Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH CHINA PADA SENI BUDAYA DI INDONESIA

Hubungan Nusantara dan bangsa China telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Hubungan
ini terus terjalin dengan pasang surutnya. Keharmonisan dan pertentangan selang seling. Dalam
masa hubungan kedua bangsa tersebut, maka lahirlah hasil-hasil budaya, pengetahuan, pola
pikir dan kepercayaan (agama) yang saling mempengaruhi dan menjadi bagian yang penting
dan signifikan dari bangsa Indonesia saat ini. Masyarakat di kepulauan nusantara mengadopsi
banyak hal dari bangsa Tiongkok yang datang ke nusantara, baik dari teknologi (banyak dilihat
dari bangunan-bangunan, termasuk mesjid dan bangunan-bangunan bersejarah lain) atau
makanan dan bahasa. Sebaliknya nusantara pun banyak memberikan pengaruh yang berarti
bagi Tiongkok. Misalnya saja pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya di Sumatera (Palembang
sekarang), dimana kekuasaannya mencapai Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan, Sriwijaya adalah pusat pengajaran
agama Buddha Vajrayana di dunia.

Kerajaan Sriwijaya menarik banyak sarjana dan peziarah dari Asia. Salah satunya adalah
pendeta Buddha dari Tiongkok, I Tsing yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam
perjalanan studinya ke Perguruan Tinggi Nalanda, India pada tahun 671 dan 695. Dalam
catatan I Tsing, ia menggambarkan perjalannya di Sriwijaya sebagai berikut: ".... banyak raja
dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi
Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya
dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan
baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal
dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di
India".

Dari catatan sejarah ini (dan beragam catatan sejarah lain yang tidak terhitung banyaknya tersebar
di seluruh kepuluan nusantara), hubungan nusantara dan Tiongkok memang panjang dan saling
mempengaruhi dengan kuat. Dari sekian banyaknya ragam budaya hasil akulturasi China di nusantara,
ada beberapa hal yang sepertinya belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia saat ini. Tulisan ini
dimaksudkan untuk sekedar memberikan informasi dan menyadarkan masyarakat bahwasanya
Indonesia saat ini adalah sebuah negara dengan budaya yang paling kaya di dunia. Indonesia saat ini
harus dapat menerima, paham, dan bangga dengan identitasnya, tidak peduli dari suku atau etnis,
agama dan asal-usulnya. Artikel sederhana ini juga saya persembahkkan bagi saudara, kerabat dan
teman-teman saya di nusantara yang akan merayakan hari raya Imlek. Sekedar tulisan bermakna
kebhinekaan dan toleransi di tanah Indonesia.

