Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara

yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa.

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah

parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. 2.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006) Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998) Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006). 2.2 Jenis jenis ular berbisa Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong, 1998)

Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: 1. Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai

2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo

3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri ciri ular tidak berbisa:
y

Bentuk kepala panjang

segi

empat

y y

Gigi taring kecil Bekas gigitan, luka berbentuk lengkung

halus

y y y

Ciri ciri ular berbisa:

Kepala segi tiga Dua gigi taring besar di rahang atas Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : y Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan) y Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

2.3 Patofisiologi Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat

bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan. Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah : (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida. (2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot. (3) enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005) 2.4 Gejala klinis Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998) Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987) : y Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam) y Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur y Gejala khusus gigitan ular berbisa :

o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID) o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). (Sudoyo, 2006)

Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut: Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :  Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.  Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam. Menurut WHO (Warrell, 2005) gejala local dan tanda pada tempat gigitan : y Bekas taring/gigitan y Nyeri dan pendarahan lokal y memar y lymphangitis y pembesaran lymphonodi y inflamasi (bengkak, kemerahan, panas) y melepuh y infeksi lokal, formasi abses y nekrosis Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular : Gigitan Elapidae  Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.  Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.

 Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

Gigitan Viperidae:  Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan  Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. Gigitan Hidropiidae:  Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah  Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:  Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin.  Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting. Gigitan Coral Snake:

Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006) Tanda dan gejala lokal : 1. Tanda gigi taring 5. lymphangitis 2. Nyeri lokal 6. Bengkak, merah, panas 3. Pendarahan lokal 7. Melepuh 4. Bruising 8. Necrosis

Gejala dan tanda sistemik umum : Umum Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration. Kardiovascular (Viperidae) : Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva. Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) : b Perdarahan dari luka gigitan b Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial Neurologik (Elapidae, Russells viper) : Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis Otot rangka (sea snakes, Russells viper) : Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut Ginjal (Viperidae, sea snakes) : LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)

Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper) : y Fase akut: syok, hypoglycaemia y Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999).

2.5 Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang


 Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, Ddimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.  Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)  EKG  Foto dada

2.6 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :  Anafilasis  Trombosis vena bagian dalam  Trauma vaskular ekstrimitas  Scorpion Sting  Syok septik  Luka infeksi 2.7 Penatalaksanaan Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam menangani gigitan ular (Warrell, 2005) : y Pertolongan pertama y Segera kirim ke RS y Resusitasi dan penanganan klinis segera y Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular y Periksa lab y Pemberian SABU y Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya y Pemberian terapi suportif y Penanganan bekas gigitan

y y

Rehabilitasi Penanganan komplikasi kronis

Tujuan pertolongan pertama y mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun y mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke

y y y

RS mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis Above all, do no harm!

Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Cara tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode penggunaan torniket (cara ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang terlalu lama karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak yang menjadi gangren), insisi tempat gigitan, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya dan bahkan membahayakan. (WHO, 2005)
Recommended first aid methods
y y y y Menenangkan korban yang mungkin sangat Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah atau limfe) Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular Elapidae Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi, meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.

Tindakan Pelaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah y Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan y Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol y Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang

berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

Petunjuk awal bahwa pasien mengfalami gejala keracunan berat : y Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya y Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan y Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racun

y y

telah menyebar pada saluran limfe. Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah, diare, nyeri kepala hebat, berat pada kelopak mata, mudah mengantuk atau ptosis yang aal/opthalmoplegia Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan Urin berwarna coklat gelap

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: y Penatalaksanaan jalan napas y Penatalaksanaan fungsi pernapasan y Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid y Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai) y Periksa lab, Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati. y Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection y Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: b 10-50 LD50 bisa Ankystrodon b 25-50 LD50 bisa Bungarus b 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix b Fenol 0.25% v/v Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Dosis SABU pada anak dan dewasa sama, karena ular menginjeksikan jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigit dewasa ataupun anak-anak.

