Anda di halaman 1dari 9

Pemerataan perkembangan pembangunan sebagai upaya merealisasikan amanah pembukaan UU

1945 dalam konteks pembangunan nasional. Indikator suksesnya pembangunan didasari model
perkembangan pembangunan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada kesenjangan sosial
akibat pengembangan pembangunan yang tidak tepat sasaran.

BAB II
PEMBAHASAN

Latar Belakang Paradigma Baru Perencanaan Pembangunan Daerah


Kegagalan program-program pembangunan di dalam mencapai tujuannya di satu sisi
seringkali bukanlah semata-mata kegagalan di dalam pelaksanaan program pembangunannya
itu sendiri tapi ada sisi sumbangan "kesalahan" karena perubahan akan kebenaran teori-teori
atau konsep-konsep pembangunan yang melandasinya. Di dalam lingkup keilmuan itu
sendiri, teori pembangunan selalu berkembang dan mengalami koreksi, sehingga melahirkan
pergeseran tentang sesuatu yang dianggap "benar" dan "baik" di dalam proses pembangunan.
Cara pandang yang semula dianggap benar dan baik, akibat pelajaran dari pengalaman,
pergeseran nilai-nilai kehidupan dan perkembangan teknologi atau cara analisis baru, maka di
kemudian hari akhirnya dianggap salah atau tidak baik, dan juga sebaliknya. Pergeseran ini
dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai pergeseran paradigma atau lahirnya paradigma baru.
Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan.
Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis
peningkatan investasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik), telah bergeser ke
arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk
mengontrol keadaan dan lingkungannnya. Paradigma baru yang berkembang lebih
menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative
processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk
meningkatnya keadilan dalam distribusi penguasaan, pengelolaan dan manfaat pembangunan
serta kebebasan dan kemandirian.
Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak
menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks. Semakin
melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi dan tingkat kerusakan lingkungan yang
semakin besar, beban dan ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah
bukti-bukti nyata atas kegagalan. praksis pembangunan. Realitas-realitas tersebut telah
mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi pembangunan.
Paradigma baru pengembangan wilayah saat ini adalah prinsip-prinsip pembangunan
yang menekankan aspek-aspek sebagai berikut:
(1) Mengedepankan peran-serta (partisipasi) masyarakat dan memprioritaskan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan
daripada sebagai inisiator dan pelaksana
(2) Menekankan aspek "proses" dibandingkan pendekatan-pendekatan yang
menghasilkan "produk-produk" perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.
Perencanaan pembangunan wilayah sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana
perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan. Lahirnya pandangan seperti tersebut
sebenarnya terutama sebagai akibat dari proses pendekatan perencanaan wilayah yang selama
ini dilakukan umumnya bersifat top-down. Perencanaan wilayah umumnya dilakukan secara
asimetrik, dimana pihak pemerintah dianggap memiliki kewenangan secara legal karena
memegang amanat yang legitimate. Padahal dibalik amanat yang diterimanya, pemerintah
berfungsi melayani/memfasilitasi masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam
pemanfaatan sumberdaya ruang yang ada.
Dalam paradigma perencanaan wilayah yang modern perencanaan wilayah diartikan
sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, ekonomi sosial kelembagaan dan
politik untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya di dalam memilih cara
yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
(publik) secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan wilayah adalah beranjak dari
adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan
maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam,
perkembangan sosial, dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus
dipenuhi di dalam perencanaan wilayah (Clayton and Dent, 1993): (i) kebutuhan masyarakat
untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak
diinginkan dan (ii) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan
perencanaan yang disusun.
Dengan demikian penyusunan perencanaan wilayah pada dasarnya bukan merupakan
suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan.
Sasaran utama dari Perencanaan Wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan
penggunaan yang terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum: (i)
efisiensi, (ii) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (iii) keberlanjutan. Sasaran efisiensi
merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan
sumberdaya diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (publik). Wilayah sebagai
suatu matriks fisik harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi
masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat.
Perencanaan wilayah juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial
sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable).
Salah satu bentuk government failure di masa lalu adalah kegagalan menciptakan
keterpaduan intersektoral yang sinergis dengan kelembagaan lokal yang telah dipercayai oleh
masyarakatnya di dalam kerangka pembangunan wilayah. Struktur insentif yang dibentuk
tidak memungkinkan keterpaduan sektoral di tingkat wilayah. Sebagai akibatnya,
pemerintahan daerah dan lokal gagal menangkap kompleksitas pembangunan di wilayahnya,
dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat. Keterpaduan sektoral tidak hanya
mencakup hubungan antar lembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku-pelaku ekonomi
antar sektor yang berbeda. Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh
keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang
dan jasa antar sektor secara dinamis dan efisien.
Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin
dibatasi pada bidang "public good", dan bidang dimana swasta dan masyarakat tidak punya
insentif melakukannya.
Paradigma baru pembangunan diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity),
pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi.
Paradigma baru pembangunan ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua
fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental of welfare economics), dimana
dalil ini menyatakan bahwa sebenamya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi
yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi
selebihnya dapat lebih diserahkan kepada mekanisme pasar.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi, karena biarpun secara
teori terpisah namun dalam praktiknya keduanya sukar dipisahkan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam
sistem negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dalam UU No. 23 tahun 2014 pasal 1
ayat 6, pengertian Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan desentralisasi adalah wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain
pendelegasian kepada pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah atau
perwakilan daerah, sedang otonomi daerah yang merupakan salah satu wujud desentralisasi,
adapun dalam arti luas, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Secara ringkasnya, desentralisasi
pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara
negara, sedang otonomi daerah menyangkut hak yang mengikuti.
Sementara itu pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI. Pelaksanaan otonomi daerah, juga sebagai
penerapan/implementasi tuntutan globalisasi yang sudah seharusnya lebih memberdayakan
daerah dengan cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata, dan bertanggung
jawab. Terutama dalam mengatur, memanfaatkan, dan menggali sumber-sumber potensi yang
ada di daerahnya masing-masing.

