Anda di halaman 1dari 81

BUKU AJAR

Disusun Oleh:

Petrus Hary Tjahja Soedibya


Taufik Budhi Pramono

Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman
2018
Buku Ajar
BUDIDAYA PERAIRAN TAWAR

© 2018 Universitas Jenderal Soedirman

Cetakan Kedua, Maret 2018


Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All Right Reserved

Penulis:
Petrus Hary Tjahja Soedibya
Taufik Budhi Pramono

Editor:
Drs. Subandi, M.Pd.

Diterbitkan oleh:
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Purwokerto
Kode Pos 53122 Kotak Pos 115
Telepon 635292 (Hunting) 638337, 638795
Faksimile 631802
www.unsoed.ac.id

Dicetak oleh:
BPU Unit Percetakan dan Penerbitan
Universitas Jenderal Soedirman

ix + 70 hal., 15,5 x 23 cm

ISBN : 978-602-1004-58-6

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit,


sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint,
microfilm dan sebagainya.
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan


karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan buku ajar Budidaya Perairan
Tawar. Buku ajar ini disusun sebagai sumber belajar bagi mahasiswa
program studi Budidaya Perairan yang menempuh mata kuliah Budidaya
Perairan Tawar pada semester
Buku ini menjelaskan pengertian, peranan, ruang lingkup,
permasalahan, peluang, dan tantangan budi daya perairan tawar pada
masa kini dan masa depan. Budi daya perairan tawar bukanlah ilmu yang
berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu lain.
Pengetahuan bidang ilmu lain dapat membantu memecahkan
permasalahan dan pengembangannya. Dibahas pula upaya meningkatkan
produktivitas budi daya perairan tawar dengan pemilihan penerapan
sistem budidaya dan kultivan atau jenis ikan. Sistem budidaya meliputi
ekstensif, semi intensif dan intensif, sedangkan berdasarkan kultivan
yaitu monokultur dan polikultur. Karakteristik sistem budidaya dan
dijelaskan secara rinci dan dapat digunakan sebagai dasar untuk produksi
yang diinginkan.
Pemenuhan ketersediaan benih mutlak diperlukan untuk usaha
perikanan budidaya. Ketersediaan benih harus terpenuhi secara kontinyu
dalam hal kuantitas, kualitas, dan waktu. Upaya pemenuhan dilakukan
dengan kegiatan pembenihan yang baik. Pembenihan yang baik bertujuan
untuk menghasilkan benih yang bermutu baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Pembenihan yang baik perlu pemahaman karakteristik induk,
seleksi induk matang kelamin dan metode pemijahannya. Pemahaman
tersebut sangat berguna dalam menunjang penanganan, dan teknik
pembenihannya. Dalam produksi benih sering terkendala karena
banyaknya tingkat kematian pada fase embrio dan larva. Umumnya fase
tersebut dinamakan fase kritis. Pembahasan mengenai embrio dan benih

iii
dijelaskan mengenai karakteristik embrio dan larva serta strategi dan
teknik pemeliharaannya. Pemenuhan kebutuhan benih ikan sangat
dibatasi oleh jumlah, jarak suatu wilayah, dan waktu tempuh. Kelancaran
suplai dan kualitas benih untuk kegiatan budidaya perlu didukung
teknologi transportasi. Beberapa teknik transportasi dibahas pada bab
terakhir buku ini.
Buku ini tentu masih banyak kekurangan, dan akan diperbaharui
setiap tahun, disesuaikan dengan perkembangan ilmu akuakultur. Kepada
Rektor Universitas Jenderal Soedirman dan Ketua LP3M, penulis
mengucapkan terima kasih atas kesempatan menulis buku ini. Terima
kasih pula penulis sampaikan kepada Dwi Shinta Kurniawati atas
sumbangan foto dan kepada pemerhati, saran dan krtitik sangat
diharapkan dalam kesempurnaan buku ini.

Purwokerto, 17 November 2016

Penulis,

iv
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................. vii
DAFTAR TABEL ....................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................. 1
BAB II PENGERTIAN, PERANAN, RUANG LINGKUP
DAN PERKEMBANGAN BUDI DAYA
PERAIRAN TAWAR ............................................. 3
BAB III SISTEM BUDIDAYA IKAN ................................. 15
BAB IV PEMBENIHAN IKAN............................................ 23
BAB V PEMELIHARAAN EMBRIO DAN LARVA ......... 31
BAB VI TRANSPORTASI IKAN ........................................ 49
DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 63
GLOSARIUM ............................................................................. 67

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Karakteristik sistem budidaya ikan berdasarkan


pengelolaan ............................................................. 16
Gambar 2. Teknologi bioflok dan hasil produksinya dalam
kolam bundar .......................................................... 18
Gambar 3. Prinsip Cara Pembenihan Ikan yang Baik ............... 24
Gambar 4. Telur dan larva ikan Gurami (Sumber : Pramono,
2007) ....................................................................... 26
Gambar 5. Ikan discus (kiri) dan Ikan Arwana (kanan) aktif
menjaga keturunannya ............................................ 26
Gambar 6. Ikan lele matang kelamin pada ikan betina dan
jantan secara morfologi ........................................... 27
Gambar 7. Pemijahan Ikan Lele Secara Alami ......................... 29
Gambar 8. Pemijahan Buatan Ikan Bawal ................................ 30
Gambar 9. Pembelahan Discoidal pada telur zebrafish. (A) 1-
sel embryo. .............................................................. 37
Gambar 10. Pengukuran penyusutan volume kuning telur .......... 42
Gambar 11. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva ikan Brek ..... 42
Gambar 12. Larva baru menetas yang masih ada kuning telur
dan belum berkembang organ-organ penting
(Sumber : Pramono dan Marnani, 2007) ................. 45
Gambar 13. Transportasi sistem basah yang tertutup .................. 53
Gambar 14. Transportasi Sistem Terbuka (Dokumen Pribadi) ... 55

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ciri-ciri morfologi induk ikan yang matang


kelamin ................................................................... 28

ix
Bab I
PENDAHULUAN

P angan merupakan kebutuhan pokok manusia.


Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur dalam
undang-undang Nomor 18 Tahun 2012, yang menekankan
adanya pemenuhan pangan di tingkat individu dengan memanfaatkan
sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal
sehingga tercapai ketahanan dan kemandirian pangan. Sumber daya
alam utamanya perairan tawar dapat dimanfaatkan untuk kegiatan
produksi pangan hewani. Potensi sumber daya perairan tawar meliputi
sungai danau, waduk, situ, sawah, saluran irigasi, mata air dan air
sumur atau air tanah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi
pangan hewani. Kegiatan pengembangan budi daya perairan tawar
penting dilakukan dengan tujuan mewujudkan ketahanan pangan,
kesehatan, mengatasi masalah pengangguran, peningkatan
kesejahteraan dan pembangunan wilayah.
Budi daya perairan tawar sebagai suatu kegiatan produksi
berorientasi pada upaya menyediakan dan memperbanyak benih,
menumbuhkan dengan baik, menekan mortalitas, dan meningkatkan
mutu hingga dapat dijual dan memperoleh keuntungan. Kegiatan
produksi budi daya perairan tawar dilakukan mulai dari pembenihan,
pendederan, dan pembesaran. Pemilihan kegiatan produksi tersebut
dapat mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya yaitu komoditas,
pengusaan teknologi, ketersediaan lahan, modal, dan lainnya.
Salah satu upaya meningkatkan produktivitas perikanan
budidaya dengan potensi areal yang ada adalah dengan penerapan

1
sistem budidaya. Sistem budidaya perairan yang dikembangkan dapat
berdasarkan pengelolaan dan kultivan. Penerapan sistem budidaya erat
hubungannya dengan kemampuan kapasitas produksi. Peningkatan
kapasitas produksi dapat dilakukan dengan cara memperbaiki
kombinasi faktor-faktor produksi dan pembaharuan teknologi, baik di
pembenihan, manajemen induk, pemeliharaan larva atau benih,
pembesaran, hingga transportasi.
Pembenihan menjadi awal mata rantai produksi budi daya.
Penyediaan benih unggul menjadi tuntutan dan kebutuhan untuk
peningkatan produksi budi daya baik lokal, nasional maupun
internasional. Pemenuhan tuntutan dan kebutuhan benih unggul perlu
diupayakan penerapan sistem manajemen mutu pembenihan yang
baik. Pemenuhan kebutuhan benih seringkali terkendala kontinyuitas
produksi pada usaha pembenihan karena tingkat kematian yang tinggi
saat perkembangan embrio dan larva. Untuk menangani embrio dan
larva perlu dipahami karakteristiknya. Pemahaman karateristik akan
membantu dalam standarisasi, strategi, dan teknik produksi benih di
hatchery.
Kebutuhan akan benih ikan untuk budidaya di suatu wilayah
sering kali tidak tercukupi, oleh karena itu perlu disuplai dari wilayah
lain. Suplai benih dari wilayah lain sangat bergantung pada jumlah,
jarak dan waktu tempuh. Kualitas benih ikan untuk kegiatan budidaya
yang diperoleh dari wilayah lain ditentukan oleh teknologi
transportasinya.

2
Bab II
PENGERTIAN, PERANAN,
RUANG LINGKUP DAN PERKEMBANGAN
BUDI DAYA PERAIRAN TAWAR

2.1 Pengantar
Mempelajari budi daya perairan tawar harus diawali dengan
mengetahui pengertian, peranan, ruang lingkup dan perkembangan
serta peluang atau tantangan budi daya perairan tawar pada masa kini
dan masa depan. Hal tersebut akan membantu pemahaman budidaya
perairan tawar secara menyeluruh, yakni bahwa untuk pengembangan-
nya memerlukan keterkaitan dengan bidang ilmu lain, mampu
memetakan kondisi dan permasalahan serta pengembangannya.

2.2 Capaian Pembelajaran


Pada bab ini, setelah mengikuti kuliah, mahasiswa mampu
menjelaskan pengertian, peranan, sejarah, ruang lingkup budi daya
perairan air tawar dan keterkaitan dengan ilmu lain dan
perkembangannya. Mahasiswa juga dapat menjelaskan tantangan budi
daya perairan air tawar di masa mendatang.

2.3 Pengertian Budidaya Perairan Tawar


Budi daya secara harfiah memiliki arti pemeliharaan dan
perairan tawar merupakan sumberdaya perairan biotik (hewan atau
tumbuhan air) dan abiotik di lingkungan air tawar. Budidaya perairan
tawar (freshwater aquaculture) dalam konteks bidang perikanan memiliki
arti kegiatan pemeliharaan sumberdaya biota perairan di lingkungan

3
perairan tawar secara terkontrol yang dilakukan oleh manusia.
Kegiatan budidaya perairan juga merupakan sebuah kegiatan usaha
ekonomi produktif untuk tujuan kesejahteraan.
Kegiatan-kegiatan budi daya perairan tawar yang umum
dilakukan adalah budi daya ikan, budi daya alga, dan beberapa jenis
avertebrata lain (cacing). Cakupan kegiatan budi daya perairan tawar
cukup luas, akan tetapi teknologi dan penguasaannya membatasi
dalam pengembangan di masyarakat.
Kegiatan budi daya perairan tawar memerlukan input pakan,
tenaga kerja, dan energi untuk meningkatkan produksi dengan cara
memanipulasi pertumbuhan, mortalitas, dan reproduksi dalam lingkup
terbatas, baik terbuka maupun tertutup (Soedibya et al., 2015). Proses
produksi dilakukan dari usaha pembenihan, pendederan, hingga
pembesaran ikan dan output serta output produksi baik berupa telur,
larva, benih, ikan remaja, atau induk.

2.4 Peranan Budi daya Perairan Tawar


Pertambahan jumlah penduduk yang relatif cepat menuntut
penyediaan bahan makanan yang memadai. Budidaya perairan tawar
memiliki peranan yang sangat strategis di antaranya adalah sebagai
berikut :
1) Penyediaan sumber protein hewani
Ikan dan hewan air lainnya merupakan sumber protein
dan gizi lainnya yang sangat baik, bergizi dan murah
dibandingkan dari sumber protein lainnya seperti ayam dan
daging. Mewabahnya penyakit flu burung (avian influenza) pada
unggas, anthraks dan cacing pita pada daging sapi yang
membahayakan menjadikan ikan sebagai pilihan utama dan
direkomendasikan. Produk perikanan memiliki zat gizi yang dapat
menunjang pemenuhan gizi masyarakat. Zat gizi yang terkandung
dalam ikan tersebut antara lain asam lemak Omega-3 yang sangat
bermanfaat dalam menjaga arteri dari penyumbatan dan
menurunkan tekanan darah serta perkembangan otak anak-anak.

4
2) Peningkatan ketersediaan lapangan kerja dan pendapatan
Budi daya air tawar menjadi sebuah kegiatan usaha yang
berkontribusi bagi penyediaan lapangan kerja dan sumber
pendapatan, baik secara langsung maupun tak langsung bagi
masyarakat.
3) Rekreasi dan keindahan (estetika)
Budidaya air tawar juga banyak dilakukan untuk rekreasi
agrowisata seperti pemancingan dan sekaligus sebagai olahraga.
Selain itu, budidaya tersebut dapat sebagai elemen keindahan
dengan landskap dan pemeliharaan kolam taman atau akuarium
yang berisi ikan hias.
4) Pelestarian plasma nutfah
Ikan dari perairan umum hampir mengalami penurunan
produksi dan kepunahan karena aktivitas penangkapan berlebih
dan pencemaran. Upaya domestikasi dan pembenihan diharapkan
dapat untuk penyediaan atau restocking sumberdaya ikan di
perairan umum dan pengembangan usaha budidaya.
5) Pengembangan wilayah
Lahan yang masih memadai untuk dikembangkan usaha
budidaya ikan air tawar adalah di pedesaan. Usaha budidaya ikan
air tawar di pedesaan tentunya membantu dalam pengembangan
wilayah desa utamanya infrastruktur, ekonomi, dan kesejahteraan.
Wilayah yang saat ini dikembangkan saat ini oleh pemerintah
adalah wilayah kawasan minapolitan.
6) Bahan baku obat-obatan
Ikan air tawar dari golongan snakehead seperti ikan betutu,
gabus dan toman memiliki kandungan bahan obat albumin yang
tinggi. Albumin biasa digunakan untuk pengobatan dan masa
pemulihan pasien pascaoperasi.

2.5 Sejarah Perkembangan Budidaya Perairan Tawar


Sebelum membahas ilmu budidaya perairan secara mendalam,
marilah kita melihat kilas balik perubahan-perubahan sistem budidaya
yang telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Aktivitas

5
budidaya ikan sudah ada sejak zaman kuno kurang lebih tahun 2000
Sebelum Masehi (SM). Bardach et.al. (1972) mengemukakan bahwa
banyak naskah dan bukti yang menuliskan tentang perkembangan
budidaya perairan di dunia, antara lain di China pada sekitar tahun
2000 Sebelum Masehi (SM) tentang pemijahan ikan karper dan abad
ke 5 SM telah berkembang usaha budidaya perairan. Pada masa itu,
pembenihan ikan karper telah dilakukan dan senantiasa dianjurkan
oleh pihak kerajaan sebagai usaha yang menguntungkan masyarakat
(Li, 1940 dalam Hickling 1971). Ikan karper kemudian diintroduksi ke
benua Eropa sekitar tahun 1150 dan budidayanya berkembang di
seluruh daratan Eropa pada tahun 1860.
Pada zaman Mesir Kuno ditemukan relief atau gambar adanya
kolam taman dan ikan nila yang sedang ditangkap pemilikinya.
Kuburan Hieroglif Mesir menunjukkan bahwa Mesir dari Kerajaan
Tengah (2052-1786 SM) berusaha membudidaya ikan secara intensif.
Pemerintahan Roma juga mengikuti jejak Mesir dengan mengembang-
kan praktik budidaya. Mereka diketahui telah membudidayakan tiram
atau kerang jenis oysters.
Budi daya yang diterapkan oleh kerajaan Roma adalah bentuk
pertama dari budidaya yang terus berkembang ke dalam beberapa
bentuk yang lebih modern. Semua bentuk awal budidaya sangatlah
berbeda dengan sebagian besar budidaya yang dilakukan saat ini.
Perbedaan utamanya adalah bahwa perikanan budidaya di zaman
kuno, ikan yang dipelihara adalah ikan kecil yang diambil dari
perairan. Belum ada kegiatan pembenihan. ikan terus dibiarkan
bertumbuh dengan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk
petumbuhannya. Ikan mas, di Cina, ribuan tahun yang lalu
dikumpulkan pada fase pembesaran kemudian dipindahkan ke kolam
khusus agar mencapai pembesaran ukuran konsumsi. Orang Mesir
dan Roma membuktikan usaha ini tidak terbatas pada ikan mas saja
tetapi juga jenis organisme akuatik lain seperti ikan nila dan
kekerangan.

