105 464 1 PB Dikonversi
105 464 1 PB Dikonversi
(Susiati)
TOTOBUANG
Volume 6 Nomor 2, Desember 2018 Halaman 297— 311
Susiati
Universitas Iqra Buru
JL. Universitas, Namlea, Kabupaten Buru, Maluku
Pos-el: kaledupa123@gmail.com
(Diterima: 12 November 2018; Direvisi: 14 Desember 2018; Disetujui: 19 Desember 2018)
Abstract
This study aims to describe cultural values of the Bajo Sampela Ethnic Group in The Mirror Never Lies
film by Kamila Andini. This research is a qualitative research. Data is collected using the audio visual method,
namely by seing and hearing an object from the pictures and sound. While, the data collection technique used
the tecnique to see and note. The data were analyzed descriptively according to the theory of classification of
cultural values by Koentjaraningrat. The results of the study indicate that cultural values of the Bajo Sampela
Ethnic Group in The Mirror Never Liesfilm by Kamila Andini covering: (1) system of belief, the SBS community
still trusted the sandro (the shaman); (2) system of knowledge, covering knowledge of nature, plants, animals,
the nature and behavior of fellow humans, space and time; (3) system of technology, including production
equipment, containers/places, weapons, food and beverages, clothing, shelter or houses, transportation
equipment; (4) system of society, SBS is very upholding togetherness, helping each other, and entertaining each
other; (5) system of livelihood, SBS cultivates seaweed (gelatin), fishes and sells it within SBS community or in
the market; (6) language, Bajo and Bahasa Indonesia are used among the SBS community; (7) art, SBS has
sound and dance arts.
Keywords: culture value, film, bajo sampela ethnic group
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya Suku Bajo Sampela (SBS) dalam film
The Mirror Never Lies karya Kamila Andini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan
dengan menggunakan metode audio visual, yakni dengan melihat dan mendengar suatu objek dari gambar dan
suara. Sementara itu, teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak dan catat. Data dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan teori penggolongan nilai kebudayaan Koentjaraningrat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai-nilai budaya suku Bajo Sampela dalam film The Mirror Never Lies karya Kamila Andini meliputi
(1) sistem kepercayaan, masyarakat SBS masih mempercayai sandro (dukun); (2) sistem pengetahuan, meliputi
pengetahuan tentang alam, tumbuhan, binatang, sifat dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu; (3)
sistem teknologi, meliputi alat-alat produksi, wadah/tempat, senjata, makanan dan minuman, pakaian dan
perhiasan, tempat berlindung atau rumah, dan alat transportasi. (4) sistem kemasyarakatan, SBS sangat
menjunjung kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling menghibur. (5) sistem mata pencaharian, SBS
membudidaya rumput laut (agar-agar), mencari ikan, dan menjualnya di lingkungan SBS atau di pasar; (6)
bahasa, SBS saat berinteraksi menggunakan bahasa Bajo dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, SBS mempunyai
seni suara dan tarian.
Kata-kata Kunci: nilai budaya, film, suku Bajo Sampela
1
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
kebudayaan dan masyarakat sangat erat
kaitannya. Masyarakat adalah tempat keselarasan juga berlaku, bahwa suku Bajo
tumbuhnya budaya sedangkan budaya itu Sampela tidak menyukai konflik dan
sendiri sesuatu yang ada dalam masyarakat. tertutup. Hal ini dipertegas oleh Suyuti
Dengan kata lain, budaya ada karena ada (1995) yang menyatakan bahwa peluang
masyarakat sebagai tempat tumbuh dan bagi suku Bajo melakukan penolakan cukup
berkembangnya. tinggi akibat karakter budaya kelompoknya
Sastra tidak lahir dalam situasi yang tertutup yang senantiasa memiliki
kekosongan budaya tetapi muncul pada tempat terisolasi (segregatif) dan memiliki
masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat falsafah menghindari konflik. Selain hal
istiadat, konvensi, keyakinan, pandangan tersebut, suku Bajo tidak mudah percaya
hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan kepada orang asing (pendatang baru/tamu),
tentang astetika, dan lain sebagainya. Sastra terlihat dari sikap suku Bajo yag membagi
dapat dipandang sebagai bagian integral dari penempatan orang ke dalam dua kelompok,
kehidupan sosial budaya masyarakat yang yaitu sama’ dan bagai. Sama’ adalah
melahirkannya. Selain itu, bahwa sastra sebutan bagi mereka yang masih termasuk
muncul karena masyarakat menginginkan ke dalam suku Bajo. Bagai adalah sebuatan
legitimasi kehidupan sosial budayanya, bagi mereka yang berasal dari luar suku
tepatnya legitimasi eksistensi kehidupannya. Bajo.
Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan Kondisi di atas berpengaruh pada
kebudayaan memiliki objek yang sama, posisi/keberadaan masyarakat suku Bajo
yakni manusia dalam masyarakat, manusia khususnya suku Bajo Sampela yang ada di
sebagai fakta sosial, manusia sebagai Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi
makhluk kultural. yang berada pada lapisan terbawa sistem
Kebudayaan, khususnya kebudayaan sosial. Hal ini diungkapkan pula oleh Wianti
suku Bajo Sampela adalah pancaran atau (2011) bahwa tekanan-tekanan yang dialami
pengejewantahan budi manusia suku Bajo oleh masyarakat suku Bajo Mantigola dan
yang merangkum kemauan, cita-cita, ide, Bajo Sampela yang dilakukan oleh orang-
maupun semangat dalam mencapai orang Kaledupa dalam bentuk intimidasi dan
kesejahteraan, keselamatan, dan perlakuan yang diskriminatif, secara
kebahagiaan dalam hidup lahir dan batin. kontekstual terjadi karena posisi suku Bajo
Meneliti budaya suatu bangsa, maka akan di Pulau Kaledupa berada pada lapisan
kita temukan nilai-nilai inti yang mendasari bawah sehingga kondisi tersebut
seluruh bangunan budaya tersebut. menimbulkan etos tersendiri dan
Misalnya, budaya suku Bajo Sampela nilai menciptakan mentalitas suku Bajo yang
inti yang menjadi prinsip hidup suku Bajo cenderung penakut dan kurang berani
Sampela yang akan menjadi landasan mengambil resiko.
berpikir, bertindak, dan mengambil Suku Bajo adalah suku yang
keputusan. Nilai tersebut merupakan nilai bertempat tinggal di atas air, biasa disebut
keselarasan. Suku Bajo Sampela akan selalu rumah terapung. Suku ini banyak ditemui di
menjaga keselarasan dalam hubungannya Wakatobi. Wakatobi merupakan akronim
dengan alam maupun hubungannya dengan dari empat pulau, yakni pulau Wangiwangi,
sesama manusia. Dalam hubungannya Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Dahulu
dengan alam suku Bajo Sampela nama Wakatobi adalah Kepulauan Tukang
menjunjung tinggi kepeduliannya mereka Besi sekarang telah berubah nama menjadi
terhadap kesejahteraan alam khusunya yang Kabupaten Wakatobi (Susiati, 2017).
menyangkut dengan laut. Sementara, Sebagai bagian kegiatan budaya
hubungan dengan orang lain, prinsip yang bersifat intelektual, karya sastra
sungguh-sungguh menyikapi kehidupan.
2
Nilai Budaya Suku ….
Kebudayaan yang bertujuan meningkatkan
harkat kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan sesama, yakni menjalin
kebutuhan material duniawinya maupun keakraban dan kebersamaan baik antarsuku
kehidupan spiritual rohaninya Bajo Sampela maupun masyarakat di luar
mendatangkan ketidakpuasaan terhadap suku Bajo Sampela, dan persepsi waktu
kehidupan. Kehidupan selalu dilihat sebagai yang menjadi kepercayaan oleh masyarakat
masalah. Sastra selalu mengarah pada suku Bajo. Film The Mirror Never Lies
persoalan budaya semacam itu mencoba menjadi film terbaik di kawasan Asia
memahami kehidupan, melihat persoalan Pasifik setelah menang di ajang
kehidupan, memberi makna terhadap penghargaan International, 6th Asia Pacific
kehidupan, dan mencari dasar persoalan Screen Awards yang digelar di Brisbane
(Sumardjo, 1995). Australia, 23 November 2012.
Karya sastra khususnya film setiap Penilitian ini bertujuan untuk
pemunculannya mencerminkan suatu mendeskripsikan nilai budaya suku Bajo
keadaan masyarakat tertentu yang memuat Sampela dalam film The Mirror Never
pengalaman manusia secara menyeluruh Lieskarya Kamila Andini.
atau merupakan suatu terjemahan tentang
realita sosial, perjalanan hidup yang LANDASAN TEORI
bersentuhan dengan kehidupan manusia itu Sosiologi Sastra
sendiri. Film merupakan hasil dialog yang Dalam pandangan sosiologi sastra,
mengangkat dan mengungkapkan kembali karya sastra dilihat hubungannya dengan
berbagai permasalah hidup dan kehidupan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
manusia. Setelah melalui penginderaan dan mencerminkan kenyataan. Kenyataan yang
penghayatan secara intensif, selektif, dan dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
subjektif yang diolah dengan daya imajinatif berada di luar karya sastra dan yang diacu
dan kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk oleh karya sastra.
dunia perfilman sehingga terlihat Menurut Wolf (dalam Faruk, 2012),
penggambaran film tersebut mampu sosiologi sastra merupakan disiplin yang
memberikan kontribusi kepada penonton tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan
untuk mengungkapkan sisi lain kehidupan baik. Terdiri dari studi-studi empiris dan
manusia. berbagai percobaan pada teori yang agak
Kamila Andini adalah seorang lebih general, yang masing-masing hanya
sutradara yang sangat produktif. mempunyai kesamaan dalam hal bahwa
Kemampuannya di dunia perfilman telah semuanya berurusan dengan hubungan
memberikan kontribusi yang besar bagi sastra dengan masyarakat.
