Anda di halaman 1dari 79

HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN

HUKUM ISLAM DAN KUHPERDATA (Burgerlijk Wetboek)

SKRIPSI

Oleh:

Sofyan Afandi
NIM 05210019

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2009
HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar


Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh:

Sofyan Afandi
NIM 05210019

JURUSAN AL AHWAL AL SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2009
HALAMAN PERSETUJUAN

HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN


HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)

SKRIPSI

Oleh:

Sofyan Afandi
NIM 05210019

Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing,

M. Nur Yasin, M.Ag


NIP. 1969 1024 1995 031 003

Mengetahui,
Ketua Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah

Zaenul Mahmudi, MA
NIP 1973 0603 1999 031 001

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan skripsi saudara Sofyan Afandi, Nim 05210019, mahasiswa


Jurusan Al Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di
dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:

HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN


HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada Sidang
Majelis Penguji Skripsi.

Malang, 03 Agustus 2009


Pembimbing,

M.Nur Yasin, M.Ag


NIP

ii
PENGESAHAN SKRIPSI

Dewan penguji skripsi saudara Sofyan Afandi, NIM 05210019, mahasiswa Jurusan Al
Ahwal Al Syakhshiyyah Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, dengan judul:

HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN


HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Telah dinyatakan LULUS dengan nilai: B

Dewan Penguji:

1.DR. Roibin MHi (__________________)


NIP. 1968 1218 1999 031 002 Penguji Utama

2.Erfania Zuhria S.Ag.MH (__________________)


NIP. 1973 0118 1998 032 002 Ketua

3. M.Nur Yasin, M.Ag (__________________)


NIP. 1969 1024 1995 031 003 Sekretaris

Malang, 26 Oktober 2009


Dekan,

Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.


NIP. 1959 0423 1986 032 003

iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN


HUKUM ISLAM DAN KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.

Malang, 03 Agustus 2009

Penulis

Sofyan Afandi
NIM 05210019

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta

Alam yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat

Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam Dan KUH Perdata (Burgerlijk

Wetboek)” sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

dengan baik dan lancar.

Shalawat serta salam selalu senantiasa terlimpahkan dan tercurahkan kepada

Nabi Besar Muhammad SAW. Adalah Beliau penghulu para nabi yang benar dalam

ucapan dan perbuatannya, yang diutus kepada penghuni alam seluruhnya, sebagai pelita

dan bulan purnama bagi pencari cahaya penembus kejahilan gelap gulita, serta atas

izinNYA memberi Syafa’at pada hari yang tidak ada seorang pun yang mampu

memberikan pertolongan pada umatnya. Berdasar cinta kepada Beliaulah, penulis

mendapatkan motivasi yang besar untuk menuntut ilmu.

Sesungguhnya, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir

perkuliahan sebagai wujud dari partisipasi kami dalam mengembangkan serta

mengaktualisasikan ilmu yang telah kami peroleh selama menimba ilmu dibangku

perkuliahan, sehingga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan mudah mudahan atas

izin Allah pula dapat juga bermanfaat kepada para penuntut ilmu yang lain.

v
Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua

pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Oleh karena itu, perkenankan penulis menyampaikan ungkapan

terima kasih, kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang.

2. Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

3. Drs. M.Nur Yasin, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi ini. Terima kasih

penulis haturkan atas keikhlasan bimbingan, arahan, dan motivasi. Semoga

Beliau beserta seluruh anggota keluarga besar selalu diberi kemudahan dalam

menjalani kehidupan oleh Allah SWT. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

4. Drs. Fadil Sj.M.Ag, selaku Dosen Wali penulis selama kuliah di Fakultas

Syari’ah Universitas Islama Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

5. Dosen Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang seluruhnya, yang

telah mendidik, membimbing, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu-ilmunya

kepada penulis. Semoga ilmu yang telah disampaikan dapat bermanfaat bagi

kami di dunia dan akhirat. Amin.

6. Abah serta ibu yang tidak mungkin penulis lupakan sampai kapanpun, penulis

haturkan ber-ribu-ribu rasa hormat serta ta’dhim kepada beliau yang telah

membimbing, mencintai, memberi semangat, harapan, arahan dan motivasi serta

vi
memberikan dukungan baik secara materil maupun spiritual yang bagi penulis

semuanya tidak pernah tergantikan.

7. Semua pihak yang berpartisipasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Jazaakumullah khairan

kastiran.

Penulis sebagai manusia biasa yang takkan pernah luput dari salah dan dosa,

menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

dengan penuh kerendahan hati, penulis sangat mengharap kritik dan saran konstrutif

demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, teriring do’a kepada Allah SWT, penulis berharap semoga skripsi ini

dapat barmanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya yang tentu

dengan izin dan ridho-Nya. Amin.

Malang, 03 Agustus 2009


Penulis

Sofyan Afandi
NIM 05210019

vii
MOTTO

∩∉∪ ...... #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu

dan keluargamu dari api neraka

(At-Tahrim : ayat 6)

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ....................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................. v
MOTTO..................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN..................................................................................... vii
KATA PENGANTAR............................................................................... viii
DAFTAR ISI.............................................................................................. xii
TRANSLITERASI.................................................................................... xiv
ABSTRAK.................................................................................................. xvi
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................... 1
B. Batasan Masalah.................................................................. 6
C. Rumusan Masalah................................................................ 7
D. Definisi Operasional............................................................ 7
E. Tujuan Penelitian................................................................. 7
F. Manfaat Penelitian............................................................... 8
G. Metode Penelitian................................................................. 8
1. Jenis Penelitian............................................................... 8
2. Pendekatan Penelitian.................................................... 9
3. Metode Pengumpulan Data............................................ 10
4. Sumber Data.................................................................... 10
H. Teknik Pengolahan Data....................................................... 11
I. Penelitian Terdahulu............................................................. 13

ix
J. Sistematika Pembahasan....................................................... 14
BAB II : KAJIAN TEORI......................................................................... 16
A. Pengertian Hukum Islam...................................................... 16
B. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)....................... 18
C. Hadhonah…………………………………………………... 19
1. Pengertian Hadhonah…………………………………... 19
2. Orang Yang Berhak Atas Hadhonah…………………... 26
D. Pembatalan Perkawinan Dalam Islam.................................... 30
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan................................. 30
2. Sebab-Sebab Terjadinya Pembatalan Perkawinan........... 33
3. Akibat Pembatalan Perkawinan....................................... 40
E. Pembatalan Perkawinan Perspektif KUH Perdata (BW)…… 41
1. Pengertian Pembatalan Perkawinan……………………..41
2. Sebab-Sebab Pembatalan Perkawinan…………………..42
BAB III : ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN
PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW)
A. Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam
dan KUHPerdata(BW).............................................................. 47
B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua
Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan
KUHPerdata (BW)53
BAB V : PENUTUP.................................................................................... 58
A. Kesimpulan…………………………………………………... 58
B. Saran………………………………………………………..... 59
DAFTAR PUSTAKA

x
ABSTRAK

Sofyan Afandi 05210019. 2009. Hak Asuh Anak Akibat Pembatalan Perkawinan
Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Skripsi. Jurusan Al
Akhwal Al Syakhsiyah. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Dosen pembimbing: Drs. M. Nur Yasin, M.Ag

Kata kunci : Hak Asuh Anak, Pembatalan Perkawinan.

Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan
sampai proses perkawinan, tidak menutup kemungkinan di dalam aturan-aturan tersebut
juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karena itu, apabila
terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan karena cacat hukum yang
merugikan salah satu pihak, maka untuk membatalkan sebuah perkawinan yang tidak
lain adalah didasarkan pada kepatuhan dalam batasan prikemanusiaan dan kesusilaan
tersebut merupakan suatu keniscayaan. Perkawinan yang batal menurut hukum
mempunyai konsekuensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada.
Kemudian bagaimanakah hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat dari
pembatalan perkawinan tersebut, dan bagaimana pula pengasuhan anak jika pernikahan
orang tua batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata?
Oleh karena itu penulis bermaksud menelaah lebih lanjut baik dari sisi Hukum
Islam dan KUH Perdata sebagai hukum yang diterapkan dengan asas konkordansi di
negara jajahan Belanda seperti Indonesia akibat hukum yang ditimbulkan terhadap
perkawinan yang dibatalkan terutama terhadap pengasuhan anak.
Penulisan ini adalah jenis penulisan hukum normatif atau disebut juga dengan
studi kepustakaan, karena penulis mencari dan mengumpulkan buku-buku yang terkait
dalam pengumpulan data, yang mana penulis dapat dari sumber dat primer, sekunder
dan tersier yang kesemuanya bermuara dalam judul pembahasan ini.
Hasil dari pada penelitian hukum ini menggambarkan bahwa menurut hukum
Islam dan KUH Perdata perpisahan sebuah perkawinan baik itu berupa perceraian atau
perpisahan yang diputuskan oleh Pengadilan berupa pembatalan perkawinan
memberikan perlakuan yang sama dalam hal pengasuhan seorang anak, kecuali
pembatalan perkawinan itu terjadi akibat hal-hal tertentu yang mengakibatkan hasil dari
pembatalan perkawinan tersebut (Anak) tidak diakui secara hukum.

xi
BAB I
PENDULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa untuk menyatukan dua insan yang

berlainan jenis maka ditempuhlah jalan berdasar ketentuan Allah yang terdapat dalam

syariat Islam, dengan mengadakan akad perkawinan dengan dasar kecintaan dan saling

rela antara keduanya yang dilakukan oleh pihak wali, menurut sifat dan syarat yang telah

ditentukan agar menjadi halal percampuran antara keduanya.1

Perkawinan dalam Islam memang suatu hal yang suci, dimana tujuan dari

perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia, hal inilah yang melatar belakangi

sebuah perkawinan merupakan yang suci, yang bukan untuk dipermainkan. Untuk itu

diperlukan beberapa syarat untuk melangsungkan sebuah perkawianan, dengan syarat-

1
Sosroatmojo,Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hal 53.

1
syarat tersebut perkawinan yang dilakukan diharapkan akan berjalan sesuai yang

diinginkan bersama tentunya juga tidak lepas dari aturan-aturan Syar’i, serta merasa

tentram penuh dengan kasih sayang, sebagai nama firman Allah S.W.T.2

4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡àΡr& ô⎯ÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿ⎯ÏμÏG≈tƒ#u™ ⎯ÏΒuρ

∩⊄⊇∪ tβρã©3xtGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ)


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,

supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir3.

Perkawinan dalam Islam telah diatur secara lengkap mulai dari peminangan

sampai proses perkawinan, tidak menutup kemungkinan didalam aturan-aturan tersebut

juga didapati aturan yang menyebabkan batalnya perkawinan. Oleh karenanya, apabila

ada terjadi perkawinan yang menyimpang dari tujuan perkawinan itu sendiri karena

didapati cacat hukum yang nantinya dapat merugikan salah satu pihak, maka untuk

membatalkan sebuah perkawinan yang tidak lain adalah didasarkan pada kepatuhan

dalam batasan prikemanusiaan dan kesusilaan tersebut merupakan suatu keniscayaan.

Dan perkawinan yang batal menurut hokum mempunyai konsekuensi perkawinan

tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada.

Dalam Islam, pembatalan perkawinan disebut juga dengan istilah fasakh, Fasakh

disini bisa terjadi karena tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat perkawinan atau

sebab lain yang dilarang dan diharamkan oleh agama Islam.4

2
QS.Ar-Ruum (30): 21.
3
DEPAG, Qur’an dan Terjemah Q.S. Ar-Rum (30): 21
4
Al Manar, Fiqh Nikah (Bandung: PT.Syamil Cipta Media, 2003), hlm 141

2
Dengan batalnya sebuah perkawinan maka ada beberapa pihak yang dirugikan,

sebut saja anak, dalam pasal 42 Undang-Undang No1 tahun 1974, disebutkan bahwa

anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai dari perkawinan yang

sah.

