Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH 

SINDROM GAWAT NAFAS PADA BAYI BARU LAHIR


“PREDICT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME BY UMBILICAL CORD
BLOOD GAS ANALYSIS IN NEWBORNS WITH REASSURING APGAR
SCORE”

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kegawatdaruratan Neonatal


Dosen Pengempu : dr. Brigitta Ida R. V. C., Sp.A (K), M.Kes

Oleh kelompok 1:

Regina Ayu Fristiyanti 216070400111009


Wiwit Indriyani Aslina 216070400141001
Nita Kusuma Lindarsih 216070400141004

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi petunjuk dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Sindrom Gawat Nafas pada
Neonatus. Ketertarikan penulis akan topik ini didasari oleh menurut Permenkes No 28 Tahun
2017, bidan memiliki kewenangan dalam memberikan pelayanan pada bayi baru lahir, bayi,
anak balita, dan anak prasekolah berupa pelayanan neonatal esensial, penanganan
kegawatdaruratan dilanjutkan perujukan, pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan
anak prasekolah, serta memberikan konseling dan penyuluhan. Pada kasus-kasus bayi baru
lahir dengan Sindrom Gawat Nafas / Respiratory Distress Syndrome, bidan harus mampu
melakukan identifikasi dan penanganan awal yang kemudian dilanjutkan dengan rujukan.
Identifikasi awal yang dilakukan bidan sangat menentukan tatalaksana lebih lanjut yang akan
diberikan.
Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih yang terhingga kepada
dr. Brigitta Ida R. V. C., Sp.A (K), M.Kes sebagai dosen pengempu yang telah menjelaskan
serta memberikan wawasan mengenai kegawatdaruratan neonatal kepada penulis
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat baik pada penulis maupun pembaca.

Malang, September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................................................3
1.4.1 Manfaat Akademik...............................................................................................3
1.4.2 Manfaat Praktis....................................................................................................3
BAB II TINJUAN PUSTAKA
2.1 Identitas.......................................................................................................................4
2.2 Isi Jurnal.......................................................................................................................4
BAB III TINJAUAN KASUS JURNAL
3.1 Terminologi Oksitosin...............................................................................................11
3.1.1 Definisi Oksitosin.............................................................................................11
3.1.2 Kegunaan dan Fungsi Oksitosin.......................................................................11
3.1.3 Indikasi Medis Oksitosin .................................................................................11
3.1.4 Kontraindikasi Oksitosin..................................................................................12
3.1.5 Sediaan dan Dosis Oksitosin dalam Pelayanan Kebidanan..............................12
3.1.6 Efek Samping Oksitosin...................................................................................12
3.1.7 Waktu Paruh Oksitosin.....................................................................................12
3.1.8 Toksisitas Oksitosin..........................................................................................12
3.2 Farmakologi Oksitosin dalam Persalinan..................................................................13
3.2.1 Farmakodinamik Oksitosin...............................................................................14
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Kesimpulan................................................................................................................17
4.2 Saran..........................................................................................................................17
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus adalah bayi yang berusia 0-28 hari (Kementerian
Kesehatan RI, 2018). Sesaat setelah persalinan, bayi baru lahir mengalami berbagai
adaptasi untuk dapat menyesuaikan diri dari lingkungan intrauterine ke lingkungan
ekstrauterine. Adaptasi awal inilah yang akan membantu bayi dapat hidup mandiri
sebagai satu individu baru. Bayi memerlukan pemantauan optimal untuk
memastikan masa transisi dari lingkungan intrauterine ke lingkungan ekstrauterine
berlangsung dengan baik. Bayi baru lahir juga membutuhkan asuhan tepat yang
dapat membantunya melalui masa transisi dengan baik (Bobak, 2018).
Periode bayi baru lahir atau neonatus merupakan periode paling kritis
penyumbang angka kematian terbesar pada kelompok bayi berusia 0-12 bulan.
Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50% kematian bayi terjadi pada periode
neonatal. Berdasarkan laporan kematian bayi secara global menurut WHO (World
Health Organization) pada tahun 2018, secara global 2.5 juta kematian bayi terjadi
pada bulan pertama kehidupan, sekitar 7000 kematian bayi baru lahir terjadi setiap
1 3
hari dimana kematian terjadi pada hari pertama kehidupan dan kematian terjadi
4 4
pada minggu pertama kehidupan. Akibatnya, angka kematian neonatal secara
global mengalami peningkatan dari 39.41% pada tahun 1990 menjadi 45.49% pada
tahun 2018. Kematian neonatal yang terjadi dalam 28 hari pertama kehidupan
sebagian besar disebabkan oleh kondisi maupun penyakit yang dialami bayi serta
kurangnya kualitas dan keterampilan dalam memberikan perawatan saat lahir, pada
saat segera setelah lahir maupun pada bulan pertama kehidupan. Kelahiran
premature, komplikasi terkait intrapartum seperti sindrom gawat nafas, infeksi dan
cacat lahir (birth defect) merupakan penyebab utama kematian neonatal (WHO,
2019).
