Anda di halaman 1dari 22

TUGAS I AGENDA 2

AKUNTABILITAS

Oleh:
dr. Pramadhita Junaidi
199305032020122015
Kelompok 2

Widyaiswara:

Busra, S. Kom, M. Kom

PELATIHAN DASAR CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

GOLONGAN III ANGKATAN I

DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PADANG PARIAMAN

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

PROVINSI SUMATERA BARAT

TAHUN 2021
BAB 1
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG


Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru.
Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep
akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif
kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang
mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan
masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak
mampu diterapkan secara konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada
akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu
munculnya berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
dan administrasi negara di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru
dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung
oleh banyaknya tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan
pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good
governance.
Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan
secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan
yang berhubungan langsung dengan keharusan penerapan akuntabilitas di setiap
instansi pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan
reformasi birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam
implementasi akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai,
faktor budaya, dan lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuan dan mafaat dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:

1. Bagaimana, mengelola pelayanan publik, agar dapat berjalan secara prima.


2. Bagaimana meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada aparatur birokrat
sebagai pelayan publik.
3. Bagaimana menurunkan tindakan penyelewengan seperti: korupsi, dan
penyuapan.
4. Bagaimana menciptakan birokrasi yang: jujur, adil, transparan, dan akuntabel.
5. Bagaimana analisa mengenai film pendek mengenai akuntabilitas di laman
MOOC serta film pendek dari fasilitator.
BAB 2
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN SISTEM AKUNTABILITAS PUBLIK


Sistem Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah
untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang saling berkaitan satu sama lain
yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak yang memberikan amanah/publik.
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu: akuntabilitas vertikal
(vertical accountability), dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability).
Vertical accountability adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada
otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas)
kepada pemerintah daerah, kemudian pemerintah daerah kepada pemerintah pusat,
pemerintah pusat kepada MPR. Horizontal accountability adalah
pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.
Tuntunan akuntabilitas publik lebih menekankan pada akuntabilitas
horizontal, tidak hanya akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas merupakan konsep
yang lebih luas dari stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas
suatu aktivitas secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk
melaporkan, sedangkan  accountability  mengacu pada pertanggungjawaban oleh
seorang steward kepada pemberi tanggung jawab.

