Anda di halaman 1dari 116

Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

KATA PENGANTAR

Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan dan pelatihan
(Diklat) Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai dalam rangka meningkatkan
keahlian dan kemampuan peserta dalam bidang operasi dan pemeliharaan
bangunan pantai. Dengan mengikuti pembahasan modul ini maka peserta diklat
diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengetahui dan memahami jenis
kerusakan yang berpotensi dan sering terjadi di lingkungan pantai serta
bagaimana cara untuk menanggulangi akibat dari kerusakan itu sendiri.

Modul ini merupakan modul yang membahas tentang potensi kerusakan


bangunan yang terjadi di lingkungan pantai. Dalam modul ini juga akan dijelaskan
mengenai jenis-jenis kerusakan lingkungan dan bangunan pantai serta langkah-
langkah untuk menanggulangi akibat dari kerusakan tersebut.

Demikian modul yang kami sampaikan, besar harapan kami agar modul ini dapat
memberikan gambaran awal yang jelas dan rinci untuk kelancaran pelaksanaan
pekerjaan dan menghimpun berbagai masukan dari berbagai pihak. Selanjutnya
atas semua bantuan dan dorongan dari semua pihak terkait, kami ucapkan
terimakasih.

Bandung, November 2016


(Kapusdiklat SDA dan Konstruksi)

Dr.Ir. Suprapto, M.Eng

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai i


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel iv
Daftar Gambar v
Istilah dan Definisi ix

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang I-1


1.2 Deskripsi Singkat I-1
1.3 Kompetensi Dasar I-2
1.4 Indikator Keberhasilan I-2
1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan I-2
1.6 Petunjuk Penggunaan Modul I-2
1.7 Bahan Belajar I-3

Bab 2 Uraian Materi Pokok

2.1 Uraian Materi Tentang Abrasi dan Sedimentasi Pantai II-2


2.1.1 Proses Abrasi dan Sedimentasi Pantai II-2
2.1.2 Proses Litoral, Abrasi, dan Sedimentasi II-9
2.1.3 Penyebab Abrasi Pantai II-10
2.1.4 Dampak dan Penanggulangan Abrasi Pantai II-12
2.1.5 Jenis-Jenis Bangunan Pengaman Pantai II-13
2.1.6 Contoh Kasus II-16
2.2 Uraian Materi Tentang Muara Sungai II-33
2.2.1 Definisi Muara Sungai II-33
2.2.2 Fungsi Muara Sungai II-34
2.2.3 Karateristik Fisik Muara Sungai II-34
2.2.4 Parameter Desain Muara II-44
2.2.5 Kriteria Penanganan Muara Sungai II-45
2.2.6 Kriteria stabilitas muara sungai II-46
2.2.7 Strategi Penanganan muara sungai II-46
2.2.8 Contoh Kasus II-50
2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Monitoring dan Evaluasi II-64
2.3.1 Kriteria Penilaian Kerusakan Pantai II-64
2.3.2 Tolok Ukur Kerusakan Pantai II-68

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai ii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3.3 Pembobotan dan Prioritas Penanganan II-94

Bab 3 Penutup

3.1 Rangkuman III-1


3.2 Daftar Pustaka III-2

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai iii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penilaian Kerusakan Pantai pada Permukiman dan


Fasilitas Umum II-72
Tabel 2 Penilaian Kerusakan Pantai pada Areal Pertanian II-74
Tabel 3 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Menurunnya
Kualitas Perlindungan Alami Kawasan Gumuk Pasir II-76
Tabel 4 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Pencemaran Kerusakan
Pantai II-78
Tabel 6 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Penebangan Hutan
(Tanaman) Mangrove II-82
Tabel 7 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Penambangan Terumbu
Karang II-84
Tabel 8 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Rob pada Kawasan Pesisir II-86
Tabel 9 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Perubahan Garis Pantai II-88
Tabel 10 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Kerusakan Bangunan II-90
Tabel 11 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Sedimentasi pada
Muara Sungai II-92
Tabel 12 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Sedimentasi Muara Sungai II-94
Tabel 13 Koefisien Bobot Tiap Kepentingan II-95
Tabel 14 Bobot Tiap Kerusakan II-96

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai iv


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Proses angkutan sedimen sejajar pantai . II-3


Gambar 2 Proses terjadinya longshore current . II-3
Gambar 3 Proses perubahan arah gelombang penyebab abrasi II-4
Gambar 4 Skema keseimbangan sedimen yang terjadi di pantai II-5
Gambar 5 Kondisi pantai yang terkena abrasi. II-6
Gambar 6 Kondisi pantai yang terkena pendangkalan akibat sedimentasi. II-6
Gambar 7 Proses littoral transport di area nearshore. II-7
Gambar 8 Abrasi dan sedimentasi akibat longshore current. II-8
Gambar 9 Contoh perlindungan abrasi dengan Groin. II-14
Gambar 10 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem Groin. II-14
Gambar 11 Perlindungan pantai dengan sistem Breakwater. II-15
Gambar 12 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan
pemecah gelombang. II-15
Gambar 13 Perlindungan pantai dengan Revetment. II-16
Gambar 14 Peta Pulau Wawoni. II-17
Gambar 15 Kondisi pantai Pulau Wawoni (1) II-17
Gambar 16 Kondisi pantai Pulau Wawoni (2). II-18
Gambar 17 Kondisi pantai Pulau Wawoni (3). II-18
Gambar 18 Kondisi pantai Pulau Wawoni (4) II-19
Gambar 19 Kondisi pantai Pulau Wawoni (5) II-19
Gambar 20 Identifikasi permasalahan pantai Pulau Wawoni. II-20
Gambar 21 Lokasi Pantai Kasipute dan Pantai Boepinang. II-23
Gambar 22 Lokasi Pantai Kasipute berdasarkan peta Dishidros. II-23
Gambar 23 Lokasi Pantai Boepinang berdasarkan peta Dishidros. II-24
Gambar 24 Sketsa lokasi Pantai Kasipute (1) II-24
Gambar 25 Sketsa lokasi Pantai Kasipute (2) II-25
Gambar 26 Data windrose. II-25
Gambar 27 Kondisi Pantai Kasipute (3) II-26
Gambar 28 Kondisi Pantai Kasipute (4) II-26
Gambar 29 Kondisi Pantai Kasipute (5) II-27
Gambar 30 Kondisi Pantai Kasipute (6) II-27
Gambar 31 Masterplan Pantai Kasipute. II-28
Gambar 32 Kondisi Pantai Kasipute (7) II-28
Gambar 34 Peta lokasi pekerjaan di Pulau Lembeh dari Peta Dishidros. II-30
Gambar 35 Kondisi pantai di Pulau Lembeh (1) II-31
Gambar 36 Kondisi pantai di Pulau Lembeh (2) II-31

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai v


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 37 Profil salinitias muara (Castro dan Huber, 2007). II-35


Gambar 38 Proses progradasi dan transgresi pembentukan muara. II-35
Gambar 39 Diagram klasifikasi muara (Boyd dkk, 1992 dan Dalrymple dkk,
1992). II-37
Gambar 40 Tipe muara yang didominasi gelombang laut. II-38
Gambar 41 Contoh muara yang didominasi gelombang (arah laut). II-39
Gambar 42 Contoh muara yang didominasi gelombang (arah darat). II-39
Gambar 43 Contoh muara yang didominasi gelombang laut. II-40
Gambar 44 Tipe muara yang didominasi aliran sungai. II-41
Gambar 45 Contoh muara yang didominasi sungai (delta Bengawan Solo). II-41
Gambar 46 Tipe muara yang didominasi pasang surut. II-42
Gambar 47 Diagram alir tahapan penanganan muara sungai. II-48
Gambar 48 Alternatif penanganan muara sungai. II-49
Gambar 49 Peta rupa bumi Sungai Progo. II-50
Gambar 50 Peta Google Earth Sungai Progo. II-50
Gambar 28 Desain jetty Sungai Progo oleh BCEOM. II-51
Gambar 52 Desain jetty Sungai Progo oleh Arief Nuryanto &
Nur Yuwono, 2002. II-51
Gambar 53 Foto udara muara Progo 13 Januari 2001. II-52
Gambar 54 Foto udara muara Progo 7 April 2004. II-52
Gambar 55 Konstruksi yang dilaksanakan tahun 2005. II-53
Gambar 56 Konstruksi yang dilaksanakan tahun 2005. II-53
Gambar 57 Konstruksi rubble mound jetty sisi kanan dengan bobot batu
1-2 ton pada tahun 2006. II-54
Gambar 58 Konstruksi jetty sisi kiri pada tahun 2006. II-54
Gambar 59 Kondisi konstruksi jetty pada Maret 2006. II-55
Gambar 60 Kondisi konstruksi jetty pada Maret 2006. II-55
Gambar 61 Kondisi muara makin menyempit pada Mei 2006. II-56
Gambar 62 Kondisi muara makin menyempit pada Mei 2006. II-56
Gambar 63 Perbandingan kondisi muara pada Maret dan Mei 2006. II-57
Gambar 64 Lokasi pekerjaan di Muara Sungai Opak. II-57
Gambar 65 Lokasi foto pekerjaan di Muara Sungai Opak. II-58
Gambar 66 Foto-1: Muara Kali Opak ke arah Tenggara
(Pantai Parangtritis). II-59
Gambar 67 Foto-2: Muara Kali Opak ke arah Selatan (Samudera Hindia). II-59
Gambar 68 Foto-3: Muara Kali Opak ke arah Barat Daya (Pantai Samas). II-60
Gambar 69 Foto-4: Laguna Muara Kali Opak ke arah Barat Daya
(Pantai Samas). II-60

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai vi


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 70 Foto-5: Laguna Muara Kali Opak ke arah Utara. II-61


Gambar 71 Foto-6: Laguna Muara Kali Opak ke arah Barat Daya
(Pantai Samas). II-61
Gambar 72 Identifikasi arah gelombang di Muara Sungai Opak. II-63
Gambar 73 Identifikasi permasalahan di Muara Sungai Opak. II-63
Gambar 74 Bagan alir penilaian kerusakan pantai. II-64

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai vii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

ISTILAH DAN DEFINISI

Abrasi : adalah proses dimana terjadi pengikisan pantai yang disebabkan


oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak
Backshore : daerah yang dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang
terbentuk pada saat terjadi gelombang badai bersamaan dengan
muka air tinggi
Barrier island : gundukan pasir (atau spit) yang membentuk pulau sempit yang
memanjang sejajar dengan daratan
Breaker zone : daerah di mana gelombang yang datang dari laut (lepas pantai)
mencapai ketidak-stabilan dan akhirnya pecah.
Berm : Daerah plateau pada pantai yang mendekati datar di muka pantai
atau backshore, dibentuk oleh deposisi material pantai oleh aksi
gelombang atau karena pembentukan secara mekanis dalam
proyek pengisian pasir
breakwater : bangunan pengaman pantai yang dibangun melintang atau relatif
sejajar garis pantai dengan tujuan mereduksi energi gelombang
sehingga akan terbentuk perairan yang tenang di belakang
pemecah gelombang
Daratan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan
dimulai dari batas garis pasang tertinggi
Estuari : daerah semi tertutup di pesisir pantai yang mempunyai akses
menuju laut lepas dimana terjadi pencampuran antara air laut
dengan air tawar yang mengalir dari darat melalui sungai
Foreshore : daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air
rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang
tinggi.
Garis pantai : garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana
posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang
surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
groin : bangunan yang dibuat relatif tegaklurus garis pantai untuk
mengendalikan erosi pantai pada bagian updrift dengan cara
menahan transpor sedimen sejajar pada bagian downdrift
Inshore : daerah yang membentang ke arah laut dari foreshore sampai
tepat di luar breaker zone.
Inlet : celah sempit yang menghubungkan lagoon dengan laut
jeti : bangunan yang dibuat di muara sungai untuk mengarahkan
aliran dan menjaga muara sungai tersebut dari pendangkalan

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai viii


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

akibat sedimentasi
Lautan : daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar
laut dan bagian bumi dibawahnya.

Longshore bar : gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis
pantai. Longshore bar terbentuk karena proses gelombang
pecah di daerah inshore.
Lagoon : adalah perairan dangkal yang memisahkan barrier beach dari
daratan
Longshore transport :adalah perpindahan sedimen yang mempunyai arah rata-rata
sejajar garis pantai.
Offshore : daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut
Pantai : daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi
dan air surut terendah
revetmen : struktur bangunan pengaman pantai yang dibuat relatif
menempel dan mengikuti garis pantai dengan tujuan untuk
melindungi pantai yang tererosi
Sempadan : daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk
dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi
ke arah daratan.
Surf zone : daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang
pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai.
Swash zone : daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya
gelombang dan batas terendah turunya gelombang di pantai.
Spit : terbentuk ketika gelombang dominan dan arus meng-endapkan
sedimen membentuk dataran yang memanjang, menjauhi
headland yang tererosi (atau sumber sedimen lain)
Tombolo : bentuk deposisi pasir di belakang pulau atau obyek yang berada
di hadapan pantai (offshore)
Tanjung : permukaan yang tegak yang memanjang masuk kedalam badan
air
tembok laut : bangunan yang berfungsi mengamankan bagian darat pantai
terhadap erosi akibat gelombang dan sekaligus sebagai dinding
penahan tanah.
tanggul laut : bangunan pantai yang dibuat untuk memisahkan dataran pantai
rendah dengan perairan laut agar terhindar dari banjir akibat
pasang air laut

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai ix


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

nearshore zone : daerah tempat energi dari laut beraksi ke arah darat
Sedimentasi : adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan
perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam
lingkungan tersebut

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai x


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Bab 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka pelaksanaan operasi dan pemeliharaan bangunan pantai maka,


perlu dipersiapkan aparatur sipil negara yang memiliki integritas dan profesional.
Tuntutan untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan memiliki aparatur sipil negara
yang memiliki integritas dan profesional tentunya membutuhkan kesungguhan dan
kesiapan sumber daya manusia yang baik melalui penyaringan penerimaan
aparatur sipil negara yang baik dan selektif. Juga tidak bisa diabaikan adalah
pentingnya pembinaan, pendidikan dan pelatihan sumber daya aparatur sipil
negara untuk membentuk dan mengkader aparatur yang berintegritas dan
profesional.