Hingga saat ini, sindrom gawat nafas (Respiratory Distress Syndrome) menjadi
alasan utama terjadinya peningkatan angka morbiditas dan mortalitas bayi baru
lahir. Hal ini karena sindrom gawat nafas dapat menyebabkan rupture alveolar,
perdarahan intracranial, kejang, perdarahan paru-paru, penumotoraks sekunder,
Bronchopulmonary dysplasia (BPD) serta retinopati. Sindrom gawat nafas lebih
sering dialami oleh bayi yang lahir dengan kondisi paru-paru belum berkembang
dengan sempurna sehingga resiko sindrom gawat nafas ini akan semakin meningkat
pada bayi yang lahir premature. Pada berbagai penelitian disebutkan bahwa
semakin premature usia bayi maka semakin tinggi resiko sindrom gawat nafas pada
saat setelah lahir. Menurut, >50% insiden sindrom gawat nafas dialami oleh bayi
yang lahir dengan usia <28 minggu dan <5% dialami oleh bayi yang lahir dengan
usia >37 minggu (Dyer, 2019). Beberapa kondisi yang secara umum dapat
meningkatkan resiko terjadinya sindrom gawat nafas pada bayi baru lahir baik
premature maupun aterm antara lain persalinan secara SC, sepsis serta diabetes
melitus pada maternal (Aynalem et al., 2020).
Merujuk pada kebijakan umum pembangunan kesehatan nasional, upaya
penurunan angka kematian bayi merupakan bagian penting dalam Program
Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang antara lain dijabarkan dalam Visi
Anak Indonesia 2015 untuk menuju anak Indonesia yang sehat. Strategi nasional
bagi upaya penurunan kematian bayi adalah pemberdayaan keluarga, pemberdayan
masyarakat, meningkatkan kerja sama dan kordinasi lintas sektor, dan
meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan anak yang komprehensif dan
berkualitas. Beberapa program lain yang telah dilaksanakan antara lain Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Bantuan 15
Operasional Kesehatan (BOK) ke puskesmas di kabupaten/kota; Safe Motherhood
Initiative, program yang memastikan semua perempuan mendapatkan perawatan
yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama kehamilan dan persalinannya
(tahun 1990); dan Gerakan Sayang Ibu pada tahun 1996 (Mi’raj, 2017). Selain itu,
telah dilakukan penempatan bidan di tingkat desa secara besar-besaran yang
bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
kepada masyarakat. Upaya lainnya yaitu strategi Making Pregnancy Safer (tahun
2000). Selanjutnya pada tahun 2012 diluncurkan Program Expanding Maternal and
Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan AKI dan neonatal sebesar
25% (Rahmi, 2016). Dari program-program yang telah dicanangkan oleh
pemerintah tersebut dapat diketahui bahwa salah satu tenaga kesehatan yang
berperan penting dalam upaya penurunan AKI dan AKB di Indonesia adalah bidan.
Menurut Permenkes nomor 28 tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan dan tindakan
yang dilakukan oleh bidan sesuai dengan wewenang dan ruang lingkup praktiknya,
dengan tingginya kasus-kasus sindrom gawat nafas pada bayi baru lahir diharapkan
bidan mampu melakukan deteksi dini sehingga penatalaksanaan medis yang lebih
lanjut dapat diberikan sesegera mungkin sehingga menurunkan angka morbiditas
dan resiko mortalitas pada bayi baru lahir akibat sindrom gawat nafas.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana peran analisis gas darah dalam memprediksi sindrom gawat nafas
dalam jurnal “Predict Respiratory Distress Syndrome By Umbilical Cord Blood
Gas Analysis In Newborns With Reassuring Apgar Score”?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui peran penggunaan analisis gas darah sebagai
prediktor sindrom gawat nafas berdasarkan jurnal rujukan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui komponen atau parameter yang diukur pada analisis gas darah
sebagai prediktor sindrom gawat nafas berdasarkan jurnal rujukan.
2) Mengetahui akurasi parameter yang diukur pada analisis gas darah sebagai
prediktor sindrom gawat nafas berdasarkan jurnal rujukan.
3) Mengetahui hubungan patofisiologi terjadinya sindrom gawat nafas
pdengan arameter yang diukur pada analisis gas darah.
