Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG


Gangguan jiwa masih menjadi permasalahan kesehatan yang signifikan di

dunia. Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2018


diperkirakan sekitar juta orang mengalami depresi di seluruh dunia, setara dengan
4,4% dari populasi penduduk dunia. Hampir setengah populasi berada di wilayah
Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Gangguan depresi menjadi kontributor utama
untuk disabilitas global (7,5% dari seluruh populasi dengan disabilitas) dan
juga merupakan kontributor terbesar kematian akibat bunuh diri dengan jumlah
mendekati 800.000 per tahun. Depresi lebih sering terjadi pada wanita (5,1%)

daripada pria (3,6%).1 Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018
menunjukkan prevalensi depresi di Indonesia untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 15,6 juta orang atau 6,1% dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia dan hanya sekitar 9% dari jumlah tersebut yang mendapatkan

perawatan terapi.2
Menurut PPDGJ-III, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang

ditandai dengan gejala utama berupa afek depresif, kehilangan minat maupun
anhedonia, dan kehilangan energi yang ditandai dengan cepat lelah, dan dengan
gejala tambahan lainnya seperti konsentrasi menurun, kepercayaan diri berkurang,
rasa tidak berguna, tidur terganggu, nafsu makan yang berkurang sehingga berat
badan menurun, serta memiliki pandangan masa depan yang suram serta

pesimistis dan gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.3
Gangguan depresi mencakup dua kelompok utama, yaitu gangguan depresi mayor
dan dysthymia. Gangguan depresi mayor atau disebut juga episode depresi
memiliki gejala seperti perasaan tertekan, kehilangan minat, dan penurunan energi
serta dapat dikategorikan berdasarkan tingkat keparahan gejala sebagai depresi
ringan, sedang, atau berat. Sementara dysthymia merupakan bentuk depresi ringan

1
yang persisten atau kronis dengan gejala mirip dengan episode depresi, tetapi

cenderung kurang intens dan bertahan lebih lama.1


Secara umum, pasien depresi menunjukkan gaya hidup tidak sehat yang

menetap, termasuk jarang melakukan aktivitas fisik, kebutuhan nutrisi tidak


tercukupi, atau merokok. Menurut Riskesdas (2018), proporsi aktivitas fisik yang
kurang pada penduduk Indonesia usia ≥10 tahun sebesar 33,5% selama tahun
2013-2018 dan tergolong tinggi. Akibat gaya hidup yang tidak sehat, pasien
depresi memiliki risiko lebih tinggi untuk kematian dini dengan harapan hidup
4
lebih pendek 10 hingga 15 tahun dari populasi umum. Terapi umum yang
digunakan untuk gangguan depresi yaitu obat-obatan yaitu antidepresan,
psikoterapi, atau keduanya. Banyak orang yang mengalami depresi tetapi tidak
mencari pengobatan, diketahui hanya sekitar 9% dari orang dengan depresi di
Indonesia yang mendapatkan perawatan, sebagian besar diakibatkan oleh stigma
sosial yang terkait dengannya. Terapi farmakologis yang biasa digunakan yaitu
antidepresan generasi kedua. Akan tetapi, penggunaan antidepresan dianggap

mahal, tidak mudah didapat, dan tidak selalu efektif. 5 Pasien sering mengalami
keluhan karena efek samping obat dan kepatuhan meminum obat pun rendah.
Oleh sebab itu, salah satu pilihan non- farmakologis yang bermanfaat untuk terapi

depresi ialah olahraga.6


Intervensi olahraga atau latihan fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh
yang terencana, terstruktur, dan berulang yang berguna untuk meningkatkan atau

mempertahankan kebugaran fisik dan dapat membakar energi.7 Latihan fisik


memiliki risiko rendah mengalami efek samping dan dapat diadaptasi sesuai
status fungsional pasien. Bentuk latihan baik aerob maupun anaerob telah
bermanfaat dalam mengurangi gejala depresi, seperti berjalan, berlari,
bersepeda, dan lainnya. Menurut Schuch et al (2017), latihan fisik memiliki efek
antidepresan yang bermanfaat untuk menurunkan depresi yang dihasilkan dari

2
interaksi beberapa mekanisme neurofisiologis, seperti hormon, neurotrofin, dan

biomarker inflamasi.8

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. DEFINISI DEPRESI


Depresi merupakan gangguan mental yang serius yang ditandai dengan
perasaan sedih dan cemas. Gangguan ini biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari tetapi dapat juga berkelanjutan yang dapat mempengaruhi
aktivitas sehari-hari. 1
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan
munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu,
perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan
penurunan konsentrasi.2
Menurut PPDGJ-III, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai dengan gejala utama berupa afek depresif, kehilangan minat maupun
anhedonia, dan kehilangan energi yang ditandai dengan cepat lelah, dan dengan
gejala tambahan lainnya seperti konsentrasi menurun, kepercayaan diri berkurang,
rasa tidak berguna, tidur terganggu, nafsu makan yang berkurang sehingga berat
badan menurun, serta memiliki pandangan masa depan yang suram serta
pesimistis dan gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri.1

2.2. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI DEPRESI

2.2.1. Etiologi
a. Faktor biologis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic
acid), MPGH (5 phenil methoxy-O-hydroksi glikol), di dalam darah, urin, dan
cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang
terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan Norepinefrin. Adanya
penurunan regulasi reseptor β-adrenergik dan respon antidepresan klinis
mungkin adalah salah satu potongan yang paling menakjubkan yang
menunjukkan peranan langsung terhadap noradrenergik pada depresi.