B. DIMENSI AKUNTABILITAS PUBLIK


Terwujudnya akuntabilitas merupakan tujuan utama dari reformasi sektor
publik. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor
publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horizontal bukan hanya
pertanggungjawaban vertikal. Tuntutan yang kemudian muncul adalah perlunya
dibuat laporan keuangan eksternal yang dapat menggambarkan kinerja lembaga
sektor publik.
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik
terdiri atas beberapa dimensi. Ellwood (1993) menjelaskan terdapat empat
dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu:
1. Akutabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum (Accountability for
Probity and Legality)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hokum terkait dengan
jaminan adanya kepatuhan terhadap hokum dan peraturan lain yang
disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas Proses
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem
informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan prosedur
administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasi melalui pemberian
pelayanan publik yang cepat, responsive, dan murah biaya.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas
proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark
up dan pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-
sumber inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya
pelayanan publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan
pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan
terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-proyek publik. Yang
harus dicermati dalam kontrak tender adalah apakah proses tender telah
dilakukan secara fair melalui Compulsory Competitive Tendering (CCT),
ataukah dilakukan melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Akuntabilitas Program
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan
yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang
optimal dengan biaya yang minimal.
4. Akuntabilitas Kebijakan
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas.
C. SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI
INDONESIA
Perbaikan pemerintahan dan sistem manajemen merupakan agenda penting
dalam reformasi birokrasi yang sedang dijalankan oleh pemerintah saat ini. Sistem
manajemen pemerintahan diharapkan berfokus pada peningkatan akuntabilitas
serta sekaligus peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil (outcome) dan
impact (dampak). Maka pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk penerapan
sistem pertanggungjawaban yang jelas dan teratur dan efektif yang disebut dengan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Akuntabilitas merupakan kata kunci dari sistem tersebut yang dapat
diartikan sebagai perwujudan dari kewajiban seseorang atau instansi pemerintah
untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban dan berupa laporan
akuntabilitas yang disusun secara periodik.
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau disingkat dengan
SAKIP tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang mana didalamnya menyebutkan
SAKIP merupakan rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat dan prosedur
yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data,
pengklarifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah,
dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.
Tujuan SAKIP adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya pemerintah
yang baik dan terpercaya. Sedangkan sasaran dari Sistem  Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah adalah:
1. Menjadikan instansi pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi
secara efisien, efektif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan
lingkungannya.
2. Terwujudnya transparansi instansi pemerintah.
3. Terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
nasional.
4. Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Penyelenggaraan SAKIP ini dilaksanakan untuk menghasilkan sebuah
laporan kinerja yang berkualitas serta selaras dan sesuai dengan tahapan-tahapan
meliputi:
1. Rencana Strategis
Rencana strategis merupakan dokumen perencanaan instansi pemerintah
dalam periode 5 (lima) tahunan. Rencana strategis ini menjadi dokemen
perencanaan untuk arah pelaksanaan program dan kegiatan dan menjadi
landasan dalam penyelenggaraan SAKIP.
2. Perjanjian Kinerja
Perjanjian kinerja adalah lembar/dokumen yang berisikan penugasan dari
pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi yang lebih
rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja. Perjanjian kinerja selain berisi mengenai perjanjian
penugasan/pemberian amanah, juga terdapat sasaran strategis, indikator
kinerja dan target yang diperjanjikan untuk dilaksanakan dalam 1 (satu)
tahun serta memuat rencana anggaran untuk program dan kegiatan yang
mendukung pecapaian sasaran strategis.
3. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan langkah untuk membandingkan realisasi
kinerja dengan sasaran (target) kinerja yang dicantumkan dalam
lembar/dokumen perjanjian kinerja dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD tahun berjalan. Pengukuran kinerja dilakukan oleh penerima
tugas atau penerima amanah pada seluruh instansi pemerintah.
4. Pengelolaan Kinerja
Pengelolaan kinerja merupakan proses pencatatan/registrasi, penatausahaan
dan penyimpanan data kinerja serta melaporkan data kinerja. Pengelolaan
data kinerja mempertimbangkan kebutuhan instansi pemerintah sebagai
kebutuhan manajerial, data/laporan keuangan yang dihasilkan dari sistem
akuntansi dan statistik pemerintah.
5. Pelaporan Kinerja
Pelaporan kinerja adalah proses menyusun dan menyajikan laporan kinerja
atas prestasi kerja yang dicapai berdasarkan Penggunaan Anggaran yang
telah dialokasikan. Laporan kinerja tersebut terdiri dari Laporan Kinerja
Interim dan Laporan Kinerja Tahunan. Laporan Kinerja Tahunan paling
tidak memuat perencanaan strategis, pencapaian sasaran strategis instansi
pemerintah, realisasi pencapaian sasaran strategis dan penjelasan yang
memadai atas pencapaian kinerja.
6. Review dan Evaluasi Kinerja
Review merupakan langkah dalam rangka untuk meyakinkan keandalan informasi
yang disajikan sebelum disampaikan kepada pimpinan. Reviu tersebut
dilaksanakan oleh Aparat pengawasan intern pemerintah dan hasil reviu berupa
surat pernyataan telah direviu yang ditandatangani oleh Aparat pengawasan intern
pemerintah. Sedangkan evaluasi kinerja merupakan evaluasi dalam rangka
implementasi SAKIP di instansi pemerintah.
BAB 3
PEMBAHASAN

A. PENGELOLAAN PELAYANAN PUBLIK


Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009,
ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa
publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam ruang lingkup tersebut, termasuk pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber
daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
Dalam melaksanakan pelayanan publik pemerintah membentuk Organisasi
Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang
untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuksemata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggara dan seluruh
bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidak mampuan,
pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.

Organisasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, sekurang-kurangnya
meliputi:

a. Pelaksanaan pelayanan
b. Pengelolaan pengaduan masyarakat
c. Pengelolaan informasi
d. Pengawasan internal
e. Penyuluhan kepada masyarakat
f. Pelayanan konsultasi
Dalam melaksanakan pelayanan publik, menurut ketentuan Pasal 15 Undang-
Undang No. 25 tahun 2009 penyelenggara berkewajiban:

a. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan


b. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan
c. Menempatkan pelaksana yang kompeten
d. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai
e. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik
f. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan
g. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan public
h. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan
i. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya
j. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayanan publik
k. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi
atau jabatan
l. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabatyang
berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang
berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Adapun asas-asas pelayanan publik menurut Pasal 4 Undang-Undang No 25


Tahun 2009 adalah:

1. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh


mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
2. Kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pelayanan.
3. Kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,
agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus sebanding
dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun
penerima pelayanan.
5. Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi
yang sesuai dengan bidang tugas.
6. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
dan harapan masyarakat.
7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara
berhak memperoleh pelayanan yang adil.
8. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang
diinginkan.
9. Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian
kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam
pelayanan.
11. Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan
tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap jenis pelayanan
dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

Komponen standar pelayanan publik menurut Pasal 21 Undang-Undang


No 25 Tahun 2009 sekurang-kurangnya meliputi:

1. Dasar hukum, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar


penyelenggaraan pelayanan.
2. Persyaratan, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu
jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif.
3. Sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu tata cara pelayanan yang
dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan.
4. Jangka waktu penyelesaian, yaitu jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
5. Biaya/tarif, yaitu ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam
mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang
besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan
masyarakat.
6. Produk pelayanan, yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan diterima
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
7. Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu peralatan dan fasilitas yang
diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan dan
fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.
8. Kompetensi pelaksana, yaitu kemampuan yang harus dimiliki
oleh pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan
pengalaman.
9. Pengawasan internal, yaitu Pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan
satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.
10. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu Tata cara pelaksanaan
penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
11. Jumlah pelaksana, yaitu tersedianya pelaksana sesuai dengan beban
kerja.
12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standard pelayanan
13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen
untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-
raguan, yaitu Kepastian memberikan rasa aman dan bebas dari bahaya,
risiko, dan keragu-raguan.
14. Evaluasi kinerja pelaksana yaitu penilaian untuk mengetahui seberapa
jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan.

Standar pelayanan publik (selanjutnya disebut SPP) merupakan standar


pelayanan yang wajib disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Adanya SPP akan menjamin pelayanan minimal yang berhak diperoleh warga
masyarakat dari pemerintah. Dengan kata lain, SPP merupakan tolok ukur
untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar kepada masyarakat seperti: kesehatan, pendidikan,
air minum, perumahan dan lain-lain. Di samping SPP untuk kewenangan
wajib, daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk
kewenangan daerah yang lain.

Dengan SPP akan terjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan


publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Dengan demikian, akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan terhindar


dari kesenjangan pelayanan yang diberikan antara daerah yang satu dengan
daerah lainnya. Akan tetapi dalam menerapkan konsep SPP harus dibedakan
antara pemahaman tentang SPP dan persyaratan teknis dari suatu pelayanan.
Standar teknis merupakan faktor pendukung untuk mencapai SPP secara
garis besar.

Pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik menurut Pasal


34 Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, harus berperilaku
sebagai berikut:

a. adil dan tidak diskriminatif


b. cermat
c. santun dan ramah
d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut
e. professional
f. tidak mempersulit
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar
h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara
i. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasrakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
j. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan
kepentingan
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan
public
l. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam
menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi
kepentingan masyarakat
m. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang
dimiliki
n. sesuai dengan kepantasan
o. tidak menyimpang dari prosedur.