Dalam tujuan perkawinan sebagaimana umumnya tentunya ada keinginan yang

ingin diwujudkan dalam sebuah kenyataan, salah satu keinginan tersebuat adalah sebuah

keturunan, dimana keturunan yang baik akan menjadi penolong bagi kedua orang tuanya

kelak seusai meninggal dunia. Keturunan yang baik diperoleh dari perkawinan yang sah

baik secara hukum islam maupun aturan-aturan dalam hukum positif.

Pengasuhan anak mempunyai arti merawat dan mendidik anak kecil, pengasuhan

adalah hak mendidik dan merawat5, yang dimaksud mendidik ialah menjaga, memimpin,

dan mengatur segala hak anak-anak belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri6

Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh

perhatian semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Islam adalah

agama yang sangat memperhatikan perlindungan dan menjaga hak-hak asasi manusia

mulai dari masa penciptaanya (proses pembuahan dalam rahim) sampai dia bertemu

dengan ajalnya.

Anak merupakan anugerah dari Allah yang tak ternilai, untuk itulah kita harus

merawat dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, jangan sampai anak yang lahir

disia-siakan oleh para orang tua, bahkan sampai diterlantarkan. Anak tersebut harus kita

5
Poerwardarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarata: Balai Pustaka, 1989), hlm 63.
6
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1998), hlm 426.

3
didik dan kita arahkan agar dimasa yang akan datang menjadi anak yang ditunggu oleh

agama dan Negaranya.

Dengan berlakunya hubungan anak dengan ibu yang melahirkannya itu,maka

dengan sendirinya berlaku hubungan kekerabatan antara anak yang dilahirkan dengan

orangtua yang melahirkannya, dengan demikian secara sederhana terbentuklah

hubungan kekerabatan menurut garis ibu.

Dalam hubungan kekerabatan tersebut diatas yang dapat dijadikan mazhinahnya

adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seorang laki-laki dan seorang

wanita yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya akad nikah tersebut yang menjadi

factor penentu hubungan kekerabatan itu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa

hubungan kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai

ayahnya, bila anak tersebut lahir dari ibu yang melahirkannya dengan perkawinan yang

sah, atau dengan akad nikah yang sah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa dengan hanya adanya perkawinan yang sah

belum menjamin hubungan kekerabatan yang sah. Untuk sahnya hubungan kekerabatan

yang sah itu selain disamping akad nikah yang sah disyaratkan pula bahwa diantara

suami istri diduga kuat telah berlangsung hubungan kelamin secara memungkinkan

seperti telah tidur sekamar, dan pernah hubungan badan.

Di lain fihak ulama Hanafiah mempunyai pendapat yang berbeda, menurut

mereka semuanya adalah adanya akad nikah yang sah sudah cukup untuk menjadi dasar

menetapkan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya. Dalam gambaran diatas

4
menurut ulama ini anak yang lahir adalah anak yang sah dari laki-laki yang mengawini

wanita tersebut.7

Pada dasarnya tidak semua pasangan baik laki-laki maupun perempuan dapat

melaksanakan perkawinan. Namun yang dapat melaksanakan perkawinan hanyalah

mereka yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam

undang-undang. Dalam KUH Perdata syarat untuk melakukan perkawinan dibagi

menjadi dua macam secara garis besar : Syarat meteril8 dan Syarat formal9, jika dalam

pelaksanaannya tidak terpenuhi maka demi hukum pula perkawinan tersebut batal demi

hukum, kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata) beberapa pasal

menyebutkan berkenaan dengan pembatalan perkawinan salah satunya adalah

pembatalan perkawianan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim10 jika perkawinan yang

dilangsungkan bertentangan dengan Bab ke-4 Bagian ke-satu pasal 27 KUH Perdata.11

Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “ privat

materiil”,yaitu hukum yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan perseorangan,12

termasuk didalamnya hukum keluarga, adapun hukum keluarga diartikan sebagai

keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan

kekeluargaan karena perkawinan.

Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa

orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah

7
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Fiqh, (Jakarta: Persada Media 2004), hlm 177.
8
Syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melaksanakan perkawinan.
9
Syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam melaksanakan perkawinan.
10
Pasal 85 KUHPer
11
Pasal 27 “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”.
12
Subekti, Pokok pokok Hukun Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa), hlm 9.

5
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga

sedarah dari istri. Anak tentunya hal ini termasuk dalam pembahasan kekeluargaan

karena perkawinan. Dan ini senada dengan bunyi pada Bab ke-12 Bagian ke-satu pasal

250 KUH Perdata13 dan dalam bab yang lain Bab ke-14 Bagian ke-satu pasal 298 KUH

Perdata disebutkan tentang perihal kekuasaan orang tua berbunyi “…orang tua wajib

memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa…”.

Seperti halnya perceraian, pembatalan pernikahan ternyata membawa

konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian, dalam kaitannya

dengan perkawinan antara dua orang hal tersebut juga juga turut mempengaruhi status

dari anak yang dilahirkan

Dari sini lahir sebuah pertanyaan bagaimana jika anak tersebut, lahir dari

perkawinan yang dibatalkan, mengingat perkawinan yang batal menurut hukum

mempunyai konsekwensi perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak pernah ada,

kepada siapa hak asuh anak pasca batalnya perkawinan? dan Bagaimana hubungan

hukum antara anak dan orang tuanya?

Berangkat dari pembatalan perkawinan sinilah akhirnya anak memperoleh

getahnya, dan dari sinilah penulis mengamati lebih jauh berkenaan dengan kepada siapa

hak asuh anak diberikan pasca pembatalan perkawinan guna memberkan gambaran

umum secara formil dan materil terhadap anak, yang sejauh ini masuh belum mendapat

perhatian yang khusus.

13
Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh sisuami sebagai
bapaknya.

6
Karena itulah penulis begitu tergerak untuk menulis permasalahan tersebut, adapun judul

yang diangkat pada masalah ini adalah HAK ASUH ANAK AKIBAT

PEMBATALAN PERKAWINAN TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN

KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)

B. Batasan Masalah

Supaya penulisan ini lebih terfokus dan sesuai dengan tujuan dan tidak melebar

kemana-mana, maka dirasa perlu adanya pembatasan masalah, dalam penulisan ini

adalah pembahasan hukum dalam yakni difokuskan kepada masalah Hak Asuh Anak

Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan KUHPerdata. Penulisan ini

mencakup dua sisi yakni mengkaji yang berkenaan dengan hukum islam, Sedang hukum

islam yang dimaksud dalam penulisan ini adlah hukum Islam yang meliputi kitab-kitab

Fiqh, Undang-Undang Perkawinan,dan KHI. Dan keperdataan Indonesia yang dimaksud

dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

C. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas permasalah yang dikemikakan dalam penulisan ini, penulis

akan menyebutkan permasalahan sbb:

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal

dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata?

2. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan hubungan hukum antara anak dan orang

tua akibat pembatalan perkawinan menurut Hukum Islam dan KUHPerdata?

7
D. Definisi Operasional

Supaya pembahasan ini dapat mudah dipahami dan dimengerti maka definisi

operasional / Istilah kunci dari pembahasan penulisan ini adalah :

1. Hak asuh anak, Hak merawat, mendidik, menjaga, memimpin, melindungi, dan

mengatur segala hak seorang anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya

sendiri14

2. Pembatalan perkawinan, Perkawinan yang tidak memenuhi salah satu rukun atau

syarat (formil / materil) perkawinan atau sebab lain yang dilarang dan diharamkan

oleh agama Islam. Sehingga dalam perjalanannya perekawinan tersebut dibatalkan

demi hukum15.

3. Hukum Islam, Suatu disiplin dari jenis-jenis ilmu pengetahuan islam atau ilmu-ilmu

keislaman, yang merupakan suatu pengetahuan produk fuqoha atau mujtahid dan

sebagai sebuah disiplin ilmu maka hukum islam ada yang menyebutnya sebagai

“Hukum Positif Islam”.16

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua menurut

Hukum Islam dan KUHPerdata.

2. Untuk memaparkan Bagaimana hak asuh anak jika pernikahan orang tua

batal dalam tinjauan hukum Islam dan KUHPerdata.

14
Poerwardarminta, Op.Cit.
15
Sulaiman Rasjid, Op.Cit
16
A.Qodri Azizy, Hukum Nasional Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, (Bandung: Teraju PT.
Mizan Publika 2004), hlm 22.

8
F. Manfaat Penelitian

Secara teoritis

Penulisan ini sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan dan peningkatan

keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan

hukum, khususnya mengenai hak asuh anak dan pembatalan perkawinan.dan diharapkan

dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti selanjutnya.

Secara praktis

1. Sebagai Syarat untuk memperoleh gelar SHI di Universitas Islam Negeri Malang

(UIN Malang).

2. Untuk mengetahui hubungan hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan

perkawinan menurut Hukum Islam dan KUHPerdata.

3. Untuk mengetahui hak asuh anak jika pernikahan orang tua batal dalam tinjauan

hukum Islam dan KUHPerdata.

4. Sebagai bahan kepustakaan dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan ke

Syari’ahan khususnya ke-Ahwal As-SyahSyiyah-an.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, atau yang disebut

dengan kepustakaan (Library Research), yaitu merupakan penelitian hukum yang di

dasarkan pada bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan mencoba

untuk menganalisa suatu permasalahan hukum melalui peraturan Perundang-undangan,

literatur-literatur dan bahan-bahan lainnya yang relevan.

9
Winarno Surakhmad menempatkan metode deskriptif ini adalah metode penyelidikan

yang lebih tepat untuk menjelaskan data yang telah lampau, ada yang lebih tepat lagi

untuk menjelaskan data waktu sekarang, dan ada lagi yang lebih wajar iguinakan untuk

meamalkan peistiwa-peristiwa yang akan datang / yang akan terjadi.17 Jenis yang

digunakan adalah penelitian yuridis normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut

sebagai penelitian pepustakan atau dokumen. Disebut sebagai penelitian hukum doktrin,

karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang

tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi

dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat

sekunder yang ada dalam perpustakaan.18 Sedang yang mendasari penelitian ini adalah

konsep Hukum Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek) dalam memberikan sebuah payung Hukum terhadap pemeliharaan anak pasca

pembatalan perkawinan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, Taylor dan Bogdan

dalam bukunya bagong suyanto dkk19 bahwa penelitian kuatitatif dapat diartikan sebagai

penelitian yang menghasilkan data data deskriptif mengenai kata-kata lisan atau tulisan,

dan tingkah laku yang dapat diamati dari masalah yang diteliti. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang hak asuh anak pasca

17
Soejono dan Abdurrahman, Metode penelitian Hukum(cet.2, Jakarta: Renika Cipta,2003),21.
18
Bambang Waluyo, Penelitan Hukumn Dalam Praktek,(cet.3, Jakarta:Sinar Grafika,2002), 13.
19
Bagong Suyatno dkk,Metode penelitian sosial bebagai alternatif pendekatan( jakarta,kencana:2005),166

10
pembatalan perkawinan dalam tinjauan hukum islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Pedata (Burgerlijk Wetboek)

3. Metode pengumpulan data

Sesuai dengan metode penelitian diatas, maka teknik yang digunakan dalam

pengumpulan data adalah teknik kepustakaan (Library Reseach). Maka dalam

pengumpulan data penulisan karya Ilmiah ini penulis menggunakan metode

Dokumentasi artinya adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa

catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.20

4. Sumber Data

Karena penelitian ini bersifat kepustakaan, maka sumberdata terbagi atas dua
bahan;

1. Bahan hukum primer, yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang

baru maupun mutakhir,ataupun pengetahuan yang baru tentang fakta yang diketahui

ataupun mnegenai suatu gagasan (Ide). Sumber data yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah ;

1. Kitab-kitab Fiqh.

2. Undang-Undang Perkawinan.

3. Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI).

4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W.).

20
Suharsimi Arikunto Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm
231.

11
2. Bahan atau sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi yang

menjadi memperkuat bahan primer.21

3. Bahan hukum tertier, Yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus

hukum, ensiklopedia dan lain-lain22.