1. Wayang Cina Jawa dan Wayang Potehi

Budaya wayang atau shadow puppet memang memiliki banyak jenis di seluruh dunia. Setiap
budaya bangsa memiliki versi sendiri-sendiri. Di tanah Jawa, wayang kulit adalah salah satu
pertunjukan shadow puppet yang memiliki ciri khas kuat dan murni dari hasil karya dan karsa para
seniman dan filosof bangsa Indonesia secara umum dan etnis Jawa secara khusus. Namun berbeda
dengan wayang kulit Jawa yang mengambil cerita berdasarkan pada karya Mahabarata dan Ramayana
dari India, wayang Cina Jawa adalah akulturasi khas Jawa dan bangsa Tiongkok. Meski pada awalnya
wayang Cina ini berasal darii provinsi Fujian di negara China, unsur-unsurnya sangatlah berbeda.
Wayang kulit Cina Jawa adalah produk akulturasi budaya yang sangat kental dengan busana dan
ornamen khas Jawa dan juga menggunakan bahasa Jawa dalam penampilannya. Musik karawitannya
pun gamelan Jawa. Meski untuk lakon atau ceritanya merujuk pada cerita klasik dari China
seperti Sie Djin Koei, Sun Go Kong dan Kisah Tiga Negara (Sam Kok), cara penyajiannya mengikuti pola
pertunjukan wayang kulit purwa. Wayang kulit Cina-Jawa lahir di Yogyakarta pada tahun 1925 dan
diciptakan oleh Gan Thwan Sing (1885-1966). Pagelaran wayang kulit Cina-Jawa ini sangat populer dan
berjaya pada tahun 1930 hingga tahun 1960-an. Sayangnya ketika sang dalang, sekaligus penciptanya
wafat sekitar tahun 1966, wayang inipun lenyap.
Saat ini hanya tersisa dua set wayang kulit Cina-Jawa di dunia, yaitu di Museum Sonobudoyo D.I.
Yogyakarta dan di negara Jerman. Seperti pada umumnya dalang wayang kulit purwa, seorang dalang
wayang Cina-Jawa pun harus memiliki kemampuan seperti dalang wayang kulit purwa, misalnya sang
dalang harus mengucapkan mantra sebelum memulai pertunjukan wayang kulit. Sang dalang pun harus
menguasai gendhing (lagu) atau tembang-tembang Jawa, menguasai cerita dan menguasai bahasa Jawa
(dimana di dalam cerita wayang, ada perbedaan bahasa Jawa yang digunakan dalam lingkungan
Keraton, masyarakat biasa, pendeta, dewa, atau raksasa).
Perbedaan yang unik adalah pada wayang Cina Jawa pada awalnya tidak terdapat tokoh-
tokoh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), yaitu para tokoh banyolan atau lelucon, namun
kemudian Gan Thwan Sing menciptakan tokoh-tokoh yang mirip dengan Punakawan yang diberi busana
dan tata rambut bercorak Tionghoa klasik, namun tanpa tokoh Semar. Ini dikarenakan Gan Thwan Sing
paham sekali dengan tokoh Semar yang merupakan lambang kemuliaan bagi orang Jawa yang sakral dan
sangat filosofis serta khas Jawa, sehingga tidak memiliki padanan dalam budaya lain. Nama-nama para
tokoh lakon, kerajaan, kadipaten, kahyangan, dan lain-lainnya ditulis menurut nama-mana aslinya dalam
dialek Hokkian. Akan tetapi istilah-istilah kepangkatan, jabatan, gelar, dan lain-lain, sebagian besar
mempergunakan istilah-istilah Jawa.

Seperti narendra, pangeran, patih, adipati, bupati, tumenggung, senapati, pandhita, brahmana, ra
dhyan, dyah, abdi, atau prajurit. Gan menulis sendiri lakon cerita wayangnya sekaligus memainkannya.
Buku-buku lakon tersebut ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang bersumber dari folklor Tiongkok
kuno. Sebagian besar naskah wayang Cina-Jawa ini disimpan di Perpustakaan Berlin-Jerman (39 naskah)
dan hanya satu naskah yang disimpan di Museum Sonobudoyo (1 naskah) dan Naskah-naskah tersebut
ditulis oleh Gan Thwan Sing dalam bahasa dan aksara Jawa. Wayang kulit Gan ini atau disebut
juga wayang thithi (Kata thithi berasal dari suara alat musik yang terbuat dari kayu berlubang yang jika
dipukul akan mengeluarkan suara thek...thek...thek. Di telinga orang Jawa, suara gemerincing kepyak
terdengar seperti suara thi...thi...thi).

