Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Autistik merupakan suatu gangguan bentuk pikir. Bentuk pikir (form of
thought) adalah cara bagaimana buah pikiran terhubungkan. Pikiran yang
normal adalah bertujuan dan terangkai berurutan dengan hubungan yang
logis. Bentuk pikir autistik adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki
preokupasi terhadap dunianya sendiri, mengakibatkan penarikan diri dari
realitas dunia luar. Bentuk pikir autistik berokupasi pada ide yang egosentris,
pikiran tidak logis, dan telah mengalami distorsi. Orang autistik selalu hidup
dalam alamnya atau dunianya sendiri, dan secara emosional terlepas dari
orang lain. Pikiran autistik sebenarnya masih normal, tergantung pada jenis
kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu, karena akan
berpengaruh terhadap perkembangan berikutnya. Pada orang-orang yang
pemalu, akan terjadi perkembangan pikiran autistik yang berlebihan sebagai
kompensasi terhadap kekecewaan hidupnya (Maramis, 2009; Kaplan, Sadock,
dan Greb, 2010).
Bentuk pikir secara normal merupakan bagian dari proses pikir yang
melibatkan banyak sinyal yang menjalar secara bersamaan pada sebagian
besar korteks serebri, talamus, sistem limbik, dan formasio retikularis batang
otak. Keterlibatan rangsangan sinyal dari berbagai bagian sistem saraf secara
bersamaan menghasilkan suatu pola dalam bentuk “pikiran”. Proses ini
disebut teori holistik pikiran (Guyton, 2006). Apabila terjadi
ketidakharmonisan sistem tersebut, maka akan timbul ketidaksesuaian, dan
salah satunya adalah autisme. Penyebab timbulnya bentuk pikir autistik atau
autisme, menurut beberapa penelitian, diantaranya adalah pola sifat orang tua,
kejang (epilepsi), trauma yang melibatkan otak, defisiensi
fenosulfertransferase (FST), sitem aktivasi retikular (RSA), dan genetik
(Besag, 2009; Turk, 2009; Viola, 2009; Milward, 2008; Taub, 2008). Salah
satu penelitian mengenai autisme, menyatakan bahwa terdapat kelainan pada
amigdala, hipokampus, septum, badan mamillari, dan serebellum. Otak orang

1
dengan autisme sedikit lebih besar, lebih berat, dan terdapat kelebihan sel di
dalam sistem limbik (Denckla, 2006).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya, miskin,
di desa di kota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis
dan budaya di dunia. Jumlah penderita gangguan bentuk pikir, terutama
autistik semakin meningkat. Penyebab yang tidak spesifik dari autisme
menyebabkan mekanisme atau psikopatologi dari autisme menjadi sulit untuk
dimengerti, sehingga banyak penelitian yang dilakukan. Oleh karena itu,
kelompok kami tertarik untuk menyusun referat tentang psikopatologi dan
patofisiologi munculnya autisme.

2
BAB II
AUTISME

A. Definisi
Autistik merupakan suatu gangguan bentuk pikir dimana seseorang
memiliki preokupasi terhadap dunianya sendiri, mengakibatkan seseorang
tersebut menarik diri dari realitas dunia luar. Bentuk pikir autistik berokupasi
pada ide yang egosentris, pikiran tidak logis, dan telah mengalami distorsi.
Orang dengan gangguan ini selalu hidup dalam alamnya atau dunianya
sendiri, dan secara emosional terlepas dari orang lain (Maramis, 2009).
B. Etiologi
1. Autisme terinduksi orang tua (Parentally Induced Autism)
Orang tua dengan sifat cenderung tidak peduli dan tidak memiliki
perasaan “dingin”, terutama ibu, berpotensi menyebabkan anaknya
menunjukkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan autisme. Hal
tersebut didukung oleh penelitian bahwa anak autistik lahir dari orang tua
dengan pola sifat cenderung autistik.
2. Kejang, epilepsi
Suatu penelitian menunjukkan bahwa kejadian epilepsi lebih tinggi
ketika berkaitan dengan autisme (Milward, 2008). Hal tersebut
dikarenakan risiko epilepsi meningkat pada autisme. Beberapa penelitian
menunjukkan hubungan kausatif antara epilepsi dan autisme, meskipun
masih banyak perdebatan di antara peneliti dan ilmuwan (Spence, 2009).
Namun telah diketahui, pasien gangguan spektrum autisme (Autistic
Spectrum Disorder—ASD) dengan epilepsi dibandingkan dengan pasien
hanya ASD, memiliki beberapa perbedaan seperti misalnya pasien ASD
dan epilepsi lebih banyak berjenis kelamin perempuan, memiliki gangguan
motorik lebih berat, dan keterhambatan perkembangan serta masalah
perilaku (Besag, 2009).
3. Defisiensi fenosulfertransferase (FST)
Fenosulfertransferase penting dalam proses pemecahan dan
pembuangan beberapa racun dari dalam tubuh manusia. Postulat Waring