kemajuan perfilman yang berkualitas di Menurut Laurenson dan
Indonesia. Film The Mirror Never Lies Swingewood (dalam Endraswara, 2008),
karya Kamila Andini merupakan salah satu pada prinsipnya terdapat tiga perspektif
film yang menggambarkan realita kehidupan berkaitan dengan sosiologi sastra, yakni (1)
sosial budaya suku Bajo Sampela, film ini penelitian yang memandang karya sastra
sangat sarat dengan nilai budaya. Misalnya, sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
hakikat hidup yang dimiliki oleh seorang merupakan refleksi situasi pada masa sastra
perempuan dan anaknya yang ditinggal mati tersebut diciptakan; (2) penelitian yang
oleh suaminya saat pergi melaut; hakikat mengungkap sastra sebagai cermin situasi
kerja yang dimiliki oleh masyarakat suku sosial penulisanya, dan (3) penelitian yang
Bajo dominan melaut (sebagai nelayan), menangkap sastra sebagai manifestasi
hubungan masyarakat suku Bajo dengan peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
alam, yakni dengan menjaga ekosistem laut,
Budaya
29
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
Istilah budaya berasal dari bahasa
Inggris, yakni Culture, yang artinya budaya suku Bajo Sampela dalam film The
mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan Mirror Never Lies karya Kamila Andini.
mengembangkan, terutama mengolah tanah Berikut ini adalah penjelasan
dan bertani. Dari segi arti ini kebudayaan mengenai ciri-ciri kebudayaan:
sebagai segala daya dan aktivitas manusia a. Kebudayaan merupakan budaya sendiri
untuk mengolah dan mengubah alam. yang berada di daerah tersebut dan
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, dipelajari.
yaitu budidhaya, bentuk jamak dari buddhi b. Bisa disampaikan kepada setiap orang
yang berarti budi dan akal. Dalam bahasa dan setiap kelompok serta bisa
Latin makna ini sama dengan colere yang diwariskan dari setiap generasi.
berarti mengolah, mengerjakan, terutama c. Bersifat dinamis, artinya suatu sistem
menyangkut tanah. Konsep tersebut lambat yang dapat berubah sepanjang waktu
laun berkembang menjadi segala upaya serta atau mengikuti perkembangan jaman.
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan d. Bersifat selektif, artinya mencerminkan
mengubah alam (Wiranata, 2002). pola perilaku pengalaman manusia
Pengertian kebudayaan merupakan secara terbatas.
mekanisme kontrol bagi tingkah laku sosial e. Memiliki unsur budaya dan saling
anggota masyarakat pendukungnya, Geert berkaitan satu dengan yang lainnya.
(dalam Depdikbud, 2003). Sama halnya f. Etnosentrik, artinya menganggap
dengan yang dikemukakan oleh Spardley budaya sendiri sebagai budaya terbaik
(dalam Wiranata, 2002) bahwa kebudayaan atau menganggap budaya orang lain
adalah pengetahuan yang diperoleh dan sebagai budaya standar.
digunakan oleh manusia
menginterpretasikan pengalaman dan Nilai Budaya
menggerakkan kegiatan sosial. Dalam Nilai budaya merupakan tingkat
batasan itu kebudayaan boleh dikatakan yang paling abstrak dari adat, hidup berakar
sebagai pengetahuan manusia tentang etika dalam alam pikiran masyarakat dan sukar
dan aturan yang hanya mungkin diperoleh diganti dengan nilai budaya lain dalam
dalam kehidupan bermasyarakat. waktu singkat. Seperti yang diungkapkan
Koentjaraningrat (2005) mengatakan oleh Koentowidjoyo (2000) bahwa inti
bahwa unsur kebudayaan yang dianggap kebudayaan yang mempengaruhi dan
sebagai cultural universals, yaitu (1) religi menata elemen-elemen yang ada pada
dan sistem kepercayaan; (2) sistem struktur permukaan kehidupan manusia
pengetahuan; (3) sistem teknologi misalnya yang meliputi perilaku sebagai kesatuan
menyangkut cara-cara atau teknik gejala baik berupa perilaku seni, perilaku
memproduksi, memakai, serta memelihara spritual, perilaku ekonomi, perilaku politik,
segala peralatan dan perlengkapan; (4) dan perilaku lain dalam kehidupan dan
sistem kemasyarakatan misalnya sistem benda-benda sebagai kesatuan material.
kekerabatan, organisasi politik, sistem Sistem ini juga merupakan pedoman bagi
hukum, sistem perkawinan; (5) sistem mata sistem perilaku manusia dalam tingkat yang
pencaharian dan sistem ekonomi; (6) bahasa lebih konkret, seperti norma, aturan-aturan,
sebagai media komunikasi baik lisan dan hukum.
maupun tulisan; (7) kesenian mencakup seni Koentjaraningrat (dalam Prihatmi,
rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya. 2003) menyebutkan bahwa ada lima prinsip
Ketujuh unsur itulah yang dijadikan dasar orientasi budaya jawa, yakni
pula oleh peneliti untuk menggali nilai 1. Hakikat hidup
2. Hakikat karya dan etos kerja
3. Hakikat hubungan dengan alam
30
Nilai Budaya Suku ….
