Anda di halaman 1dari 10

“Ketuhanan Yang Maha Esa”

PENDAHULUAN

Masih ada kelompok masyarakat Indonesia yang kurang memahami istilah keTuhan-an
dalam sila pertama Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum mengalami pembauran
dalam komunitas plural yang mengakibatkan kecenderung memiliki nilai-nilai agama yang
sempit dan primitive. Masih ada sebagian penganut agama yang tidak menghormati penganut
kepercayaan orang lain. Masih adanya pelanggaran hukum agama oleh warga negara
indonesia meskipun telah menganut suatu agama. Masalah ini tidak terlepas dari kesenjangan
pemahaman agama di Indonesia. Maka dari itu pancasila hadir di Indonesia sebagai jawaban
dari permasalahan yang sedang terjadi

Pertama, kata ketuhanan tidak boleh difahami dari aspek agama tertentu saja dalam
kemajemukan di Indonesia. Kedua, ketuhanan berarti sifat-sifat yang mengindahkan Tuhan
sebagai tampilan antropomorfis oleh agama manapun. Ketiga, Ketuhanan merupakan hasil
sejarah perumusan sila pertama Pancasila dengan kesadaran akan bhineka sebagai realita
yang harus dirawat, dijunjung tinggi dan dihormati dalam berbagai aspek hidup melebihi
agama

 Dimensi Normatif Pancasila Sila Pertama

Pada sila pertama pancasila memilki arti bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan.
Indonesia tidak dipimpin oleh satu agama atau golongan tertentu. Indonesia adalah
representasi nilai dari keragaman agama. Melalui sila pertama ini menegaskan bahwa
keragaman agama adalah kekuatan kebangsaan. Toleransi merupakan urat-urat penting dalam
membangun kebangsaan yang adidaya. Nilai dari sila pertama adalah perwujudan
penghargaan kepada agama-agama. Tidak ada agama satupun yang menjadi hukum ataupun
ideologi negara. Semua agama telah membuat kesepakatan budaya dan politik bahwa
pancasila adalah satu-satunya ideologi negara.

Bangsa Indonesia mempunyai kebebasan untuk menganut agama dan menjalankan ibadah
yang sesuai dengan ajaran agamanya. Sila pertama ini juga mengajak manusia Indonesia
untuk mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi, dan seimbang antar sesama manusia
Indonesia, antar bangsa, maupun dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Dengan
demikian, di dalam jiwa bangsa Indonesia akan timbul rasa saling menyayangi, saling
menghargai, dan saling mengayomi.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama antara lain sebagai berikut :

1. Keyakinan terhadap adanya Tuhan yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya yang
Mahasempurna.
2. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan cara menjalankan semua
perintah-Nya, dan sekaligus menjauhi segala larangan-Nya.
3. Saling menghormati dan toleransi antara pemeluk agama yang berbeda-beda.
4. Kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Pasal 28 E juga memberikan kebebasan untuk memilih dan menjalankan agama, serta
kebebasan untuk menyatakan atau mengeluarkan pikiran, pendapat atau sikap.

Sila pertama dan Pasal 29 tersebut menegas- kan pentingnya norma-norma agama dalam
pelembagaan hukum nasional/peraturan perundang- undangan. Secara konstitusional,
pelembagaan norma agama, terutama agama Islam, yang lahir dari tradisi kebanyakan
masyarakat Indonesia dalam hukum nasional adalah sah karena be- berapa alasan: Pertama,
secara filosofis, norma agama Islam sebagai ideologi keagamaan mayoritas masyarakat
Indonesia. Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia memiliki cita- cita dan kesadaran
hukum yang bersendikan norma agama yang aplikatif. Ketiga, secara yuridis, pelembagaan
norma agama dalam sistem hukum nasional diatur dalam pasal-pasal 24, 25 dan 29 UUD-
NRI 1945.

Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini termuat dalam penjelasan Pembukaan UUD
1945 yaitu pokok pikiran keempat. Rumusan demikian menunjukkan pada kita bahwa negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara
dengan agama, karena hal ini tercantum dalam Pasal 29 ayat (1), bahwa negara adalah
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa negara sebagai
persekutuan hidup adalah Berketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya segala aspek dala
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal
dari Tuhan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan yang pada hakikatnya adalah merupakan
hukum Tuhan adalah merupakan sumber material bagi norma-norma, terutama bagi hukum
positif di Indonesia
Demikian pula makna yang terkandung dalam Pasal 29 ayat (1) tersebut juga mengandung
suatu pengertian bahwa negara Indonesia adalah negara yang bukan hanya mendasarkan pada
suatu agama tertentu atau ukan negara agama dan juga bukan negara theokrasi. Negara
Pancasila pada hakikatnya mengatasi segala agama dan menjamin kehidupan agama dan
umat beragama.

Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing. Negara ke-
bangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari
hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk, sosial, dan manusia adalah sebagai pribadi
dan makhluk Tuhan yang Maha Esa.

Mengapa sila pertama pancasila itu ”Ketuhanan Yang Maha Esa?

Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan RI suku-suku bangsa di kawasan Nusantara ini telah
hidup bersama dalam kondisi penuh persaudaraan dan damai. Tak terbilang jumlahnya berapa
jumlah suku bangsa yang ada di kawasan ini. Konon jumlahnya meliputi lebih dari 300 suku
bangsa. Lalu karena hidup dalam kawasan yang sama, apa saja kira-kira yang bisa kita
ambil sebagai alasan adanya kesamaan dalam kehidupan mereka? Tata cara dalam struktur
masyarakat yang berbeda etnis ini hampir semua mendahulukan kesepakatan atau
musyawarah dalam mencari solusi dari semua problem yang mereka hadapi dalam kehidupan
terutama kalau itu menyangkut pertikaian, pelanggaran nilai ataupun norma yang disepakati
secara tertulis ataupun sebagai aturan tak tertulis dalam komunitas mereka. Dalam berbagai
etnis yang ada terdapat aturan yang disepakati bersama, apabila ada nilai yang dilanggar,
maka orang yang melanggar mendapat hukuman dari para tetua atau orang yang dituakan
masyarakatnya dan bentuk hukumannya pun ditentukan bersama. Dalam perbedaan etnik
yang ada, ada sebuah kesamaan bahwa mereka sama-sama yakin terhadap adanya Sang Maha
Pencipta yang dikemudian hari setelah suku-suku bangsa yang berada dalam satu kawasan ini
sepakat menjadi sebuah bangsa, yang secara formal di awali di tahun 1908 dan dilanjutkan di
tahun 1928 sebagai bangsa yang berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia yang
selanjutnya memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai
Republik Indonesia, maka landasan pertamanya adalah ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh? karena
setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Prof. Notonagoro
melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila "Ketuhanan Yang
Maha Esa" sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain
haruslah dijiwai oleh sila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Secara tegas, Dr. Hamka
mengatakan: "Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila
bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya
hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa."

Kaum Kristiani menyatakan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap orang. Kaum Hindu/Budha
menyatakan, bahwa diri manusia merupakan rumah Tuhan yang harus dijaga kebersihannya
dan dijauhkan dari hal-hal yang bertentangan dengan agama. Sedang kaum Islam sesuai
dengan Firman Tuhan (Allah) dinyatakan, bahwa "Allah ada sangat dekat dengan dirimu,
tidak lebih dari kedua urat nadi lehermu". Keberadaan dan keesahan Tuhan ini, mendasari
suatu kesepakatan untuk menempatkan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai Sila Pertama,
yang menjiwai semua sila-sila dibawahnya. Di sinilah terletak jiwa dari Pancasila itu.
Memang benar bahwa sila ini adalah bersangkut paut dengan kemajemukan agama di
Indonesia dan karena itu mengenai kebebasan serta toleransi beragama. Tapi ia lebih dari itu.
Sebab bila kebebasan serta toleransi agama yang hendak kita tonjolkan, maka sila-sila lain
telah menjaminnya (sila 2, 3, 4, khususnya, bahkan 5 sekalipun).