Dengan pengaturan etika pelaksana pelayanan publik sebagaimana diatur


dalam pasal tersebut diharapkan terwujud pelayanan prima bagi pengguna
pelayanan publik di Indonesia.

B. MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT KEPADA


APARATUR BIROKRAT SEBAGAI PELAYAN PUBLIK
Masyarakat setiap waktu selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari
birokrat, meskipun tuntutan tersebut sering tidak sesuai dengan harapan karena secara
empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih bercirikan: berbelit-belit,
lambat, mahal, dan melelahkan.
Kemerosotan kepercayaan publik telah menjadi pola umum di sebagian
masyarakat dunia tidak hanya di Indonesia. Namun pasca-pemerintahan Presiden
Soeharto, masyarakat seolah tak percaya lagi dengan keberadaan eksekutif. Semua
kebijakan pemerintah sering dianggap korup dan tak berpihak pada kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras pemerintah dalam menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat dengan cara mengedepankan transparansi dan
akuntabilitas dari setiap pelaksanaan kegiatan pelayanan publik.
Pemerintah harus berupaya membangun kembali kepercayaan publik dengan
menjaga dan meningkatkan kualitas kerja dalam melayani masyarakat. Masyarakat akan
yakin pemerintah berkemauan baik apabila para pemimpin dan organisasinya berusaha
keras menanggapi kepentingan masyarakat secara partisipatori, inklusif dan bisa
diandalkan.
Ombudsman sebagai lembaga yang berfungsi memastikan dan mengawasi
kualitas pelayanan publik sangat berperan untuk menjamin kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan. Namun masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa
fungsi dan tugas ombudsman, oleh karena itu ombudsman perlu disosialisasikan lagi
kedapa masyarakat, terutama masyarakat di daerah.
Akuntabilitas, transparansi dan integritas dalam melaksanakan pelayanan publik,
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur birokrat.
Selama ini tingkat kepercayaan  masyarakat  pada  ASN cenderung negatif (malas,
korup, kurang melayani, tidak produktif, dan lain sebagainya) membutuhkan
reformasi/perubahan terhadap pola pikir yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Reformasi birokrasi membutuhkan reformasi mendasar yang harus dilakukan terlebih
dahulu, yakni reformasi pola pikir (mindset) yang terbentuk karena  peristiwa masa lalu
yang sangat membekas, baik bersifat positif maupun negatif.  
Oleh  karena  itu  ASN  harus  selalu  mengedepankan  konsep  diri, antara lain:
 Bekerja sebagai Ibadah
 Menghindari sikap tidak terpuji
 Bekerja secara professional
 Berusaha meningkatkan kompetensi dirinya secara terus menerus
 Pelayan dan pengayom masyarakat
 Bekerja berdasarkan peraturan yang berlaku
 Tidak rentan terhadap perubahan dan terbuka serta bersikap realistis,
 Mampu bekerja dalam tim
 Bekerja secara professional

C. UPAYA MENURUNKAN TINDAKAN PENYELEWENGAN SEPERTI:


KORUPSI, DAN PENYUAPAN

Mencegah korupsi adalah suatu pekerjaan yang berat untuk dilakukan. Pekerjaan
memberantas korupsi harus dilakukan secara bersama-sama dan membutuhkan
komitmen nyata dari pimpinan tertinggi. Selain itu, strategi pencegahan korupsi
diperlukan, agar bahaya korupsi dapat ditanggulangi dan celahnya dapat ditutup.

Kecenderungan seseorang melakukan korupsi disebabkan tiga faktor dalam teori


Fraud Triangle Theory yaitu pressure atau dorongan, opportunity atau peluang, dan
rationalization atau pembenaran. Kecenderungan orang melakukan korupsi terjadi
ketika ada motif, rasionalisasi yang berasal dari masing-masing individu dan ada
kesempatan yang berkaitan dengan sistem yang memiliki celah korupsi.