H. Teknik Pengolahan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini nantinya akan disajikan secara

deskriptif kualitatif. Adapun yang dimaksud deskriptif kualitatif, menurut Bogdan dan

Taylor sebagaimana dikutip Moleong adalah metode sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang

diamati.23

Dalam hal ini analisis terhadap data digunakan secara deskriptif kualitatif, yaitu

penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi dan

hubungannya yang ada, pendapat yang sedang bersentuhan dengan proses yang sedang

berkembang.24 Atau analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia

dari berbagi sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dalam catatan

lapangan, dokumentasi pribadi, dokumen remi, foto dan sebagainya.25

21
Soerjono Soekanto dan Srimandji, penelitian Hukum Noematif, ( Jakarta; Raja Grafindo Persada , cet. VI
, 2003), hlm 33.
22
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, Cet ke IV,
2008), hlm 392.
23
Lexy.J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm 103.
24
Sunarto, Metodologi Penelitian Deskriptif (Surabaya: Usaha Nasional), hlm 47
25
Lexy.J.Moleong, Op.Cit, hlm 190.

12
Dalam penulisan ini nantinya dianalisis datanya dilakukan dalam satu proses,

proses yang berarti pelaksanaannya sudah dilakukan sejak pengumpulan data, yang

dikerjakan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan, dan menarik kesimpulan

sebagai akhir analisis data.26

Setelah data-data diproses dengan proses di atas, maka tahapan selanjutnya

adalah pengolahan data. Dan untuk menghindari agar tidak terjadi banyak kesalahan dan

mempermudah pemahaman, maka penelitian dalam menyusun skripsi nanti melakukan

beberapa upaya diantaranya adalah:

a. Editing (Editing)
Pemeriksaan ulang, dengan tujuan data yang dihasilkan berkualitas baik.27 Dalam

hal ini penulis membaca dan memeriksa ulang data atau keterangan yang telah

dikumpulkan melakukan melalui buku-buku, yang berkaitan dengan rumusan masalah.

b. Klasifikasi (Classifying)
Pengelompokan, dimana data hasil wawancara diklarifikasikan berdasarkan

katagori tertentu, yaitu berdasarkan pertanyaan dalam urusan masalah, sehingga data

yang diperoleh benar-benar memuat informasi yang dibutuhkan dalam penelitian,28

dalam penulisan ini dibagi 2 (dua) kelompok, pertama, data yang berkenaan dengan

hubunga hukum antara anak dan orang tua akibat pembatalan perkawinan, kedua¸ Hak

Asuh anak akibat perkawinan.

26
Ibid, hlm 104.
27
LKP2m, Reseach book for (Malang: UIN-Malang, 2005), hlm 60-61.
28
Lexy.J.Moleong, Op.Cit. hlm 104

13
c. Verifikasi (Verifying)
Menelaah secara mendalam, data dan informasi yang diperoleh dari lapangan

agar validitasnya terjamin.29 Verifikasi sebagai langkah lanjutan, penulismemeriksa

kembali data yang diperoleh,30 misalnya dengan kecukupan refrensi, triangulasi

(pemeriksaan melalui sumber data lain),

d. Analisis (Analyzing)
Sedangkan metode analisis yang penulis gunakan adalah deskriptif komparatif

adalah mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, dan

membuat ikhtisar serta mencari kejelasan mengenai konsep Pembatalan Perkawinan dan

Pengasuhan Anak dalam konsep Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

e. Konklusi (Conluding)

Langkah terakhir adalah kesimpulan, yaitu dengan cara menganalisa data secara

komprehensif serta menghubungkan makna dengan secara komprehensif yang ada

kaitannya dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Langkah terakhir harus

dilakukan dengan cermat dengan mengecek kembali data-data yang diperoleh,

khususnya teori tentang Pengasuhan Anak dan Pembatalan perkawinan menurut Hukum

Islam dan KUHPerdata. Sehingga, akhirnya penulisan skripsi ini menghasilkan

persamaan dan perbedaan antara dua konsep yang dimaksud.

I. Penelitian Terdahulu

29
Nana Saujana, Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), hlm 84-85.
30
Ibid.

14
Agar tidak terjadi pengulangan pembahasan maupun penelitian, maka diperlukan

wacana atau pengetahuan tentang penelitian-penelitian sejenis, maka kajian terdahulu

yang penulis sajikan dalam proposal ini adalah penelitian tentang “KEDUDUKAN

ANAK DILUAR NIKAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) dan

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (B.W.)” dilakukan oleh mahasiswa

dengan jurusan yang sama Nama :M.Nahya Sururi Al-Haq, Nim : 01210008 dibawah

bimbingan Drs. Fadil Sj.MAg yang berjudul Dalam penelitian tersebut dan setelah

penulis baca dan pelajarui dapat disimpulkan bahwasanya dalam penelitian tersebut anak

yang lahir dari setelah hubungan diluar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dan

kewarisannya hanya dengan ibunya bahkan kewaliannya diserahkan pada hakim.

Selanjutnya penelitian teredahulu yang sedikit banyak ada kaitannya dengan

pembahasan ini adalah berjudul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA

RADHA’AH DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP ANAK PERSPEKTIF

FIQH” yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri

Malang, nama Ahmad Sofyan, pada tahun 2004.

Pada penelitian tersebut berfokus pada seputar pembatalan perkawinan yang

disebabkan karena Radha’ah, sedang dampak yang timbul terhadap anak tidak begitu

signifikan dan hanya meneliti dari satu sudut pandang saja yakni dalam perspektif fiqh.

Sedangkan penelitian ini berusaha menginformasikan dan mendeskripsikan

bagaimana hak asuh anak pasca pembatalan perkawinan dalam tinjuan Hukum Islam dan

KHU Perdata.

15
J. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang mana setiap Bab-nya terdiri dari

suatu rangkaian pembahasan yang berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga

membentuk suatu uraian sistematis dalam satu kesatuan.

Bab I adalah merupakan Bab Pendahuluan yang memuat mengenai latar

belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, Tujuan

penelitian adalah untuk menjelaskan apa yang diperoleh dalam proses penelitian

sedangkan manfaat penelitian berisi tentang temuan baru yang diupayakan dan akan

dihasilkan dalam penelitian serta apa manfaat temuan tersebut baik secara toeritis

maupun praktis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan atau praktik hukum.

kemudian metode dan teknik penelitian serta memuat sistematika penelitian itusendiri.

Karena pendekatan masalah dilakukan secara yuridis normatif, maka dalam Bab

II adalah Bab yang berisikan tentang teori yang membahas mengenai keabsahan

perkawinan, pembatalan perkawinan, dan juga membahas mengenai akibat hukum

pembatalan perkawinan.serta ulasan Hadhonah sebagai pelengkap dari pada

kesempurnaan dari pada penulisan karya ilmiaah ini.

Selanjutnya dalam Bab III Didalamnya termuat tentang Status Anak Akibat

Pembatalan Perkawinan yang meliputi bagaimana hak asuh anak akibat pembatalan

perkawinan tinjauan hukum islam dan tinjauan KUHPerdata.

Diakhiri dengan Bab IV yang merupakan Bab Penutup memuat suatu kesimpulan

dan saran-saran diketengahkan sebagai sumbangan pemikiran ilmiah yang diharapkan

dapat memberi masukan untuk memperbaiki penulisan karya Ilmiah ini.

16
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “ Hukum” dan “ Islam”. kedua kata

itu secara terpisah merupakan kata yang digunakan dalam bahasa arab dan banyak

terdapat dalam Alqur’an dan juga dalam bahasa Indonesia baku. Bila kata hukum dan

islam dihubungkan maka hukum islam akan berarti ” seperangkat peraturan berdasarkan

wahyu Allah dan atau sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui

dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”.31

Alqur’an dan Sunnah melengkapi sebagian besar dari hukum-hukum islam dalam

bidang fiqh, kemudian para sahabat dan tabiin menambahkan atas hukum-hukum Islam

itu, aneka hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan kemusykilan-kemusykilan yang

timbul dalam masyarakat. Yang kemudian dapat kita katakan bahwa hukum Islam

31
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm 9.

17
adalah hukum-hukum yang bersifat umum yang dapat diterapkan dalam perkembangan

hukum islam menurut kondisi dan situasi masyarakat dan suatu masa.32

Kajian tentang hukum Islam itu mengandung dua bidang pokok yang masing-

masing luas cakupannya yaitu33:

a. Kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliyah dan

harus diikuti umat islam dalam kehidupan beragama. Inilah yang secara

sederhana disebut dengan fiqh dalam artian khusus dengan segala lingkup

bahasannya.

b. Kajian tentang ketentuan cara dan usaha yang sistematis dalam

menghasilkan perangkat peraturan yang terperinci, yang selanjutnya

kajian ini dikenal dengan “ushul fiqh” atau dalam arti lain “system

metodologi fiqh”

B. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W)

Perkataan “Hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat

materiil, yaitu segala segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepantingan

perseorangan, atau yang lazim, disebut sebagai lawan dari hukum pidana. Ada juga yang

memakai sebutan hukum sipil, karena menyabutnya hukum sipil jaga dapat disebut

dengan lawan hukum militer, akan tetapi yang lebih sesuai dan lebih umum digunakan

adalah hukum perdata.34

32
Teungku Muhammad Hasbi As-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm 29
33
Syarifuddin, Op Cit., hlm 10.
34
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1957), hlm 9.

18
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum

yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang yang lain, dengan

demikian menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.35

Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) diatur dalam sumber pokok yaitu Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang disingkat dengan Burgerlijk WetBoek (BW) dan

didalamnya terbagi atas empat buku, yang kemudian dibagi dalam Bab-bab, sedangkan

setiap bab masih dibagi lagi dalam Bahagian-bahagian yang selanjutnya dibagi lagi atas

ayat-ayat

Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personan) yang memuat tentang

peraturan-peraturan hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan seperti hubungan

orang tua dengan anak, perkawinan, harta perkawinan dll.

Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken) yang memuat peraturan-

peaturan hukum mengenai kekuasaan orang lain atas benda seperti mengenai milik,

kedudukan kekuasaan, hak dan kewajiban antara pemilik, pewarisan karena kematian,

dfadai dsb. Semua perturan itu merupakan materi hukum benda.

Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen) yang memuat

peraturan-peraturan hubungan hukum antara dua orang/lebih seperti pembeli dan

penjual, harta Kekayaan dan berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku

begi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV, yang memuat tentang Perihal Pembukltian dan Kedaluarsa atau lewat

waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.36

35
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm 214.

19
C. Hadhonah

1. Pengertian Hadhonah

Dalam ajaran Islam penjagaan keturunan (anak) diajarkan dengan penuh perhatian

semenjak anak ada dalam kandungan hingga anak itu dewasa. Hadhonah dalam definisi

Al-Hamdani adalah “pemeliharaan anak, laki-laki ataupun perempuan yang masih kecil.

atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu dan belum dapat berdiri sendiri,

menjaga kepentingan anak, melindunginya dari segala yang membahayakan dirinya,

mendidiknya, jasmani dan rohani serta akalnya, supaya si anak dapat berkmbang dan

dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.37

Adapun menurut Sayyid Sabiq hadhonah ialah pemeliharaan anak-anak yang masih

kecilbaik laki-laki maupun perempaun yang sudah besar tetapi belum tamyis38 tanpa

perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari

kerusakannya, mendidik jasmani dan rohani agar ia mampu menghadapi hidup39

Ketentuan Umum mengenai hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh,

36
Nisa ngani, A.Qiram Syamsyudinmelialla, Profil Asas-Asas Hukum Perdata (BW) (Yogyakarta: Liberti,
1989), hlm 5-6
37
Hamdani Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum
Adat,Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm 318.
38
Beberapa tingkatan dalam tingkatan anak, yakni At-Tufulah adalah anak yang belum mampu
membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya sendiri, Balikh adalah masa ketika
ditandai dengan datangnya Haid bagi perempuan dan mimpi berhubungan seks bagi laki-laki atau seorang
yang telah melangsungkan pernikahan baik laki-laki atau perempuan, Mumayyis adalah Anak yang sudah
mampu membedakan sesuatu yang bermanfaat dan mudharat bagi dirinya yang kira-kira berumur 7 tahun.
Lihat Ensiklopedia Islam, hlm 1225.
39
Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa Thalib, (Bandung: PT.Al-Maarif, 1991), hlm 160

20
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.40 Semua itu

maksudnya adalah menjaga, memimpin, mengatur segala hal yang mana anak-anak itu

belum sanggup mengaturnya sendiri.