Perencanaan Pembangunan
1. Pengertian Perencanaan Pembangunan
Definisi dasar dari sebuah perencanaan yang mana diartikan sebagai suatu proses
mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu (Tjokroamidjojo, 1984), sama halnya dengan definisi dari perencanaan
pembangunan. Selanjutnya Tjokroamidjojo (1984), mengartikan perencanaan pembangunan
adalah sebagai suatu pengarahan penggunaan sumber-sumber pembangunan (termasuk
sumber-sumber ekonomi) yang terbatas adanya, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
berdasarkan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara efektif dan efisien. Pada dasarnya
perencanaan pembangunan adalah pengambilan alternatif yang dianggap alternatif terbaik
dengan sumber daya yang tersedia secara tepat. Perencanaan pembangunan juga diartikan
sebagai suatu proses pemikiran dan penentuan menyeluruh yang sudah dipertimbangkan
sedemikian rupa, dibuat secara sistematik untuk mencapai tujuan tertentu pada waktu yang
telah ditetapkan untuk masa yang akan datang (Soekartawi, 1990).
Berdasarkan pengertian perencanaan pembangunan di atas, maka pengertian perencanaan
pembangunan dapat disimpulkan sebagai proses pemikiran yang mengarahkan sumber-
sumber pembangunan secara efektif dan efisien. Selain itu juga mengupayakan berbagai
alternatif yang dianggap sebagai alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tertentu di masa
yang akan datang. Pemilihan alternatif yang paling baik diharapkan mampu mencapai suatu
tujuan yang berguna bagi kualitas pembangunan kedepannya.
2. Ciri Perencanaan Pembangunan
Perencanaan Pembangunan memiliki ciri-ciri tersendiri yang dengan mudahnya dapat
dibedakan dengan perencanaan yang lain. Menurut Tjokroamidjojo (1984), ciri-ciri suatu
perencanaan pembangunan bersifat usaha pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang
berkaitan dengan peranan pemerintah sebagai pendorong pembangunan (agent of
development). Secara rinci, menurut Tjokroamidjojo (1984) perencanaan pembangunan
memiliki ciri- ciri sebagai berikut:
a. Suatu rencana untuk mencapai perkembangan sosial ekonomi yang tetap
(steady economic growth)
b. Usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita
c. Usaha untuk mengadakan perubahan struktur ekonomi
d. Perluasan kesempatan kerja
e. Usaha pemerataan pembangunan
f. Adanya usaha pembinaan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat yang lebih
menunjang kegiatan-kegiatan pembangunan
g. Kemampuan membangun lebih didasarkan pada kemampuan sosial
h. Terdapatnya usaha secara terus menerus dalam menjaga stabilitas ekonomi
i. Ada pula negara-negara yang mencantumkan sebagai tujuan pembangunan hal-hal
yang fundamental/ideal atau yang bersifat jangka panjang.
Jika disimpulkan, maka sesuai dengan ciri-ciri yang telah diuraikan di atas,
perencanaan pembangunan harus dilakukan sebagaimana mestinya agar memperoleh hasil
yang baik. Sumber daya yang ada harus dimanfaatkan secara efektif dan efisien agar tujuan
yang diinginkan dapat tercapai. Perencanaan juga berkaitan dengan upaya pemerintah untuk
mendorong dan menjadikan pembangunan dengan perspektif jangka panjang.
Syarat Perencanaan
Perencanaan dapat dikatakan baik apabila memiliki, mengetahui, dan memperhitungkan
beberapa hal di bawah ini, yaitu :
1. Tujuan akhir yang dikehendaki
2. Sasaran-sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya (yang mencerminkan pemilihan
dari berbagai alternatif)
3. Jangka waktu mencapai sasaran-sasaran tersebut
4. Masalah-masalah yang dihadapi
5. Modal atau sumber daya yang akan digunakan serta pengalokasiannya
6. Kebijakan-kebijakan untuk melaksanakannya
7. Orang, organisasi, atau badan pelaksananya
8. Mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pengawasan pelaksanannya.
Fungsi/Manfaat Perencanaan
Tahap perencanaan amat penting dalam menentukan kebijakan maupun pembangunan sebuah
wilayah, hal itu dikarenakan perencanaan memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Sebagai alat koordinasi seluruh stakeholders
2. Sebagai penuntun arah
3. Minimalisasi ketidakpastian
4. Minimalisasi inefisiensi sumberdaya
5. Peneteapan standar dan pengawasan kualitas
Perencanaan yang ideal
• Prinsip partisipatif: masyarakat yang akan memperoleh manfaat dari perencanaan harus
turut serta dalam prosesnya.
• Prinsip kesinambungan: perencanaan tidak hanya berhenti pada satu tahap; tetapi harus
berlanjut sehingga menjamin adanya kemajuan terus-menerus dalam kesejahteraan, dan
jangan sampai terjadi kemunduran.
• Prinsip holistik: masalah dalam perencanaan dan pelaksanaannya tidak dapat hanya dilihat
dari satu sisi (atau sektor) tetapi harus dilihat dari berbagai aspek, dan dalam keutuhan
konsep secara keseluruhan.
• Mengandung sistem yang dapat berkembang (a learning and adaptive system).
• Terbuka dan demokratis (a pluralistic social setting).

