Anda di halaman 1dari 11

A.

Latar Belakang

Gagal ginjal kronis adalah akibat destruksi jaringan dan kehilangan

fungsi ginjal yang berangsur – angsur. Penyakit gagal ginjal kronis bersifat

menetap, tidak dapat disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa

rawat jalan dalam waktu yang lama, transplantasi ginjal, dialisis

peritoneal, dan hemodialisa. Gagal ginjal merupakan fungsi ginjalnya

rusak, tidak dapat berfungsi dengan baik dan bersifat menetap ( Black,

2014). Gagal ginjal kronik (GGK) adalah gangguan fungsi renal yang

progesif dan irreversible, dimana terjadi kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit. Hal itu

dapat menyebabkan uremia atau retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah (Ariani, 2016).

Gagal ginjal kronik (GGK) saat sekarang ini menjadi masalah

yang sangat besar karena termasuk penyakit yang salah satunya penyakit

yang sulit di sembuhkan. Gagal ginjal bersifat irreversible sehingga

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap. Tanpa ada terapi pengganti

ginjal, kematian akibat kelainan metabolik dapat terjadi dengan cepat

(Wahyuni 2014). Pada penderita penyakit gagal ginjal kronik pada stadium

akhir untuk mempertahankan hidupnya yang salah satunya dapat

dilakukan dengan cara melakukan terapi hemodialisa. Tindakan

hemodialisa ini digunakan pada pasien GGK yang membutuhkan dialisis

1
dalam waktu singkat yaitu dalam beberapa hari atau pun beberapa minggu saja.

Walaupun hemodialisa dapat memperpanjang usia pasien, namun tindakan ini tidak akan

mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan tidak akan

mengendalikan seluruh fungsi ginjal (Suharyanto & Madjid, 2009).

Di dunia prevalensi gagal ginjal kronis menurut WHO tahun 2012, setiap

tahunnya meningkat lebih dari 30%. Di Amerika Serikat insiden gagal ginjal kronik

(GGK) diperkirakan 100 juta kasus penduduk pertahun. Angka ini terus meningkat

sekitar 8% setiap tahunnya, dan hampir setiap tahunnya setiap 70 orang di Amerika

Serikat meninggal dunia disebabkan karna kerusakan ginjal. Pasien GGK yang

melakukan terapi hemodialisa didunia diperkirakan berjumlah 1,4 juta orang dengan

insidensi pertumbuhan 8% pertahunnya (WHO, 2013). Menurut Hill et al (2016)

prevarensi global penyakit ginjal kronik sebesar 13,4% di antaranya mengalami

penurunan fungsi ginjal dan tidak menjalani dialisis dan sebanyak 96% orang dengan

terjadinya kerusakan ginjal atau fungsi ginjal yang berkurang tidak sadar bahwa mereka

memiliki penyakit ginjal kronik.

Penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia terdapat 30,7 juta penduduk. Dengan

penatalaksanaan yaitu sebesar 82% dengan terapi hemodialisa, sebesar 12,8% dengan

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan sebesar 2,6% dengan

transpalantasi ginjal. Berdasarkan data survey persatuan nefrologi indonesia (PERNEFRI,

2014). Berdasarkan dari laporan Indonesia RenalRregistry (IRR, 2014) terjadi

peningkatan jumlah pasien yang aktif menjalani hemodialisa. Pada 2014 sebanyak 9396

pada tahun 2013 meningkat menjadi 11689 orang dan untuk pasien baru yang menjalani

terapi hemodialisa pada tahun 2013 dari banyaknya 15128 orang, dan pada 2014 terjadi
peningkatan hingga menjadi 17193 orang. Menurut data dari Kemenkes RI 2013

menyebutkan di Indonesia terdapat sekitar 70.000 pasien gagal ginjal kronik memerlukan

penanganan terapi hemodialisis, namun hanya 7.000 yang dapat melakukan hemodialisis.

Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki data pasien

gagal ginjal yang cukup tinggi. Data pada tahun 2013 jumlah pasien aktif yang menjalani

hemodialisa mencapai 87 orang kemudian meningkat menjadi 161 orang pada tahun 2014

dan pasien baru yang menjalani hemodialisa pada tahun 2013 yaitu sebanyak 104 orang

lalu meningkat pada tahun 2014 menjadi 149 orang (IRR, 2014). Berdasarkan hasil data

pencatatan dan pelaporan medical record di seluruh rumah sakit se Sumatera Barat,

tercatat sebanyak 368 pasien gagal ginjal pada tahun 2014. Jumlah ini hanya berasal dari

rumah sakit yang mempunyai unit hemodialisis saja, sehingga insidensi dan prevalensi

pasien yang menderita gagal ginjal jauh lebih banyak dari jumlah tersebut (Ayuandira,

2014 dalam Mela, 2017).

Menurut hasil dari data Riskesdes tahun 2018 kejadian gagal ginjal kronis di

Indonesia yaitu 3,8% , preveransi penyakit ginjal kronik tertinggi yaitu sebanyak 6,4%,

preveransi penyakit ginjal kronik terendah yaitu sebanyak 1,8%, sedangkan Sumatra

Barat penderita gagal ginjal kronik sebanyak 3,9% kejadian tertinggi penyakit ginjal

kronik adalah pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu sebanyak 8,23%, penyakit ginjal

berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 4,17% dan wanita sebanyak 3,52%. dari

penderita di Indonesia terdiri dari pasien yang menjalani pengobatan yaitu terapi

pengganti ginjal, dialysis peritoneal, dan hemodialisis (Riskesdas, 2018).

Terapi hemodialisis akan menimbulkan komplikasi seperti tekanan darah rendah,

kelelahan dan kram otot. Komplikasi tersebut dapat mangakibatkan stressor fisiologi
terhadap pasien (Suwitra,2014). Selain dari stressor fisiologis, pasien yang menjalani

terapi hemodialisa juga bisa mempengaruhi stressor psikologis. Seperti pembatasan

cairan,pembatasan konsumsi makanan atau diet, gangguan tidur serta terjadi penurunan

kehidupan sosial (Handayani, 2014). Hal ini karna adanya penyakit serta ketergantungan

secara terus menerus pada alat dialisis dan tenaga kesehatan sehingga memberikan

pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien (Baykan & Yargic, 2012).

Kualitas hidup (quality of life) berkaitan kemampuan individu untuk mendapatkan

hidup yang baik terkait dengan persepsi secara individu mengenai tujuan, harapan,

standar dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang dialami dan di pengaruhi

oleh nilai dan budaya pada lingkungan dia berada ( Emma,2016). Kualitas hidup dapat

berdampak pada kesehatan fisik, kesehatan fisikologis, tingkat kebebasan, hubungan

sosial, keyakinan pribadi,dan hubungan mereka dengan lingkungannya (WHO,1997).

Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik merupakan dimana kondisi pasien

walaupun dengan penyakitnya yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik,

psikologi, sosial, maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk

kesenangan dirinya maupun orang lain (Butar & Cholina,2012). Kualitas hidup penting

untuk di nilai karna dapat mendeskripsikan konsep sehat dan berhubungan sangat erat

dengan morbiditas dan mortalitas (Nurchayati,2014).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhammad (2015) pada pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa pada dimensi fisik 75,6% memiliki

kualitas hidup rendah, pada dimensi psikologi 73,9% memiliki kualitas hidup rendah,

pada dimensi sosial 55,5 % memiliki kualitas hidup rendah dan pada dimensi lingkungan
53,8% memiliki kualita hidup tinggi. Sedangkan kualitas hidup secara keseluruhannya

memiliki kualitas hidup yang rendah.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurchayati (2015) menunjukkan bahwa

pasien yang menjalani terapi hemodialisa memiliki kualitas hidup sedang ,yaitu sebanyak

45 orang (75%), sedangkan 15 orang pasien yang menjalani terapi hemodialisa (25%)

memiliki kualitas hidup yang baik, dan tidak adanya satupun pasien yang menjalani

terapi hemodialisa yang memiliki kualitas hidup yang kurang. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Najjini (2017) menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa yang memiliki kualitas hidup sedang sebanyak 18 orang

(45%), sedangkan 14 orang pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa

(35%) yang memiliki kualitas hidup rendah dan 8 orang pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa (20%) memiliki kualitas hidup yang baik.

