PENDAHULUAN
daripada pria (3,6%).1 Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018
menunjukkan prevalensi depresi di Indonesia untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 15,6 juta orang atau 6,1% dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia dan hanya sekitar 9% dari jumlah tersebut yang mendapatkan
perawatan terapi.2
Menurut PPDGJ-III, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai dengan gejala utama berupa afek depresif, kehilangan minat maupun
anhedonia, dan kehilangan energi yang ditandai dengan cepat lelah, dan dengan
gejala tambahan lainnya seperti konsentrasi menurun, kepercayaan diri berkurang,
rasa tidak berguna, tidur terganggu, nafsu makan yang berkurang sehingga berat
badan menurun, serta memiliki pandangan masa depan yang suram serta
pesimistis dan gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.3
Gangguan depresi mencakup dua kelompok utama, yaitu gangguan depresi mayor
dan dysthymia. Gangguan depresi mayor atau disebut juga episode depresi
memiliki gejala seperti perasaan tertekan, kehilangan minat, dan penurunan energi
serta dapat dikategorikan berdasarkan tingkat keparahan gejala sebagai depresi
ringan, sedang, atau berat. Sementara dysthymia merupakan bentuk depresi ringan
1
yang persisten atau kronis dengan gejala mirip dengan episode depresi, tetapi
mahal, tidak mudah didapat, dan tidak selalu efektif. 5 Pasien sering mengalami
keluhan karena efek samping obat dan kepatuhan meminum obat pun rendah.
Oleh sebab itu, salah satu pilihan non- farmakologis yang bermanfaat untuk terapi
2
interaksi beberapa mekanisme neurofisiologis, seperti hormon, neurotrofin, dan
biomarker inflamasi.8
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.2.1. Etiologi
a. Faktor biologis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 phenil methoxy-O-hydroksi glikol), di dalam darah, urin, dan
cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang
terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan Norepinefrin. Adanya
penurunan regulasi reseptor β-adrenergik dan respon antidepresan klinis
mungkin adalah salah satu potongan yang paling menakjubkan yang
menunjukkan peranan langsung terhadap noradrenergik pada depresi.
4
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan
impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah
didalam cairan serebrospinal serta konsentrasi pengambilan serotonin yang
rendah pada trombosit. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin
biogenik yang paling sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin
juga pernah diteorikan memiliki peran. Data yang mendukung bahwa aktifitas
dopamin berkurang pada depresi dan meningkat pada mania.4
Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat
pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung
neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya
disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat
menimbulkan perubahan pada amin 4 biogenik sentral. Aksis neuroendokrin
yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan 4
Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.
Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer
nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan
fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang
menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi CRH.5
Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama diketahui sebagai salah
satu gejala utama gangguan depresi. Polisomnografi telah banyak digunakan
dalam studi biologis untuk mengetahui disregulasi tidur pada pasien dengan
gangguan depresi mayor. Beberapa ilmuwan beranggapan bahwa depresi dapat
mencetuskan gangguan pola tidur, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
hal yang sebaliknya.6
5
Sistem sirkadian manusia dikontrol oleh pacemaker biologis yang
berlokasi pada nukleus suprakiasmatik di hipotalamus. Jam biologis ini
diregulasi oleh zeitgeber eksternal, termasuk siklus gelap atau terang, paparan
sinar terang dari lingkungan, maupun kegiatan sosial. Banyak ritme sirkadian,
seperti kortisol, melatonin, dan thyroid stimulating hormone (TSH) terganggu
pada depresi.6
Gangguan afektif musiman adalah bentuk penyakit depresi yang biasanya
muncul selama musim gugur dan musim dingin. Depresi tersebut akan
berakhir setelah musim semi dan musim panas. Studi menunjukkan bahwa
gangguan afektif musiman juga dimediasi oleh perubahan kadar serotonin
dalam sistem saraf pusat. Hal ini juga dipengaruhi oleh ritme sirkadian dan
paparan sinar matahari.6
b. Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisannya
melalui mekanisme yang kompleks. Komponen genetik memainkan peranan
yang lebih bermakna di dalam menurunkan gangguan bipolar daripada
gangguan depresi berat.4
c. Faktor psikososial
Terdapat pengamatan bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih
sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah
teori menerangkan bahwa stres yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional dari beberapa neurotransmiter dan sistem pemberian sinyal
intraneuron, perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan
berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya, seseorang memiliki
resiko tinggi mengalami episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa
stressor eksternal. Peristiwa hidup memegang peran utama dalam depresi.4
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi. Setiap orang dengan
6
pola kepribadian apapun dapat mengalami depresi dibawah situasi yang
sesuai.4
Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund Freud
dikenal sebagai pandangan klasik mengenai depresi. Teori ini meliputi 4 poin
penting : (1) gangguan hubungan ibu dan bayi selama fase oral (10-18 bulan
pertama kehidupan) mejadi predisposisi kerentanan selanjutnya terhadap
depresi; (2) depresi dapat dikaitkan dengan kehilangan objek yang nyata atau
khayalan; (3) introyeksi objek yang meninggal adalah mekanisme pertahanan
yang dilakukan untuk menghadapi penderitaan akibat kehilangan objek; (4)
kehilangan objek dianggap sebagai campuran cinta dan benci sehingga rasa
marah diarahkan kedalam dirinya sendiri.
