Adoc - Pub Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjaua
Adoc - Pub Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjaua
SKRIPSI
Oleh:
Sofyan Afandi
NIM 05210019
SKRIPSI
Oleh:
Sofyan Afandi
NIM 05210019
SKRIPSI
Oleh:
Sofyan Afandi
NIM 05210019
Dosen Pembimbing,
Mengetahui,
Ketua Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah
Zaenul Mahmudi, MA
NIP 1973 0603 1999 031 001
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada Sidang
Majelis Penguji Skripsi.
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Sofyan Afandi, NIM 05210019, mahasiswa Jurusan Al
Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, dengan judul:
Dewan Penguji:
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Penulis
Sofyan Afandi
NIM 05210019
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta
Alam yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat
Wetboek)” sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)
Nabi Besar Muhammad SAW. Adalah Beliau penghulu para nabi yang benar dalam
ucapan dan perbuatannya, yang diutus kepada penghuni alam seluruhnya, sebagai pelita
dan bulan purnama bagi pencari cahaya penembus kejahilan gelap gulita, serta atas
izinNYA memberi Syafa’at pada hari yang tidak ada seorang pun yang mampu
mengaktualisasikan ilmu yang telah kami peroleh selama menimba ilmu dibangku
perkuliahan, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan mudah mudahan atas
izin Allah pula dapat juga bermanfaat kepada para penuntut ilmu yang lain.
v
Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan ungkapan
1. Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana
2. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas
3. Drs. M.Nur Yasin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi ini. Terima kasih
Beliau beserta seluruh anggota keluarga besar selalu diberi kemudahan dalam
4. Drs. Fadil Sj.M.Ag, selaku Dosen Wali penulis selama kuliah di Fakultas
5. Dosen Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang seluruhnya, yang
kepada penulis. Semoga ilmu yang telah disampaikan dapat bermanfaat bagi
6. Abah serta ibu yang tidak mungkin penulis lupakan sampai kapanpun, penulis
haturkan ber-ribu-ribu rasa hormat serta ta’dhim kepada beliau yang telah
vi
memberikan dukungan baik secara materil maupun spiritual yang bagi penulis
skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Jazaakumullah khairan
kastiran.
Penulis sebagai manusia biasa yang takkan pernah luput dari salah dan dosa,
menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
dengan penuh kerendahan hati, penulis sangat mengharap kritik dan saran konstrutif
Akhirnya, teriring do’a kepada Allah SWT, penulis berharap semoga skripsi ini
dapat barmanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya yang tentu
Sofyan Afandi
NIM 05210019
vii
MOTTO
(At-Tahrim : ayat 6)
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................. v
MOTTO..................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN..................................................................................... vii
KATA PENGANTAR............................................................................... viii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xii
TRANSLITERASI.................................................................................... xiv
ABSTRAK.................................................................................................. xvi
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Batasan Masalah.................................................................. 6
C. Rumusan Masalah................................................................ 7
D. Definisi Operasional............................................................ 7
E. Tujuan Penelitian................................................................. 7
F. Manfaat Penelitian............................................................... 8
G. Metode Penelitian................................................................. 8
1. Jenis Penelitian............................................................... 8
2. Pendekatan Penelitian.................................................... 9
3. Metode Pengumpulan Data............................................ 10
4. Sumber Data.................................................................... 10
H. Teknik Pengolahan Data....................................................... 11
I. Penelitian Terdahulu............................................................. 13
ix
J. Sistematika Pembahasan....................................................... 14
BAB II : KAJIAN TEORI......................................................................... 16
A. Pengertian Hukum Islam...................................................... 16
B. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)....................... 18
C. Hadhonah…………………………………………………... 19
1. Pengertian Hadhonah…………………………………... 19
2. Orang Yang Berhak Atas Hadhonah…………………... 26
D. Pembatalan Perkawinan Dalam Islam.................................... 30
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan................................. 30
2. Sebab-Sebab Terjadinya Pembatalan Perkawinan........... 33
3. Akibat Pembatalan Perkawinan....................................... 40
E. Pembatalan Perkawinan Perspektif KUH Perdata (BW)…… 41
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan……………………..41
2. Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan…………………..42
BAB III : ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN
PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW)
A. Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam
dan KUHPerdata(BW).............................................................. 47
B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua
Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan
KUHPerdata (BW)53
BAB V : PENUTUP.................................................................................... 58
A. Kesimpulan…………………………………………………... 58
B. Saran………………………………………………………..... 59
DAFTAR PUSTAKA
x
ABSTRAK
Sofyan Afandi 05210019. 2009. Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan
Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Skripsi. Jurusan Al
Akhwal Al Syakhsiyah. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Dosen pembimbing: Drs. M. Nur Yasin, M.Ag
Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan
sampai proses perkawinan, tidak menutup kemungkinan di dalam aturan-aturan tersebut
juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karena itu, apabila
terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan karena cacat hukum yang
merugikan salah satu pihak, maka untuk membatalkan sebuah perkawinan yang tidak
lain adalah didasarkan pada kepatuhan dalam batasan prikemanusiaan dan kesusilaan
tersebut merupakan suatu keniscayaan. Perkawinan yang batal menurut hukum
mempunyai konsekuensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada.
Kemudian bagaimanakah hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat dari
pembatalan perkawinan tersebut, dan bagaimana pula pengasuhan anak jika pernikahan
orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata?
Oleh karena itu penulis bermaksud menelaah lebih lanjut baik dari sisi Hukum
Islam dan KUH Perdata sebagai hukum yang diterapkan dengan asas konkordansi di
negara jajahan Belanda seperti Indonesia akibat hukum yang ditimbulkan terhadap
perkawinan yang dibatalkan terutama terhadap pengasuhan anak.
Penulisan ini adalah jenis penulisan hukum normatif atau disebut juga dengan
studi kepustakaan, karena penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku yang terkait
dalam pengumpulan data, yang mana penulis dapat dari sumber dat primer, sekunder
dan tersier yang kesemuanya bermuara dalam judul pembahasan ini.
Hasil dari pada penelitian hukum ini menggambarkan bahwa menurut hukum
Islam dan KUH Perdata perpisahan sebuah perkawinan baik itu berupa perceraian atau
perpisahan yang diputuskan oleh Pengadilan berupa pembatalan perkawinan
memberikan perlakuan yang sama dalam hal pengasuhan seorang anak, kecuali
pembatalan perkawinan itu terjadi akibat hal-hal tertentu yang mengakibatkan hasil dari
pembatalan perkawinan tersebut (Anak) tidak diakui secara hukum.
xi
BAB I
PENDULUAN
Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa untuk menyatukan dua insan yang
berlainan jenis maka ditempuhlah jalan berdasar ketentuan Allah yang terdapat dalam
syariat Islam, dengan mengadakan akad perkawinan dengan dasar kecintaan dan saling
rela antara keduanya yang dilakukan oleh pihak wali, menurut sifat dan syarat yang telah
Perkawinan dalam Islam memang suatu hal yang suci, dimana tujuan dari
perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, hal inilah yang melatar belakangi
sebuah perkawinan merupakan yang suci, yang bukan untuk dipermainkan. Untuk itu
1
Sosroatmojo,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hal 53.
1
syarat tersebut perkawinan yang dilakukan diharapkan akan berjalan sesuai yang
diinginkan bersama tentunya juga tidak lepas dari aturan-aturan Syar’i, serta merasa
tentram penuh dengan kasih sayang, sebagai nama firman Allah S.W.T.2
4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡àΡr& ô⎯ÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿ⎯ÏμÏG≈tƒ#u™ ⎯ÏΒuρ
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir3.
Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan
juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karenanya, apabila
ada terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan itu sendiri karena
didapati cacat hukum yang nantinya dapat merugikan salah satu pihak, maka untuk
membatalkan sebuah perkawinan yang tidak lain adalah didasarkan pada kepatuhan
Dalam Islam, pembatalan perkawinan disebut juga dengan istilah fasakh, Fasakh
disini bisa terjadi karena tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat perkawinan atau
2
QS.Ar-Ruum (30): 21.
