelaksanaan hukum Islam
berdasarkan teori kredo atau syahadat yang berupa teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat
sebagai konsekuensi logis dari pernyataannya. Sejarah perkembangan hukum Islam pada
masa penjajahan Belanda terbagi dalam dua teori, yaitu teori Receptio in Complexu dan
teori Receptie. Teori Receptio in Complexu menyatakan bahwa penerimaan hukum Islam
secara menyeluruh oleh umat Islam, sedang teori Receptie menyatakan bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum Islam yang telah diresepsi oleh hukum adat.
Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti
dengan formalisasi terhadap hukum Islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila
sebagai Ideologi negara. Formalisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya
mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perundang-undangan.
Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serat wakaf dan shadaqah.

10
DAFTAR PUSTAKA
Rifqi, M. J. (2020). Perkembangan dan Pemanfaatan Teknologi Informasi Pengadilan
Agama. Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, 7(1), 70-82.

Ahmad, R. (2015). Peradilan Agama di Indonesia. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan
Hukum Islam, 6(2), 311-339.

Buzama, K. (2012). Pemberlakuan Teori-Teori Hukum Islam diIndonesia. Al'Adalah, 10(2),


467-472.

Herawati, A. (2017). PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Belanda, Jepang,


dan Indonesia Merdeka sampai sekarang). Ash-Shahabah, 3(1), 49-58.

Tamam, A. B. (2018, April). Perkembangan Hukum Islam di Indonesia. In Proceedings of


Annual Conference for Muslim Scholars (No. Series 2, pp. 839-855).

11

Anda mungkin juga menyukai