Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

“HAKEKAT KONSELING”

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Vivi Ratnawati,S.Pd,M.Psi.
DISUSUN OLEH:

1. Mohammad Fajar Erdianto 2214010101


2. Muhammad Farid Afif Yudhatama 2214010108
3.

UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI


2018/2019
Kata Pengantar

Pertama tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa , karena atas semua limpahan rahmat dan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah Pengantar konseling yang berjudul Hakikat Konseling .

Kami mengucapkan terima kasih kepada bu Dr. Vivi Ratnawati,S.Pd,M.Psi.


sebagai dosen pengampu mata kuliah Pengantar Konseling di program studi
Bimbingan dan konseling .yang telah memberikan kami tema kajian dan menjelaskan
kepada kami pengantar konseling tentang Bimbingan konseling.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua teman teman kelompok


yang telah mengumpulkan bahan bahan dalam menyusun makalah ini dengan lengkap
dan bekerja sama dengan sangat baik. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini
masih sangat jauh dari kata sempurna. Karena itu, kami terbuka untuk diberikan kritik
dan saran yang bersifat membangun dan bisa membuat makalah ini dapat lebih
bermanfaat lagi bagi pembacanya.

Kediri , 27 September 2022


Tim Penyusun
KELOMPOK I

i
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1
B. Rumusan masalah………………………………………………………....2
C. Tujuan Makalah…………………………………………………………...2

BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Kognitif……………………………………………………………...3
1. Pengertian Teori Kognitif……………………………………………..3
2. Tahap Perkembangan Teori Kognitif ……………………………….4
3. Teori Perkembangan Kognitif Dalam Aplikasi Pembelajaran …….7
B. Teori Psikososial…………………………………………………………...8
1. Pengertian Teori Psikososial………………………………………….8
2. Tahap Perkembangan Teori Psikososial……………………………..8
3. Teori Perkembangan Psikososial Dalam Aplikasi Pembelajaran…13
C. Teori Psikoanalitik………………………………………………………..14
1. Pengertian Teori Psikoanalitik………………………………………14
2. Tahap Perkembangan Teori Psikoanalitik………………………….19
3. Teori Perkembangan Psikoanalitk Dalam Aplikasi Pembelajan….21
D. Teori Moral……………………………………………………………….23
1. Pengertian Teori Moral……………………………………………...23
2. Tahap Perkembangan Teori Moral………………………………....23
3. Teori Perkembangan Moral Dalam Aplikasi Pembelajaran……...26
E. Teori Behavior…………………………………………………………....29
1. Pengertian Teori Behavior………………………………………..….29
2. Tahap Perkembangan Teori Behavior……………………………...29

ii
3. Teori Perkembangan Behavior Dalam Aplikasi Pembelajaran.......31

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………….33
B. Saran……………………………………………………………………...33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bimbingan dan Konseling adalah dua hal yang tidak asing di telinga anak
sekolah menengah saat ini. Di sekolah menegah ,Bimbingan dan Konseling biasa
disingkat dengan BK. Dimana ketika mendengar kata BK ,sangat identik dengan
aturan,hukuman,benar dan salah dalam berperilaku di sekolah menengah. Bimbingan
dan Konseling adalah dua hal yang berbeda bila dilihat dari susunan kata-kata,tetapi
dari segi fungsi dan tujuan ,bimbingan dan Konseling adalah hal yang saling
berkaitan satu sama lain
Bimbingan dan Konseling telah banyak berubah fungsinya, mengapa kami
dapat menyatakan demikian? Karena banyak anak-anak sekolah menengah yang
mengeluk mengenai guru BK. Banyak dari mereka yang menganggap bahwa guru
BK adalah seorang “Polisi” di sekolah. Hal itu dikarenakan teguran-teguran dan
panggilan-panggilan yang dilakukan oleh pegawai Bimbingan dan Konseling
terhadap anak-anak tersebut mengenai kesalahan yang telah mereka perbuat di
sekolah.
Karena itu, pada kesempatan yang sangat baik ini,kami ingin memaparkan
kembali pemahaman mengenai hakekat adanya Bimbingan dan Konseling, Fungsi
nya ,dan masih banyak lagi hal yang perlu dijelaskan pada hakekatnya. Apabila
pembaca berniat untuk memahami hakekat dari BK di sekolah, baca lah makalah ini
hingga tuntas dan masuk ke dalam pikiran bawah sadar anda
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional maka dirumuskan tujuan pendidikan dasar
yakni memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan
kehidupannyasebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan
anggota umat manusia. Dengan bimbingan konseling yang merupakan
salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan sebagai suatu
sistem. Yaitu proses pendidikan adalah proses interaksi antara masukan alat
dan masukan mentah. Masukan mentah adalah peserta didik, sedangkan
masukan alat adalah tujuan pendidikan, kerangka, tujuan dan materi kurikulum,
fasilitas danmedia pendidikan, system administrasi dan supervisi pendidikan, sistem
penyampaian, tenaga pengajar, sistem evaluasi serta bimbingan konseling.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan manusia menurut teori kognitif?
2. Bagaimana perkembangan manusia menurut teori psikososial?
3. Bagaimana perkembangan manusia menurut teori psikoanalitik?
3. Bagaimaan perkembangan manusia menurut teori moral?
4. Bagaimana perkembangan manusia menurut teori behavior?