3
DEPAG, Qur’an dan Terjemah Q.S. Ar-Rum (30): 21
4
Al Manar, Fiqh Nikah (Bandung: PT.Syamil Cipta Media, 2003), hlm 141
2
Dengan batalnya sebuah perkawinan maka ada beberapa pihak yang dirugikan,
sebut saja anak, dalam pasal 42 Undang-Undang No1 tahun 1974, disebutkan bahwa
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai dari perkawinan yang
sah.
ingin diwujudkan dalam sebuah kenyataan, salah satu keinginan tersebuat adalah sebuah
keturunan, dimana keturunan yang baik akan menjadi penolong bagi kedua orang tuanya
kelak seusai meninggal dunia. Keturunan yang baik diperoleh dari perkawinan yang sah
Pengasuhan anak mempunyai arti merawat dan mendidik anak kecil, pengasuhan
adalah hak mendidik dan merawat5, yang dimaksud mendidik ialah menjaga, memimpin,
dan mengatur segala hak anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri6
perhatian semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Islam adalah
agama yang sangat memperhatikan perlindungan dan menjaga hak-hak asasi manusia
mulai dari masa penciptaanya (proses pembuahan dalam rahim) sampai dia bertemu
dengan ajalnya.
Anak merupakan anugerah dari Allah yang tak ternilai, untuk itulah kita harus
merawat dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, jangan sampai anak yang lahir
disia-siakan oleh para orang tua, bahkan sampai diterlantarkan. Anak tersebut harus kita
5
Poerwardarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka, 1989), hlm 63.
6
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998), hlm 426.
3
didik dan kita arahkan agar dimasa yang akan datang menjadi anak yang ditunggu oleh
dengan sendirinya berlaku hubungan kekerabatan antara anak yang dilahirkan dengan
adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seorang laki-laki dan seorang
wanita yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya akad nikah tersebut yang menjadi
factor penentu hubungan kekerabatan itu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai
ayahnya, bila anak tersebut lahir dari ibu yang melahirkannya dengan perkawinan yang
Jumhur ulama berpendapat bahwa dengan hanya adanya perkawinan yang sah
belum menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Untuk sahnya hubungan kekerabatan
yang sah itu selain disamping akad nikah yang sah disyaratkan pula bahwa diantara
suami istri diduga kuat telah berlangsung hubungan kelamin secara memungkinkan
mereka semuanya adalah adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menjadi dasar
menetapkan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya. Dalam gambaran diatas
4
menurut ulama ini anak yang lahir adalah anak yang sah dari laki-laki yang mengawini
wanita tersebut.7
Pada dasarnya tidak semua pasangan baik laki-laki maupun perempuan dapat
menjadi dua macam secara garis besar : Syarat meteril8 dan Syarat formal9, jika dalam
pelaksanaannya tidak terpenuhi maka demi hukum pula perkawinan tersebut batal demi
pembatalan perkawianan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim10 jika perkawinan yang
dilangsungkan bertentangan dengan Bab ke-4 Bagian ke-satu pasal 27 KUH Perdata.11
Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “ privat
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah
7
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Fiqh, (Jakarta: Persada Media 2004), hlm 177.
8
Syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melaksanakan perkawinan.
9
Syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam melaksanakan perkawinan.
10
Pasal 85 KUHPer
11
Pasal 27 “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”.
12
Subekti, Pokok pokok Hukun Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa), hlm 9.
5
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga
sedarah dari istri. Anak tentunya hal ini termasuk dalam pembahasan kekeluargaan
karena perkawinan. Dan ini senada dengan bunyi pada Bab ke-12 Bagian ke-satu pasal
250 KUH Perdata13 dan dalam bab yang lain Bab ke-14 Bagian ke-satu pasal 298 KUH
Perdata disebutkan tentang perihal kekuasaan orang tua berbunyi “…orang tua wajib
konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian, dalam kaitannya
dengan perkawinan antara dua orang hal tersebut juga juga turut mempengaruhi status
Dari sini lahir sebuah pertanyaan bagaimana jika anak tersebut, lahir dari
mempunyai konsekwensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada,
kepada siapa hak asuh anak pasca batalnya perkawinan? dan Bagaimana hubungan
getahnya, dan dari sinilah penulis mengamati lebih jauh berkenaan dengan kepada siapa
hak asuh anak diberikan pasca pembatalan perkawinan guna memberkan gambaran
umum secara formil dan materil terhadap anak, yang sejauh ini masuh belum mendapat
13
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh sisuami sebagai
bapaknya.
6
Karena itulah penulis begitu tergerak untuk menulis permasalahan tersebut, adapun judul
yang diangkat pada masalah ini adalah HAK ASUH ANAK AKIBAT
B. Batasan Masalah
Supaya penulisan ini lebih terfokus dan sesuai dengan tujuan dan tidak melebar
kemana-mana, maka dirasa perlu adanya pembatasan masalah, dalam penulisan ini
adalah pembahasan hukum dalam yakni difokuskan kepada masalah Hak Asuh Anak
Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata. Penulisan ini
mencakup dua sisi yakni mengkaji yang berkenaan dengan hukum islam, Sedang hukum
islam yang dimaksud dalam penulisan ini adlah hukum Islam yang meliputi kitab-kitab
dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal
2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hubungan hukum antara anak dan orang
7
D. Definisi Operasional
Supaya pembahasan ini dapat mudah dipahami dan dimengerti maka definisi
1. Hak asuh anak, Hak merawat, mendidik, menjaga, memimpin, melindungi, dan
mengatur segala hak seorang anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya
sendiri14
2. Pembatalan perkawinan, Perkawinan yang tidak memenuhi salah satu rukun atau
syarat (formil / materil) perkawinan atau sebab lain yang dilarang dan diharamkan
demi hukum15.
3. Hukum Islam, Suatu disiplin dari jenis-jenis ilmu pengetahuan islam atau ilmu-ilmu
keislaman, yang merupakan suatu pengetahuan produk fuqoha atau mujtahid dan
sebagai sebuah disiplin ilmu maka hukum islam ada yang menyebutnya sebagai
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua menurut
2. Untuk memaparkan Bagaimana hak asuh anak jika pernikahan orang tua
14
Poerwardarminta, Op.Cit.
15
Sulaiman Rasjid, Op.Cit
16
A.Qodri Azizy, Hukum Nasional Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, (Bandung: Teraju PT.
Mizan Publika 2004), hlm 22.
8
F. Manfaat Penelitian
Secara teoritis
hukum, khususnya mengenai hak asuh anak dan pembatalan perkawinan.dan diharapkan
Secara praktis
1. Sebagai Syarat untuk memperoleh gelar SHI di Universitas Islam Negeri Malang
(UIN Malang).
2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan
3. Untuk mengetahui hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, atau yang disebut
dasarkan pada bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan mencoba
9
Winarno Surakhmad menempatkan metode deskriptif ini adalah metode penyelidikan
yang lebih tepat untuk menjelaskan data yang telah lampau, ada yang lebih tepat lagi
untuk menjelaskan data waktu sekarang, dan ada lagi yang lebih wajar iguinakan untuk
meamalkan peistiwa-peristiwa yang akan datang / yang akan terjadi.17 Jenis yang
digunakan adalah penelitian yuridis normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut
sebagai penelitian pepustakan atau dokumen. Disebut sebagai penelitian hukum doktrin,
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang
tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada dalam perpustakaan.18 Sedang yang mendasari penelitian ini adalah
Wetboek) dalam memberikan sebuah payung Hukum terhadap pemeliharaan anak pasca
pembatalan perkawinan.
2. Pendekatan Penelitian
dalam bukunya bagong suyanto dkk19 bahwa penelitian kuatitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang menghasilkan data data deskriptif mengenai kata-kata lisan atau tulisan,
dan tingkah laku yang dapat diamati dari masalah yang diteliti. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang hak asuh anak pasca
17
Soejono dan Abdurrahman, Metode penelitian Hukum(cet.2, Jakarta: Renika Cipta,2003),21.
18
Bambang Waluyo, Penelitan Hukumn Dalam Praktek,(cet.3, Jakarta:Sinar Grafika,2002), 13.
19
Bagong Suyatno dkk,Metode penelitian sosial bebagai alternatif pendekatan( jakarta,kencana:2005),166
10
pembatalan perkawinan dalam tinjauan hukum islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Sesuai dengan metode penelitian diatas, maka teknik yang digunakan dalam
Dokumentasi artinya adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
4. Sumber Data
Karena penelitian ini bersifat kepustakaan, maka sumberdata terbagi atas dua
bahan;
1. Bahan hukum primer, yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang
baru maupun mutakhir,ataupun pengetahuan yang baru tentang fakta yang diketahui
ataupun mnegenai suatu gagasan (Ide). Sumber data yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah ;
1. Kitab-kitab Fiqh.
2. Undang-Undang Perkawinan.
20
Suharsimi Arikunto Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm
231.