Jadi dari beberapa pengertian hadhonah yang telah diterangkan diatas dapat

disimpulkan bahwa hadonah itu merupakan pemeliharaan anak kecil yang masih

membutuhkan orang lain untuk mengurus dirinya sendiri sampai ia dapat menghadapi

kehidupan sebagai seorang muslim yang dapat membedakan mana yang baik dan yang

buruk.

Memelihara anak hukumnya wajib, mengabaikannya berarti mengantarkan anak

ke dalam jurang kehancuran dan hidup tanpa guna. Memelihara anak adalah kewajiban

bersama, ibu dan ayah, karena si anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan, dipenuhi

kebutuhannya dan diawasi pendidikannya. Orang yang lebih berhak mengasuh adalah

ibu, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad S.A.W

tatkala seorang perempuan yang diceraikan suaminya mengadu dan berkata

‫ وﺛﺪﺑﻲ‬,‫ آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء‬:‫ ﻳﺎرﺳﻮاﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا‬:‫أن رﺳﻮاﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءﺗﻪ اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ‬

‫ ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ‬.‫ و إن أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ‬,‫ وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء‬,‫ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء‬

(‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ أﻧﺖ أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﺗﻨﻜﺤﻲ‬: ‫ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬

40
Pasal 1 huruf g

21
“ Ya Rasulallah, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan

susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka

Rasulullah bersabda: engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah41.”

Hukum ini berkenan dengan ibu tersebut kalau kawin lagi dengan laki-laki lain,

akan tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan

anak kecil tesebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonanya tidak hilalang. Hal ini

karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan

kekerabatannya yang dekat dengan anak kecil tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi

serta memerhaikan haknya. Dengan demikian, akan terjadilah kerjasama yang sempurna

di dalam menjaga si anak kecil itu, antara si ibu dan suamin yang baru,

Berbeda halnya kala suami barunya itu orang lain. Sesungghnya, jika laki-laki

lain mengawini ibu dari anak kecil tadi, ia tidak bias mengasihinya dan tidak dapat

memperhatkan kepentingannya dengan baik, karenanya ini nantinya dapat

mengakibatkan suasana tanpa kasih sayang, udara yang mesrah, dan keadaan yang dapat

menumbuhkan bakat dan pembawaan anak dengan baik. Akan tetapi al-hasan dan ibnu

hazm berpendapat bahwa ibu yang kawin dengan laki-laki manapun tidaklah kehilangan

hak hadhonahnya.

1. Anak perspektif sysri’at Islam

41
Abi Suju’, At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii, (Surabaya: Al-Hidayah, Tth) hlm
189.

22
Persoalan pengasuhan anak atau hadhonah tidak ada hubungannya dengan

perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun hartanya. Hadhonah

adalah perkara mengasuh anak, dalam arti mendidik dan menjaga untuk masa ketika

anak-anak itu membutuhkan wanita pengasuh. Dalam hal ini Imam Ja’far, Imam Hanafi,

Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Hambali sepakat bahwa mengasuh anak adalah

hak ibu.42

Hadhonah (mengasuh anak) pada Bab VII pada pasal 105 dalam hukum

perkawinan Islam empat madzhab adalah:

1. Apabila terjadi perceraian antara kedua suami istri, maka anak-anak yang masih

berumur kurang dari tujuh tahun, diasuh oleh ibunya, selama ibunya belum

kawin dengan laki-laki lain.

2. Anak-anak yang sudah berumur 7 tahun ke atas dapat memilih, apakah ikut serta

ibunya atau bapaknya.

3. Bapak memikul biaya untuk memelihara dan mendidik anak-anak sampai

mereka dewasa.

4. Pengadilan agama menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan mendidik

anak-anak tersebut, bila tidak dapat persetujuan antara dua belah pihak

42
M.Jawad Muqhniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Khomsah (fiqh lima madzhab), penerjemah Masykur
AB, Afif Mahmud, Idris Al-Kaff, (Jakarta: PT. Lentera Baritama, 1999), hlm 415.

23
Dari penjelasan pasal 105 di atas apabila terjadi perceraian antara suami dan istri,

baik dengan jalan fasakh maupun talak, sedangkan keduanya telah dikaruniai anak, laki-

laki maupun perempuan yang masih berumur kurang dari 7 tahun, maka anak itu

dipelihara dan diasuh oleh ibunya.

2. Anak perspektif Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan KHI

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab IX pasal (42)

disebutkan tentang kedudukan anak, yaitu “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah”43

Bahkan pada status anak akibat dari pembatalan perkawinan, Pada pasal 28 ayat

(2) juga ditegaskan meskipun terjadi pembatalan pernikahan keputusan tersebut tidak

berlaku surut terhadap, “anak-anak yang dilahirkan dari perkawina tersebut”.

Dalam Bab X Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang hak dan kewajiban antara

orang tua dan anak pada pasal 45 ayat 1 dan 2 adalah44;

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak dapat berdiri sendiri, kewajiban yang mana berlaku terus

menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

43
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Loc.Cit., hlm 32.
44
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan Peradilan
Agama, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama, 2001)

24
Adapun dalam KHI bab XIV tentang pemeliharaan anak pasal 99, anak yang sah

adalah45:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

istri tersebut.

Dalam pasal yang lain yakni pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu

perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum anak dengan orang tuanya. Adapun

dalam pasal 105 juga secara tegas tentang pemeliharaan anak, dalam terjadinya

perceraian, maka :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun

adalah haknya ibu.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang

pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayah

3. Anak perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

45
Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000)

25
Perihal tentang pengasuhan anak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata pada bab ke-XII, bagian ke satu pasal 250 tentang dikatakan anak-anak sah

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh

si suami sebagai bapaknya”. Kemudian mengenai hak asuh dan kekuasaan anak juga di

jelaskan dalam bab ke XIV bagian ke 1 tentang kekuasaan orang tua pasal 299 yang

menyatakan sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi

dewasa, tetap bernaung dalam kekuasaannya mereka, sekedar mereka tidak

membebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.

Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan adalah anak-anak

yang dianggap sebagai anak sah, anak-anak itu dapat mewarisi baik dari bapak maupun

ibunya dan ia juga mempunyai hubungan kekeluargaan baik si bapak maupun si ibu.46

2. Orang yang berhak atas Hadhonah

Hadonah merupakan hak bagi anak yang masih kecil, sebab ia masih

membutuhkan pengawasan, pendidikan dan perawatan. Sedangkan orang yang

berkewajiban memeliharanya adalah kedua orang tuanya, yang demikian ini sesuai

dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shaheh bukhari:47

‫ أن ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ و‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﻴﺎن ﻋﻦ ﻋﺮوة ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ رﺿﻲ ااﷲ ﻋﻨﻬﺎ‬

‫ﺳﻌﺪ ﺑﺘﻦ أﺑﻲ وﻗﺎ ص إﺧﺘﺼﻤﺎ اﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ إﺑﻦ أﻣﺔ زﻣﻌﺔ ﻓﺎﻗﺒﻀﻪ ﻓﺎﻧﻪ اﺑﻨﻰ‬

46
Ali afandi, Op.Cit., hlm 121.
47
Abi’Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shaheh Bukhari (Surabaya: Tanpa penerbit, 1992), hlm
127.

26
‫ هﻮ ﻟﻠﻚ ﻳﺎ‬:‫أﺧﻰ واﺑﻦ أﻣﺔ أﺑﻰ وﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﻓﺮاش أﺑﻰ ﻓﺮأى اﻟﻨﺒﻰ ﺷﺒﻬﺎ ﺑﻴﻨﺎ ﻓﻘﺎل‬:‫وﻗﺎل ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ‬

(‫ واﺣﺘﺠﻲ ﻣﻨﻪ ﻳﺎ ﺳﻮدة )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري‬.‫ﻋﺒﺪ ﺑﻦ زﻣﻌﺔ اﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮاش‬

Artinya

Dari A’isyah R.A.: Sesungguhnya ‘Abdu Zam’ah dan Sa’ad bin Abi Waqas mengadu
kepada Nabi tentang ibn Amat Zam’ah, Saad berkata : Ya Rasulullah berilah nasehat
saudaraku tatkala aku hadir dan melihat ibn Amat Zam’ah, maka kupegang dia,
sesungguhnya dia adalah anakkn, kemudian ibn Zam’ah berkata : wahai saudaraku ibn
Zam’ah adalah ayahku yang dilahirkan dari firosy ayahku lalu Rasulullah
mengungapkan perumpamaan yang jelas pada “Utbah lalu berkata : Dia adalah untukmu
wahai “abd ibn Zam’ah, sesungguhnya anak adalah berdasarkan firosy dan berpalinglah
dari padanya wahai saudah (H.R. Bukhori)

Apabila terjadi perceraian, maka urutan orang yang paling berhak atas hadhonah

adalah ibu, dalam Fiqh ‘Ala MAdzahib Al-Arba’ah yang terdapat pendapat ulama

madzhab, dengan uraian48 :

Menurut ulam Hanafi, orang yang paling berhak atas hadonah adalah ibu baik

masih menikah dengan ayah atau sudah bercerai, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke

atas, lalu ayah, ibunya ayah dan terus keatas, lalu saudara perempuan sekandung,

saudara perempuan seayah, dst.

Orang yang paling berhak atas hadhonah, ulama Syafi’I membagi 3 keadaan,

Pertama, berkumpulnya pihak laki-laki dan perempuan, dalam hal ini, ibu lebih behak

dari pada ayah, lalu ibunya ibu dan terus gari lurus keatas dengan syarat masih termasuk

ahli waris, setelah itu ayah, ayahnya ayah dan terus keatas, dengan syarat masih ahli

waris juga, Kedua, berkumpulnay pihak perempuan saja, dalam hal ini yang lebih utama

48
Al-Juzairi,Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’ (Beirut: Darul Kutub Al-Limiyah, 1992), hlm 127 – 128.

27
adalah ibu, lalau ibunya ibu, ibunya bapak, lalu saudara perempuan bibi dari ibu, anak

perempuan dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara perempuan, anak

perempuannya saudara laki-laki, bibi dari ayah, anak perempuan bibi dari ibu,anak

perempuan bibi dari ayah. Ketiga, berkumpulnya pihak perempuan saja, maka yang

lenih didahulukan adalah ayah, lalu kakek, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki

seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki kandung, paman dari

ayah dan ibu, paman seayah, paman seayah,anak paman dari bapak.

Menurut ulama Hanabilah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah

ibu, kemudian ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, setelah itu ayah, ibunya ayah dan

garis lurus keatas, kakek, ibunya kakek, saudara perempuan seayah dan seibu.

Menurut ulama Malikiyah, orang yang paling berhak atas pengasuhan anak adalah

ibu, lalu ibunya ibu dan terus garis lurus ke atas, lalu bibi sekandung dari ibu, bibi se

ibu, bibi seayah, neneknya ayah dan garis lurus keatas.