3
menyatakan bahwa ketidakmampuan metabolisme beberapa komponen
fenolik amin tertentu secara efektif, akan menyebabkan racun pada sistem
saraf pusat, dan menyebabkan terjadinya perilaku autistik secara luas
(Turk, 2009).
4. Otak dan trauma otak
Autisme kemungkinan disebabkan trauma atau luka pada korteks
serebri, yaitu berkaitan dengan gangguan pada amigdala sehingga
memperjelas sebab terjadinya perilaku visual pada autisme (Kalia, 2008).
Selain itu, neurotoksisitas, gangguan neurotransmisi, neurotransmiter yang
salah, dan terganggunya hubungan saraf (neuro-connectivity), berperan
terhadap kerusakan otak. Suatu penelitian menjelaskan bahwa peningkatan
volume total otak, volume lobus parietotemporal, dan hemisfer serebelar,
terjadi pada autisme. Ukuran amigdala, hipokampus, dan korpus kalosum
pun abnormal (Viola, 2009).
5. Sistem aktivasi retikular (Reticular Activating System—RSA)
Penelitian oleh Buchwald menunjukkan bahwa ada gangguan pada
RSA dan target postsinaptik talamus di penderita autisme. Pasien autisme
terjadi gangguan pada penerimaan stimulus, dengan RSA bertanggung
jawab terhadap peningkatan tersebut. Hubungan sebab-akibat yang jelas
tetap belum diketahui pasti (Brambilla, 2003).
6. Genetik
Penelitian mengenai anak kembar dengan salah satu anak autistik,
maka anak satunya kemungkinan 82% akan terpengaruhi. Kembar
fraternal hanya 10% kemungkinan terpengaruhi. Sementara pada kakak
dan adik kandung dengan salah satunya autistik, kemungkinan terkena
autisme sekitar 2 – 8 %. Simptomologi seperti-autistik (autistic-like)
terjadi lebih sering pada orang tua, anak perempuan, atau anak laki-laki
dengan autisme, dibanding pada keluarga tanpa riwayat ASD (Taub,
2008).
Penelitian genetika menyatakan sekitar 90% fenotip autistik
berkaitan dengan genetik yang diturunkan. Menurut Muhle, gen yang
berpengaruh terhadap kejadian autistik setidaknya terdapat 10 gen.

4
Kromosom 7 adalah kromosom yang direplika menjadi gen predisposisi
autisme. Gen ini nantinya akan menghasilkan protein neurexin yang
berperan terhadap mekanisme komunikasi sel otak. Kelainan lokus gen
lainnya yang berpotensi menyebabkan autistik ditemukan pada lokus
15q11-q13 (Muhle, 2004).
.
C. Fisiologi Berpikir
Bentuk pikir merupakan bagian dari proses pikir yang melibatkan
banyak sinyal yang menjalar secara bersamaan pada sebagian besar korteks
serebri, talamus, sistem limbik, dan formasio retikularis batang otak.
Keterlibatan rangsangan sinyal dari berbagai bagian sistem saraf secara
bersamaan menghasilkan suatu pola dalam bentuk “pikiran”. Proses ini
disebut teori holistik pikiran (Guyton, 2006).
Rangsangan pada daerah sistem limbik, talamus, dan formasio
retikularis menimbulkan sifat-sifat umum pikiran, yaitu rasa senang, tidak
senang, sakit, tidak enak, sensasi sederhana, dan lokalisasi sensasi dari
sebagian besar tubuh. Sementara rangsangan pada korteks serebri
menimbulkan sifat khusus pikiran, yaitu:
1. Lokalisasi spesifik dari permukaan tubuh dan benda-benda dalam lapang
pandang penglihatan
2. Merasakan tekstur kain pada kulit, seperti sutra
3. Pengenalan visual bentuk ruang
4. Sifat-sifat individu yang memerlukan kesiagaan penuh (Guyton, 2006).
Sinyal-sinyal saraf pada batang otak mengaktifkan bagian serebral otak
melalui dua cara, yaitu dengan merangsang aktivitas neuron pada daerah otak
yang luas secara langsung dan dengan mengaktifkan sistem neurohormonal
yang melepaskan substansi neurotransmitter menyerupai hormone yang
memberikan pengaruh fasilitasi atau inhibisi spesifik ke dalam daerah terpilih
pada otak. Area fasilitasi bulboretikularis merupakan area retikular batang
otak yang menjalarkan sinyal-sinyal fasilitasi menuju ke medulla spinalis.
Sebagian besar sinaps dari sinyal ini menuju ke talamus, tempat sinaps
tersebut merangsang berbagai susunan neuron yang menjalarkan sinyal saraf

5
ke seluruh region korteks serebri dan berbagai area subkortikal (Guyton,
2006).

Gambar 1. Sistem eksitatorik di otak (Guyton, 2006)


Sinyal potensial aksi yang berjalan melalui talamus terdapat dua jenis,
yaitu potensial aksi cepat dan potensial aksi lambat. Potensial aksi cepat
dihantarkan secara cepat dan merangsang serebrum dalam beberapa milidetik.
Rangsangan berupa pelepasan neurotransmitter asetilkolin dari ujung-ujung
sinap sel saraf dalam beberapa milidetik sebelum akhirnya neurotransmitter
dihancurkan (Guyton, 2006).
Potensial aksi kedua berasal dari seluruh area eksitasi retikular batang
otak dan menuju talamus, dihantarkan secara lambat melalui serabut saraf
kecil. Efek eksitasi terjadi selama beberapa detik sampai menit, bahkan lebih
dan bersifat progresif. Sifat potensial aksi kedua ini untuk mengendalikan
tingkat eksitabilitas jangka panjang pada otak (Guyton, 2006).
Mekanisme fisiologis lain untuk mengatur aktivitas otak adalah
neurohormonal. Pelepasan neurotransmitter secara eksitasi atau inhibisi