11
2. Bahan atau sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi yang
3. Bahan hukum tertier, Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
Data yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya akan disajikan secara
deskriptif kualitatif. Adapun yang dimaksud deskriptif kualitatif, menurut Bogdan dan
Taylor sebagaimana dikutip Moleong adalah metode sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang
diamati.23
Dalam hal ini analisis terhadap data digunakan secara deskriptif kualitatif, yaitu
hubungannya yang ada, pendapat yang sedang bersentuhan dengan proses yang sedang
berkembang.24 Atau analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia
dari berbagi sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dalam catatan
21
Soerjono Soekanto dan Srimandji, penelitian Hukum Noematif, ( Jakarta; Raja Grafindo Persada , cet. VI
, 2003), hlm 33.
22
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV,
2008), hlm 392.
23
Lexy.J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm 103.
24
Sunarto, Metodologi Penelitian Deskriptif (Surabaya: Usaha Nasional), hlm 47
25
Lexy.J.Moleong, Op.Cit, hlm 190.
12
Dalam penulisan ini nantinya dianalisis datanya dilakukan dalam satu proses,
proses yang berarti pelaksanaannya sudah dilakukan sejak pengumpulan data, yang
dikerjakan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan, dan menarik kesimpulan
adalah pengolahan data. Dan untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan
a. Editing (Editing)
Pemeriksaan ulang, dengan tujuan data yang dihasilkan berkualitas baik.27 Dalam
hal ini penulis membaca dan memeriksa ulang data atau keterangan yang telah
b. Klasifikasi (Classifying)
Pengelompokan, dimana data hasil wawancara diklarifikasikan berdasarkan
katagori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan dalam urusan masalah, sehingga data
dalam penulisan ini dibagi 2 (dua) kelompok, pertama, data yang berkenaan dengan
hubunga hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan perkawinan, kedua¸ Hak
26
Ibid, hlm 104.
27
LKP2m, Reseach book for (Malang: UIN-Malang, 2005), hlm 60-61.
28
Lexy.J.Moleong, Op.Cit. hlm 104
13
c. Verifikasi (Verifying)
Menelaah secara mendalam, data dan informasi yang diperoleh dari lapangan
d. Analisis (Analyzing)
Sedangkan metode analisis yang penulis gunakan adalah deskriptif komparatif
membuat ikhtisar serta mencari kejelasan mengenai konsep Pembatalan Perkawinan dan
Pengasuhan Anak dalam konsep Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
e. Konklusi (Conluding)
Langkah terakhir adalah kesimpulan, yaitu dengan cara menganalisa data secara
kaitannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Langkah terakhir harus
khususnya teori tentang Pengasuhan Anak dan Pembatalan perkawinan menurut Hukum
I. Penelitian Terdahulu
29
Nana Saujana, Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), hlm 84-85.
30
Ibid.
14
Agar tidak terjadi pengulangan pembahasan maupun penelitian, maka diperlukan
yang penulis sajikan dalam proposal ini adalah penelitian tentang “KEDUDUKAN
dengan jurusan yang sama Nama :M.Nahya Sururi Al-Haq, Nim : 01210008 dibawah
bimbingan Drs. Fadil Sj.MAg yang berjudul Dalam penelitian tersebut dan setelah
penulis baca dan pelajarui dapat disimpulkan bahwasanya dalam penelitian tersebut anak
yang lahir dari setelah hubungan diluar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dan
FIQH” yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri
disebabkan karena Radha’ah, sedang dampak yang timbul terhadap anak tidak begitu
signifikan dan hanya meneliti dari satu sudut pandang saja yakni dalam perspektif fiqh.
bagaimana hak asuh anak pasca pembatalan perkawinan dalam tinjuan Hukum Islam dan
KHU Perdata.
15
J. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang mana setiap Bab-nya terdiri dari
suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga
belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Tujuan
penelitian adalah untuk menjelaskan apa yang diperoleh dalam proses penelitian
sedangkan manfaat penelitian berisi tentang temuan baru yang diupayakan dan akan
dihasilkan dalam penelitian serta apa manfaat temuan tersebut baik secara toeritis
maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau praktik hukum.
kemudian metode dan teknik penelitian serta memuat sistematika penelitian itusendiri.
Karena pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif, maka dalam Bab
II adalah Bab yang berisikan tentang teori yang membahas mengenai keabsahan
Selanjutnya dalam Bab III Didalamnya termuat tentang Status Anak Akibat
Pembatalan Perkawinan yang meliputi bagaimana hak asuh anak akibat pembatalan
Diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Bab Penutup memuat suatu kesimpulan
16
BAB II
KAJIAN TEORI
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “ Hukum” dan “ Islam”. kedua kata
itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak
terdapat dalam Alqur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. Bila kata hukum dan
islam dihubungkan maka hukum islam akan berarti ” seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan atau sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui
Alqur’an dan Sunnah melengkapi sebagian besar dari hukum-hukum islam dalam
bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabiin menambahkan atas hukum-hukum Islam
timbul dalam masyarakat. Yang kemudian dapat kita katakan bahwa hukum Islam
31
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 9.
17
adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam perkembangan
hukum islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan suatu masa.32
Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-
harus diikuti umat islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara
sederhana disebut dengan fiqh dalam artian khusus dengan segala lingkup
bahasannya.
kajian ini dikenal dengan “ushul fiqh” atau dalam arti lain “system
metodologi fiqh”
Perkataan “Hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat
perseorangan, atau yang lazim, disebut sebagai lawan dari hukum pidana. Ada juga yang
memakai sebutan hukum sipil, karena menyabutnya hukum sipil jaga dapat disebut
dengan lawan hukum militer, akan tetapi yang lebih sesuai dan lebih umum digunakan
32
Teungku Muhammad Hasbi As-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm 29
33
Syarifuddin, Op Cit., hlm 10.
34
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1957), hlm 9.
18
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang yang lain, dengan
Undang-Undang Hukum Perdata, yang disingkat dengan Burgerlijk WetBoek (BW) dan
didalamnya terbagi atas empat buku, yang kemudian dibagi dalam Bab-bab, sedangkan
setiap bab masih dibagi lagi dalam Bahagian-bahagian yang selanjutnya dibagi lagi atas
ayat-ayat
Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personan) yang memuat tentang
Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken) yang memuat peraturan-
peaturan hukum mengenai kekuasaan orang lain atas benda seperti mengenai milik,
kedudukan kekuasaan, hak dan kewajiban antara pemilik, pewarisan karena kematian,
Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen) yang memuat
penjual, harta Kekayaan dan berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku
Buku IV, yang memuat tentang Perihal Pembukltian dan Kedaluarsa atau lewat
35
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm 214.
19
C. Hadhonah
1. Pengertian Hadhonah
Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh perhatian
semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Hadhonah dalam definisi
Al-Hamdani adalah “pemeliharaan anak, laki-laki ataupun perempuan yang masih kecil.
atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri,
mendidiknya, jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkmbang dan
Adapun menurut Sayyid Sabiq hadhonah ialah pemeliharaan anak-anak yang masih
kecilbaik laki-laki maupun perempaun yang sudah besar tetapi belum tamyis38 tanpa
perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari
36
Nisa ngani, A.Qiram Syamsyudinmelialla, Profil Asas-Asas Hukum Perdata (BW) (Yogyakarta: Liberti,
1989), hlm 5-6
37
Hamdani Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum
Adat,Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm 318.
38
Beberapa tingkatan dalam tingkatan anak, yakni At-Tufulah adalah anak yang belum mampu
membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya sendiri, Balikh adalah masa ketika
ditandai dengan datangnya Haid bagi perempuan dan mimpi berhubungan seks bagi laki-laki atau seorang
yang telah melangsungkan pernikahan baik laki-laki atau perempuan, Mumayyis adalah Anak yang sudah
mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya yang kira-kira berumur 7 tahun.
Lihat Ensiklopedia Islam, hlm 1225.