 Dimensi Historial Pancasila Sila Pertama

Sejarah mengatakan bahwa Pancasila dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
lahir pada 1 Juni 1945. Pancasila lahir didasarkan pada pemikiran tokoh proklamator yang
tidak lain adalah Bung Karno. Mungkin banyak di antara kita yang tidak mengetahui apa
dasar pemikiran Bung Karno pada waktu mencetuskan ide dasar negara hingga tercetuslah
ide Pancasila. Dasar pemikiran Bung Karno dalam mencetuskan istilah Pancasila sebagai
Dasar Negara adalah mengadopsi istilah praktek praktek moral orang Jawa kuno yang di
dasarkan pada ajaran Buddhisme. Dalam ajaran Buddhisme terdapat praktek-praktek moral
yang disebut dengan Panca Sila (bahasa Sanskerta/Pali) yang berarti lima (5) kemoralan
yaitu: bertekad menghindari pembunuhan makhluk hidup, bertekad menghindari berkata
dusta, bertekad menghindari perbuatan mencuri, bertekad menghindari perbuatan berzinah,
dan bertekad untuk tidak minum minuman yang dapat menimbulkan ketagihan dan
menghilangkan kesadaran.
Sila pertama dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat
pada sila pertama ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sanskerta ataupun bahasa
Pali. Banyak di antara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila pertama ini. Baik
dari sekolah dasar sampai sekolah menengah umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita
membahasnya dalam sudut pandang bahasa Sanskerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha
Esa bukanlah bermakna Tuhan Yang Satu.

Kata "maha" berasal dari bahasa Sanskerta/Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan
dalam pengertian bentuk). Kata "maha" bukan berarti "sangat". Jadi adalah salah jika
penggunaan kata "maha" dipersandingkan dengan kata seperti besar menjadi maha besar yang
berarti sangat besarKata "esa" juga berasal dari bahasa Sanskerta / Pali. Kata "esa" bukan
berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata "esa" berasal dari kata "etad" yang lebih
mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata "ini" (this-
Inggris). Sedangkan kata "satu" dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta maupun
bahasa Pali adalah kata "eka". Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan
yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah "eka", bukan kata "esa".

Setelah kita mengetahui hal ini kita dapat melihat bahwa sila pertama dari Pancasila NKRI
ternyata begitu dalam dan bermakna luas, tidak membahas apakah Tuhan itu satu atau banyak
seperti anggapan kita selama ini, tetapi sesungguhnya sila pertama ini membahas sifat-sifat
luhur / mulia yang harus dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia. Sila pertama dari Pancasila
NKRI ini tidak bersifat arogan dan penuh paksaan bahwa rakyat Indonesia harus beragama
yang percaya pada satu Tuhan saja, tetapi membuka diri bagi agama yang juga percaya pada
banyak Tuhan, karena karena yang ditekankan dalam sila pertama Pancasila NKRI ini adalah
sifat-sifat luhur / mulia. Dan diharapkan Negara di masa yang akan datang dapat membuka
diri bagi keberadaan agama yang juga mengajarkan nilai-nilai luhur dan mulia meskipun
tidak mempercayai adanya satu Tuhan.