4. Hubungan dengan sesama
5. Persepsi tentang waktu Tahapan-tahapan dalam apresiasi film,
yakni:
Apresiasi Film a. Pemahaman
Apresiasi mempunyai arti Berkaitan dengan keterlibatan
pengamatan, penilaian, dan penghargaan emosional dan pikiran. Penonton memahami
ataupun pengenalan terhadap suatu karya masalah, ide, ataupun gagasan, serta
seni. Kata mengapresiasi mengandung merasakan perasaan-perasaan dan dapat
sejumlah pengertian yang tidak dapat membayangkan dunia rekaan yang ingin
dipisahkan satu sama lain. Dalam hubungan diciptakan.
dengan film, kata apresiasi mengandung 1. Apa yang ingin dikatakan film itu?
pengertian memahami, menikmati, dan 2. Adakah gagasan yang tersirat?
menghargai (Sumarno, 1996). 3. Emosi macam apa yang ditawarkan?
Nilai-nilai dalam apresiasi sastra 4. Kebudayaan macam apa yang
sebagai berikut: melahirkan film ini?
a. Nilai Hiburan
Nilai hiburan sebuah film sangat b. Penikmatan
penting. Jika sebuah film tidak mengikat Keadaan penonton yang dalam
perhatian kita dari awal hingga akhir, film memahami dan menghargai penguasaan
itu terancam gagal. Kita cepat menjadi pembuat film terhadap cara-cara penyajian
bosan. Akibatnya, kita tidak bisa pengalaman hingga dicapai tingkat
mengapresiasi unsur-unsurnya. Nilai penghayatan yang intens. Tidak seorang pun
hiburan sangat relatif, karena bergantung bisa menikmati karya film atau bahkan
dari selera penonton. Memang, nilai hiburan memahaminya, sampai seseorang mengerti
ada kalanya dianggap rendah. Itu terutama bahasanya. Oleh karena itu, unsur-unsur
sering ditujukan kepada film-film yang film harus diselami.
menawarkan mimpi-mimpi atau pelarian 1. Apakah film itu utuh?
dari kenyataan hidup sehari-hari. 2. Apakah semua unsur menyatu?
b. Nilai Pendidikan
Pendidikan yang dimaksud bukanlah c. Penghargaan
pendidikan formal di bangku sekolah. Nilai Tahap ketika penonton memasalahkan
pendidikan sebuah film lebih kepada pesan- dan menemukan hubungan pengalaman
pesan yang ingin disampaikan (nilai moral yang ia dapat dari karya film dengan
film). Setiap film umumnya mengandung pengalaman kehidupan nyata yang dihadapi.
nilai pendidikan, hanya perbedaan satu Pertemuan dengan jiwa atau roh film.
dengan lainnya adalah dalam pesan yang 1. Seberapa jauh kita mendapatkan suatu
ingin disampaikan. pengalaman batin?
c. Nilai Artistik 2. Seberapa jauh pandangan kita terhadap
Nilai artistik sebuah film dikatakan suatu aspek kehidupan lebih diperdalam?
berhasil apabila ditemukan pada seluruh METODE
unsurnya. Sebuah film memang sebaiknya Jenis penelitian dan Pendekatan
dinilai secara artistik, bukan secara rasional. Penelitian ini merupakan jenis
Sebab jika dilihat secara rasional, sebuah penelitian deskriptif kualitatif dengan
film artistik boleh jadi tak berharga karena menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
tak punya maksud atau makna yang tegas. Jenis penelitian deskriptif kualitatif, yakni
Padahal, keindahan itu sendiri mempunyai salah satu prosedur penelitian yang
maksud atau makna. menghasilkan data deskriptif berupa ucapan
atau tulisan dan perilaku orang-orang yang
diamati (Bodgan dan Taylor dalam
30
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
Moleong, 2007). Sementara, pendekatan
sosiologi sastra, yaitu memperlihatkan 3. Penganalisisan data, yakni semua data
kekuatan bahwa sebuah sastra dipandang yang telah diklasifikasi dianalisis dengan
sebagai hasil budaya yang sangat diperlukan mendeskripsikan secara mendetail
masyarakat. Sastra merupakan media permasalahan yang ada dalam penelitian
komunikasi yang mampu merekam gejolak ini berupa nilai-nilai budaya suku Bajo
hidup masyarakat dan sastra mengabdikan Sampela dalam film The Mirror Never
diri untuk kepentingan masyarakat (Semi, Lies karya Kamila Andini.
2012).