39
Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa Thalib, (Bandung: PT.Al-Maarif, 1991), hlm 160
20
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.40 Semua itu
maksudnya adalah menjaga, memimpin, mengatur segala hal yang mana anak-anak itu
Jadi dari beberapa pengertian hadhonah yang telah diterangkan diatas dapat
disimpulkan bahwa hadonah itu merupakan pemeliharaan anak kecil yang masih
membutuhkan orang lain untuk mengurus dirinya sendiri sampai ia dapat menghadapi
kehidupan sebagai seorang muslim yang dapat membedakan mana yang baik dan yang
buruk.
ke dalam jurang kehancuran dan hidup tanpa guna. Memelihara anak adalah kewajiban
bersama, ibu dan ayah, karena si anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan, dipenuhi
kebutuhannya dan diawasi pendidikannya. Orang yang lebih berhak mengasuh adalah
وﺛﺪﺑﻲ, آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء: ﻳﺎرﺳﻮاﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا:أن رﺳﻮاﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءﺗﻪ اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ
ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ. و إن أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ, وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء,ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء
40
Pasal 1 huruf g
21
“ Ya Rasulallah, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan
susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka
Rasulullah bersabda: engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah41.”
Hukum ini berkenan dengan ibu tersebut kalau kawin lagi dengan laki-laki lain,
akan tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan
anak kecil tesebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonanya tidak hilalang. Hal ini
karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan
kekerabatannya yang dekat dengan anak kecil tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi
serta memerhaikan haknya. Dengan demikian, akan terjadilah kerjasama yang sempurna
di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suamin yang baru,
Berbeda halnya kala suami barunya itu orang lain. Sesungghnya, jika laki-laki
lain mengawini ibu dari anak kecil tadi, ia tidak bias mengasihinya dan tidak dapat
mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesrah, dan keadaan yang dapat
menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik. Akan tetapi al-hasan dan ibnu
hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah kehilangan
hak hadhonahnya.
41
Abi Suju’, At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii, (Surabaya: Al-Hidayah, Tth) hlm
189.
22
Persoalan pengasuhan anak atau hadhonah tidak ada hubungannya dengan
adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaga untuk masa ketika
anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini Imam Ja’far, Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali sepakat bahwa mengasuh anak adalah
hak ibu.42
Hadhonah (mengasuh anak) pada Bab VII pada pasal 105 dalam hukum
1. Apabila terjadi perceraian antara kedua suami istri, maka anak-anak yang masih
berumur kurang dari tujuh tahun, diasuh oleh ibunya, selama ibunya belum
2. Anak-anak yang sudah berumur 7 tahun ke atas dapat memilih, apakah ikut serta
mereka dewasa.
anak-anak tersebut, bila tidak dapat persetujuan antara dua belah pihak
42
M.Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khomsah (fiqh lima madzhab), penerjemah Masykur
AB, Afif Mahmud, Idris Al-Kaff, (Jakarta: PT. Lentera Baritama, 1999), hlm 415.
23
Dari penjelasan pasal 105 di atas apabila terjadi perceraian antara suami dan istri,
baik dengan jalan fasakh maupun talak, sedangkan keduanya telah dikaruniai anak, laki-
laki maupun perempuan yang masih berumur kurang dari 7 tahun, maka anak itu
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab IX pasal (42)
disebutkan tentang kedudukan anak, yaitu “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
Bahkan pada status anak akibat dari pembatalan perkawinan, Pada pasal 28 ayat
(2) juga ditegaskan meskipun terjadi pembatalan pernikahan keputusan tersebut tidak
Dalam Bab X Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang hak dan kewajiban antara
sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak dapat berdiri sendiri, kewajiban yang mana berlaku terus
43
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc.Cit., hlm 32.
44
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama, 2001)
24
Adapun dalam KHI bab XIV tentang pemeliharaan anak pasal 99, anak yang sah
adalah45:
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.
Dalam pasal yang lain yakni pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu
perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum anak dengan orang tuanya. Adapun
dalam pasal 105 juga secara tegas tentang pemeliharaan anak, dalam terjadinya
perceraian, maka :
pemeliharaannya.
45
Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000)
25
Perihal tentang pengasuhan anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pada bab ke-XII, bagian ke satu pasal 250 tentang dikatakan anak-anak sah
si suami sebagai bapaknya”. Kemudian mengenai hak asuh dan kekuasaan anak juga di
jelaskan dalam bab ke XIV bagian ke 1 tentang kekuasaan orang tua pasal 299 yang
menyatakan sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi
yang dianggap sebagai anak sah, anak-anak itu dapat mewarisi baik dari bapak maupun
ibunya dan ia juga mempunyai hubungan kekeluargaan baik si bapak maupun si ibu.46
Hadonah merupakan hak bagi anak yang masih kecil, sebab ia masih
berkewajiban memeliharanya adalah kedua orang tuanya, yang demikian ini sesuai
dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shaheh bukhari:47
أن ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ و:ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ رﺿﻲ ااﷲ ﻋﻨﻬﺎ
ﺳﻌﺪ ﺑﺘﻦ أﺑﻲ وﻗﺎ ص إﺧﺘﺼﻤﺎ اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ إﺑﻦ أﻣﺔ زﻣﻌﺔ ﻓﺎﻗﺒﻀﻪ ﻓﺎﻧﻪ اﺑﻨﻰ
46
Ali afandi, Op.Cit., hlm 121.
47
Abi’Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shaheh Bukhari (Surabaya: Tanpa penerbit, 1992), hlm
127.
26
هﻮ ﻟﻠﻚ ﻳﺎ:أﺧﻰ واﺑﻦ أﻣﺔ أﺑﻰ وﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش أﺑﻰ ﻓﺮأى اﻟﻨﺒﻰ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﻴﻨﺎ ﻓﻘﺎل:وﻗﺎل ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ
Artinya
Dari A’isyah R.A.: Sesungguhnya ‘Abdu Zam’ah dan Sa’ad bin Abi Waqas mengadu
kepada Nabi tentang ibn Amat Zam’ah, Saad berkata : Ya Rasulullah berilah nasehat
saudaraku tatkala aku hadir dan melihat ibn Amat Zam’ah, maka kupegang dia,
sesungguhnya dia adalah anakkn, kemudian ibn Zam’ah berkata : wahai saudaraku ibn
Zam’ah adalah ayahku yang dilahirkan dari firosy ayahku lalu Rasulullah
mengungapkan perumpamaan yang jelas pada “Utbah lalu berkata : Dia adalah untukmu
wahai “abd ibn Zam’ah, sesungguhnya anak adalah berdasarkan firosy dan berpalinglah
dari padanya wahai saudah (H.R. Bukhori)
Apabila terjadi perceraian, maka urutan orang yang paling berhak atas hadhonah
adalah ibu, dalam Fiqh ‘Ala MAdzahib Al-Arba’ah yang terdapat pendapat ulama
Menurut ulam Hanafi, orang yang paling berhak atas hadonah adalah ibu baik
masih menikah dengan ayah atau sudah bercerai, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke
atas, lalu ayah, ibunya ayah dan terus keatas, lalu saudara perempuan sekandung,
Orang yang paling berhak atas hadhonah, ulama Syafi’I membagi 3 keadaan,
Pertama, berkumpulnya pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini, ibu lebih behak
dari pada ayah, lalu ibunya ibu dan terus gari lurus keatas dengan syarat masih termasuk
ahli waris, setelah itu ayah, ayahnya ayah dan terus keatas, dengan syarat masih ahli
waris juga, Kedua, berkumpulnay pihak perempuan saja, dalam hal ini yang lebih utama
48
Al-Juzairi,Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’ (Beirut: Darul Kutub Al-Limiyah, 1992), hlm 127 – 128.
27
adalah ibu, lalau ibunya ibu, ibunya bapak, lalu saudara perempuan bibi dari ibu, anak
perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, anak
perempuannya saudara laki-laki, bibi dari ayah, anak perempuan bibi dari ibu,anak
perempuan bibi dari ayah. Ketiga, berkumpulnya pihak perempuan saja, maka yang
lenih didahulukan adalah ayah, lalu kakek, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki
seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, paman dari
ayah dan ibu, paman seayah, paman seayah,anak paman dari bapak.