MGR. John Liku-Ada mengatakan, "ketuhanan dalam Pancasila tidak dijabarkan secara rinci
dan sistematis oleh Sukarno dalam risalah-risalah teoritis. Dengan demikian ia tidak
maksudkan untuk membuat suatu pernyataan tentang hakikat ke-Allah-an atau paham
ketuhanan dalam agama tertentu

 Dimensi Rasional Pancasila Sila Pertama


Dalam kontek lokal ke sejarah Indonesiaan kita, peristiwa resolusi jihad NU merupakan
peristiwa pergerakan kemerdekaan yang dijiwai semangat keagamaan yang kuat dalam
mendorok pemeluknya untuk cinta terhadap tanah air yang kembali dijajah yang berdampak
pada perlawanan rakyat terjajah kepada bangsa lain yang menjajah. Resolisi Jihad ini, dalam
sejarahnya merupakan seruan KH. Hasyim Asyarie Tebu Ireng dengan segenap jejaring tokoh
sentral agama Islam lainya untuk berjuang bersama membela tanah air dalam suasana Jihad
(sebuah perang suci yang digerakan melalui spirit ketuhanan dalam Islam). Mereka tampil
secara gagah berani melawan kembalinya para penjajah kala itu, sehingga pecah pertempuran
besar 10 November di Surabaya, dimana saat itu sumberdaya masyarakat utamanya kalangan
santri tumpah ruah melakukan perlawanan di kota ini. Meraka bahu-membahu menghalau
kembalinya penjajah belanda yang membocengi tentara sekutu Inggris di Surabaya, sehingga
dalam pertempuran dahsyat ini mengakibatkan tewasnya salah satu jendral tentara sekutu.
Peristiwa ini merupakan wujud dahsyatnya kekuatan dogma ketuhanan melalui konsep jihad
Islam dalam menggerakkan kekuatan sosial masyarakat untuk melakukan perlawanan dan
perubahan sosial.

Kesadaran para pendiri bangsa akan dahsyatnya kekuatan penghayatan atas ketuhanan dalam
setiap agama yanga ada di Indonesia telah dibaca dengan apik, agar dimasa kini dan
mendatang jangan sampai agama justru menjadi kekuatan kontra produktif dalam
membangun kebersamaan berbangsa Indonesia, kesejahteraan bersama dan keutuhan
persatuan bangsa ini. Maka Konsep ketuhanan disepakati sebagai modal dasar utama
membangun bangsa ini, agar ketuhanan itu menjadi daya dorong pembentuk masyarakat yang
berbudi luhur sebagaiamana tujuan setiap agama yang ada di Indonesia, yaitu cinta, kasih,
keadilan dan budi pekerti yang sifatnya universal, bukan sebaliknya.

Dalam pidato pancasila 1 juli 1945 Soekarno mengatakan, bahwa “…menyusun Indonesia
Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yaitu Prinsip Ketuhanan!”, yang
maksudnya adalah kurang lebih pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia disusun
dengan prinsip ketuhanan, yang wujudnya adalah ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Soekarno berharap “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri”, yang artinya tidak hanya
Negara Kesatuan Republik Indonesia saja yang mengakui ketuhanan, tetapi warganya juga
terjamin dalam meyakini setiap Tuhan dari agama-agama yang mereka yakini.
Sehingga maksut berTuhan dengan Tuhannya sendiri itu dicontohkan oleh Soekarno dengan
mengatakan: ”…Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya
menurut kitabkitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya berTuhan”.

Lanjutan dari pidato itu yang tak kalah pentingnya adalah kalimat: “…Segenap rakyat
hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tidak adanya “egoisme agama”.
Disini Soekarno menjelaskan harapanya bahwa standar bertuhannya setiap pemeluk agama
itu hendaknya dengan berkebudayaan, yaitu tanpa adanya “egoisme-agama”.

