Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

GUILLAINE BARRE SYNDROM

Definisi
Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda,
sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang
biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit
tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah.
Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per
100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama.
Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh.
Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu
setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002).
Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses
yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem
imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya
disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan
suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang
simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala
sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf
kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009).
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain
Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan
seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan
apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh
kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit
menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap
kerja sistem syaraf.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic
polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious
Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy,
Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry
Guillain Barre Syndrome.

Etiologi
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih
belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak
kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti
infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali
berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi
pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma
Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan
perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu
nafas sementara.
Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang
terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi
viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus
(CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab
bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus
juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan
autoimun.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai
beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului
dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
 Infeksi
 Vaksinasi
 Pembedahan
 Diare
 Peradangan saluran nafas atas
 Kelelahan
 Demam
 Kehamilan/ dalam masa nifas
 Penyakit sistematik:
- keganasan
- systemic lupus erythematosus
- tiroiditis
- penyakitAddison
Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Pada
SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun
tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen
normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi
infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi
sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip
dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus
infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson.
Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk
gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T
merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif 
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir
klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya
akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta
gejala.
2. Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan
terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi
yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat
akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah
fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama
beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot
yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.

Manifestasi Klinis
1. Parestesia (kesemutan dan kebas)
2. Kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstrimitas atas (batang tubuh dan
otot wajah)
3. Paralisis pada okular. Wajah dan orofaring, kesukaran bicara, mengunyah dan
menelan
4. Disfungsi autonom yang berakibat kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan
parasimpatis, seperti gangguan jantung dan ritme, perubahan tekanan darah
(hipertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya
5. Kehilangan sensasi posisi tubuh (Smeltzer, Suzanna, 2002)

Pemeriksaan Penunjang (Grace, Borley, 2007)


1. Pungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan
jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyat dalam 4-6
minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari
pertama, mungkin diperlukan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam
beberapa hari)
2. Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan simbol yang
timbul. Kecepatan konduksif saraf diperlambat. Fibrilasi (getaran berulang dari unit
yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
3. Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
4. Foto rotgen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia.
5. Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan kemampuan inspirasi

Penatalaksanaan (Wibowo Samekto, 2001)


1. Kortikosteroid
2. Plasmaparesis
3. Pengobatan imunosupresan
- imunoglobulin (IV)
- obat sitotoksik

Masalah Keperawatan (Nanda, 2014)


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot-otot pernapasan,
hiperventilasi keruskaan neurologis
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan akibat disfungsi saraf kranial sekunder
5. Ketidakefektifan fungsi jaringan perifer
6. Intoleransi aktivitas
7. Kerusakan integritas kulit
8. Konstipasi
9. Resiko infeksi
10. Gangguan pola tidur
11. Gangguan eliminasi urin
Patofisiologi
Problem tree Reaksi autoimun Merusak selaput myelin Kehilangan selaput myelon

Kelumpuhan Kelemahan/paralisis

Motorik

Gangguan mobilitas fisik

Mobiitas lama Bising usus menurun Kontraktur

Kerusakan Integritas Kulit Konstipasi Intoleransi aktivitas

Luka dekubitus Defisit Perawatan Diri

Kelumpuhan Otot Pernapasan Gagal nafas

Pasang o2 ventilator Komplikasi tensio


pneumotorak
Penumpukan sekret
Sepsis suction Pneumonia
Resiko Infeksi

Ketidakefetifan
Gangguan Pola Tidur
pola napas

Sensorik

Gangguan spingter Reflek Menelan Turun


uretra
Penurunan intake nutrisi
Gangguan eliminasi
urin Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan

Autoimun Daya Kembang Paru

Ketidakefektifan perfusi jaringan


CO2 Menurun Ketidakefektifan pola napas
perifer

Sirkulasi darah menurun Kelemahan Umum Intoleransi aktivitas

Kebutuhan O2 paru berkurang Sesak Penumpukan sekret Ketidakefektifan bersihan


jalan napas

Anda mungkin juga menyukai