4
Kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan
impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah
didalam cairan serebrospinal serta konsentrasi pengambilan serotonin yang
rendah pada trombosit. Walaupun norepinefrin dan serotonin adalah amin
biogenik yang paling sering dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin
juga pernah diteorikan memiliki peran. Data yang mendukung bahwa aktifitas
dopamin berkurang pada depresi dan meningkat pada mania.4
Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat
pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung
neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya
disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi
neuron yang mengandung amin biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang
mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) dapat
menimbulkan perubahan pada amin 4 biogenik sentral. Aksis neuroendokrin
yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan 4
Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan
aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi yang
terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem
limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH. Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.
Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer
nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan
fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang
menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi CRH.5
Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama diketahui sebagai salah
satu gejala utama gangguan depresi. Polisomnografi telah banyak digunakan
dalam studi biologis untuk mengetahui disregulasi tidur pada pasien dengan
gangguan depresi mayor. Beberapa ilmuwan beranggapan bahwa depresi dapat
mencetuskan gangguan pola tidur, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
hal yang sebaliknya.6

5
Sistem sirkadian manusia dikontrol oleh pacemaker biologis yang
berlokasi pada nukleus suprakiasmatik di hipotalamus. Jam biologis ini
diregulasi oleh zeitgeber eksternal, termasuk siklus gelap atau terang, paparan
sinar terang dari lingkungan, maupun kegiatan sosial. Banyak ritme sirkadian,
seperti kortisol, melatonin, dan thyroid stimulating hormone (TSH) terganggu
pada depresi.6
Gangguan afektif musiman adalah bentuk penyakit depresi yang biasanya
muncul selama musim gugur dan musim dingin. Depresi tersebut akan
berakhir setelah musim semi dan musim panas. Studi menunjukkan bahwa
gangguan afektif musiman juga dimediasi oleh perubahan kadar serotonin
dalam sistem saraf pusat. Hal ini juga dipengaruhi oleh ritme sirkadian dan
paparan sinar matahari.6
b. Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisannya
melalui mekanisme yang kompleks. Komponen genetik memainkan peranan
yang lebih bermakna di dalam menurunkan gangguan bipolar daripada
gangguan depresi berat.4
c. Faktor psikososial
Terdapat pengamatan bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan lebih
sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah
teori menerangkan bahwa stres yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional dari beberapa neurotransmiter dan sistem pemberian sinyal
intraneuron, perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan
berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya, seseorang memiliki
resiko tinggi mengalami episode gangguan mood berikutnya, bahkan tanpa
stressor eksternal. Peristiwa hidup memegang peran utama dalam depresi.4
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas
merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi. Setiap orang dengan

6
pola kepribadian apapun dapat mengalami depresi dibawah situasi yang
sesuai.4
Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund Freud
dikenal sebagai pandangan klasik mengenai depresi. Teori ini meliputi 4 poin
penting : (1) gangguan hubungan ibu dan bayi selama fase oral (10-18 bulan
pertama kehidupan) mejadi predisposisi kerentanan selanjutnya terhadap
depresi; (2) depresi dapat dikaitkan dengan kehilangan objek yang nyata atau
khayalan; (3) introyeksi objek yang meninggal adalah mekanisme pertahanan
yang dilakukan untuk menghadapi penderitaan akibat kehilangan objek; (4)
kehilangan objek dianggap sebagai campuran cinta dan benci sehingga rasa
marah diarahkan kedalam dirinya sendiri.

2.2.2. Klasifikasi Depresi


Gangguan depresi terdiri dari berbagai jenis, yaitu:5,6
1. Gangguan depresi mayor
Gejala-gejala dari gangguan depresi mayor berupa perubahan dari
nafsu makan dan berat badan, perubahan pola tidur dan
aktivitas, kekurangan energi, perasaan bersalah, dan pikiran untuk
bunuh diri yang berlangsung setidaknya ± 2 minggu.
2. Gangguan dysthymic
Dysthmia bersifat ringan tetapi kronis (berlangsung lama). Gejala-
gejala dysthmia berlangsung lama dari gangguan depresi mayor
yaitu selama 2 tahun atau lebih. Dysthmia bersifat lebih berat
dibandingkan dengan gangguan depresi mayor, tetapi individu dengan
gangguan ini masih dapat berinteraksi dengan aktivitas sehari-
harinya.
3. Gangguan depresi minor
Gejala-gejala dari depresi minor mirip dengan gangguan depresi mayor
dan dysthmia, tetapi gangguan ini bersifat lebih ringan dan atau
berlangsung lebih singkat.
Tipe-tipe lain dari gangguan depresi adalah:5,6

7
4. Gangguan depresi psikotik
Gangguan depresi berat yang ditandai dengan gejala-gejala, seperti:
halusinasi dan delusi.
5. Gangguan depresi musiman
Gangguan depresi yang muncul pada saat musim dingin dan
menghilang pada musi semi dan musim panas.