Terdapat tiga tahapan strategi yang dapat digunakan dalam mencegah tindakan
penyelewengan seperti korupsi dan penyuapan:
1. Strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya
pencegahan.
2. Strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi.
3. Strategi jangka panjang dengan mengubah budaya.

Pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi, membangun zona integritas dan


memanfaatkan sistem informasi dan layanan publik secara digital dapat dilakukan untuk
memangkas potensi korupsi.

Indonesia memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah dan


menindaklanjuti kasus korupsi.

Tugas KPK terkait Pencegahan:


a. Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan kekayaan
penyelenggara negara.
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.
3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jejaring
pendidikan.
4. Merencanakan dan melaksanakan program sosialisasi pemberantasan korupsi.
5. Melakukan kampenye antikorupsi kepada masyarakat.
6. Melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral dalam memberantas korupsi.
b. Koordinasi dengan instansi pelaksana tindak pidana korupsi dan pelayanan publik
Dalam hal ini KPK memiliki wewenang untuk:
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam
pemberantasan korupsi.
2. Menetapkan system pelaporan dalam hal pemberantasan korupsi
3. Meminta laporan mengenai kegiatan pemberantasan korupsi di instansi terkait.
4. Melaksanakan pertemuan dengan instansi berwenang mengenai tindakan
pemberantasan korupsi.
5. Meminta laporan kepada instansi terkait mengenai kegiatan pemberantasan
korupsi sehingga tidak ditemukan tindak pidana korupsi di instansi tersebut.
c. Monitor terhadap penyelenggaraan negara
Dalam hal ini KPK memiliki wewenang untuk:
1. Melakukan pengkajian terhadap system pengelolaan administrasi di semua
lembaga negara dan pemerintahan
2. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintahan
untuk melaksanakan perubahan, jika dalam pengkajian system pengelolan
administrasinya berpotensi menjadi celah tindak pidana korupsi.
3. Melaporkan kepada presiden RI, DPR dan BPK jika usulan mengenai perubahan
tidak dilakukan
d. Supervisi terhadap instansi pelaksana tindak pidana korupsi

Tugas KPK sebagai Penindakan:

Dalam melaksanakan tugas sebagai lembaga penindak, KPK memiliki 8 wewenang,


yaitu:

1. Memerintah kepada instansi terkait untuk melarang orang berpergian keluar


negri.
2. Meminta keterangan kepada bank dan lembaga keuangan tentang keadaan
keuangan terdakwa yang sedang diperiksa.
3. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening hasil korupsi terdakwa.
4. Memerintah pimpinan atau atasan terdakwa untuk memberhentikan sementara
terdakwa dari jabatannya.
5. Meminta data kekayaan dan perpajakan terdakwa kepada instansi terkait.
6. Memberhentikan sementara segala transaksi terdakwa yang berhubungan dengan
tindak pidana korupsi.
7. Meminta bantuan interpol untuk mencari, menangkap dan menyita barang bukti
di luar negri.
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi terkait dalam melaksanakan
penangkapan, pengeledahan dan penyitaan terhadap kasus tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani.

D. UPAYA MENCIPTAKAN BIROKRASI YANG: JUJUR, ADIL,


TRANSPARAN, DAN AKUNTABEL
Birokrasi pada era reformasi dan otonomi daerah harus benar-benar menekankan
pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system, dan pelayan
masyarakat. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai abdi masyarakat yang efisien,
efektif, profesionalisme dan transparansi. Sistem birokrasi yang baik tersebut akan
meningkatkan mutu pelayanan publik.

Pelayanan publik di Indonesia saat ini telah diatur dan dituangkan dalam UU No.
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Dalam Undang-Undang tersebut dengan
tegas dinyatakan bahwa Undang-Undang tentang pelayanan publik dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara
(pemerintah) dalam pelayanan publik.