Kesiapan sumber daya aparatur yang baik dan berkualitas tentunya akan
memudahkan berlangsungnya proses reformasi birokrasi yang sedang dijalankan.
Sehubungan dengan hal tersebut faktor kesiapan dan kemauan untuk merubah
pola pikir, sikap dan perilaku sebagai pegawa negeri sipil yang berintegritas dan
profesional menjadi pondasi dan esensi strategis yang ikut menentukan
keberhasilan pelaksanaan OP bangunan pantai.

Salah satu upaya untuk menciptakan aparatur pelaksana OP bangunan pantai


yang profesional adalah dengan mengikuti diklat OP bangunan pantai khususnya
dengan mengikuti materi pembelajaran tentang modul sikap dan perilaku kerja
PNS. Dari keikutsertaan pada diklat tersebut maka diharapkan seorang PNS akan
mampu untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya
khususnya PNS yang akan menjalankan kegiatan OP bangunan pantai

1.2 Deskripsi Singkat

Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena


daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari
daratan dan lautan. Perubahan lingkungan pantai dapat terjadi secara lambat
hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan
sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan pantai
terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen pantai
melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut
sebagai akibat dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi,

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai I-1


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut, gelombang, arus laut dan salinitas
(Sutikno, 1993). Salah satu jenis bencana di lingkungan pantai yang sering terjadi
di Indonesia adalah abrasi pantai.

Abrasi merupakan permasalahan yang sering muncul di daerah pesisir yang


diakibatkan oleh aktivitas gelombang. Abrasi atau pengikisan pada pantai antara
lain disebabkan karena berkurangnya atau hilangnya struktur penahan gelombang
alami, seperti bukit pasir (sand dunes), terumbu karang dan vegetasi pantai.
Gelombang laut yang memiliki energi besar, yang seharusnya pecah atau
direfleksikan kembali ke laut oleh penahan gelombang alami, menggempur bibir
pantai, lalu membawa material pantai ke laut lepas. Akibatnya adalah garis pantai
dari tahun ke tahun akan berkurang dan pada akhirnya akan mengancam
prasarana di pesisir. Apabila abrasi seperti ini tidak ditangani secara efektif,
kedepan akan merusak prasarana yang ada seperti jalan dan pemukiman yang
dapat membahayakan masyarakat di sepanjang pantai.

Selain abrasi jenis bencana pesisir yang sering terjadi dan menimbulkan dampak
cukup besar adalah sedimentasi di daerah muara sungai. Untuk di beberapa
tempat sedimentasi memberikan dampak yang positif karena bisa memberikan
lahan daratan tambahan namun jika terjadi di muara sungai maka dampak yang
ditimbulkan adalah mulai dari penyempitan alur pelayaran sampai menimbulkan
banjir akibat terhalangnya jalan air.

1.3 Kompetensi Dasar

Setelah peserta diklat mengikuti materi ini maka diharapkan peserta mempunyai
kemampuan untuk mengetahui dan memahami jenis kerusakan yang berpotensi
dan sering terjadi di lingkungan pantai serta bagaimana cara untuk
menanggulangi akibat dari kerusakan itu sendiri.

1.4 Indikator Keberhasilan

1. Mengetahui dan memahami proses terjadinya abrasi dan sedimentasi pantai

2. Mengetahui dan memahami aspek teknis muara sungai

3. Mampu untuk melakukan identifikasi dan penilaian kerusakan beserta prioritas


penanganannya

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai I-2


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1.5 Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Modul ini akan menyampaikan beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan
sebagai berikut:

1. Uraian definisi abrasi dan sedimentasi pantai (90 menit)

a. Uraian tentang proses dan penyebab terjadinya abrasi dan sedimentasi


pantai.

2. Uraian Materi Tentang Muara Sungai (90 menit)

3. Uraian tentang aspek monitoring dan evaluasi (90 menit)

a. Uraian kriteria kerusakan

b. Uraian tolok ukur kerusakan

c. Prosedur pembobotan dan penentuan prioritas penanganan

1.6 Petunjuk Penggunaan Modul

1. Petunjuk bagi peserta diklat

a. Mempelajari modul mulai dari awal hingga akhir secara berurutan dan
kerjakan tugas yang telah disediakan.

b. Menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan pada masing-masing


kegiatan berlatih.

c. Gunakan selalu baju lapangan (lengan panjang dan topi) ketika melakukan
kegiatan berlatih di lapangan (praktik).

d. Siswa berhak bertanya kepada pelatih jika menghadapi hal-hal yang tidak
dimengerti dari modul ini.

2. Petunjuk bagi pelatih

a. Memahami secara baik isi modul yang akan diajarkan, dapat dilakukan
melalui kaji widya.

b. Sebagai fasilitator peserta dalam proses berlatih, tidak mendominasi proses


berlatih.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai I-3


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1.7 Bahan Belajar

Sebagai bahan belajar maka setiap pemberi materi akan memberikan bahan
belajar melalui bahan tayang (slide ppt), LCD, komputer/ laptop dan modul.

1.8 Metode Pembelajaran

Ceramah, tanya jawab dan diskusi

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai I-4


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Bab 2.
URAIAN MATERI POKOK

2.1 Uraian Materi Tentang Abrasi dan Sedimentasi Pantai

2.1.1 Proses Abrasi dan Sedimentasi Pantai

Abrasi atau kata lain biasa disebut erosi pantai. Kerusakan garis pantai tersebut
dikarenakan terganggunya keseimbangan alam daerah dipantai tersebut. Dan
meski Abrasi dapat disebabkan oleh gejala alami tapi manusia lah yang dijadikan
sebagai penyebab utama terjadinya abrasi. Abrasi ini dapat terjadi kerena
beberapa faktor antara lain, faktor alam, faktor manusia, dan salah satu untuk
mencegahnya tejadinya abrasi tersebut yakni melakukan penanaman hutan
mangrove. Beberpa faktor alam yang dapat menyebabkan abrasi antara lain,
angin yang bertiup di atas lautan sehingga menimbulkan gelombang serta arus
laut yang mempunyai kekuatan untuk mengikis sutau daerah pantai.

Akibat dari abrasi ini akan menyebabkan pantai menggetarkan batuan ataupun
tanah dipinggir pantai sehingga lama-kelamaan akan berpisah dengan daratan
dan akan mengalami abrasi pantai. Proses terjadi Abrasi yaitu pada saat angin
yang bergerak dilaut menimbulkan arus serta gelombang mengarah ke pantai,
sehingga apabila proses ini berlangsung lama akan mengikis pinggir
pantai.Kekuatan gelombang terbesar dapat terjadi pada waktu badai dan badai
inilah yang mempercepat terjadi proses pantai. Abrasi ini selain disebabkan faktor
alam bisa juga disebabkan karena faktor manusia, seperti contoh melakukan
penambangan pasir, dikatakan demikian karenapenambangan pasir begitu
penting terhadap abrasi suatu pantai yang dapat menyebabkan terkurasnya pasir
laut dan inilah sangat berpengaruhterhadap arah dan kecepatan arus laut karena
akan menghantam pantai.

Sedimentasi yang terjadi di lingkungan pantai menjadi persoalan bila terjadi di


lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas manusia yang membutuhkan kondisi perairan
yang dalam seperti pelabuhan, dan alur-alur pelayaran, atau yang membutuhkan
kondisi perairan yang jernih seperti tempat wisata, ekosistem terumbu karang atau
padang lamun. Untuk daerah-daerah yang tidak terdapat kepentingan seperti itu,
sedimentasi memberikan keuntungan, karena sedimentasi menghasilkan
pertambahan lahan pesisir ke arah laut.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-1


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sedimentasi adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu lingkungan


perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam lingkungan tersebut.
Sedimentasi yang terjadi di lingkungan pantai menjadi persoalan bila terjadi di
lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas manusia yang membutuhkan kondisi perairan
yang dalam seperti pelabuhan, dan alur-alur pelayaran, atau yang membutuhkan
kondisi perairan yang jernih seperti tempat wisata, ekosistem terumbu karang atau
padang lamun. Untuk daerah-daerah yang tidak terdapat kepentingan seperti itu,
sedimentasi memberikan keuntungan, karena sedimentasi menghasilkan
pertambahan lahan pesisir ke arah laut.

Ketika gelombang menghempas (swash) merupakan kekuatan pukulan untuk


memecahkan batuan yang ada di pantai. Butiran-butiran halus dari pecahan
batuan (material klastis), seperti kerikil atau pasir, kemudian diangkut sepanjang
pesisir (shore, zona pasang-surut), yaitu bagian yang terkadang kering dan
terkadang berair oleh gerak pasang-surut atau oleh arus terbimbing sepanjang
pesisir (long shore currents). Proses erosi dan pemindahan bahan-bahan
penyusun pantai (beach) yang terangkut disebut beachdrift, yaitu penggeseran-
penggeseran pasir atau kerikil oleh gelombang (swash dan backwash) sampai
diendapkan dan membentuk daratan baru, misalnya, endapan punggungan pasir
memanjang yang disebut off shore bars atau spit.

Adanya endapan seperti misalnya spit yang berbentuk memanjang di depan teluk
ataupun tombolo yang menghubungkan pulau dengan daratan utama,
menunjukkan adanya bagian laut yang tenang. Tenangnya gelombang karena
perlindungan tanjung dan merupakan medan pertemuan dua arah massa arus laut
yang saling melemahkan; yaitu arus dari kawasan laut luar yang memutar di
dalam teluk. Di bagian air yang tenang di situlah terjadi pengendapan (Hallaf,
2006).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-2


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 1 Proses angkutan sedimen sejajar pantai.

Gambar 2 Proses terjadinya longshore current.

Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan garis


pantai adalah :

1) Faktor Hidro-Oseanografi

Perubahan garis pantai berlangsung manakala proses geomorfologi yang terjadi


pada setiap bagian pantai melebihi proses yang biasanya terjadi. Proses
geomorfologi yang dimaksud antara lain adalah :

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-3


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

a. Gelombang

Gelombang terjadi melalui proses pergerakan massa air yang dibentuk secara
umum oleh hembusan angin secara tegak lurus terhadap garis pantai (Open
University, 1993 ). Dahuri, et al. (2001) menyatakan bahwa gelombang yang
pecah di daerah pantai merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
proses erosi dan sedimentasi di pantai.

b. Arus

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan, arus merupakan salah satu faktor
yang berperan dalam pengangkutan sedimen di daerah pantai. Arus berfungsi
sebagai media transpor sedimen dan sebagai agen pengerosi yaitu arus yang
dipengaruhi oleh hempasan gelombang. Gelombang yang datang menuju
pantai dapat menimbulkan arus pantai (nearshore current) yang berpengaruh
terhadap proses sedimentasi/ abrasi di pantai. Arus pantai ini ditentukan
terutama oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang yang datang
dengan garis pantai. Jika gelombang datang membentuk sudut, maka akan
terbentuk arus susur pantai (longshore current) yaitu arus yang bergerak
sejajar dengan garis pantai akibat perbedaan tekanan hidrostatik
(Pethick,1997).

Gambar 3 Proses perubahan arah gelombang penyebab abrasi.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-4


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 4 Skema keseimbangan sedimen yang terjadi di pantai.

c. Pasut

Menurut Nontji (2002) pasut adalah gerakan naik turunnya muka laut secara
berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Arus pasut ini
berperan terhadap proses-proses di pantai seperti penyebaran sedimen dan
abrasi pantai. Pasang naik akan menyebarkan sedimen ke dekat pantai,
sedangkan bila surut akan menyebabkan majunya sedimentasi ke arah laut
lepas. Arus pasut umumnya tidak terlalu kuat sehingga tidak dapat
mengangkut sedimen yang berukuran besar

2) Faktor Antropogenik

Proses anthropogenik adalah proses geomorfologi yang diakibatkan oleh aktivitas


manusia. Aktivitas manusia di pantai dapat mengganggu kestabilan lingkungan
pantai. Gangguan terhadap lingkungan pantai dapat dibedakan menjadi gangguan
yang disengaja dan gangguan yang tidak disengaja. Gangguan yang disengaja
bersifat protektif terhadap garis pantai dan lingkungan pantai, misalnya dengan
membangun jetti, Groin, pemecah gelombang atau reklamasi pantai. Aktivitas
manusia yang tidak disengaja menimbulkan gangguan negatif terhadap garis
pantai dan lingkungan pantai,

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-5


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 5 Kondisi pantai yang terkena abrasi.

Gambar 6 Kondisi pantai yang terkena pendangkalan akibat sedimentasi.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-6


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.1.2 Proses Litoral, Abrasi, dan Sedimentasi

Sorensen (1978) dalam Supriyatno (2003) menjelaskan bahwa proses litoral


merupakan proses yang terjadi di daerah pantai akibat interaksi dari angin,
gelombang, arus, pasang-surut, sedimen, dan lain-lain seperti aktivitas manusia.
Dinamika litoral yang berdampak pada morfologi daerah nearshore utamanya
disebabkan oleh litoral transport. Litoral transport merupakan gerakan sedimen di
daerah nearshore yang disebabkan oleh gelombang dan arus. Material atau
sedimen yang dimaksud disebut dengan litoral drift (Triatmodjo, 1999). Sorensen
(1978) mengklasifikasikan litoral transport menjadi dua jenis, yaitu :

1. Onshore-Offshore transport

2. Longshore transport

Gambar 7 Proses littoral transport di area nearshore.

Yuwono (2005) membedakan antara erosi pantai dengan abrasi pantai. Erosi
pantai diartikannya sebagai proses mundurnya garis pantai dari kedudukan
semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasokan dan
kapasitas angkutan sedimen..

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-7


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 8 Abrasi dan sedimentasi akibat longshore current.