2.3. FAKTOR RESIKO DEPRESI7


1. Jenis Kelamin
Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pada pria. Pendapat-pendapat yang
berkembang mengatakan bahwa perbedaan dari kadar hormonal wanita
dan pria, perbedaan faktor psikososial berperan penting dalam
gangguan depresi mayor ini
Sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh American
Psychological Association (APA) menyatakan bahwa perbedaan gender
sebagian besar disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stres yang
dihadapi wanita dalam kehidupan kontemporer
2. Umur
Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8%
dari setiap populasi mengalami gangguan mood dalam hidup mereka
dan 3,7% mengalami gangguan mood sebelumnya. Depresi mayor
umumnya berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata
onsetnya adalah pertengahan 20 (APA, (2000) dalam Nevid et al,
(2005)). Namun gangguan tersebut dapat dialami bahkan oleh anak
kecil, meski hingga usia 14 tahun resikonya sangat rendah.
3. Faktor Sosial-Ekonomi dan Budaya
Tidak ada suatu hubungan antara faktor sosial-ekonomi dan gangguan
depresi mayor, tetapi insiden dari gangguan Bipolar I lebih tinggi
ditemukan pada kelompok sosial-ekonomi yang rendah. Dari faktor
budaya tidak ada seorang pun mengetahui mengapa depresi telah

8
mengalami peningkatan di banyak budaya, namun spekulasinya
berfokus pada perubahan sosial dan lingkungan, seperti
meningkatnya disintegrasi keluarga karena relokasi, pemaparan
terhadap perang, dan konflik internal, serta meningkatnya angka
kriminal yang disertai kekerasan, seiring dengan kemungkinan
pemaparan terhadap racun atau virus di lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesehatan mental maupun fisik.

2.4. GAMBARAN KLINIS DEPRESI


Seserorang dengan gangguan depresi memiliki gejala utama (pada derajat
ringan, sedang, berat) adalah afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan
serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah bekerja sedikit) dan menurunnya aktifitas.7
Gejala lain yang sering muncul antara lain:7
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
b) Harga diri dan kepercayaan berkurang.
c) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna.
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa besarnya dan berlangsung
cepat.7
Gejala - gejala depresi juga dapat meliputi:8
a) Gangguan tidur atau insomnia.
b) Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (pusing), rasa nyeri,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna, gangguan nafsu makan
(menningkat atau menurun), konstipasi, dan perubahan berat badan
(menurun atau bertambah).

9
c) Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun,
tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual berubah
(mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati. Gejala
biasanya lebih buruk di pagi hari.
d) Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan sosial,
kehilangan kenikmatan dan perhatian terhadap kegiatan yang biasa
dilakukan, banyak memikirkan kematian dan bunuh diri, perasaan negatif
terhadap diri sendiri, persahabatan, serta hubungan sosial.

2.5. DIAGNOSIS
1) Kriteria depresi menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa (PDGJ) III:7
1. F32 Episode depresif
1) Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, berat):
a) Afek depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah
kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
2) Gejala lainnya:
a) Konsentrasi dan perhatian berurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh
diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang

10
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut
diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan
diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori jika diagnosis episode depresif ringan (F32.2) hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah satu diagnosis
gangguan depresif berulang (F33-).

F32.0 Episode depresif ringan


Pedoman diagnostik
a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
disebut di atas
b) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya sampai dengan (g)
c) Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
d) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
e) Hanya ada sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya.
Karakter kelima F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
Pedoman diagnostik
a) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
depresi ringan
b) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
c) Lamanya seluruh episode berlangsunng sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
d) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga
Karakter kelima F32.10 = tanpa gejala somatik

11
F32.11 = dengan gejala somatik

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pedoman diagnostik
a) Semua gejala utama depresi harus ada
b) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan
d) Episode depresif biasnya harus berlagsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala sangat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurun waktu
kurang dari 2 minggu.
e) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat
terbatas.
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
a) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas
b) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi
auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menunjukkan stupor. Jika diperlukan, waham atau
halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek
(mood-congruent).
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT

12
2. F33 Gangguan depresif berulang
Pedoman diagnostik
1) Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:
a) Episode depresi ringan (F32.0)
b) Episode depresi sedang (F32.1)
c) Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi
frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
2) Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2)
Namun kategori ini tetap harus digunakan jikan ternyata ada episode
singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi).
3) Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun
sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini
tetap harus digunakan)
F33.0 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan
Pedoman diagnostik

1) Untuk diagnosis pasti:


a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F333.0) harus dipenuhi dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif ringan
(F32.0) dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing
selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa
gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima F33.00 = tanpa gejala somatik
F33.01 = dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang

13
Pedoman diagnostik

1) Untuk diagnosis pasti:


a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) haus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk depresif sedang (F32.1)
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan
afektif yang bermakna.
Karakter kelima F33.10 = tanpa gejala somatik
F33.11 = dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat tanpa Gejala
Psikotik
Pedoman diagnostik
1) Untuk diagnosis pasti:
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
tanpa gejala psikotik (F32.2) dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan
afektif yang bermakna.
F33.3 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat dengan Gejala
Psikotik
Pedoman diagnostik
1) Untuk diagnosis pasti:
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus dipenuhi, dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk episode depresif berat
dengan gejala psikotik (F32.3); dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telang berlangsung masin-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan
afektif yang bermakna.
F33.4 Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Dalam Remisi
Pedoman diagnostik

14
a) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus pernah dipenuhi
di masa lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi
kriteria untuk episode depresif dengan derajat keparahan apapun atau
gangguan lain apapun dalam F30-F39; dan
b) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan
afektif yang bermakna.
F33.8 Gangguan Depresif Berulang Lainnya
F33.9 Gangguan Depresif Berulang YTT

2) Kriteria Gangguan Depresi Berat menurut Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder (DSM-V):8
A. Lima atau lebih dari gejala dibawah ini yang sudah ada bersama-sama
selama 2 minggu dan memperlihatkan perubahan fungsi dari sebelumnya;
minimal terdapat 1 gejala dari (1) mood depresi atau (2) hilangnya minat.
Catatan: Jangan memasukkan gejala yang merupakan bagian dari
gangguan kondisi medis lainnya.
1) Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan
oleh baik laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak
ada harapan) atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis).
(Catatan: pada anak-anak dan remaja, bisa mood yang iritabel).
2) Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh rasa senang,
aktifitas harian, hampir setiap hari (yang ditandai oleh perasaan
subyektif atau objektif).
3) Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha
khusus (contoh: perubahan 5% atau lebih berat badan dalam 1 bulan
terakhir), atau penurunan dan peningkatan nafsu makan yang hampir
terjadi setiap hari. (catatan: pada anak-anak, perhatikan kegagalan
mencapai berat badan yang diharapkan).
4) Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.

15
5) Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (teramati oleh
orang lain, bukan semata-mata perasaan gelisah atau perlambatan yang
subyektif).
6) Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7) Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok (bisa bersifat
waham) hampir setiap hari (bukan semata-mata menyalahkan diri atau
rasa bersalah karena menderita sakit).
8) Penurunan kemampuan unttuk berpikir atau konsentrasi, atau penuh
keragu-raguan hampir setiap hari (baik sebagai hal yang dirasakan
secara subyektif atau teramati oleh orang lain).
9) Pikiran berulang tentang kematian (bukan sekedar takut mati), pikiran
berulang tentang ide bunuh diri dengan atau tanpa rencana yang jelas,
atau ada usaha bunuh diri tau rencana bunuh diri yang jelas.
B. Gejala-gejala ini secara klinis nyata menyebabkan distress atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting kehidupannya.
C. Episodenya tidak terkait dengan efek fisiologis zat atau kondisi medis
lainnya.
Catatan: kriteria A-C menggambarkan episode depresi.
Respon kehilangan yang bermakna (misalnya berduka, masalah finansial,
lolos dari bencana, penyakit berat atau disabilitas) termasuk perasaan
sedih yang berat, pemikiran tetang kehilangan, sulit tidur, kehilangan nafsu
makan, dan penurunan berat badan seperti yang terdapat di kriteria A,
mungkin menyerupai depresi. Walaupun gejala-gejala tersebut mungkin
dapat dipahami atau dipertimbangkan sebagai respon normal terhadap
kehilangan yang bermakna, harus secara hati-hati tetap dipertimbangkan.
Keputusan ini tidak dapat dipungkiri membutuhkan pelatihan keterampilan
klinis berdasarkan riwayat hidup individu dan norma budaya dalam
menentukan distress akibat kehilangan.
D. Keberadaan episode depresi tidak dapat dijelaskan pada gangguan
skizoafektif, skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau spectrum
skizofrenia lainnya yang tidak spesifik.

16
E. Tidak pernah dijumpai episode manik atau hipomanik.

2.6. SKALA PENILAIAN OBJEKTIF DEPRESI8,9


Skala penilaian objektif depresi dapat berguna dalam praktik klinis untuk
pencatatan keadaan klinis pasien depresi.
1) The Zung Self-Rating Depression Scale: skala penilaian depresi zung
terdiri dari 20 butir skala pelaporan. Nilai normal adalah 34 kebawah;
keadaan depresi adalah 50 keatas.Nilai ini memberikan indeks keseluruhan
intensitas gejala pasien depresif, termasuk ekspreksi afek depresi.
2) The Raskin Depression Scale: Skala penilaian depresi Raskin adalah skala
penilaian klinis yang mengukur keparahan depresi pasien, seperti yang
dilaporkan pasien dan diamati pemeriksa, dengan skala 5 poin mencakup
tiga dimensi: laporan verbal, perilaku yang terlihat, dan gejala yang
menyertai. Skala ini memiliki kisaran 3 hingga 13: nilai normal adalah 3
dan nilai depresi adalah 7 atau lebih.
3) The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D): Skala ini
merupakan skala depresi yang digunakan secara luas dengan 24 item, yang
masing-masing bernilai 0 hingga 4 atau 0 hingga 2, dengan total nilai
antara 0 hingga 76. Dokter mengevaluasi jawaban pasien terhadap
pertanyaan mengenai rasa bersalah, pikiran bunuh diri, kebiasaan tidur dan
gejala depresi lainnya serta angka didapatkan melalui wawancara klinis.