Adanya Undang-Undang pelayanan publik ini diharapkan terwujudnya batasan


dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan
seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Diharapkan
sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik dapat terwujud. Selain itu Undang-Undang
tersebut dimaksudkan untuk terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan serta terwujudnya perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Transparansi Birokrasi dalam Standar penyelenggaraan Pelayanan publik adalah


segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan
ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai
dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.

Untuk mencapai hal di atas, diperlukan kondisi aktual seperti : manajemen dan
pelaksanaan pelayanan publik harus diinformasikan dan mudah diakses oleh
masyarakat; prosedur pelayanan harus dibuat dalam bentuk Bagan Alir; persyaratan
teknis dan administratif pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat;
kepastian rincian biaya pelayanan harus diinformasikan secara jelas pada masyarakat;
kepastian dan kurun waktu penyelesaian pelayanan harus diinformasikan secara jelas
pada masyarakat; pejabat/ petugas yang berwenang dan bertanggung jawab memberikan
pelayanan harus ditetapkan secara formal berdasarkan SK, lokasi pelayanan harus jelas;
janji (motto) pelayanan harus tertulis secara jelas; standar pelayanan publik harus
realistis dan dipublikasikan pada masyarakat; serta informasi pelayanan harus
dipublikasikan dan disosialisasikan pada masyarakat melalui media. Baik media cetak,
elektronik maupunhimbauan dan selebaran atau brosur agar masyarakat dapat
mengetahui dengan transparan jelas dan terbuka.

Selain itu, diperlukan juga sejumlah faktor penunjang seperti dukungan kebijakan,
ketersediaan teknologi, kemampuan pegawai, dukungan dan kesadaran warga,
kecukupan anggaran, komitmen pegawai, pengawasan dan sanksi, budaya kerja, dan
pola pelayanan yang tepat, di dalam Birokrasi itu sendiri.