1.4 Manfaat Penulisan
1.3.1 Manfaat Akademik
Sebagai bahan bacaan yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait peran analisis gas darah dalam memprediksi terjadinya sindrom gawat
nafas pada bayi baru lahir.
1.3.2 Manfaat Praktis
1) Mampu mengetahui penatalaksanaan lanjutan pada persalinan beresiko tinggi
maupun pada bayi baru lahir yang mengalami sindrom gawat nafas.
2) Mampu mengidentifikasi bayi baru lahir dengan sindrom gawat nafas.
3) Mengetahui batasan penatalaksanaan yang dapat dilakukan bidan secara
mandiri pada kasus bayi baru lahir dengan sindrom gawat nafas.
4) Mengetahui aspek stabilisasi dan rujukan bayi baru lahir dengan sindrom gawat
nafas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress sindrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. (Marmi & Rahardjo, 2012).
Sindrom gawat napas RDS (Respiratory Distress Syndrom) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru.
Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama hyaline membran desease
(HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan
membran hialin yang melapisi alveoli (Surasmi, dkk, 2003).
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu,
faktor plasenta, faktor janin dan faktor persalinan. Faktor ibu meliputi hipoksia
pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau
lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang
mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes
melitus, dan lain-lain. 
Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil,
plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya. Faktor janin atau neonatus
meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara
janin dan jalan lahir,gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-
lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain. 
Sindroma gagal nafas adalah perkembangan imatur pada sistem pernafasan
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan pada paru-paru-paru. Sementara afiksia
neonatorum merupakan gangguan pernafasan akibat ketidakmampuan bayi
beradaptasi terhadap asfiksia. Biasanya masalah ini disebabkan karena adanya
masalah-masalah kehamilan dan pada saat persalinan (Marmi & Rahardjo, 2012).
2.4 Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome

Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan


yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagi bayi berupa kerusakan
otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan pada sistem pernafasan adalah
terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi akan beradaptasi
terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila
keadaan hipoksia semakin berat dan lama,metabolisme anaerob akan menghasilkan
asam laktat. 
Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah keotak
maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia. Pada
stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini
bayi tampak sianosis,tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah jantung yang
meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peninggkatan
tekanan darah dan reflek bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat
diatasi dengaan meningkatkan implus aferen seperti perangsangan pada
kulit.Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit.Apnea primer dapat memanjang
dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi. Hipoksia miokardium dan
asidosis akan memperberat bradikardi,vasokontraksi dan hipotensi. Keadaan ini
dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi apneu sekunder. Selama apneu
sekunder denyut jantung,tekanan darah dan kadar oksigen dalam darah terus
menurun. Bayi tidakbereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadikecuali pernafasan buatan dan
pemberian oksigen segera dimulai (Marmi & Rahardjo, 2012).
2.5 Gejala Klinis
Meskipun penegakan diagnosis definitif RDS memerlukan dokumentasi
patologis atau biokimia defisiensi surfaktan, dokter biasanya menggunakan
kombinasi fitur klinis dan radiografi untuk mendiagnosis RDS (Mcpherson &
Wambach, 2018). Neonatus dianggap menderita gawat napas apabila ditemukan
gejala meningkatnya frekuensi napas (lebih dari 60x/menit) (Afrida & Aryani,
2022). Gejala klinis muncul segera setelah lahir meliputi takipnea, grunting,
retraksi subkostal dan interkostal, pelebaran hidung, dan sianosis. Pada kasus RDS
yang parah, neonatus dapat berkembang menjadi gagal napas yang memerlukan
intubasi dan ventilasi mekanis (Mcpherson & Wambach, 2018). Klasifikkasi
gangguan napas pada neonatus:
1. Sumbatan saluran napas bagian atas, contoh: atresia koane (tidak ada saluran
lubang hidung), dan lainnya.
2. Penyakit paru, contoh: pneumonia, atelectasis paru, Hyalin membrane disease,
dan lainnya.
3. Kelainan dinding dada, contoh: hernia diafragmatika dan lainnya.
4. Kelainan diluar paru-paru, contoh kelainan jantung (Afrida & Aryani, 2022).
2.6 Prognosis
Prognosis bayi yang mendapatkan steroid selama antenatal, bantuan
pernapasan, dan terapi surfaktan eksogen sangat baik. Kematian kurang dari 10%,
dengan beberapa penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup hingga 98%
dengan perawatan lanjutan. Meningkatnya kelangsungan hidup di negara-negara
maju sangat berbanding terbalik dengan bayi yang tidak menerima intervensi di
negara-negara berpenghasilan rendah, di mana tingkat kematian bayi prematur
dengan RDS secara signifikan lebih tinggi, kadang-kadang mendekati 100%.