2.7. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut.9
Terapi pasien gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan.
Pertama, keamanan pasien harus terjamin, kedua, evaluasi diagnostik lengkap
pada pasien. Ketiga rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu,
tetapi kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaupun saat

17
ini terapi menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan pada pasien
secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga dikaitkan dengan
meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan
demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor di dalam
kehidupan pasien.4
A. Terapi Psikoterapi4,8
1) Terapi kognitif
Terapi ini difokuskan pada distorsi kognitif yang diperkirakan ada pada
gangguan depresi berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif
terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak
realistis mengenai konsekuensinya, contohnya apati dan kurang tenaga
adalah akibat pengharapan pasien mengenai kegagalan di semua area..
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresi dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji
kognisi negatif; mengembangkan cara pikir alternatif, fleksibel dan positif;
serta melatih respon perilaku dan kognitif yang baru. Kombinasi farmako
terapi dan terapi kognitif sangat efektif untuk depresi berat.
2) Terapi interpesonal
Terapi ini memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pada
pasien saat ini. Terapi didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah
interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini
cenderung terlibat dalam mencetuskan dan melanjutkan gejala depresif saat
ini.
3) Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa perilaku maladaptif
mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan
mungkin sesekali penolakan dari masyarakat. Sehingga terapi perilaku
membantu pasien untuk memusatkan pada mengubah perilaku maldaptif di
dalam terapi.
4) Terapi berorientasi Psikoanalitik

18
Tujuan terapi ini adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadian seseorang, bukan hanya meredakan gejala. Perbaikan
kepercayaan interpersonal, keintiman, mekanisme koping, kapasitas
berduka, serta kemampuan mengalami kisaran luas emosi.
5) Terapi Keluarga
Terapi keluarga umumnya tidak digunakan sebagai terapi primer untuk
pengobatan gangguan depresif berat, tetapi semakin banyaknya bukti
menyatakan bahwa membantu seoarang pasien dengan gangguan mood
menurunkan stress dan menerima stress dapat menurunkan kemungkinan
relaps. Terapi keluarga diindikasikan jika gangguan membahayakan
perkawinan atau fungsi keluarga pasien atau jika gangguan mood
dikembangkan atau dipertahankan oleh situasi keluarga. Terapi keluarga
memeriksa peranan anggota yang mengalami gangguan mood dalam
kesehatan psikologis keseluruhan keluarga; terapi ini juga memeriksa
peranan keseluruhan keluarga dalam mempertahankan gejala pasien. Pasien
dengan gangguan mood memiliki angka perceraian yang tinggi, dan kira-
kira 50% dari semua pasangan melaporkan bahwa mereka seharusnya tidak
menikah dengan pasien atau memiliki anak jika mereka tahu bahwa pasien
akan memiliki suatu gangguan mood.
B. Farmakoterapi4,8
Terapi gangguan depresi berat yang efektif adalah seperti obat trisiklik
diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa pasien depresi akan pulih
dalam 1 bulan. Meskipun demikian, masalah akan tetap ada dalam terapi
gangguan depresi berat: sejumlah pasien tidak merespon terhadap pemberian
terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3 sampai
4 minggu hingga memberi pengaruh terapeutik yang bermakna, walaupun obat
tersebut dapat memperlihatkan pengaruhnya lebih dini, dan relatif sampai saat ini,
semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila overdosis serta memiliki
efek samping. Pengenalan SSRI, seperti flouxetin, paroksetin dan sertalin,
bupropion, venlafaksin, nevazodon dan mirtazapin, menawarkan klinisi obat-obat
yang sama efektif tetapi lebih aman dan lebih ditoleransi dari pada obat-obat

19
sebelumnya. Indikasi untuk obat antidepresan (contohya, gangguan makan, dan
gangguan anxietas) membuat pengelompokkan obat-obat ini dibawah satu label
antidepresan yang membingungkan.
Indikasi utama antidepresan adalah episode depresi berat. Gejala pertama yang
akan membaik adalah pola tidur dan nafsu makan yang buruk. Agitasi, anxietas,
episode depresi dan rasa putus asa adalah gejala selanjutnya yang akan membaik.
Gejala target lainnya adalah kurang tenaga, konsentrasi buruk, ketidakberdayaan
dan menurunnya libido.

