Anda di halaman 1dari 3

Menelusuri Materi Sejarah untuk Kurikulum Liberal Art

Oleh Ervina.

Buku sejarah sering dipahami sebagai narasi tentang peristiwa-peristiwa masa


lampau. Sebagai negara bekas jajahan (pasca kolonial), buku-buku sejarah mengenai
bangsa Indonesia pernah dibuat untuk memperkuat kekuasaan kolonial. Sadar akan
kondisi ini maka muncul pertanyaan, buku-buku sejarah seperti apa yang kritis
terhadap logika kolonial dan terintegrasi ke dalam kurikulum Liberal Art? Untuk
melakukan pencarian ini kita perlu kembali lagi pada kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan Liberal Art.
Menurut Marijk van der Wende (2012), kebutuhan pendidikan Liberal Art pada
abad ke-21 untuk mengatasi kelemahan sistem pendidikan yang terlalu spesialisasi
dan membangun kembali keseimbangan antara kedalaman dan keluasan keilmuan.
Trend global pasar tenaga kerja yang dipromosikan OECD (kemampuan analisis-
kritis, kreatif, problem solving, kecakapan komunikasi dan kesadaran sebagai warga
global) menempatkan model pendidikan ini semakin dilirik oleh berbagai negara.
Tantangan pendidikan Liberal Art dihadapkan pada persoalan seperti pemanasan
global, krisis energi, globalisasi, pandemi yang membawa kita pada krisis multidimensi
dan berbarengan dengan itu perkembangan teknologi digital semakin cepat. Revolusi
digital tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi atau menghubungkan antar
benua, negara, kota sampai desa lebih cepat (tinggal hitungan detik) dari sebelumnya,
tetapi juga kehidupan sosial kita. Zygmunt Bauman menunjukkan sunyinya ruang
sosial kita yang dihuni oleh masyarakat individual yang cara hidupnya berlandaskan
pada prinsip pleasure. Gejala ini ditandai dengan hilangnya tujuan dan komitmen
jangka panjang, hidup dinilai sebagai kumpulan serpihan belaka tanpa memerlukan
kerangka makna yang menyeluruh dan integral untuk menyatukannya (Bagus
Laksana. 2013). Bahkan dalam persoalan intimasi, relationship menjadi sekadar
relating dan orang lebih mudah membentuk perkumpulan daripada
mempertahankannya.
Secara sederhana saya memahaminya kalau pendidikan Liberal Art aabad ke-
21 bukanlah pendidikan sains rasa humaniora, atau humaniora rasa sains melainkan
perkawinanan keduanya. Walaupun dalam sejarahnya, humaniora telah mendominasi
kurikulum Liberal Art untuk waktu yang lama (Marijk van der Wende. 2012)). Seperti
catatan St. Sunardi (2012) humaniora semula sebagai pendidikan umum untuk
membekali anak-anak muda memasuki kehidupan publik. Pendidikan ini dipelopori
orang-orang Yunani dengan istilah enkuklios paideia, yang kemudian diadopsi orang
Romawi, oleh Cicero disebut septem artes liberales dan dimodifikasi oleh para
scholastici. Istilah Studia Humaniora atau Studia Humanitatis baru muncul abad ke-
15 untuk menamai pendidikan umum yang dirancang oleh para umanisti di Italia.
Pendidikan model ini untuk mengolah virtue semacam keutamaan manusia karena
gaya abad pertengahan lebih mengutamakan veritas. Virtue diajarkan dengan kembali
membaca litteratura klasik (litteratura humaniora) atau bacaan yang membuat orang
menjadi lebih manusiawi; litteratura yang mengantarkan orang pada kedisiplinan
berpikir lewat seluruh logika berbahasa dan lewat isinya. Namun, revolusi ilmu
pengetahuan di Eropa telah membuka wilayah kajian empiris yang melahirkan metode
ilmiah. Studi humaniora yang dijalankan dengan berlandaskan pada pendekatan
ilmiah akan selalu dibayangi oleh positivisme.
Praktik pendidikan modern di Indonesia muncul dari campur tangan kolonial
(politik etis) yang pada mulanya ditujukan untuk memenuhi tenaga administratif
kolonial (buruh ahli). Kemudian model pendidikan al a kolonial ini dikritik oleh Ki Hajar
Dewantara karena tidak memanusiakan bangsa Indonesia. Ki Hajar kemudian
mendirikan sekolah untuk mendidik manusia seutuhnya yang kemudian dikenal
sebagai Taman Siswa. Menurut Ki Hajar Dewantara (Supratiknya. 2017) pendidikan
harus memberdayakan peserta didik yang tidak hanya kuat secara nalar tetapi juga
karakter (budi pekerti) dan bersandar pada sejarah dan budaya bangsa Indonesia
untuk mengangkat derajat negara agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain di
seluruh dunia. Sementara bagi Mangunwijaya yang pada masa itu berhadapan
dengan model pendidikan penyeragaman al a Orde Baru, mengarahkan pendidikan
pada proses emansipasi peserta didik dengan tiga tujuan, manusia kreatif (berjiwa
pembaharu, terbuka, merdeka), manusia eksplorator (suka mencari, bertanya,
berpetualang) dan manusia integral yang sadar akan multidimensionalitasnya
kehidupan, paham kemungkinan jalan alternatif, mampu membuat pilihan yang benar
atas dasar pertimbangan yang benar. Menurut pendapat saya, kedua tokoh ini
menjalankan apa yang menjadi cita-cita Liberal Art diawal kemunculannya.
Kembali kepada pertanyaan utama, literasi sejarah seperti apa yang relevan
dengan tujuan pendidikan Liberal Art abad ke-21? Bila praktik pendidikan abad ke-15
dilakukan dengan pembacaan kembali teks-teks klasik untuk memahami logika
berpikir dan isinya, lantas bagaimana dengan praktik pendidikan Liberal Art masa kini?
Bila di Cina orang kembali pada teks-teks Konfusius dkk, bagaimana dengan praktik
di Indonesia? Pertanyaannya, teks-teks seperti apa yang dapat dipegang untuk
pengembangan sains dan humaniora? Untuk menjawab ini tentu tidak mudah dan
perlu tinjauan kritis agar Liberal Art yang dijalan tidak sekedar hadir secara
administratif tetapi juga epistemologis.

Daftar ini belum final (masih akan ditinjau isinya lebih lanjut) dan masih fokus
pada penulis lokal (periode sebelum 1945).
1. Kitab
Sutasoma: kitab yang menjadi rujukan istilah Bhineka Tunggal Ika.
2. Teks Ekonomi politik sosial budaya
Tan Malaka: Aksi Massa (1926) terutama bab 1 isinya riwayat bangsa Indonesia
konteks zaman pada masa itu.
Sartono Kartodirjo: Pemberontakan Petani Banten 1888 sebagai studi gerakan
sosial kaum menengah bawah.
Ki Hajar Dewantara: gagasan manusia Indonesia
3. Teks Sastra:
Surat-surat Kartini: Gagasan emansipasi modern awal
Tetralogi Pramudya Ananta Toer
4. Teks Seni
Raden Saleh: Lukisan Penangkapan Diponegoro
S. Sudjojono: sebagai bapak seni rupa modern Indonesia yang mencari corak
kesenian Indonesia dengan konsep Jiwa Ketok.
5. Teks Religi?
6. Teks Tradisi Lisan?
7. Teks Sains?

Anda mungkin juga menyukai