7
4. Gangguan depresi psikotik
Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti:
halusinasi dan delusi.
5. Gangguan depresi musiman
Gangguan depresi yang muncul pada saat musim dingin dan
menghilang pada musi semi dan musim panas.
8
mengalami peningkatan di banyak budaya, namun spekulasinya
berfokus pada perubahan sosial dan lingkungan, seperti
meningkatnya disintegrasi keluarga karena relokasi, pemaparan
terhadap perang, dan konflik internal, serta meningkatnya angka
kriminal yang disertai kekerasan, seiring dengan kemungkinan
pemaparan terhadap racun atau virus di lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesehatan mental maupun fisik.
9
c) Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun,
tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual berubah
(mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati. Gejala
biasanya lebih buruk di pagi hari.
d) Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan sosial,
kehilangan kenikmatan dan perhatian terhadap kegiatan yang biasa
dilakukan, banyak memikirkan kematian dan bunuh diri, perasaan negatif
terhadap diri sendiri, persahabatan, serta hubungan sosial.
2.5. DIAGNOSIS
1) Kriteria depresi menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PDGJ) III:7
1. F32 Episode depresif
1) Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat):
a) Afek depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah
kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
2) Gejala lainnya:
a) Konsentrasi dan perhatian berurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh
diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang
10
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori jika diagnosis episode depresif ringan (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33-).
11
F32.11 = dengan gejala somatik
12
2. F33 Gangguan depresif berulang
Pedoman diagnostik
1) Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:
a) Episode depresi ringan (F32.0)
b) Episode depresi sedang (F32.1)
c) Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi
frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
2) Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2)
Namun kategori ini tetap harus digunakan jikan ternyata ada episode
singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi).
3) Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun
sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini
tetap harus digunakan)
F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan
Pedoman diagnostik
13
Pedoman diagnostik
14
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah dipenuhi
di masa lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi
kriteria untuk episode depresif dengan derajat keparahan apapun atau
gangguan lain apapun dalam F30-F39; dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan
afektif yang bermakna.
F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT
15
5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh
orang lain, bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang
subyektif).
6) Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7) Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat
waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau
rasa bersalah karena menderita sakit).
8) Penurunan kemampuan unttuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh
keragu-raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan
secara subyektif atau teramati oleh orang lain).
9) Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran
berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas,
atau ada usaha bunuh diri tau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis
lainnya.
Catatan: kriteria A-C menggambarkan episode depresi.
Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah finansial,
lolos dari bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan
sedih yang berat, pemikiran tetang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu
makan, dan penurunan berat badan seperti yang terdapat di kriteria A,
mungkin menyerupai depresi. Walaupun gejala-gejala tersebut mungkin
dapat dipahami atau dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap
kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan.
Keputusan ini tidak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan
klinis berdasarkan riwayat hidup individu dan norma budaya dalam
menentukan distress akibat kehilangan.
D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spectrum
skizofrenia lainnya yang tidak spesifik.
16
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik.
2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut.9
Terapi pasien gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan.
Pertama, keamanan pasien harus terjamin, kedua, evaluasi diagnostik lengkap
pada pasien. Ketiga rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu,
tetapi kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaupun saat
17
ini terapi menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan pada pasien
secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga dikaitkan dengan
meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan
demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor di dalam
kehidupan pasien.4
A. Terapi Psikoterapi4,8
1) Terapi kognitif
Terapi ini difokuskan pada distorsi kognitif yang diperkirakan ada pada
gangguan depresi berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif
terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak
realistis mengenai konsekuensinya, contohnya apati dan kurang tenaga
adalah akibat pengharapan pasien mengenai kegagalan di semua area..
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresi dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji
kognisi negatif; mengembangkan cara pikir alternatif, fleksibel dan positif;
serta melatih respon perilaku dan kognitif yang baru. Kombinasi farmako
terapi dan terapi kognitif sangat efektif untuk depresi berat.
2) Terapi interpesonal
Terapi ini memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pada
pasien saat ini. Terapi didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah
interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini
cenderung terlibat dalam mencetuskan dan melanjutkan gejala depresif saat
ini.
3) Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa perilaku maladaptif
mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan
mungkin sesekali penolakan dari masyarakat. Sehingga terapi perilaku
membantu pasien untuk memusatkan pada mengubah perilaku maldaptif di
dalam terapi.
4) Terapi berorientasi Psikoanalitik
18
Tujuan terapi ini adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadian seseorang, bukan hanya meredakan gejala. Perbaikan
kepercayaan interpersonal, keintiman, mekanisme koping, kapasitas
berduka, serta kemampuan mengalami kisaran luas emosi.
5) Terapi Keluarga
Terapi keluarga umumnya tidak digunakan sebagai terapi primer untuk
pengobatan gangguan depresif berat, tetapi semakin banyaknya bukti
menyatakan bahwa membantu seoarang pasien dengan gangguan mood
menurunkan stress dan menerima stress dapat menurunkan kemungkinan
relaps. Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan membahayakan
perkawinan atau fungsi keluarga pasien atau jika gangguan mood
dikembangkan atau dipertahankan oleh situasi keluarga. Terapi keluarga
memeriksa peranan anggota yang mengalami gangguan mood dalam
kesehatan psikologis keseluruhan keluarga; terapi ini juga memeriksa
peranan keseluruhan keluarga dalam mempertahankan gejala pasien. Pasien
dengan gangguan mood memiliki angka perceraian yang tinggi, dan kira-
kira 50% dari semua pasangan melaporkan bahwa mereka seharusnya tidak
menikah dengan pasien atau memiliki anak jika mereka tahu bahwa pasien
akan memiliki suatu gangguan mood.
B. Farmakoterapi4,8
Terapi gangguan depresi berat yang efektif adalah seperti obat trisiklik
diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa pasien depresi akan pulih
dalam 1 bulan. Meskipun demikian, masalah akan tetap ada dalam terapi
gangguan depresi berat: sejumlah pasien tidak merespon terhadap pemberian
terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3 sampai
4 minggu hingga memberi pengaruh terapeutik yang bermakna, walaupun obat
tersebut dapat memperlihatkan pengaruhnya lebih dini, dan relatif sampai saat ini,
semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila overdosis serta memiliki
efek samping. Pengenalan SSRI, seperti flouxetin, paroksetin dan sertalin,
bupropion, venlafaksin, nevazodon dan mirtazapin, menawarkan klinisi obat-obat
yang sama efektif tetapi lebih aman dan lebih ditoleransi dari pada obat-obat
19
sebelumnya. Indikasi untuk obat antidepresan (contohya, gangguan makan, dan
gangguan anxietas) membuat pengelompokkan obat-obat ini dibawah satu label
antidepresan yang membingungkan.
Indikasi utama antidepresan adalah episode depresi berat. Gejala pertama yang
akan membaik adalah pola tidur dan nafsu makan yang buruk. Agitasi, anxietas,
episode depresi dan rasa putus asa adalah gejala selanjutnya yang akan membaik.
Gejala target lainnya adalah kurang tenaga, konsentrasi buruk, ketidakberdayaan
dan menurunnya libido.
20
2.9. LATIHAN
Intervensi olahraga secara klinis merupakan suatu bentuk kegiatan fisik
yang terencana, terstruktur, dan berulang yang digunakan untuk meningkatkan
21
untuk menghadapi situasi tertekan atau stres.12 Hormon kortisol membantu untuk
menjaga homeostasis tubuh dan memberi umpan-balik negatif tehadap aksis HPA.
Stres yang terus-menerus menyebabkan konsentrasi kortisol didalam plasma, urin,
dan cairan serebrospinal (CSS) yang sangat tinggi sehingga menyebabkan
disregulasi aksis HPA dan gangguan endokrin pada pasien depresi. Menurut
Nabkasorn et al (2006) ditemukan pada 28 pasien perempuan berusia 18–20 tahun
dengan gejala depresi ringan hingga sedang yang melakukan olahraga berupa
jogging selama 50 menit per minggu menunjukkan hasil penurunan signifikan
pada ekskresi kortisol selama 24 jam (p=0,003) dan ekskresi epinefrin (p=0,031)
dalam urin.12
Gangguan pada neuroendokrin karena disregulasi aksis HPA akibat stres
juga dapat mengganggu modulasi kekebalan tubuh dan menyebabkan pelepasan
sitokin pro-inflamasi.12 Oleh sebab itu, gejala depresi ditandai oleh peningkatan
produksi sitokin pro- inflamasi, seperti interleukin-1beta (IL-1β), interleukin-2
(IL-2), interleukin-6 (IL- 6), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan lainnya.