Dengan bantuan ventilasi yang memadai saja, produksi surfaktan akan dimulai dan
setelah produksi surfaktan dimulai bersamaan dengan timbulnya diuresis, RDS
membaik dalam 4 atau 5 hari. Penyakit yang tidak diobati menyebabkan
hipoksemia berat pada hari-hari pertama kehidupan dapat mengakibatkan
kegagalan organ multipel dan kematian (Yadav, Lee, & Kamity, 2021).
2.7 Komplikasi
Komplikasi dari sindrom gangguan pernapasan neonatal terutama terkait
dengan perjalanan klinis RDS pada neonatus dan hasil jangka panjang neonatus.
Sementara itu terapi surfaktan telah menurunkan morbiditas yang terkait dengan
RDS, banyak pasien terus mengalami komplikasi selama dan setelah mengalami
akut RDS.
Komplikasi akut akibat ventilasi tekanan positif atau ventilasi mekanis invasif
termasuk sindrom kebocoran udara seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
dan emfisema interstisial paru. Ada juga peningkatan insiden perdarahan
intrakranial dan duktus arteriosus paten pada bayi berat lahir sangat rendah dengan
RDS, meskipun secara independen terkait dengan prematuritas itu sendiri.
Bronchopulmonary dysplasia (BPD) adalah komplikasi kronis dari RDS.
Patofisiologi BPD melibatkan perkembangan paru-paru yang terhenti serta cedera
dan peradangan paru-paru. Selain defisiensi surfaktan, paru-paru yang belum
matang pada bayi prematur mengalami penurunan komplians paru, penurunan
pembersihan cairan, dan perkembangan vaskular yang belum matang, yang
menyebabkan paru-paru mengalami cedera dan peradangan, yang selanjutnya
mengganggu perkembangan normal alveoli dan pembuluh darah paru. Selain itu
stres oksidatif dari hiperoksia sekunder untuk ventilasi mekanis dan penurunan
kemampuan anti-oksidan dari paru-paru bayi prematur, keduanya menyebabkan
kerusakan pada paru-paru lebih lanjut melalui peningkatan produksi pada TGF-β1
dan sitokin pro-inflamasi lainnya.
Keterlambatan perkembangan saraf merupakan komplikasi lain dari RDS,
terutama pada bayi yang menerima ventilasi mekanik jangka panjang. Insiden palsi
serebral juga meningkat pada bayi dengan RDS, dengan insiden yang menurun
seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Lamanya waktu ventilasi mekanis
berkorelasi dengan peningkatan tingkat palsi serebral dan keterlambatan
perkembangan saraf (Yadav, Lee, & Kamity, 2021).
2.8 Penegakan Diagnosis
Selain dengan pengamatan terhadap gejala atau manifestasi klinis pada bayi baru
lahir, penegakan diagnosis sindrom gawat nafas dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa pemeriksaan antara lain :
2.9 Diagnosis Banding
2.10 Penatalaksanaan
2.11 Penatalaksanaan Berdasar Kewenangan Bidan
Gambar 2. Alur Resusitasi
BAB III
PEMBAHASAN JURNAL

3.1 Identitas Jurnal


Judul Jurnal : Predict Respiratory Distress Syndrome by Umbilical Cord
Blood Gas Analysis in Newborns with Reassuring Apgar Score
Penulis : Giluseppe De Bernardo, Rita De Santis, Maurizio Giodarno,
Desiree Sordino, Giluseppe Buonocore, Serafina Perorone
Penerbit : Italian Journal of Pediatrics
Tahun Terbit : 2202
Volume (Issue) : 46 (20)
3.2 Isi Jurnal
3.2.1 Latar Belakang
Sesaat setelah lahir, setiap bayi baru lahir di skrining menggunakan
skor Apgar. Skrining menggunakan skor Apgar menjadi salah satu metode
cepat untuk menilai status klinis bayi baru lahir pada menit pertama dan
kelima setelah lahir. Interpretasi skor Apgar pada bayi baru lahir akan
menggambarkan status bayi setelah lahir dan kebutuhan serta respon
terhadap pemberian resusitasi. skor Apgar didapatkan dari evaluasi 5
parameter meliputi warna kulit (appereance), frekuensi denyut jantung
(pulse), refleks iritabilitas (grimace), tonus otot (activity), usaha bernafas
(respiration). Meskipun skor Apgar mampu memberikan gambaran
mengenai status klinis bayi secara cepat dan bisa menjadi alat bantu
pengambilan keputusan di ruang bersalin selama periode neonatal tetapi
penggunaan skor Apgar tidak dapat digunakan untuk menilai status
kesehatan bayi baru lahir dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satu alat yang dapat membantu menilai status kesehatan adalah
analisis gas darah (Blood Gas Analysis).