6
bersifat menetap beberapa menit hingga jam dan menghasilkan masa
pengendalian yang panjang. Tiga sistem neurohormonal yang telah dipetakan
antara lain:
1. Sistem norepinefrin : sebagai hormon eksitasi
2. Sistem dopamin : sebagai hormon eksitasi dan inhibisi
3. Sistem serotonin : sebagai hormon inhibisi
Selain ketiga sistem ini, terdapat satu sistem yaitu sistem asetilkolin (Guyton,
2006). Keempat sistem ini memiliki fungsi spesifik sebagai berikut:
a. Lokus seruleus dan sistem norepinefrin
Lokus seruleus adalah area kecil di posterior pada sambungan antara
pons dan mesensefalon. Serabut saraf area ini menyebar ke seluruh bagian
otak dan menyekresikan norepinefrin. Norepinefrin merangsang otak
untuk meningkatkan aktivitasnya, berperan dalam menghasilkan mimpi,
dan terjadinya rapid eye movement saat tidur (Guyton, 2006).
b. Substansia nigra dan sistem dopamin
Substansia nigra terletak di anterior mesensefalon superior dengan
ujung-ujung sarafnya hingga nukleus kaudatus dan putamen, tempat
terjadinya sekresi dopamin. Penghantaran dopamin sampai ke area ventral
otak, hipotalamus, dan sistem limbik. Dopamin bekerja sebagai transmitter
inhibitorik di ganglia basalis dan berpengaruh pada pengatur tingkah laku
(Guyton, 2006).
c. Nuklei rafe dan sistem serotonin
Nuklei rafe terletak pada bagian tengah pons dan medula. Neuron
pada nuklei ini menyekresikan serotonin. Neuron ini mengirimkan serabut
sarafnya hingga diensefalon, sedikit bagian korteks serebri, dan medula
spinalis. Serotonin sebagai inhibitor penting, penekan rasa nyeri, dan
membantu menghasilkan tidur normal (Guyton, 2006).
d. Area eksitatorik retikular dan sistem asetilkolin
Serabut saraf area ini berjalan menuju tingkat otak yang lebih tinggi
dan menuju traktus retikulospinalis ke medula spinalis. Asetilkolin
dihasilkan sebagai neurohormon eksitasi dan menghasilkan kewaspadaan
pikiran serta terangsangnya sistem saraf (Guyton, 2006).

7
Norepinefrin, serotonin, dan dopamin sebagai contoh katekolamin
utama dalam tubuh. Ketiganya terbentuk melalui hidroksilasi dan
dekarboksilasi asam amino tirosin. Tirosin terbentuk sebagian besar melalui
makanan, dan sebagian lagi melalui fenilalanin. Sintesis katekolamin berhenti
pada dopamin, sebelum katekolamin disekresi sebagai transmiter sinaptik.
Pengambilan kembali dopamin secara aktif melalui transporter bergantung
pada Na+ dan Cl-. Dopamin mengalami metabolisme menjadi senyawa tidak
aktif oleh MAO dan COMT (Ganong, 2002).

Gambar 2. Sistem neurohormonal dopamine, norepineprin, dan


serotonin (Guyton, 2006).
Terdapat lima reseptor dopamin, telah mengalami klonasi, dan sebagian
berbentuk multipel. Reseptor tersebut adalah D1, D2, D3, D4, dan D5. Reseptor
D1 dan D5 meningkatkan kadar AMP. Reseptor D2, D3, dan D4 menurunkan
kadar cAMP. Reseptor D4 memiliki afinitas lebih besar terhadap obat-obat
antipsikotik dibandingkan reseptor-reseptor lainnya (Ganong, 2002).

8
Berdasarkan panjang akson, sistem dopaminergik di otak terbagi
menjadi sistem sangat pendek (ultrashort), sistem sedang (intermediate), dan
sistem panjang (long). Sistem pendek terdapat pada retina dan bulbus
olfaktorius. Sistem sedang terdiri dari sistem tuberoinfundibular,
incertohipotalamus, dan periventrikular medula. Sistem tuberoinfundibular
menyekresikan dopamin ke pembuluh darah porta hipofisis, sistem
incertohipotalamus menghubungkan hipotalamus dengan nukleus septum
lateral, dan periventrikular medula tersebar sepanjang ventrikel 3 dan 4
(Ganong, 2002).
Sistem dopamin panjang terdiri dari sistem nigrostriata dan sistem
mesokortikal. Sistem nigrostriata dari substansia nigra ke striatum sebagai
pengaturan motorik. Sistem mesokortikal dari tegmentum menuju otak tengah
kemudian ke korteks limbik dan frontalis, serta tuberkel olfaktorius, nukleus
akumbens, dan subkortikal limbik. Seiring bertambahnya usia pada orang
normal, terjadi penurunan reseptor dopaminergik pada ganglion basal yang
lebih besar terjadi pada wanita. Sistem mesokortikal yang terganggu berperan
dalam perkembangan gejala skizofrenia. Terjadi perangsangan berlebihan
pada reseptor dopamin D2 di sistem limbik sehingga terjadi peningkatan
pelepasan dopamin di otak dan kadar reseptor D 2 yang meningkat (Ganong,
2002).

D. Patofisiologi
Autisme adalah sebuah kelainan dengan penyebab yang tidak spesifik
oleh karena itu mekanisme dari patofisiologi dari autisme sulit untuk
dimengerti. Tidak ada dua orang yang memiliki penyakit autisme yang sama.
Autisme adalah kelainan perkembangan otak yang terjadi seumur hidup.
Seorang anak dengan autisme, memiliki orang tua, terutama ibu, yang
“dingin” terhadap anaknya. Maksud dari orang tua yang “dingin” adalah
orang tua yang mengabaikan anaknya, terutama mengabaikan anak secara
emosi. Orang tua mungkin memperhatikan anak dengan memberinya
kebutuhan sehari-hari berupa makanan dan minuman, namun tidak memenuhi
secara hubungan emosional. Kiasan untuk menggambarkan kondisi ini adalah

9
orang tua seperti “kulkas”, yaitu hanya menyediakan makanan, namun terasa
dingin dan tidak hangat (Stace, 2010).
Pernyataan mengenai orang tua yang “dingin” terhadap anaknya,
diawali dari penelitian seorang psikiatris, Leo Kanner, pada tahun 1940
mengenai sekelompok anak dengan autistik yang memiliki orang tua dengan
sikap dingin dan kurang memperhatikan secara emosi yang mendalam kepada
anaknya (Grinker, 2007). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Bettelheim, 1960. Menurut Bettelheim, autistik terjadi dikarenakan suatu
reaksi dari pengabaian berat orang tua terhadap anaknya. Bukan pengabaian
secara fisik seperti kebutuhan makan dan minum, namun pengabaian secara
emosi. Hal ini terjadi dikarenakan seorang ibu sebenarnya tidak
menginginkan anak tersebut ada (Stace, 2010).
Teori oleh Kanner dan Bettelheim ini telah lama ditinggalkan
dikarenakan telah diperbaharui teori autistik dengan teori modern, yaitu teori
mengenai genetika dan patofisiologi yang bisa mencetuskan terjadinya
autistik. Namun, teori mengenai orang tua yang “dingin”, mengabaikan anak,
kurang memperhatikan secara emosi, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan
anak secara emosi, memang bisa mempengaruhi perkembangan anak sejak
kecil, dikarenakan hubungan seorang anak dengan orang tuanya menjadi
dasar dan model dalam berhubungan dengan orang lain (Stace, 2010).
Anak menjadi tidak dapat berinteraksi dengan orang tuanya, tidak dapat
berhubungan secara emosi dengan orang tua, dan tidak dapat mengerti
mengenai orang lain selain dirinya sehingga anak menarik diri dari dunia luar
dan hidup di dalam dunianya sendiri dan terjadilah autistik. Hal ini didukung
oleh penelitian Mahler, yaitu anak dengan autistik sebagai mekanisme
pertahanan diri dikarenakan anak tidak dapat merasakan pengalaman ibunya
sebagai obyek yang hidup. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Arieti,
yaitu anak tidak merasakan proses normal dari sosialisasi terhadap hubungan
orang tua dan anak yng normal. Proses normal sosialisasi orang tua terhadap
anaknya berupa sikap orang tua yang mengasihi anaknya dan tidak
mengabaikan anaknya. Hal ini dikarenakan hubungan orang tua-anak sebagai
hubungan sosial pertama anak, yang menjadi arahan hubungan sosial anak,

10
serta menstimulus anak untuk menerima atau menolak lingkungan sosialnya
(Stace, 2010).
Penelitian studi tentang autisme dalam 15 tahun terakhir dengan
menggunakan berbagai teknologi telah memberikan bukti secara yang
menunjukkan ada kelainan pada amigdala, hippocampus, septum, badan
mamillary, dan cerebellum. Otak orang dengan autisme sedikit lebih besar
dan lebih berat. Dalam sistem limbik, ada kelebihan sel dan mereka terlalu
kecil. Neuron tersebut tampaknya mengalami perkembangan dewasa dengan
pemenggalan cabang dendritik mereka, yang memberikan dasar untuk
koneksi antar neuron. Selain itu, sel-sel Purkinje di otak kecil terpengaruhi
secara luas (Denckla, 2006).
Berdasarkan fakta bahwa kejang berhubungan dengan autisme dan
dapat membangkitkan potensi normal telah diamati dalam subjek autisme
dengan melakukan tugas-tugas yang membutuhkan perhatian. Polleux dan
Lauder (2004) mengusulkan bahwa autisme mungkin disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara sel eksitasi dan inhibisi di sistem saraf termasuk
korteks. Tiga kelainan yang didapatkan dalam autisme: batang otak dan otak
kecil, sistem limbik (amigdala dan hippocampus), dan korteks (Ratajczak,
2011).
Pada sebuah penelitian menyebutkan bahwa area diotak yang terlibat
adalah batang otak yang memiliki fungsi paling dasar yaitu bernafas, makan,
keseimbangan, koordinasi motorik dan sebagainya. Banyak perilaku pada
autisme, seperti bahasa, perencanaan dan interpretasi isyarat-isyarat sosial,
yang dikontrol oleh tingkat yang lebih tinggi dari daerah otak, seperti pada
bagian korteks serebral di otak bagian depan dan hippocampus (Rodier,
2000). Tingkat aktivitas pada area eksitatorik di batang otak ditentukan
sebagian besar oleh jumlah dan jenis sinyal-sinyal sensoris yang memasuki
otak dari perifer. Aktivitas area eksitatorik ini khususnya ditingkatkan oleh
sinyal-sinyal nyeri sehingga dnegan kuat pula merangsang kewaspadaan otak
(Guyton, 2006).
Sinyal-sinyal eksitasi dari area eksitatorik bulboretikular batang otak
tidak hanya berjalan ke korteks serebri, tetatpi ada juga umpan balik dari

11
korteks serebri ke area yang sama. Hal ini merupakan umpan baik positif
yang memungkinkan setiap aktivitas yang bermula di korteks serebri tetap
dapat mendukung aktivitas lainnya sehingga menghasilkan pikiran waspada
(Guyton, 2006).
Beberapa gejala umum pada autisme seperti, kurangnya ekspresi wajah,
hipersensitivitas untuk menyentuh dan suara, dan gangguan tidur lebih
mungkin berasal dari daerah otak yang berhubungan dengan fungsi dasar.
Selain itu, kelainan dalam otak orang-orang dengan autisme bukanlah
perubahan dalam otak depan namun penurunan jumlah neuron di serebellum,
yang telah diketahui memiliki fungsi penting dalam kontrol gerakan otot
(Rodier, 2000).
Penelitian di San Diego telah menunjukkan bahwa bagian serebellum
diaktifkan selama tugas-tugas tertentu yang membutuhkan tingkat
pengelolaan kognitif yang tinggi. Pada penelitian terdahulu menemukan
bahwa pada orang dengan autisme batang otak kehilangan neuron tertentu
seperti nukleus facial. Oleh karena itu, sinyal-sinyal saraf pada batang otak
pun mengalami gangguan kewaspadaan. Hal ini menunjukan bahwa kelainan
anatomis pada otak juga mempengaruhi terjadinya autisme (Rodier, 2000).
Sistem limbik merupakan sisteem seluruh lintasan neuronal yang
mengatur tingkah laku emosional dan dorongan motivasional. Bagian utama
sistem limbic adalah hipotalamus. Selain berperan dalam mengatur perilaku,
area ini juga mengatur banyak kondisi internal. Banyak fungsi perilaku yang
dicetuskan dari hipotalamus dan struktur limbik lainnya juga dijalarkan
melalui nuklei retikuler di batang otak dan nuklei asosiasinya. Jalur
komunikasi yang penting antara sistem limbi dan batang otak adalah berkas
otak depan bagian medial (medial forebrain bundle), yang menyebar dari
region septal dan orbitofrontal korteks serebri ke bawah melalui bagian
tengah hipotalamus ke formatio retikularis batang otak. Berkas ini membawa
serabut-serabut dalam 2 arah, membentuk garis batang sistem komunikasi.
Jalur komunikasi yang kedua adalah melalui jaras pendek yang melewati
formatio retikularis batang otak, talamus, hipotalamus, dan sebagian besar
area lainnya yang berhubungan dengan bagian basal otak (Guyton, 2006).