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001): Pedoman terapi SABU menurut Luck : b Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit b Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole blood or platelet concentrates. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.
Antivenom reactions A proportion of patients, usually more than 20%, develop a reaction either early (within a few hours) or late (5 days or more) after being given antivenom. Early anaphylactic reactions: usually within 10-180 minutes of starting antivenom, the patient begins to itch (often over the scalp) and develops urticaria, dry cough, fever, nausea, vomiting, abdominal colic, diarrhoea and tachycardia. A minority of these patients may develop severe life-threatening anaphylaxis: hypotension, bronchospasm and angio-oedema
Pyrogenic (endotoxin) reactions usually develop 1-2 hours after treatment. Symptoms include shaking chills (rigors), fever, vasodilatation and a fall in blood pressure. Febrile convulsions may be precipitated in children. These reactions are caused by pyrogen contamination during the manufacturing process Late (serum sickness type) reactions develop 1-12 (mean 7) days after treatment. Clinical features include fever, nausea, vomiting, diarrhoea, itching, recurrent urticaria, arthralgia, myalgia, lymphadenopathy, periarticular swellings, mononeuritis multiplex, proteinuria with immune complex nephritis and rarely encephalopathy

Treatment of early anaphylactic and pyrogenic antivenom reactions


Epinephrine (adrenaline) is given intramuscularly (into the deltoid muscle or the upper lateral thigh) in an initial dose of 0.5 mg for adults, 0.01 mg/kg body weight for children. Severe, life-threatening anaphylaxis can evolve very rapidly and so epinephrine (adrenaline) should be given at the very first sign of a reaction, even when only a few spots of urticaria have appeared or at the start of itching, tachycardia or restlessness. The dose can be repeated every 5-10 minutes if the patients condition is deteriorating. At the earliest sign of a reaction:

Antivenom administration must be temporarily suspended Epinephrine (adrenaline) (0.1% solution, 1 in 1,000, 1 mg/ml) is the effective

treatment for early anaphylactic and pyrogenic antivenom reactions

Additional treatment anti H1 antihistamine such as chlorpheniramine maleate (adults 10 mg, children 0.2 mg/kg by intravenous injection over a few minutes) should be given followed by intravenous hydrocortisone (adults 100 mg, children 2 mg/kg body weight).
There is increasing evidence that anti H 2 antihistamines such as cimetidine or ranitidine have a role in the treatment of severe anaphylaxis. Both drugs are given, diluted in 20 ml isotonic saline, by slow intravenous injection (over 2 minutes). Doses: cimetidine adults 200 mg, children 4 mg/kg; ranitidine adults 50 mg, children 1 mg/kg.

Treatment of late (serum sickness) reactions


Late (serum sickness) reactions usually respond to a 5-day course of oral antihistamine. Patients who fail to respond in 24-48 hours should be given a 5-day course of prednisolone. Doses: Chlorpheniramine: adults 2 mg six hourly, children 0.25 mg/kg /day in divided doses Prednisolone: adults 5 mg six hourly, children 0.7 mg/kg/day in divided doses for 5-7 days

Neurotoxic envenoming
Antivenom treatment alone cannot be relied upon to save the life of a patient with bulbar and respiratory paralysis akibat neurotoksin pada bias ular. Death may result

from aspiration, airway obstruction or respiratory failure. A clear airway must be maintained. Atropine sulphate (adults 0.6 mg, children50 g/kg body weight) is given by intravenous injection followed immediately by edrophonium chloride (adults 10 mg, children 0.25 mg/kg body weight) given intravenously over 3 or 4 minutes. The patient is observed over the next 10-20 minutes for signs of improved neuromuscular transmission If edrophonium chloride is not available, any other anticholinesterases (neostigmine Prostigmine, distigmine, pyridostigmine, ambenomium) can be used for this assessment but a longer period of observation will be needed (up to 1 hour

Hypotension and shock


Snake bite: causes of hypotension and shock
(1) Anaphylaxis Vasodilatation Cardiotoxicity Hypovolaemia (2) Antivenom reaction Respiratory failure Acute pituitary adrenal insufficiency Septicaemia

This is usually the result of hypovolaemia (from loss of circulating volume into the

swollen limb, or internal/external haemorrhage), venom-induced vasodilatation or direct myocardial effects with or without arrhythmias In patients with evidence of a generalised increase in capillary permeability, a selective vasoconstrictor such as dopamine may be given by intravenous infusion, preferably into a central vein (starting dose 2.5-5 g/kg/minute