Analisis gas darah memungkinkan memberikan gambaran mengenai
pernafasan, metabolisme serta keadaan elektrolit bayi. Nilai referensi
analisis gas darah (base excess “BE”) adalah 2/+ 2 mmol/l. Bila hasil
temuan menunjukkan nilai negatif maka bayi baru lahir kekurangan basa
dan berada dalam kondisi asidosis metabolik yang menyebabkan asidemia
neonatus. Hal ini karena asam laktat secara fisiologis diproduksi oleh
metabolisme sel dan pada kondisi hipoksia menyebabkan produksi asam
laktat berlebihan serta eliminasi asam lakat yang buruk. Kondisi asidemia
bayi baru lahir berkorelasi dengan peningkatan resiko masuk ke unit
perawatan intensif neonatal (NICU), Hypoxia Ischemia Ensefalopathi
(HIE), sindrom gangguan nafas, disfungsi multi organ dan kematian bayi
baru lahir. Analisis gas darah umumnya diperlukan pada bayi dengan skor
Apgar <7 dan pada bayi baru lahir dengan resiko tinggi asfiksia.
3.2.2 Tujuan Penelitian
1) Menganalisis hasil analisis gas darah untuk memahami apakah asidemia
umbilikalis merupakan predictor terhadap sindrom gangguan nafas pada
bayi baru lahir dengan skor Apgar >7 pada menit ke-5.
2) Menganalisis apakah hasil analisis darah yang menunjukkan kondisi
asidemia menjadi factor resiko terhadap kebutuhan resusitasi di ruang
bersalin dan perawatan di NICU.
3.2.3 Bahan dan Metode
1) Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang dilakukan
di Departemen Kesehatan Ibu dan Anak, Rumah Sakit Yayasan
Poliambulanza dalam kurun waktu enam bulan yaitu antara Juni hingga
Desember 2018.
2) Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah bayi baru
lahir dengan berat badan sesuai dengan usia kehamilan, lahir melalui
persalinan pervaginam, instrumental maupun melalui operasi SC,
menunjukkan analisis gas darah dari sampel arteri tali pusat dengan
parameter pH < 7.4, BE <-8 mmol/l, laktat >6 mmol/l.
Sedangkan kriteria ekslusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah
bayi yang lahir premature.
3) Jumlah sampel
Terdapat 352 bayi baru lahir yang direkrut menjadi sampel dalam
penelitian ini.
4) Intervensi
Dari masing-masing bayi baru lahir, dokter atau bidan akan
mengevaluasi skor Apgar pada menit ke-1 dan ke-5 serta mengambil
sampel darah dari arteri tali pusat 15 menit setelah bayi lahir.
5) Instrumen
Gambaran klinis bayi baru lahir yang dicatat di database adalah jenis
kelamin, usia kehamilan, berat badan (diukur menggunakan OMIP
Milano), skor Apgar, pH, BE, laktat, cara persalinan, hipoglikemia pada
2 jam (diukur dengan ABL90 FLEX), hipotermia (diukur menggunakan
thermometer elektronik Filac™), kebutuhan masuk di NICU, Sindrom
gawat nafas / Respiratory Distress Syndrome (RDS). RDS dikenali
sebagai tanda-tanda kesulitan bernapas pada neonatus (skor Silverman)
oleh dokter terlatih.
6) Analisis Statistik
 Menggunakan IBM SPSS Statistics for Windows v.25.
 Distribusi normal dievaluasi dengan uji Kolmogorov Smirnov.
 Perbedaan pH dengan metide persalinan dianalisis dengan One Way
ANOVA.
 Faktor-faktor yang dapat memprediksi RDS, kebutuhan terhadap
resusitasi dan masuk NICU dianalisis dengan regresi logistik biner.
3.3.4 Hasil
Berdasarkan metode persalinannya, bayi yang lahir melalui persalinan
pervaginam atau operasi SC elektif menunjukkan pH yang lebih tinggi
dibandingkan pH bayi yang lahir melalui operasi SC darurat atau
persalinan instrumental (p<0.05).
Berdasarkan hasil analisis parameter analisis gas darah, menunjukkan
bahwa ada hubungan antara pH dengan insiden sindrom gawat nafas. Titik
batas pH yang ditunjukkan oleh kurva ROC adalah 7.12. Selain itu
hipotermia dan hipoglikemia yang dialami oleh bayi juga dapat menjadi
predictor terjadinya sindrom gawat nafas. Sedangkan untuk kebutuhan
masuk NICU, kurva ROC menunjukkan bahwa pH dan asam laktat
menjadi dua komponen prediktor terbaik terhadap kebutuhan masuk NICU
(p<0.05). Kurva ROC menunjukkan bahwa titik potong pH adalah 7,10
sedangkan titik potong asam laktat adalah 8.25 mmol/l. Komponen lainnya
yaitu pH dan base excess (BE) menjadi predictor yang baik terhadap
kebutuhan resusitasi (p<0.05).