PEMBAHASAN
Metode dan Teknik Pengumpulan Data Pembahasan dalam penelitian ini akan
Metode yang digunakan dalam mendeskripsikan nilai budaya suku Bajo
penelitian ini adalah metode audio visual, Sampela dalam film The Mirror Never Lies
yakni dengan melihat dan mendengar suatu yang menjadi fokus masalah.
objek dari gambar dan suara. Sementara,
teknik pengumpulan data menggunakan Nilai Budaya Suku Bajo Sampela dalam
teknik simak. Teknik simak dilakukan oleh Film The Mirror Never Lies
peneliti dengan menyimak dan melihat Film The Mirror Never Lies sarat
secara teliti keseluruhan film The Mirror dengan nilai budaya suku Bajo Sampela,
Never Lies karya Kamila Andini yang pengarang film tersebut memandang bahwa
berupa gambar-gambar yang mencerminkan pendeskripsian kehidupan suku Bajo
nilai budaya suku Bajo Sampela dalam film Sampela patut didokumentasikan karena
The Mirror Never Lies karya Kamila kehidupan masyarakatnya masih kental
Andini. dengan adat istadat dari leluhur mereka.
Terbukti dengan film The Mirror
Sumber dan Jenis Data Never Lies tersebut kehidupan sosial,
Sumber data dalam penelitian ini adalah budaya, dan kemasyarakatan suku Bajo
film The Mirror Never Lies karya Kamila Sampela terangkum dengan apik dalam film
Andini. Jenis data dalam penelitian ini tersebut. Dalam mendeskripsikan nilai
adalah gambar yang berupa adegan atau budaya suku Bajo Sampela dalam film The
akting yang menggambarkan nilai budaya Mirror Never Lies karya Kamila Andini,
suku Bajo Sampela dalam film The Mirror penulis menggunakan teori unsur
Never Lieskarya Kamila Andini. kebudayaan Koentjaraningrat yang meliputi
tujuh jenis unsur, yakni sistem
Teknis Analisi Data agama/kepercayaan, sistem pengetahuan,
Analisis data dalam penelitian ini sistem teknologi, sistem kemasyarakatan,
sebagai berikut: sistem mata pencaharian, bahasa, dan
1. Pengidentifikasian data, yakni kesenian.
mengidentifikasi nilai-nilai budaya suku Adapun nilai-nilai budaya suku Bajo
Bajo Sampela melalui adegan atau Sampela dalam film The Mirror Never Lies
akting antartokoh dalam film The Mirror karya Kamila Andini sebagai berikut:
Never Lies karya Kamila Andini.
2. Pengklasifikasian data, yakni 1. Sistem Kepercayaan
mengklasifikasi adegan atau akting yang a. Percaya kepada dukun (Sandro)
mencerminkan nilai budaya suku Bajo Unsur kepercayaan adalah unsur yang
Sampela dalam film The Mirror Never sangat penting bagi manusia, karena
Lies karya Kamila Andini. kadang-kadang manusia mempunyai
masalah kehidupan yang begitu sulit untuk
dihadapi yang bersifat tidak masuk akal.
30
Nilai Budaya Suku ….
Dalam unsur ini, memperlihatkan
kepercayaan suatu masyarakat dalam Sistem pengetahuan berfungsi untuk
memahami suatu masalah yang mereka memenuhi rasa ingin tahu manusia terhadap
hadapi. suatu ilmu. Manusia dapat memenuhi
Budaya suku Bajo Sampela masih kebutuhan hidup melalui sistem
dominan mempercayai sandro (dukun). pengetahuan. Dengan adanya rasa ingin tahu
Terlihat dalam film The Mirror Never Lies , maka manusia akan bertanya setelah
tokoh Pakis menggunakan Dukun dalam mengaplikasikannya.