2.8. PENCEGAHAN DEPRESI


Akibat banyaknya dampak buruk yang disebabkan oleh gangguan depresi
maka dibuat suatu pencegahan dalam menangani gangguan depresi pada
individu-individu sebelum mereka mengalami gangguan depresi tersebut.
Beberapa penelitian menerapkan terapi kognitif perilaku dan terapi
interpersonal yang dimana dapat mencegah onset awal dari terjadinya gangguan
depresi pada individu-individu yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk
mengalami gangguan depresi; sebagai contoh: terapi kognitif-perilaku dapat
digunakan untuk mencegah gangguan depresi pada individu-individu dengan
pendapatan yang rendah, yang terpapar dengan stressor-stressor yang ada.10
Penelitian yang menjelaskan gangguan depresi terjadi pertama kali pada
masa remaja telah meyakinkan para peneliti untukk melakukan pencegahan awal
pada anak remaja yang mempunyai faktor resiko tinggi untuk mengalami
gangguan depresi. Sebagai contohnya anak remaja yang sudah menunjukkan
gejala-gejala depresi ringan – sedang secara acak mendapatkan terapi kognotof-
perilaku dan control group. Para remaja mendapatkan terapi kognitif-perilaku
sebanyak 15 sesi dalam suatu kelompok-kelompok kecil setelah kam sekolah
atau perkuliahan selesai. Terapi ini berfungsi untuk membantu mereka
menangani cara berpikir mereka yang negatif dan untuk mempelajari cara
belajar yang efektif.10

20
2.9. LATIHAN
Intervensi olahraga secara klinis merupakan suatu bentuk kegiatan fisik
yang terencana, terstruktur, dan berulang yang digunakan untuk meningkatkan

atau mempertahankan aspek kebugaran fisik.11 Intervensi olahraga terdiri dari


latihan yang terstruktur dan diprogramkan, di mana terdapat seseorang yang
mengawasi pasien untuk memastikan apakah pasien memenuhi batas latihan
minimum dan menggunakan peralatan olahraga khusus, seperti bersepeda
menggunakan sepeda statis dengan intensitas sedang selama 30 menit, tiga kali
seminggu. Psikoterapi seperti peningkatan motivasi bertujuan untuk
meningkatkan intensitas olahraga yang dilakukan pasien sehari-hari. Teknik ini
berfokus pada perubahan kecil dan bertahap hingga memenuhi target tertentu
sesuai dengan pedoman tingkat aktivitas yang disarankan.12
Pedoman penatalaksanaan depresi yaitu UK National Institute for Health
and Clinical Excellence (NICE) Guidelines merekomendasikan program olahraga
yang terstruktur dan berulang sebayak tiga kali seminggu (45 menit hingga 1
jam) selama 10–14 minggu, sebagai intervensi untuk depresi ringan sampai

sedang.11,12 Pedoman tersebut sesuai dengan hasil penelitian oleh Chang et al


(2017) yang menunjukkan hasil bahwa semua model latihan fisik memiliki efek
yang signifikan dalam mencegah depresi (OR = 0,56– 0,67). Penelitian dilakukan
pada pada empat kelompok dengan intensitas yang berbeda yaitu 3
kali/minggu, 15 menit; 3 kali/minggu, 30 menit; 6 kali/minggu, 15 menit; dan 6
kali/minggu, 30 menit. Olahraga setidaknya tiga kali seminggu selama 15 menit

secara konsisten memiliki risiko lebih rendah mengalami gejala depresi.11,12


Respon sistemik terhadap stres dimulai melalui aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (HPA) dan fungsi sistem saraf simpatis. Paparan stres psikologis dan
fisiologis mengaktivasi inti paraventrikular dari hipotalamus untuk menghasilkan
corticotropine releasing hormone (CRH), yang kemudian merangsang pelepasan
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari hipofisis ke sirkulasi sistemik. Sekresi
ACTH akan merangsang adrenal untuk melepaskan kortisol dan katekolamin

21
untuk menghadapi situasi tertekan atau stres.12 Hormon kortisol membantu untuk
menjaga homeostasis tubuh dan memberi umpan-balik negatif tehadap aksis HPA.
Stres yang terus-menerus menyebabkan konsentrasi kortisol didalam plasma, urin,
dan cairan serebrospinal (CSS) yang sangat tinggi sehingga menyebabkan
disregulasi aksis HPA dan gangguan endokrin pada pasien depresi. Menurut
Nabkasorn et al (2006) ditemukan pada 28 pasien perempuan berusia 18–20 tahun
dengan gejala depresi ringan hingga sedang yang melakukan olahraga berupa
jogging selama 50 menit per minggu menunjukkan hasil penurunan signifikan
pada ekskresi kortisol selama 24 jam (p=0,003) dan ekskresi epinefrin (p=0,031)

dalam urin.12
Gangguan pada neuroendokrin karena disregulasi aksis HPA akibat stres
juga dapat mengganggu modulasi kekebalan tubuh dan menyebabkan pelepasan

sitokin pro-inflamasi.12 Oleh sebab itu, gejala depresi ditandai oleh peningkatan
produksi sitokin pro- inflamasi, seperti interleukin-1beta (IL-1β), interleukin-2
(IL-2), interleukin-6 (IL- 6), tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan lainnya.
Selama olahraga, kontraksi otot dapat menginduksi pelepasan miokin yang akan
meningkatkan ekspresi PGC-1a dan menurunkan pelepasan sitokin pro-