12
Lesi bilateral pada hipotalamus lateral akan menyebabkan
berkurangnya hasrat minum dan nafsu makan sehingga sering menimbulkan
mati kelaparan.

Lesi ini menimbulkan sikap pasif yang ekstrim disertai dengan


hilangnya sebagian besar dorongan bertindak. Hal ini dapat terjadi pada orang
autism (Guyton, 2006).

Gambar 3. Sistem Limbik


Amigdala merupakan kompleks beragam nucleus kecil yang terletak
tepat di bawha korteks serebri dari kutub medial anterior setiap lobus
temporalis. Amigdala mempunyai banyak sekali hubungan dua jalur dengan
hipotalamus. Amigdala juga tampak berproyeksi pada jalur sistem limbik
seseorang dalam hubungannya dengan alam sekitar dan alam pikiran
(Guyton, 2006).
Korteks limbik berfungsi sebagai zona transisional yang dilewati oleh
sinyal-sinyal yang dijalarkan dari sisa korteks otak ke dalam sistem limbik
dan juga kea rah yang berlawanan. Korteks limbik berfungsi sebagai area
asosiasi serebral untuk mengatur perilaku. Pola perilaku dapat dicetuskan
dengan merangsang daerah spesifik dalam korteks limbik sehingga ablasi
beberapa area korteks limbi dapat menimbulkan perubahan perilaku (Guyton,
2006).

13
Lucas dan Newhouse (1957) menemukan bahwa monosodium glutamat
(MSG) yang dieksposkan terhadap tikus menyebabkan degenerasi
perkembangan dari ganglion dalam retina dan juga dapat menghancurkan
beberapa nuklei di hipotalamus dan struktur lain otak. Beberapa reseptor
glutamat berbeda dalam struktur dan fisiologi, operasi reseptor NMDA
melalui kanal kalsium dan operasi reseptor non-NMDA melalui sinyal
intraselular. Ketika reseptor NMDA teraktivasi, kanal kalsium akan terbuka
dan meningkatkan kadar kalsium diintraselular dan mengaktivasikan
beberapa enzim dan molekul yang memberikan sinyal kepada sel termasuk
Inductable Nitric Oxide Synthase (iNOS), protein kinase C, Phospolipase A2,
dan eicosanoid cascade. Stimulasi ini menyebabkan 2 reaksi yang
menyebabkan kematian neuron dan menyebabkan kerusakan struktur otak.
Glutamat terbukti memiliki peran penting dalam perkembangan sistem saraf
pusat (Baylock, 2008).
Penelitian sebelumnya membuktikan adanya implikasi dari sistem
glutamatergic dan GABAergic serta serotonergik. Sistem serotonergik
mungkin mengalami disregulasi pada autisme, kadar serotonin pada awalnya
lebih rendah dari normal tetapi secara bertahap meningkatkan ke tingkat yang
lebih tinggi melebihi orang dewasa saat umur 2-15 tahun (Ratajczak, 2011).
Pada Autisme dapat ditemukan kadar serotonin (5-HT) pada trombosit
darah yang meningkat (Anderson, 1990). Pada penelitian sebelumnya
ditemukan bahwa polimorfiisme dalam transporter promotor serotonin (5-
HTT) adalah penyebab autism, namun hal tersebut masih kontroversional
(Cook et al., 1997). Menariknya, penemuan sebelumnya menemukan bahwa
terdapat bukti untuk transmisi dari alel polimorfik 5-HTT yang dapat
bergantung pada pengembangan dari defisit sosial dan komunikasi pada
autisme, dan memperkirakan bahwa allel munkin memodifikasi keparahan
dari ciri ciri autistik (Tordjman et al., 2001). Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa individu dengan satu atau dua salinan allel pendek
memiliki aktivitas neuronal lebih besar dari kontrol di amigdala, suatu
wilayah otak yang terlibat dalam autisme (Hariri et al., 2002).