Selama olahraga, kontraksi otot dapat menginduksi pelepasan miokin yang akan
meningkatkan ekspresi PGC-1a dan menurunkan pelepasan sitokin pro-
inflamasi.11,12
Pada penelitian meta-analisis oleh Rethorst et al (2013) pada kelompok
usia 18-70 tahun dengan gangguan depresi yang melakukan latihan fisik
menunjukkan hasil terjadi penurunan pada IL-1β (p = 0,0441) dan TNF-α (p =
0,0023) yang disertai penurunan pada gejala depresi setelah 12 minggu intervensi
latihan aerobik. Kondisi stress berkelanjutan juga dapat menyebabkan
subsensitivitas reseptor pada membran sel pascasinaptik sehingga konsentrasi
22
memicu produksi monoamin di vesikel sinaptik otak. Olahraga dapat secara
langsung memodulasi tingkat dan fungsi neurotransmiter tersebut. Olahraga dapat
meningkatkan pelepasan neurotransmiter yang dimediasi oleh aktivasi Brain-
derived Neurotrophic Factor (BDNF) sehingga dapat menurunkan gejala
depresi.11,12
BDNF adalah faktor neurotropic hipokampus yang memiliki peran penting
dalam perlindungan sel saraf, neurogenesis, neuroregenerasi dan plastisitas
sinaptik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa olahraga dapat meningkatkan
kadar BDNF untuk pertumbuhan hipokampus dan meningkatkan regulasi hormon
memiliki efek antidepresan pada latihan fisik yang persisten dalam model tikus.
Pada model tikus lain, IGF-1 ditemukan dapat mengurangi perilaku depresi
karena efek anti- inflamasi yang diberikan setelah latihan fisik. Tetapi, terdapat
penelitian yang menemukan bahwa tidak terdapat perubahan signifikan dalam
level IGF-1 setelah intervensi olahraga.11,12
Penelitian oleh Krogh et al (2014) menunjukkan bahwa volume
hipokampus, BDNF, VEGF, dan IGF-1 tidak berbeda antara kelompok yang
23
mengikuti tiga sesi latihan aerobik per minggu selama tiga bulan dan kelompok
24
Efek dosis-respons dengan olahraga dalam pengobatan untuk depresi telah
dicatat. Dalam satu studi, latihan beban intensitas tinggi lebih efektif daripada
latihan beban intensitas rendah dalam mengobati depresi.13 Latihan beban
intensitas rendah dan perawatan dokter umum ditemukan memiliki peningkatan
yang hampir sama dalam depresi yang konsisten dengan jumlah yang diterima
secara luas dari efek plasebo 30% dalam pengobatan depresi. Dengan latihan
aerobik, intensitas menyamai pengeluaran energi dalam rekomendasi kesehatan
masyarakat adalah lebih efektif daripada program gerakan terpandu intensitas
rendah yang memiliki pengurangan gejala depresi yang sama dengan kelompok
plasebo.13
Sementara penelitian lebih lanjut diperlukan pada jenis latihan yang
diperlukan untuk pengobatan depresi, penelitian yang tersedia menunjukkan
bahwa jenis latihan tidak sepenting memiliki aktivitas fisik mencapai intensitas
yang cukup. Sebagai contoh, baik lari dan angkat berat ditemukan secara
signifikan mengurangi gejala depresi tanpa perbedaan signifikan yang ditemukan
antara dua bentuk aktivitas fisik ini dan penurunan gejala.13
25
BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
Depresi merupakan suatu gangguan mood yang memiliki gejala utama
berupa afek depresif, kehilangan minat atau anhedonia, dan kehilangan energi
yang disertai gejala lain seperti rasa tidak berguna, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang hingga berat badan menurun, serta memiliki pandangan pesimistis dan
gagasan atau perbuatan membahayakan diri. Etiologi dari depresi terdiri dari
faktor genetik, faktor neurofisiologis, faktor kognitif, faktor psikodinamik, serta
faktor psikososial. Olahraga merupakan terapi pilihan untuk gangguan depresi.
Olahraga menurunkan gejala depresi melalui beberapa mekanisme
neurofisiologis. Olahraga dapat memodulasi beberapa parameter seperti hormon,
neurotropin, dan biomarker inflamasi. Olahraga meningkatkan pelepasan
neurotransmiter yang dimediasi oleh aktivasi Brain-derived Neurotrophic Factor
(BDNF). Peningkatan BDNF, VEGF, dan IGF-1 sebagai faktor neurotropik di
hipokampus berguna untuk pertumbuhan sel saraf, meningkatkan regulasi
hormon stres yaitu kortisol pada aksis hipotalamus-hipofisis- adrenal (HPA), dan
menurunkan pelepasan sitokin pro-inflamasi sehingga gejala depresi dapat
berkurang.
Olahraga efektif digunakan untuk terapi terhadap gangguan depresi.
Olahraga direkomendasikan untuk pencegahan maupun intervensi dini pasien
depresi karena memiliki efek antidepresan yang signifikan dan risiko mengalami
efek samping yang rendah.
26
DAFTAR PUSTAKA
27
28