Menurut ulama Hanabilah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah
ibu, kemudian ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, setelah itu ayah, ibunya ayah dan
garis lurus keatas, kakek, ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu.
Menurut ulama Malikiyah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah
ibu, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu bibi sekandung dari ibu, bibi se
3. Syarat Hadlin
oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat, Didalam Islam terdapat syarat-syarat untuk
dapat mengasuh anak, orang yang hendak mengasuh anak disyaratkan mempunyai
kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak, mampu melaksanakan
tugas sebagai pengasuh anak, maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa
28
syarat tertentu dan apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka gugurlah haknya untuk
1. Islam
Islam baik laki-laki maupun perempuan. Jika dikhawatirkan anak yang dipelihara
tersebut diberikan makan dan minuman yang tidak halal, maka pemeliharaan tersebut
pindah keorang yang beragama islam, hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatamn
anak tersebut. Dalam hal ini ditegaskan Zakariyah Ahmad Al-Barri salah satu Ulama
Malikiyah, beliau berpendapat bahwa islamnya hadlin (pengasuh) adalah tidak termasuk
syarat dari pemeliharan anak karena tidak mempengaruhi rasa kasih sayang seorang ibu
secara alami.49
Begitu juga dengan Ulama Hanabilah, tidak afda persyaratan Hadlin (pengasuh)
harus Islam, jika Ibu seorang kafir Zimmi, tetap ia lebih berhak atas anak yang
diasuhnya asalkan terjaga dari kekafiran dan kerusakan. Apabila terjadi sebaliknya,
misalnya diketahui ibu bersama anak pergi kegereja, atau diberi makanan dan minuman
yang tidak halal, maka ayahnya boleh mengambil anak dari ibu yang kafir zimmi
tersebut.
memelihara anak yang beragama islam, karena orang kafir berhak atas orang kafir saja.
49
Zakariyah Ahmad Al-Barri, Ahkamul Aulad fil Islam (Kairo: Darul Al-Qoumiyah, 1994), hlm 43.
29
Hal ini ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-Bajuri salah seorang ulama Syafi’I dengan
mengatakan bahwa syarat Hadlonah adalah berkaitan dengan agama, tidak ada hadlonah
bagi orang kafir terhadap orang Islam, memeperkuat pendapat dari Alqur’an yang
berbunyi50:
Hal ini akan berbeda ketika yang berbeda agama adalah si anak, maka Imam
Taqiyudn Abi Bakri Muhammad Al-Hasan dalm kitab Kifayatul Akhyar fi Ghoyatul
Ikhtisar berpendapat pengasuhan terhadap anak yang kafir tetap dapat diserahkan dalam
pemeliharaan ibu yang islam, yang demikian itu berdasarkan atas kemaslahatan
semata.52
2. Baliqh
4. Dapat dipercaya
5. Tidak Kawin
50
QS. An-Nisa’ (4), 141
51
DEPAG, Alqur’n dan Terjemahnya QS. An-Nisa’ (4), 141.
52
M.Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar (Semarang, CV.Toha Putra, TTh), hlm 53.
30
Hukum islam dalam sebuah perkawinan menganut asas poligami terbatas, tidak
mengenal lembaga pembatalan perkawinan. Kalau diantara suami istri atau keluarga
tenyata tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka penyelesaiannya bukan
Dalam hukum islam hanya mengenal perkawinan yang sah dan tidak sah.
Perkawinan yang tidak sah dianggap perkawinan itu tidak ada, sedangkan yang sah
hanya mungkin putus karena kematian, Talak,53 Khulu’,54 Syiqaq,55 pelanggaran taklik
Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mansur dalam Lisanul ‘arab menyatakan
pembatalan perkawinan dengan istilah Fasakh yang berarti batal ( )ﻧﻘﺬatau bubar ) ﻓﺮق
istri.”56
Lepas atau batalnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya
disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri, dan ada kalanya
53
Secara bahasa berarti melepaskan ikatan, yang dimaksud sini adalah melepaskan ikatan pernikahan.
Lihat Sulaiman Rasyid H, Fiqh Islam, Sinar Baru Al-gensindo, Bandung 2006, Hlm 401
54
Khuluk berarti tebusan, maksudnya disini adalah Talak yang diucapkan istri dengan mengembalikan
mahar yang pernah diberikan oleh suaminya. Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut Al-
Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para Ulama), (Bandung: Mizan, 2002), hlm 218.
55
Adalah perselisihan antara suami istri, yang berujung pada seorang Hakam (penengah) guna
menyelidiki permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Hamdani, Risalah An-Nikah, penerjemah Agus
Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm257.
56
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III, (Qatar: Dar Al-Fikr, 1994), hlm 45. makna senada juga
digambarkan oleh Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indoneia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
31
disebabkan hal-hal yang mendatang yang menyebabkan akad nikah perkawinan tersebut
fasakh disandarkan pada nikah, maka ia akan membawa maksud membatalkan atau
Pendapat Imam Muhammad Abu Zahro yang dinukil dalam kitabnya Al-Ahwal Al-
Sayahayiah menyebutkan “fasakh pada hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau
atau merupakan konsekwensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi akad, yang
hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”58 dalam pasal tersebut dapat dimengerti bahwa
tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke pengadilan dan harus melalui keputusan
Pengadilan.
disebutkan, “perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
57
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahsyiyah fii al-Syari’ati al-Islamiyah, (Quwait : Darul
Qolam, 1990) hlm 60.
58
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI,
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002), hlm 97.
32
syarat untuk melangsungkan pernikahan”.59 Pengertian kata “dapat” pada pasal ini
diartikan bias batal atau bias tidak batal, yakni tergantung apakah dengan sebab-sebab
yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak
menentukan lain. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan
adalah adanya walini nikah, hal ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV
penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ini mengenai syarat wali nikah,
yaitu pada ayat (1) “ Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Jika dalam suatu
pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat tersebut diatas tidak
didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak diberikan secara rinci mengenai
pembatalan perkawinan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Bab
suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setaelah
perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum
Negara Indonesia.
59
Ibid, hlm 18.
60
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI,
Op.Cit, hlm 20-21
61
Perkawinan batal apabila: (a). suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah
talak raj’i. (b). seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. (c). seseorang menikahi bekas
istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,… (d). perkawinan dilakukan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah,… (e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri-istrinya.
33
2. Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan
Para imam madzhab yakni, Imim Malik, Syafi’I, Hanafi dan Hambali, sepakat
bahwa jika terjadi perkawinan dengan perempuan yang disebut dalam Al-Qur’an62
(#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £⎯ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ©ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ ⎯ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ©ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Íׯ≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ
βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ô⎯ÏΒ t⎦⎪É‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Íׯ≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù ∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ
∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ ωÎ) È⎦÷⎫tG÷zW{$# š⎥÷⎫t/ (#θãèyϑôfs?
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.63
Secara jelas dari ayat di atas perempuan yang haram untuk dinikahi, sehingga
kalau di antara mereka menikah, berarti hukumnya adalah haram dan perkawinan itu
harus difasakh, dan menunjukkan larangan abadi untuk orang-orang yang dinikahi,
Maka ketika hal-hal tersebut diketahui, akad tersebut dinyatakan rusak seketika itu juga
62
Q.S An-Nisa’ (4): 23
63
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. An-Nisa’(4): 23
64
M.Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama (Bandung:
CV.Diponegoro, 1991), hlm. 73.
34
Selain itu dalam hal pembatalan perkawinan, para Imam Madzhab menambahkan
dengan sebab:
tersebut.
5. Rusaknya perkawinan.
1. Terjadinya li’an.
2. Rusaknya Percaraian.
adalah kembali menjadi kafir setelah islam (keluar dari agam islam dan kembali ke
35
agama semula)65 atau keluar dari agama islam dalam bentuk niat, perkataan atau
perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama
sekali.66
Kekufuan (Kufu) atau kesamaan status adalah adanya persesuaian antara kondisi
suami dengan istri dalam hal agama, keturunan (Nasab), Profesi, Kehormatan, dan
Harta.67
Miskin atau mu’sir adalah keadaan suami yang tidak memberi harta dan tidak
mempunyai mata pencaharian yang layak dengan nafkah yang paling minimal atau
Hilang atau Mafqud adalah Ghaibnya suami sehingga tidak diketaui alamatnya,
juga tidak diketahui apakah dia mampu atau tidak memberi nafkah sebab terputus
beritanya juga tidak meninggalkan harta benda dalam jarak dua marhalah (kurang lebih
77 Km)69
Selain itu suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah bisa mengalami
kerusakan atau fasakh tanpa harus ada putusan hakim dengan empat sebab; dengan
Pertama kerusakan akad, Rusaknya akad pernkahan antara suami istri misalnya
65
M.Rifa’I, Op.Cit., hlm 83-85.