14
Perkembangan sistem serotonergik dalam autisme dapat terdisregulasi.
Sintesis 5-HT di otak biasanya tinggi saat anak sampai remaja diikuti dengan
penurunan bertahap pada saat dewasa. Dinamika ini terganggu dalam
autisme, sehingga 5-HT tingkat yang awalnya lebih rendah dari normal,
namun secara bertahap meningkatkan ke tingkat yang lebih besar dari tingkat
dewasa dengan 2 sampai 15 tahun. Konsekuensi dari peningkatan kadar 5-HT
di perkembangan sistem somatosensori telah dianalisis pada hewan coba dan
memberikan bukti bahwa terjadi gangguan dalam pembentukan formasi pada
sirkuit sensoris talamokortikal. Akumulasi 5-HT telah diketahui merupakan
regulator dalam perkembangan sel saraf dan glial, termasuk proliferasi sel,
diferensiasi, migrasi, apoptosis, dan synaptogenesis (Chugani et al., 2002).
Disregulasi dari pengembangan sistem serotonergik dapat terjadi oleh
berbagai mekanisme, ermasuk mutasi pada gen penyandi faktor transkripsi
yang terlibat dalam spesifikasi dan pola dari reseptor 5-HT atau neuron.
Kemungkinan lain adalah bahwa terjadi perubahan ekspresi gen mengatur
biosintesis kolesterol atau metabolisme jalur dapat membahayakan fungsi
sistem serotonergik, seperti 5-HTT, VMAT2, MAO-A, atau reseptor 5-HT
(Waage-Boudet, 2003).
Dopamin merupakan kelompok neurotransmitter katekolamin. Jumlah
total neuron dopaminergik di otak manusia, tidak termasuk di retina dan
bulbus olfaktorius, diperkirakan berjumlah antara 300.000 sampai dengan
400.000. Nukleus dopaminrgik yang utama dijumpai pada substansia nigra
pars compacta, daerah tegmental sentral, dan nucleus arcuatus. Dari
substansia nigra dan daerah tegmental sentral neuron tersebut akan
berproyeksi ke daerah mesolimbik, mesokortikal, dan daerah striatum.
Dopamin merupakan  hasil dari biosintesis dalam tubuh (terutama oleh
jaringan saraf dan medulla kelenjar adrenal), perata oleh hidroksilasi dari
asam L-amino tirosin L-dopa melalui enzim tirosin 3-monooxygenase yang
juga dikenal sebagai hidroksilase tirosin, dan kemudian oleh dekarboksilasi
L-dopa oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase (yang seringa disebut
sebagai dekarboksilase dopa). Dalam beberapa neuron, dopamin diproses
lebih lanjut menjadi norepinefrin oleh dopamin beta hidroksilase. Dalam

15
neuron dopamin dikemas setelah disintesis menjadi vesikula yang kemusian
dilepaskan ke sinaps dalam menanggapi suatu potensial aksi presynaptic
(Boeree, 2009).

Gambar 4. Jalur Dopaminergik dan Serotoninergik


Jalur dopaminrgik menggunakan dopamin sebagai neurotransmiter
utamanya, terdapat pada area ventral tegmental (AVT) pada midbrain,
substantia nigra pars compacta dan nukleus arkuata pada hipotalamus. Jalur
ini merupakan jalur neural pada otak yang mengirimpak dopamin dari satu
regio di otak ke regio lainnya. Ada empat jalur dopaminrgik, yang pertama
adalah jalur mesolimbik yang mengirimkan dopamin dari area ventral
tegmental (AVT) ke nucleus accumbens. Area ventral tegmental terletak pada
daerah midbrain dan nucleus accumbens pada sistem limbik. Jalur kedua
adalah jalur mesokortikal yang mengirimkan dopamin dari AVT ke korteks
frontal. Gangguan pada jalur ini berhubungan dengan terjadinya skizofrenia.
Jalur nigrostriatal merupakan jalur ketiga yang mengirimkan dopamin dari
substantia nigra ke striatum. Jalur ini berhubungan dengan kontrol motorik
dan degenerasi pada jalur ini berhubungan dengan penyakit parkinson. Jalur
dopaminrgik yang terakhir adalah jalur tuberoinfundibular yang mengirimkan
dopamin dari hipotalamus ke kelenjar pituitary. Jalur ini mempengaruhi
hormon tertentu termasuk prolaktin (Boeree, 2009).

16
Dopamin memiliki banyak fungsi di otak, termasuk peran penting
dalam perilaku dan kognisi, gerakan sukarela, motivasi dan penghargaan,
penghambatan produksi prolaktin (yang terlibat dalam laktasi), tidur, mood,
perhatian, dan belajar. Neuron dopaminrgik (yaitu, neuron yang utama adalah
dopamin neurotransmitter) yang hadir terutama di daerah tegmental ventral
(VTA) dari otak tengah, substantia nigra pars compacta, dan inti arkuata dari
hipotalamus (Boeree, 2009).
Fungsi utamanya sebagai hormon ialah menghambat
pelepasan prolaktin dari kelenjar hipofisis (lobus anterior hipofisis). Dopamin
adalah inhibitor neuroendokrin utama dari sekresi prolaktin dari kelenjar
hipofisis anterior. Dopamin dihasilkan oleh neuron dalam nukleus arkuata
hipotalamus adalah dikeluarkan ke dalam pembuluh darah hypothalamo-
hypophysial dari median eminence, yang memasok kelenjar pituitary. Sel-sel
lactotrope yang menghasilkan prolaktin, dalam ketiadaan dopamin, prolaktin
mensekresi terus menerus; dopamin menghambat sekresi ini. Dengan
demikian, dalam konteks mengatur sekresi prolaktin, dopamin kadang-
kadang disebut prolaktin-faktor penghambat (PIF), menghambat hormon
prolaktin (PIH), atau prolactostatin. Di otak, fungsi phenethylamine sebagai
neurotransmitter, mengaktifkan lima jenis reseptor dopamin
D 1, D 2, D 3, D 4, dan D 5 dan varian mereka (Boeree, 2009).
Dopamin sangat berperan dalam proses berpikir (cognitive). Proses
berpikir ini sering disebut dengan kemampuan otak untuk memproses
informasi. Dopamin juga berfungsi dalam memotivasi manusia. Motivasi ini
bias berguna untuk hal-hal biologis, seperti makan, hobi, dan untuk motivasi
mengejar suatu tujuan tertentu. Baukan itu saja, motivasi ini juga
mempengaruhi keinginan anak untuk menjadi ideak atau sempurna.
Keinginan untuk member juga merupakan salah satu akibat dari dopamin
(Reeve, 2009).
Zat ini juga berperan besar dalam sistem penghargaan (reward system)
manusia. Banyak hal yang ada pada kita dipengaruhi oleh dopamin, seperti
daya ingat, tidur, perasaan (mood), dan perhatian. Ada dugaan (masih dalam
taraf pembuktian) bahwa dapamin berperan dalam reward prediction error