Untuk rata-rata pH arteri umbilikalis <7.12 dialami oleh 33.8% bayi
(119). Dan dari 119 bayi baru lahir ini, 14% menunjukkan sindrom gawat
nafas, 24% membutuhkan perawatan NICU dan 15% membutuhkan
resusitasi neonatal. Asidemia dan sindrom gawat nafas dialami oleh 4.7%
bayi baru lahir sedsngkan asidemia dan kebutuhan masuk NICU dialami
oleh 8% bayi baru lahir dari total bayi yang menjadi sampel dalam
penelitian ini.
3.3.5 Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan pH, BE dan
asam laktat dalam analisis gas darah talipusat sebagai predictor terhadap
sndrom gawat nafas pada bayi baru lahir. Analisis gas darah tersebut juga
penting untuk mengevaluasi adanya asidemia yang terjadi selama
persalinan. Umumnya, status klinis bayi baru lahir dapat secara cepat
dievaluasi menggunakan skor Apgar pada menit ke-1, ke-5 dan seterusnya.
Tetapi penentuan status klinis menggunakan skor Apgar memiliki
subyektifitas yang tinggi. Selain itu skor tidak bisa digunakan untuk
memprediksi morbiditas dan mortalitas setiap bayi. Sehingga skor Apgar
lebih direkomendasikan untuk alat bantu pengambilan keputusan yang
cepat, sedangkan untuk menegakkan status kesehatan jangka pendek dan
jangka panjang tidak direkomendasikan menggunakan skor Apgar.
Penggunaan analisis gas darah terhadap identifikasi resiko asidemia
sangat penting karena berhubungan dengan peningkatan resiko terhadap
kebutuhan masuk NICU akibat kesulitan bernafas, hipoksia ensefalopati
iskemik serta disfungsi multi organ. Namun analisis gas darah tidak dapat
dilakukan pada setiap persalinan, hanya bayi dengan skor Apgar <7 atau
memiliki resiko tinggi kesulitan bernafas yang direkomendasikan agar
dianalisa menggunakan analisis gas darah. Salah satu komponen yang
penting dalam analisis gas darah adalah pH. Meskipun hingga saat ini
terdapat heterogenitas penetapan nilai pH, tetapi pH 7.00 kebanyakan
ditetapkan sebagai nilai cut off. Bahkan dalam penelitian ini pH menjadi
parameter dalam analisis gas darah yang memiliki kapasitas predictor
terbesar. Kurva ROC menunjukkan bahwa titik potong pH adalah 7.12.
Nilai pH yang menjadi predictor untuk masuk NICU adalah 7.10.
Sedangkan titik potong asam laktat adalah 8.25 mmol/l. pH dan BE juga
menjadi predictor terbaik terhadap kebutuhan resusitasi.
Dari penelitian ini dapat diektahui bahwa pH yang dihasilkan dari
analisis gas darah arteri memiliki peran yang penting untuk memprediksi
pernafasan bayi baru lahir. Analisis gas darah memungkinkan identifikasi
awal yang akurat pada bayi baru lahir yang beresiko tinggi mengalami
sindrom gawat nafas. Dengan mengetahui peran pH, maka diharapkan
mampu membantu tenaga kesehatan untuk mengambil keputusan yang
tepat terhadap kebutuhan perawatan bayi. Berdasarkan hasil penelitian,
33% bayi baru lahir menunjukkan acidemia (pH <7.12) tetapi hanya 4.7%
yang mengalami sindrom gawat nafas. Hal ini menunjukkan bahwa
analisis gas darah dapat menjadi alat skrining utama yang baik untuk
mengidentifikasi resiko sindrom gawat nafas pada bayi baru lahir. Selain
itu prosedur ini mengurangi stress dan mendukung transisi kehidupan
intrauterine ke ekstrauterin sebagai idnividu baru.
3.3.6 Kesimpulan
Analisis gas darah menjadi alat yang mampu mengidentifikasi resiko
terjadinya sindrom gawat nafas atau Respiratory Distress Syndrome (RDS)
pada bayi baru lahir. pH <7.12 dan skor Apgar dapat memperkirakan onset
terjadinya sindrom gawat nafas ditambah dengan hipotermia dan
hipoglikemia saat lahir yang dapat menjadi faktor resiko tambahan yang
dapat memperkirakan onset terjadinya sindrom gawat nafas. Selain itu pH,
BE dan asam laktat menjadi prediktor yang baik terhadap kebutuhan
perawatan NICU.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pentingnya pengukuran gas darah dalam rangka meningkatkan status keseimbangan
asam basa pada neonatal mengalami perkembangan sejak tahun 1960-an seiring dengan
peningkatan pemahaman mengenai interaksi hemoglobin-oksigen serta pertukaran gas.