66
Ensiklopedia Islam 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm 304.
67
Abdullah Nashih Ulwan, Adab al-Khitbah wa al-zafaf (etika memilih jodoh), penerjemah Abdul Halim
Hamid, (Jakarta: Cahaya Press, TTh), hlm 72-73.
68
M.Anwar, Op.Cit.,, hlm 79.
69
Ibid, hlm 76.
36
b. Akad terjadi ketika perempuan masih berada dalam masa Iddah dari suami
pertamanya.
Dalam hal sebab-sebab rusaknyna akad diatas, para ulama sepakat bahwa perpisahan
suami istri karena hal-hal tersebut disebut fasakh, bukan talaq, karena talak hanya biasa
terjadi pada perkawinan yang akadnya sah, sedang dalam hai ini diketahui bahwa
Hambali, munculnuya kemahraman karena mushaharah jika salah seorang suami atau
istri (zina) atau hal-hal yang mendahului hubungan tersebut bersama far’inya (anak,
Misalnya : suami berzina dengan anak istrinya atau berzina dengan ibu istrinya atau
berzina dengan bapak dari suaminya, maka seketika itu juga, perpisahan antara suami
Ketiga, karena murtad, murtad atau riddah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain
atau tidak beragama sama sekali, orang yang melakukan riddah secara hukum islam
tidak ditetapkan sebagai penganut agama baru itu, Keempat, karena Li’an. Menurut arti
bahasa berarti “saling melaknat”. Sedang menurut arti istilah adalah kesaksian kesaksian
yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami istri jika
sang suami menuduh istrinya berzina atau mengingkari bahwa anak yang dilahirkan dari
70
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali
(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1996), hlm 110.
37
sang istri adalah anak keturunan atau darah dagingnya, disertai dengan ucapan dari pihak
suami kepada istri dan do’a kemungkaran Allah dari istri pada suaminya.71
Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 22, pasal 24, pasal 26 dan
sebagai berikut:
Pasal 22
Pasal 24
“Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari
kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan
Pasal 26
berwenang, wali nikah yang tdak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri
keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami
atau istri”.
Pasal 27
71
M.Rifa’i, Loc.Cit., hlm.307.
38
1) “seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
hukum.”
(a). Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat
(c). Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain
kemudian bercerai lagi Ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya
(d). Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah;
72
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Loc
Cit, hlm 19
39
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara,
antara saudara dengan saudara orang tua dan antara saudara dengan saudara
neneknya.
(e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya.
b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap
73
Ibid.
40
Dalam pasal 76 KHI disebutkan bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orangtunya”. Selain itu juga
disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku
surut kepada:
b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap
disebut dengan kebatalan perkawinan. Dan cara untuk meminta kebatalan perkawinan
yang telah berlangsung adalah dari suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat.
Pada prinsipnya suatu perkawinan yang dilakukan adalah sah, sampai pada saat
perkawinan itu dinyatakan batal. Dan hak untuk meminta kebatalan dari suatu
perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa orang tertentu saja. Orang itu dapat
74
Loc.Cit., hlm 42.
41
mempergunakan haknya untik meminta kebatalan dari suatu pernikahan, tapi kalau tidak
perkawinan yang terdapat pada pasal 85 sampai dengan pasal 99. dalam KUHPer
sama dengan yang ada dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam KUHPer memang
ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI untuk itulah
jika diperlukan KUHPer dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim di Pengadilan
Agama.
Sebagai mana telah disebutkan bahwa batalnya perkawinan hanya dapat dituntut
dalam hal-hal tertentu dan oleh orang-orang tertentu saja. Adapun alasan pembatalan
perkawinan yaitu;
dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu oleh telah terikat dengan
salah satu darti suami istri, oleh si suami-istri itu senderi, oleh para keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan
75
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm
117.
42
Apabila kebatalan perkawinan yang lebih dahulu itu diperlawankan, maka terlabih
dahulu harus diputuskan, soal absah atau tidak absahnya perkawinan itu.
sepakat suami istri atau salah satu dari mereka, hanya dapat ditentangkan oleh suami
istri itu sendiri, atau salah satu dari mereka, yang secara tak bebas telah memberikan
kata sepakatnya.
Apabila telah terjadi suatu kekhilafan tentang diri orang, dengan siapa siapa
seorang telah mengikat dirinya dengan perkawinan, maka keabsahan perkawinan itu
hanya dapat ditentang oleh si suami atau si istri yang telah tersesat dalam kekhilafan itu.
keabsahan perkawinan yang demikian hanya boleh dilawan oleh bapaknya, ibunya dan
para keluarga sedarahnya yang lain dalam garis keatas, pula oleh orang saudaranya laki-
dituntut oleh si suami atau si istri yang dulu ditaruh dibawa pengampuan, akan tetapi
tuntutan ini pun tak dapat diterima, apabila kedua suami-istri berturut-turut telah
Pasal 89. Apabila seorang yang belum mencapai umur yang disyaratkan oleh pasal
29, mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, maka pembatalan perkawinan yang
43
demikian boleh dituntut, baik oleh si yang belum cukup umur tadi, maupun oleh Jawatan
Kejaksaan.
1e. Apabila pada hari tuntutan pembatalan dimajukan dimuka hakim, si suami atau
2e. Apabila si istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan, sebelum
ketentuan-ketentuan termuat dalam pasal 30, 31, 32, 33, boleh dituntut baik oleh suami-
istri sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik
pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, baik akhirnya oleh Jawatan
Kejaksaan.
Pasal 91. Apabila suatu perkawinan berlangsung tanpa izin dari bapak atau ibu,
dari kakek atau nenek, atau pun dari wali atau wali pengawas, maka dalam segala hal,
bila mana menurut pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40 izin perkawinan harus diperoleh,
ataupun si wali harus didengar, pembatalan perkawinan itu hanya boleh dituntut oleh
mereka, dari siapa menurut undang-undang izin itu diperoleh atau menurut undang-
44
Apabila keluarga sedarah, dari siapa izin itu sedianya harus diperoleh, sementara
itu tidak lagi diperbolehkan melancarkan tuntutan pembatalan mereka, apabila baik
dengan tegas, maupun dengan diam-diam, perkawinan itu telah mereka setujui, atau
apabila tanpa suatu tentangan apapun juga dari pihak mereka enam bulan telah
pegawai catatan sipil yang berkuasa, pun, tidak dihadiri oleh sejumlah saksi-saksi
sebagai mana mestinya, boleh dituntut oleh suami istri sendiri, oleh bapak atau ibu
meraka, oleh para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, pula oleh wali, wali
pengawas atau segala mreka yang berkepentingan dan akhirnya pula oleh Jawatan
Kejaksaan.
Apabila terjadi suatu pelanggaran aka pasal 70, sekedar mengenai keadaan saksi-
saksi, maka perkawinan itu tidaklah secara mutlak harus mengalami kebatalan,
melainkan Hakimlah yang harus memecahkan soal ini, selaras dengan keadaan.
Jika perhubungan selaku suami-istri jelas menampakkan adanya, dan sebuah akta
perkawinan yang dibuat dimuka seorang pegawai catatan sipil yang berkuasa, dapat
76
Subekti, Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2006),
hal 22-24.
45
Adapun dampak atau akibat dari pembataln perkawinan sebagaimana tersebut dalam
Bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W)
baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan perkawinan itu
oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”. Akan tetapi jika I’tikad
baik itu hanya pada salah satu pihak saja, maka pasal selanjutnya yakni pasal 96
menyatakan bahwa pihak yang berlaku dengan I’tikad baik mendapat akibat perdata
mengakibatkan penghukuman untuk membayar segala biaya ganti rugi dan bunga bagi
pihak lainnya.
mengetahui larangan yang ditentukan menurut hukum suatu perkawinan sehingga dalam
dilanggarnya.