2.1.3 Penyebab Abrasi Pantai

Secara detail kemungkinan penyebab abrasi dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penurunan Permukaan Tanah. (Land Subsidence)

Pemompaan Air tanah yang berlebihan untuk keperluan industri dan air minum di
wilayah pesisir akan menyebabkan penurunan tanah terutama jika komposisi
tanah pantai sebagian besar terdiri dari lempung/lumpur karena sifat-sifat fisik
lumpur /lempung yang mudah berubah akibat perubahan kadar air. Akibat
penurunan air tanah adalah berkurangnya tekanan air pori. Hal ini mengakibatkan
penggenangan dan pada gilirannya meningkatkan erosi dan abrasi pantai. Hal ini
menunjukkan bahwa potensi penurunan tanah cukup besar dan memberikan
kontribusi terhadap genangan (rob) pada saat air laut pasang.

2. Kerusakan Hutan Mangrove

Hutan Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat pulih (sustaianable


resources) dan pembentuk ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting
di wilayah pesisir. Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung alami
pantai karena memiliki perakaran yang kokoh sehingga dapat meredam
gelombang dan menahan sedimen. Ini artinya dapat bertindak sebagai pembentuk
lahan (land cruiser).Sayangnya keberadaan hutan mangrove ini sekarang sudah
semakin punah karena keberadaan manusia yang memanfaatkan kayunya
sebagai bahan bakar dan bahan bangunan.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-8


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

3. Kerusakan akibat gaya-gaya hidrodinamika gelombang

Orientasi pantai yang relatif tegak lurus atau sejajar dengan puncak gelombang
dominan. Hal ini memberikan informasi bahwa pantai dalam kondisi seimbang
dinamik. Kondisi gelombang yang semula lurus akan membelok akibat proses
refraksi/difraksi dan shoaling. Pantai akan menanggai dengan mengorientasikan
dirinya sedemikian rupa sehingga tegak lurus arah gelombang atau dengan kata
lain terjadi erosi dan deposisi sedimen sampai terjadi keseimbangan dan proses
selanjutnya yang terjadi hanya angkutan tegak lurus pantai (cros shore transport)

4. Kerusakan akibat sebab alam lain

Perubahan iklim global dan kejadian ekstrim misal terjadi siklon tropis. Faktor lain
adalah kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global (efek rumah kaca)
yang mengakibatkan kenaikan tinggi gelombang

5. Kerusakan akibat kegiatan manusia yang lain

a. Penambangan Pasir di perairan pantai

b. Pembuatan Bangunan yang menjorok ke arah laut

c. Pembukaan tambak yang tidak memperhitungkan keadaan kondisi dan


lokasi

Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab abrasi ada
dua faktor yakni faktor alam dan faktor manusia meskipun yang berpengaruh
paling dominan adalah faktor manusia. Penyebab terjadinya abrasi di pantai
sebagian besar (diperkirakan lebih dari 90%) diakibatkan oleh adanya campur
tangan manusia (A.Hakam,dkk, 2013). Faktor alam berjalan secara alami dan
tidak akan terlalu membuat banyak kerusakan jika saja tidak ada campur tangan
manusia dalam aktifitasnya. Manusia seringkali melakukan sesuatu yang
dianggapnya baik, namun ternyata tindakannya tersebut dapat berakibat pada
perubahan ekosistem pantai. Misalnya menebang mangrove untuk kebutuhan
bahan bakar dan bahan bangunan, menambang pasir, membuat sumur-sumur
dipesisir untuk keperluan industry secara berlebihan, dan lain-lain. Manusia terlalu
egois dalam memanfaatkan ekosistem pantai, hanya bisa mengambil tanpa bisa
memberi. Meninggalkan kerusakan-kerusakan tanpa mau memperbaikinya.
Manusia belum sadar bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh meraka akan
berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, baik
sekarang maupun yang akan datang.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-9


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Survey membuktikan setidaknya ada 5 penyebab abrasi yang disebabkan oleh


manusia, yaitu (Diposaptono, 2011):

a. Terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat bangunan buatan


seperti Groin, jetty, Breakwater pelabuhan dan reklamasi yang sejajar garis
pantai.

b. Timbulnya perubahan arus akibat adanya bangunan di pantai / maritime.

c. Berkurangnya suplai sedimen dari sungai akibat penambangan pasir,


dibangunnya dam disebelah hulu sungai dan sudetan (pemindahan arus
sungai).

d. Penambangan terumbu karang dan pasir pantai.

e. Penebangan dan Penggundulan hutan mangrove

2.1.4 Dampak dan Penanggulangan Abrasi Pantai

Abrasi pantai disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia, seperti
pengambilan batu dan pasir di pesisir pantai, atau penebangan pohon di sekitar
pantai, kurang diperhatikannya hutan mangrove. Manusia mengambil kayu dari
hutan mangrove dan hutan pantai untuk kehidupan sehari-hari, seperti untuk
kebutuhan bahan bakar dan bahan bangunan rumah. Apabila pengambilan kayu
dilakukan secara terus-menerus maka pohon-pohon di pesisir pantai akan
berkurang dan habis. Kerapatan pohon yang rendah pada pesisir pantai
memperbesar peluang terjadinya abrasi, karena akar mangrove yang berfungsi
menahan tanah agar tidak mudah terbawa gelombang sudah habis bersamaan
dengan penebangan pohonnya yang habis ditebang manusia.

Dampak abrasi tentu sangat besar. Garis pantai akan semakin menyempit dan
apabila tidak diatasi lama kelamaan daerah-daerah yang mempunyai
permukaannya rendah akan tenggelam. Lokasi wisata terutama pantai yang indah
dan menjadi tujuan wisata akan menjadi rusak. Pemukiman warga daerah pesisir
dan tambak akan tergerus akibat gelombang laut hingga menyatu menjadi laut.
Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang telah direlokasi gara-gara abrasi pantai
ini. Banyak dilakukan reklamasi untuk menanggulangi abrasi namun tetap
berdampak pada daerah yang memiliki ketinggian rendah dalam bentuk banjir rob.
Abrasi pantai juga berpotensi menenggelamkan beberapa pulau kecil di sekitar
perairan Indonesia.

Secara alami pantai telah memiliki pelindung alami akan tetapi dalam
perkembangannya terdapat perubahan yang sangat signifikan dan berpengaruh
Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-10
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

pada garis pantai. Solusi untuk mengatasi abrasi tidak boleh sembarangan dan
harus memperhatikan kondisi sekitar agar solusi yang di ambil sesuai dan efektif.
Penanggunalang abrasi pada daerah pantai berbeda satu sama lain tergantung
dari kondisi fisik dan lingkungan social ekonomi pantai tersebut. Hal ini akan
dibahas lebih lanjut pada poin mitigasi abrasi.

Selanjutnya secara lebih spesifik dampak yang diakibatkan oleh abrasi antara lain
(Ramadhan, 2013) :

a. Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang


tinggal di pinggir pantai secara terus menerus.

b. Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang


didorong angin kencang begitu besar.

c. Rusaknya infrastruktur di sepanjang pantai, mis: Tiang Listrik, Jalan, Dermaga,


dan lain-lain.

d. Kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan pantai karena terkikisnya


hutan bakau

Daerah pantai yang mengalami abrasi sangat sulit untuk dipulihkan atau kembali
dalam keadaaan normal. Selain itu juga, kerusakan pantai akibat abrasi dapat
menggangu mata pencaharian penduduk disekitar, terutama yang berprofesi
sebagai nelayan. Pantai yang mengalami abrasi jika tidak di tanggulangi akan
berakibat kerusakan pantai yang semakin parah.

Sedia payung sebelum hujan. Setidaknya pepatah ini dapat kita gunakan utuk
meminimalisir terjadinya abrasi. Sebelum abrasi terjadi lebih parah, terdapat
tindakan pencegahan yang mungkin dapat kita lakukan baik secara perseorangan
atau berkelompok. Untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya abrasi pantai
yaitu (Ramadhan, 2013):

1. Pelestarian terumbu karang

Terumbu karang juga dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang yang


sampai ke pantai. oleh karena itu perlu pelestarian terumbu karang dengan
membuat peraturan untuk melindungi habitatnya. ekosistem terumbu karang,
padang lamun, mangrove dan vegetasi pantai lainnya merupakan pertahanan
alami yang efektif mereduksi kecepatan dan energi gelombang laut sehingga
dapat mencegah terjadinya abrasi pantai. jika abrasi pantai terjadi pada pulau-
pulau kecil yang berada di laut terbuka, maka proses penenggelaman pulau
akan berlangsung lebih cepat.
Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-11
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2. Melestarikan tanaman bakau/mangrove

Fungsi dari tanaman bakau yaitu untuk memecah gelombang yang menerjang
pantai dan memperkokoh daratan pantai, selain untuk mempertahnakan
pantai, mangrove juga berfungsi sebagai tempat berkembangbiakan ikan dan
kepiting.

3. Melarang penggalian pasir pantai

Pasir pantai yang terus menerus diambil akan mengurangi kekuatan pantai.

4. Sedangkan pada pantai yang telah atau akan mengalami abrasi, akan
dibuatkan pemecah ombak atau talud untuk mengurangi dampak dari
terjangan ombak, tindakan ini sering juga disebut tindakan pencegahan secara
teknis.

Secara teori untuk menanggulangi dampak abrasi ada dua cara yaitu:

1. Soft Solution

a. Penanaman tumbuhan pelindung pantai

Penanaman tumbuhan pelindung pantai (bakau, nipah dan pohon api-api)


dapat dilakukan terhadap pantai berlempung, karena pada pantai
berlempung pohon bakau dan pohon api api dapat tumbuh dengan baik
tanpa perlu perawatan yang rumit. Pohon bakau dan pohom api-api dapat
mengurangi energi gelombang yang mencapai pantai sehingga pantai
terlindung dari serangan gelombang

b. Pengisian pasir (sand nourishment)

Prinsip kerja sand nourishment yaitu dengan menambahkan suplai sedimen


ke daerah pantai yang potensial akan tererosi. Penambahan sedimen dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan dari laut maupun dari darat,
tergantung ketersediaan material dan kemudahan transportasi. Suplai
sedimen berfungsi sebagai cadangan sedimen yang akan di bawa oleh
badai (gelombang yang besar) sehingga tidak mengganggu garis pantai.
Diusahakan kualitas pasir urugan harus lebih baik atau sama dengan
kualitas pasir yang akan diurug atau diameter pasir urugan diusahakan
lebih besar atau sama dengan diameter pasir asli (Triatmodjo, 1999).

2. Hard Solution

Salah satu metode penanggulangan erosi pantai adalah hard solution atau
penggunaan struktur pelindung pantai, dimana struktur tersebut berfungsi sebagai
Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-12
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

peredam energi gelombang pada lokasi tertentu. Namun banyak tulisan


sebelumnya bahwa struktur pelindung pantai dengan material batu alam yang
cenderung tidak ramah lingkungan dan tidak ekonomis lagi apabila dilaksanakan
pada daerah-daerah pantai yang mengalami kesulitan dalam memperoleh material
tersebut.

Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan karena


serangan gelombang dan arus. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
melindungi pantai yaitu:

a. memperkuat pantai atau melindungi pantai agar mampu menahan kerusakan


karena serangan gelombang

b. mengubah laju transpor sedimen sepanjang pantai

c. mengurangi energi gelombang yang sampai ke pantai

d. reklamasi dengan menambah suplai sedimen ke pantai atau dengan cara lain

Sesuai dengan fungsinya, bangunan pantai dapat diklasifikasikan dalam tiga


kelompok yaitu:

a. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar garis pantai

b. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai

c. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kikra-kira sejajar garis pantai

2.1.5 Jenis-Jenis Bangunan Pengaman Pantai

A. Groin

Groin adalah struktur pengaman pantai yang dibangun menjorok relatif tegak lurus
terhadap arah pantai. Bahan konstruksinya umumnya kayu, baja, beton (pipa
beton), dan batu. Pemasangan Groins menginterupsi aliran arus pantai sehingga
pasir terperangkap pada “upcurrent side,” sedangkan pada “downcurrent side”
terjadi erosi, karena pergerakan arus pantai yang berlanjut.

Penggunaan Groin dengan mneggunakan satu buah Groin tidaklah efektif.


Biasanya perlindungan pantai dilakukan dengan membuat suatu seri bangunan
yang terdiri dari beberapa Groin yang ditempatkan dengan jarak tertentu. Hal ini
dimaksudkan agar perubahan garis pantai tidak terlalu signifikan. Selain tipe lurus
seperti yang ada pada gambar ada juga Groin tipe L dan tipe T, yang kesemuanya
dibangun berdasarkan kebutuhan

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-13


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 9 Perlindungan pantai dengan Groin melengkung.

Gambar 10 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan sistem Groin.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-14


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

B. Breakwater

Breakwater atau dalam hal ini pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan
yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai.
Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk perlindungan pantai
terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum sampai ke
pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Endapan ini dapat
menghalangi transport sedimen sepanjang pantai.

Gambar 11 Perlindungan pantai dengan sistem Breakwater.

Gambar 12 Konfigurasi tipikal pantai yang dilindungi dengan pemecah


gelombang.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-15


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

C. Revetment

Revetment adalah struktur di pantai dan dibangun searah pantai dengan fungsi
utama melindungi pantai yang tererosi. Struktur Revetment secara tipikal terdiri
dari lapisan luar terbuat dari batu, beton, atau aspal untuk melindungi profil pantai
dengan kemiringan alami. Dalam praktek, dibedakan antara Revetment dan
tembok pantai berdasarkan fungsinya dalam melindungi pantai, tetapi dalam
literatur teknik biasanya tidak ada perbedaan diantara keduanya.

Gambar 13 Perlindungan pantai dengan Revetment.

2.1.6 Contoh Kasus

A. Contoh Kasus Abrasi Pantai Pulau Wawoni Sulawesi Tenggara

Pulau dengan luas sekitar 1000 km2 ini terletak pada bagian tenggara Kota
Kendari. Pulau ini bisa dicapai dengan kapal ferry sekitar 4 jam dari Kota Kendari
yang tiap hari melayani Kendari – Langara PP. Bulan April – September
gelombang besar terjadi sehingga transportasi laut praktis tidak dapat dilakukan
terutama daerah Pantai Wawonii sebelah Timur. Pada bulan-bulan tersebut terjadi
gelombang arah Timur dari Laut Banda.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-16


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Kec. Wawonii
Utara

Kec. Wawonii
Timur Laut

Kec. Wawonii
Timur

Kec. Wawonii
Tenggara

Gambar 14 Peta Google Earth Pulau Wawoni.