Kemudian diterapkan pada perawatan neonatal yang memberikan landasan untuk
keberhasilan perawatan klinis selanjutnya. Dalam penilaian gas darah akan memberikan
banyak gambaran komponen seperti tekanan oksigen (pO2), tekanan karbondioksida
(pCO2) dan pH dengan Teknik pelengkap lainnya akan memberikan informasi penting
untuk mengevaluasi oksigenasi bayi baru lahir sehingga akan membantu tenaga
kesehatan menegakkan diagnosis dan kebutuhan terapi dengan benar. Selain itu nilai
arteri umbilikalis dari pengukuran gas darah juga berfungsi untuk mengidentifikasi
resiko tinggi pada bayi baru lahir yang tidak hanya berkaitan dengan respirasi. Selain
pH, asam laktat yang tinggi dalam darah tali pusat menjadi indikator hipoksia (Gregorio
et al., 2017).
Saat berada di lingkungan intrauterine, pernafasan janin bergantung pada ibu yang
difasilitasi oleh plasenta sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Sehingga kelangsungan hidup janin akan bergantung pada konsentrasi gas darah ibu
yang emmadai, suplai darah uterus, transfer plasenta dan transportasi gas. Gangguan
salah satu mekanisme tersebut dapat menyebabkan hipoksia janin. Saat proses
persalinan, janin mengalami hipoksia jaringan dan insufisiensi plasenta mengakibatkan
asidosis respiratorik dan sindrom metabolic lainnya. Asidosis respiratorik merupakan
mekanisme fisiologis tubuh memberikan kompensasi terhadap adanya hipoksia jaringan.
Sesaat setelah lahirm pertukaran gas pada paru paru akan terjadi sehingga nilai-nilai
pCO2, pH dan pO2 akan menuju ke nilai-nilai normal. Asfiksia perinatal maupun
sindrom gangguan pernafasan lainnya terjadi ketika pertukaran gas plasenta tidak
memadai untuk memenuhi kebutuhan janin. Ketika oksigen tidak mencukupi kebutuhan
jaringan maka adanya hipoksia dapat menyebabkan resiko terjadinya asidosis metabolic.
Dengan demikian pengukuran gas darah meliputi pO2, SpO2, pH dan kelebihan basa
dapat menilai tingkat oksigenasi bayi (Khemani et al., 2018).
Secara fisiologis, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam sel pada bayi
akan mengalami peningkatan untuk menghasilkan energi, sedangkan ion hydrogen dan
karbondioksida akan dilepaskan sebagai produk limbah. Ion hydrogen tersebut akan
berikatan dengan oksigen membentuk air, dan karbondioksida akan berikatan dengan air
membentuk asam karbonat. Pada orang dewasa, asam karbonat diubah menjadi
karbondioksida di paru-paru dan diekskresikan melalui pernafasan. Sehingga paru-paru
menjadi organ yang meregulasi keseimbangan asam basa. Sedangkan pada janin fungsi
tersebut masih dijalankan oleh plasenta dan sirkulasi ibu. Pada kondisi asfiksia maupun
sindrom gangguan nafas lainnya, menyebabkan bayi mengalami metabolism anaerobic.
Ion hydrogen yang tidak berikatan dengan oksigen akan bergabung membentuk asam
laktat. Penumpukan asam laktat secara langsung akan mengubah pH di dalam sel.
Apabila proses ini berlangsung lama maka akan terjadi kerusakan seluler secara massif
(Khemani et al., 2018).
Penekanan pada pengukuran gas darah adalah mengidentifikasi adanya asidemia
metabolic. Kondisi asidosis menunjukkan tingginya konsentrasi ion hydrogen dalam
jaringan. Sedangkan asidemia mengacu pada tingginya konsentrasi ion hydrogen yang
tinggi dalam darah dan menjadi indikasi adanya asidosis jaringan yang paling mudah
diukur. Sejak penetapan consensus di Swedia, pH arteri tali pusat yang kurang daru 7.10
danggap sebagai indikasi acidemia pada janin. Penelitian yang lebih baru menggunakan
nilai indeks 7.20 sedangkan cut off 7.00 mewakili batas kritis resiko kematian janin.
Tetapi sejak tahun 2010, ACOG mendukung penggunaan pH arteri 7.04 dan kelebihan
basa -12 mmol/L sebagai cut off. Pada janin, hamper sebagian kasus asidoss akut
diawali oleh inadekuat respirasi yang kemudian akan diikuti dengan sindrom metabolic
campuran jika tidak dilakukan perbaikan oksigenasi (Gregorio et al., 2017).