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perkembangan manusia menurut teori kognitif.
2. Untuk mengetahui perkembangan manusia menurut teori psikososial.
3. Untuk mengetahui perkembangan manusia menurut teori psikoanalitik.
3. Untuk mengetahui perkembangan manusia menurut teori moral.
4. Untuk mengetahui perkembangan manusia menurut teori behavior.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Kognitif
Teori kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang
hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam
lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan
konsep kecerdasan, yang bagi Piaget berarti kemampuan untuk secara lebih tepat

2
merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep
yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya
schemata (skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya)
dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru
dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam
konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan
perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan
bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita
melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk
pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize.
1. Pengertian Kognitif
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum
kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan : pengetahuan
(knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa
(analysis), sintesa (sinthesis), dan evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan
yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional(akal).
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk
mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh
sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan
pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara kemampuan
merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek
tenaga pendidik misalnya, seorang guru diharuskan memiliki kompetensi bidang
kognitif. Artinya seorang guru harus memiliki kemampuan intelektual, seperti
penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan
cara menilai siswa dan sebagainya.

3
2. Tahap perkembangan kognitif
Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang
saling berhubungan, yaitu:
a) Organisasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan
pengetahuan kedalam sistem-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah sistem
pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang
semakin akurat. Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan mampu untuk
menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha mengkombinasikan
dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek
yang dilihatnya.
Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat
struktur kognitif menjadi semakin komplek. Struktur-struktur kognitif disebut
skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang digunakan seseorang untuk
memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu. Contoh: gerakan
reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan bibir yang
menimbulkan gerakan menarik.

b) Adaptasi
Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan
dengan 3 langkah, yaitu:
1) Asimilasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada
peleburan informasi baru kedalam struktur kognitif yang sudah ada.
Seorang individu dikatakan melakukan proses adaptasi melalui

4
asimilasi, jika individu tersebut menggabungkan informasi baru yang
dia terima ke dalam pengetahuan mereka yang telah ada.
Contoh asimilasi kognitif : seorang anak yang diperlihatkan segi tiga
sama sisi, kemudian setelah itu diperlihatkan segitiga yang lain yaitu
siku-siku. Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga sikusiku
yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
2) Akomodasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada
perubahan yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka
menampung informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini,
struktur kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami
perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari objeknya.
Contoh : anak bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang
diperlihatkan kedua.
3) Ekuilibrasi
Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk mencari
keseimbangan pada elemen-elemen kognisi. Ekuilibrasi diartikan
sebagai kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu
mempertahankan keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya. Agar terjadi ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan,
maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu,
bersama-sama dan komplementer.
Contoh : bayi yang biasanya mendapat susu dari payudara ibu ataupun
botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup (untuk latihan minum
dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air gelas

5
membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari yang biasa
dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka si bayi akan
mengakomodasi hal itu dengan akomodasi skema lama. Dengan
melakukan hal itu, maka si bayi telah melakukan adaptasi terhadap
skema menghisap yang ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan
demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk menghasilkan
ekuilibrium dan pertumbuhan.

6
3. Teori Perkembangan Kognitif Dalam Aplikasi Pembelajaran
Dalam hail ini, peran seorang pendidik sangatlah vital. Beberapa
implementasi yang harus diketahui dan diterapkan adalah sebagai berikut:
a) Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekadar
pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus
memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban
tersebut.
b) Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali
dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam pembelajaran. Dalam
kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan,
dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui
interaksi spontan dengan lingkungan.
c) Tidak menekankan pada praktek-praktek yang diarahkan untuk
menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
d) Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan
perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak
berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka
memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

7
B. Teori Psikososial
1. Pengertian Teori Psikososial

Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial
Erikson adalah perkembangan persamaan Ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar
yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego
selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi dari yang kita dapatkan dalam
berinteraksi dengan orang lain.

2. Tahap Perkembangan Psikososial

1.) Tahap Kepercayaan dan Ketidakpercayaan (Trust vs Mistrust)


Tahap ini berlangsung pada masa kira kira terjadi pada umur 0 – 18 bulan
(Bayi). Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya
suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan
pada bayi terpuaskan. Misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan
dengan tepat waktu. Oleh sebab itu peran ibu sangat penting dan dibutuhkan.

a) Indikator Positif :
Pada tahap ini bayi belajar untuk mempercayai orang lain. Pemenuhan kepuasan dari
pengasuh (orang tua) tentang kebutuhan.
Contoh : Pengasuh (orang tua) memberi makan pada bayinya
b) Indikator Negatif :
Jika kebutuhan tidak terpenuhi, maka bayi merasa tidak percaya,takut, dan curiga di
tandai dengan eliminasi buruk, tidur.