melihat nasib ayahnya yang hilang pada saat Adapun sistem pengetahuan suku Bajo
melaut. Sampela dalam film The Mirror Never Lies,
Media yang di gunakan oleh sang yakni
Dukun untuk melihat bayangan ayah si a. Pengetahuan Tentang Alam
Pakis, yakni dengan segelas air putih, Pengetahuan suku Bajo Sampela
pedupa (bara api yang dibubuhi dengan tentang alam sangat tinggi khususya tentang
dupa), dan cermin. Cara pelaksanaannya keadaan alam di laut. Pengetahuan yang
adalah cermin tersebut diputar-putar di atas mereka miliki meliputi pengetahuan musim
pedupaan, kaca cerminnya menghadap ke dan juga gejala alam. Pengetahuan tentang
bawah tepat terkena oleh asap pedupaan alam ini diperoleh melalui kegiatan sehari-
tersebut, setelah itu disimpan di atas gelas hari suku Bajo seperti berlayar dan melaut
yang terisi air putih yang sudah di bacakan (mencari ikan). Berikut bukti data:
mantra, kemudian tidak lama kemudian
cermin tersebut diberikan kepada si Pakis
untuk melihat bayangan ayahnya di cermin
tersebut. Berikut ini gambar dan tuturan
contoh data dalam film The Mirror Never
Lies:
(Gambar I) (Gambar II)
Ilustrasi gambar dalam film The Mirror (Gambar III) (Gambar IV)
Never Lies di atas mendeskripsikan tentang
seorang anak yang bernama Pakis Ilustrasi gambar dalam film The Mirror
mendatangi seorang sandro (dukun) untuk Never Lies di atas mendeskripsikan tentang
menanyakan keberadaan ayahnya yang telah pengetahuan musim dan gejala alam yang
lama tidak ada kabarnya. Ayah Pakis pergi dipahami oleh suku Bajo Sampela. Pada
melaut tetapi sudah berbulan-bulan tidak ada gambar I mendeskripsikan beberapa plastik
kabar darinya. yang dipasang pada sebuah bambu dan
Dari ilustrasi gambar di atas terlihat ditancapkan ke dasar laut untuk melihat arah
bahwa nilai budaya kepercayaan dalam suku mata angin. Gambar II mendeskripsikan
Bajo Sampela masih sering dilaksanakan. kondisi alam yang buruk, yakni adanya
kabut hitam dan disertai angin tornado di
2. Sistem Pengetahuan tengah laut. Gambar III menggambarkan
bulan purnama total yang menandakan
banyaknya ikan yang akan didapat oleh para
nelayan yang sedang melaut. Gambar IV
30
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
menggambarkan budaya suku Bajo Sampela
saat memancing ikan menggunakan alat Bagi suku Bajo pengetahuan tentang
layang-layang. Alat pancingannya diikatkan binatang sangat penting karena cara terbaik
pada tali layang-layang sementara layang- untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan
layangnya dilepas ke udara sehingga yang baik adalah perlu mengetahui
pancingan yang diarahkan ke dalam laut karakteristik suatu binatang. Berikut bukti
bergerak-gerak mengikuti gerakan layang- data:
layang tersebut. Hal ini dilakukan oleh suku
Bajo Sampela untuk meringankan beban
mereka.
30
Nilai Budaya Suku ….
(Gambar I) (Gambar II)
Sebelum melaksanakan aktivitas yang
sangat urgen untuk mereka, tidak lupa
mereka mendatangi dukun untuk
menanyakan hari baik. Pengetahuan SBS
tentang ruang dan waktu dianggap penting
karena dapat membawa mereka pada
(GambarIII) keselamatan dan kelancaran aktivitas yang
Ilustrasi gambar dalam film The Mirror akan mereka lakukan.
Never Lies di atas mendeskripsikan
pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku 3. Sistem Teknologi
manusia yang dipahami oleh SBS. Pada Teknologi suku Bajo Sampela dalam
gambar I mendeskripsikan kebiasaan SBS film The Mirror Never Lies yang
yang ringan tangan (mudah memberi), rasa terdeskripsi pada unsur kebudayaan suku
tolong menolong di antara SBS sangat tinggi Bajo adalah teknologi tradisional. Teknologi
jika ada hasil melaut, mereka selalu tradisional adalah alat yang digunakan untuk
membagikannya kepada tetangga. kehidupan sehari-hari yang tidak
Gambar II dan gambar III dipengaruhi oleh adanya teknologi. Suku
menggambarkan kebiasaan SBS dalam Bajo sebagai gipsi laut mempunyai berbagai
kebersamaan mereka ketika mengalami macam sistem teknologi, di antaranya:
kedukaan ataupun acara-acara pernikahan, a. Alat-alat produksi
sunatan, dan lain-lain. Kedua gambar di atas Alat produksi adalah alat yang
memperlihatkan adanya prosesi kematian. digunakan dalam suatu aktivitas. Suku Bajo
Para masyarakat SBS berdatangan ke rumah Sampela saat melakukan aktivitas sehari-
duka untuk membawa sumbangan untuk sehari seperti membersihkan ikan mereka
keluarga almarhum. menggunakan parang; batu untuk
menghaluskan butiran beras (untuk bedak
e. Pengetahuan tentang ruang dan waktu dingin); lampu strongking untuk penerang
Pengetahuan suku Bajo Sampela saat mereka melaut; bambu panjang dayung
tentang ruang dan waktu digunakan untuk yang terbuat dari kayu untuk mengayuh
menghitung, mengukur, atau menentukan sampan; mata-mata (kacamata selam) untuk
hari baik seperti menentukan hari baik kala menyelam ke dasar laut agar bisa melihat
akan melangsungkan pernikahan, sunatan, dengan jelas binatang di bawah laut. Kaca
dan lain-lain. Penentuan waktu atau hari mata tersebut terbuat dari kayu dan
baik tersebut mereka tanyakan kepada ditempelkan kaca dan diikatkan tali untuk
sandro (dukun). menghubungkan setiap sisi sampai
melingkari kepala; parutan ubi untuk
mengolah ubi untuk dijadikan makanan;
lesung untuk menumbuk jagung atau beras;
kangkurua (parutan kelapa) untuk memarut
kelapa yang belum terpisah dari cangkang
(tempurungnya). Berikut bukti data:
30
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
dijadikan treatment rambut; jirigen
digunakan untuk wadah penyimpanan air
dan wadah untuk mengambil air di sumur
atau pada penjual air; piring dan gelas
digunakan untuk alat tempat makanan dan
(Gambar III) (Gambar IV) minuman; gayung digunakan sebagai timba
untuk mengambil air dari wadah yang besar
ke wadah yang kecil; cerek digunakan untuk
wadah air minum. Alat kukusan tersebut
berbahan dasar daun kelapa yang dianyam
dalam bentuk kerucut.