Asidemia neonatal berhubungan dengan perburukan outcome seperti rendahnya
skor APGAR, Respiratory Distress Syndrome (RDS), HIE, kejang, perdarahan
intraventrikuler, sepsis dan kematian. Pengukuran gas darah / Umbilical cord blood gas
analysis (UCBGA) adalah metode yang objektif dan valid untuk mengevaluasi status
oksigenasi dan status metabolic bayi baru lahir. Sehingga pada kasus-kasus bayi baru
lahir dengan resiko tinggi mengalami gangguan nafas, maupun yang telah mengalami
gangguan nafas sangat dianjurkan menggunakan pemeriksaan analisis gas darah untuk
menentukan status klinis bayi (Ferreira et al., 2018). Penelitian yang dilakukan Ferreira
et al (2018) ini mendukung temuan pada jurnal utama bahwa pH menjadi predictor dari
outcome bayi baru lahir yang merugikan dan mampu menentukan bayi baru lahir dengan
resiko tinggi. Sehingga seharusnya analisis gas darah direkomendasikan untuk semua
kelahiran karena menjadi tes skrining yang akurat terhadap adanya hipoksia pada janin.
Selain itu interpretasi terhadap nilai pH dari hasil analisis gas darah dapat
memperkirakan resiko sepsis pada neonatal. Pada penelitian yang dilakukan Arayici et
al (2019), kadar kelebihan basa memiliki prediktabilitas yang cukup baik untuk
mendiagnosis adanya resiko neonatal sepsis.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Afrida, B. R., & Aryani, N. P. (2022). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus,
bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Jawa Tengah: PT. Nasya Expanding
Management.
Arayıcı, S. Can Base Excess Be Used For Predict To Neonatal Sepsis In Preterm
Newborns?. Mediterranean Journal of Hematology and Infectious Diseases,
2019, 11(1), e2019014. doi:10.4084/mjhid.2019.014.
Aynalem, Y. A., Mekonen, H., Akalu, T. Y., Habtewold, T. D., Endalamaw, A.,
Petrucka, P. M., & Shiferaw, W. S. Incidence of respiratory distress and its
predictors among neonates admitted to the neonatal intensive care unit, Black
Lion Specialized Hospital, Addis Ababa, Ethiopia. PLOS ONE, 2020, 15(7),
e0235544. doi:10.1371/journal.pone.0235544.
Bobak, Lowdermilk, Jense. 2012. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Dyer, J. Neonatal Respiratory Distress Syndrome: Tackling A Worldwide Problem.
ePub, 2019, 44 (1)
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6336202/pdf/
ptj4401012.pdf
Ferreira, C., Melo, Â., Fachada, A., Solheiro, H., & Nogueira Martins, N. Umbilical
Cord Blood Gas Analysis, Obstetric Performance and Perinatal Outcome.
Revista Brasileira de Ginecologia e Obstetrícia / RBGO Gynecology and
Obstetrics, 2018. doi:10.1055/s-0038-1675187
Gregorio HO., Rojas DM., Spilsburry MA., Lozano MG., Ortega MT., Hernandez
SAO., Aparicio PS., Necoechea RR., Gonzales RH., Escamilla RU., Garcia
DV. Importance of blood gas measurements in perinatal asphyxia and
alternatives to restore the acid base balance status to improve the newborn
performance. American Journal of Biochemistry and Biotechnology, 2017, 3
(3) : 131-140. DOI: https://doi.org/10.3844/ajbbsp. 2007.131.140
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar
Dan Rujukan. Jakarta : Kemenkes RI.
Khemani, R. G., Smith, L., Lopez-Fernandez, Y. M., Kwok, J., Morzov, R., Klein, M. J.,
… Lillie, J. Paediatric acute respiratory distress syndrome incidence and
epidemiology (PARDIE): an international, observational study. The Lancet
Respiratory Medicine, 2018, doi:10.1016/s2213-2600(18)30344-8 
Mcpherson, C., & Wambach, J. A. (2018). Prevention and Treatment of Respiratory
Distress Syndrome in Preterm Neonates. 169–177.
PMK RI Nomor.28 Tahun 2017 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
WHO. 2019. Newborns : Reducing Mortality. Geneva: World Health
Organization Diakses Dari
Https://Www.Who.Int/News-Room/Fact-Sheets/Detail/Newborns-Reducing-
Mortality
Yadav, S., Lee, B., & Kamity, R. (2021). Neonatal Respiratory Distress Syndrome. -:
StatPearls https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560779/?report=classic.

Anda mungkin juga menyukai