Gambar 15 Kondisi pantai Pulau Wawoni (1).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-17


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 16 Kondisi pantai Pulau Wawoni (2).

KONDISI PANTAI LABISA


KECAMATAN WAWONII UTARA

Tahun 1982 penduduk Desa Labisa pindah dari lokasi ini


karena adanya abrasi sehingga mengakibatkan rumah,
Sekolah Dasar dan areal pemakaman hilang, lokasi
Desa Labisa di sebelah Barat Sungai Sungai Lansilowo.

Gambar 17 Kondisi pantai Pulau Wawoni (3).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-18


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 18 Kondisi pantai Pulau Wawoni (4).

Gambar 19 Kondisi pantai Pulau Wawoni (5).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-19


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Kondisi pantai di Pulau Wawonii termasuk


dalam pantai curam, dimana pada jarak kurang
dari 100 m kedalaman mencapai lebih dari -40
m. Dari informasi masyarakat, lokasi-lokasi
yang mengalami abrasi terdapat di wilayah
Wawonii Utara, Wawonii Timur Laut, Wawonii
Distribusi Kecepatan dan Arah Angin Jam-jaman
1997-2006
Lokasi: Ambari
Timur dan Wawonii Tenggara. Abrasi yang
terjadi di lokasi-lokasi tersebut di atas
BL U TL
didominasi karena adanya gelombang tegak
40%

30% lurus pantai, dengan kondisi pantai yang


20%

10%
curam, pasir yang dibawa gelombang terjebak
B
0%

T
di perairan dalam sehingga tidak dapat
kembali lagi kearah pantai. Fenomena
gelombang tegak lurus pantai ini dapat dilihat
dari foto bangunan yang tegak lurus pantai
BD S TG
dimana di kanan dan kiri bangunan tidak
Tidak Berangin = 28.87% Tidak Tercatat = 29.66% terdapat penumpukan sedimen
Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.
Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 20 Identifikasi permasalahan pantai Pulau Wawoni.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-20


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

B. Contoh Kasus Abrasi Pantai Kasipute - Boepinang Sulawesi Tenggara

1. Lokasi pertama “SID Pantai Kasipute – Boepinang Kabupaten Bombana


propinsi Sulawesi Tenggara” berada di pantai kasipute kecamatan rumbia
berjarak 180 km dari kota kendari dengan waktu tempuh ± 3 jam

2. Pantai Kasipute termasuk kedalam wilayah administrasi kelurahan kasipute


dan kelurahan lampopala

3. Panjang garis pantai kasipute sekitar 7 km, dengan kondisi pantai mengalami
abrasi dan banyak pemukiman penduduk yang berada di pesisir pantai
kasipute

4. Pada tahun 2012-2013 sudah ada desain pengamanan pantai kasipute oleh
pihak balai wilayah sungai sulawesi IV sepanjang 750 m , dan sudah ada
realisasi pebangunan pada tahun 2014, yang diperuntukkan untuk
mengamankan fasilitas umum dan pemukiman

5. Sudah ada rencana pembangunan reklamasi, talud dan jalan dari pemda
setempat yang di peruntukkan untuk wilayah komersil atau ruang publik,
panjang rencana talud yang akan dibangun untuk ruang publik sekitar 1,5 km.

6. Angin dominan yang terjadi di pantai kasipute dari arah timur terjadi pada
bulan agustus sampai oktober

7. Terdapat 3 muara sungai yang bermuara di pantai kasipute

8. Lokasi kedua “SID Pantai Kasipute – Boepinang Kabupaten Bombana propinsi


Sulawesi Tenggara” berada di pantai Boepinang berjarak 85 km dari pantai
kasipute dengan waktu tempuh ± 2 jam perjalanan.

9. Pantai Boepinang masuk kedalam wilayah administrasi kelurahan Boepinang


yang terdiri dari dua dusun yaitu dusun bajo barat dan bajo timur.

10. Pemukiman penduduk di pantai boepinang berada di atas laut, dikarenakan


mayoritas penduduk yang tinggal di pantai boepinang adalah masyarakat bajo

11. Angin dominan yang terjadi di pantai boepinang dari arah barat terjadi pada
bulan desember sampai februari

Untuk lokasi Pantai Kasipute, berikut adalah berberapa masalah yang berhasil di
identifikasi, yaitu:

1. Ketika musim angin Timur, banyak lokasi pemukiman yang terletak di pinggir
pantai sudah mulai terancam karena pada saat itu gelombang cukup besar

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-21


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

menghantam garis pantai. Di lokasi lain juga yang sudah mulai mengalami
kerusakan adalah tanggul jalan. Tanggul jalan ini sudah mulai mengalami
kerusakan pada kaki tanggul hal ini terjadi karena tanggul tersebut tidak di
desain untuk menahan gelombang.

2. Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Bombana mempunyai rencana untuk


mengembangkan kawasan Pantai Kasipute sebagai area rekreasi dan ruang
publik terpadu dan pada saat ini pembangunannya sudah mulai dilaksanakan.
Namun dari segi teknis setiap perencanaan yang ada di kawasan pantai harus
mempunyai kajian teknis khususu karena setiap penambahan bangunan di
pantai akan merubah keseimbangan garis pantai yang ada. Namun untuk
kasus rencana masterplan ini Pemda Kabupaten Bombana belum mempunyai
kajian teknis terkait dengan pelaksanaan dari rencana tersebut

Sedangkan untuk lokasi Pantai Boepinang, berikut adalah berberapa masalah


yang berhasil di identifikasi, yaitu:

1. Pada saat ini lokasi pemukiman yang berada di pinggir pantai sudah mulai
terancam oleh gelombang terutama pada saat musim Barat. Ketika musim
Barat ini berlangsung banyak rumah penduduk yang mayoritas berupa rumah
panggung masyarakat Bajo, bergoyang dan posisi tiangnya mulai miring
akibat hantaman gelombang. Jika hal ini dibiarkan akan merusak pemukiman
yang jumlahnya cukup banyak di pinggir pantai.

2. Melalui pengamatan visual, jenis tanah yang ada di lokasi adalah lumpur oleh
karena itu dalam aspek perencanaan pengamanan pantai harus
dipertimbangkan daya dukung struktur supaya tidak mengalami penurunan

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-22


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 21 Lokasi Pantai Kasipute dan Pantai Boepinang.

Gambar 22 Lokasi Pantai Kasipute berdasarkan peta Dishidros.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-23


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 23 Lokasi Pantai Boepinang berdasarkan peta Dishidros.

Gambar 24 Sketsa lokasi Pantai Kasipute (1).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-24


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 25 Sketsa lokasi Pantai Kasipute (2).

Distribusi Kecepatan dan Arah Angin Jam-jaman


2002-2012
Lokasi: Kendari

BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Tidak Berangin = 6.50% Tidak Tercatat = 0.07%

Jenis tongkat menunjukkan kecepatan angin dalam knot.


Panjang tongkat menunjukkan persentase kejadian.

Gambar 26 Data windrose.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-25


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 27 Kondisi Pantai Kasipute (1).

Gambar 28 Kondisi Pantai Kasipute (2).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-26


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 29 Kondisi Pantai Kasipute (3).

Gambar 30 Kondisi Pantai Kasipute (4).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-27


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Pembangunan Talud
dari Pihak BWSS IV

Gambar 31 Masterplan Pantai Kasipute.

Gambar 32 Kondisi Pantai Kasipute (5).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-28


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

C. Contoh Kasus Abrasi Pantai Pulau Lembeh Sulawesi Utara

Lokasi pekerjaan berada di Pulau Lembeh, tepatnya di Kecamatan Lembeh Utara


dan Lembeh Selatan, Kota Bitung Propinsi Sulawesi Utara. Untuk mencapai Kota
Bitung dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat menggunakan mobil
dengan jarak tempuh kuran lebih 2 jam. Dari Kota Bitung menuju Pulau Lembeh
dapat menggunakan jalur laut dengan waktu tempuh kuran lebih 30 menit. Pulau
Lembeh sendiri terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Lembeh Selatan
dan Kecamatan Lembeh Utara. Berikut ini akan diuraikan hasil identifikasi
kerusakan pantai untuk masing-masing lokasi di Pulau Lembeh.

Kerusakan akibat abrasi yang terdapat di Kelurahan Pasir Panjang sudah


berlangsung cukup lama. Kerusakan akibat abrasi biasanya berlangsung pada
saat gelombang tinggi terjadi yaitu antara bulan Juli – Oktober dimana gelombang
yang datang adalah gelombang Selatan

Kec.Ranowul
Kec.Aertemb

Kec.Maesa
Kec.Lembe
Kec.Madidir
h Utara
Kec.Girian

Kec.Matuari
Kec.Lembeh
Selatan

Gambar 33 Peta lokasi pekerjaan di Pulau Lembeh.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-29


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Kota Bitung Kec.Lembeh


Utara

Pulau Lembeh

Kec.Lembeh
Selatan

Gambar 34 Peta lokasi pekerjaan di Pulau Lembeh dari Peta Dishidros.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-30


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 35 Kondisi pantai di Pulau Lembeh.

Gambar 36 Kondisi pantai di Pulau Lembeh.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-31


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Rekapitulasi Kondisi Pantai dan Kerusakan di Pulau Lembeh

1 Uraian Lokasi Deskripsi

Nama Propinsi : Sulawesi Utara


Nama Kabupaten / Kota : Bitung
Nama Kecamatan : Lembeh Selatan
Nama Desa : Pancuran

2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Deskripsi

Mata Pencaharian : Nelayan


Kondisi Infrastruktur : Bangunan Pemukiman, SD dan SMP Mengalami kerusakan
Kondisi Sanitasi : Baik
Sumber Air Minum : Air permukaan
Jumlah KK : 20 KK
Lokasi Perumahan Terkait Dengan Lokasi Pantai : 20 m

3 Hidrologi Deskripsi

Nama Sungai : -
Apakah Sudah Ada Jetty -
Kondisi Sedimentasi : -
Kejadian Banjir : -
Kerugian Akibat Banjir : -
Penyebab Banjir : -

4 Hidro-Oseanografi Deskripsi

Rentang Pasang Surut : 1.5 - 2.0 m


Tipe Pasang Surut : Semi Diurnal Dominant
Kondisi Gelombang Sehari-Hari : 0.5 - 0.75 m
Kejadian Gelombang Besar : Juli - Oktober
Kerusakan Akibat Gelombang Besar : Perumahan Penduduk Terkena Abrasi Gelombang dan Limpas Saat Pasang
Lokasi Gelombang Pecah : 150 m
Arah Gelombang Besar : Selatan
Fenomena Alam Yang Pernah Terjadi : -
Kedalaman Pantai : - 5 pada jarak 100 m

5 Kondisi Fisik Pantai Deskripsi

Tipe Morfologi Pantai : Teluk Landai


Jenis Kerusakan Pantai : Abrasi
Laju Kerusakan Garis Pantai Relatif Tetap Sejak ada Tanggul Pada Tahun 2000
Keberadaan Terumbu Karang : -
Keberadaan Tambak dan Pertanian : -
Material Dasar Bangunan : -
Jenis Tanah : Pasir
Keberadaan Hutan Mangrove : -
Kondisi Sekarang Hutan Mangrove : -
Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove : -

6 Kondisi Infrastruktur Deskripsi

Apakah Sudah Ada Bangunan Perlindungan Pantai : Ada Berupa Tanggul Sederhana
Bagaimana Kondisi Bangunan Perlindungan Pantai : Saat Gelombang Tinggi dan Pasang Air Masih Bisa Masuk ke Pemukiman
Penyebab Kerusakan Bangunan : -
Umur Bangunan : -
Material Dasar Bangunan : Pasangan Batu
Apakah Ada Pelabuhan di Lokasi : Pelabuhan Rakyat
Jenis Pelabuhan : Dermaga Beton
Jenis Perlindungan Pelabuhan : -

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-32


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2 Uraian Materi Tentang Muara Sungai

2.2.1 Definisi Muara Sungai

Pada Estuari atau muara sungai, Komponen penting yang mengatur dinamika dan
pertukaran antara dua masa air yang berbeda adalah pasut. Meskipun demikian,
di alam ada pula estuari yang berada di daerah non pasut, daerah ini sering
dinamai dengan laguna. Di laut yang non pasut ini, sungai secara alarni lebih
sering membentuk delta dari pada estuari.

Untuk keperluan penanggulangan kerusakan muara sungai, perlu diketahui secara


pasti penyebab dominan permasalahan yang terdapat di muara sungai. Dengan
mengetahui permasalahan tersebut, perencana akan lebih mudah mencari jalan
pemecahan masalah yang paling tepat dan yang sesuai dengan lingkungan
sekitar. Ada beberapa parameter dominan yang mempengaruhi kerusakan muara
sungai, lima di antaranya adalah:

1) debit sungai,

2) angkutan sedimen sungai,

3) gelombang dan arus menyusur pantai,

4) angkutan sedimen pantai,

5) pasang surut dan arus pasang surut.

Pengaruh kelima parameter tersebut dapat berubah-ubah, tergantung pada waktu.


Pada saat musim kemarau, debit sungai dan sedimen sungai cukup kecil
sehingga pengaruhnya terhadap pembentukan muara sungai relatif kecil,
sedangkan pada waktu musim penghujan debit sungai dan sedimen sungai
sangat dominan dalam pembentukan muara sungai. Demikian pula pengaruh
gelombang pada pembentukan muara sungai, sangat tergantung pada musimnya.

Di Indonesia terdapat beberapa musim di antaranya, ialah musim kemarau dan


musim penghujan dalam kaitannya dengan banjir, musim barat dan musim timur
dalam kaitannya dengan gelombang, serta pasang purnama dan perbani dalam
kaitannya dengan arus pasang surut. Untuk menganalisis permasalahan muara
sungai, perlu dikaji parameter-parameter tersebut dengan memasukkan faktor
musim yang terdapat di wilayah setempat, dalam hal ini musim yang terdapat di
Indonesia.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-33


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2.2 Fungsi Muara Sungai

Ditinjau dari sudut perekonomian, muara memiliki posisi yang penting karena
berfungsi sebagai pintu penghubung antara laut dan daerah pedalaman. Hal ini
dijumpai terutama di Pulau-pulau yang memiliki sungai-sungai yang lebar dan
dalam seperti Sumatera (Sungai Musi di Palembang) dan Kalimantan (Sungai
Barito, Kapuas dan Sungai Mahakam). Pengaruh pasang surut menyebabkan
perubahan muka air secara periodik di muara sungai. Debit air yang besar dan
didukung dengan energi pasang surut yang cukup tinggi akan menjaga kondisi
dasar perairan di mulut sungai dan estuari cukup dalam untuk pelayaran sungai,
sehingga kondisi muara sungai yang demikian sangat cocok digunakan sebagai
lokasi pelabuhan.