Dan nampaknya usulan dari Ir. Soekarno inilah yang disepakati oleh para pendiri bangsa,
sehingga Negara Indonesia ini, merupakan negara yang tidak mungkin dikatakan sebagai
negara sekuler (anti agama) dan tidak pula negara agama (pro terhadap satu agama saja),
akan tetapi Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Melalui sila pertama inilah, Pertama ; Bangsa Indonesia bersepakat bersepadu menyatakan
kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dimana corak
ketaqwaan itu sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua ; Mengembangkan sikap hormat menghormati
dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
dan Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan. Ketiga ;
bangsa Indonesia secara insaf dan sadar bahwa Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa, oleh karena itu merupakan kewajiban bersama untuk mengembangkan sikap
saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu, tanpa memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

 Dimensi Actual Pancasila Sila Pertama

Negara mendorong setiap agama dengan semangat ketuhanan masing masing untuk
berpartisipasi aktif bersinergi bersama sama (gotong royong) membangun moralitas publik
kebangsaan (etika berbangsa) yang berkeadaban dalam persatuan kemanusian dan keadilan
sosial bagi Indonesia. Realisasi dari sila petama tersebut, membuat pancasila dan agama tidak
mungkin untuk bisa dipertentangkan, keduanya berbeda dan berada pada fungsinya masing
masing, keduanya harus harmoni dan saling melengkapi dalam keadaan mutualisme. Dengan
diferensiasi, fungsi antara institusi agama dan negara masing-masing bisa mengoptimalkan
perannya dalam usaha pengembangan dan penyehatan kehidupan publik.
Institusi agama lebih bertanggung jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan
masyarakat (civil society) yang beradab dengan dukungan keberadaan negara. Pancasila lebih
bertanggung jawab dalam mengembangkan tatanan kehidupan negara (political society) yang
beradab dengan dukungan masyarakat yang juga beradab dan demikian pula sebaliknya. Oleh
karena itu, menurut Mochtar Pabotinggi, “Kita memerlukan kehidupan agama yang
menghormati mekanisme dan kebijakan demokrasi dan kita memerlukan demokrasi yang
menghargai ritus, amal, dan terutama kebijakan agama.”

Tantangan terbesar implementasi Ketuhanan sila pertamasebagaimana yang diidealkan


Soekarno “Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur,
Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain” adalah problem empiris agama yang
sebagaimana Soekarno istilahkan dengan “egoisme agama”. Mengenai egoism-agama, kita
dapat meminjam istilah Charles Kimball yang mengindentikasi lima tanda egoisme-agama
yang perlu diwaspadai, yaitu tanda-tanda ketika pemahaman agama telah melenceng
sehingga akan membawa bencana bagi kehidupan berbangsa dan acaman ketuhan dalam
kemajemukan di era kekinian.

Kelima tanda itu antara lain : Pertama; klaim kebenaran tunggal mutlak yang di paksakan
dibawa keruang publik yang manjemuk atas nama tuhan. Kedua; kepatuhan buta yang
membabi buta dengan kekuatan dogma yang bertolak belakang dengan semangat
kemajemukan, ketiga; utopia membangun zaman ideal (tatanan ideal) atas nama Tuhan,
keempat; fanatisme tujuan yang menghalalkan segala cara yang minciderai kemanusia, dan
Kelima; menyerukan ‘perang suci’ untuk mememarangi yang berbeda. Jebakan lima sikap
egoesme-agama di atas hanya menggunakan agama sebagai alat pembenaran bagi tindakan
mereka yang sebenarnya berada di luar semangat universal ketuhanan agama-agama
manapun yaitu keluhuran budi (akhlaqul Karimah).

Lima hal menurut Kimball di atas adalah fakta sosial yang terjadi di tengah-tengah tengah
semua bangsa didunia membangun keharmonisan global, yang harus diwaspadai bersama
dengan penguatan pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Fajar globalisasi,
seperti dikatakan Schreiter, memang salah satunya ditandai oleh tegangan budaya (cultural
tension) dalam wujud kebangkitan tribalisme yang mematikan (lethal) 31. Satu misal adalah
kasus teror dan kekerasan didunia atas nama agama,sebagamana wajah global dari beberapa
propaganda jihad yang salah dan mengatas namakan Islamyang di lakukan oleh beberapa
kelompok radikal, seperti berita yang baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan, Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan jumlah simpatisan beberapa
organisasi teroris di Indonesia sudah mencapai sekitar 17 ribu orang. Direktur Pencegahan
BNPT Brigjen Ahmad Nurwahid mengatakan belasan ribu orang itu termasuk keluarga dari
beberapa jaringan teroris seperti, Jemaah Islamiyah (JI),Jamaah Ansharut Daulah (JAD),
Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).