3. Syarat Hadlin

Mengingat kemaslahatan anak, maka tidak semua orang dapat memeliharanya,

oleh karena itu dibutuhkan beberapa syarat, Didalam Islam terdapat syarat-syarat untuk

dapat mengasuh anak, orang yang hendak mengasuh anak disyaratkan mempunyai

kafa’ah atau martabat yang sepadan dengan kedudukan anak, mampu melaksanakan

tugas sebagai pengasuh anak, maka adanya kemampuan dan kafa’ah mencakup beberapa

28
syarat tertentu dan apabila syarat-syarat tersebut tidak ada, maka gugurlah haknya untuk

mengasuh anak. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Islam

Ulama Malikiyah berpendapat pengasuh tidak tidak disyaratkan harus beragama

Islam baik laki-laki maupun perempuan. Jika dikhawatirkan anak yang dipelihara

tersebut diberikan makan dan minuman yang tidak halal, maka pemeliharaan tersebut

pindah keorang yang beragama islam, hal itu dilakukan untuk menjaga kemaslahatamn

anak tersebut. Dalam hal ini ditegaskan Zakariyah Ahmad Al-Barri salah satu Ulama

Malikiyah, beliau berpendapat bahwa islamnya hadlin (pengasuh) adalah tidak termasuk

syarat dari pemeliharan anak karena tidak mempengaruhi rasa kasih sayang seorang ibu

secara alami.49

Begitu juga dengan Ulama Hanabilah, tidak afda persyaratan Hadlin (pengasuh)

harus Islam, jika Ibu seorang kafir Zimmi, tetap ia lebih berhak atas anak yang

diasuhnya asalkan terjaga dari kekafiran dan kerusakan. Apabila terjadi sebaliknya,

misalnya diketahui ibu bersama anak pergi kegereja, atau diberi makanan dan minuman

yang tidak halal, maka ayahnya boleh mengambil anak dari ibu yang kafir zimmi

tersebut.

Sedangkan Ulama Syafi’iyah jelas tidak memperbolehkan orang yang kafir

memelihara anak yang beragama islam, karena orang kafir berhak atas orang kafir saja.

49
Zakariyah Ahmad Al-Barri, Ahkamul Aulad fil Islam (Kairo: Darul Al-Qoumiyah, 1994), hlm 43.

29
Hal ini ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-Bajuri salah seorang ulama Syafi’I dengan

mengatakan bahwa syarat Hadlonah adalah berkaitan dengan agama, tidak ada hadlonah

bagi orang kafir terhadap orang Islam, memeperkuat pendapat dari Alqur’an yang

berbunyi50:

∩⊇⊆⊇∪ ¸ξ‹Î6y™ t⎦⎫ÏΖÏΒ÷σçRùQ$# ’n?tã t⎦⎪ÌÏ≈s3ù=Ï9 ª!$# Ÿ≅yèøgs† ⎯s9uρ 3


141. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman.51

Hal ini akan berbeda ketika yang berbeda agama adalah si anak, maka Imam

Taqiyudn Abi Bakri Muhammad Al-Hasan dalm kitab Kifayatul Akhyar fi Ghoyatul

Ikhtisar berpendapat pengasuhan terhadap anak yang kafir tetap dapat diserahkan dalam

pemeliharaan ibu yang islam, yang demikian itu berdasarkan atas kemaslahatan

semata.52

2. Baliqh

3. Waras akalnya (Tidak gila)

4. Dapat dipercaya

5. Tidak Kawin

6. Mampu mendidik anak

D. Pembatalan Perkawinan dalam Islam

1. Pengertian pembatalan perkawinan

50
QS. An-Nisa’ (4), 141
51
DEPAG, Alqur’n dan Terjemahnya QS. An-Nisa’ (4), 141.
52
M.Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar (Semarang, CV.Toha Putra, TTh), hlm 53.

30
Hukum islam dalam sebuah perkawinan menganut asas poligami terbatas, tidak

mengenal lembaga pembatalan perkawinan. Kalau diantara suami istri atau keluarga

tenyata tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka penyelesaiannya bukan

diajukan pembatalan perkawinan tetapi dengan jalan Talaq.

Dalam hukum islam hanya mengenal perkawinan yang sah dan tidak sah.

Perkawinan yang tidak sah dianggap perkawinan itu tidak ada, sedangkan yang sah

hanya mungkin putus karena kematian, Talak,53 Khulu’,54 Syiqaq,55 pelanggaran taklik

talak, dan fasakh.

Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mansur dalam Lisanul ‘arab menyatakan

pembatalan perkawinan dengan istilah Fasakh yang berarti batal ( ‫ )ﻧﻘﺬ‬atau bubar ‫) ﻓﺮق‬

(sedang secara istilah pembatalan perkawinan atau Fasakh ialah:

.‫ﻞ ا ﻟ ّﺮا ﺑﻄﺔ ا ﻟّﺘﻲ ﺗﺮ ﺑﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﺰوﺟﻴﻦ‬


ّ ‫و ﺣ‬, ‫ﻓﺴﺦ اﻟﻌﻘﺪ ﻧﻘﻀﻪ‬
“fasakh ‘aqdi adalah membatalkan akad, dan melepaskan ikatan perkawinan suami

istri.”56

Lepas atau batalnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya

disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri, dan ada kalanya

53
Secara bahasa berarti melepaskan ikatan, yang dimaksud sini adalah melepaskan ikatan pernikahan.
Lihat Sulaiman Rasyid H, Fiqh Islam, Sinar Baru Al-gensindo, Bandung 2006, Hlm 401
54
Khuluk berarti tebusan, maksudnya disini adalah Talak yang diucapkan istri dengan mengembalikan
mahar yang pernah diberikan oleh suaminya. Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut Al-
Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para Ulama), (Bandung: Mizan, 2002), hlm 218.
55
Adalah perselisihan antara suami istri, yang berujung pada seorang Hakam (penengah) guna
menyelidiki permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Hamdani, Risalah An-Nikah, penerjemah Agus
Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm257.
56
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab Juz III, (Qatar: Dar Al-Fikr, 1994), hlm 45. makna senada juga
digambarkan oleh Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indoneia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)

31
disebabkan hal-hal yang mendatang yang menyebabkan akad nikah perkawinan tersebut

tidak dapat dilanjutkan.

Sedangkan Abdul Wahab Khalaf memberikan penjelasan bahwa apabila perkataan

fasakh disandarkan pada nikah, maka ia akan membawa maksud membatalkan atau

membubarkan pernikahan yang resmi oleh sebab-sebab tertentu yang menghalangi

kekalnya perkawinan tersebut.

Pendapat Imam Muhammad Abu Zahro yang dinukil dalam kitabnya Al-Ahwal Al-

Sayahayiah menyebutkan “fasakh pada hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau

terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan,

atau merupakan konsekwensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi akad, yang

menjadikan akad tersebut tidak sah” 57

Dalam Bab VI pasal 37 peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Batalnya suatu perkawinan

hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”58 dalam pasal tersebut dapat dimengerti bahwa

pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab

tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke pengadilan dan harus melalui keputusan

Pengadilan.

Dalam UU Perkawinan pada Bab IV pasal 22 UU Perkawinan NO. 1 Tahun 1974,

disebutkan, “perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-

57
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Ahwal al-Syahsyiyah fii al-Syari’ati al-Islamiyah, (Quwait : Darul
Qolam, 1990) hlm 60.
58
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI,
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002), hlm 97.

32
syarat untuk melangsungkan pernikahan”.59 Pengertian kata “dapat” pada pasal ini

diartikan bias batal atau bias tidak batal, yakni tergantung apakah dengan sebab-sebab

yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak

menentukan lain. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan

adalah adanya walini nikah, hal ini tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV

tentang “ Rukun dan Syarat Perkawinan” pasal 14 huruf c. kemudian dilanjutkan

penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ini mengenai syarat wali nikah,

yaitu pada ayat (1) “ Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Jika dalam suatu

pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat tersebut diatas tidak

terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.60

Sebagaimana peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan,

didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak diberikan secara rinci mengenai

pembatalan perkawinan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Bab

XI pasal 70 KHI,61 dapat disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan adalah batalnya

suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setaelah

perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum

Negara Indonesia.

59
Ibid, hlm 18.
60
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI,
Op.Cit, hlm 20-21
61
Perkawinan batal apabila: (a). suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah
talak raj’i. (b). seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. (c). seseorang menikahi bekas
istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,… (d). perkawinan dilakukan antara dua orang yang
mempunyai hubungan darah,… (e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri-istrinya.

33
2. Sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan

Para imam madzhab yakni, Imim Malik, Syafi’I, Hanafi dan Hambali, sepakat

bahwa jika terjadi perkawinan dengan perempuan yang disebut dalam Al-Qur’an62

ˈF{$# ßN$oΨt/uρ öΝä3çG≈n=≈yzuρ öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã ôMtΒÌhãm

àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ Νà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& û©ÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ

(#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £⎯ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ©ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ ⎯ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ©ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Íׯ≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ

βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ô⎯ÏΒ t⎦⎪É‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Íׯ≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù  ∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ

∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ ωÎ) È⎦÷⎫tG÷zW{$# š⎥÷⎫t/ (#θãèyϑôfs?
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-
saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.63

Secara jelas dari ayat di atas perempuan yang haram untuk dinikahi, sehingga

kalau di antara mereka menikah, berarti hukumnya adalah haram dan perkawinan itu

harus difasakh, dan menunjukkan larangan abadi untuk orang-orang yang dinikahi,

Maka ketika hal-hal tersebut diketahui, akad tersebut dinyatakan rusak seketika itu juga

tanpa memerlukan adanya keputusan pengadilan.64

62
Q.S An-Nisa’ (4): 23
63
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. An-Nisa’(4): 23
64
M.Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama (Bandung:
CV.Diponegoro, 1991), hlm. 73.

34
Selain itu dalam hal pembatalan perkawinan, para Imam Madzhab menambahkan

beberapa alasaan yang menjadi bolehnya pembatalan perkawinan tersebut diantaranya:

a. Madzhab Hanafi memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab:

1. Perpisahan karena murtadnya kedua suami istri tersebut

2. Perceraian disebabkan rusakny perkawinan itu.

3. Bubar dikarenakan tiadanya kesamaan status (kufu).

b. Madzhab Syafi’i dan Hambali memperbolehkan pembatalan perkawinan

dengan sebab:

1. Perpisahan karena cacatnya seseorang dari pasangan

tersebut.

2. Perceraian disebabkan berbagai kesulitan suami (I’sar).

3. Bubar dikarenakan li’an.

4. Salah seorang dari suami atau istri murtad.

5. Rusaknya perkawinan.

6. Tiada kesamaan status atau (tidak kufu).

c. Madzhab Maliki memperbolehkan pembatalan perkawinan dengan sebab:

1. Terjadinya li’an.

2. Rusaknya Percaraian.

3. Murtadnya salah seorang pasangan

Perngertiaan murtad menurut bahasa adalah “kembali”, sedangkan menurut istilah

adalah kembali menjadi kafir setelah islam (keluar dari agam islam dan kembali ke

35
agama semula)65 atau keluar dari agama islam dalam bentuk niat, perkataan atau

perbuatan yang menyebabkan seseorang menjadi kafir atau tidak beragama sama

sekali.66

Kekufuan (Kufu) atau kesamaan status adalah adanya persesuaian antara kondisi

suami dengan istri dalam hal agama, keturunan (Nasab), Profesi, Kehormatan, dan

Harta.67

Miskin atau mu’sir adalah keadaan suami yang tidak memberi harta dan tidak

mempunyai mata pencaharian yang layak dengan nafkah yang paling minimal atau

dalam hal tidak dapat memberkan pakaian atau maskawin.68

Hilang atau Mafqud adalah Ghaibnya suami sehingga tidak diketaui alamatnya,

juga tidak diketahui apakah dia mampu atau tidak memberi nafkah sebab terputus

beritanya juga tidak meninggalkan harta benda dalam jarak dua marhalah (kurang lebih

77 Km)69

Selain itu suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah bisa mengalami

kerusakan atau fasakh tanpa harus ada putusan hakim dengan empat sebab; dengan

perincian sebagai berikut:

Pertama kerusakan akad, Rusaknya akad pernkahan antara suami istri misalnya

disebabkan oleh hal-hal sbb:

a. Apabila diketahui bahwa ternyata yang mengakadkan adalah saudara perempuan.