Selain dari sisi ekonomi, muara juga berfungsi sebagai penyangga ekosistem baik
terhadap sungai itu sendiri maupun terhadap lingkungan pantai sekitarnya.
Lingkungan estuari merupakan kawasan yang sangat penting bagi berbagai
spesies hewan dan tumbuhan. Pada daerah-daerah beriklim tropis seperti di
Indonesia, lingkungan estuari umumnya ditumbuhi oleh tumbuhan khas yang di
sebut Mangrove. Tumbuhan mangrove mampu beradaptasi dengan genangan air
laut yang kisaran salinitasnya cukup lebar Hutan mangrove adalah salah satu
contoh tetumbuhan muara yang selain berfungsi ekologis, juga berguna sebagai
pengaman pantai terhadap erosi (pengamanan non struktural).

2.2.3 Karateristik Fisik Muara Sungai

1) Salinitas

Salinitas di muara berfluktuasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan berubah
sesuai dengan waktu. Jika air laut dengan salinitas rata-rata 35o/ oo bercampur
dengan air tawar (salinitas 0o/ oo ), campuran air tersebut akan memiliki nilai
salinitas bervariasi di antaranya. Profil salinitas muara yang diidealkan diberikan
pada Gambar 37. Dalam kenyataan di lapangan, batas-batas salinitas tidak begitu
jelas seperti ditunjukkan pada Gambar 37.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-34


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 37 Profil salinitias muara (Castro dan Huber, 2007).

2) Morfologi Muara

Proses penggerak utama dalam morfologi muara adalah progradasi (progradation)


dan transgresi (transgression). Proses-proses tersebut secara umum membentuk
pantai (termasuk muara) sesuai dengan pasokan sedimen terkait dengan
kenaikan permukaan air laut relatif. Jika kenaikan muka air laut akibat pasang
tinggi, dan/atau pasokan sedimen relatif rendah, yang terjadi adalah transgresi ke
laut. Sebaliknya jika kenaikan muka air laut rendah, yang disertai dengan pasokan
sedimen yang tinggi, proses yang terjadi adalah progradasi. Gambar 38
menunjukkan proses progradasi dan transgresi yang membentuk morfologi
sebuah muara.

Gambar 38 Proses progradasi dan transgresi pembentukan muara.

Bagian sisi kiri dari Gambar 38 menggambarkan proses progradasi, yang mana
daratan akan bertambah, salah satunya karena permukaan laut yang turun relatif

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-35


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

terhadap daratan, atau akibat pasokan sedimen yang besar. Bagian sisi kanan
menggambarkan proses transgresif, salah satunya adalah akibat kenaikan
permukaan air laut, atau karena ketidakcukupan pasokan sedimen. Perlu
diperhatikan bahwa perubahan permukaan air laut adalah relatif, dalam arti
penurunan daratan dengan permukaan air laut konstan mempunyai pengaruh
yang sama jika elevasi daratan konstan dan permukaan air laut naik. Akibat
proses progradasi, deposisi sedimen sungai menyebabkan formasi delta. Jika
energi gelombang dan energi pasang surut rendah, sedimen sungai akan
terdeposisi di sepanjang kedua tepi sungai. Akibat gradien aliran sungai,
permukaan air pada suatu titik sepanjang sungai akan berangsur-angsur naik
karena titik tersebut terletak pada jarak yang lebih jauh dari mulut sungai. Pada
suatu saat, kemungkinan jika debit sungai tinggi, air sungai akan menggenangi
dan mengerosi tebing sungai dan terbentuk alur baru yang lebih pendek ke laut.

Proses yang sama berulang terus menerus, yang mana menyebabkan


terbentuknya formasi delta. Gelombang kuat dengan arus searah pantai akan
memperlebar formasi delta dalam arah sejajar pantai, sementara energi pasang
surut yang besar biasanya menghasilkan pola-pola tegaklurus garis pantai. Di luar
pengaruh aliran sungai dan sedimen fluvial, dataran pantai akan terbentuk jika
gaya gelombang dominan dan dataran pasang surut yang akan terbentuk jika
pengaruh pasang surut lebih dominan.

Pada proses transgresi, sebuah estuari adalah ekuivalen dari formasi delta dalam
proses progradasi, tetapi pada proses transgresi, pasokan sedimen tidak cukup
untuk mengatasi kenaikan relatif permukaan air laut. Pasokan sedimen tidak
hanya bersumber dari sungai (sedimen fluvial) tetapi juga berasal dari laut/pantai,
karena pasang naik atau gelombang memasok sedimen dari laut. Bahkan sebuah
laguna hanya mempunyai sumber pasokan sedimen dari laut, karena tidak ada
sungai yang mengalir ke dalamnya.

Bedasarkan berbagai proses geomorfologi yang terjadi, Gambar 16 memberikan


sebuah klasifikasi untuk proses progradasi dan transgresi pada pembentukan
muara sungai. Pengaruh energi yang berasal dari sungai digambarkan dalam
sumbu vertikal, sementara pengaruh pantai dalam sumbu horisontal, energi
gelombang ke kiri dan energi pasang surut ke kanan. Puncak segitiga
menggambarkan formasi delta; bagian dasar segitiga menggambarkan dataran
pantai dan dataran pasut; estuari terletak di antaranya. Laguna adalah bagian
paling akhir dari spektrum estuari. ”Kedalaman” pada gambar memberikan ide

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-36


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

tentang evolusi terhadap waktu, relatif terhadap perubahan permukaan air laut
dan pasokan sedimen. Sesuai dengan kenaikan permukaan air laut, delta akan
berubah menjadi estuari atau sebaliknya. Dataran pantai dan dataran pasang
surut akan ”hilang” dan berubah menjadi perairan dangkal jika permukaan laut
naik.

delta
SUNGAI

Prograding dataran pantai


fluvial source TR
dataran pasut AN
kenaikan daya fluvial

delta
SG
R
ES

F
I

TI
estuari estuari
Embayed

LA
didominasi didominasi
mixed source

E
R
gelombang pasut

TU
AK
laguna

W
Marine P
source dataran pantai dataran pasut R
O
G
R
GELOMBANG PASUT A
D
daya gelombang/ pasut A
S
I

Gambar 39 Diagram klasifikasi muara (Boyd dkk, 1992 dan Dalrymple dkk, 1992).

Menurut Boyd dkk (1992) dan Dalrymple dkk (1992), bentuk muara sungai dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok tergantung pada faktor-faktor dominan yang
mempengaruhinya, yaitu gelombang, sungai dan pasang surut.

Pada bagian-bagian berikut diuraikan tentang bentuk-bentuk muara sungai sesuai


dengan faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya serta masalah-masalah
yang mungkin terjadi.

Secara morfologi Muara sungai secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam,
sesuai dengan faktor dominan yang mempengaruhi muara. Ketiga macam tipe
muara tersebut adalah sebagai berikut

a. Muara yang didominasi gelombang laut (wave-dominated river mouth)

Tipe muara ini ditandai dengan angkutan sedimen menyusur pantai setiap tahun
cukup besar dan arus menyusur pantai cukup dominan dalam pembentukan
muara sungai. Pada tipe ini biasanya muara tertutup oleh lidah pasir dengan pola
sedimentasi, seperti terlihat pada Gambar 40. Pola sedimentasi yang terjadi di
muara tersebut sangat tergantung pada arah gelombang.

Jika arah gelombang dominan menyudut terhadap pantai, akan terjadi penutupan
muara dengan arah penutupan sesuai dengan arah gerakan pasir menyusur

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-37


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

pantai). Pada kondisi muara dengan arah gelombang dominan yang relatif tegak
lurus dengan pantai, pola sedimentasi akan terlihat, seperti pada Gambar 40.

Permasalahan utama pada sungai ini ialah saat awal musim hujan, yatu ketika
endapan pasir di muara cukup tinggi dan biasanya muara cukup sempit. Muara
tidak mampu menyalurkan air banjir diawal musim hujan. Jika sungai tersebut juga
digunakan untuk keperluan nelayan, nelayan tidak dapat atau sulit memasuki
muara sungai pada kondisi seperti itu.

Jika arah gelombang dominan menyudut, muara sungai akan sering berpindah
tempat sehingga dapat menyulitkan pengendalian banjir ataupun pengelolaan
daerah sekitar muara.

Pantai

Pantai
Arah
Gelombang

Tebing

Arah
Gelombang
Alur Lidah Pasir
Bar

Alur

Tampak
Atas

a) Arah gelombang tegak lurus pantai

Puncak Bar

Alur

c) Potongan memanjang

Alur

Endapan
b) Arah gelombang membentuk
sudut dengan garis pantai
d) Potongan melintang

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 40 Tipe muara yang didominasi gelombang laut.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-38


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 41 Contoh muara yang didominasi gelombang (arah laut).

Gambar 42 Contoh muara yang didominasi gelombang (arah darat).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-39


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 43 Contoh muara yang didominasi gelombang laut.

b. Muara yang didominasi aliran sungai (river flow-dominated river mouth)

Tipe muara ini ditandai dengan debit sungai menyusur setiap tahunan cukup
besar sehingga debit tersebut merupakan parameter utama pembentukan muara
sungai. Pola sedimentasi pada muara tipe ini dapat dilihat pada Gambar 44.

Pendangkalan yang serius biasanya tidak terjadi pada tipe muara ini. Hal ini
disebabkan aliran air sungai yang terjadi cukup besar sehingga mampu
memelihara atau merawat kedalaman alur sungai. Jika aliran sungai cukup
banyak membawa material sedimen, garis pantai akan cepat maju dan
membentuk tanjungan.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-40


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

tebing

alur ambang

tebing
pasir kasar

pasir halus

lempung
Tampak Atas
campuran pasir dan lempung

mulut
puncak ambang

alur

Potongan Melintang

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 44 Tipe muara yang didominasi aliran sungai.

Gambar 45 Contoh muara yang didominasi sungai (delta Bengawan Solo).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-41


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. Muara yang didominasi pasang surut (tide-dominated river mouth)

Tipe muara ini ditandai dengan fluktuasi pasang surut yang cukup besar sehingga
arus yang terjadi akibat pasang surut ini cukup potensial untuk membentuk muara
sungai. Pada tipe ini terjadi angkutan sedimen dua arah (arah laut dan arah darat).
Muara biasanya berbentuk corong atau lonceng (bell shape) dengan beberapa
alur dan pendangkalan seperti terlihat pada Gambar 46.

Permasalahan utama pada tipe muara ini bukan penutupan muaranya, tetapi
pendangkalan yang terjadi di muara sungai dapat mengganggu pelayaran atau
navigasi.

C
Potongan Melintang A
A A
B

Tebing
A
Alur Endapan Pendangkalan
Pasir

A
Tebing
B C

Potongan Melintang B
B B

Potongan Melintang C

Sumber : Pekerjaan Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai (2007)

Gambar 46 Tipe muara yang didominasi pasang surut.

Karena sangat banyak muara sungai di Indonesia yang bermasalah, dalam usaha
memperbaiki kondisi muara tersebut haruslah dipilih muara sungai yang
mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Di bawah ini diberikan pedoman untuk
menentukan pemilihan proyek perbaikan muara sungai, yaitu dengan memberikan
urutan prioritas terhadap muara yang mempunyai kriteria sebagai berikut.

a. muara sungai yang bagian hulunya merupakan daerah yang nilainya cukup
tinggi dan perlu dilindungi dari ancaman banjir, misalnya daerah industri dan
daerah permukiman yang padat;

b. muara sungai yang dipergunakan untuk keperluan pelayaran, baik untuk


keperluan niaga maupun untuk keperluan perikanan;

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-42


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. muara sungai yang bagian hulunya mempunyai potensi yang besar untuk
pertanian dan pertambakan sehingga diperlukan adanya kelancaran aliran air
di sungai tersebut;

d. muara sungai yang selalu berpindah-pindah dan merusak daerah sekitar yang
telah dikembangkan menjadi daerah pariwisata atau daerah industri.

Dalam menentukan langkah-langkah perbaikan muara sungai, perlu


dipertimbangkan cara yang paling tepat dan yang paling ekonomis. Dalam
kaitannya dengan desain bangunan jeti, yang sangat menentukan dalam
penentuan biaya adalah jenis konstruksi jeti dan panjang jeti. Oleh karena itu, agar
biaya pembuatan jeti dapat ditekan, perlu ditetapkan dengan jelas fungsi
bangunan jeti yang akan dibuat tersebut. Dengan demikian, panjang jeti dapat
disesuaikan dengan maksud tersebut. Sebagai contoh, untuk keperluan stabilisasi
muara sungai, tidak perlu dibangun jeti yang panjang. Pembuatan bangunan jeti
yang terlalu panjang justru dapat menimbulkan permasalahan di tempat yang lain
dan hal ini perlu dihindarkan. Di samping itu, perlu ditekankan bahwa ada jenis
konstruksi tertentu yang biaya pembangunannya murah, tetapi biaya
perawatannya tinggi sehingga perlu dipertimbangkan dalam desainnya.