17
(RPE). Dengan kemampuan RPE ini dopamin dipercaya berperan dalam
menentukan kebiasaan baru. Jadi, dengan kadar dopamin yang cukup, anak
akan lebih baik dalam mengembangkan suatu kebiasaan baru. Anak menjadi
lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan atau pengetahuan baru
(Reeve, 2009).
Kajian Jones dan Pilowsky menunjukkan tempat gangguan reaksi
dopamin akan menentukan sifat gejala yang muncul pada psikosis. Reaksi
overaktif transmisi dopamin di sitem limbic yang terdiri dari amygdala dan
nukleus accumbens menyebabkan munculnya interpretasi yang salah terhadap
stimulasi eksternal, yang berakibat munculnya delusi; dan ketidakmampuan
menseleksi persepsi yang berakibat munculnya halusinasi. Reaksi dopamin
rendah atau tidak reaktif pada region kortikal (korteks frontal dan prefrontal)
akan memunculkan gangguan fungsi eksekutif, kemiskinan isi pikir, bicara,
dan motivasi yang rendah, sehingga pemberian antagonis dopamin yang
bekerja pada korteks frontal dan prefrontal akan memperburuk gejala (Reeve,
2009).
Peranan gangguan dopamin pada autisme sering didasarkan pada
pengukuran kadar Homovanilic Acid (HVA), yaitu suatu metabolit dopamin
dan percobaan pemberian obat-obat agonis dopamin. Sebagian penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa kadar HVA ditemukan lebih tinggi pada anak
autisme yang gejala stereotipiknya lebih berat. Sistem dopaminrgik berperan
dalam pengaturan perilaku motorik. Dopamin yang berlebih akan
menyebabkan munculnya gerakan motorik berlebih, stereotipik seperti yang
diamati pada penderita autism (Reeve, 2009).
Terdapat 3 teori neurokognitif pada autism (Rodier, 2000):
1. Masalah dengan fungsi eksekutif - ini berarti kesulitan dengan
pemecahan masalah dan perencanaan ke depan dalam rangka untuk
mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain bertindak sebagai eksekutif
sendiri atau sekretaris.
2. Masalah dengan koherensi sentral - ini berarti kegagalan untuk
mengintegrasikan informasi untuk membentuk gagasan keseluruhan yang
bermakna.

18
3. Masalah dengan memahami cara orang lain berpikir atau mungkin
bereaksi terhadap situasi tertentu.
Pergeseran yang cepat dalam perhatian dan modulasi masukan sensorik
telah dikaitkan dengan otak kecil. Interaksi antara sistem kekebalan tubuh dan
sistem saraf dimulai dari awal kehidupan, dan suksesnya perkembangan saraf
tergantung pada respon imun yang seimbang. Beberapa agen seperti virus dan
bakteri telah didokumentasikan dapat hidup dalam monosit pada individu
dengan autisme. Agen tersebut dapat menginduksi respon imun dan
menghasilkan inflamasi neural, reaksi autoimun, dan cedera pada otak. Karena
reaktivitas dari imun sistem berubah dari keseimbangan sel dan aktivitas
antibodi untuk mendukung, patogen lebih mampu bersembunyi di dalam sel
untuk waktu yang lama dan kemudian sesekali merangsang respon imun
selama siklus replikasi sehingga pola penyakit kronis inflamasi (Ratajczak,
2011)

E. Prognosis
Prognosis atau hasil yang didapat pada autisme (Coplan, 2000):
1. Beberapa anak dengan autisme dapat memperbaiki pada usia 4-6 tahun
terutama mereka dengan autisme ringan yang telah dirawat di usia dini.
Anak-anak yang meningkatkan mungkin dapat menyertakan diri di antara
rekan-rekan normal mereka.
2. Hasil dari survei menunjukkan bahwa 49% orang dewasa dengan autisme
masih tinggal bersama orang tua dan hanya sekitar 12% memiliki
pekerjaan penuh waktu.
3. Orang dewasa autis didiagnosis sebagai anak-anak autis dengan IQ di atas
50 di Inggris menemukan bahwa orang dewasa autis 12% mencapai
tingkat tinggi kebebasan sebagai orang dewasa. 10% memiliki kehidupan
sosial dan pekerjaan beberapa tapi diperlukan beberapa dukungan, 19%
memiliki kebebasan beberapa tapi tinggal di rumah. 46% diperlukan
penyediaan spesialis perumahan dan 12% membutuhkan tingkat tinggi
perawatan di rumah sakit.

19
4. Dalam studi lain Swedia pada tahun 2005, tercatat bahwa dari semua
orang dewasa dengan autisme hanya 4% mencapai kebebasan. Penelitian
ini mencakup semua penderita ASD terlepas dari IQ.
5. Prognosis juga tergantung pada ada tidaknya keterbelakangan mental. 25%
sampai 70% dari penderita ASD mungkin memiliki berbagai tingkat
keterbelakangan mental. Untuk ASD selain autisme, asosiasi dengan
keterbelakangan mental jauh lebih lemah.
6. Dengan meningkatnya kesadaran tentang autisme semakin banyak orang
tua setuju untuk skrining dini terutama anak-anak berisiko tinggi
7. Prognosis juga tergantung pada penyakit yang berdampingan dengan
autisme. Gangguan genetic seperti sindrom Fragile X, sindrom Down, dll.
Sekitar 10-15% kasus autis memiliki kelainan kromosom dapat
diidentifikasi.

