Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

MANAJEMEN NYERI PADA FRAKTUR POST ORIF

DI SUSUN OLEH
Nama : VIKA PUSPITA SARI
Nim : 20220310035

CI INSTITUSI CI RUMAH SAKIT

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
TAHUN 2022/2023
A. KONSEP KEBUTUHAN DASAR

1. Pengertian Manajemen Nyeri

Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut

adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat

dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3

bulan (PPNI, 2016). Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya

nyeri pada fraktur. Klien yang mengalami nyeri akut biasanya

menunjukkan gejala perspirasi meningkat, denyut jantung dan tekanan

darah meningkat. International Association for The Study of Pain atau

IASP mendefinisikan nyeri akut pada fraktur yaitu sebagai suatu sensori

subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan

berhubungan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial yang

dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry,

2006).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis didefinisikan sebagai

pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan aktual atau fungsional. dengan onset mendadak atau lambat dan

berintensitas ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih

dari 3 bulan (PPNI, 2016).


2. Anatomi Fisiologi Nyeri

Salahsatu fungsi system saraf yang paling penting adalah

menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang

dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception

termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada

jaringan (nociceptors) kepada sentral pada otak. System nyeri mempunyai

beberapa komponen :

a. Reseptor khusus yang disebut nociceptor, pada system saraf perifer,

mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxius. (orde

1).

b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus

noxius ke CNS.

c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi

hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua tempat

kompleks hubungan antara local eksitasi dan inhibitor interneuron dan

tractus desenden inhibitor dari otak.

d. Traktus asending nosiseptik (antara lain tractus spinothalamikus

lateralis dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih

tinggi pada thalamus. (orde 2).


e. Tractus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai

pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.

(orde 3).

f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen

afektif nyeri, ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan

dengan respon motoris (termasuk withdrawl respon).

g. System inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang dating

pada level medulla spinalis.

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan

sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses

yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:2

a. Tranduksi

Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi

aktifitas listrik pada ujungujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti

prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,

substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan

mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor

nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A

delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan

kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain.

Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang
mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke

susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan

reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

b. Transmisi

Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C

serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta

dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke

sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang

berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran

diameter. Serat Adelta mempunyai diameter lebih besar dibanding

dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-

30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron

di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi

nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian

dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C diteruskan

langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral dan

sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla

spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan

menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonum simpatis dengan

segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel

neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan


peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala

akibatnya.

c. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,

NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls

nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron

nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya

diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan

terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik

sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung

mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan,

maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek

system inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan

sensibel nyeri.

d. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses

yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang

akhirnya menghasilkan sensibel nyeri

3. Jenis nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi

nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan

mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun

dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b. Nyeri neurogenic

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi

primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada

jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan

terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas

dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau

adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat

menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara

mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang

kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP

merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering

menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik

konvensional.

c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya

cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien

tenang.

4. Etiologi Nyeri

a. Agen pencedera fisiologi (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma)

b. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

c. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

5. Patofisiologi Nyeri Pada Fraktur

Nyeri yang terjadi pada pasien fraktur merupakan nyeri

muskuloskletal yang termasuk ke dalam nyeri akut. Mekanisme dasar

terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah proses

penyampaian informasi adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistim saraf

pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang berpotensi atau

merupakan akibat terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa

rangsangan mekanik, suhu dan kimia. Bagaimana informasi ini di

terjemahkan sebagai nyeri melibatkan proses yang kompleks dan masih

banyak yang belum dapat dijelaskan.

Deskripsi mekasnisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan

dengan empat proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.


Pengertian transduksi adalah proses konversi energi dari rangsangan

noksius

(suhu, mekanik, atau kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh

reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu

proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat adanya rangsangan

di perifer ke pusat. Persepsi merupakan proses apresiasi atau pemahaman

dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi adalah

proses pengaturan impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat,

namun biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak

terhadap proses di kornu dorsalis medulla spinalis.

6. Tanda dan Gejala Nyeri

Tanda gejala pada nyeri menurut PPNI (2016), Tanda dan gejala pada

nyeri akut dapat di uraikan sebagai berikut :

1) Gejala dan tanda mayor

a. Mengeluh nyerI

b. Tampak meringis

c. Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)

d. Gelisah

e. Frekuensi nadi meningkat

f. Sulit tidur

2) Gejala dan tanda minor

a. Tekanan darah meningkat


b. Pola nafas berubah

c. Nafsu makan berubah

d. Proses berpikir terganggu

e. Menarik diri

f. Berfokus pada diri sendiri

g. Diaphoresis

7. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

yang dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif

dan individual, serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri

dengan pendekatan objektif paling mungkin adalah menggunakan respon

fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

1) Skala intensitas nyeri deskriptif

Skala deskriptif adalah alat pengukuran tingkat keparahan nyeri

yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor

Scale-VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri atas tiga sampai

lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di


sepanjang garis. Pendeskripsi ini di ranking dari “tidak terasa nyeri”

sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.