3) Prisma Pasang Surut

Berkaitan dengan permasalahan di muara sungai perlu diketahui suatu parameter


yang dikenal dengan nama prisma pasang surut (tidal prism), P, yaitu volume air
laut yang mengalir masuk ke atau keluar dari sebuah sistem muara melalui mulut
sungai antara titik balik air surut (low water slack) dan titik balik air pasang (high
water slack) berikutnya atau sebaliknya. Apabila tidak ada aliran dari hulu sungai,
maka volume air yang masuk ke muara pada saat air pasang (flood tide) dan
volume yang keluar dari muara pada saat air surut (ebb tide) adalah sama. Prisma
pasang surut dapat dihitung secara matematis sebagai berikut
T p atauT s

P= ∫ Q (t ) dt ………………………………………………………………………… (1)
0

di mana

P = prisma pasang surut

Tp = perioda air pasang

Ts = perioda air surut

Q(t) = debit yang melalui mulut sungai

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-43


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

T = perioda pasang surut = T p + T s

Apabila bentuk kurva pasang surut dianggap berbentuk sinusoidal, prisma pasang
surut dapat didekati sebagai berikut

Q maxT
P= ……………………………………………………………………………….…(2)
πC k

di mana

Q max = debit maksimum

Ck = faktor koreksi, antara 0,811 – 0,999

Prisma pasang surut juga dapat dihitung secara analitis apabila distribusi
kecepatan arus pada vertikal di mulut sungai diketahui

A = a1P m1 .....................................................................................................................(3)

di mana

A = luas penampang aliran pada muka air rata-rata untuk kondisi pasang
purnama (m2)

P = prisma pasang surut (m3)

Jarret (1976) telah menganalisis persamaan di atas berdasarkan sejumlah besar


data untuk mendapatkan nilai a1 dan m1, hasilnya adalah:

A 1.58 ×10−4 P 0.95 .........................................................................................................(4)


=

2.2.4 Parameter Desain Muara

Sebelum melakukan upaya-upaya perbaikan muara melalui desain yang sesuai,


perlu diketahui lebih dahulu penyebab utama permasalahan yang menyebabkan
kerusakan. Dengan memahami masalah tersebut, seorang perencana akan lebih
mudah mencari solusi yang tepat sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap permasalahan di muara adalah

1) Kecepatan arus atau debit sungai

2) Angkutan sedimen sungai (bed load dan suspended load)

3) Gelombang dan arus searah pantai

4) Angkutan sedimen pantai (bed load dan suspended load)

5) Energi pasang surut

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-44


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Pengaruh kelima parameter tersebut terhadap di atas bervariasi sesuai dengan


musim. Sebagai contoh, pada waktu musim kemarau debit sungai dan sedimen
sungai cukup kecil sehingga pengaruhnya terhadap pembentukan muara sungai
relatif kecil. Sementara pada saat musim hujan debit sungai dan sedimen sungai
cukup dominan dalam pembentukan muara sungai. Demikian pula pengaruh
gelombang pada pembentukan muara sungai, sangat tergantung pada musimnya.

Di Indonesia terdapat beberapa musim di antaranya, ialah musim kemarau dan


musim penghujan dalam kaitannya dengan banjir, musim barat dan musim timur
dalam kaitannya dengan gelombang, serta pasang purnama dan perbani dalam
kaitannya dengan arus pasang surut. Untuk menganalisis permasalahan muara
sungai, perlu dikaji parameter-parameter tersebut dengan memasukkan faktor
musim yang terdapat di wilayah setempat, dalam hal ini musim yang terdapat di
Indonesia.

2.2.5 Kriteria Penanganan Muara Sungai

Karena sangat banyak muara sungai di Indonesia yang bermasalah, dalam usaha
memperbaiki kondisi muara tersebut haruslah dipilih muara sungai yang
mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Di bawah ini diberikan pedoman untuk
menentukan pemilihan proyek perbaikan muara sungai, yaitu dengan memberikan
urutan prioritas terhadap muara yang mempunyai kriteria sebagai berikut.

1) muara sungai yang bagian hulunya merupakan daerah yang nilainya cukup
tinggi dan perlu dilindungi dari ancaman banjir, misalnya daerah industri dan
daerah permukiman yang padat;

2) muara sungai yang dipergunakan untuk keperluan pelayaran, baik untuk


keperluan niaga maupun untuk keperluan perikanan;

3) muara sungai yang bagian hulunya mempunyai potensi yang besar untuk
pertanian dan pertambakan sehingga diperlukan adanya kelancaran aliran air
di sungai tersebut;

4) muara sungai yang selalu berpindah-pindah dan merusak daerah sekitar yang
telah dikembangkan menjadi daerah pariwisata atau daerah industri.

Dalam menentukan langkah-langkah perbaikan muara sungai, perlu


dipertimbangkan cara yang paling tepat dan yang paling ekonomis. Dalam
kaitannya dengan desain bangunan jeti, yang sangat menentukan dalam
penentuan biaya adalah jenis konstruksi jeti dan panjang jeti. Oleh karena itu, agar
biaya pembuatan jeti dapat ditekan, perlu ditetapkan dengan jelas fungsi

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-45


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

bangunan jeti yang akan dibuat tersebut. Dengan demikian, panjang jeti dapat
disesuaikan dengan maksud tersebut. Sebagai contoh, untuk keperluan stabilisasi
muara sungai, tidak perlu dibangun jeti yang panjang. Pembuatan bangunan jeti
yang terlalu panjang justru dapat menimbulkan permasalahan di tempat yang lain
dan hal ini perlu dihindarkan. Di samping itu, perlu ditekankan bahwa ada jenis
konstruksi tertentu yang biaya pembangunannya murah, tetapi biaya
perawatannya tinggi sehingga perlu dipertimbangkan dalam desainnya.

2.2.6 Kriteria stabilitas muara sungai

Stabilitas muara menurut Per Bruun merupakan refleksi dari perbandingan volume
prisma pasang surut (P) dibagi dengan volume angkutan sedimen menyusur
pantai (S). Nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. P/S ≥ 150 : Kondisi muara baik, terdapat sedikit tumpukan pasir dan

penggelontoran baik.

2. 100 ≤ P/S < 150 : Kondisi muara kurang baik, formasi tumpukan pasir terlihat di

mulut sungai.

3. 50 ≤ P/S < 100 : Tumpukan pasir membesar, tetapi alur muara masih dapat

menerobos tumpukan pasir.

4. 20 ≤ P/S < 50 : Mulut muara sudah dipenuhi tumpukan pasir, tetapi muara

masih berfungsi karena adanya aliran air tawar dari sungai.

5. P/S < 20 : Mulut muara sudah tidak stabil sama sekali.

2.2.7 Strategi Penanganan muara sungai

Sebagai tempat pertemuan antara sungai dan laut, sifat-sifat muara dipengaruhi
oleh besaran-besaran seperti: arus sungai (debit sungai), arus laut, gelombang,
energi pasang surut, laju transpor sedimen (dari sungai dan laut), dan besaran-
besaran lain. Seluruh besaran tersebut saling berinteraksi sebagai sebuah sistem
yang melibatkan masukan dan keluaran sehingga menghasilkan suatu bentuk
morfologi yang spesifik. Permasalahan yang paling sering dijumpai di muara
adalah sedimentasi, terutama oleh sedimen pasir yang berasal dari laut, sehingga
menyebabkan pendangkalan/pentupan sebagian atau seluruh mulut sungai.
Pendangkalan tersebut menyebabkan dua masalah pokok sebagai berikut

1) Ketidaklancaran pembuangan debit sungai (terutama pada saat banjir) ke laut


sehingga terjadi luapan (banjir) di daerah hulu sungai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-46


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2) Gangguan terhadap kapal dan perahu yang memanfaatkan muara sungai


sebagai alur pelayaran.

Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan penanganan untuk


menghalangi sedimen masuk ke muara sungai.

Strategi penanganan muara sungai ditentukan berdasarkan beberapa


pertimbangan, di antaranya adalah

1) pemanfaatan muara sungai

2) biaya pekerjaan

3) dampak bangunan terhadap lingkungan

4) biaya operasi dan pemeliharaan

5) ketersediaan bahan bangunan

Ada dua pilihan dasar yang perlu ditinjau, yaitu apakah muara sungai harus selalu
terbuka, atau pada waktu-waktu tertentu boleh tertutup? Apabila muara sungai
digunakan untuk lalu-lintas perahu, maka muara sungai harus selalu terbuka.
Untuk itu perlu dibuat jetty panjang yang menjorok ke laut hingga di luar zona
gelombang pecah. Apabila muara sungai hanya digunakan untuk melewatkan
debit banjir untuk mencegah luapan air sungai di bagian hulu, ada beberapa
alternatif penanganan yang bisa dilakukan.

Gambar 47 menyajikan beberapa alternatif bangunan dalam rangka penanganan


muara sungai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-47


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 47 Diagram alir tahapan penanganan muara sungai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-48


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1. Tanpa jetty – pengerukan dengan alat berat

T0 : Muara Sungai Terbuka T1 : Muara Membelok T2 : Muara Tertutup


Qs Qs
penggalian
Qs

laguna

2. Perkuatan Tebing – pengerukan dengan alat berat


T0 : Muara Terbuka T1 : Proses Penutupan T2 : Muara Tertutup

Qs Qs Qs

3. Muara Sungai – Stabilisasi dengan Jetty

Endapan di ujung jetty


setelah T2

T2
T1
T0
T0

T1
Sedimentasi Erosi
T2

Gambar 48 Alternatif penanganan muara sungai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-49


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.2.8 Contoh Kasus

A. Contoh Kasus Muara Sungai Progo

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 49 Peta rupa bumi Sungai Progo.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 50 Peta Google Earth Sungai Progo.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-50


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 51 Desain jetty Sungai Progo oleh BCEOM.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 52 Desain jetty Sungai Progo oleh Arief Nuryanto & Nur Yuwono, 2002.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-51


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 53 Foto udara muara Progo 13 Januari 2001.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 54 Foto udara muara Progo 7 April 2004.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-52


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 55 Konstruksi yang dilaksanakan tahun 2005.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 56 Konstruksi yang dilaksanakan tahun 2005.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-53


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 57 Konstruksi rubble mound jetty sisi kanan dengan bobot batu 1-2 ton
pada tahun 2006.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 58 Konstruksi jetty sisi kiri pada tahun 2006.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-54


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 59 Kondisi konstruksi jetty pada Maret 2006.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 60 Kondisi konstruksi jetty pada Maret 2006.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-55


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 61 Kondisi muara makin menyempit pada Mei 2006.

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 62 Kondisi muara makin menyempit pada Mei 2006.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-56


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sumber : Dinamika Muara Sungai, Istiarto


Gambar 63 Perbandingan kondisi muara pada Maret dan Mei 2006.

B. Contoh Kasus Muara Sungai Opak

Gambar 64 Lokasi pekerjaan di Muara Sungai Opak.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-57


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Secara geografis lokasi kegiatan Studi dan Review Desain Jetty dan Tanggul
Muara Sungai Opak berada di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada
bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat,
serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif
membujur dari utara ke selatan.

Muara sungai merupakan tempat bertemunya arus pasang surut air laut dengan
air sungai yang saling berlawanan. Kondisi itu akan memberi pengaruh kuat pada
proses sedimentasi. Pada kasus Kali Opak, sedimentasi material tersebut
mengakibatkan terjadinya pembelokan aliran air ke arah barat atau kanan.
Fenomena tersebut bisa diketahui dari hasil rekaman citra satelit. Fenomena yang
sama tampak pula di Kali Progo di Kulon Progo, Kali Bogowonto di Purworejo, dan
Kali Serayu di Cilacap yang berada di bagian selatan Pulau Jawa dan berhadapan
dengan Samudra Hindia. Pembelokan hanya terjadi antara wilayah Bantul sampai
Cilacap. (sumber: www.technogetz.wordpress.com).

Muara Kali Opak terletak di Kecamatan Kretek dan sebagian kecil di Kecamatan
Sanden Kabupaten Bantul. Kondisi Muara Kali Opak dapat dilihat pada foto-foto
lapangan berikut ini.

7
6
5 4
3 2
1

Gambar 65 Lokasi foto pekerjaan di Muara Sungai Opak.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-58


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 66 Foto-1: Muara Kali Opak ke arah Tenggara (Pantai Parangtritis).

Gambar 67 Foto-2: Muara Kali Opak ke arah Selatan (Samudera Hindia).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-59


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 68 Foto-3: Muara Kali Opak ke arah Barat Daya (Pantai Samas).

Gambar 69 Foto-4: Laguna Muara Kali Opak ke arah Barat Daya (Pantai Samas).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-60


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 70 Foto-5: Laguna Muara Kali Opak ke arah Utara.

Gambar 71 Foto-6: Laguna Muara Kali Opak ke arah Barat Daya (Pantai Samas).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-61


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Identifikasi Masalah Muara Sungai Opak

Beberapa faktor beloknya Muara Sungai Opak antara lain angin, pantai,
gelombang, muara sungai, musim, dan arus sungai.

Angin

Angin yang dominan bertiup dari arah tenggara dan menyudut menghantam
muara. “Pada Desember hingga Februari angin itu mulai menurun. Bahkan, pada
Maret angin bertiup dari arah barat ke tenggara,”. Angin yang bertiup lebih kuat
dikatakan sangat memengaruhi pembelokan aliran sungai karena angin itu
mendorong gelombang laut (swash).

Gelombang

Gelombang laut yang menyudut dengan bibir pantai dan muara yang membujur
dari tenggara ke barat menimbulkan longshore drift atau gerakan zig-zag sedimen
di sepanjang pantai. Pada kasus Kali Opak gerakan zig-zag yang terjadi dari arah
tenggara dan barat laut serta dari arah barat laut menghasilkan sedimen yang
memanjang dari timur ke barat. Adapun gerakan zig-zag yang berasal dari
tenggara menghasilkan sedimen lebih banyak dibandingkan dengan gerakan zig-
zag yang berasal dari arah barat. Hal itu disebabkan gerakan zig-zag di bagian
tenggara lebih lama dibandingkan gerakan zig-zag di bagian arah barat. Di bagian
tenggara, gerakan tersebut terjadi sejak April hingga November dan didukung pula
oleh suplai sedimen yang kontinu di muara Kali Opak. Sementara longshore drift
dari barat hanya terjadi selama dua bulan, dari Januari hingga Maret dan tidak
banyak berpengaruh dalam mengembalikan arus muara Sungai Opak.