20
BAB III
KESIMPULAN

1. Autisme merupakan suatu gangguan bentuk pikir dimana seseorang memiliki


preokupasi terhadap dunianya sendiri, mengakibatkan seseorang tersebut
menarik diri dari realitas dunia luar.
2. Bentuk pikir merupakan bagian dari proses pikir yang melibatkan banyak
sinyal yang menjalar secara bersamaan pada sebagian besar korteks serebri,
talamus, sistem limbik, dan formasio retikularis batang otak.
3. Ketidakharmonisan sistem diatas akan menimbulkan ketidaksesuaian dan
salah satunya adalah autisme.
4. Menurut beberapa penelitian, penyebab timbulnya bentuk pikir autism adalah
pola sifat orang tua, kejang (epilepsi), trauma yang melibatkan otak, defisiensi
fenosulfertransferase (FST), sitem aktivasi retikular (RSA), dan genetik.
5. Anak dengan autisme dapat perbaikan pada usia 4-6 tahun terutama mereka
dengan autisme ringan yang telah dirawat di usia dini
6. Prognosis autisme tergantung pada ada tidaknya keterbelakangan mental yang
menyertai, penyakit yang berdampingan dengan autism seperti sindroma
fragile X, sindroma down, dan lain-lain.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson GM, Horne WC, Chatterjee D, et al. 1990. The


hyperserotonemia of autism. Ann NY Acad Sci 600:331–340; discussion
341–332.
2. Baylock RL. 2008. A Possible Central Mechanism in Autism Spectrum
Disorder Part 1. Alternative Therapies in Health and Medicine 14(6):46-
53.
3. Besag, F.M. The relationship between epilepsy and autism: a continuing
debate. Dalam: Acta Paediatric. 2009; 98(4): 618-620
4. Boeree, G. 2009. The limbic system. General Psychology: the emotional
nervous system. Available from URL:
http://webspace.ship.edu/cgboer/limbicsystem.html. Diakses pada tanggal
4 Februari 2013
5. Brambilla P., Hardan A., Ucelli di Nemi S., Perez J., Soares J., Barelle F.
Brain anatomy and development in autism: review of structural MRI
studies. Dalam: Brain Res Bulletin. 2003; 61(6): 557-569
6. Chugani DC. 2002. Role of altered brain serotonin mechanisms in autism.
Mol Psychiatry 7 Suppl 2:S16 –S17.
7. Cook EH Jr., Courchesne R, Lord C, et al. 1997.Evidence of linkage
between the serotonin transporter and autistic disorder. Mol Psychiatry
2:247–250.

22
8. Coplan J. 2000. Counseling Parents Regarding Prognosis in Autistic
Spectrum Disorder. Pediatrics 105(5
9. Denckla M. 2006. Pathophysiology of Autism: Brain Mechanisms.
Available at URL:
http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/sos_autism/pages/sub6.aspx
accsess at Saturday, 26 January 2013.
10. Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20.
Jakarta: EGC
11. Grinker, R. R. (2007). Unstrange minds: remapping the world of autism.
New York: Basic Books.
12. Guyton, Arthur C. Dan John E. Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC
13. Hariri AR, Weinberger DR. 2003. Functional neuroimaging of genetic
variation in serotonergic neurotransmission. Genes Brain Behav 2:341–
349.
14. Kalia, M. Brain development: anatomy, connectivity, adaptive plasticity,
and toxicity. Dalam: Metabolisme. 2008; 57: 52-55
15. Klauck SM, Poustka F, Benner A, et al. 1997. Serotonin transporter (5-
HTT) gene variants associated with autism. Hum Mol Genet 6:2233–2238
16. Maramis, WF., Albert, AM. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press
17. Millward, C. Ferriter M., Calver-S, Connell-Jones G. Gluten- and casein-
free diets for autistic spectrum disorder. Dalam: Cochrane Databasse
System Review. 2008; 16(2): CD0034988
18. Mahle, R., Trentacoste SV Rapid I. The genetics of autism. Dalam:
Pediatric. 2004; 113(5): 472 – 486
19. Polleux, F., and Lauder, J. M. 2004. Toward a developmental
neurobiology of autism. Ment. Retard. Dev. Disabil. Res. Rev. 10:303–
317.
20. Ratajczak HV. 2011. Theoritical Aspect of Autism: Cause-A Review.
Journal of Immunotoxicology 8(1): 68–79

23
21. Reeve, J. 2009. Understanding motivation and emotion (5th ed.). USA:
John Wiley & Sons, Inc. Self-determination theory: an approach to human
motivation and personality. University of Rochester. Available from URL:
http://www.psych.rochester.edu/SDT/measures/GCOS_text.php. Diakses
pada tanggal 4 Februari 2013.
22. Rodier PM. 2000. The Early Origins of Autism. Scientific American 2:56-
63
23. Scanlon SM, Williams DC, Schloss P. 2001. Membrane cholesterol
modulates serotonin transporter activity. Biochemistry 40:10507–10513.
24. Spence, S.J., Schneider M. T. The Role of epilepsy and epileptiform EEGs
in autism spectrum disorder. Dalam: Pediatric Research
25. Stace, Hilary. Student research report: Mother blaming; or autism, gender,
and science. Dalam: Women’s Studio Journal Vol. 4 No. 2. 2010;66-70.
Diunduh dari: http://www.wsanz.org.nz/journal/docs/WSJNZ242Stace66-
70.pdf
26. Taub, E. Autism and the courts: what does the recent settlement really
mean? Dalam: Journal of Neurosciance. 2008; 19(3): 71-74
27. Tordjman S, Gutknecht L, Carlier M, et al. 2001. Role of the serotonin
transporter gene in the behavioral expression of autism. Mol Psychiatry
6:434–439.
28. Turk, J., Bax M., Williams C., Amin P., Eriksson M., Gillberg C. Autism
spectrum disorders in children with and without epilepsy: impact on social
functioning and communication. Dalam: Acta Paediatric. 2009 ; 48(4):
675-681
29. Viola, S. G., Maino D. M. Brain anatomy, electrophysiology, and visual
function/perception in children with autism spectrum disorder. Dalam:
Optom Vis Dev. 2009; 40(3): 157-163
30. Waage-Baudet H, Lauder JM, Dehart DB, et al. 2003. Abnormal
serotonergic development in a mouse model for the Smith-Lemli-Opitz
syndrome: Implications for autism. Int J Dev Neurosci 21:451– 459.

24

Anda mungkin juga menyukai