46
BAB III
ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA (BW)
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun
Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang
Ilmu pengetahuan (The body of knowladge) akan tetapi ditelaah dalam disiplin ilmu
yang lain yang memberikan pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang
47
Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan itu”77. Artinya yang dibatalkan itu adalah di mana sejak
perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami istri
yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan
ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di
dalamnya.
Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami
istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara
orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus
jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua
baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau
dibatalkan oleh hukum78. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat
dimarginal kan, sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku, Undang-
Undang No 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan ayat
77
Departemen Agama RI, Ibid
78
Ali Afandi, Loc Cit, hlm 121
48
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai
Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi
perpisahan, merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak menjadi
generasi yang kuat dan tidak terjerumus dalam kebodohan, kelemahan dari sisi tertentu,
yang mana itu semua sangat tidak dicintai oleh Allah. Dalam sebuah hadist Qudsi
dinyatakan ” ( “ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻗﻮي ﺧﻴﺮ و أﺣﺐ اﻟﻰ اﷲ ﻣﻦ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﺿﻌﻴﻒseorang mukmin yang
kuat itu lebih baiak dan dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah)
HR.Muslim79. Menelantarkan anak berarti secara tidak langsung menyeret anak dalam
curam kebodohan yang dapat membawa anak ke dalam lembah kefakiran dan kefakiran
dapat merentankan kekufuran, sebagaimana sabda nabi Muhammad S.A.W. “ آﺪ اﻟﻔﻘﺮأن
”ﻳﻜﻮن آﻔﺮا
membawa korbannya kedalam lembah api neraka. Tidak pelak lagi, hal ini merupakan
kewajban yang sangat diperhartikan oleh Islam dalam menjaga masing-masing individu
terlebih keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat At-
79
Ali Asshabuni, Muhammad, Min Kunuzis sunnah, (Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy, 1999)
80
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. At-Tahrim (66): 6
49
îπs3Íׯ≈n=tΒ $pκön=tæ äοu‘$yfÏtø:$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ
∩∉∪ tβρâsΔ÷σム$tΒ tβθè=yèøtƒuρ öΝèδttΒr& !$tΒ ©!$# tβθÝÁ÷ètƒ ω ׊#y‰Ï© ÔâŸξÏî
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
Dalam ayat di atas menjaga dari api neraka merupakan kewajiban yang harus
dilakukan setiap muslim terhadap dirinya pribadi dan pada keluarganya, Ini bisa
teridentifikasi pada lafadz ﻗﻮاyang mana kata ini menunjukkan kata perintah (Amr)
yang pada dasarnya setiap kata perintah menunjukkan suatu kewajiban, dalam sebuah
kaidah fiqh menyatakan ” ( ” اﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﻷﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮبAsal dari pada perintah itu adalah
wajib), artinya jika perintah itu bebas bebas tidak disertai qarinah yang menyimpangkan
kepada tujuan selain wujud, maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amr itu
ialah wajib.81
dengan siapa yang layak untuk mengasuh anak lebih-lebih ketika perkawinan itu putus
(baik disebabkan karena perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan
perkawinan itu terputus atau dibatalkan) dan hadist-hadist itu menunjukkan pengasuhan
berada pada ibu kandung si anak. Sebagaimana sebuah hadist yang di kutib oleh Abi
81
Riva’I, Muhammad, Ushul Fiqh, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1983) hlm 20
50
Suju’ dalam kitabnya At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqriib melalui
أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءت: ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ
و إن, وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء, وﺛﺪﺑﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء, آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء: ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا:اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ
أﻧﺖ أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ: ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ.أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ
“ Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya R.A: Bahwa sanya datang seorang
perempuan kepada Rasulullah SAW dan berkata :Ya Rasulallah, ini adalah anakku,
perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah
bersabda: Engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah.” (HR. Abu
Dawuud)82.
Dalam hadist di atas selain menerangkan seorang yang lebih berwenang dalam
pengasuhan juga dapat memberikan suatu hukum berkenaan dengan masa pengasuhan
ibu, yakni hukum di mana selama ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, selama itu
pula hak pengasuhan seorang anak berada dalam pengasuhan ibu. Tetapi, kalau ia kawin
dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti
paman dari ayahnya, hak hadhonahnya tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih
berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat
82
Abi Suju’, Op.Cit hlm 189.
51
dengan anak tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya.
Dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak, si
Ini cukup beralasan andai suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya,
dikhawatirkan suami barunya tadi tidak bisa mengasihi anak dan tidak dapat
dari kerabat yang masih dekat dengan si anak seperti paman dari ayah misalkan.
Karenanya ini nantinya dapat mengakibatkan suasana keluarga tanpa kasih sayang,
hampa akan udara yang mesra, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan
pembawaan anak kurang baik akibat kondisi keluarga yang tidak kondusif.
Dalam hal ini bisa dilihat Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 45 ayat 1 tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kewajiban orang tua
(1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 secara tegas disebutkan pemeliharaan
d. Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya.
52
e. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih di
Pada bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
perdata baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan
perkawinan itu oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”83. Dalam
pasal ini secara implisit jelas menyatakan Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
yang dibatalkan adalah anak-anak yang juga secara keperdataan dan akibat hukumnya
dianggap sama kedudukannya sebagai anak yang sah. Kemudian mengenai pengasuhan
dan kekuasaan anak dijelaskan dalam bab empat belas, bagian ke 1, tentang kekuasaan
orang tua pasal 299 yang menyatakan “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap
anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung dalam kekuasaan mereka, sekadar
mereka tidak membebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.” Selanjutnya dalam Pasal
300 juga dijelaskan “Kecuali dalam hal adanya pembebasan atau pemecatan dan dalam
hal berlakunya ketentuan-ketentuan sekitar perpisahan meja dan ranjang, kekuasaan itu
kekuasaan orang tua, maka, kecuali pula dalam hal perpisahan meja dan ranjang, si
83
Subekti, Tjitrosubidio, Loc Cit.
53
pengasuhan dalam Islam. Dalam hal anak dikatakan dewasa di atas penulis
satu, pasal 29 menyebutkan “seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan
belas tahun, seperti pun pula seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas
B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua
Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjaun Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Di dalam Islam terdapat bermacam-macam status anak dari para anak, sesuai dari
sumber anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang nantinya akan menentukan status
tersebut. Dengan sendirinya jalan yang demikian menjadikan seorang anak dekat atau
jauh dengan kedua orang tuanya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah
ataupun yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang dulunya pernah ada itu di
perbolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai
syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada yang terdapat antara mereka.
Perkawinan menentukan status anak, sang anak bergantung kepada perkawinan atau
hubungan antara ibu dan bapaknya. Adapun anak menurut bahasa adalah keturunan
kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dan di dalam Islam
54
hendaknya anak diberikan nama dengan disertaia nama bapaknya untuk menunjukkan
anak akibat dari pembatalan perkawinan memang memiliki kedudukan yang tidak
berlaku surut atau dengan pengertian tetap sebagai anak yang sah, walaupun akibat
pengasuhan dan kesambungan nasab baik dari bapak maupun dari ibunya dari
seolah-seolah tidak pernah ada atau terjadi perkawinan diantara keduanya, meskipun
suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada
waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan
dibatalkan tidak boleh beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan
Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya
perkawinan diantara kedua orang tuanya. Secara hukum formil ini terurai jelas dalam
bab ke-I, bagian ke enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Suatu
perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik
terhadap suami istri, maupun terhadap anak anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh
84
Keturunan yang kedua. Lihat Poerwardarminta, Loc Cit, hlm 60
55
Dan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
ayat (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu. Artinya
yang dibatalkan itu adalah dimana sejak saat perkawinan tersebut dilangsungkan, yaitu
ketika terjadi akad nikahnya antara suami dan istri yang perkawinan dibatalkan. Secara
sederhana pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini merupakan ketentuan yang
menurut penulis sangat adil, bijaksana dan sangat mencerminkan kemanusiaan, karna
pembatalan perkawinan dalam hal ini adalah anak karena menimbang hubungan nasab
dan perwalian ketika anak tersebut menjadi tumbuh dewasa. Dan dimensi soialnya
menjaga kedudukan seorang anak yang sebelum terjadi pembatalan perkawinan sebagai
anak sah, tetap berkedudukan sebagai anak yang sah seusai pernikahan orangtuannya
dibatalkan oleh pengadilan. selanjutnya pada ayat (2) ditegaskan keputusan tidak belaku
surut terhadap Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya sebelum
adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan berlaku keperdataan
terhadap anak-anak yang terlahir didalamnya. Dan dalam KHI Bab XI pasal 76
“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya”. Maka dapat dipahami bagi anak-anak yang terlanjur lahir setelah
dianggap anak sah. Hal ini di dasarkan pada nilai kemanusiaan dan kepentingan anak
tersebut ketika beranjak dewasa, agar memilki perlindungan hukum. Jadi dalam hal
nasab dan perwalian tetap di nisbatkan pada ayahnya atau lelaki yang mengumpuli
56
ibunya, serta anak tersebut dapat mewarisi harta dari ayah atau ibunya dan juga nak itu
Kecuali jika pembatalan perkawinan tersebut disebabkan salah adanya salah satu
dari suami atau istri yang murtad. Alasan murtad dalam pembatalan perkawinan selain
diatur dalam hukum Islam juga merupakan tambahan dari Undang-Undang No.1 Tahun
alasan murtad hanya dapat diputus dengan perceraian, tetapi ada penambahan pada pasal
selanjutnya bahwa terhadap suami istri yang murtad maka perkawinan juga dapat
dibatalkan.