inflamasi.11,12
Pada penelitian meta-analisis oleh Rethorst et al (2013) pada kelompok
usia 18-70 tahun dengan gangguan depresi yang melakukan latihan fisik
menunjukkan hasil terjadi penurunan pada IL-1β (p = 0,0441) dan TNF-α (p =
0,0023) yang disertai penurunan pada gejala depresi setelah 12 minggu intervensi
latihan aerobik. Kondisi stress berkelanjutan juga dapat menyebabkan
subsensitivitas reseptor pada membran sel pascasinaptik sehingga konsentrasi

neurotransmiter tertentu dapat menurun dan menyebabkan gejala depresi.11,12


Dilaporkan bahwa pasien depresi memiliki konsentrasi neurotransmiter
yang rendah seperti norepinefrin, epinefrin, serotonin, dan dopamin. Beberapa
obat antidepresan seperti trisiklik dan monoamine oxidase inhibitor bekerja untuk

22
memicu produksi monoamin di vesikel sinaptik otak. Olahraga dapat secara
langsung memodulasi tingkat dan fungsi neurotransmiter tersebut. Olahraga dapat
meningkatkan pelepasan neurotransmiter yang dimediasi oleh aktivasi Brain-
derived Neurotrophic Factor (BDNF) sehingga dapat menurunkan gejala

depresi.11,12
BDNF adalah faktor neurotropic hipokampus yang memiliki peran penting
dalam perlindungan sel saraf, neurogenesis, neuroregenerasi dan plastisitas
sinaptik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa olahraga dapat meningkatkan
kadar BDNF untuk pertumbuhan hipokampus dan meningkatkan regulasi hormon

stres. Penelitian oleh Kerling et al (2017) menemukan bahwa terjadi peningkatan


konsentrasi BDNF serum pada 22 pasien depresi yang menjalani pengobatan
biasa ditambah intervensi latihan fisik terstruktur yang diawasi selama 6 minggu
dan terjadi penurunan BDNF serum pada 20 pasien depresi yang hanya mendapat

pengobatan biasa (p = 0,030).11,12


Efek antidepresan pada latihan fisik juga dapat bekerja melalui growth
hormone (GH) dan insulin like growth factor-1 (IGF-1). GH dan IGF-1 berperan
penting dalam perkembangan, perlindungan, dan fungsi sistem saraf pusat
termasuk kognisi, suasana hati, dan regulasi tidur. Latihan fisik seperti latihan
aerobik atau latihan kekuatan dapat meningkatkan sekresi GH dan IGF-1

sehingga menurunkan gejala depresi. Hasil penelitian menunjukkan IGF-1

memiliki efek antidepresan pada latihan fisik yang persisten dalam model tikus.
Pada model tikus lain, IGF-1 ditemukan dapat mengurangi perilaku depresi

karena efek anti- inflamasi yang diberikan setelah latihan fisik. Tetapi, terdapat
penelitian yang menemukan bahwa tidak terdapat perubahan signifikan dalam
level IGF-1 setelah intervensi olahraga.11,12
Penelitian oleh Krogh et al (2014) menunjukkan bahwa volume
hipokampus, BDNF, VEGF, dan IGF-1 tidak berbeda antara kelompok yang

23
mengikuti tiga sesi latihan aerobik per minggu selama tiga bulan dan kelompok

kontrol yang tidak melakukan latihan aerobik (rho = 0,30; p = 0,03).11


Konsistensi merupakan faktor utama keberhasilan olahraga sebagai terapi
depresi terlepas dari frekuensi atau durasi selama olahraga dilakukan dengan
intensitas sedang dan teratur. Program intervensi olahraga juga disesuaikan
dengan status kesehatan dan preferensi pasien agar tingkat partisipasi
pelaksanaannya tinggi. Intervensi olahraga yang berada di bawah pengawasan
para professional seperti pelatih, fisioterapis, dan ahli fisiologi olahraga
memberikan efek perbaikan klinis yang lebih besar dan dapat mengurangi risiko

mengalami cedera .11,12


Olahraga lebih baik dibandingkan dengan obat antidepresan sebagai
pengobatan lini pertama untuk depresi ringan hingga sedang. Blumenthal
melakukan uji coba terkontrol secara acak di mana mereka menugaskan 156 orang
dewasa berusia di atas 50 tahun untuk melakukan latihan aerobik, sertraline, atau
keduanya. Setelah 4 bulan, ketiga kelompok memiliki peningkatan yang signifikan
secara statistik dalam gejala depresi mereka tanpa perbedaan yang signifikan
secara statistik antara kelompok. Kelompok obat memang memiliki respons yang
lebih cepat terhadap pengobatan dalam 4 minggu pertama. Dalam sebuah studi
yang lebih baru, Blumenthal menemukan gejala yang meningkat secara signifikan
dengan tingkat remisi 45% pada kelompok latihan yang diawasi, 40% pada
kelompok latihan berbasis rumah, 47% pada kelompok obat, dan 31% pada
kelompok plasebo. Perbedaan antara intervensi dan kelompok plasebo tidak
berbeda secara statistik.13
Olahraga juga telah terbukti meningkatkan gejala depresi ketika digunakan
sebagai tambahan untuk pengobatan. Latihan secara signifikan meningkatkan
gejala ketika ditambahkan ke antidepresan dalam kelompok pasien yang lebih tua
dengan depresi yang tidak menanggapi 6 minggu pengobatan antidepresan saja.
Tidak seperti manfaatnya sebagai tambahan untuk obat antidepresif, olahraga di
samping terapi kognitif ditemukan tidak lebih baik daripada keduanya saja.13