6
Perkembangan perikanan budidaya perairan tawar di
Indonesia diketahui dari Undang-Undang Kutara Manawa sekitar
tahun 1400 M yang berisi larangan menangkap ikan di kolam atau
tambak. Pada waktu itu dijelaskan bahwa kegiatan pemeliharaan ikan
atau budidaya ikan sudah sangat penting dan perlu dilindungi.
Perkembangan selanjutnya pada tahun 1939, ditemukan ikan Tilapia
mossambica di Jawa Timur oleh pak Mujair dan dalam pembudidayaan-
nya dikenal dengan nama ikan mujair.

2.6 Keterkaitan Ilmu Budidaya Perairan dengan Ilmu Lain


Ilmu budidaya perairan adalah suatu ilmu yang memiliki
keterkaitan dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini disebabkan ilmu
budidaya perairan memiliki objek kajian yang luas yang berhubungan
dengan hampir semua aspek kehidupan.
Adapun ilmu-ilmu yang memiliki keterkaitan ilmu dasar, ilmu
khusus, dan terapan dengan ilmu budidaya perairan adalah sebagai
berikut :
1) Biologi
Jenis ikan air tawar sangatlah banyak ragamnya dan
terkadang bersifat endemik di suatu wilayah. Pemahaman
mengenai karakteristik biologi, kebiasaan makan, kebiasaan
pakan, pola pertumbuhan, bioekologi, dan biologi reproduksi
jenis ikan air tawar senantiasa menjadi perhatian para peneliti. Hal
ini memberikan dasar dalam mengembangkan teknik maupun
teknologi budidayanya.
2) Ilmu Kimia
Keterkaitan ilmu kimia dengan budidaya perairan adalah
dasar pengetahuan tentang struktur dan sifat senyawa bahan alam
seperti karbohidrat, protein, vitamin, enzim, lemak, asam nukleat,
dan lain-lain. Pemahaman ilmu kimia secara umum dapat
membantu mempelajari bagaimana proses metabolisme primer,
yang terdiri atas keseluruhan proses sintesis/anabolisme (reaksi
pembentukan) dan perombakan zat-zat penyusun utama/
katabolisme (reaksi pemecahan) yang dilakukan oleh organisme

7
seperti polisakarida, protein, lemak, dan asam nukleat untuk
kelangsungan hidupnya.
3) Ilmu Fisika
Ilmu fisika memiliki peranan dalam rancang bangun kolam
atau tambak, menghitung kebutuhan air untuk pengisian
kolam/tambak, debit pembuangan air, panjang dan tinggi
gelombang air laut untuk memprediksi volume air pasang yang
dapat dimanfaatkan untuk tambak serta kecepatan kincir yang
dapat menghasilkan oksigen terlarut di perairan tambak.
4) Ilmu Fisiologi
Ilmu fisiologi sangat mendukung ilmu budidaya perairan
dalam mempelajari proses sistem metabolisme pencernaan,
peredaran darah, pernafasan, penyerapan serta budget energi
sehingga ikan dapat tumbuh, berkembang dan bereproduksi.
5) Ekologi perairan
Ilmu ekologi perairan merupakan cabang ilmu mengenai
lingkungan yang berfokus mempelajari interaksi atau hubungan
timbal balik antara organisme di perairan dengan lingkungannya.
Ekologi juga sangat penting dalam budidaya perairan. Beberapa
parameter ekologis sangat menentukan jenis ikan apa yang dapat
dibudidayakan dan bagaimana interaksinya karena ikan memiliki
kebutuhan ekologis yang berbeda-beda.
6) Genetika
Ilmu genetika memiliki peranan dalam peningkatan hasil
budidaya perikanan dan produksi benih. Ilmu ini mempelajari
gen, kromosom, pengembangan metode pemuliaan ikan melalui
manipulasi kromosom, hibridisasi, rekayasa genetika dan lain-lain.
7) Mikrobiologi
Ilmu mikrobiologi mengkaji parasit dan penyakit yang
menyebabkan gangguan fisiologis melalui analisis perubahan
fungsi atau keadaan bagian tubuh organisme serta organisme
parasit yang menimbulkannya.

8
8) Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi sangat bermanfaat bagi perikanan budidaya untuk
analisis ekonomi dan keuangan dalam produksi perikanan
budidaya. Selain itu, ilmu ekonomi juga membahas pembiayaan,
perencanaan, organisasi, pengelolaan modal, tenaga kerja,
keuangan dan resiko untuk bisnis akuakultur.

2.7 Perkembangan dan Tantangan Budidaya Perairan Tawar di


Indonesia
Kegiatan budidaya perairan tawar pada masa setelah
kemerdekaan hingga tahun 1970 masih belum berkembang dan
tingkat konsumsi masyarakat akan ikan masih kurang. Umumnya
kegiatan budidaya perairan tawar dikelola masih sangat sederhana dan
belum higienis, hanya membuat petakan kolam, memberikan pakan
dengan limbah rumah tangga dan terkadang di atasnya terdapat
jamban. Ikan-ikan yang dibudidayakan terbatas pada ikan-ikan lokal
yang ada di daerahnya seperti ikan mas, tambakan, nilem, tawes,
mujair, sepat, gurami, betok.
Teknologi budidaya ikan belum banyak dikenal oleh
masyarakat, pemberian pakan tambahan berasal dari dedak atau
bekatul, pembenihan sudah dikenal dan dilakukan secara alami serta
mengikuti musim pemijahan atau musim penghujan. Pemeliharaan
larva dan benih dengan cara memaksimalkan kesuburan perairan
kolam dilakukan dengan cara pemupukan menggunakan kotoran
ternak. Pengelolaan budidaya dan pemanfaatannya belum diatur
dengan baik dan fokusnya untuk pemenuhan kebutuhan pangan
rumah tangga atau menjual di daerahnya atau daerah lain hingga pada
akhirnya banyak mengenal budidaya ikan.
Mengingat pentingnya konsumsi protein hewani asal ikan,
pada tahun 1980-1990 dalam pengembangan budidaya perairan tawar
mulai dikenalkan introduksi ikan nila/tilapia dan lele dumbo dari
Afrika, sistem budidaya ikan, pakan tambahan berupa pellet, seleksi
dan manajemen induk, teknologi pemijahan dengan penggunaan
hormon sintesis maupun alami, upaya domestikasi beberapa ikan asli

9
perairan umum baik untuk ikan kosnumsi maupun hias seperti ikan
patin, balashark, botia, betutu, bawal, dan lainnya .
Pada abad ke-21, paradigma pengembangan budidaya perairan
tawar dikembangkan menjadi sebuah serangkaian sistem usaha atau
aquabisnis dan pengembangan industri, meliputi sistem input
produksi (sarana dan prasarana produksi), proses produksi (dari
pemijahan sampai dengan pembesaran) serta output produksi
(pemanenan, pengolahan dan pemasaran). Paradigma tersebut tetap
mengedepankan asas untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan
perluasan lapangan kerja dan mengembangkan wilayah atau yang
dikenal dengan pro poor, pro job dan pro growth. Pemerintah
mengupayakan pengembangan induk dan benih unggul baik yang
dilakukan dengan introduksi maupun riset, dan pengembangan seperti
nila GIFT, lele sangkuriang, nila BEST, nila Nirvana, nila Larasati dan
udang galah GiMacro, lele Mutiara. Pengembangan teknoologi pakan
diupayakan kepada industri pakan dan para pembudidaya dengan
pengembangan pakan alternatif berbasis sumber daya lokal serta
pengembangan pakan mandiri dengan membuat pabrik pakan mini.
Sistem akuabisnis yang dikembangkan di masyarakat diperkuat
dengan melakukan pengembangan wilayah, kelembagaan, peningkatan
sumber daya penyuluh, peningkatan kapasitas pembudidaya dengan
pelatihan-pelatihan baik, lokal, regional maupun nasional, peningkatan
pendapatan dengan peningkatan keterampilan pengolahan ikan;
pemasaran melalui pembentukan kelompok pengolah dan pemasar
(Pohlaksar). Pengembangan wilayah dapat dilihat dengan adanyan
pengembangan wilayah minapolitan (kota ikan), adanya kelompok
pembudidaya ikan (pokdakkan) yang terpisah dari kelompok tani,
banyaknya tenaga penyuluh diharapkan dapat mempercepat informasi
teknologi budidaya ikan ke masyarakat, keterampilan budidaya dan
pengolahan serta memberikan nilai tambah produk ikan.
Saat ini masyarakat dunia dan juga Indonesia telah
menunjukkan kecenderungan adanya perubahan perilaku konsumsi
dan gaya hidup yaitu menuju ke produk perikanan. Perubahan gaya
hidup, tersebut antara lain disebabkan oleh kebutuhan makanan sehat,

10
tingkat aktivitas yang tinggi dan kegiatan yang cakupannya sangat
padat. Pemenuhan kebutuhan ikan yang sementara ini dipenuhi dari
hasil usaha penangkapan memberikan dampak terjadinya over fishing
dan berkecenderungan merusak kelestarian alam. Akibat dari kegiatan
penangkapan tersebut, maka alternatif pemenuhan kebutuhan ikan
berasal dari budi daya perikanan. Keterbatasan kemampuan pasokan
hasil perikanan tangkap dunia, ikan dari budi daya akan menjadi
komoditas strategis yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia.
Dibalik prospek pengembangan budi daya ikan yang sangat
bagus, namun ternyata masih memiliki beberapa permasalahan dan
tantangan. Permasalahan dan tantangan yang perlu diperhatikan di
antaranya sebagai berikut :
1) Keterbatasan dan penataan lahan
Perkembangan penduduk di Indonesia menyebabkan
permintaan lahan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Pertambahan penduduk dan luas lahan berbanding terbalik.
Permintaan lahan yang meningkat ini makin dirasakan baik di
perkotaaan dan perdesaan untuk perluasan pemukiman
penduduk dan pembangunan sarana umum. Lahan pertanian atau
perikanan produktif telah banyak beralih fungsi, termasuk di
dalamnya lahan untuk pemeliharaan ikan Belum adanya penataan
ruang usaha yang terprogram (tata kelola lahan) serta sanitasi
lingkungan. Hal ini juga menjadi faktor penghambat
pengembangan budidaya perikanan di Indonesia dan sebagian
negara di dunia.
2) Pemanasan global dan perubahan iklim
Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat kegiatan manusia seperti
penggundulan hutan dan pembakaran fosil. Dampak pemanasan
global menyebabkan tidak stabilnya iklim, gangguan ekologis,
rusaknya infrastruktur, dan lainnya. Masing-masing dampak
tersebut pada akhirnya akan mendatangkan berbagai dampak
susulan, baik dalam bidang ekonomi, ekologi, kesehatan, dan
sosial-politik. Perikanan budi daya sangat merasakan dampak

11
cuaca atau iklim yang ekstrim karena ikan bersifat poikilotermal
yaitu sangat bergantung kepada suhu lingkungan.
3) Tekanan genetik
Berdasarkan potensi genetiknya, terlihat adanya
kecenderungan penurunan kualitas genetik dari komoditas
unggulan yang dibudidayakan. Kemajuan usaha budidaya tidak
diimbangi dengan antisipasi terhadap potensial problem,
utamanya inbreeding dan hilangnya strain unggul. Proses seleksi,
isolasi dan adaptasi hingga pengoleksian komoditas unggulan
kurang diperhatikan. Demikian pula evaluasi terhadap
karakterisasi potensi yang muncul. Dalam upaya mempercepat
pemanfaatan keanekaragaman hayati ikan ini, pemahaman akan
karakterisasi jenis-jenis ikan menjadi penting sebagai dasar dari
akuakultur.
Kasus penurunan kualitas genetik ikan budidaya tersebut
muncul karena tidak adanya suatu perencanaan/manajemen
produksi yang baik. Manajemen produksi ini meliputi seleksi
induk yang akan dipijahkan; berapa jumlah induk yang akan
dipijahkan; berapa jumlah benih yang akan dihasilkan; bagaimana
cara perawatan; menyeleksi dan memperoleh benih unggul hingga
memproduksi kembali induk dan benih unggul secara kontinyu.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan isolasi
genetis dari ikan yang dihasilkan saat dipasarkan ke luar negeri.
Lalu lintas perdagangan ikan sangatlah cepat dan luas.
Pengenalan terhadap karakterisasi dan keturunan serta sifat-sifat
keturunannya sulit ditelusuri, memerlukan waktu yang cukup
lama. Penurunan kualitas genetik ini secara tidak langsung akan
memengaruhi tingkat pertumbuhan, reproduksi, dan daya tahan
terhadap penyakit. Sehubungan dengan pengembangan potensi
genetik ikan, diperlukan kegiatan pengembangan plasma nutfah
dan pemuliaan, seperti penerapan effective breeding numbering, selective
breeding, ginogenesis, sex reversal dan tehnik hibridisasi serta
poliploidisasi. Tidak sedikit pula jenis-jenis ikan potensial yang
dapat dibudidayakan itu adalah jenis-jenis asli Indonesia
(indigenous species).

12
4) Teknologi pakan
Pakan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
suatu usaha budidaya ikan yang dilihat dari pertumbuhan dan
biomassa ikan. Protein menjadi unsur penting dalam pakan untuk
meningkatkan pertumbuhan. Akan tetapi, ketersediaan protein
masih mengandalkan dari import sehingga menyebabkan harga
pakan ikan di Indonesia relatif mahal. Hal tersebut memengaruhi
efisiensi produksi dan keuntungan usaha. Oleh karen itu perlu
adanya peningkatan pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi dari
komoditas yang dibudidayakan termasuk aplikasinya dalam
lingkungan budi daya, mengembangkan pakan alternatif dan diet
untuk induk, larva dan benih pada setiap spesies sehingga dapat
mengoptimalkan produksi, baik pertumbuhan maupun biomassa
tanpa memengaruhi lingkungan.
5) Teknologi budidaya ramah lingkungan
Intensitas pembudidayaan umumnya ditingkatkan tahap
demi tahap, dengan cara mula-mula meningkatkan padat
penebaran, kemudian ditingkatkan sebanding dengan input
kuantitas dan kualitas yang diberikan. Pemikiran dalam
manajemen lingkungan, diapresiasikan dengan modifikasi-
modifikasi lingkungan, dan teknologi pemeliharaan guna
mengimbangi masalah-masalah yang timbul. Alisjahbana (1996)
mengemukakan bahwa penyelesaian suatu persoalan dengan
teknologi akan selalu membawa bibit-bibit persoalan baru, yang
pada suatu waktu akan menjadi persoalan utama yang
membutuhkan penyelesaian pula. Penyelesaian tersebut biasanya
dilakukan dengan teknologi setingkat lebih tinggi yang sudah
barang tentu juga membawa bibit persoalan baru lagi. Akuakultur
saat ini, jelas sekali mengalami fenomena dialektika teknologi ini.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, China
kelihatannya jelas telah mampu merespons lebih dahulu situasi
tersebut sehingga produksi akuakulturnya mencapai 13,5 juta ton
dengan menerapkan berbagai teknologi yang relatif hemat air,
hemat bahan baku pakan, dan ramah lingkungan. Kunci sukses

13
Cina tersebut, menurut Hao-Ren Lin (1997), terletak pada
strategi pengembangan akuakultur secara terpadu.
6) Penyakit
Selama ini terkesan produksi yang dihasilkan dari usaha
perikanan budidaya hanya mengacu pada kuantitas produk tanpa
memperhatikan kualitasnya. Penggunaan obat-obatan atau bahan
kimia lain sebagai pengendali hama dan penyakit pada produk
budidaya masih kurang memperhatikan jenis obat yang diizinkan,
waktu, dosis maupun lama penyimpanan bahan tersebut. Hal
demikian menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pembudidaya
dan konsumen; memmengaruhi mutu produk dan pada gilirannya
akan memmengaruhi nilai jual. Belum lagi tuntutan keras dan
dipersyaratkan pasar internasional, seperti menuntut ketersediaan
pangan dengan keamanan dan kualitas yang terjamin (food safety
and healthy assurance), technical barier to trade (TBT), sanitary and phyto
sanitary (SPS), reject and retention (chloramphenicol and nitrofuran).
Baru-baru ini akan ditetapkan undang-undang Public Health
Security and Bioterorism Preparedness and Response Act oleh Amerika
Serikat.