Good Governance
Good Governance adalah tata kelola pemerintahan yang baik yang telah didefinisikan oleh
berbagai lembaga yang diakui oleh dunia. Salah satu lembaga tersebut yaitu United Nations
Development Program (UNDP) dalam dokumen kebijakannya yang berjudul “Governance
for sustainable human development” (1997) mendefinisikan good governance sebagai
hubungan yang sinergis dan konstruktif di antar negara, sektor swasta, dan society
(Dwiyanto, 2005 : 82).
Pengertian governance menurut UNDP (United Nation Development Program) yang dikutip
oleh Sedarmayanti (2003 : 5) terdapat tiga model tata kepemerintahan yang baik, sebagai
berikut :
1. Politcal Governance yang mengacu pada proses pembuatan keputusan untuk merumuskan
kebijakan (policy/strategy formulation).
2. Economic Governance yang meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi
terhadap equity (kekayaan), proverty (properti), serta quality of life (kualitas hidup).
3. Administrative Governance yang mengacu pada sistem implementasi kebijakan.

Untuk terwujudnya tata kepemerintahan yang baik maka diperlukan prinsip – prinsip good
governance sebagai tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Menurut Lembaga Administrasi
Negara (2003 : 7) prinsip – prinsip Good Governance, sebagai berikut :
1. Partisipasi masyarakat
Partisipasi Masyarakat yaitu masyarakat memiliki hak suara baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang sah dalam pengambilan keputusan.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Tegaknya Supremasi Hukum menjelaskan bahwa kerangka hukum yang dimiliki oleh suatu
Negara harus adil dan tidak ada diskriminasi, tegas serta disiplin sebagai pedoman suatu
Negara mengatur jalannya kepemerintahan yang baik.
3. Transparansi
Transparansi dibangun untuk memberikan informasi secara bebas dan jelas. Seluruh proses
yang terjadi di Pemerintahan harus dapat secara mudah diakses oleh masyarakat dan mudah
dimengerti.
4. Peduli pada Stakeholder
Peduli pada Stakeholder ini yaitu lembaga – lembaga harus melayanai semua pihak yang
berkepentingan sesuai standar yang berlaku.
5. Berorientasi pada Kasus
Berorientasi pada Konsensus yaitu menjadi suatu jembatan untuk kepentingan – kepentingan
atau bidang – bidang yang berbeda guna terbangunnya masa depan yang baik untuk
sekelompok masyarakat terutama dalam kebijakan dan prosedur.
6. Kesetaraan
Kesetaraan yaitu semua masyarakat berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki dan
mensejahterahkan diri mereka sendiri.
7. Efektivitas dan Efisien
Efektifitas dan Efisiensi yaitu suatu proses pemerintahan harus mengelola sumber – sumber
daya secara optimal untuk kepentingan masyarakat sesuai kebutuhan yang diperlukan.
8. Akuntabilitas
Akuntabilitas yaitu dapat terjadi di semua organisasi yaitu bentuk suatu pertanggungjawaban
yang telah dilaksanakan oleh suatu organisasi. Pertanggungjawabannya yaitu bisa dalam
bentuk laporan yang dibuat oleh pemerintah setiap tahunnya.
9. Visi Strategis.
Visi strategis yaitu prinsip ini diutamakan untuk para pemimpin dan masyarakat untuk
memikirkan perspektif yang jauh ke depan untuktata kepemerintahan yang baik serta
kepekaan untuk mewujudkannya (Lembaga Administrasi Negara, 2003:7)
Pelaku Pembangunan
Untuk memahami good governance, maka perlu mengetahui integrasi antar 3 aktor utama
tersebut dalam suatu mekanisme kerja yang diakui oleh para pihak, yaitu:
1. Pemerintah
Peran pemerintah harus mampu menciptakan suatu iklim yang kondusif bagi
terselenggaranya berbagai kegiatan (ekonomi, politik, budaya, keamanan, peraturan).
Pemerintah berfungsi dalam mengatur, berperan dalam melakukan pengarahan,
fasilitasi pembangunan, dan membuka peluang seluasnya kepada masyarakat dan
swasta untuk berperan dalam pembangunan.
2. Sektor Swasta
Adapun sektor swasta akan berperan di bidang pengembangan kegiatan perekonomian
yang mampu memberi peluang masyarakat untuk mendapatkan penghasilan lebih baik
sehingga kesejahteraannya meningkat. Lebih jelasnya, swasta sebagai pelaku utama
kegiatan pembangunan, menciptakan pergerakan ekonomi yang tinggi sehingga
menciptakan kesempatan kerja yang besar. Kontribusi peran swasta tersebut dapat
memberikan penerimaan yang besar kepada pemerintah, pusat dan daerah.
3. Masyarakat
Sedangkan peran masyarakat, adalah tuntutan kemampuan untuk mengisi peluang
yang tercipta dibidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik, serta melakukan
pemantauan terhadap mekanisme good governance tersebut. Masyarakat sebagai salah
satu pelaku prinsip good governance, berperan dalam pengembangan dan penguatan
kelembagaan yang mampu tumbuh dengan kekuatan sendiri, dan membangun
kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka proses produksi maupun pemasaran.
Ini berarti bahwa masyarakat harus diberdayakan agar memiliki kemampuan yang
seoptimal mungkin.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka prinsip good governance adalah
sinergitas antara 3 pelaku yaitu: pemerintah sebagai pengaturan dalam pelayanan masyarakat,
serta masyarakat bersama swasta melakukan pelaksanaan organisasi berdasarkan kaidah-
kaidah manajemen yang baik dalam rangka memberikan pelayanan. Lebih jauh lagi,
keterlibatan 3 pelaku good governance seluruhnya harus berorientasi pada kepentingan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.unpas.ac.id/29067/4/BAB%20II.pdf
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1596/05.2%20bab%202.pdf?sequence=8
A.

Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Pengertian standar pelayanan minimal merupakan suatu istilah dalam pelayanan publik
(public policy) yang menyangkut kualitas dankuantitas pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah sebagaisalah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Menurut Oentarto, et
al.(2004:173) menjelaskan bahwa Standar pelayanan minimal memilikinilai yang sangat
strategis baik bagi pemerintah (daerah) maupun bagimasyarakat (konsumen). Adapun nilai
strategis tersebut yaitu:
1. Pertama, bagi pemerintah daerah: standar pelayanan minimal dapatdijadikan
sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biayayang diperlukan untuk
membiayai penyediaan pelayanan;
2. Kedua, bagi masyarakat: standar pelayanan minimal dapatdijadikan sebagai acuan
mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah (daerah).
Dengan demikian pelayanan yang bermutu/berkualitas adalah pelayanan yang berbasis
masyarakat, melibatkan masyarakat dan dapatdiperbaiki secara terus menerus. Disisi lain,
pemerintah dituntut untuk bekerja secara efisien dan efektif dalam hal pelayanan
kepadamasyarakat.
SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yangmerupakan urusan wajib
pemerintah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Pelayanan dasar adalah jenis
pelayanan publikyang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakatdalam
kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.
Pengertian SPM juga dapat dijumpai pada beberapa sumber, antaralain :
1. Undang-Undang 32 tahun 2004 penjelasan pasal 167 (3),menyatakan bahwa SPM
adalah standar suatu pelayanan yangmemenuhi persyaratan minimal kelayakan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaandan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 (1) bmenyatakan bahwa APBD yang
disusun dengan pendekatankinerja memuat standar pelayanan yang diharapkan dan
perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan;
3. Lampiran Surat Edaran Dirjen OTDA Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002
menyatakan Standar Pelayanan Minimal adalahtolok ukur untuk mengukur kinerja
penyelenggaraan kewenanganwajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar
kepadamasyarakat.
4. Peraturan Pemerintah RI No.65 Tahun 2005 tentang PedomanPenyusunan dan
Penerapan SPM.
5. Penerapan Standar Pelayanan Minimal. SPM adalah ketentuantentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusanwajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga secara minimal.
6. Permendagri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk TeknisPenyusunan dan Penetapan
Standar Pelayanan Minimal.
Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum dapat diikhtisarkan bahwa SPM
merupakan standar minimal pelayanan publik yang harusdisediakan oleh pemerintah
daerah kepada masyarakat. Adanya SPMakan menjamin minimal pelayanan yang
berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah. Dengan adanya SPM maka akan
terjamin kuantitasdan atau kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang
dapatdinikmati oleh masyarakat, sehingga diharapkan akan terjadi pemerataan
pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayananantar daerah. Seperti telah
diuraikan di atas, bahwa pelaksanaan urusanwajib merupakan pelayanan minimal
sesuai dengan standar yangditetapkan oleh pemerintah. Maksud dari pernyataan ini
adalah bahwa,SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departementeknis,
sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh MenteriDalam Negeri sesuai
dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 pasal 167 (3).

Anda mungkin juga menyukai