Anda di halaman 1dari 3

Merdeka 

> News

Kemenkes: Angka Gangguan


Cemas Naik Sebesar 6,8 Persen
Selama Pandemi
Jumat, 8 Oktober 2021 23:36Reporter : Lia Harahap

 

 

Ilustrasi cemas. ©Shutterstock/Ermolaev Alexander

Merdeka.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan angka


gangguan kecemasan yang dialami oleh masyarakat mengalami kenaikan
selama masa pandemi Covid-19. Peningkatan mencapai 6,8 persen.
"Penelitian terakhir yang telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menemukan kenaikan
gangguan cemas sekitar 6,8 persen," kata Subkoordinator Substansi Masalah
Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Kemenkes, dr Juzi Delianna, M.Epid dalam
bincang-bincang Kesetaraan Dalam Kesehatan Jiwa Untuk Semua. Demikian
dikutip dari Antara, Jumat (10/8).
Dia menyebut, selain angka gangguan kecemasan, angka pada
gangguan depresi ikut mengalami peningkatan sebesar 8,5 persen. Sehingga
apabila melihat proyeksi jumlah penduduk di Indonesia, hal tersebut benar-
benar membutuhkan penanganan yang serius.
Berdasarkan data Kemenkes sepanjang tahun 2020, sebanyak 18.373 jiwa
mengalami gangguan kecemasan, lebih dari 23.000 mengalami depresi dan
sekitar 1.193 jiwa melakukan percobaan bunuh diri.

Menurut dia, peningkatan persentase gangguan kecemasan dan depresi dapat


meningkat karena terjadi penurunan kunjungan rumah sakit dan hunian rawat
inap sebelum pandemi Covid-19i. Namun ketika pandemi, pasien kembali
mengalami fase kekambuhan.

Berdasarkan data milik Persatuan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia (PDKJI)


dalam lima bulan pertama pandemi Covid-19 disebutkan masalah psikologis
terbanyak ditemukan pada usia 17 sampai 29 tahun dan penduduk lanjut usia
(lansia) yang berusia di atas 60 tahun.

Dia menjelaskan pemikiran bunuh diri paling banyak dilakukan pada penduduk
usia produktif. Sebanyak 15 persen memikirkan untuk mati setiap hari serta 20
persen memikirkan untuk mengakhiri hidup dalam beberapa hari dalam
sepekan.

"Dari data tersebut menunjukkan, satu dari lima orang memiliki pemikiran
tentang lebih baik mati," kata Juzi Delianna.

Sementara itu Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa


dan Napza Kemenkes, Celestinus Eigya Munthe, mengatakan untuk mengatasi
masalah tersebut pihaknya telah mengupayakan agar seluruh puskesmas
dapat melakukan pelayanan kesehatan jiwa.

Namun kurang lebih dari 10.000 puskesmas di seluruh Indonesia, baru sekitar
6.000 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa. Hal itu disebabkan
karena beberapa faktor yakni kurangnya sumber daya manusia kesehatan dan
kurangnya sarana prasarana yang memadai.

"Sehingga layanan kesehatan jiwa yang seharusnya dilaksanakan di fasilitas


pelayanan kesehatan primer masih belum dapat kita laksanakan seluruhnya di
seluruh rumah sakit," katanya.

Ia menjelaskan walaupun belum semua fasilitas kesehatan menyediakan


layanan itu, pelayanan kesehatan jiwa yang dilakukan di puskesmas dapat
ditangani dan ditanggulangi pembiayaannya dari Jaminan Kesehatan Nasional

Melalui JKN, kata dia, pasien dapat melakukan rujukan ke puskesmas. Apabila
puskesmas ternyata tidak mampu menanggulangi masalah kesehatan jiwa,
pasien dapat di rujuk ke rumah sakit jiwa terdekat atau rumah sakit umum
yang melakukan pelayanan kesehatan jiwa.

Bila pasien telah dinyatakan stabil, maka pihak rumah sakit dapat merujuk
kembali pasien yang dirawat ke puskesmas. Sehingga masyarakat dapat
mengakses layanan pengambilan obat tanpa perlu menempuh jarak yang jauh
ke rumah sakit untuk mengambil obat.

Ia mengatakan agar dapat mempermudah pelayanan kesehatan jiwa


masyarakat di masa pandemi COVID-19, pihaknya telah menyediakan obat-
obatan yang dibutuhkan pasien secara lengkap di puskesmas.

"Kita juga mendorong saat ini hampir semua rumah sakit jiwa di Indonesia
mempunyai aplikasi telekonseling sebagai upaya perpanjangan untuk
memberikan layanan konseling kepada masyarakat," jelas Celestinus Eigya
Munthe.

Anda mungkin juga menyukai