Anda di halaman 1dari 3

Melatonin, Kualitas Tidur dan Covid-19

Oleh : Ari Baskoro

Divisi Alergi-Imunologi Klinik

Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam

FKUA/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda dunia memang bisa menimbulkan rasa cemas
dan takut diantara insan manusia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Namun disisi lain,
rasa cemas dan takut yang berlebihan, dapat memicu kepanikan yang justru dapat membuat
keadaan semakin memburuk. Kepanikan adalah separuh dari penyakit, sedangkan
ketenangan adalah separuh dari obat, serta kesabaran menghadapi situasi yang
menggelisahkan adalah awal dari kesembuhan. Diperlukan suatu kesabaran dan tawakal pada
Sang Pencipta dalam menghadapi wabah Covid-19 ini yang belum dapat dipastikan kapan
berakhirnya.
Kata-kata motivasi dari seorang ahli tersebut perlu sekali diketengahkan agar situasi
pageblug yang menyulitkan tatanan kehidupan manusia ini tidak merupakan roda yang terus
berputar, menimbulkan lingkaran setan yang dapat menimbulkan dampak lebih merugikan.
Seperti yang telah banyak diberitakan, Covid-19 ini lebih dominan menimbulkan penyulit,
bahkan fatalitas yang berujung pada kematian, terutama pada lansia dan adanya penyakit-
penyakit yang diderita (komorbid). Data epidemiologi menunjukkan, pada usia dibawah 20
tahun atau pada anak-anak, bisa menimbulkan dampak, namun bisa dikatakan jarang sekali
sampai menimbulkan kondisi yang fatal.
Para ahli medis diseluruh dunia dibuat mengernyitkan dahi, memeras otak untuk
dapat mengungkap tabir yang menggelisahkan ini. Mereka semua berlomba-lomba berpacu
dengan waktu, bahkan mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk upaya menjinakkan
kedigdayaan virus penyebab Covid-19 ini. Usaha-usaha penemuan obat dan vaksin terus
digalakkan, namun tidak dilalaikan juga mengungkap fenomena biologi didalam tubuh
manusia yang mungkin bisa memberi penjelasan, kenapa pada orang-orang tertentu lebih
rentan menerima akibat buruk dari serangan virus ini. Saat ini mata para pakar bidang medis
tertuju pada melatonin.
Melatonin dan Kualitas Tidur
Melatonin adalah hormon neurotropik yang diproduksi oleh kelenjar pineal didalam
otak. Senyawa ini sangat berperanan dalam ritme biologis, regulasi tekanan darah, sistem
imunitas dan sebagai anti oksidan yang penting. Produksinya dikendalikan oleh reseptor pada
retina mata yang peka terhadap cahaya. Pada keadaan lingkungan yang gelap, sekresinya
akan meningkat. Sebaliknya, sintesisnya akan terhambat bila terpapar oleh cahaya. Ada suatu
fakta yang menarik, bahwa kadar hormon ini didalam darah manusia berbanding terbalik
dengan usia. Artinya, semakin bertambah usia manusia, kadar hormon ini semakin berkurang.
Diketahui pada anak usia 1-3 tahun, kadar hormon ini mencapai puncak tertinggi. Disamping

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 25 AGUSTUS 2020 | VOL.48 Hal 1


itu, kadar hormon ini pada setiap individu bervariasi dari waktu ke waktu dengan kadar
puncak pada malam hari dan mencapai level terendah pada pagi hari sekitar jam 7.30 sampai
dengan jam 10.00. Inilah yang didunia medis dikenal sebagai ritme sirkadian.
Sebagai perbandingan, pada kelelawar yang diduga kuat sebagai pembawa virus SARS-
CoV-2, penyebab Covid-19, kadar melatonin hewan malam yang hanya berbobot tidak sampai
1 Kg ini, beberapa kali lipat lebih tinggi dibanding manusia. Pada siang hari pun, kadarnya
tidak banyak berubah, karena pembawa virus ini senantiasa berada dalam kegelapan didalam
gua yang menjadi ekosistem paling ideal baginya. Fakta biologi yang menarik ini bisa
menerangkan, bagaimana kelelawar dapat “menyimpan” virus tersebut dalam jumlah yang
sangat banyak, tanpa menimbulkan penyakit. Lalu apa relevansinya bagi kehidupan manusia
yang sedang menghadapi cobaan berat menghadapi wabah kali ini ? Akankah kita belajar dari
fenomena kelelawar ?
Banyak spekulasi merebak, walaupun belum bisa dikategorikan sebagai lansia dan
tidak memiliki riwayat penyakit penyerta, seseorang bisa jatuh dalam keadaan yang fatal
akibat Covid-19, bila individu tersebut mengalami gangguan tidur dan kecemasan. Awalnya
berdasarkan pengamatan pada individu yang mengalami gangguan tidur dalam beberapa
gradasi, baik disertai ataupun tanpa rasa cemas, mengalami situasi yang disebut sebagai
inflamasi kronik. Sebetulnya rasa cemas dan gangguan tidur mempunyai efek ganda terhadap
sistem imunitas tubuh. Dalam jangka waktu yang singkat, mempunyai dampak yang
menguntungkan sebagai stimulator, namun sebaliknya dalam keadaan yang berkepanjangan
(kronik), justru dapat menekan sistem imunitas tersebut. Efek yang sepadan juga bisa terjadi
pada gangguan tidur (insomnia) yang bersifat sementara maupun yang berlangsung lama.
Pada kondisi insomnia kronik, produksi melatonin sangat terganggu secara signifikan dan
keadaan ini persis sama bila seseorang mengalami rasa cemas yang berkepanjangan. Secara
ilmiah, cemas yang berlebihan dan gangguan tidur dapat diukur melalaui parameter hormon
stres (cortisol) dan parameter-parameter inflamasi lainnya didalam darah. Tidaklah
mengejutkan apabila insomnia kronik dapat memicu penyakit-penyakit yang didasari
inflamasi kronik, seperti misalnya mudah lupa, penyakit jantung dan pembuluh darah,
penyakit metabolik, serta disfungsi sistem imunitas tubuh yang ditandai dengan relatif
mudahnya seseorang mengalami infeksi, proses penyembuhan infeksi yang lebih lambat dan
respon terbentuknya antibodi yang kurang optimal. Oleh karena itu, saat ini para ahli sedang
gencar meneliti manfaat melatonin sebagai senyawa yang dapat dikombinasi dengan obat-
obat anti Covid-19, maupun sebagai imunomodulator yang dapat meningkatkan efektifitas
vaksinasi.
Tahajjud dan Dzikir
Bagi umat muslim yang rutin melakukan sholat tahajjud dan dzikir pada malam hari,
pasti menyimpan suatu pertanyaan, akankah ibadah yang dilakukannya tersebut dapat
mengganggu sistem imunitas tubuh, karena mengurangi jam tidur malam hari ? Ada banyak
penelitian yang bisa mengungkap tabir ini secara ilmiah. Parameter hormon stres dan
petanda inflamasi justru akan menurun, apabila seorang muslim melakukannya secara rutin,
benar, khusyu dan ikhlas.

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 25 AGUSTUS 2020 | VOL.48 Hal 2


Tidur yang Sehat
Untuk mendapatkan manfaat fisiologis yang optimal bila seseorang tidur, beberapa
peneliti menyarankan : tidur yang ideal adalah 7-8 jam/hari, hindari “sinar biru” dari
perangkat elektronik dan gawai, buatlah jadwal tidur yang teratur, sehingga dapat
memelihara ritme sirkadian, hindari minum kopi sebelum tidur, mandi air hangat sebelum
tidur akan lebih bermanfaat dan bila mungkin mengatur suhu ruangan pada kondisi yang
optimal. Sebagai penutup, kata-kata penuh makna dari Benjamin Franklin, negarawan
Amerika Serikat perlu kita renungkan : “lebih cepat tidur dan bangun lebih awal membuat
manusia sehat, kaya dan bijaksana.

-----o-----

COVID 19 REVIEW | PAPDI SURABAYA | 25 AGUSTUS 2020 | VOL.48 Hal 3

Anda mungkin juga menyukai