Dari beberapa penelitian diatas menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronis

yang menjalani terapi hemodialisa memiliki kualitas hidup yang buruk. Hal itu terjadi

karna bisa berdampak pada tidak efektifnya terapi hemodialisa yang dilakukan. Dalam

melakukan penatalaksanaan pada pasien hemodialisa, penilaian terhadap kualitas hidup

merupakan faktor yang terpenting selain penilain adekuasi hemodialisa, karena kualitas

hidup berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal kronis. Zadeh

(2014) mengatakan bahwa pasien hemodialisa dengan kualitas hidup yang rendah akan

meningkatkan mortalitasnya dibandingkan dengan populasi normalnya. Penilaian kualitas

hidup merupakan indikator yang sangat penting untuk mengevaluasi hemodialisis pada

pasien gagal ginjal kronis, sehingga kualitas hidup menjadi tujuan penting dalam tahap

pengobatan penyakit ginjal kronis.


Menurut Seidel (2014) dalam penelitiannya tentang health-related quality of life

pada kasus gagal ginjal kronik, ditemukan beberapa faktor determinan yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup pada pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa

seperti penyakit penyerta, kemampuan fisik, kadar albumin dan hemoglobin, lamanya

cuci darah, kualitas tidur, dukungan keluarga, hubungan sosial, lingkungan,dan

kecemasan. Kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa

sering mengalami kecemasan hingga depresi (Cahyani, 2015).

Kecemasan adalah respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak

menyenangkan yang dialami oleh semua makhluk dalam kehidupan sehari hari. Faktor

yang dapat mempengaruhi kecemasan pasien hemodialisis adalah status fisik dan mental,

tingkat keparahan penyakit, tingkat sosial dan ekonomi serta kesiapan fisik dan mental,

sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Nurchayati, 2016).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cahyani, (2016) didapatkan penderita

gagal ginjal kronik kecemasan ringan sebanyak 5 orang (16,67%) 10% dengan kualitas

hidup baik dan 6,67% dengan kualitas hidup buruk, kecemasan sedang sebanyak 12

orang (40%) 10% dengan kualitas hidup baik dan 30% dengan kualitas hidup buruk, dan

kecemasan berat sebanyak 13 orang (43,33% )dengan kualitas hidup buruk, dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecemasan dengan

kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di Rsud

dr.Soebandi Jambar.

Penelitian yang dilakukan oleh Umasugi, (2014) mendapatkan penderita gagal

ginjal kronik pasien yang tidak cemas sebanyak 36,1% dan 52,5% memiliki kualitas

hidup baik. Ini disimpulkan bahwa didapatkan ada hubungan positif yang signifikan
antara kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

terapi hemodialisa di Rsud panambahan senopati bantul.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurchayati (2016) didapatkan penderita

gagal ginjal kronik tidak ada cemas sebanyak 75,75%, kecemasan ringan 18,18%,

kecemasan sedang dan kecemasan berat sebanyak 3,03%, sedangkan kualitas hidup

didapatkan sebanyak 51,5% memiliki kualitas hidup kurang baik dan 48,5% memiliki

kualitas hidup baik. Ini disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara

kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisa di RSUD Arifin Achmad.

Dukungan keluarga tampak sangat perlu diberikan terhadap penderita penyakit

gagal ginjal kronik, karna dengan adanya dukungan sosial diharapkan akan dapat

mempengaruhi kesehatannya. Dukungan keluarga akan mempengaruhi kesehatan secara

fisik dan psikologis, dimana dukungan tersebut dapat diberikan melalui dukungan

emosional, informasi ataupun memberikan nasihat. Dukungan keluarga pada pasien gagal

ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa terdiri dari dukungan nyata, dukungan

informasional, dukungan emosional,dan dukungan pengharapan yang diberikan

sepanjang hidup pasien (Sarafino, 2006 dalam Destisa,2016).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zulmeli, (2014) didapatkan penderita

gagal ginjal kronik 34 orang pasien (64,2%) dukungan keluarga baik memiliki kualitas

hidup baik, dan 19 orang pasien (35,8%) memiliki kualitas hidup kurang baik, sedangkan

dukungan keluarganya kurang baik terdapat 17 orang pasien (32,7%) yang memiliki

kualitas hidup baik dan 35 orang pasien (67,3%) yang memiliki kualitas hidup kurang

baik. Ini disimpulkan bahwa didapatkan ada hubungan positif yang signifikan antara
dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

terapi hemodialisa di RSUD Arifin Achmad pekanbaru.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adrian, (2015) didapatkan bahwa 25

orang pasien (83,3%) memiliki dukungan keluarga baik dan 15 orang pasien (50%) yang

dukungan keluarga baik dan kualitas hidup baik. Ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.

Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medik di unit hemodialisa RSUP

Dr. M. Djamil padang terdapat 24 unit alat hemodialisa, pada bulan Juni – Desember

tahun 2018 didapat kan pasien hemodialisa sebanyak 1178 orang, sedangkan pada bulan

Januari – Februari tahun 2019 sebanyak 386 orang, dan pada bulan Februari 2019

sebanyak 195 orang pasien yang menjalani terapi hemodialisa.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan pada tanggal 25 Februari 2019

dilakukan wawancara kepada 10 orang yang menjalani hemodialisa, pasien datang

dengan kondisi baik dan berkomunikasi seperti biasa, pasien tetap bekerja seperti biasa

meskipun harus rutin menjalani hemodialisis 2 kali/minggu, dan 6 orang (60 %)

mengelami penurunan kualitas hidup, dari 6 orang pasien, 3 orang (50%) mengalami kulit

gatal dan kering, kesulitan tidur, dan merasa frutasi karena penyakit ginjalnya dan

menjadi beban bagi keluarganya, 2 orang pasien (33%) mengalami penurunan napsu

makan, kesulitan tidur, keterbatasan melakukan kegiatan karna mudah lelah, dan bak

kurang lancar, dan 1 orang (17%) keterbatasan melakukan kegiatan karena mudah lelah,

dan kulit gatal- gatal dan kering.


Dari sisi kecemasan didapatkan 6 orang (60 %) pasien mengatakan bahwa dirinya

merasa cemas dengan pengobatan yang dijalani nya, takut tidak bisa sembuh kembali dan

cemas saat melakukan penusukan pada bagian anggota tubuh. Dari sisi dukungan

keluarga, 3 orang ( 30%) mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk

menjalani terapi hemodialisa dilihat dari setiap terapi selalu mengantar dan menunggu

sampai selesai terapi hemodialisa dan keluarga memberikan informasi tentang

pengobatan kepada pasien.

Sedangkan 7 orang (70%) pasien mendapatkan dukungan keluarga yang kurang

baik, dari 7 orang pasien, 4 orang (57%) mengatakan keluarga kurang memberikan

informasi tentang pengobatan kepada pasien seperti mengingatkan jadwal untuk

hemodialisa, dan pasien menyatakan mempunyai buku catatan sendiri untuk jadwal

hemodialisa berikutnya, 3 orang (43%) mengatakan keluarga tidak menemani pasien

selama proses hemodialisa karna keluarga sudah bosan dengan terapi hemodialisa yang

sudah bertahun tahun dijalani.

Berdasarkan fenomena dan hasil studi pendahuluan yang dilakukan, peneliti

tertarik untuk meneliti tentang “hubungan kecemasan dan dukungan keluarga dengan

kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di unit

hemodialisa RSUP DR M. Djamil padang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini peneliti membuat

rumusan masalah sebagai berikut “apakah ada hubungan antara kecemasan dan dukungan
keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan kecemasan

dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang

b. Diketahui distribusi frekuensi tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang

c. Diketahui distribusi frekuensi dukungan keluarga pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil Padang

d. Diketahui hubungan kecemasan dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil

Padang

e. Diketahui hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal

kronik yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa RSUP Dr. M Djamil

Padang

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pelayanan keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan, sumber pengetahuan dan

usaha untuk mengurangi penderita gagal ginjal kronis yang mengalami kecemasan

dan meningkatkan dukungan keluarga khususnya penderita gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa guna meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal

kronis yang menjalani hemodialisa.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan wawasan ilmu pendidikan

serta pengalaman belajar bagi peneliti dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatkan

dalam mata pelajaran riset keperawatan, peneliti dapat secara langsung

mempraktekkan teknik pengumpulan data, pengolahan, dan menganalisa serta

menginformasikan data yang ditemukan dilapangan tentang hubungan kecemasan

dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang

menjalani terapi hemodialisa.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya

sehingga dapat mengembangkan penelitian dengan menghubungkan kecemasan dan

dukungan keluarga pasien menjalani hemodialisis dengan adekuasi hemodialisa.

Anda mungkin juga menyukai