Arus Sungai

Arus air sungai yang membawa sedimen dari daratan terhalang oleh sedimen dan
berbelok ke kanan. Pembelokan itu membuat posisi muara Kali Opak menjadi
miring dengan bibir pantai. Sedimen dari arah pantai yang dihasilkan longshore
drift kemudian terakumulasi bersama dengan endapan dari Sungai opak. Melalui
metode granulometri sampel sedimen pada titik sedimen antara bibir pantai dan
Sungai Opak yang berbelok. Sampel sedimen Sungai Opak memiliki komposisi
pasir dan kerikil dalam ukuran yang tidak seragam dengan warna terang.
Sementara di sungai yang berada di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta, tidak
terjadi pembelokan karena sedimennya berupa batuan kapur berukuran besar.

(Sumber: Yan Restu Freski dan Darmadi dari Taman Pintar Science Club,
Yogyakarta Tahun 2010)

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-62


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Gambar 72 Identifikasi arah gelombang di Muara Sungai Opak.

Arah Aliran

Wilayah Banjir

Wilayah Banjir

Sedimentasi
BL U TL
40%

30%

20%

10%

0%

B T

BD S TG
Tidak Berangin = 1.61% Tidak Tercatat = 5.26%

Gambar 73 Identifikasi permasalahan di Muara Sungai Opak.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-63


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3 Uraian Materi Tentang Aspek Monitoring dan Evaluasi

Untuk uraian monitoring dan evaluasi kerusakan bangunan pantai akibat bencana
akan dijabarkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No.
08/SE/M/2010 tanggal 17 Maret 2010 tentang Pemberlakuan Pedoman Penilaian
Kerusakan Pantai dan Prioritas Penanganannya.

2.3.1 Kriteria Penilaian Kerusakan Pantai

Untuk menilai kerusakan pantai dan menentukan prioritas penanganannya


digunakan langkah-langkah sebagai berikut (bagan alir penilaian kerusakan pantai
dapat dilihat pada gambar di bawah ini).

Mulai

Persiapan

Lokasi Pantai
yang Dinilai

Penilaian
Kerusakan Pantai

Uraian Kerusakan
Uraian Kerusakan Erosi/Abrasi dan Uraian Kerusakan
Diskripsi Lokasi
Lingkungan Kerusakan Sedimentasi
Bangunan

Pembobotan Tingkat
Kerusakan

Penentuan Tingkat
Kepentingan

Prioritas Penanganan

Lokasi Ya
Baru
Tidak

Urutan Prioritas

Selesai

Gambar 74 Bagan alir penilaian kerusakan pantai.

Penilaian kerusakan pantai ini akan dilakukan melalui suatu proses penilaian yang
sudah ditetapkan sebagai surat edaran menteri pekerjaan umum No.
08/SE/M/2010 tentang “Pemberlakuan Pedoman Penilaian Kerusakan Pantai dan
Prioritas Penanganannya”, dimana dalam menilai kerusakan pantai, pendekatan
yang digunakan ada 3 (tiga) macam yaitu:
Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-64
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

1) Kerusakan Lingkungan Pantai

Daerah pantai atau pesisir mempunyai sifat yang dinamis dan rentan terhadap
perubahan lingkungan baik karena proses alami maupun aktifitas manusia.
Manusia melakukan berbagai aktifitas untuk meningkatkan taraf hidupnya,
sehingga melakukan perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumber daya
alam yang berpengaruh terhadap lingkungan di daerah pantai. Daerah pantai atau
pesisir setidaknya memiliki karakteristik sebagai berikut.

1) Terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir


maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.

2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan pembangunan, misalnya untuk wisata dan perikanan;
permukiman dan pertambakan.

3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan bekerja yang
berbeda. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada.

4) Baik secara ekologis maupun ekonomis , pemanfaatan suatu kawasan pesisir


secara monokultural adalah sangat rentan terhadap perubahan internal
maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.

5) Kawasan pesisir merupakan milik bersama (common property resources) yang


dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open acces). Setiap pengguna
sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sehingga
menyebabkan terjadinya pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan
konflik pemanfaatan ruang.

Pantai secara alami berfungsi sebagai pembatas antara darat dan laut, tempat
hidup biota pantai dan tempat sungai bermuara. Dalam perkembangannya fungsi
pantai mengalami perubahan sesuai kebutuhan manusia, antara lain sebagai
tempat saluran bermuara tambak, , tempat peralihan kegiatan hidup di darat dan
di laut (pelabuhan, pelayaran), tempat hunian nelayan, tempat wisata, tempat
usaha, tempat budidaya pantai (tambak, pertanian), sumber bahan bangunan
(pasir, batu karang), kawasan idustri (PLTU, pabrik dan lain-lain).

Daerah pantai di Indonesia memiliki potensi sumber daya alam berupa sumber
daya alam dapat diperbarui (hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun,
sumber daya perikanan dan bahan-bahan bioaktif), sumber daya alam tidak dapat

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-65


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

diperbarui (meliputi seluruh mineral dan geologi) dan jasa-jasa lingkungan (fungsi
pantai sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan
komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan
keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climate regulator), kawasan
perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistem penunjang kehidupan serta
fungsi ekologisnya.

Sumberdaya alam yang ada di daerah pantai, telah dimanfaatkan untuk


pemenuhan berbagai kebutuhan manusia, balk sebagai mats pencaharian,
sumber pangan, mineral, energi, devisa negara, dan lain-lain. Agar potensi
sumber daya alam ini dapat dimanfaatkan sepanjang mass dan berkelanjutan
dipedukan upaya pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan
dalam arti memperoleh manfaat yang optimal secara ekonomi akan tetapi juga
sesuai dengan daya dukung dan kelestarian lingkungan, sehingga upaya dalam
pengelolaannya tidak hanya untuk memanfaatkan akan tetapi juga memelihara
dan melestarikannya.

Kriteria kerusakan lingkungan pantai yang dipergunakan pada pedoman ini


meliputi jenis kerusakan pantai yang disebabkan oleh beberapa hal berikut ini.

1) Permukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan garis pantai.

2) Areal pertanian terlalu dekat dengan garis pantai.

3) Penambangan pasir di kawasan pesisir/gumuk pasir.

4) Pencemaran lingkungan di perairan pantai.

5) Instrusi air laut.

6) Penebangan hutan/tanaman mangrove untuk dijadikan tambak.

7) Pengambilan/perusakan terumbu karang.

8) Banjir akibat rob air pasang.

1. Erosi atau abrasi dan kerusakan bangunan

Kriteria erosi dan abrasi yang dimaksudkan disini adalah erosi/abrasi yang terjadi
karena faktor alamiah maupun akibat aktivitas manusia. Beberapa faktor
penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya erosi/abrasi pantai antara lain

1) Faktor Manusia

a. Pengaruh adanya bangunan pantai yang menjorok ke laut.

b. Penambangan material pantai dan sungai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-66


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

c. Pencemaran perairan pantai yang dapat mematikan karang dan mangrove.

d. Pengaruh bangunan air di sungai, yang mempunyai kecenderungan


menyebabkan ketidakseimbangan transpor sedimen.

e. Budidaya pesisir

f. Pengambilan air tanah yang berlebihan

2) Faktor alam: perusakan oleh bencana alam seperti gelombang badai, tsunami
dan gempa

Kriteria kerusakan bangunan yang dimaksudkan disini adalah kerusakan yang


disebabkan oleh adanya gerusan pada fondasi bangunan atau rusaknya
bangunan tersebut akibat hempasan gelombang. Gerusan yang terjadi pada
fondasi bangunan dapat menyebabkan runtuhnya bangunan atau miringnya
bangunan sehingga bangunan tidak dapat berfungsi sesuai dengan yang
direncanakan.

Hempasan gelombang dapat merusakkan bangunan yang berada di pantai


sehingga bangunan tersebut tidak dapat berfungsi dengan balk. Kerusakan ini
dapat terjadi karena bangunan tidak mampu menahan gays gelombang atau
material bangunan terabrasi oleh pukulan gelombang.

3. Kriteria Sedimentasi

Kriteria sedimentasi yang dimaksudkan disini adalah sedimentasi yang


menyebabkan banjir muara atau gangguan terhadap pelayaran yang
memanfaatkan muara sungai. Permasalahan sedimentasi di muara sungai ada
dua macam yaitu penutupan dan pendangkalan muara.

a. Penutupan muara sungai terjadi tepat di mulut muara sungai pada pantai yang
berpasir atau berlumpur yang dapat mengakibatkan terjadinya formasi ambang
(bar) atau lidah pasir (sand spit) di muara. Mulut muara adalah bagian dari
muara dimana ambang terbentuk. Proses ini terjadi akibat transpor sedimen
menyusur pantai yang cukup besar dan debit sungai yang relatif kecil sehingga
tidak mempunyai kemampuan untuk menggelontor lidah pasir yang terjadi
(terbentuk) di muara sungai. Gambar C menunjukkan mekanisme penutupan
muara sungai. Peristiwa ini menyebabkan muara sungai tidak stabil dan dapat
berpindah-pindah.

b. Pendangkalan muara sungai dapat terjadi mulai dari muara ke hulu sampai
pada suatu lokasi di sungai yang masih terpengaruh oleh intrusi air laut

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-67


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

(pasang surut dan kegaraman). Proses pendangkalan muara sungai


disebabkan oleh terjadinya pengendapan sedimen terutama yang berasal dari
hulu sungai. Hal ini dapat terjadi karena aliran sungai tidak mampu
mengangkut sedimen tersebut ke laut.

2.3.2 Tolok Ukur Kerusakan Pantai

Dalam menilai kerusakan pantai, pendekatan yang digunakan ada 3 (tiga) macam
yaitu:

1. kerusakan lingkungan pantai,

2. erosi atau abrasi, dan kerusakan bangunan, serta

3. permasalahan yang timbul akibat adanya sedimentasi.

Dalam mengkaji kerusakan lingkungan akan ditinjau kerusakan lingkungan yang


diakibatkan oleh:

a. Keberadaan permukiman dan fasilitas umum yang berada terlalu dekat dengan
garis pantai, sehingga permukiman/fasilitas tersebut mudah terjangkau oleh
hempasan gelombang.

b. Areal pertanian (persawahan, perkebunan dan pertambakan) yang berada


terlalu dekat dengan garis pantai sehingga areal pertanian tersebut mudah
terjangkau oleh hempasan gelombang.

c. Keberadaan penambangan pasir di kawasan pesisir sehingga dapat


berdampak terhadap hilangnya perlindungan alami wilayah pesisir.

d. Pencemaran perairan pantai.

e. Intrusi air laut ke air tanah (ground water) atau sungai sehingga dapat
mengganggu cumber air bersih (air minum) bagi masyarakat pesisir maupun
industri.

f. Penebangan hutan mangrove di kawasan pesisir sehingga dapat berdampak


terhadap hilangnya perlindungan alami wilayah pesisir.

g. Penambangan atau rusaknya terumbu karang di kawasan pesisir sehingga


dapat berdampak terhadap hilangnya perlindungan alami wilayah pesisir.

h. Kenaikan muka air laut (sea level rise) dan penurunan muka tanah (land
subsidence) yang dapat mengakibatkan banjir rob.

Untuk mengkaji kerusakan pantai akibat adanya erosi/abrasi atau gerusan dan
rusaknya bangunan pantai akan ditinjau dua hal saja, yaitu:

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-68


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

a. Erosi/abrasi yang dapat menyebabkan perubahan posisi garis pantai, dan

b. Erosi/abrasi yang menyebabkan gerusan pada fondasi bangunan atau abrasi


pada bangunan itu sendiri (kerusakan bangunan).

Sedangkan dalam mengkaji permasalahan sedimentasi akan ditinjau dua hal,


yaitu:

a. Sedimentasi pada muara sungai yang tidak untuk keperluan pelayaran, dan

b. Sedimentasi pada muara sungai yang digunakan untuk keperluan pelayaran.

Untuk tolok ukur kerusakan lingkungan pantai akan dibagi menjadi beberapa jenis
yaitu:

1) Kerusakan pemukiman dan fasilitas umum

Pemukiman dan fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai (berada di
daerah sempadan pantai) akan menyebabkan bangunan dapat terkena hempasan
gelombang sehingga bangunan dapat mengalami kerusakan dan menganggu
aktivitas masyarakat. Tolok ukur kerusakan lingkungan pantai akibat letak
pemukiman adalah jumlah rumah yang terkena dampak dan keberadaan
bangunan di sempadan pantai. Berikut ini adalah tolok ukur kerusakan pantai
untuk permukiman (luas kawasan yang ditinjau adalah satu dusun) (Tabel 1).

Ringan : 1 rumah sampai dengan 5 rumah berada di sempadan


pantai, tidak terjangkau gelombang badai.

Sedang : 6 rumah sampai dengan 10 rumah berada di sempadan


pantai, tidak terjangkau gelombang badai.

Berat : 1 rumah sampai dengan 5 rumah berada di sempadan pantai


dalam jangkauan gelombang badai.

Amat Berat : 6 rumah sampai dengan 10 rumah berada di sempadan


pantai dalam jangkauan gelombang badai.

Amat Sangat Berat : >10 rumah berada di sempadan pantai dalam jangkauan
gelombang badai.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-69


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 1 Penilaian Kerusakan Pantai pada Permukiman dan Fasilitas Umum


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
I Lingkungan
L-1 Kerusakan pada Permukiman Bangunan terkena Jumlah rumah 50 1 rumah sampai 1)Penataan permukiman/fasilitas
permukiman dan nelayan (fasilitas hempasan gelombang. (fasilitas umum) yang dengan 5 rumah umum dan kawasan
Fasilitas Umum umum) terlalu Bangunan dapat rusak, terkena dampak. berada di sempadan
dekat dengan aktifitas terganggu Keberadaan bangunan pantai, tidak
pantai di sempadan pantai terjangkau gelombang
pada satu dusun. badai

Fasilitas umum 100 6 rumah sampai 1)Penataan permukiman/fasilitas


ditinjau dari dengan 10 rumah umum dan kawasan
ukurannya dapat berada di sempadan
disetarakan dengan: pantai, tidak
terjangkau gelombang
badai
1)Kecil, setara 1 rumah 150 1 rumah sampai 1)Penataan permukiman/fasilitas
sampai dengan 5 dengan 5 rumah umum dan kawasan
rumah ; Daerah berada di sempadan 2)Pembangunan bangunan
layanan lokal pantai, dalam pengamanan pantai
jangkauan gelombang
badai
2)Sedang, setara 200 6 rumah sampai 1)Penataan permukiman/fasilitas
dengan 6 rumah dengan 10 rumah umum dan kawasan
sampai dengan 10 berada di sempadan 2)Pembangunan bangunan
rumah; Daerah pantai, dalam pengamanan pantai
layanan skala sedang jangkauan gelombang
badai
3)Besar, setara dengan 250 >10 rumah berada di 1)Penataan permukiman/fasilitas
> 10 rumah; Daerah sempadan pantai, umum dan kawasan
layanan luas dalam jangkauan 2)Pembangunan bangunan
gelombang badai pengamanan pantai

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-70


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sedangkan tolok ukur untuk fasilitas umum yang terlalu dekat dengan pantai
(berada di daerah sempadan pantai) adalah tingkat kepentingan dan cakupan
daerah layanan fasilitas umum yang terkena dampak serta keberadaannya di
sempadan pantai. Apabila ditinjau dari ukuran fasilitas umumnya, maka tolok ukur
kerusakannya adalah:

a. Kecil, setara dengan 1 rumah sampai dengan 5 rumah, daerah layanan lokal.

b. Sedang, setara dengan 6 rumah sampai dengan 10 rumah, daerah layanan


Skala Sedang.

c. Besar, setara dengan > 10 rumah, daerah layanan luas.