8
2.) Tahap Otonomi dan Perasaan Malu dan Ragu-ragu (Otonomy vs Shame and
Duobt)
Pada tahap kedua atau masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 18 bulan sampai 3 tahun (Toodler). Pada masa ini, kemandirian
diperlukan untuk memperkecil perasaan malu dan ragu – ragu. Apabila dalam
menjalin suatu hubungan antara anak dan orang tuanya terhadap suatu sikap atau
tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian, namun sebaliknya,
jika orang tua salah dalam mengasuh anaknya ketika bersikap salah maka anak dalam
perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu – ragu.

a) Indikator Positif :
Pada tahap ini anak mulai mengembangkan kemandirian pada saat peningkatan
kontrol fungsi tubuh terhadap kegiatan.
Contoh : Membuka dan memakai baju sendiri, pemilihan makanan, dan mainan yang
disukai
b) Indikator Negatif :
Jika anak di buat merasa buruk saat melakukan kesalahan, anak akan menjadi malu,
kurang kemauan, dan ketidakpatuhan, serta jika anak tidak berhasil melakukanya
akan merasa tidak cukup dan ragu – ragu terhadap diri sendiri.
3.) Tahap Prakarsa dan Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt)
Tahap ketiga adalah tahap bermain. Tahap ini pada saat periode tertentu saat
anak menginjak usia 3 – 5 tahun (Prasekolah) dan tugas yang harus diemban seorang
anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan ( Inisiatif ) tanpa banyak terlalu
melakukan kesalahan. Masa – masa bermain merupakan masa dimana seorang anak
ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar serta mempelajari
kemampuan – kemampuan baru juga rasa memiliki tujuan.

9
a) Indikator Positif :
Pada tahap ini anak mengembangkan inisiatif pada saat merencanakan dan mencoba
hal – hal baru seperti berimajinatif. Mampu menunjukkan kekuatan dan kontrolnya
akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Jika berhasil,
merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa
tanggung jawab dan prakarsa.

Contoh : Berimajinasi (menghayal) jika benar nanti ingin menjadi seorang presiden

b) Indikator Negatif :
Anak merasa kurang percaya diri,pesimis, takut membuat kesalahan, perasaan
bersalah,perasaan ragu – ragu, dan kurang inisiatif. Kendali dan pembatasan aktivitas
diri berlebihan.

4.) Tahap Kerajinan dan Rasa Redah Diri (Industry vs Inferiority)


Tahap ke empat adalah tahap leten yang terjadi pada usia dasar antara umur 6 –
12 tahun (Sekolah) tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini adalah
dengan mengambangkan kemampuan kerja keras dan menghindari perasaan rasa
rendah diri. Semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu
mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan
lain sebagainya.

a) Indikator Positif :
Pada tahap ini anak mulai untuk menciptakan mengembangkan sesuatu yang baru.
Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka yang didukung dan di arahkan oleh orang tua
dan guru membangun perasaan kompeten dan percaya dengan keterampilan yang
dimilikinya.
Contoh :
Berani bertanya pada guru tentang sesuatu yang baru menurutnya.

10
Indikator Negatif :
Anak yang sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua,guru, atau teman
sebaya akan merasa ragu akan kemampuanya untuk berhasil,merasa diri biasa – biasa
saja, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya, putus harapan.

5.) Tahap Identitas dan Kekacauan Identitas (Identity vs Identity Confusion)


Tahap kelima merupakan tahapan Adolsen ( remaja ), yang dimulai pada saat
masa puber dari usia 12 – 20 tahun, menurut Erikson masa ini merupakan masa yang
mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini seseorang dituntut harus
mencapai tingkat identitas ego. Dalam pengertiannya identitas pribadi berarti
mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat.
Lingkungan dalam tahap ini semakin luas, tidak hanya area keluarga atau sekolah,
namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.

a) Indikator Positif :
Sadar akan diri sendiri, bermaksud untuk mengaktualisasi kemampuan diri
Contoh :Seseorang anak (teman) baru yang ikut bergabung dengan teman yang lain
disekolah barunya. Seorang mahasiswa yang berprestasi mendapat beasiswa S2 di
luar negeri.

b) Indikator Negatif :
Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul
rasa tidak aman dan bingung terhaap diri dan masa depanya, tidak mampu membuat
keputusan sendiri, dan mungkin terdapat perilaku antisosial.

6.) Tahap Keintiman dan Isolasi (Intimacy vs Isolation)


Ketika tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu
akan memasuki jenjang berikutnya, yaitu pada masa dewasa awal yang berusia
sekitar 20 – 30 tahun (dewasa muda). Jenjang ini menurut Erikson adalah masa
dimana sseorang ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha

11
menghindari dari sikap menyendiri. Periode ini diperhatikan dengan adanya
hubungan spesial dengan orang lain, yaitu antara lawan jenis yang biasa disebut
pacaran.

a) Indikator Positif :
Memiliki hubungan yang intim dengan orang lain. Memiliki komitmen terhadap
pekerjaan dan hubungan.