24
Efek dosis-respons dengan olahraga dalam pengobatan untuk depresi telah
dicatat. Dalam satu studi, latihan beban intensitas tinggi lebih efektif daripada
latihan beban intensitas rendah dalam mengobati depresi.13 Latihan beban
intensitas rendah dan perawatan dokter umum ditemukan memiliki peningkatan
yang hampir sama dalam depresi yang konsisten dengan jumlah yang diterima
secara luas dari efek plasebo 30% dalam pengobatan depresi. Dengan latihan
aerobik, intensitas menyamai pengeluaran energi dalam rekomendasi kesehatan
masyarakat adalah lebih efektif daripada program gerakan terpandu intensitas
rendah yang memiliki pengurangan gejala depresi yang sama dengan kelompok
plasebo.13
Sementara penelitian lebih lanjut diperlukan pada jenis latihan yang
diperlukan untuk pengobatan depresi, penelitian yang tersedia menunjukkan
bahwa jenis latihan tidak sepenting memiliki aktivitas fisik mencapai intensitas
yang cukup. Sebagai contoh, baik lari dan angkat berat ditemukan secara
signifikan mengurangi gejala depresi tanpa perbedaan signifikan yang ditemukan
antara dua bentuk aktivitas fisik ini dan penurunan gejala.13

25
BAB III
PENUTUP

III.1. KESIMPULAN
Depresi merupakan suatu gangguan mood yang memiliki gejala utama
berupa afek depresif, kehilangan minat atau anhedonia, dan kehilangan energi
yang disertai gejala lain seperti rasa tidak berguna, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang hingga berat badan menurun, serta memiliki pandangan pesimistis dan
gagasan atau perbuatan membahayakan diri. Etiologi dari depresi terdiri dari
faktor genetik, faktor neurofisiologis, faktor kognitif, faktor psikodinamik, serta
faktor psikososial. Olahraga merupakan terapi pilihan untuk gangguan depresi.
Olahraga menurunkan gejala depresi melalui beberapa mekanisme
neurofisiologis. Olahraga dapat memodulasi beberapa parameter seperti hormon,
neurotropin, dan biomarker inflamasi. Olahraga meningkatkan pelepasan
neurotransmiter yang dimediasi oleh aktivasi Brain-derived Neurotrophic Factor
(BDNF). Peningkatan BDNF, VEGF, dan IGF-1 sebagai faktor neurotropik di
hipokampus berguna untuk pertumbuhan sel saraf, meningkatkan regulasi
hormon stres yaitu kortisol pada aksis hipotalamus-hipofisis- adrenal (HPA), dan
menurunkan pelepasan sitokin pro-inflamasi sehingga gejala depresi dapat
berkurang.
Olahraga efektif digunakan untuk terapi terhadap gangguan depresi.
Olahraga direkomendasikan untuk pencegahan maupun intervensi dini pasien
depresi karena memiliki efek antidepresan yang signifikan dan risiko mengalami
efek samping yang rendah.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis. Catatan llmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga;


2009.
2. Depression: A Global Public Health Concern. WHO, 2012. Diunduh dari
http://www.who.int/mental_health/management/depression/who_paper_de
pression_wfmh_2 012.pdf. Akses 23 Juni 2020.
3. Hawari.Manajemen Stres, Cemas dan Depresi., Jakarta; 2011 .
4. Sadock B.J dan Sadock V-A. Comprhehensive Textbook of Psychiatry, 10th
Edition. Wolters Kluwer. New York; 2017.
5. Landefeld. Current Geriatric Diagnosis and Treatmet. McGrow-
Hill:USA; 2004.
6. Armitage R. Sleep and circadian rhythms in mood disorders. Acta
Psychiatr Scand; 2007
7. Maslim R.Diagnosa Gangguan Jiwa, PPDGJ III, Direktorat Kesehatan RI:
Jakarta: 2003.
8. Sadock, Benjamin James, et al. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 11th Edition. Wolters
Kluwer. New York. 2015
9. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Ed.3. Badan Penerbit
FKUI. 2017.
10. Effect of exercise on therapeutic response in depression treatment.
Psychiatry and Clinical Psychopharmacology. 2019; 29(2):137-143.
11. Al-Qahtani AM, Shaikh MA, Shaikh IA. Exercise as a treatment modality
for depression: a narrative review. Alex J Med. 2018.
12. American College of Sports Medicine. ACSM’s guidelines for exercise
testing and prescription (9th edition). Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins. 2013.
13. Carek PJ, Laibstain SE, Carek SM. Exercise for the treatment of
depression and anxiety. INT’L.J. Psychiatry in Medicine, Vol.41(1) 15-
28,2011.

27
28

Anda mungkin juga menyukai