Soal Latihan
1. Jelaskan pengertian dan manfaat budidaya perairan tawar!
2. Jelaskan keterkaitan ilmu-ilmu dasar dengan ilmu budidaya
perairan!
3. Jelaskan keterkaitan ilmu-ilmu perikanan dengan ilmu
budidaya perairan!
4. Jelaskan peranan dan tantangan perikanan budidaya saat ini
dan di masa mendatang!

14
Bab III
SISTEM BUDIDAYA IKAN

3.1 Pengantar
Salah satu upaya meningkatkan produktivitas perikanan
budidaya dengan potensi areal yang ada adalah dengan penerapan
sistem budidaya. Sistem budidaya perairan yang dikembangkan dapat
berdasarkan pengelolaan dan kultivan. Penerapan sistem budidaya dan
peningkatan produksi dapat dilakukan dengan cara memperbaiki
kombinasi faktor-faktor produksi dan pembaharuan teknologi.

3.2 Capaian Pembelajaran


Setelah mengikuti kuliah dan mempelajari bab ini, mahasiswa
dapat menjelaskan beberapa sistem budidaya perairan, karakteristik
dan keunggulannya, baik berdasarkan pengelolaan dan atau kultivan
serta perbaikan-perbaikan kombinasi faktor produksi dan
pembaharuan teknologi.

3.3 Sistem Budidaya Ikan Berdasarkan Pengelolaan


Pada awal perkembangan budidaya perairan tawar, sistem
pengelolaan budidaya ikan yang diterapkan terbatas pada pemanfaatan
lahan dan kesuburan perairan. Selanjutnya, mulai dikembangkan
sistem budidaya berbasis kultivan/jenis ikan, padat penebaran, dan
pakan buatan. Penerapan sistem budidaya ikan di suatu wilayah
negara, daerah, kelompok pembudidaya, maupun individu sangat
bergantung pada kebijakan atau rekomendasi, tujuan, pilihan,
sumberdaya, dan daya dukung yang dimiliki.

15
Sistem budi daya ikan berdasarkan pengelolaannya meliputi
sistem budi daya ekstensif, semi intensif, dan intensif. Penjelasan
secara ringkas mengenai sistem pengelolaan budi daya dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Karakteristik sistem budidaya ikan berdasarkan


pengelolaan

Karakteristik atau ciri khas masing-masing sistem budidaya


ikan berdasarkan pengelolaan adalah sebagai berikut :
1) Budidaya Ekstensif (Tradisional)
Pengelolaan usaha budidaya perairan sistem ekstensif atau
tradisional membutuhkan lahan yang relatif luas dan dikelola masih
sangat sederhana; tidak memerlukan keterampilan budidaya. Biota
yang ditebar terdiri atas berbagai jenis dan padat penebaran yang
rendah. Pertumbuhan dan biomassa ikan bergantung pada
kesuburan perairan, dalam hal ini ketersediaan pakan alami, baik
phytoplankton maunpun zooplankton. Pemanfaatan air untuk
pengisian dan pergantian air kolam serta kerentanan akan serangan
penyakit sangat rendah. Biaya produksi yang diperlukan untuk

16
menerapkan sistem budidaya ekstensif ini tidak tinggi karena
pembudidaya hanya memerlukan biaya awal untuk membeli benih
ikan jika langsung dibudidayakan tanpa campur tangan manusia
atau perlakuan teknologi tertentu. Akan tetapi sistem budidaya ini
memiliki banyak kelemahan, yaitu hasil panen kurang optimal dan
kemungkinan tingkat kematian yang tinggi.

2) Budidaya Semi Intensif


Sistem budidaya ikan semi intensif merupakan sistem
budidaya peralihan antara sistem budidaya esktensif dan sistem
budidaya intensif. Pengelolaan usaha budidaya perairan semi
intensif merupakan perbaikan dari pola ekstensif sehingga sering
disebut pola ekstensif yang diperbaiki. Produksi per unit sistem
semi-intensif mulai meningkat seiring penambahan kepadatan ikan
yang dipelihara walau penggunaan lahan atau ukuran kolam yang
tidak terlalu luas. Peningkatan pertumbuhan dan produksi
biomassa ikan peliharaan mulai dilakukan dengan penambahan
pakan buatan yang berasal dari bahan baku pakan, yaitu tepung
atau minyak ikan. Penambahan pakan buatan mulai membutuhkan
keterampilan manajemen usaha dan pengelolaan limbah dengan
penerapan pergantian akibat penumpukan sisa-sisa pakan.

3) Budidaya Intensif
Sistem budidaya ikan intensif dicirikan membutuhkan lebih
banyak input produksi terutama benih dan pakan pada lahan
terbatas yang disesuaikan dengan daya dukung lahan. Pada sistem
budidaya ikan intensif, keberadaan dan ketergantungan terhadap
pakan alami sangat dibatasi sehingga pakan buatan menjadi satu-
satunya sumber makanan yang diberikan secara teratur. Penerapan
sistem intensif menuntut manajemen dan keterampilan yang lebih
baik karena tingginya konsentrasi nitrogen terutama ammonia
dalam air yang berasal dari pakan, sisa pakan, dan hasil
metabolisme ikan. Penggunaan sarana prasarana produksi seperti
aerator, kincir, pompa, vaksin, vitamin, peralatan pengukuran

17
kualitas air, obat-obatan, dan lainnya sangat penting untuk
mendukung keberhasilan usaha budidaya ikan.
Contoh aplikasi penerapan sistem budidaya ikan secara
intensif ialah budidaya pada kolam air deras (running water system,
RWS), keramba jaring apung (cage culture), kolam bulat, budidaya
sistem bioflok dan sistem resirkulasi (recirculation aquaculture system,
RAS). Sistem budidaya intensif yang diterapkan harus senantiasa
memperhatikan daya dukung, kelestarian, dan kesehatan
lingkungan. Hal ini disebabkan oleh limbah organik hasil sisa
pakan dan metabolisme yang didominasi senyawa nitrogen beracun
yang menimbulkan bau tidak sedap bahkan dapat memengaruhi
kualitas daging ikan yang kurang baik (Purnomo, 2012).
Soedibya dan Listiowaty (2014) telah melakukan
menerapkan sistem budidaya ikan lele intensif yang ramah
lingkungan dan dipelihara dalam kolam bundar kapasitas 1800 liter
kepadatan 1.000 ekor per wadah dari ukuran benih 3 cm dengan
teknologi bioflok. Hasilnya, selama 1 bulan pemeliharaan
pertumbuhannya meningkat dari 4,475 g menjadi 11,4 g. Teknologi
bioflok dan hasil produksinya dalam kolam bundar dapat dilihat
pada Gambar 2.

Gambar 2. Teknologi bioflok dan hasil produksinya dalam


kolam bundar
(Foto Pramono, 2014, Lokasi Purbalingga)

18
Pramono et.al. (2014) juga melaporkan hasil aplikasi
teknologi bioflok dengan benih ukuran 3 cm dan kepadatan 1000
ekor yang dipelihara selama 70 hari menghasilkan konversi pakan
(FCR) sebesar 0,80-0,98 dan biomassa panen 102 kg. Hasil
produksi teknologi bioflok ini lebih besar dibandingkan dengan
budidaya yang dilakukan secara tradisional yang hanya mampu
memproduksi 80 Kg.

3.4 Sistem Budidaya Ikan Berdasarkan Kultivan


Penerapan sistem budidaya juga dilakukan berdasarkan
kultivan/ikan peliharaan. Sistem budidaya ikan yang dikenal adalah
monokultur dan polikultur.
1) Monokultur
Monokultur berasal dari kata mono yang berarti satu dan
culture berarti budi daya. Monokultur berarti budidaya dengan satu
jenis ikan dalam satu kolam pemeliharaan. Jenis ikan yang
dipelihara dapat disesuaikan dengan kesukaan masyarakat dan
tentunya yang laku di pasaran. Sistem monokultur memiliki
beberapa keunggulan, di antaranya pemeliharaan lebih fokus,
pemberian ransum pakan lebih mudah karena setiap jenis ikan
berbeda kebutuhan nutrisinya, dan minimum dalam persaingan
pakan dan ruang.
Pemeliharaan jenis ikan dalam sistem monokultur dapat
didasarkan pada makanannya, yaitu ikan herbivora (pemakan
tumbuhan), carnivora (pemakan hewani), omnivora (pemakan
tumbuhan dan hewan). Ikan herbivora contohnya ikan tawes,
ikan nilem, dan ikan tambakan; ikan carnivora seperti ikan lele,
ikan belut, ikan gabus, ikan belida yang biasanya memakan
serangga, udang, dan hewan lainnya; ikan omnivora contohnya
ikan nila, ikan bawal, dan ikan mas, ikan patin, ikan gurami.
2) Polikultur
Polikultur berasal dari kata poli yang artinya banyak dan
culture berarti budidaya. Polikultur berarti budidaya dengan
kombinasi jenis ikan dalam satu kolam pemeliharaan. Prinsip

19
pemeliharaan ikan pada sistem polikultur adalah bahwa berbagai
jenis ikan membutuhkan jenis makanan berbeda sehingga setiap
jenis ikan tidak akan bersaing dalam mencari makanan ataupun
ruang. Sistem polikultur sudah barang tentu mampu meningkat-
kan produksi ikan dibandingkan dengan sistem monokultur.
Penentuan kombinasi jenis ikan yang paling efektif dalam
memanfaatkan makanan alamiah yang tersedia di kolam perlu
diteliti lebih lanjut. Kombinasi jenis ikan mempertimbangkan
kebiasaan makan, sifat, dan relung hidupnya di perairan.
Kombinasi ini dimaksudkan untuk memanfaatkan seluruh
makanan yang sifatnya alamiah di dalam kolam secara efektif dan
efisien. Sebagai contoh pemilihan kombinasi dengan melihat jenis
ikan yang mempunyai daerah operasi mencari makanan di
permukaan, tengah dan dasar perairan kolam. Kombinasi jenis-
jenis ikan yang dipelihara dapat dihitung dengan persentase dari
total kepadatan ikan yang akan ditebar pada satu ukuran yang
sama atau berbeda. Misalnya ditentukan kombinasi polikultur
ikan tambakan 50%, nilem 20%, mas 20% dan tawes 10% atau
ikan tambakan 37%, nilem 12%, mas 12% dan tawes 37% atau
ikan tawes 40%, nilem 10%, mas 20% dan tambakan 30%.
Polikultur juga dapat dilakukan dengan kombinasi ikan
yang berbeda ukuran dalam satu jenis. Hal ini dimaksudkan
karena setiap ukuran ikan memiliki jenis makanan yang berbeda
meskipun ikan tersebut berasal dari satu jenis yang sama. Sebagai
contoh adalah ikan mas yang berukuran kecil biasanya hidup di
permukaan air dan makan plankton, sedangkan ikan mas yang
berukuran besar lebih menyukai hidup di dasar perairan dan
mencari makanan dengan cara mengaduk-aduk dasar kolam.
Penerapan sistem polikultur memiliki beberapa keunggulan
apabila dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas.
Keunggulan dari sistem polikultur antara lain adalah :
1) Efisien dalam pemanfaatan lahan karena dalam satu satuan
luas lahan yang sama dapat dipelihara banyak jenis ikan.
2) Produksi kolam secara keseluruhan akan meningkat.

20
3) Makanan alamiah yang tumbuh di kolam termanfaatkan oleh
ikan secara efektif dan efisien.
4) Ikan yang dipelihara tidak mudah terserang penyakit.
5) Waktu pemeliharaan relatif lebih singkat

Latihan Soal
1. Sebutkan sistem budidaya ikan berdasarkan pengelolaan!
2. Jelaskan 6 perbedaan karakteristik antara sistem budidaya
ekstensif dan intensif !
3. Jelaskan 3 hal yang harus diperhatikan dalam penerapan
sistem budidaya intensif!
4. Sebutkan dan jelaskan sistem budidaya berdasarkan
kultivan/ikan peliharaan!
5. Jelaskan pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan
kombinasi jenis ikan pada penerapan sistem budidaya
polikultur!

21
Bab III
PEMBENIHAN IKAN

4.1 Pengantar
Ketersediaan benih untuk budidaya ikan harus terpenuhi
terus-menerus dalam jumlah yang cukup, berkualitas tinggi, dan tepat
waktu. Upaya pemenuhan dilakukan dengan kegiatan pembenihan.
Upaya pembenihan perlu mengetahui karakteristik induk, seleksi
induk matang kelamin dan metode pemijahan. Pemahaman tersebut
dapat menunjang penanganan, standar dan teknik pembenihan di
panti benih.

4.2 Capaian Pembelajaran


Capaian pembelajaran pada bab ini, mahasiswa dapat
menjelaskan pengertian pembenihan dan tujuannya, pembenihan
sebagai subsistem, karakteristik induk, seleksi induk yang matang
kelamin, dan teknik pemijahan untuk produksi benih.

4.3 Pembenihan sebagai Subsistem Budi daya Ikan


Pembenihan merupakan salah satu bentuk subsistem kegiatan
usaha budi daya perikanan. Kegiatan pembenihan menghasilkan larva
atau benih ikan yang dijadikan komponen input pendederan dan
pembesaran. Benih harus tersedia terus-menerus dalam dalam jumlah
yang cukup, berkualitas tinggi, dan tepat waktu. Target produksi
pembenihan dalam bentuk jumlah larva atau benih ikan yang
dihasilkan dan ukuran tertentu. Satuan produksi pembenihan di
antaranya, yaitu jumlah ekor per siklus produksi, ekor per bobot
induk, ekor per volume bak, ukuran panjang seperti sentimeter, inchi,
ukuran besar-kecil S, M. L, XL (small, medium, large dan extra large).

23
Benih berkualitas hasil pembenihan harus memenuhi kriteria
kualitatif maupun kuantitatif. Kriteria kualitatif dapat dilihat dari bentuk
tubuh yang normal atau tidak cacat, pergerakan lincah, pertumbuhan
relatif cepat, tahan terhadap penyakit, dan responsif terhadap
rangsangan dari luar. Adapun kriteria kuantitatif diketahui dari
kelangsungan hidup yang tinggi, tingkat keseragaman ukuran dan berat.
Usaha pembenihan memiliki karakteristik di antaranya yaitu
siklus waktu produksi relatif tidak lama, tidak memerlukan modal
besar, perputaran modal yang cepat, dan resiko lebih kecil. Namun
demikian, usaha produksi benih ikan tetap harus memiliki standar
sistem mutu yang baik.
Standar system mutu perbenihan paling dasar/sederhana di
Indonesia dikenal dengan nama cara pembenihan ikan yang baik
(CPIB). Prinsip dari CPIB adalah pembenih ikan dalam memproduksi
benih ikan yang bermutu, dengan cara melakukan manajemen induk,
pemijahan, penetasan,telur, pemeliharaan larva/benih dalam
lingkungan yang terkontrol melalui penerapan teknologi yang
memenuhi persyaratan SNI atau persyaratan teknis lainnya, serta
memperhatikan biosecurity, mampu telusur (traceability) dan keamanan
pangan (food safety). Skema proses untuk mendapatkan benih ikan yang
bermutu dapat dilihat pada Gambar 3.

CPIB

UNIT PERBENIHAN

BENIH BERMUTU

Tumbuh cepat
Ukuran seragam
Kelangsungan hidup tinggi
Tahan terhadap penyakit
Adaptif terhadap lingkungan
Tidak mengandung residu bahan kimia atau obat

Gambar 3. Prinsip Cara Pembenihan Ikan yang Baik

24
4.4 Karakteristik Induk
Untuk dapat menghasilkan benih yang bermutu dalam jumlah
yang memadai dan waktu yang tepat perlu diimbangi dengan
pengoptimalan penanganan induk. Keberhasilan usaha pembenihan
sangat dipengaruhi oleh keadaan induk. Bila induk baik, benih yang
dihasilkan pun akan banyak dan berkualitas baik. Induk yang
kualitasnya baik dapat diperoleh dari instansi perikanan atau pihak
yang ditunjuk sebagai penyedia induk unggul.
Kegiatan pembenihan ikan diawali dengan mengetahui sifat-
sifat dan karakteristik induk. Beberapa jenis ikan memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda. Pengetahuan sifat dan karakteristik akan
membantu dalam penanganan, pengelolaan dan pelaksanaan teknik
pembenihan di hatchery atau panti benih.
Induk ikan berdasarkan sifatnya terdiri atas 2 (dua) macam
yaitu parental care dan non parental care. Induk ikan sebelum dan setelah
memijah senantiasa menjaga keturunannya atau dikenal dengan
parental care. Sebaliknya induk yang tidak menjaga keturunannya
disebut non parental care. Induk yang bersifat menjaga keturunannya
dikategorikan atas dua macam yaitu induk yang senantiasa secara aktif
dan pasif. Beberapa jenis induk ikan ada yang bersifat pasif atau aktif
dan keduanya.
Induk yang pasif dalam menjaga keturunannya umumnya
dicirikan dengan memproduksi telur yang volume kuning telur
berukuran besar. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan
energi untuk proses perkembangan atau pertumbuhan hingga
mencapai ukuran atau umur tertentu contohnya yaitu ikan gurami dan
arwana. Selain itu, bentuk pasif lain dari induk dalam menjaga
keturunannya yaitu dengan memproduksi zat racun pada telur agar
terhindar dari predator.

25
Gambar 4. Telur dan larva ikan Gurami (Sumber : Pramono, 2007)

Induk yang bersifat aktif menjaga keturunannya umumnya


baik jantan atau betina secara aktif menjaga telur, larva maupun benih
hasil perkawinannya. Induk yang bersifat parental care lebih reaktif
dan galak saat pemijahan dan pengasuhan. Bentuk aktif melindungi
keturunannya antara lain yaitu mempersiapkan media atau sarang atau
buih untuk menempatkan telur agar aman seperti ikan gurami dan
cupang; menginkubasi telur dan larva di dalam mulut sekaligus untuk
menjaga dari predator induknya seperti ikan nila dan arwana;
memberikan daya imunitas dan pengasuhan dengan membiarkan larva
atau benih memakan lapisan mukus atau lendir pada tubuh induk
seperti ikan discus.

Gambar 5. Ikan discus (kiri) dan Ikan Arwana (kanan) aktif menjaga
keturunannya
26
Induk ikan yang bersifat non parental care umumnya tidak peduli
terhadap keturunannya baik sebelum dan sesudah pemijahan.
Biasanya mudah dicirikan dengan ukuran gonad yang relatif lebih
besar, jumlah telur atau fekunditas yang dihasilkan banyak, dan
ukuran diameter telur relatif kecil. Contohnya adalah seperti ikan lele,
mas, tawes, patin, bawal dan nilem.

4.5 Seleksi Induk Matang Kelamin


Seleksi induk matang kelamin merupakan tahap awal dalam
kegiatan pembenihan ikan yang sangat menentukkan keberhasilan
produksi. Induk matang kelamin adalah induk yang telah memasuki
fase matang kelamin dan siap dipijahkan pada kegiatan pembenihan.
Parameter induk matang kelamin adalah tingkat kematangan gonad
(TKG). Induk ikan yang telah matang kelamin umumnya telah
memasuki fase TKG IV.
Tingkat kematangan kelamin ikan berbeda-beda bergantung
pada jenis ikannya. Umur kematangan kelamin ikan dipengaruhi oleh
faktor genetis, jumlah, dan kualitas pakan selama pemeliharaan induk.
Sebagai contoh ciri-ciri induk ikan lele telah matang kelamin pada ikan
betina dan jantan dapat dilihat secara morfologi seperti pada Gambar
6 dan Tabel 1.

Jantan Betina

Gambar 6. Ikan lele matang kelamin pada ikan betina dan jantan
secara morfologi

27
Tabel 1. Ciri-ciri morfologi induk ikan yang matang kelamin
Morfologi
Induk Matang Betina Jantan Keterangan
Kelamin
Bagian perut Perut agak Perut relatif Beberapa jenis
buncit dan ramping ikan relatif sama
lembek karena
telah berisi
telur.
Alat kelamin Alat kelamin Alat kelamin Ikan lele jantan
mulai berwarna tidak dapat
menonjol dan kemerahan dan mengeluarkan
berwarna bila diurut sperma bila
kemerahan bagian perut diurut/stripping
hingga anus karena
mengeluarkan morfologi
sperma anatomi testis
yang bergerigi.
Pergerakan Pergerakan Pergerakan Beberapa jenis
lamban lincah ikan relatif sama.
Anggota Tubuhnya Tubuh relatif Warna tubuh
Tubuh relatif besar kecil dan sirip
Warna tubuh punggung
lebih cemerlang umumnya pada
dan menarik ikan hias seperti
ikan neon tetra,
Sirip punggung
ikan cupang,
lebih panjang
ikan kongo tetra
dan lainnya.

4.6 Pemijahan
Pemijahan merupakan mata rantai dari siklus hidup yang
menentukkan kelangsungan hidup dan populasi spesies ikan.
Pemijahan adalah proses pengeluaran sel telur oleh induk betina dan
sperma oleh jantan untuk pembuahan. Berdasarkan teknik, pemijahan
ikan dapat dilakukan dengan 3 macam cara yaitu :

28
1) Pemijahan alami, yaitu pemijahan ikan dilakukan secara alami
dengan menyiapkan lingkungan atau media yang sesuai/
minimal mendekati dengan habitat aslinya. Pemijahan alami
dilakukan tanpa campur tangan manusia dan pemberian
rangsangan hormon. Aplikasi teknisnya, pasangan induk ikan
jantan dan betina dipijahkan secara alami dalam wadah
pemijahan lengkap dengan substrat untuk penempelan telur
(Gambar 7). Jenis ikan yang bisa dilakukan pemijahan alami
yaitu ikan mas, lele, nilem, tawes, dan gurami.

Gambar 7. Pemijahan Ikan Lele Secara Alami

2) Pemijahan semi alami, yaitu pemijahan ikan dilakukan dengan


memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat
kematangan gonad, tapi proses ovulasinya terjadi secara
alamiah di kolam pemijahan. Jenis ikan yang dapat dilakukan
teknik pemijahan semi alami yaitu ikan lele, mas, nilem dan
tawes.
3) Pemijahan buatan yaitu pemijahan ikan yang dilakukan dengan
memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat
kematangan gonad dan proses ovulasinya dilakukan secara
buatan dengan teknik stripping/pengurutan (Gambar 8).

29
Rangsangan hormon dapat dilakukan dengan menggunakan
hormon sintetis GnRH analog dan kelenjar hipofisa. Jenis
ikan yang sudah dapat dilakukan pemijahan secara buatan
antara lain ikan patin, ikan mas, ikan lele dan bawal.

Gambar 8. Pemijahan Buatan Ikan Bawal

Latihan Soal
1. Jelaskan pengertian dan tujuan dari pembenihan ikan!
2. Jelaskan kriteria benih berdasarkan kualitatif dan kuantitatif!
3. Jelaskan karakteristik induk ikan yang bersifat parental care dan
non parental care! Sebutkan berikut contoh ikannya!
4. Jelaskan ciri-ciri morfologi ikan matang kelamin!
5. Jelaskan 3 macam teknik pemijahan ikan!

30
Bab V
PEMELIHARAAN
EMBRIO DAN LARVA

5.1. Pengantar
Pemenuhan kebutuhan benih seringkali terkendala kontinuitas
produksi pada usaha pembenihan karena tingkat kematian yang tinggi.
Kematian yang tinggi umumnya terjadi pada fase kritis, yaitu saat
perkembangan fase embrio dan larva. Untuk menangani embrio dan
larva perlu dipahami karakteristiknya. Pemahaman karakteristik
embrio dan larva menentukan strategi dan teknik keberhasilan
produksi benih.

5.2 Capaian Pembelajaran


Pada bab ini, setelah mengikuti kuliah, mahasiswa dapat
menjelaskan karakteristik dan perkembangan embrio dan larva,
penanganan, dan strategi pemeliharaan embrio dan larva ikan.

5.3 Fase Kritis Embrio dan Larva


Kegiatan budidaya ikan memerlukan suplai benih dengan
kuantitas dan kualitas tertentu yang tersedia secara kontinyu. Benih
untuk kegiatan budidaya harus dapat disediakan secara massal dan
terlepas dari musim. Dengan kata lain, pengadaan benih harus
terprogram sehingga dapat dihasilkan tepat waktu, tepat jumlah, tepat
jenis, dan tepat kualitas (Zairin, 2003). Upaya pemenuhan kebutuhan
tersebut sering terkendala oleh tingkat kematian yang tinggi pada saat
awal daur hidup.

31
Kematian ikan yang cukup tinggi biasanya terjadi pada fase
awal kehidupan, salah satu di antaranya adalah fase perkembangan
embrio dan larva (Effendie, 2002; Gisbert and Williot, 1997). Fase ini
disebut juga dengan fase kritis (Hemming and Buddington, 1988;
Effendie, 2002). Pada fase perkembangan embrio umumnya kematian
terjadi saat inkubasi, yaitu saat terjadi pembelahan sel zigot. (cleavage),
blastulasi, gastrulasi, dan neurolasi hingga menetas (Effendie, 2002).
Kematian larva yang tinggi terjadi karena pada fase kritis stadia
larva terjadi peralihan pemanfaatan makanan dari kuning telur
(endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding).
Terjadi kesenjangan pemanfaatan energi dari endogenous feeding ke
exogenous feeding menyebabkan kematian larva (Effendie, 2004).
Kesenjangan diartikan pada saat kuning telur larva habis, larva belum
melakukan proses organogenesis secara sempurna seperti pembentukan
bintik mata, bukaan mulut, dan lainnya. Ketidaksempurnaan dalam
proses organogenesis dengan memanfaatkan energi dari kuning telur
(endogenous feeding) akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam
memanfaatkan pakan dari luar (exogenous feeding).
Untuk keberhasilan kegiatan pembenihan/pemeliharaan masih
sangat diperlukan informasi-informasi dasar. Pengenalan pada studi
awal daur hidup yang meliputi perkembangan embrio dan larva,
ketersediaan sumber energi dalam tubuh (endogenous energy), hingga
perkembangan organ untuk mendapatkan sumber energi dari luar
(exogenous energy) sangat diperlukan untuk menentukan upaya
pemeliharaannya dan juga aplikasi bioteknologi reproduksi perikanan.

5.4 Perkembangan embrio


Perkembangan embrio (embryo development) adalah suatu proses
yang berlangsung terus-menerus dari generasi ke generasi. Secara
individu awal perkembangan dimulai pada saat pembuahan
(fertilisasi), penyatuan sel gamet betina (ovum) dan sel gamet jantan
(sperma) yang membentuk zigot, kemudian tumbuh berkembang
menjadi mahluk yang berpotensi untuk bereproduksi menurunkan
generasi selanjutnya dan akhirnya mati (Effendie, 2004).

32
Proses perkembangan yang berlangsung dari gametogenesis
sampai dengan pembentukan zigot disebut progenesis. Proses
selanjutnya yang mencakup pembelahan sel zigot. (cleavage), blastulasi,
gastrulasi, dan neurulasi disebut embriogenesis. Proses berikutnya
disebut organogenesis, yakni pembentukan organ-organ tubuh. Setiap
stadium proses embriogenesis memiliki ciri khas tersendiri.
Embriologi mencakup proses perkembangan setelah fertilisasi sampai
organogenesis sebelum menetas atau lahir. Urutan periode
perkembangan ikan secara umum terdiri atas embrio dini (early
embrionic), embrio transisi (larva) dan pasca embrio (Effendie, 2002).
Embrio dini dimulai pada saat pembuahan telur oleh sperma
dan berakhir pada saat semua sistem organ terbentuk. Embrio transisi
mencakup transformasi sistem organ dan bentuk badan embrio dini
menjadi sama seperti pada individu dewasa. Bentuk badan yang tetap
(definitif) tercapai pada akhir atau menjelang akhir fase tersebut.
Selama fase ini terbentuk dua macam larva, bergantung pada jenis
ikan, yakni larva yang hidup bebas mempunyai bagian (alat) pelindung
embrio untuk hidup di luar dan larva yang tidak hidup bebas menyele-
saikan bentuk peralihannya di dalam cangkang telur atau dalam tubuh
induknya.
Beberapa jenis ikan yang perkembangannya tidak langsung
antara lain metamorfosa dan terkadang dengan selesainya
metamorfosa tersebut, maka berakhir pula fase tersebut. Pada
beberapa jenis ikan, fase embrio akhir mencakup perubahan
perkembangan yang terjadi setelah bentuk badan definitif muncul.
Adapun jenis ikan yang dilahirkan langsung oleh induk perkembangan
tersebut berlangsung di dalam saluran reproduksi induk. Pada ikan
yang menghasilkan larva hidup bebas, bentuk dewasa akan dicapai
segera setelah menetas atau setelah melewati beberapa fase (stadia)
perkembangan pada fase ikan-ikan muda mempunyai bentuk relatif
sama dengan ikan dewasa.
Perkembangan embrio diawali saat proses impregnasi, yaitu
pada saat sel telur (ovum) dibuahi oleh sel jantan (spermatozoa). Proses
pembuahan pada ikan bersifat monospermik, yakni hanya satu

33
spermatozoa yang akan melewati mikropil dan membuahi sel telur.
Pada pembuahan ini terjadi percampuran inti sel telur dengan inti sel
jantan. Kedua macam inti ini masing-masing mengandung gen
(pembawa sifat keturunan) sebanyak satu set (haploid). Pencampuran
inti sel telur dan spermatozoa terjadi dalam sitoplasma telur.
Menyatunya kedua inti (pronuklei) tersebut melengkapi proses
pembuahan. Kromosom-kromosom dari sel betina dan jantan bersatu
dalam proses yang disebut amfimiksis. Pada telur ikan, pembelahan
terjadi hanya pada blastosis, daerah tipis dari sitoplasma yang bebas
dari kuning telur yang menutupi atau membungkus telur.
Berlangsungnya pembuahan dengan baik terjadi pada saat sel
telur dan spermatozoa dikeluarkan ke dalam air akan menjadi aktif
karena sebelumnya sel telur dan sel sperma berada dalam cairan
fisiologis yang berada dalam tubuh induk betina dan jantan masih
bersifat nonaktif. Spermatozoa yang tadinya nonaktif akan bergerak
(motil) dengan menggunakan ekor yang berupa cambuk. Bersamaan
dengan pengaktifan spermatozoa dalam air sel telur pun menjadi aktif.
Air yang masuk melalui mikropil menyebabkan terlepasnya sel telur
yang dibungkus oleh selaput plasma dari selaput vitelin (karion-
karion) karena terbentuk ruang perivitelin di antara kedua selaput
tersebut. Selaput vetelin disebut juga selaput pembuahan. Inti sel telur
matang yang semula tepat berada di depan mikropil akan bergerak
karena dengan adanya ruang perivetelin, kuning telur dan inti yang
dibungkus oleh selaput plasma akan lebih mudah bergerak. Masuknya
spermatozoa lewat mikropil harus berlangsung dengan cepat sekali
agar persatuan kedua inti sel tersebut dapat terjadi karena inti sel telur
akan bergerak dan daya gerak (motilitas) sperma sangat terbatas, yaitu
1-2 menit saja. Spermatozoa lainnya yang bertumpuk pada saluran
mikropil, ada yang mengatakan akan dilebur dijadikan makanan sel
telur yang telah dibuahi (zigot), tetapi ada pula yang menyatakan
dibuang, didorong ke luar oleh reaksi korteks. Demikian juga halnya
dengan spermatozoa yang menempel pada permukaan korion harus
dibuang, karena akan mengganggu proses pernafasan (metabolisme)

34
zigot yang sedang berkembang. Cara pembuangan atau pelepasan
spermatozoa itupun dilakukan dengan reaksi korteks.
Selaput pembungkus telur (korion) yang tadinya kurang tegang
dan terdiri atas lekuk-lekukan berisi butir-butir korteks, dengan
masuknya air, akan merenggang dan butir-butir konteks tersebut akan
meloncat ke luar dari lekukan-lekukan dan mendorong spermatozoa
yang menempel tersebut berjatuhan dan mati. Karion menjadi tegang
dan keras karena air. Konsentrasi ion Ca menentukan kecepatan
pengerasan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi ion Ca, maka proses
pengerasan tersebut makin cepat.
Telur isolesital (alesital, oligolesital) adalah telur yang
mengandung kuning telur sedikit dan tersebar di seluruh sel telur,
sedangkan pada telur telosital jumlah kuning telurnya relatif banyak dan
berkumpul pada kutub vegetatif, tetapi pada kutub animal hanya
terdapat inti sitoplasma. Telur telosital ini terdiri dari dua macam,
politelosital dan sentrolesital. Tipe pembelahan telur politelolesital
adalah meroblastik diskoidal, sedangkan pada sentrolesital adalah
merobiastik superfisial. Pada tipe yang pertama, blastomer akan
dibentuk menjadi cakram (disc) pada kutub animal dan pada yang
kedua blastomer akan membungkus kuning telur. Pada pembelahan
holoblastik terdapat dua macam, yang sempurna (equal) dan yang tidak
sempurna (unequal).
Pada pembelahan yang sempurna, sel-sel anak yang
terbentuk relatif berukuran sama besar, sedangkan pada yang
tidak sempurna sel-sel anak di kutub animal berukuran lebih kecil
(mikromer) daripada yang di sekitar kutub vegetatif karena
terdapat banyak kuning telur (makromer). Kecepatan pembelahan
sel pada kutub animal lebih cepat sehingga sel-sel anak ini akan
bergerak menutupi sel-sel anak di kutub vegetatif. Kecepatan
pembelahan inti berbanding terbalik dengan banyaknya kuning
telur. Pembelahan sel holoblastik tidak sempurna hampir seperti
pada meroblastik, yaitu se1-sel anak yang terbentuk juga akan
membungkus kuning telur.

35
Dari hasil pembelahan sel telolesital ini akan terbentuk
dua kelompok sel. Yang pertama adalah kelompok sel–sel utama
(blastoderm) yang akan membentuk tubuh embrio disebut sel–sel
formatik atau gumpalan sel–sel dalam. Yang kedua adalah
kelompok sel–sel pelengkap (trofoblast,periblast, auxilliary cells) yang
berfungsi sebagai selaput pelindung dan jembatan penghubung
antara embrio dengan induk atau lingkungan luar.

5.5 Pembelahan embrio


Pembelahan sel zigot pada ikan umumnya bertipe meroblastik
(partial) walaupun ada juga holoblastik (total). Pada tipe meroblastik
yang membelah hanya inti sel dan sitoplasmanya saja, sedangkan pada
holoblastik kuning telur pun turut membelah diri. Kedua tipe
pembelahan sel tersebut ditentukan oleh banyaknya kuning telur dan
penyebarannya. Kebanyakan sel telur ikan dipenuhi dengan kuning
telur. Divisi pembelahan sel pada telur ikan zebra tidak lengkap
sehingga tipe pembelahannya adalah meroblastic, hanya sitoplasma
dari blastosis yang berkembang menjadi embrio. Tipe dari
pembelahan meroblastik disebut juga dengan discoidal.
Secara umum perkembangan embrio sangat cepat. Setelah 24
jam dari fertilisasi, embrio yang terbentuk adalah jaringan dan
primodial organ memperlihatkan karakteristik seperti bentuk berudu
atau kecebong (Granato dan Nüsslein-Volhard, 1996; Langeland dan
Kimmel, 1997). Pada telur ikan, pembelahan terjadi hanya pada
blastosis, yaitu daerah tipis dari sitoplasma yang bebas dari kuning
telur yang menutupi atau membungkus telur.
Perkembangan embrio yang dilihat dengan scanning electron
micrographs (SEM), menunjukkan secara alamiah incomplete dari
pembelahan discoidal meroblastic pada telur ikan (Gambar 9).
Diawali dari gelombang kalsium pada fertilisasi yang
menstimulasi kontraksi dari actin cytoskeleton untuk menekan sitoplasma
non-yolky ke dalam kutub animal dari telur. Hal ini mengubah spherical
telur ke dalam struktur yang bentuknya lebih bulat dengan suatu apical
blastodisc (Leung et al., 1998). Awal dari divisi pembelahan diikuti

36
dengan pola reproduksi yang tinggi dari pembelahan meridional dan
equatorial. Beberapa divisi secara cepat membelah dengan memakan
waktu 15 menit tiap pembelahan.

Gambar 9. Pembelahan Discoidal pada telur zebrafish. (A) 1-sel embryo.


Tumpukan dipuncak sitoplasma adalah bagian blastodisc (B) 2-sel
embryo. (C) 4-sel embryo. (D) 8-sel embryo, dimana dua jajaran dari
4 sel terbentuk. (E) 32-sel embryo. (F) 64-sel embryo, dimana
blastodisc bisa terlihat pada bagian atas sel yolk. (Sumber : Beams
and Kessel 1976)

Awal pembelahan sel ke-16 terjadi secara sinkron, membentuk


suatu tumpukan sel-sel yang kedudukannya pada kutub animal dari
sejumlah besar sel kuning telur (yolk cell). Beberapa sel merupakan
blastoderm. Awalnya, semua sel menjaga hubungan antarsel dan sel
kuning telur yang menjadi dasarnya dengan ukuran molekul protein
sedang (17-kDa) dapat dengan bebas melewati dari satu blastomer ke
blastomer berikutnya (Kimmel and Law, 1985).

37
5.6 Perkembangan Larva
Larva adalah anak ikan yang berukuran sangat kecil dan belum
memiliki bentuk morfologi yang definitif seperti induknya (Effendie,
2004). Larva masih dalam proses perkembangan menuju bentuk yang
definitif. Pada saat tersebut, larva belum memiliki organ tubuh yang
lengkap, bahkan organ yang sudah adapun masih bersifat sederhana
sehingga belum berfungsi maksimal.
Effendie (2004) juga menyatakan bahwa pada fase larva, ikan
juga mengalami proses organogenesis dan sifatnya penyempurnaan
dari fase embrio. Biasanya organ yang terbentuk adalah organ-organ
untuk pemangsaan, seperti mata, bukaan mulut, sirip, dan saluran
pencernaan. Larva yang baru menetas , mulut dan rahang belum
berkembang dan usus masih merupakan tabung lurus (Effendie,
2002).
Sehubungan dengan perkembangan larva ini, Effendie (2002)
secara garis besar membagi menjadi dua tahap, yaitu prolarva dan
postlarva. Untuk membedakannya, prolarva masih mempunyai kuning
telur, tubuhnya transparan dengan beberapa butir pigmen yang
fungsinya belum diketahui. Sirip dada dan ekor sudah ada, tetapi
belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru
keluar dari cangkang telur ini tidak memiliki sirip perut yang nyata,
melainkan hanya bentuk tonjolan. Mulut dan rahang belum
berkembang dan usunya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem
pernapasan dan peredaran darahnya tidak sempurna. Makanannya
didapatkan dari sisa kuning telur yang belum habis dihisap.
Adakalanya larva ikan yang baru ditetaskan letaknya dalam keadaan
terbalik karena kuning telurnya masih mengandung minyak. Apabila
kuning telur telah habis dihisap, posisi larva tersebut akan kembali
seperti biasa. Larva ikan yang baru ditetaskan pergerakannya hanya
sewaktu-waktu saja dengan menggerakkan bagian ekornya ke kiri dan
ke kanan dengan banyak diselingi oleh istirahat karena tidak dapat
mempertahankan keseimbangan posisi tegak.
Masa post larva ikan merupakan masa larva mulai dari
hilangnya kantung kuning telur sampai terbentuknya organ-organ

38
baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada
sehingga masa akhir dari postlarva tersebut secara morfologis sudah
mempunyai bentuk hampir seperti induknya. Sirip dorsal sudah mulai
dapat dibedakan, demikian juga sirip ekor sudah ada garis bentuknya.
Berenangnya sudah lebih aktif dan kadang-kadang memperlihatkan
sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian. Dalam tahap
ini larva tersebut sudah terdapat pigmentasi yang lebat pada bagian
tubuh tertentu.

5.7 Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur


Perkembangan lebih lanjut setelah larva menetas, larva
membawa cadangan energi dalam bentuk kuning telur dan butir
minyak. Larva memanfaatkan cadangan energi tersebut untuk
perkembangan organ tubuh (Usman et al, 2003; Pramono, 2004;
Effendie, 2004). Oleh karena itu, kuning telur dan butir minyak akan
menyusut dan habis sejalan dengan perkembangan organ tubuh larva
(Swanson, 1996; Usman et al, 2003; Pramono, 2004). Sebelum kuning
telur dan butir minyak habis, larva diharapkan sudah bisa memangsa
dan mengonsumsi serta mencerna pakan dari luar. Apabila terjadi gap
antara endogenous feeding dengan exogenous feeding, kemungkinan besar
larva ikan akan mati. Stadia larva merupakan fase yang paling kritis
dalam siklus hidup ikan (Effendie, 2004).
Efisiensi pemanfaatan kuning telur merupakan besar/
banyaknya jaringan tubuh yang terbentuk dari penyerapan kuning
telur, dan diukur berdasarkan perbandingan antara pertumbuhan
dengan penyerapan kuning telur. Efisiensi pemanfaatan kuning telur
bernilai maksimal apabila kuning telur yang dikonversikan menjadi
jaringan tubuh maksimal (Hemming & Buddington, 1988). Blaxter
(1969) menyebutkan efisiensi pemanfaatan kuning telur akan bernilai
maksimal pada suhu optimal.
Kamler (1992) menyatakan bahwa suhu berpengaruh terhadap
laju metabolisme hewan akuatik yang bersifat poikilotermal.
Meningkatnya suhu akan mempercepat kelangsungan proses
metabolisme (Forsberg & Summerfelt, 1992), sehingga nutrien dan

39
energi yang dibutuhkan me njadi lebih banyak digunakan untuk
pemeliharaan. Akibatnya proporsi penggunaan energi untuk
pertumbuhan menurun. Embrio yang diinkubasi pada suhu optimal
menghasilkan larva berukuran besar, porsi kuning telur menjadi lebih
tinggi kemampuan renang lebih besar (Hemming & Buddington,
1988). Hal tersebut menyebabkan daya tahan larva tinggi sehingga
diharapkan akan meningkatkan kelangsungan hidup.

5.8 Kuning Telur


Kuning telur merupakan sumber nutrien dan energi utama
bagi ikan selama periode endogenous feeding, yang dimulai saat fertilisasi
dan berakhir saat larva mulai memperoleh pakan dari luar (Kamler,
1992). Nutrien dan energi dari kuning telur akan digunakan untuk
pertumbuhan, perkembangan, dan juga sebagai sumber energi bagi
metabolisme basal dan aktivitas rutin larva (Hemming & Buddington,
1988).
Unsur pokok yang terdapat dalam kuning telur terdiri dari
protein, lemak, karbohidrat dan abu. Protein merupakan unsur yang
paling dominant dalam kuning telur berkisar 55-75% dari bahan
kering kuning telur ikan. Protein dengan proporsi tinggi diubah
menjadi jaringan embrio dan sebagian dikonsumsi untuk
menghasilkan energi. Lemak merupakan komponen terbesar kedua,
berkisar antara 10-35% bahan kering kuning telur ikan. Bagian utama
cadangan lemak kuning telur digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi, sisanya disimpan dalam embrio. Kandungan karbohidrat lebih
sedikit daripada protein dan lemak, yaitu 0.6-6.7% dari bahan kering
kuning telur ikan. Persentase abu dalam bahan kering telur ikan.
Persentase abu dalam bahan kering telur ikan berkisar 2.1-7.0%
(Kamler, 1992).

5.9 Penyerapan Kuning telur


Kuning telur diserap melalui aktifitas pagositik pada bagian
dalam lapisan sinsitial (zona vitelolisis), kemudian dipecah menjadi
molekul-molekul yang lebih kecil dan ditransportasikan melalui darah.

40
Kuning telur yang diserap (Cy) oleh embrio atau larva pada saat
endogenous feeding akan menghasilkan energi untuk perkembangan dan
pertumbuhan jaringan (P), metabolisme (R) serta hilang dalam bentuk
ekskresi metabolit (U) (Kamler, 1992).
Pada ikan yang bersifat ovipar, kuning telur merupakan
sumber utama untuk perkembangan embrio. Kuning telur yang
diserap tidak terbuang dalam bentuk feses. Kamler (1992)
menguraikan penggunaan energi yang diserap dari kuning telur (Cy)
tersebut sebagai berikut Cy= P+R+U=De. De adalah energi yang
dapat dicerna. Kuning telur yang diserap diperkirakan dari Cy=Y0-Yr,
dimana Y0 merupakan kandungan energi di dalam kuning telur dan
Yr menunjukkan energi di dalam sisa kuning telur.
Menurut Kohno et al, (1986), laju penyerapan kuning telur
berlangsung secara eksponensial. Hemming dan Buddington (1988)
membagi penyerapan kuning telur menjadi tiga fase. Fase pertama
adalah sebelum menetas (prehatch phase) yang ditunjukkan oleh laju
penyerapan kuning telur yang lambat, namun meningkat sedikit demi
sedikit. Fase kedua adalah setelah menetas (posthatch phase) yang
ditunjukkan oleh laju penyerapan yang cepat dan relatif konstan. Fase
ketiga adalah fase penyerapan akhir (terminal phase of absorption), yang
ditunjukkan oleh penyerapan yang lambat. Hal ini diduga disebabkan
berkurangnya luas permukaan penyerapan sejalan dengan penyusutan
kantung kuning telur dan perubahan komposisi kuning telur
Penghitungan volume dan penyusutan kuning telur tersebut
dilakukan berdasarkan metode Hemming dan Buddington (1988),
dengan mengukur sumbu panjang terpanjang kuning telur dan sumbu
pendek terlebar kuning telur larva. Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1) Volume Kuning Telur Larva (Hemming dan Buddington,1988)
V = 0.1667  LD2
Keterangan :
L = Sumbu panjang terpanjang kuning telur
D = Sumbu pendek terlebar kuning telur

41
2) Penyusutan Volume Kuning Telur (Hemming dan
Buddington,1988)
Vn  Vo
Pennyusutan = x 100%
Vo
Keterangan :
Vo = Volume kuning telur hari ke-0 (mm3)
Vn= Volume kuning telur hari ke-n (mm3)

Gambar 10. Pengukuran penyusutan volume kuning telur


(Sumber : Kohno, 1988)

Laju penyerapan kuning telur yang cepat ini erat kaitannya


dengan pertumbuhan larva, pemeliharaan kondisi tubuh, dan
pembentukan organ. Volume kuning telur larva ikan secara umum
semakin menurun seiring dengan pertambahan waktu, perkembangan
organogenesis, dan pertambahan panjang.

Laju Penyerapan Kuning Telur (% )

120

100 100
Persentase

80 78,07

60

40

20 24,07 20,29
10,23 8,46 7,09
0 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hari

Gambar 11. Laju Penyerapan Kuning Telur Larva ikan Brek


Sumber : (Pramono dan Marnani, 2007)

42
Volume kuning telur larva ikan brek (Puntius orphoides) secara
umum semakin menurun seiring dengan pertambahan waktu,
perkembangan organogenesis, dan pertambahan panjang. Laju
penyerapan kuning telur larva ikan brek relatif lebih cepat pada awal
penyerapan sampai dengan umur tiga hari, kemudian penyerapan
mulai melambat sampai kuning telur habis. Laju penyerapan kuning
telur relatif cepat dari hari ke 2-3 hingga mencapai 54%. Pada saat laju
penyerapan kuning telur yang besar ini, proses organogenesis dan
penyempurnaannya mulai terlihat. Namun demikian, kuning telur
larva masih tersisa sebesar 24.07% (Gambar 10). Dengan demikian
peningkatan penyerapan kuning telur ini diduga berkaitan dengan
mulai terjadinya perkembangan organogenesis.
Pramono dan Marnani (2007) melaporkan bahwa laju
penyerapan kuning telur larva ikan brek relatif lebih cepat pada awal
penyerapan sampai dengan umur tiga hari, kemudian penyerapan
mulai melambat sampai kuning telur habis. Kuning telur larva habis
terserap seluruhnya pada umur tujuh hari, namun sebelum kuning
telur habis terserap semua organ (bintik mata, pigmentasi tubuh, anus
sirip dada, insang, ekor dan bukaan mulut) telah terbentuk pada hari
ke-3.
Kondisi demikian berarti larva telah masuk ke dalam masa
inisiasi untuk mendapatkan pakan dari luar meskipun kuning telur
belum seluruhnya terserap habis (Kamler,1992). Kondisi ini lebih
lanjut mempersempit adanya kesenjangan antara endogenous feeding
dengan exogenous feeding (Usman et al, 2003; Pramono, 2004; Effendie,
2004). Adanya perbedaan lama waktu habisnya penyerapan kuning
telur disebabkan pengaruh lingkungan (Doi and Singharaiwan, 1993)
seperti suhu (Kamler, 1989;Effendie, 2002), cahaya (Ekau 2002),
oksigen terlarut (Lagler, 1977; Ekau, 2002).
Laju penyerapan kuning telur yang cepat ini erat kaitannya
dengan pertumbuhan larva, pemeliharaan kondisi tubuh, dan
pembentukan organ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuning
telur larva ikan brek habis terserap pada umur tujuh hari. Laju
penyerapan kuning telur yang dikatakan baik adalah penyerapan

43
kuning telur yang dipergunakan secara optimal untuk proses fisiologis
dan perkembangan organogenesis. Laju penyerapan yang optimal
akan memberikan tingkat kelangsungan hidup larva yang tinggi
(Pramono dan Marnani, 2007).

5.10 Perkembangan Organogenesis Larva


Selama proses pemeliharaan, larva ikan mengalami
perkembangan dan pertambahan panjang. Selama proses
perkembangan organogenesis, larva ikan brek memanfaatkan kuning
telur sebagai sumber energi. Hal serupa juga terjadi pada larva ikan
bandeng, kerapu bebek, betutu (Swanson, 1996; Usman, 2003;
Pramono, 2004), dan jenis-jenis ikan lainya.. Perkembangan
organogenesis pada larva ikan yang cepat dengan memanfaatkan
kuning telur diharapkan dapat memberikan suatu derajat/tingkat
kelangsungan hidup larva ikan yang lebih tinggi (Ekau, 2002;
Pramono dan Marnani, 2007).
Proses perkembangan organogenesis yang terjadi pada larva
ikan umumnya yang dilihat adalah organ-organ penting untuk inisiasi
mulai makan pakan dari luar dan organ-organ pendukung dalam
pemangsaan seperti bukaan mulut, bintik mata, gelembung renang,
pigmentasi, dan sirip (Effendie, 2002). Proses perkembangan
organogenesis masing-masing jenis ikan berbeda (Kamler, 1992).
Pada ikan brek (Puntius orphoides) yang dipelihara dalam kondisi
suhu laboratorium (26-290C) berikut waktu pembentukannya masing-
masing, di antaranya adalah terbentuknya kelopak mata (29 jam, 55
menit), bintik mata (31 jam, 1 menit), pigmentasi dan anus (33 jam, 17
menit), sirip dada dan insang (34 jam, 28 menit), dan bukaan mulut
(35 jam, 21 menit). Selanjutnya pada larva ikan betutu ikan kontrol,
untuk penyempurnaan organ-organ yang penting pada fase kritis
masing-masing seperti bintik mata, gelembung renang dan pigmentasi
tubuh yang juga dipelihara dalam kondisi suhu laboratorium (26-290C)
adalah berturut-turut 32.5 jam, 34.5 jam dan 53 jam (Pramono, 2004).
Hal ini berarti bah.1wa perkembangan organogenesis yang terjadi
pada setiap jenis/spesies ikan berbeda satu sama lainnya walaupun
dipelihara dalam kondisi yang sama.

44
Gambar 12. Larva baru menetas yang masih ada kuning telur dan
belum berkembang organ-organ penting (Sumber : Pramono dan
Marnani, 2007)

5.11 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Embrio


dan Larva
Pada umumnya telur ikan sangat sensitif terhadap gangguan
seperti goncangan fisik dan mekanik. Faktor yang memengaruhi
perkembangan embrio dan larva adalah, (1) suhu (Effendie, 1985;
Kamler, 1989, Woynarovich dan Hovart, 1980; Ekau, 2002); (2)
cahaya (Ekau, 2002); (3) gas terlarut seperti O2, CO2 dan NH3
(Effendie, 1985;Lagler, 1977, Ekau, 2002).
Woynarovich dan Hovart (1980), menyatakan bahwa pada
temperatur yang rendah, embrio lebih lama tertahan dalam
cangkangnya dan sebaliknya pada suhu yang tinggi embrio menetas
secara prematur. Suhu memengaruhi panjang telur, ukuran kuning
telur dan pigmen. Susanto dan Suwirya (1997) menambahkan bahwa
pada suhu air berkisar 300C, proses perkembangan embrio pada ikan
sotong buluh terjadi lebih cepat, sedangkan pada suhu air di bawah
250C sebaliknya.

45
Menurut laporan Slamet dan Trijoko (1997), tingkat penetasan
telur ikan kerapu batik pada suhu 27-290C hanya berlangsung 18 jam
30 menit. Peningkatan suhu dari 28º-33ºC dapat menyebabkan
peningkatan pengambilan oksigen oleh larva yang masih mengandung
kuning telur. Kuning telur lebih cepat habis pada suhu yang lebih
tinggi (Walsh, 1991).
Suhu bagi hewan poikilotermik merupakan faktor pengontrol,
yaitu faktor pengendali kecepatan reaksi kimia dalam tubuh termasuk
proses metabolisme. Langkah penting pertama yang harus dilakukan
adalah mendefinisikan kondisi lingkungan yang optimal untuk
inkubasi telur. Temperatur merupakan variabel penting dalam
perkembangan embrio (Bermudes and Ritar, 1999). Temperatur dapat
menyebabkan kematian embrio yang sangat ekstrem dan peningkatan
metabolisme termasuk di antaranya untuk pemeliharaan (maintenance)
dan pertumbuhan embrio dan larva (Kamler, 1992).
Efek temperatur baik terhadap metabolisme pemeliharaan
tubuh (maintenance) dan pertumbuhan pada embrio dan dapat dilihat
dari penyerapan kantung kuning telur. Penyerapan kuning telur selama
proses embriogenesis yang diinkubasi pada temperatur tinggi telah
dilaporkan pada ikan atlantik halibut (Hippoglossus hipoglossus) (Pittman
et. al, 1990) dan sea bass (Dicentrarchus labrax) (Marino et al, 1991).
Hasil dari penelitian itu menunjukkan larva yang sangat kecil ketika
menetas.
Meningkatnya suhu akan mempercepat kelangsungan proses
metabolisme (Forsberg & Summerfelt, 1992) sehingga nutrien dan
energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Kamler (1992)
menyatakan bahwa dalam kisaran suhu yang dapat ditoleransi, laju
penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan, dan laju perkembangan
berhubungan positif dengan suhu dengan tingkat kecepatan yang
tidak sama.
Penyerapan kuning telur akan meningkat sejalan dengan
peningkatan suhu. Suhu juga diduga merupakan variabel lingkungan
yang paling memengaruhi efisiensi pemanfaatan kuning telur
(Hemming & Buddington, 1988). Efisiensi mencapai titik maksimum

46
dalam kisaran suhu yang dapat ditoleransi oleh suatu spesies tertentu.
Efisiensi menurun pada batas atas dan bawah kisaran suhu yang dapat
ditoleransi tersebut. Telur yang diinkubasi pada suhu lebih tinggi
menghasilkan larva yang kecil dan lebih cepat menetas. Telur lebih
cepat menetas diduga karena adanya peningkatan mobilitas embrio
dalam telur (Kamler, 1992).
Penyerapan kuning telur meningkat dengan meningkatnya
umur larva (Swanson, 1996). Adanya perbedaan lama waktu habisnya
kuning telur disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan (Doi dan
Singharaiwan, 1993). Penyerapan kuning telur semakin cepat ketika
kondisi lingkungan berada pada kondisi optimum (Kohno dan B
Slamet, 1990; Swanson, 1996).

Latihan Soal
1. Jelaskan maksud istilah-istilah berikut ini !
a. Embrio
b. Larva
c. Endogenous feeding
d. Exogenous feeding
2. Jelaskan karakteristik dan perkembangan larva!
3. Jelaskan hubungan antara laju penyerapan kuning telur dengan
perkembangan organogenesis!
4. Faktor kunci keberhasilan pembenihan adalah penanganan
dan pemeliharaan larva. Jelaskan maksud tersebut dan
bagaimana strategi untuk mencapai keberhasilannya!

47
BAB VI
PENANGANAN DAN
TRANSPORTASI IKAN

6.1 Pengantar
Kebutuhan akan telur, larva, benih, juvenil, maupun induk
ikan pada suatu wilayah perlu disuplai pasokannya dari produsen di
wilayah lain. Pemenuhan kebutuhan benih ikan sangat dibatasi oleh
jumlah, jarak suatu wilayah, dan waktu tempuh. Kelancaran suplai dan
kualitas benih untuk kegiatan budidaya perlu didukung teknologi
transportasi.

6.2 Capaian Pembelajaran


Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan dan prinsip transportasi
ikan, sistem transportasi tertutup maupun terbuka dan transportasi
menggunakan media kering maupun basah, faktor-faktor yang
memengaruhi keberhasilan transportasi ikan sampai tempat tujuan

6.3 Transportasi Ikan


Pemenuhan benih ikan hidup untuk kegiatan usaha perikanan
budidaya mutlak diperlukan. Ketersediaan kuantitas dan kualitas benih
ikan yang akan dibudidayakan di suatu wilayah sangat bergantung
pada teknik transportasi atau pengangkutan ikan. Transportasi ikan
adalah mengangkut ikan dalam jumlah tertentu tetap dalam keadaan
hidup dan sehat hingga sampai di tempat tujuan. Keadaan tertentu
ikan yang ditransportasikan dilakukan pembiusan atau pemingsanan
sebelumnya. Transportasi ikan hidup melibatkan pengangkutan jenis
ikan tertentu dalam jumlah banyak, volume air sedikit, wadah, oksigen
yang terbatas dan alat transportasi.

49
Prinsip transportasi ikan hidup adalah memaksa dan
menempatkan ikan dalam suatu lingkungan yang terbatas, berlainan
dengan lingkungan awalnya, dan diikuti dengan perubahan-perubahan
sifat lingkungan yang mendadak. Ikan hidup yang dikirim disyaratkan
dalam kondisi sehat dan tidak cacat untuk mengurangi peluang
kematian selama transportasi. Ikan yang sehat dicirikan aktif, gesit dan
responsif sesuai karakter jenis ikan. Ikan yang kurang sehat atau lemah
memiliki daya tahan yang kurang baik dan dapat mengakibatkan
peluang kematian yang tinggi, sedangkan ikan yang cacat akan
menurunkan harga jual.

6.4 Penanganan (Handling) Pra Transportasi


Keberhasilan tujuan transportasi ikan ditentukan oleh kegiatan
penanganan (handling) ikan sebelum ditransportasikan. Penanganan
yang dimaksud dimulai dari proses pemanenan, seleksi ukuran,
pemuasaan (pemberokan), penghitungan, perlakuan, dan pengepakan.
Proses pemanenan ikan sebaiknya dilakukan pada saat suhu
lingkungan tidak terlalu tinggi, pengeluaran volume air kolam yang
tidak drastis, proses penangkapan dan penjaringan serta penempatan
ikan pada wadah secara baik. Pemanenan juga harus dilakukan secara
hati-hati agar ikan tidak stress dan terluka. Seleksi ukuran atau grading
benih ikan yang dipesan dan akan dikirim harus dilakukan secara
cepat dengan menggunakan peralatan grading. Untuk seleksi ukuran
sebaiknya telah dilakukan saat masa pemeliharaan hingga pada target
produksi. Setelah dilakukan seleksi ukuran, ikan ditampung pada
wadah yang tersedia. Penampungan dapat dilakukan dalam waktu
pendek (beberapa jam) atau jangka waktu lama sekitar 1-2 hari.
Tempat penampungan dapat berfungsi sebagai tempat pemberokan
sebelum dikirimkan untuk pemasaran. Selama penampungan ikan
akan mengalami susut berat yang bervariasi antara 5 – 12% selama 10
hari dan 7,5 – 15% selama sebulan bergantung pada jenis ikan. Untuk
kebutuhan transportasi jarak jauh umumnya ikan dipuasakan.

50
Pemberokan berfungsi untuk aklimatisasi dan memmuasakan
ikan agar metabolisme berkurang untuk membantu kondisi dalam
transportasi. Lamanya pemberokan bergantung pada ukuran ikan dan
lama pengangkutan. Pemuasaan atau pemberokan ikan umumnya
dilakukan selama 1-2 hari sebelum ikan ditransportasikan. Pemuasaan
ikan bertujuan agar proses metabolisme dan aktivitas ikan menurun
atau berkurang saat ditransportasikan. Penurunan metabolisme dan
aktivitas ini untuk mengurangi laju konsumsi oksigen mengingat
ketersediaan oksigen terbatas dalam wadah transportasi. Penurunan
aktivitas ikan saat akan ditransportasikan dapat dilakukan dengan
pembiusan atau pemingsanan dengan menggunakan jenis obat
anesthesi sintetis ataupun alami.
Setelah proses pemuasaan kemudian dilakukan penghitungan
dan pengepakan benih ikan dalam wadah. Proses pengepakan
disesuaikan dengan sistem transportasi yang akan digunakan, yaitu
sistem tertutup dan terbuka. Untuk sistem tertutup wadah transportasi
hanya diisi air kurang lebih sepertiga dari tinggi kantong plastik dan
selanjutnya diisikan oksigen hingga volume antara oksigen berbanding
air dan ikan adalah 2 :1. Pada sistem terbuka bergantung pada jenis
ikan terutama yang memiliki alat pernapasan tambahan dan media
yang digunakan. Proses pengepakan senantiasa memperhatikan
kepadatan ikan dalam wadah pengangkutan. Ikan yang terlalu padat
pada suatu wadah akan menyebabkan pergesekan sisik dan sirip.
Pergesekan tersebut dapat menyebabkan ikan luka atau terjadi
penyebaran penyakit. Kondisi yang padat juga menyebabkan lendir
dan/atau sisik yang bersifat protektif dapat hilang sebagian sehingga
ikan rentang terhadap gangguan penyakit.

6.5 Sistem Transportasi Ikan Hidup


Transportasi ikan hidup dalam rangka memindahkan ikan dari
satu tempat ke tempat lainnya memerlukan teknologi yang jauh
berbeda dibandingkan dengan transportasi ikan yang telah mati. Selain
dijaga ikan harus tetap hidup, juga harus dijaga ikan harus dalam
keadaan segar dan sehat sesampainya di tempat tujuan. Terdapat 2

51
(dua) metode transportasi ikan hidup yang umum diterapkan, yaitu
transportasi dengan media air atau basah dan transportasi dengan
media kering.

6.5.1 Transportasi Sistem Basah


Transportasi ikan dengan menggunakan media air dapat
dilaksanakan dengan dua cara, yaitu transportasi sistem tertutup dan
transportasi sistem terbuka. Perbedaan antara kedua jenis transportasi
adalah sistem suplai keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh ikan
untuk mempertahankan hidupnya.
1) Transportasi Sistem Tertutup
Pada sistem tertutup, ikan ditaruh pada wadah tertutup dan
semua keperluan/persyaratan yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup dari ikan diberikan pada awal pengemasan.
Selama transportasi tidak ada kegiatan untuk menambah atau
mengganti keperluan-keperluan tersebut. Biasanya yang diangkut
dengan cara ini adalah ikan-ikan kecil, sedangkan ikan-ikan besar
jarang diangkut dengan metode ini. Untuk ikan besar mungkin
diangkut dengan sisterm tertutup, tetapi secara individu di dalam
kantong plastik polietilien.
Pelaksanaan sistem transportasi tertutup adalah ikan
dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi air. Air yang
digunakan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah
ditentukan. Disarankan untuk menggunakan air yang kualitasnya
sama dengan air yang digunakan sebelum ikan ditransportasikan.
Pada bagian permukaan atas wadah disisakan ruangan yang tidak
diisi air dan pada bagian tersebut diisi dengan oksigen.
Perbandingan jumlah oksigen dan air yang disarankan adalah
sekitar 2:1 (Berka, 1986). Adanya oksigen dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya masalah akibat terbentuknya CO2.. Adapun
teknik transportasi sistem basah yang tertutup dapat dilihat pada
Gambar 13.
Sebelum ditransportasikan, ikan telah dipuasakan selama 1-2
hari yang dimaksudkan untuk mengosongkan perutnya sehingga

52
kebutuhan oksigen dan energi untuk proses metabolisme
berkurang. Selain itu juga dapat mengurangi kemungkinan
pencemaran media pengangkutan oleh kotoran ikan.

Gambar 13. Transportasi sistem basah yang tertutup


(Sumber: Kurniawati, 2016)

Densitas atau kepadatan ikan untuk pengangkutan jarak


jauh harus diperhatikan, yaitu paling tidak 5 -10 kali lebih rendah
dibandingkan dengan densitas untuk pengangkutan ikan ke pasar
(Berka,1986). Bahkan untuk ikan berukuran besar disarankan
diangkut secara individu. Hal ini perlu dilakukan mengingat nilai
ekonomi ikan tersebut cukup tinggi. Tetapi, para peneliti
menyarankan perlunya penelitian pendahuluan pada berbagai
jenis ikan sebelum melakukan transportasi karena informasi-
informasi yang ada masih perlu dilakukan penyesuaian-
penyesuaian.

53
Peralatan yang sering digunakan adalah kantong plastik
polietilen. Selain itu juga dapat digunakan wadah tertutup lainnya
yang terbuat dari logam (terutama stainless steel) dan plastik, tetapi
harganya biasanya relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan
plastik polietilen. Pada umumnya kantong plastik polietilen
terbuka pada bagian atasnya dan tertutup pada bagian bawahnya.
Tetapi, ada juga jenis plastik ini yang dijual dalam bentuk
gulungan panjang dan bila akan memakainya untuk transportasi
ikan harus dipotong dan kemudian bagian bawahnya ditutup
rapat. Sebaiknya dipilih plastik yang tebal supaya tidak mudah
bocor atau pecah akibat tekanan dari dalam. Di dalam
pemakaiannya dapat digunakan plastik rangkap.
Keuntungan penggunaan plastik polietilen adalah ringan,
mudah dibentuk, murah dan mudah dimasuki oksigen. Di dalam
transportasi, biasanya kantong plasitk ini ditempatkan dalam
pengemas yang kuat dan sekaligus bertindak sebagai pelindung
dari kerusakan mekanis. Pengemas tersebut dapat berupa kotak
kayu, wadah plastik, atau kotak polistiren. Jenis pengemasnya
bergantung pada jumlah kantong yang ditransportasikan, lama
transportasi, adanya penanganan lebih lanjut, perbedaan
temperatur di luar, dan air di dalam kantong plastik. Jika untuk
transportasi diperlukan suhu rendah, kantong plastik harus
dikemas di dalam kotak polistiren dan menempatkan es yang
diwadahi kantong plastik di dalamnya untuk mengatur suhu.
Jangan menempatkan es langsung di dalam kantong ikan.
Kelebihan sistem transportasi tertutup antara lain adalah
media air tahan terhadap guncangan selama pengangkutan, dapat
dilakukan untuk pengangkutan jarak jauh (dengan pesawat
terbang), memudahkan penataan dalam pemanfaatan tempat
selama pengangkutan. Adapun kekurangannya antara lain adalah
media air tidak dapat bersentuhan dengan udara langsung (tidak
ada difusi oksigen dari udara) sehingga tidak ada suplai oksigen
tambahan, tidak dapat dilakukan pergantian air, dan memerlukan
kecermatan dalam memperhitungkan kebutuhan oksigen dengan
lama waktu perjalanan.

54
2) Transportasi sistem terbuka
Pada sistem terbuka, ikan ditransportasikan pada wadah
yang semua keperluan untuk mempertahankan hidupnya disuplai
secara terus-menerus dari luar dan media airnya masih dapat
berhubungan dengan udara bebas. Walaupun waktu transportasi-
nya sangat singkat atau jaraknya dekat, dalam wadah harus
terpenuhi suplai oksigen yang mencukupi. Hal ini sangat penting
dalam rangka menjaga kelangsungan hidup ikan.
Berat ikan yang dapat ditransportasikan di dalam sistem ini
bergantung pada efisiensi aerasi, lama transportasi, temperatur air,
ukuran, dan spesies ikan. Untuk ikan yang memiliki alat
pernapasan tambahan (aborescent dan labirin) pada ikan lele dan
gurami tidak memerlukan aerasi. Jenis ikan tersebut dapat
mengambil langsung oksigen di permukaan air.

Gambar 14. Transportasi Sistem Terbuka (Dokumen Pribadi)

Jika kondisi lingkungan tetap, kapasitas unit alat


transportasi bergantung pada ukuran ikan. Berikut ini petunjuk
tentang pengangkutan ikan lele dengan sistem transportasi
terbuka :

55
- Air sebanyak 1 liter dapat digunakan untuk transportasi ikan
seberat 0,5 kg dengan panjang 40cm.
- Daya angkut dapat dinaikkan sebanyak 25% untuk setiap
penurunan temperatur air sebesar 5oC, dan diturunkan secara
proporsional untuk setiap peningkatan temperatur.
- Sejalan dengan bertambahnya panjang ikan, berat ikan per liter
air dapat ditingkatkan secara proporsional untuk setiap
peningkatan temperatur. Sebagai contoh, suhu wadah yang
menampung 120 g ikan lele dengan panjang 10 cm akan dapat
menampung dengan selamat ikan lele 250 g dengan panjang
20 cm atau 500 g dengan panjang 40 cm per liter air.
- Jika lama transportasi lebih dari 12 jam, daya angkut sebaiknya
diturunkan 25%.
- Jika lama transportasi 16 jam, daya angkut sebaiknya
diturunkan 50% atau penggantian media air perlu
direncanakan selama transportasi.
Terdapat kelebihan dan kekurangan pada sistem
transportasi terbuka. Kelebihannya antara lain difusi oksigen
melalui udara ke media air masih dapat berlangsung, dapat
dilakukan penambahan oksigen melalui aerator dan dapat
dilakukan pergantian air sebagian selama perjalanan. Adapun
kekurangannya air dapat berkurang, ikan mudah stress dan daya
tahan tubuh menurun.

6.5.2 Transportasi Sistem Kering


Pada transportasi dengan sistem kering, media pengangkutan-
nya tidak membutuhkan air dalam jumlah banyak. Ikan dikondisikan
dalam keadaan aktivitas biologis rendah hingga metabolisme basal
agar konsumsi energi dan oksigen juga rendah. Selain itu, ketahanan
hidup ikan untuk diangkut di luar habitatnya makin besar.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak ikan yang
dapat ditransportasikan dengan kondisi lembab tanpa air. Jenis-jenis
ikan penting untuk budidaya di dalam kolam, seperti jenis ikan mas,
lele, betutu, gabus dapat bertahan hidup tanpa air untuk waktu yang

56
lama. Hal tersebut disebabkan adanya respirasi parsial yang terjadi
melalui kulit. Kemampuan untuk melakukan respirasi tersebut
bergantung pada umur dan spesies ikan. Kemampuan bertahan yang
paling lama pada kondisi atmosfir lembab untuk ikan mas berukuran
kecil adalah sampai 100 jam pada suhu 4oC, 28 jam pada suhu 1oC dan
33 jam pada suhu 15oC. Ikan mas umur 2 tahun hanya mampu hidup
selama 36 jam pada suhu 4oC (Suseno dan Praseno, 1989).
Pemanfaatan teknologi transportasi sistem kering dapat
dilakukan dengan menggunakan metode suhu rendah, menggunakan
bahan anesthesi bahkan arus listrik. Semua metoda tersebut pada
dasarnya digunakan dalam rangka untuk memperlambat proses-proses
di dalam tubuh ikan khususnya respirasi. Berikut penjelasan masing-
masing metode yang umumnya diterapkan pada transportasi ikan
sistem kering.
1) Metode Suhu Rendah (Imotilisasi)\
Penurunan suhu rendah hingga batas terendah akan
menyebabkan metabolisme menurun dan ikan akan mengalami
penghentian aktivitas atau imotilisasi. Aplikasi metode ini dapat
dilakukan dengan menggunakan suhu air rendah pada suhu
tertentu hingga kondisi aktivitas ikan seminimal mungkin, tetapi
masih tetap hidup dan pulih kembali. Fase pingsan merupakan
fase yang dianjurkan untuk transportasi ikan.
Lama waktu proses ikan motil ditentukan oleh fase panik
karena ikan sangat sensitif dengan adanya perubahan suhu air.
Pada fase panik, respirasi akan meningkat kemudian turun hingga
mencapai respirasi terendah yang menyebabkan ikan pingsan.
Waktu dan suhu imotilisasi dipengaruhi oleh ukuran, umur, dan
jenis ikan.
2) Metode Anesthesi
Metode anesthesi atau pembiusan bertujuan agar kondisi
ikan tidak sadar sistem syaraf pusat yang mengakibatkan turunnya
kepekaan terhadap rangsangan dari luar dan respons geraknya
berkurang. Selama transportasi ikan dalam keadaan tenang seperti
yang sangat diinginkan karena pada kondisi tersebu konsumsi

57
oksigen, produksi CO2, dan NH3 menurun. Tetapi penenangan
berat tidak dikehendaki, karena mungkin akan menyebabkan ikan
tenggelam di dasar, menumpuk dan saling tekan. Penenangan
sebaiknya dilakukan 30 menit sebelum pengangkutan dan
kemudian dilanjutkan selama pengangkutan dengan penggunaan
konsentrasi bahan penenang yang lebih rendah.
Prinsip proses pembiusan ikan adalah pada saat
berpindahnya bahan pembius dengan dosis tertentu dari
lingkungan ke sistem pernapasan, kemudian terjadi difusi
membran dalam tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan
pembius ke dalam darah dan tersirkulasi pada sistem peredaran
darah serta difusi jaringan ke seluruh tubuh. Kecepatan distribusi
dan penyerapan bahan anesthesi bergantung pada kandungan
lemak dan ketersediaan darah pada setiap jaringan, karena bahan
anesthesi mudah larut dalam air dan lemak.
Proses pembiusan dapat dikatakan berhasil dapat dilihat
pada beberapa indikator di antaranya adalah adanya induksi
bahan pembius dalam tubuh kurang lebih dalam waktu 3 (tiga)
menit; masa pemulihan ikan hingga sampai gerakan renang
normal membutuhkan waktu kurang dari10 menit, dan tidak
ditemukan adanya kematian ikan selama 15 menit setelah
bongkar muat.
Cara ini disarankan untuk pengangkutan ikan berukuran
besar. Di dalam penggunaanya, biasanya ikan pertama-tama
ditenangkan pada air yang telah ditambah bahan anaestesi
(pembius) pada dosis normal, kemudian ikan ditaruh ke dalam
wadah untuk transportasi dengan media air yang telah dipakai
untuk memingsankan, tetapi ditambah air baru dengan volume
yang sama. Dengan cara demikian, ikan akan tetap dalam keadaan
pingsan selama pengangkutan. Untuk transportasi ikan kecil pada
jarak pendak tidak disarankan menggunakan bahan anesthesi.
Penggunaan anesthesi untuk ikan yang segera akan dikonsumsi
setelah dikenai perlakuan sangat tidak disarankan. Anaestesi
disarankan untuk transportasi ikan dengan pemperatur air di atas
15oC.

58
Jenis bahan anaestesi bermacam-macam. Untuk
transportasi ikan kerapu biasanya digunakan methyl ethylene glicol
mono phenyl ether dengan kadar maksimum 300 ppm. Bahan-bahan
lain misalnya tricaine methenesulfonate (MS-222), quinaldine, dan
phenoxyethanol. Konsentrasi yang digunakan untuk MS-222 dapat
mencapai 20-200 ppm. Quinaldine (2-4 methylchinolin) adalah
merupakan cairan beracun, oleh karena itu harus ditangani secara
hati-hati, dan konsentrasi yang disarankan untuk penggunaanya
adalah 15-30 ppm. Keefektifan penggunaan phenoxyethanol lebih
rendah dibandingkan dengan MS-222, tetapi harganya lebih
murah, 30-40 ml dicampurkan ke dalam 100 liter air.
3) Penggunaan NaCl dan CaCl2
Ion natrium dapat mengeraskan ikan dan mengurangi
pembentukan lendir. Ion kalsium dapat menekan osmoregulatori
dan proses metabolisme. CaCl2 tidak diperlukan untuk
ditambahkan pada air yang telah mengandung kalsium pada
konsentrasi tinggi. Konsentrasi penggunaan kedua bahan kimia
tersebut bervariasi bergantung pada keadaan air, jenis ikan, dan
temperatur air. Jumlah yang disarankan untuk ditambahkan
menurut Dupree dan Huner (1984) adalah 0,1-0,3 untuk garam
dan 50 ppm untuk CaCl2.
4) Bahan kimia penghasil oksigen
Sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang
memberikan gambaran pasti tentang penggunaan bahan kimia
penghasil oksigen karena hasil-hasil penelitian yang ada saling
bertentangan. Dua macam zat yang telah diteliti terhadap
kemungkinannya dipakai sebagai sumber oksigen adalah hidrogen
peroksida dan peroxodisulfat.
5) Penggunaan bakterisidal
Penggunaan zat antibakteri adalah untuk menekan
pertumbuhan bakteri selama transportasi ikan. Bahan yang sering
digunakan adalah nitrofurazone (furacin) 10 ppm, acriflavin 2 ppm,
oxytetracycline (terramycin) 20 ppm, combiotic 15 ppm, dan neomycin
sulphate 20 ppm.

59
6) Buffer
Buffer diperlukan untuk mengontrol pH pada kisaran yang
diinginkan untuk kehidupan ikan yang baik, yaitu 7-8. Jenis buffer
yang banyak digunakan adalah tris buffer (tris-hydroxylmethyl-amino
methane). Pembentukan CO2 dapat menurunkan pH air media
karena bersifat asam.
7) Pengontrol amonia
Jenis bahan yang biasa disarankan untuk digunakan adalah
clinoptilolite yang merupakan mineral zeolit. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, clinoptilolit dapat ditambahkan
pada air media transportasi sebanyak 10-40 g/liter.
8) Bahan anti busa
Busa terbentuk terutama ketika bahan obat-obatan
digunakan selama transportasi akibat banyaknya bahan organik
yang dihasilkan. Busa menghalangi kontak antara air dengan
oksigen yang ada di permukaan. Selain itu, bisa menghalangi
penglihatan untuk mengamati ikan yang sedang ditransportasikan.
Bahan antibusa yang dapat digunakan adalah Dow Corning
Anteofoam AF Emulsion pada konsentrasi 0,05 ppm. Air yang
ditambah NaCl biasanya mempunyai busa yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang tidak ditambah NaCl, tetapi NaCl dapat
menurunkan efektifitas kerja dari bahan anti busa.
9) Metode Arus listrik
Arus listrik juga dapat digunakan untuk pemingsanan ikan.
Arus listrik yang digunakan berdaya 12 volt. Daya listrik tersebut
dapat membuat ikan mengalami pingsan lebih cepat dan tingkat
kesadaran yang lebih cepat pula.

6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi ikan


Masalah yang dihadapi dalam transportasi hidup adalah
tingkat mortalitas yang tinggi. Faktor-faktor yang sangat penting
dalam keberhasilan transportasi ikan adalah ketersedian dan
pemanfaatan oksigen terlarut, suhu atau temperatur air,jenis (spesies),
kepadatan dan ketahanan relatif ikan, umur dan ukuran ikan, lama

60
waktu perjalanan, lama waktu istirahat, sifat wadah, dan kondisi
klimatologi saat transportasi ikan. Secara umum terdapat 3 (tiga)
faktor yang memengaruhi transportasi ikan berikut ini :
1) Ketersediaan dan Pemanfaatan Oksigen Terlarut
Konsumsi oksigen untuk respirasi bergantung pada ukuran
datern jenis ikan yang berkaitan dengan tingkat aktivitasnya.
Kebutuhan oksigen untuk tiap jenis ikan sangat penting dalam
penanganan dan transportasi ikan hidup. Secara teori, kebutuhan
oksigen bagi ikan hidup yaitu oksigen yang terlarut dalam air terjadi
karena proses difusi yang umumnya berjalan lambat, sedangkan
konsumsi oksigen oleh ikan berlangsung cepat terutama ikan yang
mempunyai aktivitas tinggi. Dalam penanganan dan transportasi
ikan hidup, oksigen disediakan dengan menambahkan gas oksigen
murni atau dengan cara aerasi.
Pemanfaatan oksigen terlarut (O2) bergantung pada tingkat
toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH,
konsentrasi CO2 dan hasil metabolisme seperti amoniak.
Kemampuan pemanfaatan oksigen terlarut oleh ikan selama
transportasi dapat diukur dari berat ikan dan suhu air. Jumlah O2
yang dikonsumsi ikan selalu bergantung pada jumlah oksigen yang
tersedia. Jika kandungan O2 meningkat ikan akan mengonsumsi O2
pada kondisi stabil dan ketika kadar O2 menurun konsumsi O2 oleh
ikan lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi pada kondisi
kadar O2 yang tinggi.
2) Suhu Air
Setiap peningkatan suhu menyebabkan peningkatan
kecepatan metabolisme dan mengurangi kelarutan oksigen.
Menurunkan suhu air dapat meningkatkan kelarutan oksigen
sekaligus merupakan salah satu upaya menurunkan aktivitas
metabolisme ikan pada waktu transportasi. Metabolisme yang
tinggi mempercepat penurunan kualitas air oleh senyawa metabolit.
Toleransi ikan terhadap suhu rendah bervariasi pada berbagai jenis
ikan.

61
3) Kepadatan Ikan dan Aktivitas Ikan selama Transportasi
Kepadatan ikan dalam transportasi adalah jumlah ikan
(jumlah, ukuran, bobot) dalam satu wadah yang dikemas dalam
waktu tertentu. Kepadatan ikan yang akan ditransportasikan
mempertimbangkan volume air, ukuran, jumlah dan bobot ikan,
suplai oksigen terlarut, temperatur, jarak, dan lama transportasi.
Perbandingan antara volume ikan dan volume air selama
transportasi tidak boleh lebih dari 1 : 3 . Ikan-ikan lebih besar,
seperti induk ikan dapat ditrasportasi dengan perbandingan ikan
dan air sebesar 1 : 2 sampai 1 : 3 , tetapi untuk ikan-ikan kecil
perbandingan ini menurun sampai 1 : 100 atau 1 : 200.

Latihan Soal
1. Jelaskan pentingnya teknologi transportasi ikan dalam usaha
perikanan budidaya!
2. Salah satu bentuk penanganan sebelum transportasi ikan
adalah melakukan pemuasaan. Jelaskan apa maksud dan tujuan
pemuasaan serta kerugiannya terhadap ikan bila tidak
dilakukan pemuasaan saat transportasi!
3. Jelaskan kelebihan dan kekurangan dari teknologi transportasi
ikan sistem basah secara tertutup dan terbuka!
4. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara metode imotilisasi
dan anesthesi!
5. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi ikan
hidup!

62
DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, I. 1996. “Pembangunan dan Pengembangan Teknologi”.


Makalah pada Seminar Perspektif Pembangunan dan
Pengembangan Iptek pada Pelita VII. Mabes TNI ALRI.
Jakarta. 59 hal.
Avnimlech, Y., M. Kochva and Shaker Diab. 1994. “Development of
Controlled Intensive Aquaculture System with a Limited
Water Exchange and Adjusted Carbon to Nitrogen Ratio”.
Bamidgch 46 (3) : 119-131.
Banun S, Arthana W, Suarna W. 2007. Kajian Ekologis Pengelolaan
Tambak Udang di Dusun Dangin Marga Desa
Delodbrawah Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana
Bali. Ecotrophic 3 (1): 10-15.
Berka, R. 1986. “ The Transport of Life Fish A Review. EIFA
Technical Paper 48. FAO. Rome Italy.
Budiman, A., A. J. Arief dan A. H. Tjakrawidjaja. 2002. “Peran
Museum dalam Penelitian dan Konservasi
Keanekaragaman Hayati (Ikan). Jurnal Iktiologi Indonesia 2 (2)
: 51-55.
Blaxter, 1969. “Development of Egg and Larvae In Fish Physiology “.
W.S. Hoar and Randall (Eds) Vol. III. Reproduction and
Growth. Academic Press. New York. 178-253 p.
Doi, M., and T Singahagraiwan. 1993. “Biology and Culture of The
Red Snapper (Lutjanus argentimaculatus)”. The Research Project
of Fishery Resource Development in The Kingdom of Thailand. 51
p. Unpublished.
Dupree, H.K., and J. V. Hurner. 1984. “ The Status of Warmwater
Fish Farming and Progress in Fish Farming Research “. US
Fish and Wildlife Service. Washington D.C. USA.
Effendie, I. 2004. “Pengantar Akuakultur”. Penerbit Penebar Swadaya.
Bogor Indonesia. 187 hal.
Effendie, M.I. 2002. “Biologi Perikanan”. Penerbit Yayasan Pustaka
Nusatama. Yogyakarta. Indonesia. 159 hal.

63
Ekau, P.W. 2002. “Early Life History”. Handout Series Course On The
Sea and Its Resources. Jenderal Soedirman University, Faculty
of Biology. Purwokerto.
Ebeling JM, Timmons MB, Bisogni JJ. 2006. “Engineering Analysis of
the Stoichiometry of Photoautotrophic, Autotrophic, and
Heterotrophic Removal of Ammonia–Nitrogen in
Aquaculture Systems”. Aquaculture 257: 346-358.
Gisbert, E., and P. Williot. 1997. “Larval Behaviour and Effect of The
Timing of Initial Feeding On Growth and Survival of
Siberian Sturgeon (Acipenser baeri) Under Small Scale
Hatchery Productions”. Aquaculture 156 : 63-76.
Granato, M. and C. Nüsslein-Volhard. 1996. “Fishing for genes
controlling development”. Curr. Opin. Genet. Dev. 6: 461-
468.
Haris, E. 1998. “Strategi Pembangunan Akuakultur Penentu Citra
Perikanan Indonesia Masa Datang”. Makalah Sarasehan
Perikanan Nasional. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
_______ . 2006. “Akuakultur berbasis trophic level : revitalisasi untuk
ketahanan pangan, daya saing ekspor dan kelestarian
lingkungan”. Orasi Ilmiah Guru Besar. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hemming, T.A., and R.K. Buddington. 1988. “Yolk Absorption In
Embrionic and Larvae Fishes, p : 407-445 In W.S. Hoar and
Randall (Eds) Fish Physiology. Vol. XI”. Academic Press.
New York. 178-253 p.
Kamler, E. 1989. “Early Life History of Fish”. An Energetic Aprroach.
Chapman & Hall. London. 267 p.
_______ 1992. “Early Life History of Fish”. An Energetic Aprroach.
Chapman & Hall. London. 267 p. Secon Eds.
Kimmel, C.B. and R.D. Law. 1985. “Cell lineage of zebrafish
blastomeres. II. Formation of the Yolk Syncytial Layer”.
Dev. Biol. 108: 86-93.
Kohno, H.S. and B. Slamet. 1990. “Growth, Survival and Feeding
Habits of Early Larval Seabass (Lates calcarifer) at Different
Thermal Conditions”. Terbitan Khusus Balai Penelitian
Budidaya Pantai 1 : 37-44.

64
Lagler, K.F., J.E. Bardach., R.R. Miller and D.R.M Passino. 1977.
“Icthyology”. John Wiley and Sons Inc. New York. 129-
170 p.
Langeland, J. and C. B. Kimmel. 1997. “The embryology of fish”. In S. F.
Gilbert and A. M. Raunio (eds.), Embryology: Constructing
the Organism. Sinauer Associates,Sunderland,MA,pp.383–
407.
Leung, C., S.E. Webb, and A. Miller. 1998. “Calcium Transients
Accompany Ooplasmic Segregation in Zebrafish
Embryos”. Dev. Growth Differ. 40: 313-326.
Pramono, T.B., 2004. “Pengaruh Pemberian Hormon Triodo-tironin
Terhadap Perkembangan Organogenesis Larva Ikan Betutu
(Oxyeleotris marmorata, Blkr)”. Makalah Seminar Nasional
Perikanan dan Kelautan di Universitas Panca Sakti, Tegal
15 Mei 2004.
Pramono, T.B. dan Sri Marnani. 2007. “Pola Penyerapan Kuning
Telur dan Perkembangan Organogenesis Pada Stadia Awal
Larva Ikan Brek (Puntius orphoides)”. Jurnal Ichtyos 6 (1) : 1-4.
Slamet, B. dan Tridjoko. 1997. “Pengamatan Pemijahan Alami,
Perkembangan Embrio dan Larva Ikan Kerapu Batik
(Ephinephelus microdon) Dalam Bak Terkontrol”. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 3 (4) : 40-50.
Suparno dan H. E. Irianto. 1995. “Transportasi Ikan Hidup dan
Teknologi Pasca Panen”. Prosiding Temu Usaha
Pemasyarakatan Teknologi Karamba Jaring Apung Bagi
Budidaya Laut. Jakart, 12-13 April 1995.
Susanto, B., dan Suwirya. K. 1997. “Studi Tentang Perkembangan
Embrio dan Penanganan Telur Ikan Sotong Buluh
(Sepiotuthis lessoniana) Selama Masa Inkubasi”. Prosiding
Simposium Nasional Perikanan Indonesia II. Ujung Pandang.
Indonesia.
Suseno, D., dan O. Praseno. 1989. “Life Fish Transportation”.
AETEE. Bogor. Indonesia.

65
Soedibya., P.H.T dan Listiowaty., E. 2014. Budidaya Super intensif
Ikan Lele dengan Teknologi Bioflok : Upaya Peningkatan
Sumber Protein Hewani dan Ketahanan Pangan
Berkelanjutan. Laporan Penelitian. Riset Unggulan
Perguruan Tinggi. Tahun Pertama.
Soedibya., P.H.T; Pramono., T.B; Sulistowaty.,.E dan A.D. Syakti.
2016. Budidaya Super intensif Ikan Lele dengan Teknologi
Bioflok : Upaya Peningkatan Sumber Protein Hewani dan
Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Laporan Penelitian. Riset
Unggulan Perguruan Tinggi. Tahun Kedua.
Swanson, C. 1996. “Early Development of Milk Fish : Effect of
Salinity Embrionic and Larval Metabolism, Yolk
Absorption and Growth”. Journal of Fish Biology 48 : 405-
421
Sukadi F. 2003. “Strategi dan Kebijakan Pengembangan Pakan Dalam
Budidaya Perikanan”. Makalah Seminar Nasional dan
Lokakarya Aplikasi Teknologi Pakan dan Peranannya Bagi
Perkembangan Usaha Perikanan Budidaya. Bogor 9
September 2003.
Tacon, A.G.J. 1998. “Feeding Tomorrow Fish”. Infofish International
2/98 : 19-25.
Usman, B., C.R Saad., R. Affandi., M.S. Kamarudin dan AR. Alimon.
2003. “ Perkembangan Larva Ikan Kerapu Bebek
(Cromileptes altivelis) Selama Proses Penyerapan Kuning
Telur”. Jurnal Iktiologi 3 (1) : 35-59.
Walsh, W.A., C. Swanson and C.S. Lee. 1991. “Effect of
Development, Temperature and Salinity On Metabilsm in
Egg and Yolk Sac Larvae of Milk Fish (Chanos chanos)”.
Journal of Fish Biology 39 : 115-125
Woynarovich, E., and L. Hovarth. 1980. “The Artificial Propagation Of
Warm Water Fin Fishes : A Manual For Extension”. FAO.
Rome. Italy. 183 p.
Zairin. 2003. “Endokrinologi Dan Perannya Bagi Masa Depan
Perikanan Indonesia”. Orasi Ilmiah Guru Besar. Fakultas
Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

66
GLOSSARIUM

Aklimatisasi : Proses adaptasi ikan terhadap lingkungan


pemeliharaan yang baru maupun perubahan
lingkungan; penyesuaian fisiologis terhadap
perubahan salah satu faktor lingkungan.
Akuakultur : Upaya manusia, melalui masukan tenaga
kerja dan energi untuk meningkatkan
produksi hewan air ekonomis penting
dengan memanipulasi laju pertumbuhan,
mortalitas dan reproduksi.
Anestesi : Suatu kondisi dimana tubuh atau sebagian
tubuh kehilangan kemampuan untuk merasa
(insensibility).
Bioflok : Berasal dari kata bio yang berarti hidup dan
floc yang berarti gumpalan. Lengkapnya
kumpulan yang hidup yang terdiri dari
bakteri, phytoplankton, zooplankton, cacing
dan sebagainya.
Blastomer : Sel-sel anak yang dihasilkan selama
pembelahan zygot.
Blastula : Rongga yang terbentuk selama fase
pembelahan zigot.
Blastulasi : Proses yang menghasilkan blastula yaitu
campuran sel-sel blastoderm yang
membentuk rongga penuh cairan sebagai
blastocoel.
Blastulasi : Proses yang menghasilkan blastula yaitu
campuran sel-sel blastoderm yang
membentuk rongga penuh cairan sebagai
blastocoel. Pada akhir blastulasi, sel-sel
blastoderm akan terdiri dari neural,
epidermal, notochordal, mesodermal, dan
endodermal yang merupakan bakal
pembentuk organ-organ.

67
Cleavage : Pembelahan zygote secara cepat menjadi
unit-unit yang lebih kecil yang di sebut
blastomer.
Endogenous : Pakan yang berasal dari dalam tubuh yaitu
feeding berupa kuning telur pada saat fase larva yang
digunakan untuk perkembangan organogenesis.
Exogenous : Pakan yang tersedia atau diberikan dari luar
feeding tubuh yaitu berupa emulsi kuning telur atau
pakan alami pada saat fase post larva hingga
terus berkembang menjadi benih.
Egg yolk : Kuning telur yang terdapat pada larva ikan
digunakan sebagai cadangan makanan
Gastrula : Tahapan pembentukan embrio berlapis dua
dan berbentuk piala.
Gastrulasi : Proses perkembangan embrio, dimana sel
bakal organ yang telah terbentuk pada stadia
blastula mengalami perkembangan lebih
lanjut.
Herbivor : Ikan pemakan tumbuh-tumbuhan; ikan yang
biasanya makan material tanaman.
Hipofisa : Kelenjar endokrin yang terletak dalam sella
tursika, yaitu lekukan dalam tulang sfenoid.
Hormon : Bahan kimia pembawa sinyal yang dibentuk
dalam sel-sel khusus pada kelenjar endokrin;
suatu zat kimia yang dihasilkan secara alami
oleh kelenjar endokrin dan langsung masuk
ke dalam sistem peredaran darah serta secara
khusus dapat mempengaruhi proses fisiologis
organ tubuh di tempat ia dibutuhkan.
Inkubasi : Masa penyimpanan; tenggang waktu yang
diperlukan dari saat telur dibuahi sampai saat
menetas.
Karnivora : Ikan yang biasanya makan hewan atau daging.
Kematangan : Tahapan tertentu perkembangan gonad
Gonad sebelum dan sesudah memijah.

68
Non-Parental : Induk yang tidak peduli terhadap
Care keturunannya.
Omnivora : Ikan yang biasanya makan tanaman dan
hewan.
Organogenesis : Proses pembentukan berbagai organ tubuh
berturut-turut bakal organ-organ antara lain
susunan syaraf, notochord,mata, somit,
lateralis, jantung, aorta, insang, infudibulum
dan lipatan-lipatan sirip.
Ovaprim : Merk dagang bagi hormone analog yang
mengandung 20µg analog salmon
gonadotropin releasing hormone (s GnRH),
LHRH dan 10µg domperidone sejenis anti
dopamin, per milliliter. memacu terjadinya
ovulasi. Pada proses pematangan gonad
GnRH analog yang terkandung didalamnya
berperan merangsang hipofisa untuk
melepaskan gonadotropin. Sedangkan
sekresi gonadotropin akan dihambat oleh
dopamine. Bila dopamine dihalangi dengan
antagonisnya maka peran dopamine akan
terhenti, sehingga sekresi gonadotropin akan
meningkat.
Parental Care : Induk yang menjaga keturunannya (telur,
larva atau benih).
Pembenihan : Adalah suatu tahap kegiatan dalam budidaya
yang sangat menentukan tahap kegiatan
selanjutnya, yaitu pembesaran atau suau
kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk
menghasilkan benih dan selanjutnya benih
yang dihasilkan menjadi komponen input
bagi kegiatan pembesaran
Pemijahan : Proses perkawinan antara ikan jantan dan
(Spawning) betina hingga ikan mengeluarkan telur dan
terbuahi oleh seperma; proses pengeluaran
gamet jantan (sperma) dan atau betina (telur)
ke media.

69
Pemijahan Ikan : Pemijahan ikan tanpa campur tangan
secara Alami manusia, terjadi secara alamiah (tanpa
pemberian rangsangan hormon).
Pemijahan Ikan : Pemijahan ikan yang terjadi dengan
secara memberikan rangsangan hormon untuk
Semiintensif mempercepat kematangan gonad, tetapi
proses ovulasinya terjadi secara alamiah di
kolam.
Pemijahan Ikan : Pemijahan ikan yang terjadi dengan
secara Intensif memberikan rangsangan hormon untuk
mempercepat kematangan gonad serta
proses ovulasinya dilakukan secara buatan
dengan teknik stripping atau pengurutan.
Penetasan : Perubahan intracapsular (tempat yang
terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal
ini penting dalam perubahan-perubahan
morfologi hewan; saat terakhir masa
pengeraman sebagai hasil beberapa proses
sehingga embrio keluar dari cangkangnya.
Pengemasan : Kegiatan untuk menempatkan produk
(Packing) budidaya di dalam wadah tertentu untuk
memudahkan pengangkutan
Polikultur : Proses pemeliharaan dua atau lebih
komoditas dalam satu wadah, baik ikan
maupun non ikan.
Stripping : Proses dikeluarkannya telur atau sperma ikan
dengan bantuan manusia/bukan secara
alamiah dengan cara di urut mulai perut
dekat operkulum sampai ke lubang genital
Telur isolesital : Tipe telur yang memiliki telur yang
mengandung kuning telur sedikit dan
tersebar di seluruh sel telur
Telur telolesital : Tipe telur yang memiliki jumlah kuning
telurnya relatif banyak dan berkumpul pada
kutub vegetatif, sedang pada kutub animal
hanya terdapat inti sitoplasma

70

Anda mungkin juga menyukai