Contoh : Memiliki hubungan yang intim dengan lawan jenis


b) Indikator Negatif :
Hubungan impersonal, menghidari komitmen dalam hubungan, karier atau gaya
hidup. Seseorang yang tidak bersedia atau tidak mampu untuk berbagi mengenai diri
sendiri akan merasa sendiri.

7.) Tahap Generativitas dan Stagnasi (Generativity vs Stagnation)


Pada tahap ini seseorang akan memasuki tahap mengabdikan diri guna
menjaga keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu ( Generativitas ) dengan tidak
berbuat apa – apa ( Stagnasi ) dan tahap ini dimuali dari usia 40 – 50 tahun (dewasa
tengah). Pada masa ini seseorang yang merasa harus bisa menyelesaikan masalah
masalah yang dihadapinya dengan tepat dan teratur.

a) Indikator Positif :
Generativitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang lain. Mereka
membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga. Mengekspresikan
kepedulian pada dunia di masa yang akan datang.

Contoh : Pada tahap ini seseorang sudah memiliki kematangan pemikiran dan mental
sehingga dalam penyaluran hasrat lebih fokus terhadap keluarga, karir bekerja dan
mampu mengkoordinasikan keluarga dan kerja dengan baik.

12
b) Indikator Negatif :
Stagnasi adalah perhatian yang berlebihan pada dirinya atau perilaku merusak tidak
anaknya dan masyarakat. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak
produktif dan tidak terlibat di dunia ini.

8.) Tahap Integritas dan Keputusasaan (Integrity vs Despair)


Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja. Yang diawali
dari usia 65 tahun sampai seseorang itu tutup usia. Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dilewati menurut pandangan sebagian orang, dikarenakan mereka sudah merasa
terasing dalam lingkungan kehidupannya, karena seseorang pada usia senja dianggap
tidak dapat berbuat apa – apa lagi atau tidak berguna lagi. Kesulitan tersebut dapat
diatasi jika di dalam diri orang tersebut bisa menerima hidup dan bisa berarti mau
juga menerima akhir dari hidup itu sendiri.

a) Indikator Positif :
Cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.penerimaan akan kematian
Contoh : Pada tahap ini seseorang akan melihat cerminan diri pada individu individu
lain.

b) Indikator Negatif :
Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hiupnya percuma dan
mengalami banyak penyesalan. Mereka kehilangan, memandang rendah orang lain.

3. Teori Perkembangan Psikososial Dalam Aplikasi Pembelajaran

Penerapan Teori Erikson dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Seorang anak


memasuki sekolah dasar pada usia ±6 tahun. Menurut teori Erikson, usia ini sudah
memasuki fase ke-IV, yaitu industry vs inferiority. Siswa yang masuk ke dalam suatu
sekolah memiliki latar belakang akademik dan sosial yang berbeda-beda. Agar
pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, hendaknya seorang guru harus
mengenali karakteristik peserta didiknya agar lebih mudah dalam mengembangkan

13
model pembelajaran yang akan digunakan dalam mengajar (Hanurawan, 2007). Pada
tahap ini, hendaknya guru dapat memotivasi siswanya agar dapat melalui fase ini
dengan baik, sehingga siswa tidak merasa rendah diri akan kelurangan yang
dimilikinya. Menurut teori Piaget, anak pada usia 7-11 tahun akan memasuki tahap
concrete operational stage, dimana anak menerapkan logika berpikir pada barang-
barang yang konkrit (Slavin, 2006). Pembelajaran karakter sangat tepat diterapkan
pada anak usia ini, sebab anak pada usia ini cenderung untuk meniru segala perbuatan
maupun perkataan yang dilihat maupun didengar yang dilakukan oleh orang-orang
yang berada di sekitarnya. Oleh sebab itu, hendaknya seorang guru mampu
memberikan contoh yang baik kepada anak usia ini dengan berperilaku dan bertutur
kata yang sopan. Pembelajaran karakter ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi
siswa untuk dapat melewati fase-fase perkembangan psikososial selanjutnya dengan
baik.

C. Teori Psikoanalitik
1. Pengertian Teori Psikoanalitik
Psikoanalitik adalah cabang ilmu yang dikembangan oleh Sigmund Freud dan
para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Aliran
psikoanalitik terdiri dari dua variasi yakni personal dan interpersonal, bagaimana
kepribadian mempengaruhi belajar dan perilaku. Aliran personal dari teori
psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud yang berpendapat bahwa orang bertindak
atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas dasar pikiran, perasaan, dan
kecenderungan yang disadari dan sebagaian tidak disadari.