Oliguria and renal failure


Detection of renal failure
Dwindling or no urine output Rising blood urea/creatinine concentrations Clinical uraemia syndrome

nausea, vomiting, hiccups, fetor, drowsiness, confusion, coma, flapping tremor, muscle twitching, convulsions, pericardial friction rub, signs of fluid overload

Conservative management may tide the patient over, avoiding the need for dialysis If the patient is hypovolaemic : 1. Establish intravenous access 2. Insert a urethral catheter 3. Determine the central venous pressure. 4. Fluid challenge until the jugular venous pressure/central venous pressure has risen to 8-10 cm above the sternal angle (with the patient propped up at 45o). f the urine output does not improve, try furosamide challenge. 5. Furosamide (frusemide) challenge: 100 mg of furosamide is injected slowly (4-5 mg/minute). If this does not induce a urine output of 40 ml/hour, give a second dose of furosamide, 200 mg. If urine output does not improve, try mannitol challenge. 6. Mannitol challenge: 200 ml of 20% mannitol may be infused intravenously over 20 minutes but this must not be repeated as there is a danger of inducing dangerous fluid and electrolyte imbalance. 7. Conservative management: If the urine output still does not improve, the patient should be referred to a renal unit. The diet should be bland, high in calories (1700/day), low in protein (less than 40g/day), low in potassium (avoid fruit, fruit juices and potassium containing drugs) and low in salt. 8. Biochemical monitoring: Serum potassium, urea, creatinine and, if possible, pH, bicarbonate, calcium and phosphate should be monitored frequently. If this is not possible the electrocardiogram (ECG) should be examined for evidence of hyperkalaemia serum potassium >6.5 mmol/l or ECG changes 9. Dialysis Indications for dialysis Clinical uraemia Fluid overload Blood biochemistry one or more of the following creatinine >6 mg/dl (500 mol/l) urea >200 mg/dl (400 mmol/l) potassium >7 mmol/l (or hyperkalaemic ECG changes) symptomatic acidosis

Treatment of the bitten part


The bitten limb, which may be painful and swollen, should be nursed in the most comfortable position, preferably slightly elevated, to encourage reabsorption of oedema fluid. Bullae may be large and tense but they should be aspirated only if they seem likely to rupture

Bacterial infections
prophylactic course of penicillin (or erythromycin for penicillin-hypersensitive patients) and a single dose of gentamicin or a course of chloramphenicol, together with a booster dose of tetanus toxoid is recommended. Interference with the wound (incisions made with an unsterilised razor blade/knife etc) creates a risk of secondary bacterial infection and justifies the use of broad spectrum antibiotics (eg amoxycillin or a cephalosporin plus a single dose of gentamicin plus metronidazole).

Compartmental syndromes and fasciotomy


Swelling of envenomed muscle within such tight fascial compartments could result in an increase in tissue pressure above the venous pressure, resulting in ischaemia. Clinical features of a compartmental syndrome Disproportionately severe pain Weakness of intracompartmental muscles Pain on passive stretching of intracompartmental muscles Hypoaesthesia of areas of skin supplied by nerves running through the compartment Obvious tenseness of the compartment on palpation The most reliable test is to measure intracompartmental pressure directly through a cannula introduced into the compartment and connected to a pressure transducer or manometer, intracompartmental pressures exceeding 40 mmHg (less in children) may carry a risk of ischaemic necrosis. Criteria for fasciotomy in snake -bitten limbs Haemostatic abnormalities have been corrected (antivenom with or without clotting factors) clinical evidence of an intracompartmental syndrome intracompartmental pressure >40 mmHg (in adults)

Rehabilitation
Restoration of normal function in the bitten part after the patient has been discharged from hospital is not usually supervised. Conventional physiotherapy may well accelerate this process.

b Terapi suportif lainnya pada keadaan :

Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan

b Terapi profilaksis Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular :


b Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki b Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular b Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak b Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti b Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)

DAFTAR PUSTAKA 1. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com. 2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta 3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM 4. Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. 5. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre

for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand. 7. Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi 110002. India. 8. Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi: 10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

Anda mungkin juga menyukai