2) Skala penilaian nyeri numerik

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales-NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi data. Dalam hal ini,

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling

efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah

intervensi terapeutik.

3)

Skala

analog visual

Skala analog visual (visual analog scale-VAS) tidak melabel

subdivisi. VAS merupakan suatu garis lurus, yang mewakili

intensitas nyeri terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap

ujungnya. Skala ini memberi klian kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS merupakan pengukuran

keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat


mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa

memilih satu kata atau satu angka.

4) Skala nyeri menurut Bourbanis

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah

digunakan dan tidak menghabiskan waktu banyak saat klien

melengkapi.

Keterangan :

0: Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.

7-9: Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak

dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul.

8. Factor yang mempengaruhi nyeri

a. Etnik dan nilai budaya


Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri

adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk

melatih perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya

menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal

ini dapat memengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen

sehingga terjadilah persepsi nyeri.

b. Usia dan tahap perkembangan

Usia dan tahap perkembangan seseorang merupakan variabel

penting yang akan memengaruhi reaksi dan ekspresi terhadap

nyeri. Dalam hal ini, anak-anak cenderung kurang mampu

mengungkapkan nyeri yang mereka rasakan dibandingkan orang

dewasa, dan kondisi ini dapat menghambat penanganan nyeri

yang mereka rasakan dibandingkan orang dewasa, dan kondisi ini

dapat menghambat penanganan nyeri untuk mereka.

c. Lingkungan dan individu pendukung

Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi

pencahayaan dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut akan

dapat memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari keluarga dan

orang terdekat menjadi salah satu factor penting yang

memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai contoh, individu

yang sendirian, tanpa keluarga atau teman-temannya yang

mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yag lebih berat


dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan

orang-orang terdekat.

d. Ansietas dan stress

Ansietas sering kali menyertai peristiwa nyeri yang terjadi.

Ancaman yang tidak jelas asalnya dan ketidakmampuan

mengontrol nyeri atau peristiwa di sekelilingnya dapat

memperberat persepsi nyeri. Sebaliknya, indvidu yang percaya

bahwa mereka mampu mengontrol nyeri yang mereka rasakan

akan mengalami penurunan rasa takut dan kecemasan yang akan

menurunkan persepsi nyeri mereka (Mubarak, 2015).

9. Penatalaksanaan Nyeri

Dalam penanganan nyeri, perawat terlebih dahulu mengkaji

tingkat nyeri yang dirasakan pasien. Hal ini dikarenakan nyeri

merupakan pengalaman interpersonal, sehingga perawat harus

menanyakannya secara langsung kepada klien karakteristik nyeri

dengan P. Q. R. S. T.

Provoking: Penyebab

Quality: Kwalitas

Region: Lokasi

Severate: Skala

Time: Waktu
Teknik Penanganan Nyeri

1) Stimulasi Kautenus
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan melakukan stimulasi
pada kulit untuk menghilangkan nyeri. Beberrapa teknik untuk
stimulasi kulit antara lain:
a) Kompres Dingin
b) Analgetic Oinments
c) Counteriratan, seperti plester hangat
d) Cotraletaral stimulation, yaitu massage kulit pada area yang
berlawanan dengan nyeri
2) Distraksi
Merupakan teknik reduksi nyeri dengan mengalihkan perhatian
kepada hal lain sehingga kesadaran terhadap nyerinya berkurang
Teknikan distraksi dapat dilakukan di antaranya dengan cara :
a) Nafas dalam lamat berirama
b) Massage and slow, rhytmatic breathing
c) Rhymic singing and tapping
d) Active listening
e) Uide imagery (ketakutan imajinasi klien biasa dengan
mendengarkan music yang lembut)

3) Anticipatory Guidance
Merupakan teknik reduksi yang dilakukan oleh perawat
dengan cara memberikan informasi yang dapat mencegah
terjadinya misintrepertasi dan kejadian yang dapat menimbulkan
nyeri dan membantu pemahaman apa yang diharapkan.
Informasi yang diberikan kepada klien diantaranya :
a) Penyebab nyeri
b) Prooses terjadinya nyeri
c) Lama dan kualitas nyeri
d) Berat ringan nyeri
e) Lokasi nyeri
f) Informasi tentang keamanan yang akan diberikan kepada
klien
g) Metode yang digunakan perawat untuk mengurangi nyeri
h) Hal- hal yang diharapka klien selama prosedur
4) Relaksasi

Teknik relaksasi efektif untuk nyeri kronik dan memberikab


beberapa keuntungan antara lain:

a) Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan


dengan nyeri atau stress.
b) Menurunkan nyeri
c) Menolong individu untuk melupakan nyeri
d) Meningkatkan periode istirahat dan tidur
e) Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
f) Menurunkan nyeri.

B. KONSEP KEPERAWATAN TEORI

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang

masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap


tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat

bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang

dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan

darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b. Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa

nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya

serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa

nyeri klien digunakan:

1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang

menjadi faktor presipitasi nyeri.

2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa

sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan

klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan

seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.


5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari atau saat digerakkan.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari

fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan

terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut

sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian

tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme

terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan

penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering

sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di

kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik

dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,

dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.


f. Riwayat Psikososial

Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam

keluarga ataupun dalam masyarakat.

g. Riwayat Penyakit Lingkungan

Pada pengkajian ini membahas kondisi tempat tinggal, dan

lokasi, meliputi: apakah lokasi dekat dengan pabrik, jalan raya, atau

pedesaan, dan keadaan rumah redup atau terang, suasana rumah

ramai atau tenang.

h. Pengkajian Primer

1) Airway

Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan

nafas, distress pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas,

muntahan, edema laring.

2) Breathing

Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara

pernafasan melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan

dari jalan nafas

3) Circulation

Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban

kulit, tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal


4) Disability

Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil

dan responnya terhadap cahaya

5) Exposure

Kaji: tanda-tanda trauma yang ada

i. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu: pemeriksaan umum (status

generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan

setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care

karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan

daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. Gambaran umum

perlu menyebutkan: Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat

adalah tanda-tanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,

gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. Kesakitan,

keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus

fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada

gangguan baik fungsi maupun bentuk. Secara sistemik dari kepala

sampai kelamin.

1) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,

bengkak, oedema, nyeri tekan.

a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normocephalik, simetris, tidak ada

penonjolan, tidak ada nyeri dan tidak ada lesi.

b) Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,

reflek menelan ada.

c) Wajah

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan

fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tidak edema.

d) Mata

Konjungtiva anemis jika terjadi perdaraha hebat dan tidak ada

sekret.

e) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada

lesi atau nyeri tekan.

f) Hidung

Tidak ada deformitas, simetris, tidak ada pernafasan cuping

hidung dan tidak ada sekret.

g) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,

mukosa mulut tidak pucat.

h) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.


i) Paru-paru

Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya

tergantung pada riwayat penyakit klien yang

berhubungan dengan paru.

Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba

sama.

Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara

tambahan lainnya.

Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara

tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

j) Jantung

Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

Perkusi : tidak ada pembesaran jantung.

Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

k) Abdomen

Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

Palpasi : Tugor baik, tidak ada benjolan, tidak ada

defands muskuler, hepar tidak teraba.

Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang

cairan.

Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.


l) Genetalia-Anus

Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lymphe, tidak ada

kesulitan BAB.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnose yang mungkin muncul pada manajemen nyeri pada fraktur

post orif:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

b. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya tindakan invasif

c. Deficit perawatan diri berhubungan dengan gangguan

muskuloskeletal

3. Intervensi Keperawatan

a. Intervensi keperawatan berdasarkan diagnose nyeri akut

Tujuan :

Setelah di lakukan intervensi selama 3x24 jam di harapkan tingkat

nyeri menurun dengan kriteria hasil:

1) Keluhan nyeri menurun

2) Sikap protektif menurun

3) Pola tidur membaik

Intervensi:

1) Identifikasi PQRST

2) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


3) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri

4) Kolaborasi pemberian analgesik

b. Intervensi keperawatan berdasarkan diagnose resiko infeksi

Tujuan :

Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam diharapkan tingkat

infeksi menurun dengan kriteria hasil :

1) Nyeri berkurang

2) Bengkak menurun

3) Kadar sel darah putih membaik

Intervensi :

1) Monitor karakteristik luka

2) Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik

3) Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri

4) Kolaborasi pemberian antibiotic

c. Intervensi keperawatan berdasarkan diagnose deficit perawatan diri

Tujuan :

Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam diharapkan perawatan

diri meningkat dengan kriteria hasil:

1) Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri

2) Minat melakukan perawatan diri


3) Kemampuan makan meningkat

4) Kemampuan mengenakan pakaian

Intervensi

1) Monitor tingkat kemandirian

2) Sediakan lingkungan yang terapeutik

3) Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai

kemampuan

Anda mungkin juga menyukai