Sigmund Freud mengemukakan tiga struktur spesifik kepribadian yaitu id, ego
dan superego. Ketiga struktur tersebut diyakininya terbentuk secara mendasar pada
usia tujuh tahun. Dalam prib adi manusia, ada yang disebut dengan id (naluri), ego
(saya/aku), dan superego (norma). Ketiga hal ini akan membantu manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Secara naluriah, manusia akan berusaha

14
bertahan hidup dengan cara apapun seperti yang disebut di atas, termasuk
mempertahankan diri tentang eksistensinya dalam lingkungan.

a) Id (Das Es)
Id merupakan kodrat makhluk. Id adalah naluri makhluk hidup dalam rangka
mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Bertahan hidup dalam arti yang
luas pada dasarnya merupakan segala aspek yang kita lihat di bumi ini. Id pada
manusia termasuk naluri untuk berkembang biak, mempertahankan diri dari
ancaman, naluri untuk bebas dari rasa lapar dan haus seperti halnya makhluk lain.
Id bagian jiwa paling liar, berpotensi jahat. Ada yang menafsirkan id sebagai
nafsu manusia yang mementingkan kebutuhan perut ke bawah. Di sisi lain, id
tidak mempertimbangkan akibat dari pemenuhan hasratnya. Intinya, id adalah
bagian jahat dari manusia yang beresiko merugikan orang lain dan diri sendiri. Id
akan didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk mendapatkan kepuasan
segera dari semua keinginan dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, maka hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan.
Contoh mudahnya adalah bila seorang bayi menangis karena lapar atau pun
haus maka ia akan mengkomunikasikan hal tersebut kepada ibunya dengan cara
menangis. Karena dengan adanya peningkatan rasa lapar atau haus yang dirasakan
bayi atau anak maka ia harus menghasilkan upaya segera untuk mendapatkan
makan atau minum. Id ini sangat penting pada masa awal hidup, karena itu
pastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi dengan baik.
Id pada manusia menghasilkan kecenderungan untuk agresif dan terfokus
pada pemenuhan kebutuhan jasmani. Id seluruhnya berada pada alam bawah
sadar. Id sering ditafsirkan sebagai instink seperti pada hewan. Namun instink
berbeda dengan id. Oleh Freud, id disebut sebagai Triebe atau dalam arti
literalnya drive (dorongan). Dorongan inilah yang menurut Freud mengendalikan
dan menentukan kemampuan, kualitas, dan kapasitas seseorang. Kalau id

15
seseorang itu tinggi, maka kualitas orang tersebut secara keseluruhan dengan
sendirinya akan tinggi. Usaha yang dilakukan oleh orang dengan Id yang tinggi
lebih baik jika dibandingkan dengan usaha yang dilakukan oleh orang yang id-nya
rendah. Karena orang dengan id tinggi berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidup dalam arti luas dengan lebih baik. Begitu hebatnya id ini menurut Freud
sampai-sampai Freud berkata “Man is what his sex is; Kulitas Laki-laki itu
tergantung dari nafsu birahinya”.
b) Ego (Das Ich)
Ego sebenarnya tidak jauh berbeda dengan id. Ego juga ditafsirkan sebagai
nafsu untuk memenuhi nafsu. Hanya saja telah ada kontrol dari manusia itu
sendiri. Sudah ada pertimbangan, dan telah memikirkan akibat dari yang telah
dilakukannya. Tepatnya, ego adalah pengontrol id. Contoh nyata dari ego adalah
peraturan. Semua rule yang dibuat adalah untuk mencegah manusia menjadi liar
dan tak terkontrol.
Ego merupakan inti dari kesatuan manusia, dan bila terjadi ancaman terhadap
ego hal ini merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia. Sehingga kegagalan/
kekecewaan terhadap pencapaian hal tersebut, atau terusiknya ego manusia, salah
satunya diungkapkan dengan marah.
Selain sebagai bentuk ekspresi emosi, marah juga merupakan satu bentuk
komunikasi. Adakalanya orang lain baru mengerti maksud yang ingin kita
sampaikan ketika kita marah. Tanpa marah, orang lain malah menganggap kita
main-main atau tidak serius. Dalam hal ini, tentunya juga berkaitan dengan
masalah budaya. Dalam budaya masyarakat tertentu, suatu bentuk ekspresi
seseorang akan dianggap sebagai bentuk ekspresi marah sedangkan dalam budaya
masyarakat lain dianggap biasa-biasa saja, salah satu contoh konkretnya adalah
logat bahasa. Contoh lain: dalam pertandingan sepak bola tidak jarang kita lihat
ada pemain yang bersitegang, terutama apabila terjadi pelanggaran. Ketika

16
bersitegang, sikap yang ditunjukkan para pemain Eropa akan berbeda dengan
sikap yang diperlihatkan para pemain Indonesia. Dalam kebanyakan pertandingan
Liga Eropa yang kita saksikan di televisi, apabila pemain saling bersitegang,
mereka beradu mulut dan bahkan saling berhadapan. Mata melotot dan urat-urat
leher pun tampak menjadi tegang. Namun, setelah melampiaskan kekesalan dan
amarah masing-masing, mereka pun bisa segera melanjutkan pertandingan dengan
baik. Adapun di Indonesia, tak jarang kita menyaksikan bersitegang antara dua
pemain, namun merembet pada pemain lain sehingga menyebabkan perkelahian
massal antarpemain.
Prinsip kepribadian jenis ego ini adalah seputar mengenai hal yang
berhubungan dengan realitas serta kenyataan yang ada. Ego ini juga dimulai serta
dibawa sejaklahir, tetapi berkembang bersamaan dengan hubungan individu
dengan lingkungan sekitarnya. Untuk bisa bertahan dalam suatu kehidupan, maka
individu tersebut tidak bisa hanya semata-mata bertindak sekadar mengikuti
impuls-impuls atau dorongan-dorongan, individu harus belajar menghadapi
realitas yang ada. Dan ini lebih kompleks dari sekedar id saja. Contoh mudahnya
adalah bila seorang anak merasakan lapar maka ia akan berusaha untuk
mendapatkan makanan untuk mengatasi rasa laparnya. Hanya saja sekarang ia
akan berusaha melihat kenyataan bagaimana cara mendapatkan makanan dengan
baik tanpa ada yang merasa disalahkan atau pun ia salah dalam melakukan
tindakan mendapatkan makanan karena didorong oleh rasa laparnya tersebut.
Menurut Freud, ego adalah struktur kepribadian yang berurusan dengan
tuntutan realita, yang berisi penalaran dan pemahaman yang tepat. Ego berusaha
menahan tindakan sampai dia memiliki kesempatan untuk memahami realitas
secara akurat, memahami apa yang sudah terjadi di dalam situasi yang berupa di
masalalu, dan membuat rencana yang realistik di masa depan. Tujuan ego adalah
menemukan cara yang realistis dalam rangka memuaskan id. Fungsi ego ini juga

17
berguna untuk menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh id
berdasarkan kenyataan yang ada.
c) Super Ego (Das Uber Ich)
Superego atau yang lebih sering disebut dengan “hati nurani”. Pembentukan
dan perkembangan superego sangat ditentukan oleh pengarahan atau bimbingan
lingkungan sejak usia dini. Bila seseorang di asuh dalam lingkungan yang serba
cuek dan mau menang sendiri, bisa dipastikan, superego atau nuraninya tumpul.
Dorongan dari id, menjadi tidak dapat diterima oleh seseorang bukan saja
ketika ego-nya mengantisipasi ketidak mungkinan sementara karena kondisi dan
keadaan, tapi juga secara lebih permanen. Hal itu disebabkan karena sistem ketiga
dari pikiran manusia yang disebut superego. Superego merupakan pengendali dari
ego dan id yang bukan berasal dari dalam diri tetapi dari penyerapan standar
aturan dan pranata dari pendidikan orangtua.
Superego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan dengan etika,
standar moral dan aturan. Superego berkembang selama 5 tahun pertama
kehidupan sebagai respon dari pendidikan orang tua. Perkembangan superego
menyerap tradisi dari keluarga dan lingkungan sekitar. Superego berfungsi
sebagai pengendali perilaku atau penyaring rangsangan sosial yang tidak
memenuhi standar perilaku.
Dalam bahasa sederhana, superego sering diterjemahkan sebagai conscience
atau suara hati. Pelanggaran terhadap suara hati atau standar superego
menghasilkan perasaan bersalah, kegelisahan dan rasa khawatir. Superego terus
berkembang seiring dengan pertumbuhan dan pengetahuan pribadi seseorang
dimana ia menemukan sosok, sistem aturan atau pikiran-pikiran yang
diketahuinya dari pergaulan dalam masyarakat yang lebih luas.
Superego atau pun aspek sosiologis adalah merupakan sistem kepribadian
yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut

18
hal yang berhubungan dengan baik-buruk). Superego lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu superego dapat dianggap sebagai
aspek moral daripada kepribadian itu sendiri. Juga merupakan aspek kepribadian
yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita
peroleh dari kedua orangtua serta masyarakat. Superego memberikan pedoman
untuk membuat sebuah penilaian.
Fungsi manfaat superego adalah sebagai pengendali dorongan-dorongan atau
impuls-impuls naluri id agar impuls-impuls teresbut disalurkan dengan cara atau
bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat. Mengarahkan ego pada tujuan-
tujuan yang sesuai dengan moral daripada dengan kenyataan. Mendorong individu
kepada kesempurnaan.
Bersama-sama dengan ego, superego mengatur dan mengarahkan tingkah
laku manusia yang bermaksud untuk memuaskan dorongan-dorongan dari id,
yaitu melalui aturan-aturan dalam masyarakat, agama, atau keyakinan-keyakinan
tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk. Freud berpendapat manusia
sebagai suatu sistem yang kompleks memakai energi untuk berbagai tujuan seperti
halnya bernafas, bergerak, mengamati, dan mengingat. Kegiatan psikologi juga
membutuhkan energi, yang disebutnya energi psikis yaitu energi yang ditransform
dari energi fisik melalui id beserta instink-instinknya. Ini sesuai dengan kaidah
fisika, bahwasannya energi tidak dapat hilang, tetapi dapat pindah dan berubah
bentuk.
2. Tahap Perkembangan Psikoanalitik
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang
sangat teliti dari proses perkembangan psikososial mulai dari lahir sampai dewasa.
Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan
dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan
sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

19
Berikut 5 tahapan perkembangan menurut Sigmund Freud :
a) Tahap Oral (Oral Stage)
Ialah tahapan pertama kepribadian Freud, yang berlangsung selama 18 bulan
pertama kehidupan. Kenikmatan seorang bayi berpusat di sekitar mulut.
contohnya mengunyah, menghisap, dan menggigit adalah sumber utama
kenikmatan. Tindakan-tindakan ini mengurangi tekanan dan ketegangan pada
bayi.
b) Tahap Anal (Anal Stage)
Ialah tahapan kedua kepribadian Freud, yang berlangsung antara usia 1,5
samai 3 tahun, dalam kenikmatan terbesar anak meliputi lubang anus atau fungsi
pengeluaran atau pembersihan. Dalam sudut pandang Freud latihan otot - otot
lubang dubur mengurangi tekanan atau ketegangan.
c) Tahap Falik (Phallic Stage)
Ialah tahapan ketiga kepribadian Freud, yang berlangsung antara usia 3
sampai 6 tahun, phallic berasal dari kata Latin Phallus yang berarti alat kelamin
laki - laki (penis). Selama tahap Phallic kenikmatan berfokus pada alat kelamin,
karena anak menemukan bahwa manipulasi diri (self manipulation) dapat
memberi kenikmatan tersendiri.
d) Tahap Latensi (Laten Stage)
Ialah tahap keempat kepribadian Freud yang berlangsung antara kira - kira
usia 6 tahun dan masa pubertas, anak menekan semua minat terhadap seks dan
mengembangkan keterampilan sosial dan intelektual. Kegiatan ini menyalurkan
sebagian terbesar energi anak ke hal yang secara emosional “aman”, dan
membantu anak melupakan konflik pada tahap phallic yang sangat menekan.
e) Tahap Genital (Genital Stage)
Ialah tahapan kelima kepribadian Freud yang berlangsung dari masa pubertas
dan seterusnya. Tahap kemaluan atau genital ialah suatu masa kebangkitan

20
kembali dorongan seksual, sumber kesenangan seksual sekarang adalah orang
yang berada diluar keluarga. Freud yakin bahwa konflik yang terjadi yang mungkin
tidak dapat teratasi dengan orangtua terjadi kembali selama masa remaja atau
pubertas. Bila teratasi dengan baik, individu mampu mengembangkan suatu
hubungan cinta yang dewasa dan berfungsi secara mandiri sebagai seorang yang
dewasa.
3. Teori Perkembangan Psikososial Dalam Aplikasi Pembelajaran
Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka
ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu:
Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan
dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan
melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-
keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus
selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli,
sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi
bimbingan itu sendiri.
Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan
sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya
mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan
merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan
kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu
mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami
dan bertindak sesuai dengan norma agama, social dalam masyarakatnya.
Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil)
terhadap perjalanan manusia.Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun
dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak
dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pembinaan akhlak individual,

21
Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya
agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-
norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang
dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan
yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.
Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat
digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep
ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan
tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki
karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itukonselor yang melakukan bimbingan
haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya
menjadi efektif.
Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses
bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-
impuls dorongan id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.

22
D. Teori Moral
1. Pengertian Teori Moral
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral
didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam
Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar
hasil temuan Piaget. Perkembangan moral merupakan proses perkembangan
kepribadian siswa selaku anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain,
sebab prilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam
bertingkahlaku social.

2. Tahap Perkembangan Teori Moral

Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg


terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap
diantaranya sebagai berikut :

A. Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional (Preconventional Morality). adalah :


tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat
ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi ( penghayatan/proses) nilai-nilai moral-
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan
kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan
mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.

1. Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan (Punishment and obedience orientation).


pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman, Tahap ini disebut
juga moralitas heteronomi. suatu orientasi pada hukuman dan kepatuhan. Penentuan
benar atau salah didasarkan pada konsekuensi ragawi suatu tindakan. Penalaran pada
tahap ini sangat egosentrik, penalar tidak dapat mempertimbangkan perspektif orang
lain contohnya anak tidak nakal karena orang dewasa menuntut mereka untuk tidak
nakal.

23
2. Tahap II. tujuan instrumental, individualisme dan pertukaran (kebutuhan dan
keinginan (Individualism, instrumental purpose, and exchange)
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan
sendiri. Kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain merupakan pertimbangan utama
penalaran pada tingkat ini.
Contohnya: Anak-anak jujur bila mereka ingin jujur dan bila yang paling baik untuk
kepentingan terbaik adalah jujur. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan
apa yang dianggap menghasilkan hadiah.
B. Tingkat Dua : Moralitas Konvensional (Conventional Morality)
Adalah : suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut
menaati standar-standar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-
standar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
1.Tahap III. Tahap harapan, hubungan dan penyesuaian antarpribadi (Mutual
interpersonal expectation, relationship, and interpersonal conformity)
Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada
orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Mengerjakan sesuatu
yang benar pada tahap ini berarti memenuhi harapan orang-orang lain, loyal terhadap
kelompok, dan dapat dipercaya dalam kelompok tersebut. Perhatian terhadap
kesejahteraan orang lain dianggap hal yang penting.
contoh: Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.
2. Tahap IV. sistem sosial dan hati nurani (Social system and conscience (law and
Order)
Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman aturan sosial,
hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban. Mengerjakan sesuatu yang benar pada tahap
ini berarti mengerjakan tugas kemasyarakatan dan mendukung aturan sosial yang ada.
Tanggung jawab dan komitmen seseorang haruslah menjaga aturan sosial dan
menghormati diri sendiri