(Gambar V)
30
Nilai Budaya Suku ….
lainnya), tempurung kelapa (wadah untuk
kelapa yang sudah diparut, lalu kelapa menangkap ikan dalam skala besar secara
tersebut dijadikan treatment rambut), talang bersamaan. Gambar IV terdapat senjata
(tempat untuk jajakan jualan), gayung berjenis sangkar yang biasa disebut dengan
(tempat menimba air dari ember besar atau polo. Perangkap ini digunakan oleh SBS
guci), tapis/gugura’a (tempat tirisan untuk untuk menangkap ikan baik ikan besar
meniris kaopi yang akan dimasak untuk ataupun kecil. Alat ini dimasukkan ke dasar
kasoami), piring dan gelas (tempat untuk laut dan dipasang umpan di dalammya, jika
makanan dan minuman). ikan masuk ke dalam polo tersebut akan
c. Senjata susah untuk keluar lagi. Alat ini sangat
Senjata yang dipakai pada masyarakat aman digunakan karena tidak merusak biota
suku Bajo Sampela masih bersifat laut di sekelilinnya.
tradisional. Dalam film The Mirror Never
Lies senjata-senjata yang dideskripsikan
d. Makanan dan minuman
antara lain parang, tombak, jaring, senapan
Makanan tradisional suku Bajo
panah, dan alat pancing. Berikut bukti data:
Sampela adalah kasoami (makanan yang
terbuat dari ubi kayu yang dikukus), ikan
parende (ikan kuah kuning yang dicampur
garam dan asam), ikan perangi (sashimi;
ikan mentah yang dipisahkan dari tulangnya
setelah itu diiris tipis-tipis, selanjutnya
dicampur dengan jeruk nipis, garam lalu di
remas-remas sampai rasa amisnya hilang),
(Gambar I) (Gambar II) nasi jagung (beras yang dikukus/dimasak
dengan jagung), ikan bakar, teripang, bulu
babi, rumput laut. Sementara, minuman
tradisional suku Bajo Sampela adalah air
putih.
30
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
yang sudah digepeng setelah itu dikukus.
Kasoami menjadi andalan makanan Baju SBS memiliki beragam model,
pengganti beras. Namun, di jaman modern seperti kaos pendek, kaos panjang, daster,
ini beras juga merupakan makanan pokok di celana, dan sarung. Sementara, secara
SBS. Gambar II dan III terdapat ikan bakar historis para wanita SBS yang dirundung
dan bulu babi serta teripang mentah. SBS kesedihan atas kematian atau kehilangan
mengolah ikan dalam berbagai macam suami saat melaut, sepanjang hari mereka
masakan, seperti ikan bakar, ikan perangi memakai bedak dingin. Namun, sekarang
(sashimi), ikan parende (ikan kuah kuning), semua warga SBS memakai bedak dingin
ikan pindang (ikan rebus kering), bulu babi karena untuk terhindar dari sinar matahari.
rebus dan mentah, teripang mentah, serta
latu (rumput laut). Olahan-olahan ini
menjadi kekhasan masakan hasil laut di
Kabupaten Wakatobi termasuk pula di SBS. f.Tempat berlindung atau rumah Tempat
berlindung atau rumah suku
Bajo Sampela sudah bervariasi, antara lain
bentuk rumah panggung yang tiangnya
ditancapkan di dasar laut, beratapkan daun
e. Pakaian sagu, berdinding jelajah, lantainya
Pakaian yang dipakai sehari-hari oleh menggunakan bambu; adapula rumah yang
suku Bajo Sampela sama seperti pakaian halamannya sudah di atas batu bersusun
masyarakat pada umumnya. Bentuk pakaian sehingga tiangnya tidak menancap di dasar
suku Bajo Sampela, yakni daster, kaos, laut, atap seng, dinding papan; dan bentuk
sarung, dan kain penutup kepala dengan cara rumah beton. Model rumah di suku Bajo
dililit. Sampela bervariasi karena bergantung strata
Suku Bajo Sampela jarang atau status sosial masyarakatnya.
menggunakan perhiasan karena kegiatan
keseharian mereka adalah melaut dan
menjual ikan. Berikut bukti data:
g. Alat transportasi
Alat transportasi yang digunakan oleh
suku Bajo Sampela adalah sampan (lepa-
Ilustrasi gambar dalam film The Mirror lepa), jonson, dan kapal.