Ahmad mengatakan pihaknya selalu memonitor jaringan teror belasan ribu orang tersebut.
BNPT juga mencermati kelompok yang berpotensi melakukan tindak pidana teror dan
melakukan upaya pencegahan dengan cara menyerang duluan atau preventive strike dan
preventive justice. Ia mengimbau agar mereka segera bertaubat dan menyerah ke pemerintah.
Ia juga mengimbau agar anggota MIT yang tersisa beragama secara moderat dan tidak
esktrem. Menurut Ahmad, teroris yang memiliki paham takfiri (mengafirkan), cenderung
bersikap reaktif, memiliki kebencian, dan juga memendam dendam.

Kelompok-kelompok tersebut, dengan tensi egoism keagamaan yang mereka bangun atau
bahkan pola fanatisme kesukuan yang tinggi, selalu gagal menempatkan Ketuhanan Yang
Maha Esa berikut empat sila lainya, sebagai bahasa kesadaran luhur dalam membangun
kebersamaan ditengah perbedaan lintas Agama dan praktek-praktek ketuhanan yang berbeda.
Padahal dari perspektif Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menghedaki Teologi berbangsa yang
cair dan terbuka yang kekayaan penafsiranya selalu merajut harmoni untuk hidup bersama,
tanpa harus mencampur adukkan masing-masing praktek dan ajaran agama-agama yang
memang berbeda satu dengan lainya.

Melalui Ketuahan Yang Maha Esa, manusia Indonesia melangkah dari sekadar sadar atau
tahu bahwa di dalam keIndonesiaan itu, kita menyadari bahwa Tuhan dalam agama kita,
memang satu-satunya Tuhan yang harus kita sembah. akan tetapi disisi yang lain dalam ruang
sosial kewarganegaraan, secara bersamaan kita sadar sesadar-sadarnya bahwa Tuhan kita
bukan satu-satunya konsep ketuhanan yang ada dan di yakini oleh seluruh anggota warga
masyarakat Indonesia, ada sebagian kecil atau sebagain besar anggota warga masyarakat
yang lain dengan konsep ketuhanan yang lain.

Maka mengamalkan dasar keindonesian yaitu Pancasila dalam ruang bersama yang bernama
Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak hanya berisi kesadaran ditataran teologis filosofis
mengenai variasi identitas yang tumpang tindih (overlapping identity) satu dengan yang lain,
yaitu di satu sisi sebagai pemeluk agama yang taat dan disisi lain sebagai warga negara yang
baik, yang memiliki agama yang berbeda, kultur yang berbeda, atau bahkan tafsir peribadatan
yang impelementasinya berbeda.

Sekali lagi, didalam ruang besar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, setiap anak bangsa memang
berbeda dengan yang lain, bisa dalam agama, budaya, ras atau bahkan suku yang berlainan,
lalu kita berusaha saling menemukan titik temu, dan setelah itu kita membentuk sebuah
simbol atau bahasa bersama untuk meluaskan diri, melampaui perbedaanperbedaan itu
sekaligus bersedia membangun dialog karya nyata untuk keadaban dan keluhuran bangsa
Indonesia

Sumber bacaan :

Jurnal Teologi “Cultivation”Vol. 2, No.1 (Desember 2017): 290-303 pISSN:2581-0499;


eISSN: 2581-0510 : ANALISIS DAN MAKNA TEOLOGI KETUHANAN YANG MAHA
ESA DALAM KONTEKS PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai