Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1.2 Kajian Teori dan Konsep

2.1.1 Belajar

Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu proses perubahan tingkah

laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi

kebutuhan hidupunya. Menurut Syah (2010:18) belajar adalah kegiatan yang

berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaran

setiap jenis dan jenjang pendidikan. Itu berarti bahwa berhasil atau gagalnya

pencapaiannya tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang

dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah atau

keluargannya sendiri. Slameto (2010:2) mengemukan bahwa belajar adalah suatu

proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan

tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.

Hilgad dan Bower (Baharuddin,2010:13) mengemukakan bahwa belajar (to

learn) memiliki arti: 1) to again knowledge, comprehension, or master of trough

experience or study; 2) to fix in the mind of memory; memorize; 3) to acquire

trough experience; 4) to be come in forme of to find out. Menurut definisi tersebut

belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan melalui pengalaman,

mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan infromasi atau menemukan.

Garret (Sagala,2011:13) mengatakan, belajar adalah proses yang terjadi dalam

8
9

jangka waktu yang lama melalui latihan yang membawa terjadinya perubahan

dalam diri sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan

proses memperoleh pengetahuan yang berdampak pada perubahan tingkah laku

seseorang

2.1.2 Pembelajaran Matematika

Menurut Hamalik (2010: 37) menyatakan bahwa belajar adalah proses

perubahan tingkah laku melalui interaksi dengan lingkungan. Pengertian belajar

menurut Fontana (Suriarta, 2016: 12) adalah sebuah proses perubahan tingkah

laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Dari dua pengertian

tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan hasil dari

pengalaman dan lingkungan sehingga diperoleh perubahan tingkah laku.

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang berbeda dalam

pembelajaran tetapi dua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Dengan kata lain, belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang erat

kaitannya. Menurut Sudjana (2008: 28) menyatakan bahwa belajar menunjuk apa

yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek yang menerima pelajaran (peserta

didik), sedangkan mengajar menujuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru

sebagai pengajar. Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan

pembelajaran, manakala terjadi interaksi antara guru dan siswa memegang

peranan penting dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran

yang efektif. Inti dari pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh

pendidik agar terjadi proses belajar pada peserta didik.


10

Proses pembelajaran matematika merupakan suatu ilmu yang berhubungan

atau menelaah bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak dan hubungan-

hubungan di antar hal-hal itu (Hudojo, 2003: 123). Menurut Tim MKPBM

(Suriarta, 2016: 13) menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika

mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu

dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak terbagi dalam tiga bidang yaitu

aljabar, analisis, dan geometri.

Menurut TIM MKPBM (Suriarta, 2016: 13) menyatakan bahwa

pembelajaran matematika adalah kegiatan pendidikan yang menggunakan

matematika sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu upaya

meningkatkan peranan siswa dalam mengkonstruksi konsep-konsep matematika

dengan kemampuannya sendiri sedemikian hingga tujuan pembelajaran yang

ditetapkan akan tercapai.

2.1.3 Pembelajaran Kooperatif

Rusman (2016:67) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif

merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam

kelompok-kelompok kecil serta kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat

sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Hal ini

sejalan dengan pendapat, Shoimin (Asril, 2016:14) menyatakan bahwa model

pembelajaran cooperatif learning adalah kegiatan pembelajaran dengan cara

berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep dan

menyelesaikan persoalan. Menurut Slavin (Asril, 2016:14) menyatakan bahwa


11

didalam model pembelajaran kooperatif, para siswa akan duduk bersama dalam

kelompok yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang

disampaikan oleh guru. Anggota timnya heterogen yang terdiri dari siswa yang

berprestasi tinggi, sedang dan rendah, laki-laki, perempuan, dan berasal dari latar

belakang etnik yang berbeda.

Ibrahim (Sulmia, 2015:13) menyatakan pembelajaran kooperatif mempunyai

enam langkah atau tahapan seperti ditunjukkan dalam tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif


FASE TINGKAH LAKU GURU
FASE-1 Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran
Menyampaikan tujuan dan yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa memotivasi siswa belajar
Guru menyajikan informasi kepada siswa
FASE-2 dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
Menyajikan informasi bacaan
FASE-3 Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
Mengorganisasikan siswa caranya membentuk kelompok belajar dan
ke dalam kelompok- membantu setiap kelompok agar melakukan
kelompok belajar transisi secara efisien
FASE-4 Guru membimbing kelompok-kelompok
Membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
Bekerja dan belajar mereka
FASE-5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi
Evaluasi yang telah dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

FASE-6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai


Memberikan penghargaan upaya atau hasil belajar individu dan kelompok

Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, akan tetapi

terdapat beberapa variasi atau tipe dari model tersebut. seperti STAD, Jigsaw,

Investigasi Kelompok, TSTS, Time Token, LT atau TGT, dan Snowball

Throwing.
12

2.1.4 Model Pembelajaran LT

a. Definisi LT

LT merupakan metode pembelajaran kooperatif yang dilakukan dengan cara

mengelompokkan peserta didik yang berbeda tingkat kemampuan dalam satu

organisasi. Masing–masing anggota tim mengambil bagian proyek yang sesuai

dengan minat dan kemampuannya. Model ini melibatkan siswa yang dibagi dalam

kelompok terdiri atas empat atau lima siswa dengan latar belakang yang berbeda

mengerjakan lembar tugas. Kelompok-kelompok ini menerima satu lembar tugas,

menerima pujian dan penghargaan berdasarkan hasil kerja kelompok.

Menurut Jhonson, Jhonson, Holubec, dan Roy (Dian, 2015) model ini

menekankan pada empat unsur yakni;

a) Interaksi tatap muka: para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok yang

beranggotakan empat sampai lima siswa.

b) Interpendensi positif: para siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan

kelompok.

c) Tanggung jawab individual para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka

secara individual telah menguasai materinya.

d) Kemampuan-kemampuan interpersonal dan kelompok kecil: para siswa diajari

mengenai sarana-sarana yang efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan

seberapa baik kelompok mereka bekerja dalam mencapai tujuan mereka.

Ciri interdependensi positif pada model pembelajaran Learning Together

siswa ditekankan bagaimana dapat mencapai tujuan kelompok. Tujuan kelompok


13

dapat tercapai apabila terdapat kerja sama dan komunikasi yang baik antar siswa

dalam proses pembelajaran. Sedangkan interaksi tatap muka memiliki keuntungan

untuk mempermudah komunikasi antar siswa sehingga informasiinformasi yang

diperlukan dalam proses pembelajaran diterima dengan baik. Selanjutnya,

tanggung jawab individual ditujukan agar setiap siswa telah dapat menguasai

materi atau konsep sebelum diskusi kelompok berlangsung, sehingga saat diskusi

proses bertukar informasi dapat berjalan secara aktif. Kelompok kecil yang

terdapat pada LT memberikan kemudahan pembagian tugas kepada masing-

masing siswa dalam kerja kelompok, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi

dalam diskusi kelompok.

b. Langkah–langkah Model Pembelajaran LT

Langkah-langkah model pembelajaran LT yang dikembangkan oleh David

dan Roger Jhonson (slavin, 2009:25) yaitu:

1) Membagi siswa jadi empat atau lima kelompok

2) Anggota kelompok bersifat heterogen

3) Setiap kelompok diberi tugas yang harus dikerjakan secara bersama-sama

oleh setiap kelompok.

4) Hasil pekerjaan setiap kelompok dinilai oleh guru

5) Guru mengevaluasi dan memberikan penghargaan kepada kelompok atas

pekerjaan yang telah dihasilkan

6) Penghargaan dapat berupa pujian atau bentuk yang lain yang bersifat

mendidik.
14

Tabel 2.2 Langkah-Langkah Pembelajaran LT


Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1 Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran
yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan
Menyampaikan tujuan memotivasi siswa belajar

Fase-2 Guru menyajikan informasi kepada siswa


dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan
Menyajikan informasi bacaan

Fase-3 Membentuk kelompok yang anggotanya 4


sampai 5 siswa secara heterogen (campuran
Mengorganisasikan siswa dalam menurut prestasi, jenis kelamin, suku dan lain-
kelompok kooperatif lain)
Fase-4 Masing-masing kelompok menerima lembar
tugas berupa gambar untuk bahan diskusi dan
Membimbing kelompok bekerja menyelesaikannya, Guru membimbing
dan belajar kelompok- kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas mereka
Fase-5 Setiap anggota memberikan jawaban disetiap
pertanyaan,lalu mendiskusikan dengan
Mengawasi siswa berdiskusi kelompoknya
kelompok
Fase-6 Setiap kelompok mempresentasekan hasil
diskusi kelompoknya dan kelompok lain
Presentase menanggapi
Fase -7 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari.
Evaluasi
Fase-8 Guru memberi pujian dan
penghargaan berdasarkan hasil kerja kelompok
Memberikan penghargaan

c. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran LT

Kelebihan model pembelajaran LT, antara lain:


15

1. Siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran karena selalu diberi bahan

diskusi oleh guru

2. Meningkatkan kerjasama siswa dalam kelompok dengan prinsip belajar

bersama (Learning Together).

3. Siswa dilatih untuk berani dan percaya diri karena harus tampil

mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

4. Guru tidak terlalu lelah dan sibuk karena hanya berperan sebagai motivator

dan fasilitator dalam proses belajar mengajar.

5. Siswa lebih kreatif karena pembelajarannya menggunakan pendekatan

salingtemas yaitu keter kaitan antara teknologi, sains, lingkungan, dan

masyarakat.

Kekurangan/kelemahan model pembelajaran LT menurut mauliana (2013)

yaitu:

1. Hanya cocok diterapkan di kelas berjenjang tinggi karena lebih didominasi

kegiatan diskusi dan presentasi.

2. Memakan waktu cukup lama dan sedikit membosankan.

3. Tidak bisa melihat kemampuan tiap-tiap siswa karena mereka bekerja dalam

kelompok.

Berdasarkan pendapat tersebut, siswa diharapkan bisa bertanggung jawab

pada diri sendiri, berinteraksi dengan kelompok dan saling berkergantungan. Hal

ini yang mendukung bahwa LT dapat mendorong siswanya untuk berkerja sama

karena setiap siswa akan menyumbang pencapaian tujuan siswalainnya.


16

2.1.5 Model pembelajaran tipe STAD

a. Definisi STAD

Model pembelajaran kooperative tipe STAD merupakan salah satu metode

pembelajaran yang paling sederhana, dan model yang paling baik bagi para guru

yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Menurut Salvin STAD adalah

salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang cukup sederhana, siswa ditempatkan

dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut

tingkat kinerjanya, jenis kelamin dan suku (Hamdayama 2014: 115). Guru

menyajikan pelajaran kemudian siswa bekerja dalam tim untuk memastikan

bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya seluruh

siswa dikenai kuis tentang materi itu dengan catatan, saat kuis mereka tidak boleh

saling membantu.

Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan pendekatan

Cooperative Learning yang menekankan pada aktifitas dan interaksi diantara

siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi

pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Guru yang menggunakan STAD

mengajukan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan

presentasi verbal atau teks. Menurut Salvin (Hamdayama 2014: 116) ada lima

komponen utama dalam kooperatif model STAD, yaitu

1. penyajian kelas

2. Menetapkan siswa dalam kelompok


17

3. Tes dan kuis

4. Skor peningkatan individual

5. Pengakuan kelompok

Berdasarkan pendapat teori di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

STAD merupakan model pembelajaran yang sangat melibatkan siswa untuk

belajar dalam kelomplok-kelompok yang heterogen (tigkat prestasi, jenis kelamin,

budaya, dan suku) yang terdiri dari 4-5 Siswa

b. Karakteristik Model Pembelajaran STAD

Menurut Arends (Hamdayama 2014: 115) karakteristik model pembelajaran

STAD adalah sebagai berikut:

a. Tujuan kognitif: informasi akademik kesederhana.

b. Tujuan sosial: kerja kelompok dan kerja sama.

c. Struktur tim: kelompok belajar heterogen dengan 4-5 orang anggota.

d. Pemilihan topik pelajaran: biasanya oleh guru.

e. Tugas utama: siswa dapat menggunakan lembar kegiatan dan saling

membantu untuk menuntaskan materi belajarnya.

f. Penilaian: tes mingguan.

c. Langkah-langkah Penerapan Model STAD.

Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model STAD dapat

dilaksanakan dengan baik apabila memperhatikan langkah-langkah yang tepat.

Menurut Suprijono (2016: 152-153), langkah-langkah pada model pembelajaran

STAD adalah sebagai berikut:


18

a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran

menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan lain-lain).

b. Guru menyajikan pelajaran.

c. Guru memberi tugas pada kelompok untuk dikerjakan oleh anggotaanggota

kelompok. Anggotanya yang sudah mengerti dapat menjelaskan pada anggota

lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.

d. Guru memberi kuis/ pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab

kuis tidak boleh saling membantu.

e. Memberi evaluasi.

f. Kesimpulan.

d. Kelebihan dan Kelemahan Model STAD.

Shoimin (2014: 189) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif

tipe STAD mempunyai beberapa kelebihan diantaranya sebagai berikut;

1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi

norma-norma kelompok

2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama;

3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan

kelompok

4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam

berpendapat

5. Meningkatkan kecakapan individu

6. Meningkatkan kecakapan kelompok

7. Tidak bersifat kompetitif


19

8. Tidak memiliki rasa dendam.

Shoimin (2014: 189) menyatakan pembelajaran kooperatif tipe STAD

memiliki kekurangan diantaranya sebagai berikut:

1. Kontribusi dari siswa berprestasi rendah menjadi kurang.

2. Siswa berprestasi tinggi akan mengarah pada kekecewaan karena peran

anggota yang pandai lebih dominan.

3. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai

target kurikulum.

4. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk guru sehingga pada umumnya

guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.

5. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat

melakukan pembelajaran kooperatif; dan

6. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Kekurangan-kekurangan yang ada pada pembelajaran kooperatif tipe

STAD masih dapat diatasi atau diminimalkan. Penggunaan waktu yang lebih

lama dapat diatasi dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga

siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan

kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan

sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan

pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan

penataan ruang kelas. Pembelajaran kooperatif memang memerlukan

kemampuan khusus guru, namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan latihan

terlebih dahulu. Sedangkan kekurangan-kekurangan yang terakhir dapat diatasi


20

dengan memberikan pengertian kepada siswa bahwa manusia tidak dapat hidup

sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, siswa merasa perlu bekerja

sama dan berlatih bekerja sama dalam belajar secara kooperatif.

2.1.6 Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau

gagasan yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang

dipaparkan. Berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan menganalisis

idea atau gagasan ke arah yang lebih sempurna. Berpikir kritis berkaitan dengan

asumsi bahwa berpikir merupakan potensi yang ada pada manusia yang perlu

dikembangkan untuk kemampuan yang optimal (Susanto, 2013:121). Menurut

Ennis (Susanto, 2013:121), berpikir kritis adalah suatu berpikir dengan tujuan

membuat keputusan masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan.

Sedangkan menurut Langrehr (Jayadipura, 2014:125) mengartikan berpikir kritis

sebagai berpikir evaluatif yang melibatkan kriteria yang relevan dalam mengakses

informasi disertai dengan ketepatan, relevansi, kepercayaan, ketegapan, dan bias.

Pendapat senada dikemukakan juga oleh Anggelo berpikir kritis adalah

mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan

menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahan masalahnya,

menyimpulkan dan mengevaluasi. Menurut Krulik (Ismamuiza, 2013:375)


21

berpikir kritis itu adalah suatu cara berpikir yang menguji, menghubungkan, dan

mengevaluasi termasuk di dalamnya kemampuan untuk mengumpulkan informasi,

mengingat, menganalisis situasi, membaca serta memahami dan mengidentifikasi

hal-hal yang diperlukan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan berfikir kritis merupakan salah satu kemampuan berfikir tingkat

tinggi yang diperlukan dalam matematika, dimana kemampuan berfikir kritis yang

meliputi kemampuan menggeneralisasi, mengidentifikasi, relevansi, merumuskan

masalah kedalam model matematika, mereduksi dengan menggunakan prinsip,

penarikan kesimpulan dan mengkontruksi argumen.

Tabel 2.3 Indikator kemampuan berpikir kritis


Indikator umum Indikator

1. Interpretasi Memahami masalah yang ditunjukkan dengan


menulis diketahui maupun yang ditanyakan soal
dengan tepat.
2. Analisis Mengidentifikasi hubungan-hubungan antara
pernyataan pernyataan, pertanyaan-pertanyaan,
dan konsep-konsep yang diberikan dalam soal
yang ditunjukkan dengan membuat model
matematika dengan tepat dan memberi penjelasan
dengan tepat.
3. Evaluasi Menggunakan strategi yang tepat dalam
menyelesaikan soal, lengkap dan benar dalam
melakukan perhitungan.
4. Inferensi Membuat kesimpulan dengan tepat
Adaptasi Facione (karim, 2015)

Tabel 2.4 Pedoman Penskoran Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa


22

Indikator Rubrik Penilaian Sko


r

Interpretasi Tidak menulis yang diketahui dan yang ditanyakan. 0

Menulis yang diketahui dan yang ditanyakan dengan 1


tidak tepat

Menuliskan yang diketahui saja dengan tepat atau yang 2


ditanyakan saja dengan tepat

Menulis yang diketahui dari soal dengan tepat tetapi 3


kurang lengkap

Menulis yang diketahui dan ditanyakan dari soal 4


dengan tepat dan lengkap

Analisis Tidak membuat model matematika dari soal yang 0


diberikan.

Membuat model matematika dari soal yang diberikan 1


tetapi tidak tepat

Membuat model matematika dari soal yang diberikan 2


dengan tepat tanpa memberi penjelasan

Membuat model matematika dari soal yang diberikan 3


dengan tepat tetapi ada kesalahan dalam penjelasan

Membuat model matematika dari soal yang diberikan 4


dengan tepat dan memberi penjelasan yang benar dan
lengkap

Evaluasi Tidak menggunakan strategi dalam menyelesaikan 0


soal.
23

Indikator Rubrik Penilaian Sko


r

Menggunakan strategi yang tidak tepat dan tidak 1


lengkap dalam menyelesaikan soal.

Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan 2


soal, tetapi tidak lengkap atau menggunakan strategi
yang tidak tepat tetapi lengkap dalam menyelesaikan
soal.

Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan 3


soal, lengkap tetapi melakukan kesalahan dalam
perhitungan atau penjelasan.

Menggunakan strategi yang tepat dalam menyelesaikan 4


soal, lengkap dan benar dalam melakukan
perhitungan/penjelasan.

Inferensi Tidak membuat kesimpulan. 0

Membuat kesimpulan yang tidak tepat dan tidak sesuai 1


dengan konteks soal.

Membuat kesimpulan yang tidak tepat meskipun 2


disesuaikan dengan konteks soal

Membuat kesimpulan dengan tepat, sesuai dengan 3


konteks tetapi tidak lengkap.

Membuat kesimpulan dengan tepat, sesuai dengan 4


konteks soal dan lengkap

2.2 Penelitian yang Relevan


24

1. Muhammad (2016), terjadi peningkatan hasil belajar matematika yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe learning together

dibandingkan dengan yang siswa diajar tanpa menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe learning together

2. Utama (2014) menyatakan bahwa, Kemampuan berpikir kritis

matematis siswa yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe

STAD (Student Team Achievement Division) lebih baik daripada siswa yang

mendapat pembelajaran konvensional

2.3 Kerangka Berpikir

Setiap individu membangun sendiri pengetahuannya, sebab individu

melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan dan linkungannya tersebut

mengalami perubahan. Pada saat ini masih banyak guru yang menerapkan

pembelajaran konvensional,dan guru sebagai pemegang peran utama pemberi

informasi. Hal ini berdampak pada rendahnya aktifitas siswa terhadap

pembelajaran matematika, kurangnya inovasi pembelajaran di kelas oleh guru,

dan yang disayangkan lagi kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa seperti tak

terjamah dalam kegiatan pembelajaran hal itu juga berpengaruh terhadap hasil

belajar siswa.

Model pembelajaran yang sekirannya dapat membiasakan siswa lebih aktif

dan mampu berfikir kritis ialah model pembelajaran STAD dan LT sehingga

siswa dapat mengaitkan pembelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Jika berfikir kritis merupakan bagian dari kegiatan yang selalu dilakukan

otak untuk menorganisasikan informasi guna mencapai suatu tujuan, maka


25

berfikir kritis merupakan bagian dari kegiatan berpikir yang juga dilakukan otak.

Dengan pengaplikasian atau penerapan model pembelajaran STAD dan LT

diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa sehinga dengan

itu penulis mengambil kerangka berpikir sebagaimana yang telah dipaparkan

Adapun skema atau bagan yang dapat menunjukkan kerangka berpikir

adalah sebagai berikut

Siswa diharapkan memiliki Guru masih menjadi


pengalaman proses pembelajaran teparku pada model
tersendiri baik disekolah maupun pembelajaran
dikehidupan sehari – harinya Namun konvensional

Siswa dapat lebih Kemampuan berpikir


aktiv dalam proses kritis
pembelajaran

Perlu merubah
kebiasaan
Model pemebelajaran
STAD dan LT

Tujuan dan harapan

Gambar 2.1 Skema kerangka berfikir


26

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan, kajian pustaka, penelitian yang relevan dan

kerangka berpikir, maka hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan rata-rata

kemampuan berpikir kritis matematika siswa yang diajar menggunkan model

pembelajaran STAD dan LT

Anda mungkin juga menyukai