65
M.Rifa’I, Op.Cit., hlm 83-85.
66
Ensiklopedia Islam 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm 304.
67
Abdullah Nashih Ulwan, Adab al-Khitbah wa al-zafaf (etika memilih jodoh), penerjemah Abdul Halim
Hamid, (Jakarta: Cahaya Press, TTh), hlm 72-73.
68
M.Anwar, Op.Cit.,, hlm 79.
69
Ibid, hlm 76.

36
b. Akad terjadi ketika perempuan masih berada dalam masa Iddah dari suami

pertamanya.

c. Apabila diketahui bahwa akad tidak dihadiri oleh saksi.

Dalam hal sebab-sebab rusaknyna akad diatas, para ulama sepakat bahwa perpisahan

suami istri karena hal-hal tersebut disebut fasakh, bukan talaq, karena talak hanya biasa

terjadi pada perkawinan yang akadnya sah, sedang dalam hai ini diketahui bahwa

akadnya telah rusak.

Kedua, munculnya kemahraman karena mushaharah, menurut madzhab Hanafi dan

Hambali, munculnuya kemahraman karena mushaharah jika salah seorang suami atau

istri (zina) atau hal-hal yang mendahului hubungan tersebut bersama far’inya (anak,

cucu, dan seterusnya) sehingga menimbulkan kemahraman nikah karea mushaharah70

Misalnya : suami berzina dengan anak istrinya atau berzina dengan ibu istrinya atau

berzina dengan bapak dari suaminya, maka seketika itu juga, perpisahan antara suami

dan istri terjadi tanpa memerlukan putusan dari pengadilan.

Ketiga, karena murtad, murtad atau riddah keluar dari agama Islam, untuk beragama lain

atau tidak beragama sama sekali, orang yang melakukan riddah secara hukum islam

tidak ditetapkan sebagai penganut agama baru itu, Keempat, karena Li’an. Menurut arti

bahasa berarti “saling melaknat”. Sedang menurut arti istilah adalah kesaksian kesaksian

yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami istri jika

sang suami menuduh istrinya berzina atau mengingkari bahwa anak yang dilahirkan dari

70
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali
(Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1996), hlm 110.

37
sang istri adalah anak keturunan atau darah dagingnya, disertai dengan ucapan dari pihak

suami kepada istri dan do’a kemungkaran Allah dari istri pada suaminya.71

Di dalam UU perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 22, pasal 24, pasal 26 dan

pasal 27, dijelaskan sebab-sebab / alasan–alasan dibatalkannya suatu perkawinan

sebagai berikut:

Pasal 22

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

untuk melangsungkan perkawinan”.

Pasal 24

“Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari

kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan

pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3

ayat (2) fdan pasal 4 Undang-undang ini”.

Pasal 26

1) “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pencatat perkawinan tidak

berwenang, wali nikah yang tdak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri

oleh 2 (dua) oaring saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para

keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami

atau istri”.

Pasal 27

71
M.Rifa’i, Loc.Cit., hlm.307.

38
1) “seorang suami istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar

hukum.”

2) “seorang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila

pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau istri.”72

Di dalam Bab XI pasal 70 KHI tentang batalnya perkawinan disebutkan bahwa

perkawinan batal apabila:

(a). Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah

karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat

istrinya dalam iddah talak raj’i.

(b). Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.

(c). Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya,

kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain

kemudian bercerai lagi Ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa

iddahnya

(d). Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah;

semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan

menurut pasal 8 UU No 1 tahun 1974, yaitu:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.

72
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Loc
Cit, hlm 19

39
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara,

antara saudara dengan saudara orang tua dan antara saudara dengan saudara

neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara

sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

(e). Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau

istri-istrinya.

3. Akibat Pembatalan Perkawinan

Akibat hukum pembatalan perkawinan dalam UU Perkawinan No 1 yatun 1974

pasal 28 sebagai berikut:

1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai

kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.

2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut

b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang dahulu.

c. Orang-prang ketiga lainnya termasuk a dan b sepanjang mereka

memperoleh hak-hak dengan I’tiokad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan mempunyai hukum tetap.73

73
Ibid.

40
Dalam pasal 76 KHI disebutkan bahwa “batalnya suatu perkawinan tidak akan

memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orangtunya”. Selain itu juga

disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku

surut kepada:

a. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut

b. Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap

harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang dahulu.

c. Orang-prang ketiga lainnya termasuk a dan b sepanjang mereka

memperoleh hak-hak dengan I’tikad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan mempunyai hukum tetap.74

E. Pembatalan Perkawinan perspektif KUHPerdata (BW)

1. Pengertian Pembatalan perkawinan

Dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Pembatalan Perkawinan biasa

disebut dengan kebatalan perkawinan. Dan cara untuk meminta kebatalan perkawinan

yang telah berlangsung adalah dari suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat.

Pada prinsipnya suatu perkawinan yang dilakukan adalah sah, sampai pada saat

perkawinan itu dinyatakan batal. Dan hak untuk meminta kebatalan dari suatu

perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa orang tertentu saja. Orang itu dapat

74
Loc.Cit., hlm 42.

41
mempergunakan haknya untik meminta kebatalan dari suatu pernikahan, tapi kalau tidak

maka perkawinan tersebut dapat berlangsung terus dan sah.75

Dalam KUHPerdata pada bagian ke empat adalah membahas tentnag kebatalan

perkawinan yang terdapat pada pasal 85 sampai dengan pasal 99. dalam KUHPer

pembatalan perkawinan disebut dengan “ kebatalan perkawinan”, pengertian yang juga

sama dengan yang ada dalam UU No.1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam KUHPer memang

ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI untuk itulah

jika diperlukan KUHPer dapat dijadikan sebagai pedoman bagi hakim di Pengadilan

Agama.

2. Sebab Pembatalan Perkawinan

Sebagai mana telah disebutkan bahwa batalnya perkawinan hanya dapat dituntut

dalam hal-hal tertentu dan oleh orang-orang tertentu saja. Adapun alasan pembatalan

perkawinan sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata bagian ke VI tentang kebatalan

perkawinan yaitu;

Pasal 86 kebatalan perkawina yang dilangsungkan bertentangan dengan pasal 27,

dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu oleh telah terikat dengan

salah satu darti suami istri, oleh si suami-istri itu senderi, oleh para keluarga sedarah

dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang berkepentingan atas kebatalan

perkawinan itu dan jawatan kejaksaan.

75
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hlm
117.

42
Apabila kebatalan perkawinan yang lebih dahulu itu diperlawankan, maka terlabih

dahulu harus diputuskan, soal absah atau tidak absahnya perkawinan itu.

Pasal 87 keabsahan suatu perkawinan yang berlangsung tanpa kebebasan kata

sepakat suami istri atau salah satu dari mereka, hanya dapat ditentangkan oleh suami

istri itu sendiri, atau salah satu dari mereka, yang secara tak bebas telah memberikan

kata sepakatnya.

Apabila telah terjadi suatu kekhilafan tentang diri orang, dengan siapa siapa

seorang telah mengikat dirinya dengan perkawinan, maka keabsahan perkawinan itu

hanya dapat ditentang oleh si suami atau si istri yang telah tersesat dalam kekhilafan itu.

Pasal 88 apabila terjadi, seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh

dibawah pengampuan, telah mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, maka

keabsahan perkawinan yang demikian hanya boleh dilawan oleh bapaknya, ibunya dan

para keluarga sedarahnya yang lain dalam garis keatas, pula oleh orang saudaranya laki-

Setelah pengampuan itu dihapuskan, maka pembatalan perkawinan masih boleh

dituntut oleh si suami atau si istri yang dulu ditaruh dibawa pengampuan, akan tetapi

tuntutan ini pun tak dapat diterima, apabila kedua suami-istri berturut-turut telah

berumah tinggal bersama-sama enam bulan lamanya, semenjak pengampan disebutkan.

Pasal 89. Apabila seorang yang belum mencapai umur yang disyaratkan oleh pasal

29, mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, maka pembatalan perkawinan yang

43
demikian boleh dituntut, baik oleh si yang belum cukup umur tadi, maupun oleh Jawatan

Kejaksaan.

Sementara itu, keabsaan perkawinan tadi tak lagi dapat dilawan.

1e. Apabila pada hari tuntutan pembatalan dimajukan dimuka hakim, si suami atau

istri atau keduana telah mencapai umur yang disyaratkan.

2e. Apabila si istri, kendati belum mencapai umur yang disyaratkan, sebelum

tuntutan pembatalan dimajukan, dalam keadaan mengandung.

Pasal 90. Pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi

ketentuan-ketentuan termuat dalam pasal 30, 31, 32, 33, boleh dituntut baik oleh suami-

istri sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik

pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, baik akhirnya oleh Jawatan

Kejaksaan.

Pasal 91. Apabila suatu perkawinan berlangsung tanpa izin dari bapak atau ibu,

dari kakek atau nenek, atau pun dari wali atau wali pengawas, maka dalam segala hal,

bila mana menurut pasal 35, 36, 37, 38, 39, dan 40 izin perkawinan harus diperoleh,

ataupun si wali harus didengar, pembatalan perkawinan itu hanya boleh dituntut oleh

mereka, dari siapa menurut undang-undang izin itu diperoleh atau menurut undang-

undang harus didengar.

44
Apabila keluarga sedarah, dari siapa izin itu sedianya harus diperoleh, sementara

itu tidak lagi diperbolehkan melancarkan tuntutan pembatalan mereka, apabila baik

dengan tegas, maupun dengan diam-diam, perkawinan itu telah mereka setujui, atau

apabila tanpa suatu tentangan apapun juga dari pihak mereka enam bulan telah

berlangsungnya perkawinan itu.

Pasal 92. Pembatalan suatu perkawinan, yang dilangsungkan tidak didepan

pegawai catatan sipil yang berkuasa, pun, tidak dihadiri oleh sejumlah saksi-saksi

sebagai mana mestinya, boleh dituntut oleh suami istri sendiri, oleh bapak atau ibu

meraka, oleh para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas, pula oleh wali, wali

pengawas atau segala mreka yang berkepentingan dan akhirnya pula oleh Jawatan

Kejaksaan.

Apabila terjadi suatu pelanggaran aka pasal 70, sekedar mengenai keadaan saksi-

saksi, maka perkawinan itu tidaklah secara mutlak harus mengalami kebatalan,

melainkan Hakimlah yang harus memecahkan soal ini, selaras dengan keadaan.

Jika perhubungan selaku suami-istri jelas menampakkan adanya, dan sebuah akta

perkawinan yang dibuat dimuka seorang pegawai catatan sipil yang berkuasa, dapat

diperlihatkan pula, maka suami-istri tidak dapat diterima dengan permintaan

merekauntuk membatalkan suatu perkawinan berdasarkan pasal ini.76

4. Akibat Pembatalan Perkawinan

76
Subekti, Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2006),
hal 22-24.

45
Adapun dampak atau akibat dari pembataln perkawinan sebagaimana tersebut dalam

Bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W)

menyatakan; “ Suatu perkawinan yang kemudian dibatalkan, mempunyai akibat perdata

baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan perkawinan itu

oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”. Akan tetapi jika I’tikad

baik itu hanya pada salah satu pihak saja, maka pasal selanjutnya yakni pasal 96

menyatakan bahwa pihak yang berlaku dengan I’tikad baik mendapat akibat perdata

yang menguntungkan saja, begitu pula anak-anaknya

Sebaliknya bagi yang beri’tikad buruk, maka pembalatan perkawinan itu

mengakibatkan penghukuman untuk membayar segala biaya ganti rugi dan bunga bagi

pihak lainnya.

Didalam soal perkawinan, seseorang dianggap beri’tikad baik, jika ia tidak

mengetahui larangan yang ditentukan menurut hukum suatu perkawinan sehingga dalam

perjalanannya perkawinan itu dibatalkan dikarenakan sebab larangan yang telah

dilanggarnya.

46
BAB III
ANALISIS HAK ASUH ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA (BW)

A. Pengasuhan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Tinjauan Hukum Islam dan


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan pada bab III bahwasanya

perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun

syarat sah perkawinan.

Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang

Ilmu pengetahuan (The body of knowladge) akan tetapi ditelaah dalam disiplin ilmu

yang lain yang memberikan pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang

agama, hukum, dan secara disiplin ilmu lainnya.

47
Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya

perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah

keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan itu”77. Artinya yang dibatalkan itu adalah di mana sejak

perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami istri

yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan

ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di

dalamnya.

Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami

istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara

orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus

dipenuhi oleh anak.

Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak,

jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua

baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau

dibatalkan oleh hukum78. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat

dimarginal kan, sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku, Undang-

Undang No 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan ayat

(2) huruf a berbunyi :

77
Departemen Agama RI, Ibid
78
Ali Afandi, Loc Cit, hlm 121

48
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi

perpisahan, merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak menjadi

generasi yang kuat dan tidak terjerumus dalam kebodohan, kelemahan dari sisi tertentu,

yang mana itu semua sangat tidak dicintai oleh Allah. Dalam sebuah hadist Qudsi

dinyatakan ” ‫( “ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻗﻮي ﺧﻴﺮ و أﺣﺐ اﻟﻰ اﷲ ﻣﻦ اﻟﻤﺆﻣﻦ ﺿﻌﻴﻒ‬seorang mukmin yang

kuat itu lebih baiak dan dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah)

HR.Muslim79. Menelantarkan anak berarti secara tidak langsung menyeret anak dalam

curam kebodohan yang dapat membawa anak ke dalam lembah kefakiran dan kefakiran

dapat merentankan kekufuran, sebagaimana sabda nabi Muhammad S.A.W. “ ‫آﺪ اﻟﻔﻘﺮأن‬

‫”ﻳﻜﻮن آﻔﺮا‬

(Hampir-hampir kefakiran itu menjadikan (seorang) dalam kekufuran) dan kekufuran

membawa korbannya kedalam lembah api neraka. Tidak pelak lagi, hal ini merupakan

kewajban yang sangat diperhartikan oleh Islam dalam menjaga masing-masing individu

terlebih keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat At-

Tahrim ayat 6 yang berbunyi80 :

79
Ali Asshabuni, Muhammad, Min Kunuzis sunnah, (Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy, 1999)
80
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. At-Tahrim (66): 6

49
îπs3Íׯ≈n=tΒ $pκön=tæ äοu‘$yfÏtø:$#uρ â¨$¨Ζ9$# $yδߊθè%uρ #Y‘$tΡ ö/ä3‹Î=÷δr&uρ ö/ä3|¡àΡr& (#þθè% (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ

∩∉∪ tβρâsΔ÷σム$tΒ tβθè=yèøtƒuρ öΝèδttΒr& !$tΒ ©!$# tβθÝÁ÷ètƒ ω ׊#y‰Ï© ÔâŸξÏî
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang

kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Dalam ayat di atas menjaga dari api neraka merupakan kewajiban yang harus

dilakukan setiap muslim terhadap dirinya pribadi dan pada keluarganya, Ini bisa

teridentifikasi pada lafadz ‫ ﻗﻮا‬yang mana kata ini menunjukkan kata perintah (Amr)

yang pada dasarnya setiap kata perintah menunjukkan suatu kewajiban, dalam sebuah

kaidah fiqh menyatakan ” ‫( ” اﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﻷﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮب‬Asal dari pada perintah itu adalah

wajib), artinya jika perintah itu bebas bebas tidak disertai qarinah yang menyimpangkan

kepada tujuan selain wujud, maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amr itu

ialah wajib.81

Dalam memberikan pengasuhan beberapa hadist telah menjelaskan berkenaan

dengan siapa yang layak untuk mengasuh anak lebih-lebih ketika perkawinan itu putus

(baik disebabkan karena perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan

perkawinan itu terputus atau dibatalkan) dan hadist-hadist itu menunjukkan pengasuhan

berada pada ibu kandung si anak. Sebagaimana sebuah hadist yang di kutib oleh Abi

81
Riva’I, Muhammad, Ushul Fiqh, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1983) hlm 20

50
Suju’ dalam kitabnya At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqriib melalui

jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

‫ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺟﺎءت‬: ‫ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ‬

‫ و إن‬,‫ وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء‬,‫ وﺛﺪﺑﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﻘﺎء‬,‫ آﺎن ﺑﻄﻨﻲ وﻋﺎء‬:‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ إن اﺑﻨﻴﻲ هﺬا‬:‫اﻣﺮأة ﻓﻘﺎﻟﺖ‬

‫ أﻧﺖ أﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ‬: ‫ ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬.‫أﺑﺎﻩ ﻃﻠﻘﻨﻲ وأراد أن ﻳﻨﺰﻋﻪ ﻣﻨﻲ‬

(‫ )رواﻩ أﺑﻮ داود‬.‫ﺗﻨﻜﺤﻲ‬

“ Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya R.A: Bahwa sanya datang seorang

perempuan kepada Rasulullah SAW dan berkata :Ya Rasulallah, ini adalah anakku,

perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah

tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka Rasulullah

bersabda: Engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah.” (HR. Abu

Dawuud)82.

Dalam hadist di atas selain menerangkan seorang yang lebih berwenang dalam

pengasuhan juga dapat memberikan suatu hukum berkenaan dengan masa pengasuhan

ibu, yakni hukum di mana selama ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, selama itu

pula hak pengasuhan seorang anak berada dalam pengasuhan ibu. Tetapi, kalau ia kawin

dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti

paman dari ayahnya, hak hadhonahnya tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih

berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat
82
Abi Suju’, Op.Cit hlm 189.

51
dengan anak tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya.

Dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak, si

ibu dan suami yang baru.

Ini cukup beralasan andai suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya,

dikhawatirkan suami barunya tadi tidak bisa mengasihi anak dan tidak dapat

memperhatikan kepentingannya dengan baik, sebagaimana kasih sayang yang diberikan

dari kerabat yang masih dekat dengan si anak seperti paman dari ayah misalkan.

Karenanya ini nantinya dapat mengakibatkan suasana keluarga tanpa kasih sayang,

hampa akan udara yang mesra, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan

pembawaan anak kurang baik akibat kondisi keluarga yang tidak kondusif.

Dalam hal ini bisa dilihat Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

pasal 45 ayat 1 tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kewajiban orang tua

yang dimaksud adalah :

(1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu

kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan

antara kedua orang tua itu putus.

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 secara tegas disebutkan pemeliharaan

anak dalam terjadinya perceraian.

d. Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak

ibunya.

52
e. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih di

antara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang pemeliharaannya.

Pada bab ke- 4 bagian ke-enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(B.W) menyatakan; “Suatu perkawinan yang kemudian dibatalkan, mempunyai akibat

perdata baik terhadap suami istri maupun terhadap anak-anak mereka, asalkan

perkawinan itu oleh suami istri kedua-duanya dilakukan dengan I’tikad baik”83. Dalam

pasal ini secara implisit jelas menyatakan Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan

yang dibatalkan adalah anak-anak yang juga secara keperdataan dan akibat hukumnya

dianggap sama kedudukannya sebagai anak yang sah. Kemudian mengenai pengasuhan

dan kekuasaan anak dijelaskan dalam bab empat belas, bagian ke 1, tentang kekuasaan

orang tua pasal 299 yang menyatakan “Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap

anak, sampai ia menjadi dewasa, tetap bernaung dalam kekuasaan mereka, sekadar

mereka tidak membebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu.” Selanjutnya dalam Pasal

300 juga dijelaskan “Kecuali dalam hal adanya pembebasan atau pemecatan dan dalam

hal berlakunya ketentuan-ketentuan sekitar perpisahan meja dan ranjang, kekuasaan itu

dilakukan oleh si bapak sendiri.” Sekiranya si bapak diluar kemungkinan melakukan

kekuasaan orang tua, maka, kecuali pula dalam hal perpisahan meja dan ranjang, si

ibulah yang melakukannya.

Selanjutnya penulis tidak menemukan penjelasan dalam KUH Perdata ini

mengenai pengasuhan anak secara khusus, sebagaimana pembahasan sebelumnya yakni

83
Subekti, Tjitrosubidio, Loc Cit.

53
pengasuhan dalam Islam. Dalam hal anak dikatakan dewasa di atas penulis

menganalogikan pada usia perkawinan sebagaimana dalam bab ke empat, bagian ke

satu, pasal 29 menyebutkan “seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan

belas tahun, seperti pun pula seorang gadis yang belum mencapai umur genap lima belas

tahun, tak diperbolehkan dirinya mengikat dalam perkawinan.”

B. Persamaan dan Perbedaan Hubungan Hukum Antara Anak dan Orang Tua
Akibat Dari Pembatalan Perkawinan Tinjaun Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW).

Di dalam Islam terdapat bermacam-macam status anak dari para anak, sesuai dari

sumber anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang nantinya akan menentukan status

seorang anak. Setiap keadaan menentukan kedudukannya, membawa sifatnya sendiri

dan memberi haknya. Hukum mengenai status anak berdasarkan ketentuan-ketentuan

tersebut. Dengan sendirinya jalan yang demikian menjadikan seorang anak dekat atau

jauh dengan kedua orang tuanya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah

ataupun yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang dulunya pernah ada itu di

perbolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai

syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada yang terdapat antara mereka.

Perkawinan menentukan status anak, sang anak bergantung kepada perkawinan atau

hubungan antara ibu dan bapaknya. Adapun anak menurut bahasa adalah keturunan

kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Dan di dalam Islam

54
hendaknya anak diberikan nama dengan disertaia nama bapaknya untuk menunjukkan

keturunan dan asal usulnya.

Pengertian anak sebagaimana dalam kamus besar Bahasa Indonesia84, posisi

anak akibat dari pembatalan perkawinan memang memiliki kedudukan yang tidak

berlaku surut atau dengan pengertian tetap sebagai anak yang sah, walaupun akibat

putusan Pengadilan Agama berupa pembatalan perkawinan, ia mempunyai hak

pengasuhan dan kesambungan nasab baik dari bapak maupun dari ibunya dari

perkawinan yang batal atau dibatalkan oleh Pengadilan Agama.

Suami istri yang perkawinannya di batalkan akan mengakibatkan antara keduanya

seolah-seolah tidak pernah ada atau terjadi perkawinan diantara keduanya, meskipun

suatu pembatalan itu pada dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada

waktu perbuatan yang dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam hal suatu perkawinan

dibatalkan tidak boleh beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan

karena banyak kepentingan dari berbagai pihak yang harus dilindungi.

Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya

perkawinan diantara kedua orang tuanya. Secara hukum formil ini terurai jelas dalam

bab ke-I, bagian ke enam pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Suatu

perkawinan, walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik

terhadap suami istri, maupun terhadap anak anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh

suami istri kedua duanya telah dilakukan dengan itikad baik”.

84
Keturunan yang kedua. Lihat Poerwardarminta, Loc Cit, hlm 60

55
Dan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

ayat (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai

kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan itu. Artinya

yang dibatalkan itu adalah dimana sejak saat perkawinan tersebut dilangsungkan, yaitu

ketika terjadi akad nikahnya antara suami dan istri yang perkawinan dibatalkan. Secara

sederhana pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini merupakan ketentuan yang

menurut penulis sangat adil, bijaksana dan sangat mencerminkan kemanusiaan, karna

mmperhitungkan pihak-pihak yang msecara tidak langsung menjadi korban dari

pembatalan perkawinan dalam hal ini adalah anak karena menimbang hubungan nasab

dan perwalian ketika anak tersebut menjadi tumbuh dewasa. Dan dimensi soialnya

menjaga kedudukan seorang anak yang sebelum terjadi pembatalan perkawinan sebagai

anak sah, tetap berkedudukan sebagai anak yang sah seusai pernikahan orangtuannya

dibatalkan oleh pengadilan. selanjutnya pada ayat (2) ditegaskan keputusan tidak belaku

surut terhadap Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya sebelum

adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan berlaku keperdataan

terhadap anak-anak yang terlahir didalamnya. Dan dalam KHI Bab XI pasal 76

“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak

dengan orang tuanya”. Maka dapat dipahami bagi anak-anak yang terlanjur lahir setelah

pengadilan membatalkan perkawinan orang tuanya, maka anak-anak tersebut tetap

dianggap anak sah. Hal ini di dasarkan pada nilai kemanusiaan dan kepentingan anak

tersebut ketika beranjak dewasa, agar memilki perlindungan hukum. Jadi dalam hal

nasab dan perwalian tetap di nisbatkan pada ayahnya atau lelaki yang mengumpuli

56
ibunya, serta anak tersebut dapat mewarisi harta dari ayah atau ibunya dan juga nak itu

mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga si ayah (ibu).