Pada tanggal 27 Juli 2021, Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan core value
Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu BerAKHLAK. Peluncuran Core Value ini bertujuan
untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar bagi seluruh ASN di Indonesia sehingga dapat
menjadi fondasi budaya kerja ASN yang profesional. Core Value BerAKHLAK
merupakan singkatan dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis,
Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif.
Latar belakang core value BerAKHLAK adalah adanya perbedaan penerjemahan
terhadap nilai-nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN yang tertuang pada
Undang-Undang No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Oleh karena itu Kemenpan-
RB menetapkan core value baru untuk menciptakan persepsi yang sama atas nilai-nilai
dasar ASN. Core Value BerAKHLAK juga merupakan penggabungan dan
pengerucutan nilai-nilai ASN yang ada diberbagai instansi pemerintahan.
Adanya Core Value ASN yang baru ini diharapkan setiap ASN baik di pusat
maupun di daerah memiliki semboyan dan semangat yang sama dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. ASN jangan lagi minta untuk dilayani melainkan
memberikan pelayanan yang prima dalam membantu masyarakat. Harapan ini juga
didukung dengan diresmikannya employer branding ASN “Bangga melayani bangsa” .
Dengan ditetapkannya core value BerAKHLAK justru akan menguatkan budaya
kerja ASN yang professional dalam melayani masyarakat. Orientasi pelayanan yang
berkualitas dan profesional harus dimaknai dengan baik oleh setiap ASN. Tidak hanya
sekadar menjadi jargon melainkan harus diamalkan dan ditujukan untuk kemajuan
bangsa. ASN harus bisa mendobrak stigma negatif masyarakat terkait adanya praktik
pungli untuk mempercepat proses layanan yang diberikan oleh instansi pemerintahan.
Ketika ASN terbiasa memberikan pelayanan yang baik dan sesuai prosedur, praktik
korupsi akan terhindarkan.
Perubahan fundamental pada pola pikir dan sikap mental ASN inilah yang akan
mendorong ASN untuk melakukan tindakan anti korupsi. Selain itu dari segi organisasi
pencegahan anti korupsi pun sudah dilakukan di tingkat unit instansi pemerintahan
dengan adanya Pembangunan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan
juga adanya Unit Pengendali Gratifikasi di setiap unit untuk mencegah terjadinya tindak
pidana korupsi pada Instansi Pemerintah.
Hadirnya core values BerAKHLAK menjadi budaya kerja yang baru untuk setiap
ASN di Indonesia. Melayani masyarakat dengan professional, bertanggung jawab dalam
menggunakan sumber daya yang diamanahkan oleh publik, memiliki kompetensi dalam
menangani isu dan masalah bangsa, menjadi simbol kesatuan dan persatuan bangsa,
loyal terhadap negara Indonesia, mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan siap
berkolaborasi dengan seluruh elemen bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi
bangsa Indonesia.
E. ANALISA FILM PENDEK
1. Film LAN MOOC “ Akuntabilitas”
Akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban seseorang terhadap amanah yang
telah diberikan kepada orang tersebut. Pertanggung jawaban ini biasanya berupa
laporan kinerja. Akuntabilitas ini akan menghasilkan sebuah konsekuensi, baik
berupa punishment maupun berupa reward.
Cara meminta pertanggung jawaban (akuntabilitas) orang lain:
 Membangun harapan
 Berkomitmen terhadap harapan yang ingin dicapai
 Periksa kembali apa yang diharapkan
 Sediakan feedback dan konsekuensi
2. Film “Tak Ada yang Tahu, Edi Rahmayadi Sidak Kantor Samsat Sumut”
Dalam film ini menceritakan Gubernur Sumatera Utara, Edi Rahmayadi yang
melakukan sidak di kantor Samsat Sumut. Ia melakukan sidak di hari pertama kerja
setelah libur lebaran. Beliau melakukan sidak sebelum jam pelayanan dimulai. Dalam
sidaknya, beliau menanyai dengan santun kepada para petugas samsat yang ada di
lokasi. Tidak ada aksi membentak-bentak seperti banyaknya sidak yang dilakukan
beberapa pimpinan daerah. Beliau juga menanyai hal-hal terkait pekerjaan kepada
petugas serta beliau menanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
mengurus STNK.
Edi juga bertanya kepada masyarakat yang sedang bertransaksi di kantor samsat
tersebut, apakah ada pungli ataupun calo dalam pengurusan administrasi di kantor
samsat. Menurut edi, pelayanan di kantor samsat sudah berjalan dengan selayaknya,
namun waktu pelayanan harus dimulai lebih cepat, mengingat pada pukul 7.30 sudah
banyak masyarakat yang mengantri di kantor samsat.
Menurut saya, hal yang dilakukan Gubenur Sumut, Edi Rahmayadi sudah sangat
tepat. Iya bertanya kepada pemberi layanan (petugas) dan kepada penerima layanan
(masyarakat), tidak hanya mendengarkan salah satunya saja. Tampak bahwa Edi sangat
mengutamakan kepuasan public dalam berurusan dengan birokrat negara. Edi juga
mencetuskan inovasi untuk memajukan waktu pelayanan agar pelayanan terhadap
masyarakat lebih optimal.
BAB 4
KESIMPULAN

1. Sistem akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk


memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang saling berkaitan satu sama
lain yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak yang memberikan
amanah/publik.
2. Pengelolaan pelayanan publik diatur dalam Undang-Undang No 25 Tahun
2009.
3. Akuntabilitas, transparansi dan integritas dalam melaksanakan pelayanan
publik, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur
birokrat.
4. Terdapat tiga tahapan strategi yang dapat digunakan dalam mencegah tindakan
penyelewengan seperti korupsi dan penyuapan:
a. Strategi jangka pendek dengan memberikan arahan dalam upaya
pencegahan.
b. Strategi menengah berupa perbaikan sistem untuk menutup celah korupsi.
c. Strategi jangka panjang dengan mengubah budaya.
5. Standar penyelenggaraan Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara
memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai