Anda di halaman 1dari 67

JURNAL

EKONOMI INTERNASIONAL
“Jurnal Ini Saya Susun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Pada Mata Kuliah Ekonomi Internasional”

DOSEN PENGAMPU :
PETRIO RENALDI, M.M

DISUSUN OLEH
NAMA : ROSNAWATI
NIM : ES.201024
SEMESTER : VI
KELAS :B
PRODI : EKONOMI SYARIAH

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARI’AH


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI SYARI’AH AL-MUJADDID
TANJUNG JABUNG TIMUR
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-Nya sehingga
Jurnal pada mata kuliah Ekonomi Internasional ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa Saya mengucapkan Terima Kasih terhadap Bapak Petrio Renaldi, M.M selaku
Dosen Pengampu pada mata kuliah Ekonomi Internasional dan kepada bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Saya sangat berharap semoga Jurnal ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.

Bagi saya sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan Jurnal ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Saya. Untuk itu saya
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
Jurnal.

Muara Sabak Timur, 29 Maret 2022


Penyusun

ROSNAWATI
PERANAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
DALAM P RODUKTIFITAS DAN PEREKONOMIAN
Oleh : Rosnawati
Dosen Pengampu : Petrio Renaldi,M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur

Abstract : In the context of a country's economy, one of the prominent discourse is


about economic growth. Although there are also other discourse about unemployment,
inflation or rising prices of goods at the same time, poverty, income distribution, and so
forth. Economic growth is important in the context of a country's economy because it can be
one measure of growth or achievement of the nation's economy, although it can not be
denied that other measures. Wijono (2005) states that economic growth is one of the
indicators of development progress. One of the things that can be used as a driving force for
growth is international trade. Salvatore stated that trade can be an engine for growth (trade
as engine of growth, Salvatore, 2004). If the extent of international trade is the export and
import, then one of the components or both can be a driving force for growth. Tambunan
(2005) states in the early 1980s, Indonesia establish a form of export promotion policies.
Thus, the policy makes exports as a driving force for growth.

Keywords : International Trade in the Economy

PENDAHULUAN
Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah
mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain mengenai pengangguran,
inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara bersamaan, kemiskinan, pemerataan
pendapatan dan lain sebagainya. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks
perekonomian suatu negara karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau
pencapaian perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-
ukuran yang lain. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
salah satu indikator kemajuan pembangunan.
Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan adalah
perdagangan internasional. Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin
bagi pertumbuhan ( trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas perdagangan
internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-
duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan. Tambunan (2005) menyatakan
pada awal tahun 1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion.
Dengan demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi
pertumbuhan. Ketika perdagangan internasional menjadi pokok bahasan, tentunya
perpindahan modal antar negara menjadi bagian yang penting juga untuk dipelajari. Sejalan
dengan teori yang dikemukakan oleh Vernon, perpindahan modal khususnya untuk investasi
langsung, diawali dengan adanya perdagangan internasional (Appleyard, 2004). Ketika terjadi
perdagangan internasional yang berupa ekspor dan impor, akan memunculkan kemungkinan
untuk memindahkan tempat produksi.
Peningkatan ukuran pasar yang semakin besar yang ditandai dengan peningkatan impor
suatu jenis barang pada suatu negara, akan memunculkan kemungkinan untuk memproduksi
barang tersebut di negara importir. Kemungkinan itu didasarkan dengan melihat perbandingan
antara biaya produksi di negara eksportir ditambah dengan biaya transportasi dengan biaya
yang muncul jika barang tersebut diproduksi di negara importir. Jika biaya produksi di
negara eksportir ditambah biaya transportasi lebih besar dari biaya produksi di negara
importir, maka investor akan memindahkan lokasi produksinya di negara importir
(Appleyard, 2004).

1. Efek Terhadap Produksi


Pedagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sector produksi
di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja
melalui adanya:
1. Spesialisasi produksi.
2. Kenaikan “investasi surplus”
3. “Vent for Surplus”.
4. Kenaikan produktivitas.
2. Spesialisasi
Perdagagangan internasional mendorong masing-masing Negara kea rah
spesialisasi dalam produksi barang di mana Negara tersebut memiliki keunggulan
komperatifnya. Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang
penuh, sedangkan dalam kasus increasing- cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh.
Yang perlu diingat disini adalah spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat
kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil
produksinya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan.
Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat,
tetapi spesialisasi tanpa perdagangan mungkin justru menurunkan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan
suatu negara ? Dalam uraian diatas dapat menyimpulakan, bahwa CPF sesudah
perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan CPF sebelum
perdangangan. Ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil
masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi. Tetapi
perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan
pengaruh-pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti
yang kita jumpai dalam kenyataan.
Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu
bermanfaat bagi suatu negara. Ketiga keaadan ini berkaitan dengan kemungkinan
spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu
terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Keadaan ini adalah:
a. Ketidakstabilan pasar luar negeri
Bayangkan suatu negara yang karena dorongan spesialisasi dari perdagangan,
hanya memproduksi karet dan kayu. Apabila harga karet dan kayu dunia jatuh, maka
perekonomian dalam negeri otomatis akan jatuh. Lain halnya apabila negara tersebut
tidak hanya berspesialsasi pada kedua barang tesebut, tetapi juga memproduksi
barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri sendiri.
Turunnya harga dari satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknnya
haga barang- barang lain. Inilah pertentangan atau konfik antara spesialisasi dengan
diversifikasi. Spesialisasi biasa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara
maksimal, tetapi dengan resiko ketidakstabilan pendapatan tetapi dengan
konsekuensi harus mengorbankan sebagian dari kenaikan pendapatan dari
spesialisasi. Sekarang hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi
yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komperatif, seperti
yang ditunjukan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yang baik. Manfaat dari
diversifikasi harus pula diperhitungkan
b. Keamanan nasional
Bayangkan suatu negara hanya memproduksi satu barang, misalnya karet, dan
harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya. Meskipun karet adalah
cabang produksi dimana negara tersebut memiliki keunggulan komperatif yang
paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan CPFnya semakin mungkin, tentunya
keadaan seperti ini tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang
menghambat perdagangan luar negeri, dari manakah diperoleh bahan makanan bagi
penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh
keunggulan komperatif tidak harus selalu diikuti apabila ternyata kelangsungan
hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.
c. Dualisme
Sejarah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang,
terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh
timbulnya sektor ekspor yang berorientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali
berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan
bukan merupakan bagian dari negeri itu, tetapi bagian dari pasar dunia. Dalam
keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi
manfaat kepada perekonomian dalam negeri. Keadaan ini di negara-negara sedang
berkembang setelah mereka merdeka, memang sudah menunjukan perubahan.
Tetapi sering belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang
“modern” masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang
“tradisional”.
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu
saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neoklasik bahwa spesialisasi
dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keaadaan apapun. Tetapi di lain
pihak, uraian diatas tidak merupkan bukti bahwa manfaat dari perdagangan tidaklah
bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komperatif masih memiliki
kebenaran dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan
keunggulan komperatifnya dan kesempatan”transformasi lewat perdagangan”.
Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pertimbangan-
pertimbangan lain jangan dilupakan.

3. Investible Surplus Meningkat


Perdagangan meningkat pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil
yang lebih tinggi berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber-
sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah yang disebut “investible
surplus”). Investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi. Jadi perdagangan bisa memdorong laju pertumbuhan ekonomi. inilah inti dari
pengaruh perdagangan internasional terhadap produksi lewat investible surplus. Ada
tiga hal mengenai pengaruh ini perlu di catat:
a. Kita harus menanyakan berapa dari manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan riil)
yang diterima oleh warga negara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warga negara
asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang diperkejakan
di negara tersebut. Dengan lain perkataan, yang lebih penting adalah berapa kenaikan
GNP, bukan kenaikan GDP, yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.
b. Kita harus menanyakan pula berapa dari kenaikan pendapatan riil karena perdagangan
tersebutakan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan berapa
ternyata dibelanjakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri
oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya?
Dari segi pertumbuhan ekonomi yang paling penting adalah kenaikan investasi dalam
negeri dan bukan hanya “investible surplus”-nya.
c. Kita harus pula membedakaan antara “ pertumbuhan ekonomi” dan “pertumbuhan
ekonomi”. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa
timbul dari adanya perdagangan internasional. Di masa lampau, dan gejala-gejalanya
masih tersisa sampai sekarang, kenaikan ivestible surplus tersebut cenderung untuk
diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor
“tradisional”. Pertumbuhan semacam ini justru semakin mempertajam dualisme dan
perbedaan antara kedua sektor tersebut. Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak
mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembagunan ekonomi dalam arti
sesungguhnya.

Inti dari uraian diatas adalah bahwa kenaikan investible surplus karena
perdagangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mmpertanyakan lebih
lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang di realisir
sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dari manfaat tersebut terhadap
pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Menurut Adam Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru
yang lebih luas bagi hasil-hasil didalam negeri. Produksi dalam negeri yang semula
terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi.
Sumber-sumber ekonomi yang semula menggangur (surplus) sekarang
memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar
yang baru. Inti dari konsep “vent for surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi
terangsang oleh terbukanya daerah pasar baru. Sebagai contoh, suatu negara yang
kaya akan tanah pertanian tetapi penduduk relatif sedikit. Sebelum kemungkinan
perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara tersebut hanya mnghasilkan bahan
makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dari itu.
Banyak tanah yang sebenarnya subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak
terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, negara tersebut mulai
menamam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet,
gula, dan sebagainya dengan memanfaatkan tanah pertanian yang menganggur
tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat.
Yang perlu dicatat disini adalah bahwa pemanfaatan tanah-tanah pertanian
baru tersebut memerluakan modal dan investasi yang sangat besar, jauh melebihi
kemampuan negara itu sendiri untuk membiayainya. Oleh sebab itu sejarah mencatat
bahwa pembukaan perkebunan- perkebunan hampir selalu berasal dari modal asing.
Ini jelas dari sejarah negara- negara seperti Indonesia, Malaysia, India, Sri Langka,
dan banyak lagi lainnya. Di masa sekarang sumber-sumber ekonomi yang belum
dimanfaatkan kebanyakan tidak lagi berupa tanah-tanah pertanian (meskipun
kadang-kadang masih demikian), tetapi berupa sumber-sumber alam (khususnya
energi) dan kadang- kadang juga tenaga kerja yang murah dan berlimpah dan murah.
Modal yang besar dan teknologi tinggi diperlukan bagi pemanfaatan sumber-sumber
alam ini, dan semuanya itu seringkali di luar kemampuan negara pemilik sumber-
sumber tersebut untuk membiayai dan melaksanakannya. Jadi tetap memerlukan
modal dan teknologi asing. Perhatikan bahwa inti dari proses “vent for surplus” ini
tetap sama, baik dulu maupun sekarang, yaitu: sumber-sumber ekonomi yang tidak
bisa dimanfaatkan kecuali apabila ada saluran ke pasar dunia dan apabila modal asing
diperkenankan masuk.

Perbedaan pokoknya adalah bahwa di masa lampau negara-negara pemilik


sumber-sumber alam tersebut adalah negara jajahan, sedangkan sekarang adalah
negara merdeka dengan pemerintah nasionalnya. Kunci daripada apakah proses “vent
for surplus” ini akan menghasikan pembangunan ekonomi dalam arti sesungguhnya
dalam arti sesungguhnya ataukah hanya “pertumbuhan ekonomi” seperti yang telah
terjadi di zaman lampau, terletak di tangan pemerintah nasional. Mereka harus bisa
meraih sebagian besar dari “manfaat perdagangan” yang dihasilkan dan
menggunakannya bagi kepentingan pembangunan nasionalnya dalam arti yang
sebenarnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian tentunya diperlukan suatu metode yang sesuai
dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Secara umum metode penelitian
diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan
tertentu. (Sugiyono, 2012: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimen. Metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode
penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perdagangan internasional dalam
perekonomian. (Sugiyono, 2012 : 107). Produktivitas memiliki pengaruh yang sangat
penting dari perdagangan luar negeri terhadap sektor produksi berupa peningkatan
produktivitas dan efisiensi pada umumnya. Kita bisa membedakan tiga sumber
utama dari peningkatan produktivitas dan efisiensi yang ditimbulkan oleh adanya
perdagangan luar negeri. Economies of scale berarti makin luasnya pemasaran
produksi bisa diperbesar dan dilakukan dengan cara yang lebih murah dan efisien
(Economies of scale menurunkan Long Run Average Cost dari suatu sector industri).
Teknologi baru berarti perdagangan internasional dan hubungan luar negeri pada
umumnya dikatakan sebagai media yang penting bagi penyebaran teknologi dari
negara – negara maju ke negara yang belum berkembang. Bentuk yang langsung dari
penyebaran teknologi ini adalah apabila dengan dibukanya hubungan dengan luar
negeri suatu negara bisa mengimpor barang misalnya mesin yang bisa meningkatkan
produktivitas didalam negeri. Sebagai contoh, suatu negara sedang berkembang
mengimpor komputer untuk memperbaiki produktivitas aparat pemerintannya.
Sebetulnya disini yang dimpor adalah “teknologi baru” yang terkandung dalam
computer tersebut.
Bentuk penyebaran teknologi yang bersifat tidak langsung tetapi kadang sangat
penting. Apabila para produsen dalam negeri memperoleh pengetahuan mengenai
produk baru. Cara – cara yang dilakukan akan lebih efisien dalam produksi,
pemasaran dan manajemen perusahaan pada umumnya, semangat dan motivasi baru
untuk melakukan inovasi. Misalnya dimasa lalu petani Indonesia memperoleh
manfaat dari perkebunan Belanda berupa pengetahuan mengenai produk baru seperti
kopi, teh, tembakau, karet dan gula yang laku dipasaran dunia dan cara
penanamannya yang baik. “belajar” teknologi baru seperti ini lebih memiliki
manfaat yang besar dan berdifat lebih lestari daripada hanya “membeli” teknologi
seperti dalam contoh di atas.
Rangsangan persaingan berarti peningkatan efisiensi tidak hanya terjadi lewat
teknologi baru melainkan juga “lewat pasar”. Dikatakan bahwa dibukanya
perdagangan internasional tidak jarang membuat sektor – sector tertentu didalam
perekonomian yang semula “tertidur” dan tidak efisien menjadi sector yang lebih
dinamis berkat adanya pengaruh persaingan dari luar. Sebagai contoh, jika suatu
pasar domestic yang dikuasai oleh sebuah perusahaan monopoli yang tidak efisien.
Kerugian yang ditanggung masyarakat dengan adanya sector ini akan lebih tinggi.
Namun, karena berbagai hal tidak ada perusahaan dalam negeri yang bisa masuk
ksektor ini dan menggeser posisi perusahaan monopoli tersebut. Apabila kemudian
hubungan kluar negeri dibuka, bisa diharapkan bahwa barang – barang yang sama
atau serupa dengan hasil produksi sector tersebut tetapi dijual dengan harga yang
lebih murah dan kualitas yang lebih baik akan mengalir masuk kedalam negeri.
Dalam hal ini dibukanya perdagangan mempunyai pengaruh yang serupa
dengan masuknya perusahaan – perusahaan baru yang lebih efisien ke sektor
tersebut. Jadi perdagangan luar negeri bisa meningkatkan efisiensi suatu sektor
melalui peningkatan persaingan. Dalam prakteknya, Apabila keadaan seperti ini
terjadi maka bisa diharapkan bahwa perusahaan monopoli yang merasa kelangsungan
hidupnya dibahayakan akan berusaha untuk menghalang – halangi mengalirnya
barang – barang ke luar negeri. Misalnya dengan menuntut pengenaan bea masuk
yang tinggi. Dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan berbagai
kepentingan termasuk kepentingan konsumen, produsen, buruh dan kepentingan
masyarakat pada umumnya. Seringkali masalahnya menjadi sulit dan rumit karena
argumentasi ekonomi sering dikacaukan dengan argumentasi politis dan
kepentingan golongan atau sektoral.

HASIL PEMBAHASAN
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu
negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang
dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan
pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di
banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk
meningkatkan GDP. Meskipun perdagangan internasional telah terjadi selama ribuan tahun
(lihat Jalur Sutra, Amber Road), dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan
politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun turut
mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan
multinasional.

1. Teori Perdagangan Internasional


Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di
dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan
tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan
yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota
barang impor.
Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa,
mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan. Ada beberapa
model perdagangan internasional diantaranya:
a. Model Ricardian
Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin
merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam
Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang
mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini
memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh
dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian
tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh
dan modal dalam negara.
b. Model Heckscher-Ohlin
Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan
dasarkelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model
ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan
teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme
harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.
Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan
oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-
negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor
pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor
lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal
sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang
menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang
buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
c. Faktor Spesifik
Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah
mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor
spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari
produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori
mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor
produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai
tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan
modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk
pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan
bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam
pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk
memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
Jangan dipercaya,bohong tu.
d. Model Gravitasi
Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris
dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi,
pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan
interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi
Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik di antara dua benda.
Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor
lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan
juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.
2. Manfaat perdagangan internasional

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri


Banyak faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.
Faktor-faktor tersebut di antaranya : Kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan iptek dan
lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi


Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh
keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara
lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut
dari luar negeri.
3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)
dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang
mengakibatkan turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional,
pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan
produk tersebut keluar negeri.
4. Transfer teknologi modern Perdagangan luar negeri
Memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien
dan cara-cara manajemen yang lebih modern.

3. Faktor pendorong
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan
perdagangan internasional, diantaranya sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
2. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara

3. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam


mengolah sumber daya ekonomi.
4. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual
produk tersebut.
5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan
jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya
keterbatasan produksi.
6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
7. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
8. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

SIMPULAN
Ada beberapa kemungkinan peningkatan produktivitas melalui
hubungan internasional ini. Diantara ketiga sumber peningkatan produktivitas
yaitu Economies of scale, teknologi baru dan rangsangan persaingan. Salah satu
mendapatkan penekanan dan perhatian khusus dari Negara sedang berkembang
yaitu teknologi baru. Masalah pemindahan teknologi atau transfer of technologi dari
Negara maju ke negar sedang berkembang merupakan topik yang paling banyak
diperbincangkan baik dikalangan keilmuan maupun perundingan internasional antara
kelompok Negara sedang berkembang dengan kelompok Negara maju. Pemindahan
teknologi dilihat sebagai salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan di negara
yang sedang berkembang. Sampai berapa jauhkan Negara sedang berkembang
dapat memperoleh manfaat teknologi baru melalui perdagangan internasional,
modal asing dan bantuan luar negari? Yang mencakup :
a. Seberapa jauhkah produsen dan pelaku-pelaku ekonomi di dalam negeri siap untuk
menerima teknologi baru tersebut? Hal ini menyangkut bukan hanya keterampilan dan
pengetahuan minimal yang harus lebih dulu dimiliki oleh para produsen, buruh didalm
negeri tetapi juga berkaitan dengan kesiapan mereka dan dengan ada – tidaknya
lingkungan yang menunjang pengalihan teknologi tersebut. Ketidaksiapan dari pihak
penerima merupakan faktor penghambat meskipun negaraterkadang Negara sedang
berkembang tidak selalu mau mengakuinya dengan jujur.
b. Sampai berapa jauhkan Negara maju termasuk perusahaan asing yang beroperasi
dinegara tersebut bersedia untuk memberikan dan mengajar teknologi mereka kepada
Negara sedang berkembang? Kemauan dan kejujuran yang sungguh – sungguh dipihak
Negara maju merupakan syarat utama dari berhasilnya program pengalihan teknologi
ini. Itikad dari pihak Negara maju dan perusahaan – perusahaannya untuk menyebarkan
c. dan mengajarkan teknologinya juga perlu dipertanyakan, kalau kita lihat betapa
lambatnya proses “transfer of technologi ini berjalan dalam prakteknya.
d. Ada satu masalah lagi selain proses pengalihan teknologi itu sendiri yang perlu
diperhatikan. Masalai ini adalah mengenai sesuai tidaknya teknologi yang dialihkan
bagi kepentingan pembangunan Negara sedang berkembang. Teknologi yang
dikembangkan dinegara maju bersumber pada desakan dan keadaan dinegara tersebut.
Sedangkan kebutuhan dan keadaan dinegara sedang berkembang mungkin menuntut
teknologi yang berbeda. Sekarang orang mulai mempertanyakan apakah computer,
traktor – traktor besar, mesin serba otomatis memang teknologi yang diperlukan oleh
Negara yang sedang berkembang pada saat ini. Apakah tidak lebih efektif apabila
Negara maju membantu Negara sedang berkembang dalam pengembangan teknologi
terbaru yang langsung merupakan jawaban bagi kebutuhan Negara sedang berkembang
dan tidak hanya memberikan apa yang telah dikembangkan dinegara maju. Dari sini
muncul ide – ide mengenai pentingnya mengembangkan teknologi madya dan
sebagainya. Tetapi sampai saat ini belum ada jawaban yang tegas bagi pertanyaan
seperti ini dan belum ada kesepakatan diantara para ekonom sendiri.
e. Bagaimana dengan sumber peningkatan yang lain? Sayang bahwa kedua sumber ini
tidak memperoleh perhatian yang sepadan disbanding dengan sumber teknologi baru
tersebut. Kedua sumber ini pun tidak kalah pentingnya untuk peningkatan prodiktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

Ari Kunto, Suharsisni. 2002. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek Renike Cipta
Apple Yand. 2004. Ekonomi Internasiona. Edisi kelima. Erlangga. Jakarata Bamsiswayo,
Bambang. 1996.
IPS Ekonomi . Malang : IKIP Malang Kindarto, Hartatik. 2004. IPS Ekonomi.
Mojokerto : CV Sinar Mulya Pustaka Sugiono. 2012. Ekonomi Internasional BPFE.
Yogyakarta
Suradjiman, Toweula, Cristian. 1997. Ekonomi 2. Jakarta : Depdikbud.
Tambunan, Tulus. 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran; Teori dan
Temuan Empiris. Jakarta : LP3ES
Wijono. 2005. Ekonomi Internasional BPFE. Yogyakarta

HUBUNGAN ANTARA PERDAGANGAN INTERNASIONAL,


PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERKEMBANGAN INDUSTRI
KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA
Oleh : Rosnawati
Dosen : Petrio Renaldi, M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur
Abstraks
Di dalam konteks ekonomi terbuka, perdagangan internasional dalam hal ini adalah
ekspor dan impor, dan aliran dana antarnegara menjadi sesuatu yang tidak dapat dinafikan
perannya dalam pemberian kontribusi bagi pertumbuhan. Sedangkan untuk hubungan
keduanya terhadap perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia nampaknya hingga
saat ini belum ada yang

mencoba menelisik lebih jauh. Studi ini mencoba menganalisis pola hubungan antara
perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri keuangan dan
bisnis syariah di Indonesia dengan menggunakan metode Vector Auto Regression (VAR) dan
Vector Error Correction Model (VECM).

Hasilnya menunjukkan bahwa pola hubungan antara ekspor dan growth adalah bi-
directional causation yakni growth driven export dan export led growth. Begitu pula
variabel impor. Temuan lain yang menarik adalah bahwa ternyata booming industri syariah
belakangan ini tidak berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia secara
makro. Begitu pula fakta bahwa semakin besar growth Indonesia tidak diiringi dengan
semakin suburnya industri keuangan syariah. Oleh karena itu, syarat utama agar share
industri syariah Indonesia dapat tumbuh dan berkembang signifikan adalah perlu political
will dari pemerintah.

Keywords : Perdagangan Internasional, Growth, Keuangan Syariah

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Perdagangan internasional adalah merupakan sarana untuk melakukan
pertukaran barang dan jasa internasional. Dalam lima puluh tahun terakhir,
perdagangan internasional telah tumbuh dan berkembang secara drastis dan dalam
ukuran yang besar. Hal ini disebabkan oleh adanya kerjasama yang dilakukan oleh
berbagai negara untuk menghilangkan proteksi perdagangan dan adanya keinginan
untuk mempromosikan perdagangan barang dan jasa secara bebas. Perdagangan
internasional merupakan elemen penting dari proses globalisasi. Membuka
perdagangan dengan berbagai negara di dunia akan memberikan keuntungan dan
membawa pertumbuhan ekonomi dalam negeri, baik secara langsung berupa
pengaruh yang ditimbulkan terhadap alokasi sumber daya dan efesiensi, maupun
secara tidak lansung berupa naiknya tingkat investasi. Setiap bentuk hambatan dan
proteksi merupakan sumber distorsi pada perdagangan internasional yang harus
dihindari dan dihapuskan.
Pada tahun 1995 terbentuk organisasi perdagangan dunia WTO (World
Trade Organization). WTO berperan besar dalam mempromosikan perdagangan
bebas dalam proses globalisasi. Tujuan utama dari didirikanya WTO adalah untuk
mendorong dan mengembangkan liberalisasi perdagangan dan menyediakan sebuah
sistem perdagangan dunia yang aman. Disamping itu, WTO berperan besar dalam
menjalankan setiap aturan yang telah ditetapkan dalam setiap perjanjian
perdagangan dunia seperti Uruguay Round Second dan perjanjian pada
GATT(General Agreement on Tarriffs and Trade).
Salah satu konsekuensi dari lahirnya perjanjian dalam WTO adalah bahwa
setiap negara yang ada di dunia akan berada dalam level dan tingkat yang sama
dalam perdagangan internasional. Keadaan ini menjadikan negara-negara yang
sedang berkembang berada dalam skenario ekonomi global dan bersaing dengan
negara-negara maju. Liberalisasi perdagangan merupakan tantangan bagi negara-
negara miskin dan negara yang sedang berkembang untuk bisa mempertahankan
ekonominya dan ikutcdalam persaingan global (Afrinaldi, 2006).
Di dalam konteks perekonomian yang terbuka, perdagangan internasional,
dalam hal ini adalah ekspor dan impor, dan aliran dana antarnegara menjadi sesuatu
yang tidak dapat dinafikan perannya dalam pemberian kontribusi bagi pertumbuhan.
Bagi Indonesia, strategi export promotion telah dipilih dan dimulai pada awal tahun
1980- an (Krisharianto dan Hartono, 2007). Sedangkan untuk hubungan keduanya
terhadap perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia nampaknya hingga
saat ini belum ada yang melihat pola hubungannya. Oleh karenanya, penulisan paper
ini menjadi hal yang cukup penting untuk dilakukan.

Tujuan Penulisan
Studi ini akan mencoba melihat pola hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, perdagangan internasional dan juga dampaknya terhadap perkembangan
industri keuangan syariah di Indonesia. Pola hubungan antara ketiganya menjadi
penting, mengingat bahwa Indonesia setelah keterpurukan ekonominya berusaha
bangkit untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimal. Dengan
diketahuinya pola hubungan tersebut maka akan didapatkan masukan bagi
penentuan strategi kebijakan yang akan di ambil untuk pencapaian tingkat
pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Begitu pula kaitannya dengan pangsa
keuangan syariah yang pada saat keadaan krisis ekonomi global ini menjadi barang
yang ‘laku’ dijual.

Data dan Metodologi


Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berupa Vector Autoregression
(VAR) yang dilanjutkan dengan Vector Error Correction Model (VECM), apabila
terdapat kointegrasi. Sebelumnya, data yang tersedia akan melalui beberapa uji, yakni: uji
unit root, uji stabilitas model dan uji kointegrasi. Kurun waktu yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Januari 2003 sampai dengan Desember 2008. Data yang digunakan
berupa data bulanan yang diambil dari berbagai institusi, terutama Bank Indonesia.

TINJAUAN LITERATUR
A. Teori Perdagangan Internasional
Secara etimologis, perdagangan adalah segala bentuk kegiatan menjual dan
membeli barang atau jasa di suatu tempat, yang di sana terjadi keseimbangan antara
kurva permintaan dengan penawaran pada satu titik yang biasa dikenal dengan nama
titik ekuilibrium. Sedangkan internasional berarti dunia yang luas dan global, bukan
parsial ataupun satu kawasan tertentu.
Maka, perdagangan internasional dapat diartikan, sejumlah transaksi
perdagangan/ jual beli di antara pembeli dan penjual (yang dalam hal ini satu negara
dengan negara lain yang berbentuk ekspor dan impor) pada suatu pasar, demi
mencapai keuntungan yang maksimal bagi kedua belah pihak.
Beberapa ratus tahun yang lalu, aliran Merkantilis mengira bahwa
perdagangan internasional merupakan transaksi untung-rugi atau win-lose deal.
Menurut aliran ini, ekspor adalah sesuatu yang menguntungkan (win) sedangkan
impor adalah sebuah hal yang merugikan (lose) sehingga negara harus mengejar
ekspor dan menghindari impor.
Namun, sejak permulaan abad ke-19, para ekonom pasar berpendapat
sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa perdagangan internasional merupakan
transaksi yang saling menguntungkan atau win-win deal, karena beberapa alasan
berikut:
1. Perdagangan internasional menyangkut dua transaksi ketika dua negara saling
melakukan ekspor dan impor yang saling menguntungkan. Sebagai contoh, jika
Indonesia sama sekali tidak mengimpor barang dari Australia, maka Australia pun
tidak dapat membeli barang yang kita ekspor ke negara tersebut, karena Australia tidak
memiliki uang rupiah. Uang rupiah ini baru diperoleh jika Australia mengekspor barang
atau jasa ke Indonesia.
2. Perdagangan internasional memberikan keanekaragaman barang dan jasa. Kita
dapat membayangkan jika Indonesia tidak mempunyai hubungan perdagangan
internasional dengan negara lain di dunia. Keanekaragaman barang dan jasa yang
diperdagangkan di pasar dalam negeri Indonesia akan sangat terbatas. Misalnya, kita
tidak menemui komputer buatan Amerika, tidak ada jam tangan buatan Swiss, atau
mobil dari Jepang. Sekalipun Indonesia dapat mengembangkan industri substitusi
impor untuk memproduksi mobil sendiri, biaya produksinya akan melebihi harga mobil
impor dari Jepang.
3. Perdagangan internasional dapat mendatangkan efisiensi. Suatu negara yang
mencoba memenuhi segala kebutuhan barang dan jasanya sendiri (self-sufficient
economies) tidak akan mencapai efisiensi dalam perekonomiannya. Hanya dengan
perdagangan internasional, maka efisiensi dapat dihasilkan dan kedua negara akan
saling mendapat keuntungan karena faktor-faktor berikut: aneka sumber daya alam,
skala ekonomi, dan perbedaan selera. Ketiga faktor tersebut merupakan pandangan
umum (common views) yang menjelaskan mengapa perdagangan internasional antara
dua negara dapat saling mendatangkan keuntungan. Selain pandangan umum ini, masih
ada pandangan spesifik (specific views) yang menjelaskan mengapa perdagangan
internasional harus terjadi dan tidak dapat dielakkan. Pandangan spesifik tersebut
adalah spesialisasi.

B. Perdagangan Internasional dan Pertumbuhan Ekonomi


Salvatore menyatakan bahwa perdagangan dapat menjadi mesin bagi
pertumbuhan (trade as engine of growth, Salvatore, 2004). Jika aktifitas
perdagangan internasional adalah ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen
tersebut atau kedua-duanya dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan.
Tambunan dalam Krisharianto dan Hartono (2007) menyatakan pada awal tahun
1980-an Indonesia menetapkan kebijakan yang berupa export promotion. Dengan
demikian, kebijakan tersebut menjadikan ekspor sebagai motor penggerak bagi
pertumbuhan.
Bagi sebuah bangsa atau negara, pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi
seperti yang direncanakan atau diperkirakan, keberhasilan mengurangi angka
pengangguran dan menciptakan stabilisasi inflasi merupakan suatu ukuran
keberhasilan kebijakan dalam perekonomian negara tersebut. Oleh karena hal
tersebut, maka negara-negara berusaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang optimal dengan cara melakukan berbagai kebijakan dalam
perekonomian. Dalam rangka pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan tentunya akan ada sektor-sektor yang akan menjadi motor penggerak
bagi pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa hal atau komponen pembentuk Gross Domestic Product
(GDP) yang dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi atau
peningkatan GDP. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemerintah suatu negara tentunya diupayakan untuk menciptakan situasi dan
kondisi yang mampu membuat beberapa hal atau komponen, yang diyakini dapat
menjadi motor penggerak bagi peningkatan GDP, mencapai kondisi optimal
sehingga pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dapat dicapai.

Penelitian Terdahulu
Setelah dilakukan studi dan pencarian literatur, berikut ini adalah beberapa
kajian terdahulu perihal tema yang bersinggungan dengan perdagangan
internasional, pertumbuhan ekonomi dan dampaknya secara umum terhadap
perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia. Umpamanya yang dilakukan
oleh Krisharianto dan Hartono (2007) tentang pola hubungan antara perdagangan
internasional, growth dan foreign direct investment (FDI). Hasil penelitian yang
diperoleh menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara ekspor dan
pertumbuhan ekonomi adalah bi-directional causation yaitu growth driven export
dan export led growth. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi dan perdagangan
internasional menyebabkan atau mempengaruhi FDI, hal ini menunjukkan bahwa
dari sisi ekonomi peningkatan FDI ke Indonesia sangat dimungkinkan; untuk impor
dan pertumbuhan ekonomi hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi menyebabkan
impor.
Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Salomo dan Hutabarat pada
tahun 2007. Penelitian ini mencoba untuk menginvestigasi variabel-variabel yang
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Melalui analisis
perilaku variabelvariabel yang signifikan tersebut dapat diidentifikasi faktor-faktor
apakah yang secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada
beberapa tahun terakhir.
Hasil estimasi model penelitian menunjukkan dalam jangka panjang Ekspor,
Impor, Nilai Tukar Real, Jumlah Pekerja dan Krisis berpengaruh signifikan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa Ekspor adalah mesin dari Pertumbuhan Ekonomi atau Export Led Growth,
Nilai Tukar Real adalah salah satu faktor daya saing, Tenaga Kerja adalah faktor
produksi yang dominan pada perekonomian Indonesia.
Sementara Nongsina dan Hutabarat (2007) mencoba melihat pengaruh
kebijakan liberalisasi perdagangan terhadap laju pertumbuhan ekspor-impor
Indonesia. Kesimpulannya menyebutkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan
dalam jangka pendek menyebabkan laju pertumbuhan impor lebih cepat daripada
ekspor. Kendala ekspor Indonesia lebih banyak disebabkan oleh kendala dari sisi
penawaran. Adapun literatur yang mengamati pola keterkaitan hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan bisnis dan industri keuangan syariah
amat sulit ditemukan. Kecuali tulisan dari Susamto dan Cahyadin (2008) yang
mengukur seberapa besar implikasi praktik ekonomi Islam di Indonesia terhadap
kondisi perekonomian makro secara umum. Berdasarkan sejumlah riset empiris
yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan awal bahwa, dalam batas tertentu,
praktik ekonomi islami telah membawa pengaruh positif bagi upaya menggerakkan
perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan.

Data Dan Metodologi


Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder berupa time series
bulanan yang didapat dari Statistika Ekonomi dan Keuangan Indonesia pada Bank
Indonesia (SEKI-BI) dan Biro Pusat Statistik (BPS). Seluruh data dimulai dari
periode Bulan Januari 2003 hingga Desember 2008. Sebagai variabel dependen
yakni perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia, diproksi dengan
jumlah aset perbankan syariah minus BPRS. Perdagangan internasional diproksi
menggunakan jumlah volume ekspor impor Indonesia. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi adalah persen growth Indonesia selama periode penelitian.

Metode Estimasi
Permasalahan dalam studi ini akan dianalisis dengan memakai
VectorAutoregression. Secara sederhana, VAR menggambarkan hubungan yang
“saling menyebabkan” (kausalistis) antarvariabel dalam sistem, dengan
menambahkan intercept. Metode ini mulai dikembangkan oleh Sims pada tahun
1980 (Hasanah, 2007) yang mengasumsikan bahwa semua variabel dalam model
bersifat endogen (ditentukan di dalam model) sehingga metode ini disebut sebagai
model yang ateoritis (tidak berdasar teori).
Apabila data yang digunakan stasioner pada perbedaan pertama maka model
VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error
Correction Model (VECM). Analisis impulse response function dilakukan untuk
melihat respon suatu variabel endogen terhadap guncangan variabel lain dalam
model. Variance decomposititon analysis juga dilakukan untuk melihat kontribusi
relatif suatu variabel dalam menjelaskan variabilitas variabel endogenusnya.
Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Microsoft Excel 2003
dan program Eviews 4.1. Selanjutnya tahapan-tahapan dalam analisis VAR akan
dijelaskan seperti pada gambar berikut di bawah ini :
Gambar 3.1. Proses dalam Analisis VAR
Sumber: Ascarya, et al. (2008)

a. Uji Stasioneritas
Data ekonomi time series umumnya bersifat stokastik atau memiliki tren yang
tidak stasioner, artinya data tersebut memiliki akar unit. Untuk dapat mengestimasi
suatu model menggunakan data tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah pengujian stasioneritas data atau dikenal dengan unit root test. Jika data yang
digunakan mengandung unsur akar unit, maka akan sulit untuk mengestimasi suatu
model karena tren data tersebut cenderung berfluktuasi tidak di sekitar nilai rata-
ratanya. Maka dapat disimpulkan bahwa data yang stasioner akan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya dan befluktuasi di sekitar nilai rata-
ratanya (Gujarati, 2003). Lebih khusus, penelitian ini akan menggunakan Augmented
Dickey-Fuller (ADF) test dan Phillips-Perron (PP) untuk menguji stasioneritas
masing-masing variabel. Hasil dari uji ADF dan PP akan dibandingkan dengan
McKinnon Critical Value.

b. Pemilihan Lag Optimum


Penentuan jumlah lag (ordo) yang akan digunakan dalam model VAR dapat
ditentukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz
Information Criterion (SC) ataupun Hannan Quinnon (HQ). Lag yang akan dipilih
dalam model penelitian ini adalah model dengan nilai HQ yang paling kecil. Dalam
tahapan ini pula dilakukan uji stabilitas model VAR. Penentuan lag optimum dan uji
stabilitas VAR dilakukan terlebih dahulu sebelum melalui tahap uji kointegrasi.

c. Uji Kointegrasi
Jika fenomena stasioneritas berada pada tingkat first difference atau I(1), maka
perlu dilakukan pengujian untuk melihat kemungkinan terjadinya kointegrasi.
Konsep kointegrasi pada dasarnya untuk melihat keseimbangan jangka panjang di
antara variabel-variabel yang diobservasi. Terkadang suatu data yang secara
individu tidak stasioner, namun ketika dihubungkan secara linier data tersebut
menjadi stasioner. Hal ini yang kemudian disebut bahwa data tersebut
terkointegrasi. Selain itu, uji kointegrasi juga akan dilakukan dengan mengikuti
prosedur Johansen. Dalam uji Johansen, penentuan kointegrasi dilihat dari nilai
trace statistic dan max eigen statistic setelah didahului dengan mencari panjang lag
yang akan diketahui. Nilai trace statistic dan max eigen statistic yang melebihi nilai
kritisnya mengindikasikan bahwa terdapat kointegrasi dalam model yang digunakan.

d. Vector Error Correction Model (VECM)


VECM adalah bentuk Vector Autoregression yang terestriksi. Restriksi
tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner
namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi
kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut
desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Setelah
diketahui adanya kointegrasi maka proses uji selanjutnya dilakukan dengan
menggunakan metode error correction. Jika ada perbedaan derajat integrasi
antarvariabel uji, pengujian dilakukan secara bersamaan (jointly) antara persamaan
jangka panjang dengan persamaan error correction, setelah diketahui bahwa dalam
variabel terjadi kointegrasi. Perbedaan derajat integrasi untuk variabel yang
terkointegrasi disebut Lee dan Granger (Hasanah, 2007) sebagai multicointegration.
Namun jika tidak ditemui fenomena kointegrasi, maka pengujian dilanjutkan dengan
menggunakan variabel first difference.

e. Instrumen Vector Error Correction Model


Dalam melakukan analisisnya, VAR memiliki instrumen spesifik yang
memiliki fungsi spesifik dalam menjelaskan interaksi antarvariabel dalam model.
Instrumen itu meliputi Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error
Variance Decompisitions (FEVD), atau biasa disebut Variance Decompisitions
(VD). IRF merupakan aplikasi vector moving average yang bertujuan melihat
seberapa lama goncangan dari satu variabel berpengaruh terhadap variabel lain.
Sedangkan VD dalam VAR berfungsi untuk menganalisis seberapa besar goncangan
dari sebuah variabel mempengaruhi variabel lain.

Hasil Dan Analisis


Hasil Uji Stasioneritas Data
Seperti yang tadi telah disebutkan, metode pengujian yang digunakan untuk melakukan
uji stasioneritas data dalam penelitian ini adalah uji ADF (Augmented Dickey Fuller) dan
Phillips-Perron dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika nilai t- ADF dan t-PP lebih
kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah
stasioner (tidak mengandung akar unit). Dalam tabel berikut terlihat bahwa seluruh variabel
telah mengalami stasioner pada turunan pertama.
Tabel 4.1. Hasil Uji Akar Unit

Catatan: Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf 5%

Penetapan Lag Optimum


Pengujian panjang lag optimum ini sangat berguna untuk menghilangkan
masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag
optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan lag optimal
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lag terpendek dengan
menggunakan Hannan Quinnon (HQ). Hasilnya menunjukkan bahwa model
persamaan mengalami lag optimal pada lag 2 (Tabel 4.2).
Tabel 4.2. Hasil Uji Lag Optimum

Catatan: Tanda asterik (*) menunjukkan HQ terkecil

Hasil Uji Stabilitas VAR


Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lebih
jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model
koreksi kesalahan tidak stabil, maka Impulse Response Function dan Variance
Decomposition menjadi tidak valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau
tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi
VAR stability berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR
dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu
(Gujarati, 2003). Berdasarkan uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa estimasi
VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan VD sudah stabil pada lag
optimalnya dengan kisaran modulus 0.189801-0.960722.

Hasil Uji Kointegrasi


Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka
panjang antarvariabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi
yaitu di mana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat 1,
I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank
kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan
dari keseluruhan sistem yang ada. Hasil pengujian kointegrasi berdasarkan trace
statistics menunjukkan bahwa terdapat dua rank kointegrasi pada taraf nyata lima
persen.

Tabel 4.3. Hasil Uji Kointegrasi


Analisis Impulse Response Function
Setelah melalui serangkaian uji pra-estimasi, yakni uji akar unit, penentuan
optimum lag, uji stabilitas VAR hingga uji kointegrasi, dan faktanya terdapat dua
rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen dalam model ini, maka penghitungan
dilanjutkan pada tahap selanjutnya yakni VECM. Estimasi VECM dilakukan untuk
melihat analisis jangka panjang dan pendek. Berikut ini disajikan simulasi analisis
Impulse Response.
Gambar IRF menunjukkan bahwa variabel growth merespon positif
terhadap guncangan variabel LNEXPO (ekspor) sebesar satu standar deviasi.
Artinya, semakin tinggi jumlah ekspor Indonesia, akan semakin meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Kesimpulan ini bertepatan dengan
hasil penelitian yang dilakukan Krisharianto dan Hartono (2007) yang
mengungkapkan istilah bi-directional causation yakni growth driven export dan
export led growth.
Hasil lain dalam analisis IRF memperlihatkan bahwa, guncangan variabel
LNIMP (import) juga direspon positif oleh tingkat growth Indonesia. Artinya,
semakin besar tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan semakin menambah
kemampuan dan volume impor yang mungkin dilakukan. Sederhananya, semakin
banyak uang yang dimiliki seseorang, akan semakin menambah kemampuan
belanjanya. Sementara guncangan variabel industri keuangan syariah (LNBS)
direspon negatif oleh variabel growth. Kondisi ini dapat dipahami mengingat saat
ini pangsa industri keuangan syariah secara keseluruhan –mencakup industri
perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi, zakat, dll, hanyalah 1.6 persen
saja dibanding superiornya industri finansial konvensional di Indonesia. Sehingga,
tidak sepenuhnya tepat klaim yang mengatakan bahwa ‘ekonomi syariah telah
berhasil secara signifikan menyumbang pertumbuhan perekonomian Indonesia’.
Hal terakhir yang menarik untuk diamati adalah pola hubungan antara growthindustri
keuangan syariah. Faktanya, semakin besar growth Indonesia tidak diiringi dengan semakin
suburnya industri keuangan syariah. Termasuk juga variabel zakat yang terhitung hanya
0.1% dibanding instrumen pajak sebagai alat fiscal negara. Tidak seperti negara Malaysia
yang saat ini terhitung 18% porsi bank syariah dibanding perbankan umumnya. Ini
diindikasi dari kurangnya political will pemerintah dalam mengembangkan secara sungguh-

sungguh ekonomi berbasis keadilan ini.


Gambar 4.1. Pola Hubungan Growth-InterTrade-Industri Syariah

Analisis Variance Decomposition


Setelah menganalisis perilaku dinamis melalui impulse response, selanjutnya
akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition. Seperti dapat
dilihat pada Gambar 4.2., fluktuasi growth (GRW) dipengaruhi paling dominan
oleh growth itu sendiri, sedangkan LNEXPO (ekspor) berada pada urutan kedua
mulai dari periode ke-3 hingga periode ke-36. Sedangkan variabel industri keuangan
syariah (LNBS) dan impor (LNIMP) tidak terlalu mempengaruhi variabilitas
growth.

Pada periode pertama, fluktuasi variabel growth (GRW) dipengaruhi oleh guncangan growth itu
sendiri sebesar 100 persen. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh
guncangan growth itu sendiri semakin menurun mempengaruhi variabilitas pertumbuhan
ekonomi, tetapi masih sangat dominan. Sedangkan variabel LNEXPO (ekspor) mulai
berperan besar kedua. Pada periode ke-36, variabilitas growth dapat dijelaskan oleh variabel
LNEXPO sebesar 40 persen. Sementara itu, LNBS dan LNIMP hanya berkontribusi sebesar
4.4 dan 2.2 persen.

Kesimpulan Dan Rekomendasi


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pola hubungan
antara perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri
keuangan syariah di Indonesia, diperoleh beberapa kesimpulan, yakni:
a. Jika melihat struktur dekomposisi varian, variabel-variabel dalam model yang
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia (GRW) berturut-turut adalah:
variabel growth itu sendiri sebesar 53.6%, variabel ekspor/LNEXPO (sebesar 40%),
LNBS (4.4%), kemudian LNIMP (2.2 %). Hasil ini menunjukkan bahwa ekspor
menjadi kontributor terbesar dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal ini selaras dengan simpulan dari beberapa riset terdahulu terkait tema yang sama.
Dalam analisis IRF, variabel growth merespon positif guncangan variabel ekspor. Artinya,
semakin tinggi jumlah ekspor Indonesia, akan semakin meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Kesimpulan ini bertepatan dengan hasil penelitian yang
dilakukan Krisharianto dan Hartono (2007). Dengan kata lain, pola hubungannya adalah bi-
directional causation yakni growth driven export dan export led growth. Guncangan variabel
impor juga direspon positif oleh tingkat growth Indonesia. Artinya, semakin besar tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia, akan semakin menambah kemampuan dan volume impor
yang mungkin dilakukan.
b. Variabel industri keuangan syariah ternyata direspon negatif oleh variabel growth.
Artinya, booming industri syariah belakangan ini tak berkorelasi positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia secara makro. Kondisi ini dapat dipahami mengingat
saat ini pangsa industri keuangan syariah secara keseluruhan –mencakup industri
perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi, zakat, dll, hanyalah 1.6 persen saja
dibanding superiornya industri keuangan konvensional di Indonesia.
c. Hal terakhir yang menarik untuk diamati adalah pola hubungan antara growthindustri
keuangan syariah. Faktanya, semakin besar growth Indonesia tidak diiringi dengan
semakin suburnya industri keuangan syariah. Semenjak 1992 ditandai dengan lahirnya
bank syariah pertama hingga saat ini, pangsa aset bank syariah hanyalah 2 persen saja.
Tidak seperti negara Malaysia yang saat ini terhitung 18% porsi bank syariah dibanding
perbankan umumnya. Ini diindikasi dari kurangnya political will pemerintah dalam
mengembangkan secara sungguh-sungguh ekonomi berbasis keadilan ini.

Rekomendasi
Adapun beberapa rekomendasi yang dapat penulis berikan ialah:
a. Berkaitan dengan pola hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia yang mencerminkan export led growth dan growth driven export,
menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mampu menjadi motor penggerak bagi
pertumbuhan. Oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan peran ekspor dalam
pembentukan GDP, karena sampai dengan tahun 2005 ekspor hanya menempati urutan
kedua dalam pembentukan GDP dan masih di bawah konsumsi rumah tangga.
b. Selayaknya pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan sebagai lembaga
pengelola fiscal maupun Bank Indonesia selaku otoritas moneter, memiliki political
will dalam pengembangan industri keuangan syariah Indonesia. Karena tanpa itu,
industri yang tergolong infant ini tidak akan mampu berbuat banyak. Dalam hal ini,
baik jika mencontoh Malaysia.
c. Terdapat kekurangan dalam riset ini, diantaranya adalah: kekurangtepatan proksi yang
digunakan. Misalnya, industri keuangan syariah yang diproksi dengan data jumlah aset
perbankan syariah nasional. Padahal kita tahu, industri syariah adalah bukan hanya
bank syariah an sich. Ada beberapa yang lain seperti pasar modal, asuransi, zakat,
wakaf, dan lain-lain. Di masa mendatang, kekurangan ini agar dapat disempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrinaldi, 2006, Penerapan Uang Dinar dalam Perdagangan Internasional dan
Pengaruhnya terhadap Sistem Moneter Indonesia. Skripsi pada Sekolah Tinggi
Ekonomi Islam Tazkia, Bogor.

Ascarya, 2007, Sistem Keuangan dan Moneter Islam, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia.

Ascarya, Hasanah, Heni dan N.A. Achsani, (2008), “Permintaan Uang dan Stabilitas
Moneter dalam Sistem Keuangan Ganda di Indonesia,” Paper dipresentasikan pada
“Seminar dan Kolokium Nasional Sistem Keuangan Islam II”, Bandung, Indonesia,
6 September 2008.
Djohanputro, Bramantyo, 2006, Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit PPM.

Gujarati, Damodar, 2003, Ekonometrika Dasar, Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Hasanah,


Heni, 2007, Stabilitas Moneter pada Sistem Perbankan Ganda di Indonesia,

Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor: tidak
diterbitkan.
Krisharianto, Josef dan Hartono, Djoni, (2007), “Kajian Hubungan Antara Pertumbuhan
Ekonomi, Perdagangan Internasional dan Foreign Direct Investment”, Kertas
Kerja dipresentasikan pada “Seminar Akademik Ekonomi”, Jakarta 13 Desember 2007.
Mankiw, N. Gregory, 2003, Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Nikmawati, Khulailatun, 2007, Mekanisme Transmisi Melalui Sharia Financing, Analisis
Vector Autoregression (Studi Kasus Negara Malaysia). Skripsi pada Program Studi
Ilmu Ekonomi Syariah STEI Tazkia Bogor: tidak diterbitkan.

Nongsina, Flora Susan dan Hutabarat Pos M, (2007), “Pengaruh Kebijakan Liberalisasi
Perdagangan terhadap Laju Pertumbuhan Ekspor-Impor Indonesia”, Kertas Kerja
dipresentasikan pada “Seminar Akademik Ekonomi”, Jakarta 13 Desember 2007.
Rusydiana, Aam Slamet, (2007), “Perdagangan Internasional: Komparasi Konsep Ekonomi
Modern dan Ekonomi Islam”, tugas mata kuliah Ekonomi Internasional pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Syariah STEI Tazkia Bogor.
Salomo, Ronny, dan Hutabarat Pos M, (2007), “Peranan Perdagangan Internasional sebagai
Salah Satu Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, Kertas Kerja
dipresentasikan pada “Seminar Akademik Ekonomi”, Jakarta 13 Desember 2007.
Salvatore, Dominick, 2004, Ekonomi Internasional, Jakarta: Erlangga.

Setiawan, Hapid, 2007, Analisis Faktor Dominan Penyebab Inflasi di Indonesia


dan Beberapa Penyelesaiannya Menurut Ekonomi Islam, Skripsi pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Syariah STEI Tazkia Bogor: tidak diterbitkan.

Susamto, Akhmad Akbar dan Cahyadin, Malik, (2008), “Praktik Ekonomi Islam di
Indonesia dan Implikasinya terhadap Perekonomian”, Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah
vol 5, 2008.
ANALISIS PENGARUH PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Oleh : Rosnawati
Dosen Pengampu : Petrio Renaldi, M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh ekspor dan impor
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan untuk menentukan strategi pen-ingkatan
nilai ekspor Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi
linier berganda dan analisis SWOT. Metode regresi linier berganda untuk menghitung
besarnya pengaruh ekspor dan impor terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan
analisis SWOT digunakan untuk menentukan strategi peningkatan nilai ekspor Indonesia.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode regresi linier berganda
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara ekspor terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dan terdapat pengaruh yang negatif antara impor terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia, yang harus dilakukan adalah
diversifikasi produk industri, peningkatan produksi pertanian, perkebunan, eksplorasi
sumber daya emas, teknologi tepat guna, modernisasi manejemen, memberikan bantuan
promosi dan keringanan pajak bagi eksportir, serta meningkatkan daya saing produk.
Kata Kunci : Ekspor, Impor, pertumbuhan ekonomi

PENDAHULUAN
Perdangangan Internasional sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Jika suatu negara lebih banyak melakukan ekspor dari pada impor maka pendapatan
nasional negara tersebut akan naik sehingga nantinya akan ber-pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Keuntungan perdagangan internasional adalah memungkinkan
suatu negara untuk berspesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa yang murah,
sehingga dapat mengekspor ke luar negeri. Manfaat dari perdagangan internasional dapat
berupa kenaikan pendapatan negara, ca-dangan devisa, transaksi modal dan bertambahnya
kesempatan kerja.
Menurut data perkembangan ekspor Indonesia mulai tahun 2011-2015 mengalami
penurunan. Berdasarkan grafik di bawah ini, dalam kurun waktu 2011-2015, nilai ekspor
Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya dari 203.496,60 juta US$ menjadi
150.252,50 juta US$ pada tahun 2015 yang lalu. Dengan demikian berarti selama tahun
2011-2015, penurunan nilai ekspor Indonesia adalah sebesar 26,16%.
Gambar 1.1 : Perkembangan Ekspor Indonesia Tahun 2011-2015
Sumber : Data diolah berdasarkan data Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (2017)
Menurut BPS, komotidi unggulan ekspor Indonesia adalah di sektor Non-Migas. Sedangkan,
untuk sektor Migas sendiri, perkembangannya masih sangat rendah.
Berikut ini menunujukkan perbandingan Nilai Ekspor Migas dan Non-Migas 2011-
2015 di Indonesia (juta US$)

Gambar 1.2 : Perkembangan Ekspor Migas dan Non Migas Indonesia Tahun 2011-2015

Sumber : Data diolah berdasarkan data Kementerian Perdagangan 201


Berdasarkan gambar di atas menunjukkan nilai ekpor non migas Indonesia juga
mengalami penurunan, pada tahun 2011 nilai ekspor non migas 162.020 juta US$ dan pada
tahun 2015 menjadi 13.791,90 juta US$. Begitu juga dengan nilai ekspor migas juga
mengalami penurunan, pada tahun 2011 nilai ekspor migas Indonesia 41.477 juta US$ dan
pada tahun 2015 menjadi 18.574,50 US$.
Untuk perkembangan nilai impor sendiri, terjadi fluktuasi nilai dari tahun 2011-
2015. Yang artinya, masih ada peningkatan dalam tahun tertentu. Berdasarkan kurun waktu
2011-2015, nilai impor tertinggi berada pada tahun 2012, namun setelah itu kembali terjadi
penurunan hingga mencapai titik terendah di tahun 2015, yaitu sebesar 142.739,60. US$.

Gambar 1.3 : Perkembangan Impor Indonesia Tahun 2011-2015

Sumber : Data diolah berdasarkan data Kementrian Perdagangan Republik Indonesia


(2017)

Gambar 1.4 : Perbandingan Nilai Impor Migas dan Non Migas Tahun 2011-2015 di Indonesia (juta
US$)

Sumber : Data diolah berdasarkan data Kementerian Perdagangan 2017

Jika dilihat dalam grafik perbandingan nilai ekspor impor Indonesia selama tahun
2011- 2015, maka dapat disimpulkan bahwa necara perdagangan Indonesia tahun 2011 dan
2015 surplus karena nilai ekspor melebihi impor. Sedangkan un-tuk tahun 2012-2014
neraca perdagangan Indonesia defisit karena nilai Impor lebih besar dari pada ekspor.

1
Gambar 1.5 : Perbandigan Ekspor Impor Tahun 2011-2015

Sumber : Data diolah berdasarkan data Kementrian Perdagangan Republik Indonesia


(2017)

Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2011-2015


mengalami penurunan. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia 6, 2%, kemudian
turun menjadi 6% pada tahun 2012, hingga pada tahun 2015 menjadi 4,8 %.

Tabel 1.1 : Pendapatan Nasional Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-
2015
Tahun Pendapatan Nasi Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia (milyar rupi Indonesia (%)
2011 7287635,3 6,2
2012 7727083,4 6
2013 8156497,8 5,6
2014 8566271,2 5
2015 8976931,5 4,8
Sumber : Data diolah, 2017

Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian


“Analisis Pengaruh Perdagangan Internasional Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ”
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan
identifikasi masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh impor terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia?
3. Strategi apa yang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia?
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan

2
ekonomi Indonesia
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh impor terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia
3. Untuk menentukan strategi peningkatan nilai ekspor Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Mankiw (2008) menyatakan bahwa perdagangan antar negara di dunia
berdasarkan keunggulan komparatif, artinya adalah perdagangan tersebut menguntungkan
karena membuat setiap negara melakukan spekulasi
Menurut Sukirno (2010), pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai
perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang
akan diproduksi oleh masyarakat mengalami peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sebagai kenaikan PDB riil suatu negara
pada tahun tertentu yang menunjukkan naiknya pendapatan perkapita dalam perekonomian
(Mankiw, 2008)
Pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan output total dalam jangka panjang
tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih kecil atau lebih besar dari jumlah
pertumbuhan penduduk yang diikuti oleh perubahan struktur perekonomian atau tidak
(Afandi, 2014).
Exports are an important source of income and an engine of growth, so a successful
export drive stimulates a positive multiplier effect on the econ-omy with important
feedback effects. Ajmi, Ayeb, Balcilarc and Guptad (2013) testing for causality between
exports and economic growth in South Africa using linear and non-linear tests, found a
coin-tegrating relationship between the two, and unidi-rectional causality from GDP to
exports.

Romer, Lucas and Svensson as cited in Chen (2013) argued that international trade
can promote economic growth through technology spill over and external stimulation.

However the relationship between trade and growth does not however establish a
cause and effect, because as economies grow, they trade more and become more open
(Chatterji, Mohan & Das-tidar, 2013).

Mishra (2012) claims that empirical evidence on the nexus between imports and
economic growth is rather mixed and inconclusive. If increased GDP is always the source
of finance for imports then they can constrain growth and can have a negative impact on
economic growth.

METODE PENELITIAN
Metode pada penelitian ini adalah metode regresi linier berganda. Adapun
model persamaan yang digunakan sebagai berikut :
Y= ß0+ß1X1+ß2X2
Dimana:
Y = Pertumbuhan Ekonomi
X1 = Ekspor
X2 = Impor

3
ßo = Konstanta
ß1 = Koefisien korelasi Ekspor
ß2 = Koefisien
korelasi Impor
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Kementrian
perdangangan Republik Indonesia dan BPS. Sedangkan teknik pengumpulan data yaitu
dengan membuka website instansi yang terkait. Analisis data yaitu dengan menggunakan
regresi linier berganda untuk menghitung besarnya pengaruh ekspor dan impor terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dan juga menggunakan analisis SWOT digunakan untuk
membuat kebijakan peningkatan nilai ekspor ber-dasarkan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki oleh Indonesia.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Data yang digunakan untuk regresi linier bergandanya adalah data skunder yaitu terdiri
dari nilai ekspor, nilai impor, PDRB, dan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
tahun 2011- 2015. Seperti terlihat pada tabel berikut ini :

Tabel 4.1 Nilai Ekspor, Nilai Impor, PDRB dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2011-
2015
Tahun Ekspor Impor PDRB Pertumbuhan
Ekonomi (%)
2011 203,5 177,4 7287635,3 6,2
2012 190 191,7 7727083,4 6
2013 182,6 186,6 8156497,8 5,6
2014 176,3 178,2 8566271,2 5
2015 150,4 142,7 8976931,5 4,8
Sumber : Data diolah, 2017

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode regresi linier berganda


menunjukkan bahwa ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu
sebesar 0,58. Dan impor berpengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia sebesar - 0,16. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang positif antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi dan terdapat hubungan
yang negatif antara impor dengan pertumbuhan ekonomi. Dan hasil penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa ekspor dan impor sangat berpengaruh dalam
pertumbuhan ekonomi.
Sehingga persamaan
regresinya Y =
43,550 + 0,58X1 -
0,16X2
Berikut ini hasil olahan data ekspor, impor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia
dengan menggunakan regresi linier berganda.
Hasil Perhitungan Analisis Regresi

4
Model Unstandardized Standardized T sig
coefficients coefficients
B Std. Beta
Error
Constant 43,550 154.600 .282 .805
Ekspor .022 .021 .585 1.042 .407
Impor .023 .081 -.159 -.284 .803

Analisis SWOT
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 238.518.800 jiwa sedangkan pada
tahun 2015 naik menjadi 255 461.700 jiwa. Sehingga dengan jumlah penduduk yang
banyak Indonesia memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan hasil produksinya.
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memberi kontribusi yang signifikan
dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2015, jumlah UMKM diperkirakan berjumlah
60,7 juta unit dan sebagian besar merupakan usaha berskala mikro (98,73 persen).
Pertumbuhan UMKM dalam periode 2011-2015 mencapai 2,4 persen, dengan
pertumbuhan terbesar terdapat pada usaha menengah yaitu sebesar 8,7 persen.
Produk ekspor Indonesia meliputi hasil produk pertanian, hasil hutan, hasil
perikanan, hasil pertambangan, hasil industri dan begitupun juga jasa. Hasil pertanian
meliputi karet, kopi kelapa sawit, cengkeh, teh, lada, kina, tembakau dan cokelat.
Sedangkan hasil hutan diantaranya kayu dan rotan. Ekspor kayu atau rotan tidak boleh
dalam bentuk kayu gelondongan atau bahan mentah, namun dalam bentuk barang setengah
jadi maupun barang jadi, seperti mebel.
Untuk hasil perikanan adalah ikan tuna, cakalang, udang dan bandeng. Sedangkan
untuk hasil pertambangan diantaranya ekspor timah, alumunium, batu bara tembaga dan
emas. Untuk hasil industri antara lain semen, pupuk, tekstil, dan pakaian jadi. Dalam
bidang jasa, Indonesia mengirim tenaga kerja ke luar negeri antara lain ke malaysia dan
negara-negara timur tengah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa barang-barang yang diekspor Indonesia masih
didominasi pada barang-barang mentah, sedangkan jenis barang ekspor industri jumlahnya
masih sedikit. Sementara jenis barang yang diiimpor oleh Indonesia adalah barang
konsumsi, bahan baku penolong, dan barang modal. Impor barang konsumsi terdiri dari
daging lembu beku, susu bubuk, beras khusus, apel dan anggur. Sedangkan impor bahan
baku penolong meliputi peralatan helikopter, kain katun. Kedelai, peralatan elektronik,
bagian peralatan elektronik. Untuk impor barang modal meliputi laptop, telepon, mesin
logam, penggilingan dan mesin air panas.
Berdasarkan hasil analisis SWOT, maka strategi yang digunakan untuk
meningkatkan hasil ekspor Indonesia adalah melalui diversifikasi produk industri,
peningkatan produksi pertanian, perkebunan, eksplorasi sumber daya emas, teknologi tepat
guna, modernisasi manejemen, memberikan bantuan promosi dan keringanan pajak bagi
eksportir, serta meningkatkan daya saing produk.

5
Gambar 4.1 Matriks SWOT
Faktor internal Kekuatan Kelemahan
1. Mempunyai sumber daya 1. Pembangunan yang
manusia yang banyak (lebih 255 tidak merata
juta jiwa) 2. Sumber daya alam
2. Mempunyai sumber daya alam banyak yang belum
yang dikelola dengan baik
belimpah (produk 3. Nilai impor yang tinggi
pertanian, perkebunan, tahun 2011-2015
Faktor eksternal perikanan, kehutanan,dan impor lebih besar dari
cadangan emas pada ekspor

Peluang SO WO
1. Peningkatan 1.Peningkatan kualitas sumber 1. Perbaikan sistem
pengelolaan daya manusia melalui pemerintahan sehingga
sumber daya pendidikan dan pelatihan pembangunan dapat
alam sehingga dapat dirasakan
dan kompetisi mengelola sumber daya lebih merata
sumber daya alam dengan baik 2. Dapat menekan nilai
manusia 2.Produk ukm lebih diorientasikan impor
2. Banyaknya untuk hasil ekspor dan
jumlah umkm tahun 3.Peningkatan nilai ekspor meningkatkan
2015 sekitar 60,7 juta melalui diversifikasi
unit produk, peningkatan nilai ekspor
3. Perbaikan produksi pertanian, perkebunan,
sistem pemerintahan eksplorasi sumber daya
di Indonesia emas
4.Memberikan bantuan promosi
dan keringanan pajak bagi
Eksportir

Ancaman ST WT
1. Kurangnya 1. Meningkatkan kerjasama antara 1. Modernisasi
kerjasama pelaku usaha dengan pemerintah manajemen sehingga
antara pelaku 2. Legalitas usaha 3.Para pelaku dapat memanfaatkan
usaha dengan usaha sumber daya
pemerintah harus dapat alam dengan lebih
2. Banyaknya mengembangkan produk yang baik
produk lebih 2. Mengurangi
impor mempunyai daya saing impor dengan cara
berdatangan 4.Teknologi tepat guna memperbanyak
produksi non migas di
yang kualitasnya lebih dalam negeri
baik 3. Meningkatkan
3. Dengan adanya daya saing
MEA akan membuat produk untuk
produk lokal tersaingi meningkatkan

6
nilai ekspor
Sumber : Data diolah, 2017

Berdasarkan hasil analisis SWOT, maka strategi yang digunakan untuk


meningkatkan hasil ekspor Indonesia adalah melalui diversifikasi produk industri,
peningkatan produksi pertanian, perkebunan, eksplorasi sumber daya emas, teknologi tepat
guna, modernisasi manejemen, memberikan bantuan promosi dan keringanan pajak bagi
eksportir.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linier berganda dan


analisis strategi dengan menggunakan analisis SWOT maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Ekspor mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi artinya
semakin tinggi nilai ekspor maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat pula.
2. Impor mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi artinya semaki
n tinggi nilai impor maka pertumbuhan ekonomi akan menurun.
3. Strategi yang digunakan untuk meningkatkan hasil ekspor Indonesia adalah melalui
diversifikasi produk industri, peningkatan produksi pertanian, perkebunan, eksplorasi
sumber daya emas, teknologi tepat guna, modernisasi manejemen, memberikan bantuan
promosi dan keringanan pajak bagi eksportir, serta meningkatkan daya saing produk.

SARAN
1. Para pelaku usaha harus dapat mengembangkan produk yang lebih mempunyai daya
saing
2. Indonesia diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspornya tidak hanya produksi barang
pertanian dan perkebunan saja melainkan dapat mengembangkan diversifikasi untuk
komoditas industri.
DAFTAR PUSTAKA
Ajmi, A.N., Ayeb, G.C., Balcilarc, M. & Guptad, R. (2013). Causality between Exports and
Economic Growth in South Africa: Evidence from Linear and Nonlinear Tests. Working
Paper Series University of Pretoria Department of Economics
Ayres, Robert dan Voundoris, Vlasios. (2013). The Economic Growth Enigma : Capital,
Labor, and Useful Energy, Energy Policy.Hal :16-28.
Adeleye J. O.1, Adeteye O. S.2 & Adewuyi M. O.3, (2015), Impact of International Trade on
Eco- nomic Growth in Nigeria (1988-2012), International Journal of Financial Research,
Vol 5 No.3
Afandi, (2014), Analisis Pengaruh Investasi, Tenaga Kerja dan Pengeluaran Pemerintah
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur (Studi Kasus 2001-2010), Jurnal
Ekonomi : Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Uni-versitas Brawijaya, Vol. 2 No.1
Chatterji, M., Mohan, S., & Dastidar, S.G. (2013). Relationship between trade openness

7
and economic growth of India: A time series analysis. SIRE Discussion Papers, Scottish
Institute for Research in Economics (SIRE)
Chen, H. (2009). A Literature Review on the Rela-tionship between Foreign Trade and Eco-
nomic Growth. International Journal of Economics and Finance, Vol 1, Number 1. 127-
131
Dian Rizky Ayu, (2013). Pengaruh Penanaman Modal Asing dan Ekspor Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur. E-Journal UNESA Jurnal Pendidikan
Ekonomi, Vol.1 No.1
Fayyaz Ahmad, Muhammad Umar Draz & Su-Chang Yang, (2018), Causality nexus of
exports, FDI and eco-nomic growth of the ASEAN5 econo-mies : evi-dence from panel
data analysis, The Journal of International Trade and Economic Develop-ment, volume 27,
issue 6
Mankiw, Gregory N. (2004). Principles of macroeconomics. Third edition. The Driyden Press
Michael R. Mullen , Eric Beller , Joseph Remsa & Donald Cooper, (2001), The Effects of
Interna- tional Trade on Economic Growth and Meeting Basic Human Needs , journal of
global market- ing, volume 15, issue 1
Mikhral Rinaldi, Abd. Jamal, Chenny Seftarita, (2017), Analisis PengaruhPerdagangan
Internasional dan Variabel Makro Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ,
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik
Indonesia Volume 4 Nomor 1, Mei 2017 E-ISSN.
2549-8355
Mishra, P.K. (2012). The Dynamics of the Relationship between Imports and Economic
Growth in India. South Asian Journal of Macroeconomics and Public Finance Vol. 1, Issue
1, 57-79
Monireh Dizaji dan Arash Ketabforoush Badri. (2014), The Effect of Exports
Employment in Iran’s Economy, Merit Research Journal of Art, Social Science and
Humanities (ISSN: 2350- 2258) Vol. 2(6) pp. 081-08
Pam Zahonogo, (2016), Trade and economic growth in developing countries: Evidence from
sub- Saharan Africa , Journal of African Trade, Vol-ume 3, issues 1-2
Peng Sun & Almas Heshati, (2010), International Trade and its Effects on Economic Growth
in China, IZA Discussion Paper No. 5151
Putong, Iskandar & Andjaswati, Nuring, Dyah. (2010). Pengantar Ekonomi Makro.
Jakarta : Mitra Wacana Media Www. kemendag.go.id Www. bps.go.id

8
ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280

JURNAL EKONOMI INTERNASIONAL


“Pengaruh Penanaman Modal Asing Jepang terhadap Perdagangan
Industri Indonesia-Jepang Pada Zaman Dahulu”

Oleh : Rosnawati
DOSEN PENGAMPU : PETRIO RENALDI, M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur

ABSTRAK : Penelitian ini menganalisis dampak penanaman modal asing (PMA) terhadap
perdagangan intra-industri (IIT) Indonesia dengan salah satu mitra dagang utama yaitu
Jepang, selama kurun waktu 1990–2017. IIT didekomposisikan menjadi 3 tipe, horizontal IIT
(HIIT), upper vertical IIT (UVIIT), dan lower vertical IIT (LVIIT) yang mengindikasikan
kualitas. Hasil estimasi menunjukkan PMA Jepang memiliki peran yang signifikan untuk
meningkatkan IIT bilateral kedua negara. Hasil analisis pada masing-masing tipe IIT
menunjukkan bahwa PMA Jepang memiliki dampak positif signifikan terhadap LVIIT dan
HIIT, namun tidak terbukti memiliki dampak terhadap UVIIT.

Kata kunci : Perdagangan intra-industri vertikal dan horizontal; Penanaman Modal Asing;
Indonesia; Jepang

PENDAHULUAN
Analisis perdagangan internasional menunjukkan bahwa peningkatan pertukaran
barang perdagang- an merupakan substitusi satu sama lain dalam pro- duksi dan
konsumsi (Balassa dan Bauwens, 1988; Grubel dan Lloyd, 1971). Transaksi
pertukaran barang ini disebut perdagangan intra-industri (intra- industry trade/IIT).
Peningkatan IIT merupakan indikasi peningkatan variasi produk, peningkatan
skala ekonomi produksi, dan indikasi semakin berkurangnya perbedaan teknologi
antarnegara (Xing, 2007). Peningkatan variasi produk terjadi karena konsumen dapat
mengonsumsi lebih banyak produk dengan berbagai karakteristik dan kualitas
(variasi). Indikasi peningkatan skala ekonomi terjadi karena produsen mampu
menghasilkan produk pada industri yang sama dengan jumlah yang lebih besar.
Terkait dengan teknologi, teori menyatakan bahwa IIT akan semakin meningkat
pada negara dengan kemajuan ekonomi yang semakin serupa (Akhvlediani & S
´ ledziewska, 2015).

Terdapat beberapa faktor yang dapat memenga-ruhi IIT. Salah satu faktor yang
penting adalah penanaman modal asing (PMA). PMA dalam bentuk perusahaan
multinasional melakukan perdagangan produk yang sama, namun terdiferensiasi
vertikal atau horizontal untuk memenuhi konsumen yang memiliki perbedaan

9
penghasilan atau bergantung pada asal negaranya (Chen, 2000). IIT semakin meningkat
seiring dengan peningkatan PMA dika- renakan perusahaan yang memiliki modal
asing di negara tujuan investasi (host country) umumnya akan mengirimkan hasil
produksi ke negara asal investasi (home country). Penelitian yang dilaku- kan Xing
(2007) menunjukkan bahwa 60% ekspor Cina ke dunia berasal dari perusahaan
afiliasi Je- pang yang mengekspor produknya ke perusahaan di Jepang.
PMA dapat meningkatkan kualitas produk. Negara berkembang umumnya tidak
memiliki teknologi untuk memproduksi barang berkualitas tinggi. Perusahaan
multinasional melalui PMA membawa teknologi tinggi dalam meningkatkan
kapasitas produksi dan variasi produk pada host countri- es.Terdapat limpahan
pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology spillovers) yang
meningkatkan teknologi perusahaan domestik dalam hal efisiensi dan kualitas
(Fukao et al., 2003; Harding dan Javorcik, 2012; Xing, 2007).
Kualitas produk yang diperdagangkan kedua negara dapat diperbandingkan
melalui harga ba- rang (unit value), yaitu harga rata-rata dari produk ekspor impor
dalam klasifikasi serupa. Perbedaan harga berarti terdapat perbedaan fungsi
produksi yang mengarah pada perbedaan kualitas. Kualitas yang lebih baik
diperoleh melalui biaya variabel yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perbedaan harga
akan mencerminkan perbedaan biaya produksi dan kualitas (Fontagne´ dan
Freudenberg, 1997). Sema- kin besar unit value, maka semakin besar kualitas
produk. Perbandingan unit value ekspor dan impor dalam IIT didasarkan pada interval
batasan tertentu. Apabila rasio unit value ekspor dan impor berada di batasan yang
sama, maka diindikasikan memiliki kualitas setara yang disebut horizontal IIT
(HIIT). Apabila berada di atas batasan, produk dari negara ekspor dindikasikan
memiliki kualitas yang tinggi disebut dengan upper vertical IIT (VIIT). Sebaliknya,
apabila berada di bawah batasan tertentu, produk dari negara ekspor tersebut
diindikasikan memiliki kualitas yang rendah yang disebut dengan lower VIIT
(Gabrisch, 2009; Ito dan Okubo, 2012).
Indonesia mengalami perkembangan IIT dan PMA dengan beberapa negara mitra
dagang. Me- nurut perhitungan penulis yang berasal dari data ekspor dan impor
pada World Integrated Trade So- lutions (WITS) berdasarkan Standard
International Trade Classification (SITC) Rev. 3 3 digit, perubahan IIT dan PMA
yang paling menonjol adalah antara Indonesia dan Jepang, sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Pada Tabel 1, data dari Bank Indonesia (n.d)
menunjukkan bahwa Jepang me- rupakan negara dengan PMA terbesar kedua sete-
lah Singapura. Pada Tabel 2, perhitungan indeks IIT antar-dua negara. Dalam hal
IIT, indeks IIT ta- hun 1995 menunjukkan indeks yang sangat rendah untuk semua
negara mitra dagang. IIT Indonesia- Jepang lebih kecil dibandingkan Cina dan
Korea Selatan. Namun, pada tahun 2015 menunjukkan peningkatan dua kali lipat
menjadi 0,159. IIT terus meningkat dan mulai tahun 2008 hingga 2015 yang terbesar
adalah IIT Indonesia dan Jepang.

Tabel 1: Investasi Langsung di Indonesia dalam Jutaan USD berdasarkan Negara Asal

10
No Negara 2010 2013 2015
1 Singapura 5.479 10,723 8.847
2 Jepang 3.729 5,836 4.010
3 Amerika 572 741 603
Serikat
4 Cina 354 67 324
5 Korea 341 866 228
Selatan
Sumber: Bank Indonesia (n.d), diolah

Perjanjian kerja sama bilateral Indonesia-Jepang pertama kali dilakukan melalui


Indonesia Japan Eco- nomic Partnership Agreement (IJEPA) pada Juli 2008.
Jepang merupakan salah satu sumber PMA terbesar dan IIT Indonesia-Jepang
merupakan yang terting gi di antara beberapa negara dengan PMA terbesar. Oleh
karena itu, hal yang menarik untuk meng- analisis IIT dan PMA bilateral Indonesia-
Jepang, terlebih dengan ditetapkannya perjanjian kerja sama perdagangan antara
Indonesia-Jepang (IJEPA) pada pertengahan tahun 2008.

Tabel 2: Indeks IIT Indonesia dengan Beberapa Negara Mitra Dagang berdasarkan SITC Rev. 3 3 Digit

Tahun Amerika Cina Korea Jepang


Serikat Selatan
1995 0,042 0,137 0,092 0,078
2000 0,113 0,202 0,160 0,138
2005 0,106 0,235 0,091 0,102
2008 0,073 0,084 0,092 0,111
2009 0,093 0,098 0,082 0,126
2010 0,082 0,090 0,094 0,125
2011 0,082 0,088 0,074 0,103
2012 0,101 0,094 0,087 0,114
2013 0,098 0,125 0,101 0,118
2014 0,106 0,134 0,131 0,135
2015 0,100 0,121 0,152 0,159
Sumber: WITS (1990), diolah

Terdapat beberapa penelitian mengenai dampak PMA terhadap perdagangan intra-


industri Indo- nesia. Analisis dampak PMA terhadap IIT bebe- rapa negara
dilakukan oleh Hastiadi (2016) yang menganalisis dampak PMA Jepang, Korea,
dan Ci- na terhadap empat negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)
yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Filipina. IIT didekomposisikan men- jadi
HIIT dan VIIT. Kusumo (2008) menggunakan data perdagangan Indonesia-Korea.

11
Waworundeng (2013) menganalisis determinan perdagangan intra- industri Indonesia
dengan 55 negara mitra dagang, sedangkan Hastuty (2014) melakukan perbanding-
an perdagangan intra-industri Indonesia dengan negara Organisation for Economic
Co-operation and De- velopment (OECD) dan nonnegara OECD.
Kusumo (2008) dan Hastuty (2014) tidak membedakan anta- ra IIT horizontal dan
vertikal, berkebalikan dengan Waworundeng (2013). Penelitian yang melakukan
dekomposisi menjadi horizontal IIT (HIIT), UVIIT, dan LVIIT dilakukan oleh
Suwandi (2016) dengan menggunakan data perdagangan Indonesia-Korea.
Dekomposisi IIT menjadi horizontal dan vertikal perlu dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang lebih mendetail karena tren dari keduanya bisa berbeda
(Aturupane et al., 1999; Greenaway et al., 1994, 1995; Ito dan Okubo, 2012).
Penelitian yang melakukan dekomposisi IIT perlu dilakukan pada tingkat agregasi
tertentu agar dapat mencerminkan unit value (harga unit). Harga unit ekspor dan im-
por diperoleh dari pembagian nilai perdagangan dengan kuantitas. Kualitas produk
diketahui mela- lui perbandingan harga unit. PMA dapat memenga- ruhi kualitas produk
ekspor melalui teknologi yang dibawa oleh perusahaan multinasional (Fukao et al.,
2003; Harding dan Javorcik, 2012; Xing, 2007).
Penelitian ini akan menganalisis perdagangan Indonesia-Jepang dengan
menggunakan kode kla- sifikasi produk SITC Rev. 3 5 digit dengan penekan- annya
adalah mengenai peran PMA pada IIT. Pe- nelitian ini menggunakan klasifikasi
produk yang lebih detail dibandingkan penelitian Zamroni (2005) dan Sariah (2007).
Selain itu dilakukan dekompo- sisi IIT menjadi HIIT, LVIIT, dan UVIIT yang tidak
dilakukan pada kedua penelitian tersebut. Alasan penggunaan klasifikasi produk
paling detail adalah untuk mengurangi bias terkait sektor. Bias sektoral terjadi ketika
terdapat disagregasi yang tidak cukup dalam klasifikasi perdagangan. Semakin
agregat detail nomenklatur (digit) yang digunakan, maka semakin banyak produk
yang akan dikelompokkan dalam satu industri sehingga semakin banyak per-
dagangan yang dianggap sebagai intra-industri. In- deks IIT vertikal kemudian akan
didekomposisikan lebih lanjut menjadi UVIIT dan LVIIT berdasarkan penelitian Ito
dan Okubo (2012). Negara Jepang me- narik untuk diteliti karena merupakan salah
satu sumber investasi dan negara mitra IIT terbesar In- donesia. Penggunaan jangka
waktu penelitian dari tahun 1990 hingga 2017 memungkinkan adanya analisis
perubahan IIT sebelum dan sesudah IJEPA yang berlaku efektif pada pertengahan
tahun 2008.

TINJAUAN LITERATUR
Perdagangan Intra-Industri

Perdagangan di seluruh dunia sebagian besar merupakan perdagangan intra-


industri. Perdagangan seperti ini terjadi ketika barang yang diimpor dan diekspor
memiliki karakteristik yang serupa. Kesa- maan karakteristik diidentifikasikan dengan
barang yang diklasifikasikan pada sektor yang sama. Pene- muan mengenai IIT
merupakan salah satu temuan empiris penting pada tahun 1960an terkait perda-

12
gangan internasional. Awalnya, subjek penelitian adalah anggota Benelux customs
union dan disu- sul enam anggota European Economic Community. Hasilnya adalah
arus perdagangan lebih terkonsen- trasi di dalam industri dibandingkan antar-industri.
Hal ini merupakan pola berulang yang terjadi se- jak proses integrasi Eropa
(Fontagne´ et al., 2005). Kojima (1964) menemukan bahwa perdagangan an- tara
negara industri maju yang semakin meningkat merupakan perdagangan horizontal
antarsesama produk manufaktur bukan perdagangan vertikal yaitu perdagangan
antara barang manufaktur dan bahan baku. Hal ini terjadi setelah setelah perang
dunia II.
Perdagangan intra industri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perdagangan intra-
industri horizon- tal (HIIT) dan vertikal (VIIT). Perdagangan intra- industri
horizontal, yaitu ekspor dan impor secara simultan barang yang menggunakan
intensitas fak- tor, kualitas, dan harga yang sama. Basis teoretis HIIT adalah
diferensiasi produk horizontal. Kon- sumen memiliki karakteristik yang berbeda-
beda sehingga menginginkan berbagai variasi produk pa- da tingkat agregat. Dalam
model ini produk berbeda karena atribut tertentu, namun secara fundamental memiliki
kualitas, biaya, dan teknologi produksi yang sama. Pendekatan ini disebut ideal
variety atau love of variety (Ando, 2006)
Perdagangan intra-industri vertikal, yaitu ekspor dan impor secara simultan barang
yang diklasifika- sikan pada sektor yang sama namun menggunakan intensitas faktor
produksi yang berbeda. Produk di- jual pada harga yang berbeda dan terdapat perbeda-
an kualitas barang. Basis teoritis untuk VIIT adalah diferensiasi produk vertikal. Hal
yang mendasari adalah perbedaan factor endowments dan distribusi pendapatan
pada sektor yang homogen. Terdapat perbedaan faktor intensitas pada variasi
produk. Variasi dengan kualitas lebih tinggi dihasilkan oleh teknologi dengan rasio
kapital dan tenaga kerja yang tinggi. Hal ini menyebabkan harga yang lebih tinggi.
Sebaliknya, variasi dengan kualitas rendah dihasilkan oleh teknologi dengan rasio
kapital dan tenaga kerja yang lebih rendah. Selanjutnya, ter- dapat perbedaan
pemintaan akan kualitas barang pada individu dengan tingkat pendapatan yang
berbeda sehingga mengakibatkan variasi di tingkat agregat (Ando, 2006).
Penelitian secara empiris terbagi menjadi pene- litian yang tidak membedakan
IIT dan penelitian yang membedakan IIT menjadi HIIT dan VIIT. Pene- litian yang
tidak membedakan jenis IIT dilakukan oleh Xing (2007) yang membandingkan IIT
dalam perdagangan bilateral Cina-Jepang dengan Cina- Amerika Serikat.
Penelitian yang secara khusus membahas dam- pak PMA Jepang terhadap IIT
Indonesia dilakukan oleh Zamroni (2005) pada sektor manufaktur dan pertanian
tahun 1980–2000. Indeks IIT yang digu- nakan bersumber dari pangkalan data
National Asia Pacific Economic and Scientific (NAPES). Hasilnya adalah PMA
bukan faktor yang berpengaruh terha- dap IIT kedua negara. Dalam hal ini, Zamroni
tidak

Hubungan Bilateral Indonesia-Jepang Dan IJEPA


Hubungan Indonesia Jepang telah berlangsung se- lama 60 tahun, dimulai sejak

13
perjanjian perdamaian antara kedua negara pada April 1958. Dalam hal perdagangan,
pada tahun 2007, Jepang merupa- kan sumber terbesar ekspor (20%) dan impor (14%)
Indonesia. Di sisi lain, Indonesia bagi Jepang merupakan salah satu negara sumber
impor (lima terbesar) dan merupakan pasar yang potensial. Da- lam hal investasi,
Jepang termasuk dalam tiga besar negara sumber investasi Indonesia (Ministry of Trade
The Republic of Indonesia, 2007). Sejak tahun 1990, nilai perdagangan kedua
negara berfluktuatif. Ter- jadi penurunan perdagangan, baik ekspor maupun impor
pada tahun 1998 dan 2009. Hal ini dapat dikarenakan adanya krisis keuangan yang
menim- pa Indonesia dan negara lain di dunia termasuk Jepang.
Kerja sama bilateral pertama kali dilakukan mela- lui IJEPA. Perjanjian
ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Mente- ri
Jepang Shinzo Abe pada 20 Agustus 2007 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Juli
2008. Latar bela- kang perjanjian kerja sama adalah kedua negara merupakan mitra
dagang strategis dan hubungan ekonomi yang dijalin telah mencakup area perda-
gangan dan investasi. Hal penting dalam perjanji- an kerja sama ekonomi
(Economic Partnerhip Agree- ment/EPA) dibandingkan perjanjian perdagangan
bebas (Free Trade Area/FTA) adalah kerja sama tidak hanya mengenai liberalisasi dan
fasilitas perda- gangan berupa pengurangan tarif atau hambatan perdagangan, tetapi
juga menyangkut peningkatan kapasitas (cooperation and capacity bulding) untuk
meningkatkan daya saing industri (Ministry of Trade The Republic of Indonesia,
2007).
Pembangunan kapasitas dilakukan oleh Jepang untuk produsen Indonesia melalui
peningkatan kualitas produk Indonesia di pasar domestik dan internasional.
Peningkatan kualitas melalui uji coba dan standar produk, standar sanitasi dan kesehatan
makanan dan minuman, serta pelatihan teknologi manufaktur (Ministry of Trade The
Republic of Indone- sia, 2007). Pada periode awal penerapan IJEPA tahun 2008 hingga
2013 telah dilakukan kegiatan dalam bentuk pelatihan, pengiriman tenaga ahli,
kunjung- an kerja ke industri-industri, dan lokakarya/seminar sebanyak 84 kegiatan
(Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, 2013). Pelatihan dilakukan me- lalui
program Manufacturing Industry Development Center (MIDEC).
Program ini dilakukan pada 13 sektor yang terdiri dari 7 lintas sektor dan 6 sek-
tor khusus. Ketujuh lintas sektor yaitu pengerjaan logam, percetakan alat mesin,
pengelasan, ekspor dan promosi investasi, konservasi energi, pengem- bangan usaha
kecil dan menengah. Keenam sektor spesifik yaitu elektronika, otomotif, baja, logam
non- besi, tekstil, dan makanan minuman. Program ini dihentikan pada tahun 2013
karena adanya kendala tertentu dan program dianggap kurang memberi- kan hasil
nyata. Kendala yang dihadapi yaitu tidak adanya pihak yang secara khusus mengelola
pro- yek sehingga menyulitkan proses evaluasi dan mo- nitoring. Selain itu, fokus
pengembangan kapasitas sebagian besar dalam bentuk pelatihan tenaga ahli,
pengiriman tenaga ahli, dan kunjungan ke industri di Jepang serta seminar, bukan
pada penyediaan peralatan dan peningkatan infrastruktur industri manufaktur,
contohnya fasilitas bersama produksi komponen otomotif dan pencetakan (Ditjen
KPAII Kementerian Perindustrian, 2016).

14
Dalam hal liberalisasi perdagangan, IJEPA men- cantumkan fasilitas
pengurangan tarif bea masuk. Penggunaan pengurangan tarif sesuai IJEPA mem-
persyaratkan adanya Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin
(CoO). SKA digunakan un- tuk membuktikan bahwa suatu produk atau barang adalah
benar berasal, dihasilkan, dan/atau diolah di Indonesia atau di Jepang. SKA harus
diserta- kan saat barang ekspor Indonesia akan memasuki Jepang atau saat barang
ekspor Jepang masuk ke Indonesia. Pemanfaatan SKA IJEPA menunjukkan tren
yang meningkat, namun belum sesuai harapan. Pada tahun 2009, SKA sebanyak
46.275 lembar de- ngan nilai 2,5 miliar USD. Nilai tersebut merupakan 20,7% dari
total nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang. Kemudian pada tahun 2010
meningkat 4,7% sebanyak 48.571 lembar dengan nilai 2,6 miliar USD. Nilai tersebut
merupakan 16% dari total nilai Dalam mendapatkan data dengan term yang sama yaitu
free on board (FOB), maka data ekspor diperoleh melalui data ekspor Indonesia ke
Jepang, sedang- kan data impor diperoleh melalui ekspor Jepang ke Indonesia. Indeks
IIT tiap produk pada SITC Rev. 3 5 digit pada tiap produk dapat diagregasikan pa-
da tingkat tahunan untuk mendapatkan indeks IIT agregat Indonesia-Jepang selama
tahun 1990–2017 untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan IIT Indonesia-
Jepang selama kurun waktu tersebut. Pada analisis regresi dilakukan penghitungan
IIT pada tingkat industri. Dekomposisi IIT menjadi HI- IT, LVIIT, dan UVIIT
menggunakan rasio unit value ekspor (PX) dan impor (PM) sebagai proksi kuali- tas.
PX dan PM diperoleh dengan membagi nilai perdagangan dengan jumlah unit.
Klasifikasi akan menggunakan metode yang dilakukan Fontagne´ dan Freudenberg
(1997) yang melakukan revisi ba- tas bawah metode Greenaway et al. (1994)
dengan nilai threshold (x) sebesar 15%. Variabel kontrol berikutnya yaitu tarif
perdagangan Indonesia ke Jepang untuk merepresentasikan hambatan perdagangan.
Semakin besar hambatan perdagangan, maka akan berpotensi menurunkan IIT.
Tarif dihitung dari tarif rata-rata tertimbang MFN Indonesia ke Jepang berdasarkan
SITC Rev. 3 pada tiap sektor industri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hellvin (1996). WI- TS menyatakan bahwa tarif MFN adalah tarif
yang dikenakan suatu negara atas impor dari negara lain selain tarif preferensial akibat
adanya perjanjian kerja sama kedua negara. Tarif MFN merupakan tarif tertinggi
yang dapat dikenakan suatu nega- ra anggota World Trade Organization (WTO)
pada negara anggota lain.

HASIL DAN ANALISIS

Perdagangan Intra-Industri Indonesia- Jepang


Dalam melakukan analisis perdagangan Indonesia- Jepang, setiap produk ekspor dan
impor antara dua negara pada kategori SITC Rev. 3 5 digit di- kelompokkan
berdasarkan kategori inter-industri (perdagangan satu arah ekspor atau impor) saja
dan perdagangan intra-industri (perdagangan dua arah ekspor dan impor).
Perdagangan intra-industri kemudian didekomposisikan menjadi HIIT yaitu produk
ekspor memiliki kualitas setara dengan pro- duk impor, LVIIT yaitu produk ekspor

15
memiliki kualitas di bawah produk impor, dan UVIIT yaitu produk ekspor memiliki
kualitas di atas produk impor.
Hasil analisis mengenai perdagangan Indonesia- Jepang pada periode 1990–2017
pada Tabel 3 me- nunjukkan perubahan pola komposisi produk per- dagangan
antara dua negara. Perdagangan beralih ke arah intra-industri dibandingkan inter-
industri. Perdagangan inter-industri awalnya sebagian besar adalah produk impor.
Penurunan terbesar perda- gangan inter-industri terjadi selama kurun waktu 1990–
1995 sebesar 13% dan tahun 1995–2000 sebesar 14%. Pada tahun 2013, intra-industri
telah mening- kat hampir 3 kali lipat menjadi 54%. Setelah itu perubahan
komposisi produk tidak terlalu besar. Pada tahun 2014 dan 2015, IIT sedikit
menurun namun meningkat kembali di tahun 2016–2017.
Pembagian perdagangan intra-industri menja- di tiga kelompok kualitas
memungkinkan untuk mengetahui jumlah produk dengan kualitas terten- tu yang
meningkat selama tahun 1990–2017. Berda- sarkan Tabel 3, peningkatan terbesar adalah
produk dengan kualitas yang sama (HIIT) dari 2% di ta- hun 1990, meningkat 4 kali
lipat menjadi 8% di tahun 2017, lalu disusul produk dengan kualitas tinggi (UVIIT)
yang meningkat 3 kali lipat dari 3% menjadi 10% dan produk kualitas yang
rendah (LVIIT) yang meningkat 2,5 kali lipat dari 14% men- jadi 36%. Secara
keseluruhan, dari tahun ke tahun di antara perdagangan intra-industri, LVIIT men-
dominasi perdagangan selama tahun 1990 hingga 2017. Hal ini menunjukkan
bahwa ekspor impor serupa Indonesia-Jepang masih didominasi produk dengan
kualitas ekspor masih di bawah kualitas impor, namun peningkatannya tidak
sebesar pe- ningkatan produk dengan kualitas setara (HIIT) atau produk ekspor di
atas kualitas produk impor (UVIIT).
Analisis terhadap indeks IIT juga dilakukan un- tuk mengetahui perubahan
indeks dari total IIT dan masing-masing kelompok produk IIT. Secara keseluruhan,
indeks IIT dari tahun 1990 mening- kat pesat hingga tahun 2000, lalu cenderung
tetap. Berdasarkan dekomposisi indeks IIT, menunjukkan indeks IIT terbesar
merupakan kelompok LVIIT. Perubahan indeks setelah penerapan IJEPA tahun
2008 menunjukkan bahwa indeks LVIIT mulai me- nurun sejak penerapan IJEPA
hingga tahun 2011, walaupun kemudian meningkat sedikit pada tahun 2012–2016.
Tahun setelah penerapan IJEPA indeks HIIT dan UVIIT cenderung menunjukkan pola
yang meningkat di tahun 2008 hingga 2012. Pada tahun 2013, UVIIT cenderung
menurun bersamaan de- ngan dihentikannya program kerja sama MIDEC
Indonesia-Jepang. Indeks UVIIT menurun terbesar.
Tabel 3: Komposisi Jumlah Produk Perdagangan Inter dan Intra-industri Indonesia-Jepang

N % N % N % N % N %
1990 1,951 1,587 81% 364 19% 26 1% 271 14% 67 3%
1995 2,010 1,367 68% 643 32% 52 3% 488 24% 103 5%
2000 2,110 1,141 54% 969 46% 85 4% 688 33% 196 9%
2005 2,091 1,084 52% 1007 48% 58 3% 680 33% 269 13%
2010 1,787 897 50% 890 50% 93 5% 667 37% 130 7%
2011 1,967 1,086 55% 881 45% 67 3% 654 33% 160 8%
2012 1,684 844 50% 840 50% 62 4% 601 36% 177 11%
2013 1,778 825 46% 953 54% 101 6% 641 36% 211 12%
2014 1,785 871 49% 914 51% 101 6% 623 35% 190 11%
2015 1,785 810 45% 975 55% 85 5% 645 36% 245 14%
2016 1,782 826 46% 956 54% 105 6% 625 35% 226 13%
2017 1,694 772 46% 922 16 54% 136 8% 610 36% 176 10%
Pada tahun 2017, produk pada UVIIT dengan indeks terbesar yaitu el connect equ
nes<1000v (ka- bel listrik), parts nes spark-ign engs (suku cadang kendaraan bermotor roda
empat atau lebih), pri- mary batteries/cells (batu baterai), parts to insert in tools (suku
cadang, alat potong, perkakas), other switches (alat/pengontrol listrik), Ir/st pipe fittings mes
(pipa pengecoran besi baja), irn/stl nut/bolt/screw (sekrup/pengencang), dan industrial textiles
nes (teks- til).

Dalam memahami pola perdagangan intra-industri bilateral antara Indonesia dan


Jepang, dilakukan pengelompokkan produk berdasarkan intensitas faktor produksinya.
Pengelompokkan ini berda- sarkan klasifikasi United Nations Conference on Trade and
Development (UNCTAD) atau WTO yang diter- bitkan oleh International Trade Center (ITC).
Terdapat 234 kelompok produk (SITC 3 digit) yang dikelom- pokkan ke dalam 6
produk/industri yaitu primary product (83 SITC), natural-resource intensive products (21
SITC), unskilled-labor intensive product (26 SITC), technology-intensive product (62 SITC),
human-capital intensive products (43 SITC), dan sectors not classified (5 SITC).

Tujuan dari perdagangan bebas adalah ne- gara maju melakukan perdagangan pada
negara berkembang dengan fokus pada produk unskilled labour intensive (Xing, 2007). Hal
ini tidak terjadi pada perdagangan intra-industri Indonesia-Jepang, karena justru yang semakin
meningkat adalah pro- duk human capital intensive dan technology-intensive.

KESIMPULAN

Penelitian ini menganalisis mengenai pengaruh PMA Jepang terhadap IIT


Indonesia-Jepang tahun 1990–2017 pada tingkat produk dengan menggu- nakan data
ekspor dan impor SITC Rev. 3 5 digit. IIT didekomposisikan menjadi LVIIT yaitu
perdagang- an pada kelompok produk/industri yang serupa dengan kualitas produk
ekspor di bawah produk impor, HIIT yaitu perdagangan pada kelompok pro-
duk/industri yang serupa dengan kualitas produk ekspor setara dengan produk impor,
dan UVIIT ya- itu perdagangan pada kelompok produk/industri yang serupa dengan
kualitas produk ekspor di atas produk impor. Hasil estimasi menunjukkan bahwa
PMA Jepang dapat meningkatkan total IIT Indonesia-Jepang. Dampak PMA terhadap
masing- masing tipe IIT berbeda. Dampaknya adalah positif signifikan bagi kelompok
LVIIT dan HIIT, sedang- kan untuk UVIIT tidak signifikan. Hal ini menun- jukkan
bahwa PMA Jepang ke Indonesia dapat mendorong IIT untuk kualitas produk
ekspor di bawah produk impor dan kualitas produk ekspor setara dengan produk
impor, namun belum dapat mendorong kelompok dengan kualitas ekspor di atas

17
produk impor. Alasannya adalah kemungkinan teknologi yang digunakan untuk
produksi bukan yang paling mutakhir.
Dari hasil analisis diketahui bahwa IJEPA tidak berdampak signifikan terhadap
total IIT. Hal yang dapat menjadi penyebab adalah belum banyaknya eksportir yang
memanfaatkan tarif preferensial IJE- PA. Dampak IJEPA terhadap masing-masing
tipe IIT berbeda. Hasilnya adalah tidak signifikan pa- da HIIT dan UVIIT serta hasil
negatif pada LVIIT. Secara umum, setelah penerapan IJEPA terjadi pe- ningkatan
kualitas produk. Indeks LVIIT cenderung menurun, sedangkan indeks HIIT dan UVIIT
cende- rung meningkat walaupun pada hasil regresi belum signifikan. Pemerintah
sebaiknya terus meningkat- kan program peningkatan daya saing industri dan
peningkatan kualitas produk Indonesia oleh Jepang sehingga dapat meningkatkan
indeks IIT barang berkualitas tinggi (UVIIT) dan setara (HIIT).

DAFTAR PUSTAKA
Akhvlediani, T., & S´ ledziewska, K. (2015). What deter- mines export
performances in hightech industries. Wor- king Paper Delab UW, NR 02 (2/2015). Digital
Economy Lab, University of Warsaw. Diakses 27 Juni 2018 da- ri
http://www.delab.uw.edu.pl/wp-content/uploads/2015/ 10/WP-What-Determines-High-tech-
Exports.pdf.
Ambroziak, Ł. (2010). The foreign direct investments (FDI) as a factor of intra-
industry trade development in the EU New Member States. Paper presented at ETSG 2010
Lausanne, Twelfth Annual Conference, 9-11 September 2010, Faculty of Business and
Economics University of Lausanne. European Trade Study Group. Diakses 11 Juli 2018 dari
http://www.etsg.org/ETSG2010/papers/Ambroziak.pdf.
Ando, M. (2006). Fragmentation and vertical intra- industry trade in East Asia. The
North American Jour- nal of Economics and Finance, 17(3), 257–281. doi: ht-
tps://doi.org/10.1016/j.najef.2006.06.005.
Arad, R. W., & Hirsch, S. (1981). Determination of trade flo- ws and choice of trade
partners: reconciling the Heckscher- Ohlin and the Burenstam Linder Models of
international trade. Weltwirtschaftliches Archiv, 117(2), 276–297. doi: ht-
tps://doi.org/10.1007/BF02696753.
Aturupane, C., Djankov, S., & Hoekman, B. (1999). Hori- zontal and vertical intra-
industry trade between Eastern Europe and the European union. Weltwirtschaftliches Archiv,
135(1), 62–81. doi: https://doi.org/10.1007/BF02708159.
Azhar, A. K. M., & Elliott, R. J. R. (2006). On the measurement of product quality in
intra-industry tra- de. Review of World Economics, 142(3), 476–495. doi:
https://doi.org/10.1007/s10290-006-0077-5.
Balassa, B., & Bauwens, L. (1988). Inter-industry and intra-industry
specialization in manufactured go- ods. Weltwirtschaftliches Archiv, 124(1), 1–13. doi: ht-
tps://doi.org/10.1007/BF02708616.
Bank Indonesia. (n.d.). Investasi langsung di Indonesia menurut negara asal. Statistik
Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI): Sektor eksternal. Diakses 11 Juli 2018 dari https:

18
//www.bi.go.id/seki/tabel/TABEL5 33.pdf.

BKPM. (2018). Perkembangan realisasi investasi PMA ber- dasarkan sektor periode
1990–2017. Badan Koordinasi Pe- nanaman Modal.
Burange, L. G. (2017). Foreign direct investment and intra- industry trade in India’s
manufacturing sector: A causal relationship. Foreign Trade Review, 52(4), 203–208. doi: ht-
tps://doi.org/10.1177/0015732516660797.

19
20
JEJAK TATA NIAGA REMPAH-REMPAH
DALAM JARINGAN PERDAGANGAN MASA KOLONIAL DI MALUKU

Oleh : Rosnawati
Dosen Pengampu : Petrio Renaldi, M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur

Abstrak
Jaringan perdagangan masa lalu telah menempatkan rempah-rempah sebagai komoditi utama.
Jaringan perdagangan ini semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-
16. Dalam konteks perdagangan global, terbentuk jaringan perdagangan yang
menghubungkan dunia barat sebagai konsumen dan dunia timur sebagai penghasil
komoditi. Maluku dikenal sebagai pusat produksi cengkeh dan pala (Kepulauan Rempah-
Rempah). Namun, bagaimana jaringan perdagangan global ini dihubungkan dengan tata
niaga lokal. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tata niaga rempah-

21
rempah dalam kaitannya dengan jaringan perdagangan masa kolonial di Maluku. Dengan
tujuan tersebut, kajian ini menggunakan studi kepustakaan terkait dengan data arkeologi dan
penelusuran sumber sejarah. Hasil dari kajian ini, diperoleh informasi bahwa tata niaga
rempah-rempah masa Kolonial memusatkan dua jenis komoditi, yaitu cengkeh di wilayah
Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, dan Nusalaut), serta pala di wilayah
Kepulauan Banda (Lonthor, Ay, dan Neira). Tata niaga tersebut sekaligus menerapkan
sistem yang berbeda yaitu sistem dati untuk cengkeh dan sistem perken untuk pala.
Kata kunci: Tata niaga, rempah-rempah, jaringan lokal, masa kolonial, Maluku

Abstract
Spices known as a main commodity in the past trading network. These network become busier
ever since the European came in the 16 th century. In the global trading context, formed the
trading network which connect west world as consumer and east world as commodity
producer. Moluccas known as the spice islands. However, how these global trading network
Syahruddin Mansyur, Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah Dalam Jaringan Perdagangan Masa Kolonial get
connected with the local trading system. This research aim is to get description about the spices
trading system in connection with colonial trading network in Moluccas. By that mean, it used
literature study, in connection with archaeological evidence and historical sources investigation. The
result are informations that the spices trading system in colonial period are centralize on two kind
of commodities, which are cloves in Ambon Island and Lease Islands, also nutmegs in Banda Islands.
This trading system also apply two different system, which are “dati” system for cloves and “perken”
system for nutmegs.

Keyword: trading system, spice, local network, colonial period, Moluccas

PENDAHULUAN
Perdagangan adalah proses interaksi antara individu atau kelompok sosial yang
satu dengan lainnya untuk memperoleh komoditas. Dalam perdagangan terkait empat
komponen pokok, yaitu: orang yang mengadakan interaksi, barang atau komoditas,
transportasi atau alat yang digunakan untuk memindahkan barang atau komoditas, dan
kedua belah pihak yang terkait dalam perdagangan (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
2008). Tata niaga dalam konteks jaringan perdagangan dapat diartikan sebagai upaya
sistematis untuk mengatur arus barang dan jasa, yaitu; bagaimana memperoleh dan
mengumpulkan barang komoditi serta bagaimana mendistribusikan barang dari tempat asal
ke tempat tujuan. Jika diposisikan pada konteks hulu dan hilir, maka upaya memperoleh
dan mengumpulkan barang komoditi merupakan bagian hulu dalam sistem tata niaga.
Dalam konteks lain, komponen utama yang mendukung tata niaga adalah produsen,
pedagang, dan konsumen. Ketiga komponen inilah yang saling terkait dalam sistem
jaringan perdagangan.
Jaringan perdagangan masa lalu telah menempatkan rempah- rempah sebagai
komoditi utama sejak awal masehi dengan adanya kontak antara pedagang nusantara
dengan pedagang Cina, Arab dan India. Jaringan perdagangan rempah-rempah ini
kemudian semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16, ditandai

22
dengan penguasaan atas Malaka – salah satu bandar penting dalam jaringan perdagangan
Asia Tenggara – pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Eropa ke
kawasan Asia tidak lepas dari keberhasilan bangsa Portugis menemukan jalur pelayaran
yang menghubungkan daratan Eropa dan Asia melalui Afrika (Sutherland, 2004). Jalur
pelayaran inilah yang kemudian menjadi jalur alternatif jaringan perdagangan dunia yang
sebelumnya merupakan jalur darat. Dengan demikian, dalam konteks perdagangan
rempah-rempah, khususnya bagi bangsa Eropa telah terbentuk jaringan yang langsung
menghubungkan Asia Tenggara khususnya Kepulauan Nusantara sebagai produsen utama
rempah-rempah dan Eropa sebagai konsumen.
Sejak kedatangan bangsa Portugis yang kemudian diikuti oleh bangsa Eropa lain
pada abad ke-16, Kepulauan Nusantara menjadi salah satu jalur pelayaran dan perdagangan
global, karena merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Jaringan ini ditunjang oleh kondisi geografis, sumber alam, jaringan transportasi laut yang
memudahkan pendistribusian hasil komoditi unggulannya, sehingga muncul bandar-bandar
besar sebagai pelabuhan utama niaga, yang saling terkoneksi satu dengan yang lain
(Wibisono, 2004). Sudah tentu dalam hal tata niaga rempah-rempah, antar wilayah tidak
dapat dipisahkan dengan wilayah-wilayah lain yang saling terkait, berperan sebagai wilayah
penyangga, penghasil, pendistribusi, ataupun pelabuhan singgah (Harkatiningsih, 2009).
Dengan demikian, selain terbentuk jaringan global yang menghubungkan Eropa dan
Kepulauan Nusantara, juga terbentuk jaringan Nusantara sebagai bandar transit komoditi
sebelum dikirim ke Eropa, serta jaringan lokal yang merupakan jalur untuk mengumpulkan
komoditi.
Salah satu komoditi penting dalam jaringan perdagangan masa lalu di nusantara
adalah rempah-rempah, yang menempatkan Maluku sebagai penghasil utama jenis cengkeh
dan pala. Dalam konteks global perdagangan masa lalu, terbentuk jaringan perdagangan
nusantara bagian barat sebagai bandar transit utama dan nusantara bagian timur (Kepulauan
Maluku) sebagai produsen utama cengkeh dan pala. Sebagai daerah produsen, Maluku yang
merupakan wilayah kepulauan terdiri atas beberapa bandar yang merupakan bandar
pengumpul untuk komoditi tersebut sehingga terbentuk pola jaringan antar pulau. Kondisi
geografis Maluku yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil, membentuk wilayah ini
sebagai jaringan lokal yang terdiri atas pelabuhan-pelabuhan kecil untuk mengumpulkan
komoditi cengkeh.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, kajian ini mengajukan poin
permasalahan seperti terangkum dalam pertanyaan berikut ini: bagaimana tata niaga
rempah-rempah dalam kaitannya dengan jaringan perdagangan masa kolonial di Maluku ?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, kajian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang tata niaga rempah-rempah dalam kaitannya dengan jaringan perdagangan masa
kolonial di Maluku. Oleh karena itu, kajian ini dimaksudkan untuk melengkapi pembahasan
tentang tata niaga rempah-rempah dalam konteks perdagangan masa kolonial di nusantara.

Ruang Lingkup dan Metode Penelitian


Berdasarkan topik yang dipilih, ruang lingkup pembahasan pada kajian ini, terdiri
atas beberapa hal yaitu: pertama, tata niaga cengkeh dan pala yang merupakan komoditi
utama wilayah penelitian; kedua, kerangka pembahasan dibatasi pada masa kolonial

23
khususnya pemerintahan Belanda (VOC); ketiga, secara geografis, pembahasan ini
dibatasi pada wilayah yang saat ini merupakan wilayah administratif provinsi Maluku.
Sementara itu, penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu; pengumpulan data, tahap
analisis deskriptif, dan penarikan kesimpulan. Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan penulusuran pustaka terkait dengan topik pembahasan, yaitu tinggalan
arkeologi yang dapat menggambarkan tata niaga rempah-rempah. Data tentang tinggalan
arkeologi, terutama diperoleh dari laporan hasil penelitian arkeologi serta sumber-sumber
lain yang dianggap dapat menjawab permasalahan penelitian. Khusus untuk data sebaran
benteng diperoleh dari hasil inventarisasi benteng di Maluku yang dilakukan pada tahun
2007 oleh Pusat Dokumentasi Arsitektur bekerjasana dengan Direktorat Sejarah dan
Purbakala, Passchier Architects And Consultan Netherland, dan Balai Arkeologi Ambon.
Selanjutnya, untuk melengkapi deskripsi tinggalan arkeologi dilakukan pendekatan
analogi sejarah, hal ini mengingat keterbatasan data artefaktual dalam upaya rekonstruksi
masa lalu (Sharer dan Ashmorer, 1980). Tahap akhir, dilakukan penarikan kesimpulan untuk
menjawab permasalahan penelitian yaitu memberi gambaran tentang tata niaga rempah-
rempah di wilayah penelitian.

Hasil dan Pembahasan


a. Rempah-Rempah sebagai Komoditi Utama Perdagangan Masa Lampau
Maluku adalah salah satu wilayah penting dalam perdagangan internasional sejak
jaman lampau, wilayah ini telah disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari kerajaan
Sriwijaya, kemudian kerajaan Majapahit, dan terus berlanjut pada masa Islam dan masa
kedatangan bangsa Eropa. Kontak antara wilayah Maluku dengan wilayah barat Nusantara,
dapat ditelusuri melalui Kitab Negarakertagama yang menyebut beberapa wilayah yang
memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Wilayah-wilayah tersebut, diantaranya;
Wanda (Banda Neira), Ambwan (Ambon), Seran (Seram) di Maluku serta Jilolo/Jailolo dan
Bacan di Maluku Utara (Suatika, 2005).
Sangat dimungkinkan sejak masa kejayaan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa,
wilayah Maluku telah berperan sebagai pusat komoditas rempah-rempah yaitu cengkeh dan
pala. Bahkan jauh sebelumnya, menurut Selling (1981), sumber- sumber Cina menyebutkan
bahwa perdagangan rempah-rempah telah melibatkan pedagang-pedagang Nusantara yang
berlayar antara Cina dan India sekitar abad ke-5 dan ke-6 (Kustoro dan Rumere, 2004).
Demikian halnya dikemukakan oleh Hall (1968), bahwa mulai abad ke-7, secara teratur
pedagang Arab yang kebanyakan datang dari India berlayar ke Asia Tenggara.
Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukan di Nusantara bahkan mencapai belahan
selatan Cina (Ibid). Dan pada abad- abad selanjutnya pedagang-pedagang Arab kemudian
datang dengan membawa dan menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Gambaran awal tentang perdagangan rempah-rempah sebelum kedatangan bangsa
Eropa, sebagaimana dicatat oleh Tome Pires yang ditulis kembali oleh Armando Cortesao
(1944), dalam bukunya The Summa Oriental of Tome Pires, menyebutkan bahwa hingga
abad ke-15 perdagangan rempah-rempah didominasi oleh para pedagang muslim. Rute
perdagangan yang terbentuk, yaitu pedagang Melayu mengambil rempah-rempah dari

24
Maluku yang kemudian dibawa ke Malaka sebagai salah satu pusat perdagangan terbesar
Asia.8 Selanjutnya, menurut Muller Kruger (1966), komoditi tersebut dikirim ke Gujarat,
Ormus, dan seterusnya ke Istambul melalui Laut Merah, dan dari sinilah kemudian
dilanjutkan pedagang Venesia ke Eropa (Sewang, tanpa tahun).
Seperti telah diketahui bahwa kepentingan utama bangsa Kolonial datang ke
wilayah ini diawali oleh kepentingan ekonomi. Di dataran Eropa pada saat itu
perdagangan rempah-rempah sangat ramai dan banyak diminati oleh orang-orang Eropa
yang digunakan sebagai bahan untuk menambah rasa masakan dan sebagai bahan untuk
membuat wewangian. Keuntungan yang diperoleh melalui perdagangan rempah- rempah
sangatlah besar karena setiap berpindah tangan keuntungan yang diperoleh mencapai
100% sehingga setibanya di Eropa dapat mencapai seribu persen (Hanna, 1983).
Demikianlah, maka negara-negara Eropa kemudian berlomba-lomba “menjemput emas”
(dengan mendatangi sentra produksi rempah-rempah di dunia timur) untuk mendapat
keuntungan yang berlipat.
Sejarah kedatangan orang-orang Eropa ke wilayah ini diawali oleh bangsa
Portugis. Portugis pada tahun 1511 berhasil menguasai Malaka sebagai salah satu pusat
perdagangan rempah-rempah yang kemudian berhasrat untuk mendatangi sentra produksi
rempah-rempah di Maluku. Setelah keberhasilan tersebut, Portugis kemudian mencapai
keberhasilan berikutnya yaitu menguasai sentra produksi rempah- rempah dengan
melakukan kerjasama perdagangan dengan Ternate pada tahun 1512. Pada awalnya,
daerah pertama yang mereka datangi adalah Kepulauan Banda akan tetapi kemudian
ditinggalkan dan menuju ke utara yaitu Ternate karena dianggap sebagai Kerajaan yang
berpengaruh dan menguasai wilayah Maluku (Ricklefs, 2008).
b. Data Arkeologi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, data arkeologi yang dapat memberi
informasi tentang jejak tata niaga rempah-rempah di Maluku, diantaranya; benteng, loji
(gudang), dan perk (kompleks perkebunan pala).
- Benteng
Secara umum, benteng merupakan bangunan yang berfungsi sebagai simbol
pertahanan. Namun, seiring berbagai aktivitas yang dipusatkan dalam benteng termasuk
aspek ekonomi dan sosial sehingga mempengaruhi fungsi benteng sebagai pusat
administrasi, pemerintahan, dan perdagangan. Pergeseran fungsi terjadi pada benteng-
benteng yang dibangun oleh perusahaan dagang bangsa Eropa masa lalu (Marihandono,
2008). Hal ini, karena bentuk benteng berupa tembok (dinding) keliling yang dilengkapi
dengan senjata sehingga memberi rasa aman terhadap ancaman yang datang dari luar.
Tentu saja, pergeseran fungsi tersebut disertai dengan berbagai fasilitas yang dapat
mendukung aktifitas yang dipusatkan dalam benteng. Gill (1995), bahkan menyebut
bahwa benteng identik dengan dominasi kekuasaan, eksploitasi ekonomi dan simbol
kekuasaan asing di suatu daerah yang dikuasai oleh raja-raja dan penguasa pribumi (Ibid).
Berdasarkan bentuk dan ukurannya, benteng dapat dikelompokkan menjadi empat
jenis, yaitu:
1. Pagger: merupakan bentuk sederhana sebuah benteng yang hanya dilengkapi dengan
pagar kayu keliling;

25
2. Battery/beukery: bangunan pertahanan kecil yang berdiri sendiri untuk menempatkan
sejumlah meriam atau senjata, pada umumnya berbentuk setengah lingkaran dan persegi
empat dengan ukuran ± 4 x 4 meter dengan tinggi 4 meter;
3. Redoute: kubu pertahanan yang berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan
battery, yaitu ± 8 hingga 10 meter, berbentuk persegi untuk menempatkan meriam.
Jenis ini umumnya dapat dikembangkan menjadi benteng yang lengkap.
Blokhuis: bangunan yang pada awalnya lebih difungsikan sebagai gudang komoditi, pada
umumnya berbentuk persegi, terbuat dari kayu, dan batu atau beton. Kemudian, dapat
dikembangkan sebagai benteng lengkap dengan adanya bastion, yang berfungsi sebagai
pos pertahanan;
Klein fort: bangunan pertahanan, umumnya berbentuk persegi, memiliki bastion (sudut
yang menjorok keluar, berbentuk segitiga atau melingkar). Jenis ini memiliki ukuran
lebih besar dibanding redoute, dan memiliki berbagai bangunan yang difungsikan
sebagai kantor, maupun gudang. Namun, jenis ini lebih mengutamakan fungsi pertahanan
dengan adanya bastion. Seiring dengan kebutuhan, jenis redoute dan blokhuis dapat
ditingkatkan menjadi jenis klein fort dengan menambahkan tembok keliling dengan
ukuran yang lebih besar. Hal ini, dapat dilihat pada benteng Amsterdam yang ada di
Hila (Pulau Ambon). Pada awalnya hanya berupa blokhuis, kemudian diperkuat dengan
tembok keliling dengan tambahan bastion pada tiap sudutnya;
4. Groote forten/Kasteelen: bangunan pertahanan, umumnya berbentuk persegi atau bulat.
Jenis ini berukuran lebih besar dibanding klein fort, dengan berbagai fasilitas di
dalamnya, seperti kantor, barak militer, gereja, rumah sakit dan tempat tinggal. Jenis ini
pada umumnya merupakan embrio sebuah kota, seperti Fort Rotterdam di Makassar dan
Nieuw Victoria di Ambon (Pusat Dokumentasi Arsitektur, 2008).
Secara umum, hasil inventarisasi benteng yang dilakukan oleh PDA pada tahun
2007 berhasil mengidentifikasi jumlah benteng yang ada di Maluku sebanyak 69 titik.
Selain benteng, baik benteng kolonial maupun tradisional, objek-objek yang didata
termasuk perbentengan yang merupakan peninggalan masa Perang Dunia II (Effendy dan
Syahruddin, 2007). Namun, tidak semua titik lokasi tersebut akan ditampilkan sebagai data
dalam tulisan ini mengingat kajian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang jejak
tata niaga cengkeh. Dengan demikian, jenis benteng yang memiliki fasilitas perdagangan
yaitu redout/blockhuis/ klein fort dan groote foorten/kasteelen adalah pertimbangan utama
dalam pemilahan data tersebut.
Sementara itu, sebaran benteng di Maluku dapat dikelompokkan dalam dua periode
yaitu periode Portugis dan periode Belanda. Benteng- benteng Portugis sebagian besar
dibangun pada awal abad ke-16 hingga awal abad ke-17, dan Belanda dimulai pada awal
abad ke-17 hingga abad ke-19. Meski demikian, benteng-benteng yang dibangun pada
awal abad ke-16 hingga awal abad ke-17 oleh Portugis, kemudian diambil alih oleh
Belanda untuk memperkuat sistem pertahanan mereka di Maluku.
Berdasarkan pengamatan terhadap keletakan benteng yang ada di Maluku yaitu
benteng yang ditempatkan di daerah pesisir dan daerah perbukitan memberikan asumsi
bahwa benteng yang dibangun di daerah pesisir berkaitan dengan strategi dan taktik perang
maritim. Profil wilayah Maluku yang merupakan wilayah Kepulauan sangat tepat dengan

26
strategi ini. Selain itu, berdasarkan pengamatan terhadap sisa struktur yang ada di sekitar
benteng menunjukkan bahwa benteng yang ada di daerah pesisir pada umumnya
dilengkapi dengan dermaga.
Berdasarkan tabel 1, memperlihatkan bahwa jenis-jenis benteng memiliki fungsi
pertahanan dan juga fungsi tambahan yaitu perdagangan. Jenis benteng yang hanya
memiliki fungsi pertahanan yaitu battery, hal ini jika melihat bentuk dan ukurannya.
Sementara itu, jenis redout/ blockhuis/klein fort dan groote foorten/kasteelen, memiliki
fungsi tambahan sebagai gudang komoditi. Keseluruhan benteng yang ada berjumlah 36,
jenis battery sebanyak 7, jenis redout/blockhuis/klein fort sebanyak 17, groote
foorten/kasteelen sebanyak 9, dan 3 benteng tidak dapat diidentifikasi.

Jika memperhatikan tahun pendirian benteng-benteng yang ada di Maluku, sejarah


penguasaan VOC maupun pemerintah Belanda atas wilayah ini dapat dibagi dalam tiga
fase, yaitu:
1. Pada awal kedatangannya, VOC pada saat itu hanya menempatkan wakil-wakil
perdagangannya di Maluku. Hal ini karena pada awalnya mereka datang dengan tujuan
perdagangan.
2. Fase selanjutnya dengan tujuan monopoli perdagangan rempah- rempah dan
berbagai komoditi lainnya. Mereka kemudian membangun benteng-benteng
pertahanan untuk meredam perlawanan penguasa-penguasa lokal dan memenangkan
persaingan dengan pedagang-pedagang asing lainnya. Pada masa ini, mereka mengatur
berbagai urusan perdagangan dan hal-hal lainnya di dalam benteng (kehidupan intra
muros). Selain membangun benteng yang merupakan bangunan baru, pada umumnya
benteng-benteng tersebut merupakan fasilitas-fasilitas perdagangan yang kemudian
diperkuat dengan dinding pertahanan dan persenjataan.
3. Dan fase terakhir berlangsung setelah keadaan mulai kondusif dan perlawanan-
perlawanan rakyat Maluku berhasil diredam. Fase ini juga ditandai dengan
pembangunan berbagai fasilitas di luar benteng oleh Pemerintah Belanda, dengan
adanya berbagai fasilitas ini maka kehidupan kota kolonial telah dimulai. Kota-kota
yang ada di Maluku seperti Ambon, Banda, Saparua, bahkan kota-kota kecil
memperlihatkan hal ini.
Perk
Perk merupakan area perkebunan pala yang dilengkapi dengan kompleks pengolahan
pala yang terdiri atas beberapa bangunan, diantaranya rumah pengasapan pala, rumah
pengawas, dan rumah pekerja. Pada umumnya, kompleks pengolahan pala memiliki
tembok keliling. Kebijakan VOC pada awal penguasaannya atas Kepulauan Banda telah
menetapkan wilayah ini sebagai pusat utama produksi pala. Lahan-lahan produktif pala di
kepulauan Banda dibagi atas beberapa persil atau yang disebut “perken”(perkebunan).
Perken ini berukuran kira-kira 625 roeden persegi atau sekitar 12-13 hektar per perk.
Perken-perken tersebut diserahkan kepada pihak swasta yang umumnya adalah para pejabat
atau orang-orang Belanda yang memiliki modal. Para pengelola perken disebut perkenier
yaitu pengelola pala berlisensi yang dapat mengelola lebih dari satu perk dan disediakan
25 orang budak. Untuk pengelolaan setiap perk dinilai 625 rijskalders. Pehitungannya
setiap budak mengerjakan 50 roeden dapat memproduksi pala dan fuli per tahun 25

27
rijskalders. Dengan demikian setiap perk dapat menghasilkan 625 rijskalders setiap tahun
(Tim Penelitian, 2009).
Secara umum, rumah pengasapan pala terdiri dari satu unit bangunan yang
berbentuk seperti gudang, luasnya sekitar 10 x 5 meter, atapnya dari seng, temboknya
berasal dari batu kali, mempunyai satu buah pintu masuk , tidak mempunyai jendela dan
tinggi ruangan sekitar 6 meter. Bangunan ini kalau dilihat dari luar bentuknya sama dengan
bangunan- bangunan rumah pada umumnya. Perbedaan dari rumah tempat tinggal dengan
rumah pengasapan pala terlihat pada bagian dalam bangunan. Pada umumnya bagian
dalam dari rumah pengasapan pala terdiri dari dua lantai, bagian bawah merupakan lantai
tanah dan bagian atas terbuat dari susunan bambu atau pelepah sagu. Bagian bawah
berfungsi sebagai tempat menyalakan bara api, sedang bagian atas berfungsi untuk menebar
buah pala yang akan diasapi (Suryanto, 1998).
Berdasarkan peta yang dibuat oleh Van de Wall pada tahun 1928, memberikan
informasi bahwa secara keseluruhan terdapat 33 perken di Kepulauan banda, dengan
rincian: 3 perken di Pulau Banda, 6 perken di Pulau Ay, dan 24 perken di Pulau Lonthor
(Wall, 1928).
- Loji
Loji atau lodge adalah kantor dagang pada masa VOC yang didalamnya terdapat
gudang komoditi, gudang amunisi dan hunian bahkan difungsikan sebagai benteng. Di
Maluku, bekas struktur bangunan ini berada di Pulau Lonthor, Kepulauan Banda. Lokasi
bangunan saat ini merupakan daerah pemukiman, dan sisa struktur yang dapat diamati
berupa bekas dinding dan pintu gerbang. Penempatan loji yang ada di Pulau Lonthor,
berfungsi sebagai pusat pengumpul komoditas pala untuk kemudian dikirim ke Ambon
atau langsung ke Batavia.
- Kepala tongkat dan Surat Penghargaan
c. Sistem pemerintahan yang berlaku sejak kedatangan Belanda (VOC),
sekitar abad-ke-17 adalah sistem pemerintahan desa yang dikenal
dengan negeri. Dalam sistem pemerintahan tersebut, raja memiliki
kedudukan tertinggi. Sistem pemerintahan ini merupakan bagian dari
campur tangan Belanda, sehingga kedudukan raja sering kali adalah
orang-orang yang berpihak kepada kepentingan Belanda. Hal ini
dibuktikan dengan adanya semacam penghargaan berupa Kepala
Tongkat berwarna emas yang merupakan simbol kekuasaan dalam
sistem pemerintahan negeri. Selain Kepala Tongkat tersebut, bentuk
penghargaan lain berupa Surat Penghargaan yang berisi tentang pujian
terhadap seorang raja yang memiliki prestasi dalam produksi cengkeh.
Tata Niaga Rempah-Rempah Masa Kolonial di Maluku
Sebagaimana telah diuraikan, bahwa sebelum kedatangan bangsa Eropa
perdagangan rempah-rempah di Maluku didominasi oleh pedagang-pedagang Cina, Arab,
dan pedagang pribumi. Namun, sejak kedatangan bangsa Eropa perdagangan rempah-

28
rempah menjadi rebutan diantara para pedagang Eropa. Dimulai dengan kedatangan bangsa
Portugis pada tahun 1512, kemudian oleh Belanda pada tahun 1599. Persaingan diantara
kedua pedagang Eropa tersebut berakhir dengan kemenangan Belanda yang berhasil
mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1605. Belanda melalui perusahaan dagangnya
yaitu VOC, kemudian menjadikan Ambon sebagai pusat pemerintahan selama tiga masa
jabatan Gubernur Jenderal yaitu sejak tahun 1610 hingga tahun 1619 (Ricklefs, 2008).
Keberhasilan Belanda mengusir Portugis, menyebabkan Belanda semakin leluasa
menerapkan sistem monopoli rempah-rempah di Maluku. Untuk memantapkan sistem ini,
Belanda berusaha meredam berbagai perlawanan lokal di beberapa daerah diantaranya; Hitu
(P. Ambon) pada tahun 1634 (Rijoly, 1989), Iha (P. Saparua) pada tahun 1632 (Hitipieuw,
1984), dan Banda (Kep. Banda) pada tahun 1620-an (Ricklefs, 2008).
Berdasarkan data sebaran benteng yang ada menunjukkan bahwa hingga
pertengahan abad ke-17, Belanda telah berhasil membangun benteng di tiap pulau yang
ada di Maluku (khususnya Pulau Ambon dan Kepulauan Lease serta Kepulauan Banda).
Dukungan sistem pertahanan ini semakin memantapkan pula kebijakan untuk memusatkan
komoditi rempah-rempah di kedua wilayah yaitu; Pulau Ambon dan Kepulauan Lease,
serta Kepulauan Banda. Hal ini ditandai dengan keberhasilan Gubernur de Vlaming pada
Januari 1652, untuk mendesak Sultan Ternate Mandar Syah menandatangani perjanjian
tentang pelarangan penanaman pohon cengkeh di wilayah Maluku (dan Maluku Utara)
kecuali di Pulau Ambon dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kebijakan ini diikuti pula
dengan pemusatan penanaman pohon pala di Kepulauan Banda (Ibid).
Tidak hanya fungsi pertahanan, fasilitas berupa gudang komoditi serta dermaga
yang melengkapi fungsi perdagangan, menjadikan benteng sebagai sarana pendukung
utama tata niaga rempah-rempah di Maluku. Selanjutnya, untuk menjamin
pelaksanaan perjanjian ini, Belanda menerapkan kebijakan lain yaitu pelayaran hongi
atau ekspedisi hongitochten. Pelayaran hongi atau armada hongi adalah pengerahan
armada kapal yang dipersenjatai untuk melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah
penghasil cengkeh. Pelayaran hongi telah berlangsung sejak masa pendudukan Portugis
dan sistem ini dilanjutkan oleh Belanda setelah berhasil merebut penguasaan atas wilayah
ini. Sejak pemerintahan Portugis, telah berlangsung hubungan antara penduduk Leitimor
(bagian timur Pulau Ambon) untuk menyediakan perahu pengangkut yang disebut dengan
kora-kora (perahu tradisional Maluku). Armada inilah yang kemudian digunakan untuk
melaksanakan pelayaran hongi atau pada masa Belanda disebut ekspedisi hongitochten
(Pattykaihatu, 2009).
Dalam upaya menguasai perdagangan cengkeh, bangsa Eropa melakukan pembatasan
penanaman pohon agar pasokan cengkeh dapat dijaga dan harga dapat dipertahankan.
Tentu saja, apabila pasokan cengkeh berlebih maka harga di pasaran akan turun, tetapi jika
pasokan cengkeh dapat dipertahankan maka harga komoditi ini dapat dipertahankan pula.
Tidak hanya itu, armada ini sekaligus bertujuan untuk melakukan pengawasan terhadap
penduduk pribumi agar tetap menjual hasil panen cengkeh mereka kepada Belanda.
Kebijakan lain yang mendukung sistem tata niaga rempah- rempah, khususnya
cengkeh adalah keberhasilan Belanda mencampuri struktur sosial penduduk pribumi. Di
Maluku khususnya di pulau Ambon dan kepulauan Lease, sistem desa dinamakan Negeri.

29
Struktur masyarakat yang dinamakan negeri tersebut sebetulnya baru timbul pada abad ke-
17 ketika VOC mencampuri kehidupan penduduk dengan maksud mengamankan sistem
monopolinya. Dalam struktur sosial tersebut, pengaturan tentang tata niaga cengkeh
tampak pada tugas dan kewajiban kepala desa (raja) yang telah ditentukan oleh Gubernur
yaitu mengawasi penanaman, pemeliharaan dan panen cengkeh. Selain itu, Raja mendapat
jatah “kwarto” atau orang-orang yang dapat dipekerjakan mengolah kebun, mencari ikan,
memperbaiki rumah maupun pekerjan lain yang bersifat pribadi (Ibid).
Kebijakan selanjutnya adalah sistem tanah dati, yaitu tanah yang dimiliki oleh
keluarga batih atau orang-orang yang memiliki marga yang sama, tanah dati ini kemudian
diolah oleh keluarga-keluarga batih. Sistem ini telah dikenal sejak masa VOC, dan
mengharuskan pemilik tanah dati untuk menanam sejumlah pohon cengkeh yang telah
ditentukan sebelumnya. Hasil dari panen cengkeh tersebut kemudian dijual kepada VOC
yang juga telah ditentukan harganya. Sistem inilah yang kemudian disebut dengan sistem
dati, sehingga pemerintah Belanda melakukan pencatatan yang seksama atas penduduk
suatu negeri (desa) serta tanah dati dan pohon cengkeh maupun buahnya (Ibid).
Sementara itu, Belanda menerapkan sistem yang berbeda untuk komoditi pala
dengan adanya perken atau perkebunan pala. Sistem ini dilakukan dengan membagi tanah-
tanah subur di tiap pulau yang ada di Kepulauan Banda, yaitu Pulau Ay, Pulau Lonthor,
dan Pulau Banda. Pembagian ini mulai dilakukan sejak tahun 1616, dan selesai pada tahun
1628. Perkebunan pala ini kemudian diserahkan kepada orang- orang Eropa yang memiliki
modal dengan sistem sewa. Namun, seiring dengan perjalanannya, perkebunan-perkebunan
yang telah dibagi tersebut berubah menjadi hak milik, dan mengalami banyak perubahan,
baik perluasan areal dengan cara membeli maupun pengurangan areal dengan adanya
pembagian dalam bentuk warisan kepada generasi selanjutnya (Rijoly, 2009). Perkebunan-
perkebunan ini kemudian diolah dengan mendatangkan pekerja-pekerja dari Jawa, Buton,
dan daerah-daerah lain. Sistem pembagian tanah perkebunan, kemudian dilanjutkan dengan
mendatangkan tenaga-tenaga pekerja dari luar dimungkinkan karena keberhasilan Belanda
menguasai daerah ini.

Penutup
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Dalam sistem monopoli rempah-rempah, Belanda menerapkan tata niaga untuk
memperoleh komoditi cengkeh dan pala dengan memusatkan penanaman kedua
komoditi tersebut di dua wilayah yaitu Pulau Ambon dan sekitarnya untuk cengkeh
serta Kepulauan Banda untuk pala. Hal ini, dilakukan untuk memudahkan pengawasan
kedua komoditi tersebut;
2. Terdapat perbedaan sistem tata niaga untuk kedua jenis komoditi rempah-rempah
tersebut, yaitu khusus untuk cengkeh, Belanda menerapkan sistem tanah dati yaitu
menyerahkan pengolahan tanaman cengkeh kepada pribumi (keluarga dati) untuk
selanjutnya dijual kepada Belanda. Sementara itu, komoditi pala menerapkan sistem
perken, yaitu sistem sewa lahan kepada pihak ketiga (swasta) untuk pengolahan

30
perkebunan pala. Setiap perken memiliki perk atau kompleks pengolahan pala, yang
dikerjakan oleh tenaga-tenaga kontrak yang didatangkan dari luar Kepulauan Banda.
Untuk mengamankan keseluruhan sistem tata niaga tersebut, Belanda menerapkan
sistem pertahanan berupa sebaran benteng yang ditempatkan di tiap pulau di Maluku.
3. Sistem tanah dati untuk komoditi cengkeh didukung oleh fungsi tambahan dari
benteng dengan adanya fasilitas gudang komoditi. Sementara itu, untuk komoditi pala
di Kepulauan Banda dianggap lebih aman sehingga menerapkan sistem perken.
4. Khusus untuk komoditi cengkeh, sistem tata niaga juga menyentuh aspek sosial-politik
dengan adanya kerjasama antara Belanda dengan penguasa pribumi serta
memanfaatkan sistem kepemilikan lahan untuk mendukung monopoli cengkeh.
b. Saran
Hasil penelitian ini telah memberikan gambaran tentang tata niaga rempah-rempah
masa Kolonial di Maluku. Terkait dengan hal tersebut, penting dikemukakan bahwa
gambaran tata niaga rempah-rempah dalam konteks lokal dapat dijadikan masukan untuk
melengkapi pembahasan tentang tata niaga rempah-rempah dalam konteks perdagangan
masa Kolonial di nusantara. Hasil pembahasan ini sekaligus dapat dijadikan masukan
dalam upaya pendirian museum rempah-rempah di Maluku. Upaya ini dimaksudkan untuk
melestarikan memori dunia tentang peran Maluku sebagai pusat produksi cengkeh dan
pala di masa lalu. Bahwa signifikansi memori kolektif yang hendak dilestarikan adalah
peran Maluku dalam melahirkan hubungan internasional di masa lalu, lebih penting lagi
telah melahirkan “ke-Indonesia-an” bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Ivan dan Mansyur, Syahruddin. 2007. Draft Awal Laporan Inventarisasi dan
Identifikasi Benteng di Propinsi Maluku. Proyek Kerjasama Dirjen Sejarah dan
Purbakala, Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, Passchier Architects &
Consultan Netherlands, dan Balai Arkeologi Ambon

Hanna, W.A. 1983. Kepulauan Banda Kolonialisasi dan Akibatnya di Kepulauan Pala.
Jakarta: PT. Gramedia.

Harkantiningsih, Naniek. 2009. Pengaruh Kolonial di Nusantara: Penelitian dan


Pengembangan. Makalah dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA).
Denpasar, 5-8 November 2009 : Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
Nasional.

Hitipeuw, Frans. 1984. Kerajaan Iha Berinteraksi dengan Segala Suku Bangsa di Abad XVII
dalam Perjuangan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.

Kustoro L.P. dan Rumere Y. 2004. Rempah Timur dalam Kuliner Barat: Upaya Penyediaan
dan Penggunaannya. Makalah dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala, Medan: Balai
Arkeologi Medan.

31
Loth, C. Vincent. 1995. Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in The 17Th Century.
Makalah dalam Cakalele, Vol. 6: 13-35.

Marihandono, Joko. 2008. Perubahan Peran dan Fungsi Benteng dalam Tata Ruang Kota.
Makalah dalam Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 10 No. 1, April
2008. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia.

Patikayhatu, dkk., 2009. Sejarah Negeri dan Desa di Kota Ambon. Ambon:

Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga.

Pusat Dokumentasi Arsitektur. 2008. Field Survey Report Mid Year Evaluation:

The Inventory and Identification of Fort in Indonesia. Disampaikan dalam


Workshop Hasil Indentifikasi Benteng di Indonesia Timur. Jakarta, 12 Juli 2008.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta:


Departemen Kebudayan dan Pariwisata, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional.

Ricklefs. M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi Rijoly,
Frans. 1989. Guide Book, Indonesia-English Edition. Ambon: Museum

Siwalima Ambon, Proyek Pembinaan Permuseuman Maluku.

Sewang, Ahmad, M. ) Islamisasis Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII Sharer
and Ashmore. 1980. Fundamentals of Archaeology. California. The

Benyamin Publishing Company. Inc Suantika, I Wayan. 2005. Peran dan Fungsi
Benteng Peninggalan Masa Kolonial bagi Pembangunan Daerah Maluku”, Dalam
Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA). Yogyakarta 2005, : Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional

Suryanto, Diman. 1998. Laporan Penelitian Arkeologi Kecamatan Kepulauan Banda


Neira. Ambon: Balai Arkeologi Ambon.

Sutherland, H. 2004. Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan.


Makassar: Hasanuddin University Press.

Tim Penelitian. 2009. Laporan Penelitian Arkeologi Pengaruh Kolonial di Kota Kuna
Banda (Tahap I). Jakarta: Pusat Penelitan dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Wall, Victor Ido van de. 1928. de Nederlandsche Oudheden in de Molukken.

Gravenhage: Martinus Hijhoff.

Wibisono, Sonny Chr. 2004. A Brief History of Research on Trading Ports/ Harbour Sites.
Country Report Indonesia. Makalah dalam Workshop on the Archaeology of Early
Harbours and Evidence for Inter-Regional Trade. Singapore: ARI-NUS.

32
Peranan Pelabuhan Buleleng Sebagai Pusat Pelayaran Dan Jalur Perdagangan
Pada Masa Pemerintahan Hindia BelandaTahun 1846-1939.
Oleh : Rosnawati
Dosen Pengampu : Petrio Renaldi, M.M
Program Sarjana Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Stie Syariah Al-Mujaddid
Tanjung Jabung Timur

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan potensi yang dimiliki
pelabuhan Buleleng sebagai pusat pelayaran dan jalur perdagangan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda tahun 1846-1939,untuk mengetahui faktor yang
menyebabkan perkembangan pelabuhan Buleleng sebagai pusat pelayaran dan jalur
perdagangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1846- 1939, dan untuk
pengetahui peranan pelabuhan Buleleng sebagai pusat pelayaran dan jalur perdagangan
pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1846-1939. Dari penelitian sejarah ini,
penulis menerapkan beberapa metode penelitian sejarah yaitu Heuristik yaitu sumber
tertulis dan lisan diperoleh dari berbagai sumber yaitu arsip kolonial tahun 1850 an , buku
Bali Pada Abad XIX, Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915, Soenda Kecil
Museum dan Sejarahnya,Kritik Sejarah yaitu kritik intern dan ekstern, Interpretasi, dan
Historiografi, Dari hasil analisis data dapat diperoleh hasil penelitiansebagai berikut:
Alasan kolonial Belanda membangun pelabuhan Buleleng

,yaitu posisi geografi, kondisi wilayah, Selain faktor yang mendorong perkembangan
pelabuhan Buleleng yaitu faktor letak, faktor politik, faktor hinterland, dan faktor jumlah
penduduk. Dengan eksitensi pelabuhan Buleleng maka mempunyai peranan sebagai
perdagangan komoditas lokal,pelabuhan buleleng dalam kancah perdagangan
internasional,berbagai komoditas ekspor impor Bali utara, dan sebagai pusat pelayaran.

Kata kunci :Peranan,Pelabuhan, Pelayaran, Perdagangan, Buleleng.

Abstract. This study aims to determine the reasons and potential of the Buleleng port as a
shipping center and trade route during the Dutch East Indies government in 1846-1939, to

33
determine the factors that led to the development of the Buleleng port as a shipping center
and trade route during the Dutch East Indies government in 1846- 1939, and to find out the
role of the port of Buleleng as a shipping center and trade route during the Dutch East
Indies government in 1846-1939. From this historical research, the author applies several
methods of historical research, namely Heuristics, namely written and oral sources
obtained from various sources, namely the 1850's colonial archives, Bali's books on XIX
Century, Trade and Politics in Nusa Tenggara 1815-1915, Soenda Kecil Museum and Its
History Historical criticism, namely internal and external criticism, interpretation, and
historiography. From the results of data analysis, the following research results can be
obtained: The reasons for the Dutch colonial development of the Buleleng port, namely the
geographical position, regional conditions, in addition to the factors driving the
development of the Buleleng port are location factors, factors politics, hinterland factors,
and population factors. With the existence of the Buleleng port, it has a role as a local
commodity trade, the port of Buleleng in the international trade arena, various northern
Bali import export commodities, and as a shipping center.

Keywords: Role, Port, Shipping, Trade, Buleleng.

PENDAHULUAN

Pelabuhan buleleng Sejarah perkembangan kawasan Pelabuhan Buleleng dibedakan


kedalam tiga tahap, yakni: jaman kerajaan, jaman kolonial, dan jaman kemerdekaan. Pada
jaman kerajaan kawasan Pelabuhan Buleleng merupakan kawasan yang berada dalam
kekuasaan Kerajaan Buleleng. Dalam konsep tata ruang tradisional Bali, kawasan
pelabuhan yang berada di daerah pantai utara Buleleng dianggap sebagai kawasan nista
(kotor). Kawasan ini baru mulai ada permukiman pada abad ke 17 sebelum belanda belum
menguasai wilayah bali khususnya di bali utara ketika pelaut bugis lebih dahulu berlayar
dari Makasar datang ke kawasan bali utara. Hubungan yang baik dengan kerajaan Buleleng
dan penduduk pribumi membuat orang-orang bugis tersebut diberikan lahan bermukim di
daerah pantai utara Buleleng yangmenjadi Pelabuhan Buleleng.Selain menjadi nelayan,
keberadaan masyarakat Bugis di kawasan ini dimanfaatkan oleh Raja Buleleng sebagai
armada laut karena keahlian mereka di laut serta berdagang dikarenakan kerajaan Buleleng
terletak di tepi pantai maka dari itulah kerajaan Buleleng memanfaatkan orang bugis
berdagang agar kerajaan Bulelengpun mendapatkan keuntungan serta dapat memajukan
wilayah bali utara pada waktu itu. Orang bugis telah lama dikenal sebagai bangsa pedagang,
ketika itu bali utara sebagai tujuan mereka untuk berdagang khususnya berdagang dengan
komoditinya kain.

Pada tahun 1841 yaitu pada abad ke 18 sebelum Hindia Belanda menguasai wilayah
bali utara, pihak Belanda memaksa pihak dari kerajaan Buleleng untuk menghapus hukum
adat tawang karang dan akhirnya dipenuhi penghapusan hukum adat tawang karang tersebut
hanya berlaku untuk kapal-kapal belanda agar kapal belanda tidak disita oleh pihak
kerajaan buleleng.

34
Pada tahun 1846 akhirnya pemerintah Hindia Belanda menguasai daerah Bali
dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Sebagai
kota pusat pemerintahan maka dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk
diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Belanda membangun Pelabuhan Buleleng
karena dari segi letak geografis yang baik laut bali utara dapat dilintasi berbagai
wilayah , kondisi kedalaman laut di daerah ini tidak terlalu dalam sehingga
walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal besar tidak dapat merapat langsung
ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal besar dilakukan dengan bersandar di
tengah laut kemudian dengan mengunakan kapal yang lebih kecil untuk mencapai
dermaga. Pelabuhan Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan
pintu gerbang utama Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan seperti: dermaga,
gudang, terminal, kantor pabean dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng
dibangun di kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat
perkampungan nelayan bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan
diutamakan sebagai kawasan pegudangan untuk distribusi barang.
Aktifitas yang ramai pada Pelabuhan Buleleng memberi pengaruh pada kawasan
disekitar pelabuhan yang mulai menjadi kawasan perdagangan. Dengan letak yang sangat
strategis menjadikan pelabuhan buleleng adalah salah satu pelabuhan penting yang ada di
Bali. Keunikan Pelabuhan Buleleng dengan pelabuhan lainnya yang ada di Bali khususnya di
Bali utara adalah dimana pelabuhan buleleng berada di tengah jalur perdagangan baik
dengan pelabuhan Sangsit dan pelabuhan Temukus , sehingga pengaruh bugis sangat terlihat
sekali di daerah Buleleng. Sebuah pelabuhan sangat memegang peranan penting , yakni
sebagai pusat aktivitas kemaritiman. Kegiatan pelayaran dan perdagangan yang berlangsung
di pelabuhan mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kota pelabuhan. Terdapat
dua konsep mengenai pengertian pelabuhan yang mengacu pada konsep ekonomi dan konsep
fisik. Berdasarkan konsep ekonomi , pelabuhan dianggap sebagai tempat tukar menukar
atau keluar masuknya barang-barang komoditas antara daerah di pelabuhan dengan daerah
seberang, sementara berdasarkan konsep fisik maka pelabuhan dianggap sebagai tempat
berlabuhnya kapal dapat terlindungi dari ombak besar dan angin yang besar.

Kawasan laut Buleleng merupakan suatu wilayah laut yang terletak di bagian utara
pulau bali. Sejak abad 17 , kawasan di sekitar laut buleleng sudah termasuk dalam
perdagangan laut diseluruh wilayah nusantara. Hubungan perdagangan yang lebih luas
terjadi setelah ekspansi perdagangan Internasional berlangsung hampir disebagian besar
wilayah nusantara pada tahun 1830-an . Sejak saat itu. mulai muncul pusat-pusat
perdagangan baru di kawasan laut Buleleng, salah satunya deretan pertokoan mulai
bermunculan di kawasan ini, sebagai sarana jual-beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan
ini sebagian besar dimiliki oleh kaum dari etnis Cina, yang memang terkenal sebagai bangsa
pedagang. Semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini. Sebagian
besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui
pelabuhan ini. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat pelabuhan sebagai penghubung
kota-kota pelabuhan di nusantara seperti Semarang dan Makasar, serta kota-kota di Sunda
Kecil seperti Ampenan dan Kupang.

35
Pada abad ke 19 perekonomian wilayah Buleleng mengalami perubahan. Apabila
sebelumnya hasil ternak dan kapas merupakan komoditas utamanya maka muncul
komoditi baru yang lebih laku di pasaran dan harga jualnya tinggi yaitu cengkeh dan
kopi. Kemunculan komoditas baru di dalam perdagangan tidak terlepas dari pengaruh
politik ekonomi yang di terapkan pemerintahan hindia belanda. Tujuan dari politik
ekonomi tersebut adalah berusaha untuk meningkatkan hasil- hasil di kepulauan nusantara
agar dapat menunjang kegiatan perdagangan dunia. Kebijakan pengembangan terhadap
pelabuhan , tidak hanya berupa pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung, tetapi juga
dengan melakukan moderenisasi terhadap pengelolaan pelabuhan dagang.

Perkembangan pelabuhan Buleleng sebagai salah satu pusat perdagangan dan


pelayaran, turut pempengaruhi kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1910-an . Memasuki masa perpindahan Ibu Kota Bali pada
tahun 1958-1960 , kondisi pelayaran dan perdagangan di Pelabuhan Buleleng juga mendapat
pengaruh dari merosotnya ekonomi. Terjadinya perubahan dengan dijadikannya pelabuhan
sebagai tempat perang pada masa penjajahan yang dilakukan oleh Jepang , tidak adanya
kapal-kapal asing yang berlabuh di Pelabuhan Buleleng dan akhirnya pihak Hindia Belanda
mengurangi pelayaran akibat dampak merosotnya ekonomi. Berbagai dinamika yang terjadi
dalam perkembangan pelayaran dan perdagangan di Pelabuhan Buleleng sejak penetapan
Pelabuhan Buleleng oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1846

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka yaitu penelitian yang sumber datanya
buku-buku dan tulisan. Penelitian ini terdapat 4 tahap yaitu pemilihan topik , heuristik ,
kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Penelitian yang dilakukan pada umumnya
lebih terfokus pada peranan serta aktivitas perdagangan di Pelabuhan Buleleng seperti
beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan yaitu : (1) Drs Made Pageh,M.Hum
(2018) yang berjudul “Soenda Kecil Museum dan Sejarah dalam penelitiannya menjelaskan
aktivitas perdagangan yang terjadi di pabean Buleleng, Pelabuhan Buleleng sangat ramai
dan berkembang pesat.(2)I Gde Parimartha (2016). “Perdagangan dan Politik di Nusa
Tenggara 1815- 1915”Dalam bukunya membahas tentang keadaan umum mengenai
lingkungan geografis, sumber kehidupan penduduk, sistem politik dan perdagangan di Nusa
Tenggara.(3) Ida Agung Anak Gde Agung (1989) “Bali Pada Abad XIX” Dalam bukunya
ini mengisahkan tentang keadaan aktivitas perdagangan dan
pelayaran yang terjadi di Pelabuhan di Bali, lalu menyusun cerita sejarah atau penulisan
sejarah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Alasan Pemerintah Kolonial Belanda Membangun Pelabuhan Buleleng pada


Tahun 1846-1939

36
Pemerintahan Kolonial Belanda membangun Pelabuhan Bulelengdukung oleh
berbagai alasan sebagai berikut yaitu : (1)Alasan Geografi yaitu posisi pantai utara yang
mendukung dibangunnya suatu pelabuhan serta ,(2) Letak wilayah pantai Utara yang sangat
strategis karena melewati daerah-daerah perdagangan.

Faktor yang mendorong perkembangan Pelabuhan Buleleng


Dengan eksisnya kawasan pantai utara yang telah dibangun pelabuhan, sangat berpengaruh
terhadap perkembangan pelabuhan itu sendiri, keuntungan yang diperoleh dari hubungan
suatu negara dengan negara lain, yang berada dalam satu kawasan laut tertentu akan
memperoleh perkembangan yang sangat pesat. Hal ini turut mempengaruhi upaya- upaya
negara dalam membangun sistem pertahanan negaranya, yang bertumpu pada kekuatan
laut. Adapun faktor berkembangnya pelabuhan Buleleng(1)Faktor politik Dilihat dari
faktor politik , pelabuhan dibangun bisa di bangun dalam keadaan mati dan bisa dibangun
hidup. Pemerintahan Belanda yang memberikan peluang dan yang memberikan
pengawasan kepada pedagang-pedagang tradisional agar berlabuh ke pelabuhan Buleleng.
(2)faktor HinterlandPelabuhan Buleleng memang pelabuhan interland yang artinya
Buleleng itu memiliki daerah-daerah belakang yang sangat subur, yang memang nantinya
diperjual belikan hasil dari daerah belakang di pelabuhan Buleleng.
Misalnya daerah Buleleng yang berada di bagian timur,bagian tengah, serta di bagian barat,
adapun bagian-bagian daerah interland(3)Faktor Jumlah Penduduk. Masalah penduduk
dalam tulisan ini, dipandang sebagai salah satu faktor dari faktor-faktor produksi, selain
faktor alam, faktor manusia, dan faktor modal. Faktor penduduk dapat dipandang sebagai
faktor tenaga kerja dan atau juga sebagai faktor pelaku yang sangat penting dalam sistem
perekonomianPertumbuhanpenduduk serta struktur yang ada di dalamnya dari waktu ke
waktu, serta kehidupan ekonomi kelompok penduduk tertentu, sangat berguna untuk
melihat struktur perdagangan, tingkat-tingkat perdagangan, dan aktivitas perdagangan yang
ada di daerah Bali Utara. Karena dari data kependudukan dapat dijelaskan banyak hal,
sehubungan dengan kehidupan sosial ekonomi masyakat Bali Utara.

B. Peranan dari Pelabuhan Buleleng sebagai pusat pelayaran dan


jalur perdagangan pada tahun 1846 – 1939.

Di samping jalan darat sebagai sarana pendukung perdagangan di kota Singaraja adalah
jalan laut yang lebih berkembang pesat. Bahkan lintas laut merupakan sarana perhubungan
utama dalam perdagangan sejak awal. Sehubungan dengan lintas laut, kota Singaraja
memiliki Pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan tempat ke luar- masuknya barang.Adapun
peranan pelabuhan Buleleng yaitu: (1)Perdagangan Bali Utara Pada Awal Kekuasaan
Belanda,Perdagangan Komoditas Lokal di Pelabuhan Buleleng yaitu ada komoditas kopi,
sapi,babi, gula aren, anyaman bambu ,Pelabuhan Buleleng dalam Kancah Perdagangan
Internasional,(2)Berbagai Komoditas Ekspor Bali Utara,Impor Kebutuhan Lokal di
Bali Utara, 1900- 1918,(3)Struktur Perdagangan Bali Utara 1900-1942Pada zaman
kolonial,perdagangantelah mempergunakan uang resmi yang dikeluarkan oleh

37
pemerintah Hindia Belanda, namun uang kepeng Cina masih tetap dipergunakan, karena
sudah memasyarakat dan mendarah daging jauh sebelumnya.(4)Peranan Subandar dalam
Perdagangan di Kota Singaraja yaitu Pada saat kedatangan Belanda pertama ke
Buleleng, ditemukan ada tujuh pelabuhan yang disewa olehSubandar Cina, dengan
pusatnya adalah Pabean Buleleng.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Dari hasil penelitian tentang peranan pelabuhan Buleleng sebagai pusat pelayaran dan
jalur perdagangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1846-1939 yang di
paparkan, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
Sebagian bangsa kepulauan terbesar, indonesia memiliki sektor maritim yang luas
yang di kembangkan dengan baik sehingga dapat membantu Negara untuk mencapai tujuan
ekonomi. Pada masa kolonial Belanda pelabuhan memiliki peranan dan tujuan yang sangat
penting sebagai pusat pelayaran dan jalur perdagangan sehingga dari paparan ini, penulis
dapat menyimpulkan alasan pemerintahan kolonial Belanda membangun pelabuhan
Buleleng yaitu dikarenakan dari segi letak geografis yang baik laut Bali utara dapat
dilintasi berbagai wilayah, kondisi kedalaman laut di daerah ini tidak terlalu dalam
sehingga pelabuhan Buleleng termasuk pelabuhan alam yaitu alam menyediakan pelabuhan
tanpa harus ada pengerukan, kondisi wilayah, Buleleng yang terletak di wilayah Utara
Pulau Bali topografinya sangat beragam serta Buleleng yang memiliki iklim laut tropis
yang dipengaruhi oleh angin musim dan terdapat musim kemarau dan hujan. Termasuk
dalam hal ini segala yang berkaitan dengan seperti hasil alam dan keadaan iklim yang
berpengaruh terhadap upaya pengembangan kekuatan laut. Oleh karena itu sangatlah tepat
jika di wilayah pantai Bali Utara di bangun pelabuhan Buleleng dikarenakan keadaan
pantainya cukup baik, sehingga cocok untuk membangun sebuah pelabuhan.
Dari paparan penulis akan menyimpulkan faktor yang mendorong berkembangnya
pelabuhan Buleleng yaitu faktor letak, faktor politik, faktor hinterland, faktor pariwisata,
serta faktor jumlah penduduk sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan pelabuhan
Buleleng. Letak wilayah di pantai utara atau di kawasan Buleleng sangat strategis yakni
terletak di jalur perdagangan melewati daerah perdagangan dengan pusat-pusat
perdagangan di luar dan di kawasan pantai Buleleng sudah ramai sebelumnya telah
adanya pelabuhan. Pelabuhan Buleleng dijadikan sebagai pusat
administrasi barang keluar dan masuk datang ke Bali atau Barang Bali dibawa keluar atau
bisa di bilang baik ekspor maupun impor, barang lokal maupun non lokal itu di
administrasi dan dicatat di pelabuhan Buleleng dengan demikian pelabuhan Buleleng
menjadi ramai dikarenakan administrasi dan ramai di control politik serta dihalau agar
masuk ke pelabuhan Buleleng.
Pelabuhan Buleleng memiliki daerah-daerah belakang yang sangat subur, para
orang-orang asing atau wisatawan yang datang ke Bali mereka sebelumnya harus singgah
di pelabuhan Buleleng , serta penduduk dapat dipandang sebagai faktor tenaga kerja dan
atau juga sebagai faktor pelaku yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Oleh
karena itu sangatlah tepat jika pelabuhan Buleleng ini sangat ramai melakukan kegiatan

38
pelayaran dan perdagangan. Maka dari itu sangat mendorong perkembangan pelabuhan
Buleleng.
Dari paparan penulis akan menyimpulkan Peranan Pelabuhan Buleleng Sebagai
Pusat Pelayaran dan Jalur Perdagangan Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Tahun
1846-1939 yaitu peranan dalam aktivitas perdagangan ekspor maupun impor, berbagai
komoditas lokal di Bali Utara sangatlah mempunyai peranan yang sangat penting terutama
hasil perkebunan, pertanian, perternakan dikarenakan akan di ekspor ke berbagai wilayah
melalui pelabuhan Buleleng, kapal-kapal yang singgah di Pelabuhan Buleleng pun
mempunyai peranan yang sangat besar untuk aktivitas naik turun orang dan perdagangan
terutama perdagangan dengan daerah lain, mengakibatkan segera terbentuk jaringan
perdagangan dengan pusat-pusat perdagangan yang ada di luar Bali. Ramainya perdagangan
di Bali Utara bahkan menjadi termaju di kawasan Nusa Tenggara tidak terlepas dari peranan
kebijakan politik kolonial menjadikan pelabuhan Buleleng sebagai sarana ekspor maupun
impor barang, naik turunnya orang melalui pelabuhan Buleleng.

Saran
Berbicara tentang alasan di bangunnya pelabuhan Buleleng pada masa pemerintahan
kolonial Belanda adalah suatu periode emas yang pernah dilalui oleh Bali Utara. Bali Utara
yang memiliki posisi pantai yang tenang dan sangat cocok dijadikan pelabuhan. Periode
yang menunjukan bahwa negari ini pernah berjaya dengan segala aktivitas perdagangan dan
pelayaran di sekitar Bali Utara. Pengaruh dengan adanya pelabuhan Buleleng tidak hanya di
kawasan Indonesia saja, tetapi sampai ke luar negeri. Hal ini terbukti dari ramainya
pedagang asing serta aktivitas perdagangan baik impor maupun ekspor yang dilakukan di
pelabuhan Buleleng. Dengan demikian, pelabuhan Buleleng kembali normal , dan secara
otomatis pengusaha, modal asing, masyarakat akan dapat bertumbuh seperti yang di
harapkan.
Begitu pelabuhan di Indonesia sebagai pusat pelayaran dan jalur perdagangan
Belanda, terkait hal ini bagaimana pelabuhan Buleleng , sebagai pusat pelayaran dan jalur
perdagangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Adapun faktor yang menyebabkan
hal tersebut yakti faktor letak, faktor politik, faktor hinterland, dan yang terakhir faktor
pariwisata. Dengan begitu dewasa ini, generasi muda harus benar-benar mengkhayati dan
selalu mengingat betapa pentingnya peranan pelabuhan Buleleng sebagai potensi besar
akan kemajuan kawasan Bali Utara dan pelabuhan Buleleng sebagai pelabuhan yang
pernah eksis dan bersejarah yang semestinya kita kenang hingga seterusnya.
Peranan pelabuhan sangat penting dalam perekonomian dan perkembangan suatu
daerah sebagai penghubung dan pintu masuk dalam melakukan roda perekonomian suatu
daerah tertentu baik di bidang ekspor maupun impor barang antar pulau maupun benua.
Oleh sebab itu maka pemerintah untuk menghidupkan kembali pelabuhan Buleleng karena
memiliki potensi yang besar di bidang perdagangan serta harus bisa menjaga dan
memanfaatkan kesempatan yang ada terkait dengan fasilitas – fasilitas pelabuhan guna
menjaga keamanan, ketertiban suatu pelabuhan.

39
DAFTAR PUSTAKA
Abd, Rahman Hamid.2013:Sejarah Maritim Indonesia :Yogjakarta:Penerbit Ombak
Agung. 1989. Bali pada Abad XIX. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Bagus, I Gusti Ngurah (et al.), 1981. Monografi Kota Singaraja, Fakultas Sastra
Universitas Udayana: Denpasar.

Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Clifford Geertz itu, Negara: The Theatre State in Nineteeth-Century Bali, (New Jersey:
Princeton University Press, 1980), hal. 87 Damsar. 2015. Pengantar Teori Sosiologi.

Jakarta: Kencana.
Dien. 2014. Sebuah Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Kencana.

Gede Pratiwi, Ida Ayu.1993: Peranan Pelabuhan Temukus dalam Perdagangan di Bali
Tahun 1849- 1942: Universitas Udayana. Skripsi tidak di terbitkan.

George Ritzer. 2015. Teori Sosiologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Grader, C.J. Nota Van Toelichtingen Betreffende het in te Stellen Zelfbesturend Landschap
Boeleleng, (Gedong Kirtya Singaraja,tt.), hal. 36-37

Hartati Prawironoto, Peranan Pasar Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Jawa Tengah,
(Jakarta: Depdikbud, 1992), hal. 32-69

Gonsianus, Mejin.2017. “Peranan Pelabuhan Kedindi Di Kecamatan Reok Kabupaten


Manggarai Tengah Nusa Tenggara Timur Sebagai Pusat Perdagangan Belanda
Tahun 1939-1941: IKIP PGRI BALI. Skripsi tidak di terbitkan

Kawi, Gde. 1968 “Tinjauan Geografi Ekonomi Pelabuhan Laut Buleleng, Sekripsi S-1,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kementrian Pendidikan. 2011. EYD Terbaru (Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009).
Yogyakarta: Pustaka Timur.

Pageh, I Made. 1992. “Pelabuhan Temukus dan Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat
Sekitarnya Sejak Abad XIX di Daerah Banjar Kabupaten Buleleng”, Laporan
Penelitian, FKIP Singaraja (Unpublish).

-----------------. 1998. “Dai Tengkulak


Sampai Subandar: Perdagangan Komuditas Lokal Bali Utara Pada Masa Kolonial Belanda,
1850-1942”, Tesis. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta (Unpublish).
-----------------2018.”Soenda Kecil
Museum dan Sejarah”,Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng.
Pageh, I Made, dkk.2017:Membuka jalan keilmuan:Singaraja

40
Parimartha, I Gde.2016:Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-
1915:Yogyakarta:Penerbit Ombak

Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jilid I Tanah di
Bawah Angin, (Mochtar Pabotinggi, Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Rip Jones. 2010 . Pengantar Teori – Teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Post-
modernisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Suari, Ni Ketut.1986: “Peranan syahbandar di Bali pada abad XIX: Universitas Udayana.
Skripsi tidak di terbitkan.

Suratman, dkk. 2013. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Malang: Intimedia.

Wirawan, A.A. Bagus. 2012. Pusaran Revolusi Indonesia di Soenda Kecil 1945-1950 .
Denpasar; Udayana Press.

-------------------------. 2012. Teori-Teori

Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana.

Zuhdi, Susanto.2016:Cilacap (1830-1942) Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di

Jawa.2016:Yogyakarta:Penerbit Ombak
Zuhdi Susanto.1993.Pasai Kota Pelabuhan Jalan

Sutra.Jakarta:Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.


Zuhdi Susanto.1994. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra.Jakarta: Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Sumiyati,(2018),”Eksistensi Bima Dalam Pelayaran dan Perdagangan Antar Pulau”.Jurnal


Ilmu Sejarah dan Pendidikan.18, (1), 39-52.

Zuraidah,dkk(2017).”Pelabuhan Sangsit Sebagai Pusat Perdagangan Pada Masa


Pemerintahan Kolonial Belanda di Kabupaten Buleleng
Abad XIX”.Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud.20,18- 25.

41

Anda mungkin juga menyukai