Kecuali jika pembatalan perkawinan tersebut disebabkan salah adanya salah satu

dari suami atau istri yang murtad. Alasan murtad dalam pembatalan perkawinan selain

diatur dalam hukum Islam juga merupakan tambahan dari Undang-Undang No.1 Tahun

1974 maupun KHI, tentang pembatalan perkawinan yang sebelumnya menyebutkan

alasan murtad hanya dapat diputus dengan perceraian, tetapi ada penambahan pada pasal

selanjutnya bahwa terhadap suami istri yang murtad maka perkawinan juga dapat

dibatalkan.

Terhadap pembatalan perkawinan yang terputus karena salah satu pihak murtad,

maka anak dalam kewarisannya tidak dapat memperoleh hak waris dari bapak maupun

ibunya, secara hukum Islam hal ini tentunya menjadi pengecualian tersendiri dan ini

disebut sebagai penghalang kewarisan. Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad

(‫ﻻﻳﺮث اﻟﻤﺴﻠﻢ اﻟﻜﺎﻓﺮ و ﻻ اﻟﻜﺎﻓﺮاﻟﻤﺴﻠﻢ )رواﻩ اﻹﻣﺎم أﺣﻤﺪ‬

Artinya:

“Seorang muslim tidak dapat mewarisi dari orang (keluarganya)yang kafir, dan orang

yang kafir tidak bias mewarisi orang (keluarganya) yang muslim”. (H.R. Imam

Ahmad).85

Untuk hubungan hukum yang berkaitan dengan kewarisan, KUH Perdata tidak

mempermasalahkan perbedaan agama, terlihat dalam uraian pasal 838: “yang dianggap

tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan dari pewarisan ialah:

85
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim, (Mesir: Darul Al-Qhad Al- Jadid, 2004) hlm 370.

57
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba

membunuh si yang meninggal.

2. Mereka dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah

mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu pengaduan telah

melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman lima tahun penjara

lamanya atau hukuman uyang lebih berat.

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal

untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang

meninggal.

Namun dalam bab ke 12 bagian ke tiga pasal 283 KUH Perdata disebutkan

“Sekalian anak yang dibenihkan dalam zina ataupun dalam sumbang, sekali-kali tak

boleh diakui, kecuali terhadap yang terakhir ini apa yang ditentukan dalam pasal 273.”

Dari pasal ini secara otomatis bila tidak ada pengakuan, maka segala akibat hubungan

perdata antara anak dan orang tua.

58
SEBAB PEMBATALAN PERKAWINAN

PESAMAAN PERBEDAAN
HUKUM ISLAM DAN KUHPerdata (BW) HUKUM ISLAM KUH perdata (BW)
1. Adanya hubungan 1. Sebab salah satu atau keduanya 1. Sebab telah memiliki lebih
Mahram/Mushaharah/Semenda. Murtad (Berpindah Agama). dari 4 orang Istri. (Pasal 86)
2. Ada unsur salah sangka diantara keduanya atau 2. Tidak ada kesesuaian status 2. Sebab seorang yang tidak
salah satu pihak. (Tidak Kufu). sempurna aklnya. (Pasal 88).
3. Adanya ancaman / tidak ada kebebasan kata 3. Salah satu pihak pernah saling 3. Belum mencapai Umur yang
sepakat antara suami dan istri atau salah satu melaknat (Li’an). telah di tetapkan. (Pasal 89)
pihak. 4. Adanya hubungan
4. Tidak terpenuhinya syarat-syarat Formil dan Mahram/Mushaharah/Seme
Materil pernikahan al: nda. (Pasal 90)
1. Kecakapan umur. 5. Tanpa memperoleh Izin dari
2. Beristri lebih dari 4 orang. Wali. (Pasal 91)
3. Rusaknya akad nikah (wali yang tidak
seharusnya)
5. Pengajuan pembatalan pernikahan hanya
dilakukan oleh orang-orang tertentu saja.

59
PENGASUHAN DAN HUBUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT DARI
PEMBATALANPERKAWINAN
PENGASUHAN ANAK HUBUNGAN HUKUM
PERSAMAAN PERBEDAAN PERSAMAAN PERBEDAAN
1. Pengasuhan anak HUKUM KUH perdata (BW) 1. Pembatalan HUKUM KUH perdata (BW)
ISLAM ISLAM
yang belum dewasa / perkawinan tidak
1. Pengasuhan 1. sepanjang 1. Jika 1. Anak anak
mumayis berada berlaku surut
anak tidak perkawinan bapak pembatalan yang dilahirkan dari
dalam pengasuha Ibu. terhadap anak.
diberikan dan ibu, tiap-tiap perkawinan pembatalan
2. Jika pembatalan
terhadap Ibu anak sampai ia terjadi karena perkawinan adalah
Perkawinan tersebut
yang memiliki menjadi dewasa, salah satu anak yang sah, dan
dulunya karena suatu
keyaknan tetap bernaung atau keduanya dapat mewarisi baik
kesengajaan maka
agama yang dalam murtad, dari bapaknya
keperdataan anak
berbeda kekuasaannya maka anak maupun dari ibunya
tidak diakui.
dengan anak. mereka (Bab XIV, dan orang tua
Pasal 299) tidak dapat
saling
mewarisi.

60
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa di kemukakan:

1. Bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, maka anak-anak itu

tetap dianggap sebagai anak yang sah, anak-anak itu juga mempunyai hubungan

keperdataan dan hubungan kekeluargan dengan keluarga si ayah atau ibu. Hal ini

didasarkan pada kemanusiaan dan kepentingan anak untuk mendapatkan

perlindungan hukum. Menurut KUH Perdata hal hal tersebut diatas berlaku ketika

pembatalan perkawinan yang terjadi karena pelanggaran dalam syarat formal saja

sepeti: wali yang tidak berwenamg atau poligami tanpa izin. Namun jika

pelanggaran yang terjadi karena syarat materiil (larangan tetap seperti perkawinan

61
karena nasab) dan pelanggaran lain seperti karena zina, maka perkawinan yang ada

dapat batal dengan sendirinya atau dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang

timbul dari hubungan pernikahan tersebut dianggap tidak pernah ada pula atau tidak

mendapat perlindungan hukum.

2. Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi

perpisahan (baik dikarenakan karena perceraian maupun perpisahan dengan putusan

pengadilan) merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak

menjadi generasi yang di cita-citakan bersama.

SARAN

1. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang

perlu dibenahi, maka dari itu perlu diadakan penelitian dan pengkajian lebih lanjut

berkenaan dengan penulisan ini.

2. Bagi pihak-pihak yang hendak melangsungkan pernikahan, alangkah baiknya jikalau

masing-masing yang bersangkutan memperhatikan berkenaan dengan hal-hal yang

dapat membatalkan perkawinan tersebut, semua itu semata-mata demi kemaslahatan

bagi semua pihak terutama bagi anak.

3. Keluarga adalah merupakan amanah dari Allah SWT, maka sudah barang tentu kita

harus menjaga amanah tersebut dengan tulus dan Ikhlas terutama anak.

62
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama (2004) Al-qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Diponegoro.

Departemen Agama, Direktorat Jendral Bimbngan Masyarakat Islam Dan Haji (2002)

Himpunan Perundang-Undangan RI. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam.

Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi

VI, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Atmajoyo, Sastro (2003) Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Al Manar (2003) Fiqh Nikah. Bandung : PT.Syamil Cipta.

Abdurrahman dan Soejono (2003) Metode Penelitian Hukum. Cet ke 2 Jakarta: Renika

Cipta.

Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad bin Islmail (1992) Shaheh Bukhari. Surabaya:

Tanpa Penerbit.

Al-Juzairi (1992) Fiqh ‘Ala Madzahibul Arba’. Beirut: Darul Qutub Al-Limiyah.

Al-Barr, Zakariyah Ahmad (1994) Ahkamul Aulad Fil Islam. Kairo: Darul Al-

Qoumiyah.
Al-Habsyi, Muhammad Bagir (2002) Fiqh Praktis Menurut Alqur’an, As-sunnah dan
Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan.

Anwar, Muhammad (1991) Dasar-Dasar Hukum Islam Dlama Menetapkan Keputusan


di Pengadilan Agama. Bandung: CV.Diponegoro.

Afandi, Ali (1986) Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta: Bina
Aksara

Ali Asshabuni, Muhammad (1999), Min Kunuzis sunnah, Beuirut: Darul Qutub Al
Islamiy.

Abi Suju’ (Tth) At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqrii Surabaya: Al-
Hidayah.

Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (2005) Fakultas Syari’ah Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang.

Ensiklopedia Hukum Islam (2003) Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.

Hasbi As Shidiqi, Teungku Muhammad (2001) Falsafah Hukum Islam. Semarang:


Pustaka Rizki Putra.

Hamdani (2002) Risalah An-Nikah. Alih Bahasa Agus Salim Jakarta: Pustaka Amani
Idris, Masykur, Afif Mahmud Fiqh Lima Madzhab Jakarta: Lentera Baritama

Ibrahim, John (2008) Teori Dan Penelitian Hukum Normatif. Cet ke IV Malang:
Bayumedia.

Kompilasi Hukum Islam (2000) Jakarta: Departemen Agama

Kamus Besar Bahasa Indonesi (1995) Edisi Kedua. cet.VII; Jakarta: Balai Pustaka
Kusuma, Hadi Hamdani (2003) Hukum PErkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.

LKP2M (2005) Reseach book for. Malang: UIN-Malang.

Moleong, Lexy J (1998) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.
Manzur, Ibnu (1994) Lisanul ‘Arab. Juz III Qatar: Darul Fikr.

Munawir (1997) Kamus Al-Munawir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.

M.Jawad Muqniyah (1999) Fiqh ‘Ala Madzahibul Al-Khomsah. Penerjemah Al-Kaff


Poerwardarminta (1989) Kamus Besar Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (2004) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:


PT Pradnya Paramita.

Rasjid, Sulaiman (1998) Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Riafa’i, Muhamad (TTh) Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar. Semarang: CV.Toha


Putra.

Riva’I, Muhammad (1983) Ushul Fiqh, Bandung: PT.Al-Ma’arif

Syarifuddin (2004) Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Persada Media.

Subekti (1994) Pokok pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.Intermasa.

Suyanto, Bagong dkk (2005) Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono dan Srimanji (2003) Penelitian Hukum Normatif. Cet ke VI Jakarta:
Raja Grafindo Persada

Sunarto (2003) Metodologi Penelitian Deskriptif. Surabaya: Usaha Nasional.

Sabiq, Sayyid (1991) Fiqh Sunnah. Bandung: PT.Al-Maarif.

Waluyo, Bambang (2002) Penelitian Hukum Dalam Praktek. Cet ke 3 Jakarta: Sinar
Grafika.

Ulwah, Abdullah Nashih (Tth) Adab Al- Khitbah Wa Az-Zawaf. Penerjemah Abdul
Halim Hamid dengan Judul Adab Memilih Jodoh Jakarta: Cahaya Press.

Yunus, Muhammad (1996) Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Madzhab Syafi’I,
Hanafi, Maliki, Hambali. Jakarta: PT.Hidakarya Agung.
.

Anda mungkin juga menyukai