Contoh salah satu tokoh dalam Wayang Potehi

Sedikit berbeda dengan wayang Potehi yang memang masih sangat kental unsur-unsur
‘ketionghoaannya’ dengan dibawakan pada awalnya dengan dialek Hokkien, musik dan tokoh-tokoh asal
China (meski saat ini telah menajdi bagian dari kekayaan nusantara hasil akulturasi khas Indonesia).
Wayang Potehi berasal dari China bagian selatan dan telah berumur sekitar 3000 tahun.
Kata Potehi berasal dari kata pou (kain), te (kantong) dan hi (wayang). Wayang Potehi masuk ke
Indonesia sekitar abad ke-16 sampai 19 (menurut catatan awal yang sahih dari seorang Inggris bernama
Edmund Scott). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain, dimana sang dalang
memasukkan tangannya kedalam kain tersebut dan memainkannya. Sama seperti wayang Jawa, bukan
sekadar seni pertunjukan, Wayang Potehi bagi etnis Tionghoa memiliki fungsi sosial serta ritual. Dulunya
Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda
dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang
Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik seperti novel Se Yu (Pilgrimage to the West)
dengan tokohnya Kera Sakti yang tersohor itu. Pada masa masuknya pertama kali di Nusantara, wayang
Potehi dimainkan dalam dialek Hokkian. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun
kemudian juga dimainkan dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu para penduduk non-Tionghoa pun
bisa menikmati cerita yang dimainkan.

Boneka wayang Potehi di Museum Sonobudoyo

Menariknya, ternyata lakon-lakon yang kerap dimainkan dalam wayang ini sudah diadaptasi
menjadi tokoh-tokoh di dalam ketoprak (seni pertunjukkan drama dan opera Jawa). Seperti misalnya
tokoh Si Jin Kui yang diadopsi menjadi tokoh Joko Sudiro. Atau Prabu Lisan Puro (tokoh terkenal dalam
lakon (ketoprak) yang ternyata diambil dari tokoh Li Si Bin , kaisar kedua Dinasti Tong (618-907).

2. Kuntao
Istilah kuntao atau kuntau saat ini lebih dikenal merujuk pada ilmu beladiri pencak silat khas
Indonesia secara umum. Di kalimantan misalnya, istilah kuntao telah menjadi bahasa umum.
Masyarakat Melayu atau Dayak menghubungkan kata kuntao dengan beladiri pencak silat pada
umumnya. Kuntao atau kuntau sebenarnya adalah sebuah jenis beladiri dari komunitas etnis China di
Asia Tenggara, terutama di Kepulauan Melayu. Biasanya dihubungkan dengan Indonesia, Malaysia
(terutama pulau Kalimantan/Borneo), Filipina dan Singapura. Hanya saja, kuntao memang cukup
berbeda dengan beladiri dari dataran Tiongkok pada umumnya, seperti wing chun atau wushu atau yang
kita kenal sebagai kung fu. Ini karena kuntao dan silat saling mempengaruhi satu sama lain. Inilah yang
membuat kadang batas dan perbedaan antara kuntao dan pencak silat agak buram dan susah
dibedakan. Ada banyak asal makna kuntao, tapi yang paling umum berarti ‘jalan kepal/way of fist’, dari
kata kun yang berarti kepal/tinju dan tao yang berarti jalan. Istilah ini digunakan sebagai seni beladiri
asal China secara umum. Pada awalnya, kehadiran dan pengaruh kuntao di Kepulauan Melayu terjadi
pada hubungan di masa kuno antara China dan Asia Tenggara, terutama pada masa kejayaan kerajaan
Sriwijaya. Dalam banyak relief kerajaan Sriwijaya, terdapat penggambaran para prajurit China
menggunakan pedang. Kebanyakan gaya silat kuntao di Nusantara (Indonesia) dibawa oleh para
pendatang kelas pekerja selama masa penjajahan Belanda dan Inggris. Salah satu hal yang membuat
kuntao menjadi unik adalah pada tahun 1970-an, kuntao dipelajari dengan sembunyi-sembunyi untuk
menghindari teknik-tekniknya dibongkar oleh orang luar yang bukan murid perguruan, baik oleh orang
keturunan China maupun bukan. Teknik kuntao mayoritas pada awalnya berasal dari daerah-daerah
bagian selatan China, yaitu Fujian, Shandong, Kongfu, dan Guangdong. Beberapa teknik masih asli dan
tidak mengalami perubahan, seperti taikek (taiji), pakua (pakua) dan peh ho (baihequan atau jurus
bangau putih). Kuntao di jakarta diambil dari gaya Fujian, yang meniru tidak hanya gaya binatang, tapi
juga manusia, seperti bayi yang baru lahir atau orang mabuk. Jurus-jurus gaya Shandong biasanya
dipelajari di Jawa dan Maruda. Dikenal juga sebagai Saolim (Shaolin). Teknik-tekniknya termasuk
tendangan tinggi, salto atau berguling, atau meloncat. Kuntao kemudian hampir tidak bisa dibedakan
dengan silat, karena baik pencak silat maupun beladiri asal China tersebut telah melebur dan menjadi
satu gaya khas Indonesia (meski juga dapat ditemukan kuntao beragam gaya di Malaysia, Filipina, dan
Singapura).

Kuntao
Sebagai contoh yang paling nyata adalah silat Beksi Betawi. Silat Beksi yang terus berkembang
sampai saat ini secara bahasa saja memiliki unsur akulturasi dan percampuran yang unik. Yaitu,
kata bek dari bahasa Belanda yang berarti pertahanan dan si dalam bahasa China (dialek Tio Ciu) yang
berarti empat, yang kesemuanya berarti ‘pertahanan dari empat penjuru’. Asalnya perguruan silat beksi
ini dibawa oleh seorang petani keturunan China yang hidup dan tinggal di daerah Dadap Tanggerang
sekitar tahun 1928 bernama Lie Cheng Ok (1854-1951) yang juga mahir mengajarkan beladiri pada anak-
anaknya. Ketika terjadi persengkataan ia dengan seorang petani pribumi yang juga seorang jago silat, ia
membuat perjanjian “Siapa yang kalah harus berguru kepada si pemenang.” Li Cheng Ok pun akhirnya
menang, hanya saja karena si jago silat merasa sudah terlalu renta untuk belajar lagi, maka disuruhlah
anaknya yang bernama Marhali untuk berguru beksi pada Lie Cheng Ok. Ia pun mahir ilmu beksi dengan
ciri khas kepalang tangan terbalik ini. Ilmu terus diturunkan dari guru ke murid sampai H. Hazbullah bin
Misin (Kong Has), yang meski pada awalnya sudah memiliki ilmu silat namun tetap haus akan ilmu beksi.
Kong Has pun berhasil menyempurnakan 12 jurus beksi ditambah dengan jurus ciptaan beliau sendiri
(beliau pernah muncul dalam sebuah film ‘Darah Muda’ sebagai guru silat Rhoma Irama). Di sinilah gaya
unik kuntao, perpaduan gaya beladiri China dan silat menyatu.

3. Batik Lasem Cina


Pakaian juga merupakan bagian dari produk budaya dan seni sebuah masyarakat. Di Nusantara,
batik adalah salah satu ciri khas dan kebanggaan bangsa Indonesia yang telah diakui dan dikenal secara
mendunia (termasuk wayang) dan PBB sebagai bagian dari warisan dunia. Batik kerap dikenal sebagai
kain atau pakaian khas dari daerah Jawa. Meski begitu saat ini, telah punya banyak motif dan jenis batik
yang berasal dari daerah lain di seluruh Nusantara, baik yang sebelumnya memang dipengaruhi oleh
etnis Jawa pada masa kuno, atau memang asli dari daerah tersebut. Batik pun juga mengalami proses
akulturasi dengan budaya lain. Salah satunya adalah budaya bangsa Tiongkok. Batik Lasem
Cina menjadi bukti nyata pembauran budaya Jawa dan Cina di Rembang, khususnya Lasem, Jawa
Tengah. Batik Lasem Cina yang sering juga disebut Batik Lasem Oriental ini mensinergikan sense of
art masyarakat Jawa dan China. Mereka berpadu mengkreasi stailisasi ornamen Cina dan Jawa hingga
menjadi motif-motif Batik Lasem Cina nan indah. Batik Lasem Cina tentu saja adalah Batik Lasem yang
orenamen motifnya sangat dipengaruhi budaya Cina. Unsur orientalnya dominatif, meski motifnya
selalu berkolaborasi dengan ornamen motif Batik Jawa.

Unsur oriental Batik Lasem Cina ini biasanya berupa motif fauna Cina yang diharmonisasikan
dengan motif batik non Cina, khususnya Batik Jawa. Motif fauna Cina yang paling popular adalah motif
burung hong (phoenix), naga, kura kura, kilin, ikan emas, kijang, ayam jantan, kelelawar, udang, ular,
kepeting, dan sebagainya. Motif fauna China tersebut biasanya dikolaborasikan dalam motif Batik Jawa,
seperti sekar jagad, parang, udan riris, kendoro kendiri, kawung, latohan, dan anggur-angguran. Salah
satu contoh motif Batik Lasem Cina yang sangat familiar dikalangan masyarakat pecinta Batik Lasem
adalah Batik Lasem Lok Can. Ada juga motif selain flora dan fauna Cina yang berpadu dengan motif
Batik Jawa, misalnya motif ornamen kipas, banji, koin uang (uang kepeng), delapan dewa (pat sian), dan
dewa bulan. Kombinasi motif China dalam motif Batik Jawa ini, kini diperkuat dengan seni sinografi,
yakni seni menulis indah huruf China /Mandarin dalam mengedepankan pepatah atau kata mutiara
Tionghoa dalam stailisasi huruf Cina. Selain batik Lasem Cina, juga dikenal kebaya peranakan, yaitu
kebaya yang dikenakan oleh wanita-wanita peranakan (keturunan China) yang tinggal di Nusantara.
Pada masa penjajahan jepang, juga muncul sebuah jenis motif hasil akulturasi budaya yang tidak kalah
unik, yaitu batik Jawa Hokokai. Batik jenis ini diproduksi oleh orang-orang peranakan, atau keturunan
China di Jawa dengan pengaruh budaya jepang yang juga sangat kental. Ragam hias yang biasa
digunakan adalah bunga sakura, bunya krisan, dahlia dan anggrek dalam buket atau lung-lungan atau
dengan ragam hias kupu-kupu dan burung merak. Batik Jawa Hokokai diciptakan oleh para pengusaha
China saat itu dengan tujuan menyesuaikan diri dengan pemerintahan Jepang di Pekalongan khususnya.

Ragam hias burung merak

Khusus untuk ragam hias kupu-kupu, sebenarnya merupakan pengaruh China, dimana kupu-kupu
merupakan lambang cinta abadi seperti dalam cerita Sam Pek Eng Tay. Begitu pula motif hias burung
merak yang pada awalnya juga berasal dari budaya China yang masuk ke Jepang. Meskipun namanya
berbau Jepang dan muncul pada masa pendudukan Jepang, tetapi batik Hokokai tidak diproduksi untuk
keperluan Jepang melainkan untuk orang-orang Indonesia sendiri.
Ragam hias kupu-kupu

4. Gambang Kromong
Berbicara mengenai budaya dan akulturasinya, pasti tidak bisa lepas dari musik. Salah satu bagian
dari seni dan budaya yang universal dan pasti ada di seluruh bagian dunia. Menurut sejarah Indonesia,
akulturasi musik sangatlah kaya. Budaya asli nusantara pun sudah sangat kaya, apalagi ditambahkan
budaya Arab, Persia, Portugis, India dan China tentu saja, membuat bangsa ini (sekali lagi) menjadi satu-
satunya bangsa dengan jumlah budaya dan kesenian musik yang paling kaya di dunia. Salah satunya
adalah Gambang Kromong atau Gambang Keromong. Sebuah gaya orkes musik khas Betawi yang
merupakan akulturasi sempurna budaya nusantara dan China. Musik gambang kromong memadukan
gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Nama gambang
kromong sendiri memang berasal dari dua alat perkusi yaitu, gambang dan kromong. Gambang
kromong pertama kali dibentuk oleh seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat oleh Belanda
(kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740).
Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik China,
sering disebut Salendro Cina atau Salendro mandalungan. Orkes gambang kromong merupakan
perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa
tampak pada alat-alat musik geseknya: sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur
kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang
menunjukkan sifat pribumi seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas
Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar
Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh
Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-
onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang
jelas bercorak Tionghoa, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun
Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu, Lo Fuk Cen, dan sebagainya. Lagu-lagu yang dibawakan pada
musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala
bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan
perempuan sebagai lawannya.

Satu rangkaian Gambang Kromong dengan instrument lengkap

Masih banyak lagi produk akulturasi budaya China-Nusantara yang sudah menjadi bagian dari
budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Identitasnya yang kuat membuat bangsa Indonesia harus bangga
dan terus menghargai segala macam perbedaannya. Segala perbedaan tersebut sudah melebur dimana
diperlukan rasa percaya, saling menghormati dan cinta. Artikel ini hanya sebagai perkenalan dan sedikit
usaha untuk menggali informasi mengenai akulturasi China-Nusantara yang ternyata memang belum
banyak dikenal masyarakat. Semoga artikel ini akan ‘merangsang’ rasa ingin tahu pembaca untuk terus
menggali budaya bangsa Indonesia.

Salah satu instrummen gambang


5. Barongsai

I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer memperkirakan bahwa Barong Ket sebagai binatang
mitologi pelindung masyarakat Bali merupakan pertunjukan ritual yang mendapat pengaruh dari Cina.
Hal itu diperkuat dengan merujuk pada teori difusi, bahwa sebuah seni pertunjukan tidak muncul begitu
saja tetapi pasti berasal dari wilayah yang memiliki budaya “unggulan”. Bandem dan deBoer
berpendapat bahwa topeng yang dipergunakan dalam pertunjukan Tari Singa Cina yang berasal dari
Dinasti T’ang dari abad ke-7 samapai abad ke-10, mirip sekali dengan topeng Barong Ket di Bali.

Barong Ket dari Bali

Pertunjukan Barongsai yang menampilkan binatang mitologi Cina akhir-akhir ini bermunculan di
mana-mana, teruta di kota-kota besar yang banyak dihuni oleh komunitas Cina. Salah satu kota besar di
Indonesia yang dahulu banyak kedatangan pedagang-pedagang Cina Cina adalah Semarang. Hubungan
dagang antara Pulau Jawa dan Benua Cina telah berkembang dengan baik pada abad ke-15, tepatnya
sejak armada Cina di bawah pimpinan Ceng Ho melemparkan sauhnya ke Pulau Jawa, tepatnya di
Pelabuhan Semarang. Bangsa Cina sebagai bangsa yang telah memiliki budaya “unggulan” mereka ingin
melestarikan budayanya di Semarang dan sekitarnya. Salah satu bentuk pertunjukan yang sangat
menarik adalah Barongsai.
Barongsai yang hidup berkembang sampai saat ini di Indonesia

Barongsai telah mengalami perkembangan yang cukup lama, yang aslinya dipertunjukan bersama-
sama dengan Liong Samsi (naga) untuk menyambut perayaan tahun baru Imlek. Perayaan yang
diselenggarakan di Semarang itu konon ditampilkan pertamakalinya oleh seorang pedagang Cina
bernama Sampoo Tay Jien yang mulai tinggal di Semarang sejak perempat abad ke-15. Nama ini di
kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan nama Dampo Awang, yang telah beragama Islam sebagai
usahanya menyatu dengan masyarakat Jawa.

Anda mungkin juga menyukai