Never Lies di atas mendeskripsikan berbagai
macam pakaian yang sering dipakai oleh
SBS. Pada gambar di atas menampakkan
pakaian khas masyarakat SBS, yakni
penutup kepala (kampuru). Penutup kepala
sering dipakai SBS saat mereka ingin
melaut. Penutup kepala tersebut dari sarung
atau selendang yang dililit di atas kepala.
Hal ini digunakan untuk menghindari terik h. Bentuk permainan
matahari dan hembusan angin. Bentuk permainan anak-anak SBS
adalah burung, penyu, dan binatang laut
30
Nilai Budaya Suku ….
lainnya. mereka bermain di dalam laut atau
di atas pasir. Hal ini, sangatlah lumrah bagi
mereka karena semenjak masih kecil mereka
sudah diperkenalkan oleh orangtuanya
tentang kehidupan di laut.
4. Sistem kemasyarakatan
Dalam kehidupan masyarakat SBS
biasanya diatur oleh suatu aturan atau adat
istiadat tentang kesatuan dalam suatu
lingkup. Sistem kekerabatan suku Bajo
Sampela dalam film The Mirror Never Lies
sangat berpengaruh seperti saling tolong
menolong, hidup rukun antarwarga,
membantu warga yang membutuhkan.
Seperti yang terlihat pada ketiga gambar di
bawah ini, mereka sering memasak bersama-
sama di pekarangan rumah, dan saling
6. Bahasa
membantu saat melaut. Berikut bukti data:
Bahasa adalah suatu unsur kebudayaan
yang digunakan untuk berinteraksi
antarsesama masyarakat. Suku Bajo
Sampela dalam berinteraksi antarmereka
menggunakan bahasa Bajoe dan bahasa
Indonesia, kadang-kadang saat mereka
berinteraksi dengan masyarakat Kaledupa
biasanya menggunakan bahasa Kaledupa.
Hal ini dipengaruhi karena letak suku Bajo
Sampela berada di Kecamatan Kaledupa,
Kabupaten Wakatobi.
30
Totobuang, Vol. 6, No. 2, Desember 2018: 297—
Dalam film The Mirror Never Lies
karena yang digambarkan adalah totalitas segala upaya pengobatan tradisional suku
kehidupan dan kebudayaan suku Bajo Bajo. Kebiasaan ini dilakukan bila ada salah
Sampela sehingga bahasa yang mereka satu di antara mereka mengalami sakit keras
gunakan adalah bahasa Bajoe dan bahasa dan tidak dapat disembuhkan dengan cara
Indonesia. Berikut bukti data: lain atau pengobatan medis. Tradisi duata
juga dapat dilakukan dalam acara syukuran
dan hajatan, dan penyambutan tamu. Hal
yang dilakukan ini sudah menjadi turun
temurun di suku Bajo Sampela. Berikut
bukti data:
31
Nilai Budaya Suku ….
lingkungan SBS atau di pasar; (6) bahasa,
SBS saat berinteraksi menggunakan bahasa Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian
Bajoe dan bahasa Indonesia; (7) kesenian, Sastra. Bandung: Angkasa.
SBS mempunyai seni suara dan tarian. Sumardjo, Jacob. 1995. Novel Indonesia
Tarian tersebut bernama tarian duata. Mutakhir: Sebuah Pengantar.
Bandung: Nurcahaya.
DAFTAR PUSTAKA Sumarno, Marseli. 1996. Dasar-dasar
Depdikbud. 2003. Proyek Penelitian Apresiasi Film. Jakarta: PT. Grasindo.
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Susiati. 2017. “Tuturan Emosi Bahasa
Budaya. Ujung Pandang: Depdikbud. Indonesia Verbal dan Nonverbal Suku
Bajo Sampela: Kajian Psikolinguistik”.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Tesis: Makassar: Universitas
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Hasanuddin.
Presindo. Suyuti, Nasruddin, dkk. 1995. “Pengkajian
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Sosial Budaya dan Lingkungan pada
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Masyarakat Bajo di Desa Sulaho
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Kecamatan Lasusua Kabupaten
Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta. Kolaka”. Laporan Penelitian: Kerja
Koentowidjoyo. 2000. Budaya dan Sama FISIP Universitas Haluoleo
Masyarakat. Yogyakarta: Tiara dengan Kanwil Depsos Provinsi
Wacana. Sulawesi Tenggara.
Moleong, Lexi. 2007. Metodologi Penelitian Wianti, Nur Isiyana. 2011. “Kapitalisme
Kualitatif. Bandung: Remaja Lokal Suku Bajo (Studi Kasus
Rosdakarya. Nelayan Bajo Mola dan Mantigola,
Prihatmi, Sri Rahayu Th, dkk. 2003. Kabupaten Wakatobi, Provinsi
Peribahasa Jawa sebagai Cermin, Sulawesi Tenggara)”. Tesis. Bogor:
Watak, Sifat, dan Perilaku Manusia Institut Pertanian Bogor.
Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa. Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi
Budaya. Bandung: Citra Adtya Bakti.
31