Terhadap pembatalan perkawinan yang terputus karena salah satu pihak murtad,
maka anak dalam kewarisannya tidak dapat memperoleh hak waris dari bapak maupun
ibunya, secara hukum Islam hal ini tentunya menjadi pengecualian tersendiri dan ini
disebut sebagai penghalang kewarisan. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
Artinya:
“Seorang muslim tidak dapat mewarisi dari orang (keluarganya)yang kafir, dan orang
yang kafir tidak bias mewarisi orang (keluarganya) yang muslim”. (H.R. Imam
Ahmad).85
Untuk hubungan hukum yang berkaitan dengan kewarisan, KUH Perdata tidak
mempermasalahkan perbedaan agama, terlihat dalam uraian pasal 838: “yang dianggap
tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah:
85
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, (Mesir: Darul Al-Qhad Al- Jadid, 2004) hlm 370.
57
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba
2. Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah
melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman lima tahun penjara
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.
Namun dalam bab ke 12 bagian ke tiga pasal 283 KUH Perdata disebutkan
“Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali-kali tak
boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273.”
Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada pengakuan, maka segala akibat hubungan
58
SEBAB PEMBATALAN PERKAWINAN
PESAMAAN PERBEDAAN
HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW) HUKUM ISLAM KUH perdata (BW)
1. Adanya hubungan 1. Sebab salah satu atau keduanya 1. Sebab telah memiliki lebih
Mahram/Mushaharah/Semenda. Murtad (Berpindah Agama). dari 4 orang Istri. (Pasal 86)
2. Ada unsur salah sangka diantara keduanya atau 2. Tidak ada kesesuaian status 2. Sebab seorang yang tidak
salah satu pihak. (Tidak Kufu). sempurna aklnya. (Pasal 88).
3. Adanya ancaman / tidak ada kebebasan kata 3. Salah satu pihak pernah saling 3. Belum mencapai Umur yang
sepakat antara suami dan istri atau salah satu melaknat (Li’an). telah di tetapkan. (Pasal 89)
pihak. 4. Adanya hubungan
4. Tidak terpenuhinya syarat-syarat Formil dan Mahram/Mushaharah/Seme
Materil pernikahan al: nda. (Pasal 90)
1. Kecakapan umur. 5. Tanpa memperoleh Izin dari
2. Beristri lebih dari 4 orang. Wali. (Pasal 91)
3. Rusaknya akad nikah (wali yang tidak
seharusnya)
5. Pengajuan pembatalan pernikahan hanya
dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.
59
PENGASUHAN DAN HUBUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT DARI
PEMBATALANPERKAWINAN
PENGASUHAN ANAK HUBUNGAN HUKUM
PERSAMAAN PERBEDAAN PERSAMAAN PERBEDAAN
1. Pengasuhan anak HUKUM KUH perdata (BW) 1. Pembatalan HUKUM KUH perdata (BW)
ISLAM ISLAM
yang belum dewasa / perkawinan tidak
1. Pengasuhan 1. sepanjang 1. Jika 1. Anak anak
mumayis berada berlaku surut
anak tidak perkawinan bapak pembatalan yang dilahirkan dari
dalam pengasuha Ibu. terhadap anak.
diberikan dan ibu, tiap-tiap perkawinan pembatalan
2. Jika pembatalan
terhadap Ibu anak sampai ia terjadi karena perkawinan adalah
Perkawinan tersebut
yang memiliki menjadi dewasa, salah satu anak yang sah, dan
dulunya karena suatu
keyaknan tetap bernaung atau keduanya dapat mewarisi baik
kesengajaan maka
agama yang dalam murtad, dari bapaknya
keperdataan anak
berbeda kekuasaannya maka anak maupun dari ibunya
tidak diakui.
dengan anak. mereka (Bab XIV, dan orang tua
Pasal 299) tidak dapat
saling
mewarisi.
60
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, maka anak-anak itu
tetap dianggap sebagai anak yang sah, anak-anak itu juga mempunyai hubungan
keperdataan dan hubungan kekeluargan dengan keluarga si ayah atau ibu. Hal ini
perlindungan hukum. Menurut KUH Perdata hal hal tersebut diatas berlaku ketika
pembatalan perkawinan yang terjadi karena pelanggaran dalam syarat formal saja
sepeti: wali yang tidak berwenamg atau poligami tanpa izin. Namun jika
pelanggaran yang terjadi karena syarat materiil (larangan tetap seperti perkawinan
61
karena nasab) dan pelanggaran lain seperti karena zina, maka perkawinan yang ada
dapat batal dengan sendirinya atau dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang
timbul dari hubungan pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada pula atau tidak
2. Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi
pengadilan) merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak
SARAN
perlu dibenahi, maka dari itu perlu diadakan penelitian dan pengkajian lebih lanjut
3. Keluarga adalah merupakan amanah dari Allah SWT, maka sudah barang tentu kita
harus menjaga amanah tersebut dengan tulus dan Ikhlas terutama anak.
62
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Direktorat Jendral Bimbngan Masyarakat Islam Dan Haji (2002)
Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi
Abdurrahman dan Soejono (2003) Metode Penelitian Hukum. Cet ke 2 Jakarta: Renika
Cipta.
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Islmail (1992) Shaheh Bukhari. Surabaya:
Tanpa Penerbit.
Al-Juzairi (1992) Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’. Beirut: Darul Qutub Al-Limiyah.
Al-Barr, Zakariyah Ahmad (1994) Ahkamul Aulad Fil Islam. Kairo: Darul Al-
Qoumiyah.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir (2002) Fiqh Praktis Menurut Alqur’an, As-sunnah dan
Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan.
Afandi, Ali (1986) Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara
Ali Asshabuni, Muhammad (1999), Min Kunuzis sunnah, Beuirut: Darul Qutub Al
Islamiy.
Abi Suju’ (Tth) At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii Surabaya: Al-
Hidayah.
Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (2005) Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang.
Hamdani (2002) Risalah An-Nikah. Alih Bahasa Agus Salim Jakarta: Pustaka Amani
Idris, Masykur, Afif Mahmud Fiqh Lima Madzhab Jakarta: Lentera Baritama
Ibrahim, John (2008) Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Cet ke IV Malang:
Bayumedia.
Kamus Besar Bahasa Indonesi (1995) Edisi Kedua. cet.VII; Jakarta: Balai Pustaka
Kusuma, Hadi Hamdani (2003) Hukum PErkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.
Suyanto, Bagong dkk (2005) Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono dan Srimanji (2003) Penelitian Hukum Normatif. Cet ke VI Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Waluyo, Bambang (2002) Penelitian Hukum Dalam Praktek. Cet ke 3 Jakarta: Sinar
Grafika.
Ulwah, Abdullah Nashih (Tth) Adab Al- Khitbah Wa Az-Zawaf. Penerjemah Abdul
Halim Hamid dengan Judul Adab Memilih Jodoh Jakarta: Cahaya Press.
Yunus, Muhammad (1996) Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I,
Hanafi, Maliki, Hambali. Jakarta: PT.Hidakarya Agung.
.