24
C. Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional (Postconventional Morality or
Principled)
Adalah : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar
diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang
mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan
kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
1.Tahap V. Hak-hak masyarakat vs hak-hak individual (Social contract or utility and
individual right)
Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat
berbeda dari satu orang ke orang lain. Yang dianggap benar menurut tahap ini adalah
yang mendukung hak-hak dan nilai-nilai dasar, serta saling menyetujui kontrak sosial.
Orientasi penalaran tahap ini adalah pada upaya memaksimalkan kesejahteraan
masyarakat dan menghargai kemauan golongan mayoritas, di samping menjaga hak-
hak golongan minoritas. Apabila undang-undang dan aturan yang ada dianggap tidak
sesuai, misalnya bertentangan dengan hak-hak kemanusiaan, maka penalar pada tahap
kelima ini dapat melakukan kritik dan mengusahakan perubahan dan mempelajari
cara mengatasinya.
Tahap kelima ini memiliki sifat utilitarianism rational, yakni suatu keyakinan bahwa
tugas dan kewajiban harus didasarkan pada tercapainya kebahagiaan bagi sebagian
besar manusia.
2. Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal (Universal ethical principles)
Yaitu : Pada tahap ini yang dianggap benar adalah bertindak sesuai dengan prinsip-
prinsip pilihan sendiri yang sesuai bagi semua manusia. Prinsip-prinsip diterima oleh
orang yang berada pada tahap ini bukan disebabkan oleh persetujuan sosial, tetapi
prinsip-prinsip tersebut berasal dari ide dasar keadilan, yaitu persamaan
hak-hak kemanusiaan dan penghargaan terhadap martabat manusia.seseorang telah
mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia

25
universal. Dalam artian bila seseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan
suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam
ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia
sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja
cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada
pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg
dalam psikologi umum.
3. Teori Perkembangan Moral Dalam Aplikasi Pembelajaran
Sebagai sebuah tolok ukur perbuatan manusia, perlu diupayakan pembelajaran
moral. Pembelajaran moral selain dapat didekati dari aspek kognitif (penalaran
moral), dapat juga dikaji dari aspek afektif (perasaan moral), sehingga dapat
mendorong terjadinya tindakan atau perilaku moral. Pembelajaran moral didekati dari
aspek kognitif sebagai unsur pemahaman moral atau penalaran moral, yaitu untuk
mempertimbangkan, menilai dan memutuskan suatu perbuatan, seperti baik atau
buruk, etis atau tidak etis, benar atau salah berdasarkan prinsip-prinsip moral.

Pembelajaran moral dikaji dari aspek afektif sebagai unsur perasaan moral,
agar memiliki kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain, serta
menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, serta memiliki kemempuan untuk
menyelesaikan pertentangan peran yang berkaitan dengan nilai-nilai moral seperti
keadilan, persamaan, keseimbangan dan lain-lain. Penekanan aspek moral ini bukan
hanya terbatas pada pengetahuan tentang moral, tetapi lebih kepada aksi moral, yaitu
moral dijadikan sebagai perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

26
E. Teori Behavior
1. Pengertian Teori Behavior
Teori behaviori adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman . Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam
pembelajaran.
2. Tahap Perkembangan Teori Behavior
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku.
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Namun teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar
hubungan stimulus dan respon, teori ini juga tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

27
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan
teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa
yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman
memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan
mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa
si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah
dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain
yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih
percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negative tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang
sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon
yang sama menjadi semakin kuat.

28
3. Teori Perkembangan Behavior Dalam Aplikasi Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna
yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau
guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran,
pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan
penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum
yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

29
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur
rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah, demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku
sesuai dengan aturan, sehingga control belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada diluar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil
belajar.

30
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Teori perkembangan adalah teori yang memfokuskan kepada perubahan-
perubahan dan perkembangan struktur jasmani (biologis), perilaku dan fungsi mental
manusia dalam berbagai tahap kehidupannya, mulai dari konsepsi hingga menjelang
kematian. Teori perkembangan sangat mempengaruhi perkembangan diri seorang
individu, kalau baik perkembangan baiklah individu tersebut.
Teori perkembangan meliputi :
1. Teori Kognitif
2. Teori Psikososial
3. Teori Psikoanalitik
4. Teori Moral
5. Teori Behavior

B. SARAN
Kami selaku penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun,
untuk menyempurnakan makalah ini.

31
Daftar Pustaka

1. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_perkembangan_kognitif
2. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Erik_Erikson
3. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Psikoanalisis
4. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
5. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik
6. www.google.com

32

Anda mungkin juga menyukai