2) Areal Pertanian

Areal pertanian yang terlalu dekat dengan pantai (berada di daerah sempadan
pantai) dapat terancam keberadaannya akibat limpasan gelombang. Tolok ukur
penilaian kerusakan lingkungan pantai akibat letak areal pertanian adalah
keberadaannya di sempadan pantai dan kerentanan pantai terhadap erosi.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk areal pertanian:

o Ringan
Areal pertanian berada pada pantai yang tidak mudah tererosi, lokasi 0 m
sampaidengan 100 m.

o Sedang
Areal pertanian berada pada pantai yang mudah tererosi, lokasi 0 m sampai
dengan 100 m.

o Berat
Areal pertanian mengalami kerusakan ringan akibat hempasan gelombang.

o Amat Berat
Areal pertanian mengalami kerusakan sedang akibat hempasan gelombang.

o Amat Sangat Berat


Areal pertanian mengalami kerusakan berat akibat hempasan gelombang.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-71


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 2 Penilaian Kerusakan Pantai pada Areal Pertanian


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
I Lingkungan
L-2 Kerusakan pada Areal pertanian Areal pertanian terlalu Keberadaan areal 50 Areal berada pada 1)Perlu penataan kawasan
areal pertanian terlalu dekat dekat dengan pantai pertanian di pantai yang tidak pertanian
(perkebunan, dengan pantai sempadan pantai dan mudah tererosi, lokasi
persawahan dan kerusakan yang terjadi 0 m sampai dengan
pertambangan) 100 m
100 Areal berada pada 1)Perlu penataan kawasan
pantai yang mudah pertanian
tererosi, lokasi 0 m
sampai dengan 100 m
150 Areal pertanian 2)Perlu dibuatkan bangunan
mengalami kerusakan pantai sebagai pelindung
ringan akibat
hempasan gelombang
200 Areal pertanian
mengalami kerusakan
sedang akibat
hempasan gelombang
250 Areal pertanian
mengalami kerusakan
berat akibat
hempasan gelombang

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-72


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

3) Kawasan Gumuk Pasir

Penambangan pasir yang dilakukan pada gumuk pasir dapat berdampak pada
hilangnya perlindungan alami pantai. Penambangan pasir akan mengakibatkan
hilangnya bukit-bukit pasir yang berada di sepanjang pantai yang berfungsi
sebagai tembok/tanggul laut dan sebagai sumber sedimen yang bekerja sebagai
pemasok pasir pada saat terjadi badai. Oleh karena itu penambangan pasir dapat
menyebabkan lemahnya perlindungan pantai.

Tolok ukur kerusakan lingkungan pantai akibat penambangan pasir di kawasan


pesisir adalah letak lokasi penambangan pasir terhadap garis pantai dan peralatan
yang cligunakan untuk menambang.

Berikut ini adalah tolok ukur kerusakan pantai untuk penambangan pasir di
kawasan pesisir:

o Ringan
Lokasi penambangan berada pada jarak antara 200 m sampai dengan 500 m
dari garis pantai, dilakukan dengan alat berat (mekanik).

o Sedang
Lokasi penambangan pada jarak 100 m sampai dengan 200 m dari garis
pantai, dilakukan dengan alat tradisional.

o Berat
Lokasi penambangan pada jarak 100 m sampai dengan 200 m dari garis
pantai, dilakukan dengan alat berat (mekanik).

o Amat Berat
Lokasi penambangan pada jarak kurang dari 100 m dari garis pantai, dengan
alat tradisional.

o Amat Sangat Berat


Lokasi penambangan pada jarak kurang dari 100 m dari garis pantai, dengan
alat berat (mekanik).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-73


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 3 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Menurunnya Kualitas Perlindungan Alami Kawasan Gumuk Pasir
Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-3 Menurunnya Penambangan Menurunnya kualitas Lokasi 50 Lokasi penambangan 1)Pengaturan secara ketat
kualitas pasir perlindungan alami penambanganpasir berada pada jarak panambangan pasir, baik
perlindungan pantai diukur dari garis antara 200 m sampai kuantitas dan lokasinya
alami kawasan pantai dan peralatan 500 m, dilakukan
gumuk pasir yang digunakan untuk dengan alat berat
penambangan (makanik)
100 Lokasi penambangan 1)Penambangan secara bertahap
berada pada jarak dihentikan
antara 100 m sampai
200 m, dilakukan
dengan alat
tradisional
150 Lokasi penambangan 1)Penambangan harus segera
berada pada jarak dihentikan
antara 100 m sampai
200 m, dilakukan
dengan alat berat
(makanik)
200 Lokasi penambangan 1)Penambangan harus segera
berada pada jarak dihentikan
<100, dilakukan
dengan alat
tradisional
250 Lokasi penambangan 1)Penambangan harus segera
berada pada jarak dihentikan
<100, dilakukan
dengan alat berat
(makanik)

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-74


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

4) Perairan Pantai

Pencemaran lingkungan perairan pantai yang akan dikaji adalah pencemaran


yang disebabkan oleh tumpahan minyak, pembuangan limbah perkotaan dan
kandungan material halus di perairan tersebut. Pencemaran lingkungan perairan
pantai ini dapat berdampak buruk terhadap kehidupan biota pantai dan
masyarakat yang bermukim di sekitar pantai tersebut.

Tolok ukur penilaian kerusakan lingkungan pantai akibat pencemaran limbah


perkotaan dan minyak adalah dilihat dari tingkat kandungan limbah yang
ditunjukkan oleh warns, kandungan sampah dan bau limbah tersebut. Dengan
demikian pencemaran perairan yang ditinjau hanya merupakan indikasi awal
pencemaran lingkungan yang harus ditindaklanjuti dengan survei berikutnya untuk
mendapatkan informasi yang lebih detail.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk pencemaran
lingkungan perairan panta:

o Ringan
Perairan pantai terlihat keruh, sedikit sampah, dan tidak ada bau.

o Sedang
Perairan terlihat keruh, kandungan sampah/minyak sedang, dan tidak berbau.

o Berat
Perairan pantai yang terlihat coklat, kandungan sampah/minyak sedang, dan
berbau namun belum mengganggu.

o Amat Berat
Perairan pantai terlihat hitam, kandungan sampah/minyak sedang dan bau
cukup mengganggu.

o Amat Sangat Berat


Perairan pantai terlihat hitam pekat, banyak sampah/minyak dan bau
menyengat.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-75


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 4 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Pencemaran Kerusakan Pantai


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-4 Menurunnya Pencemaran Kerusakan biota Tingkat kekeruhan, 50 Perairan pantai 1)Instrumen AMDAL, UKL, UPL
kualitas perairan lingkungan pantai dan keberadaan sampah terlihat keruh, sedikit 2)Program kali bersih
pantai perairan pantai membahayakan dan bau sampah dan tidak bau 3)Program pantai lestari
oleh limbah kehidupan manusia
perkotaan dan
idustri
100 Perairan terlihat 1)Instrumen AMDAL, UKL, UPL
keruh, kandungan 2)Program kali bersih
sampah/minyak 3)Program pantai lestari
sedang dan tidak
berbau
150 Perairan terlihat 1)Instrumen AMDAL, UKL, UPL
coklat, kandungan 2)Program kali bersih
sampah/minyak 3)Program pantai lestari
sedang dan tidak
berbau
200 Perairan terlihat 1)Instrumen AMDAL, UKL, UPL
hitam, kandungan 2)Program kali bersih
sampah/minyak 3)Program pantai lestari
sedang dan bau cukup
mengganggu
250 Perairan terlihat hitam 1)Instrumen AMDAL, UKL, UPL
pekat, kandungan 2)Program kali bersih
sampah/minyak 3)Program pantai lestari
banyak dan bau
menyengat

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-76


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

5) Air Tanah

Pencemaran air tanah akibat intrusi air laut terhadap sumur-sumur penduduk dan
sumber pengambilan air baku di sekitar pantai dapat menimbulkan gangguan
terhadap penyediaan air baku dan air bersih di wilayah tersebut. Dan pada tingkat
pencemaran yang tinggi dapat membahayakan kehidupan manusia.

Tolok ukur penilaian kerusakan lingkungan pantai akibat intrusi air laut terhadap
air tanah adalah besaran kadar garam pada sumur-sumur penduduk dan sumber
pengambilan air baku di luar sempadan pantai. Dengan demikian pencemaran air
tanah yang ditinjau hanya merupakan indikasi awal pencemaran lingkungan yang
harus ditindaklanjuti dengan survei berikutnya untuk mendapatkan informasi yang
lebih detail. Cara menentukan kadar garam yang terkandung di air sumur
dilakukan sesuai dengan SNI 06-2412-1991, tentang metode pengambilan contoh
uji kualitas air.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk instrusi air laut:

o Ringan
Kadar garam 0,5 g/I sampai dengan 2,5 g/l terdeteksi pada 1 sumur sampai
dengan 5 sumur.

o Sedang
Kadar garam 0,5 g/I sampai dengan 2,5 g/I terdeteksi pada 6 sumur atau lebih.

o Berat
Kadar garam 2,5 g/I sampai dengan 5 g/I terdeteksi pada 1 sumur sampai
dengan 5 sumur.

o Amat Berat
Kadar garam 2,5 g/I sampai dengan 5 g/I terdeteksi pada 6 sumur atau lebih.

o Amat Sangat Berat


Kadar garam > 5 g/I terdeteksi pada 6 sumur atau lebih.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-77


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 5 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Menurunnya Kualitas Air Tanah akibat Intrusi Air Laut
Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-5 Menurunnya Intrusi air laut Gangguan terhadap Kadar garam di sumur- 50 Kadar garam 0,5gr/l 1)Penyediaan air bersih
kualitas air tanah sumur warga, sumber sumur penduduk dan sampai dengan 2,5gr/l
air baku tempat pengambilan terdeteksi pada 1
air baku yang berada sumur sampai dengan
di luar sempadan 5 sumur
pantai
100 Kadar garam 0,5gr/l 2)Pembatasan pembuatan sumur
sampai dengan 2,5gr/l dalam
terdeteksi pada 6
sumur atau lebih
150 Kadar garam 2,5gr/l 1)Penyediaan air bersih
sampai dengan 5,0gr/l
terdeteksi pada 1
sumur sampai dengan
5 sumur
200 Kadar garam 2,5gr/l 1)Pelarangan pembuatan sumur
sampai dengan 5,0gr/l dalam di kawasan pantai
terdeteksi pada 6
sumur atau lebih
250 Kadar garam >5,0gr/l
terdeteksi pada 6
sumur atau lebih

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-78


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

6) Hutan Tanaman Mangrove

Pengurangan/hilangnya mangrove pada kawasan pantai akibat penebangan dapat


mengakibatkan melemahnya perlindungan alami pantai dan kerusakan biota
pantai. Tolok ukur penilaian kerusakan lingkungan pantai akibat penebangan
tersebut adalah ketebalan dan kerapatan hutan mangrove yang tersisa.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk hutan mangrove:

o Ringan
Ketebalan hutan (tanaman) mangrove masih 30 m sampai dengan 50 m
kondisi tanaman jarang.

o Sedang
Ketebalan hutan (tanaman) mangrove 10 m sampai dengan 30 m, kondisi
tanamari rapat.

o Berat
Ketebalan hutan (tanaman) mangrove 10 m sampai dengan. 30 m, kondisi
tanaman jarang.

o Amat Berat
Ketebalan hutan (tanaman) mangrove < 10 m, kondisi tanaman rapat.

o Amat Sangat Berat


Ketebalan hutan (tanaman) mangrove < 10 m, kondisi tanaman jarang.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-79


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 6 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Penebangan Hutan (Tanaman) Mangrove


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-6 Menurunnya Penebangan Tererosinya pantai Ketebalan dan 50 Ketebalan 1)Penyuluhan tentang manfaat
kualitas hutan/tanaman dan rusaknya biota kerapatan hutan/tanaman hutan mangrove terhadap
hutan/tanaman mangrove laut hutan/tanaman mangrove masih 30 m pengamanan pantai
mangrove mangrove yang tersisa sampai dengan 50 m, 2)Konservasi dan rehabilitasi
kondisi tanaman hutan mangrove
jarang
100 Ketebalan
hutan/tanaman
mangrove masih 10 m
sampai dengan 30 m,
kondisi tanaman rapat

150 Ketebalan
hutan/tanaman
mangrove masih 10 m
sampai dengan 30 m,
kondisi tanaman
jarang
200 Ketebalan 1)Penyuluhan tentang manfaat
hutan/tanaman hutan mangrove terhadap
mangrove <10 m, pengamanan pantai
kondisi tanaman rapat 2)Rehabilitasi hutan mangrove
menjadi tebal minimal 30 m
250 Ketebalan
hutan/tanaman
mangrove <10 m,
kondisi tanaman
jarang

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-80


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

7) Terumbu Karang

Kerusakan terumbu karang pada perairan pantai akibat perusakan/pengambilan


terumbu karang dapat memberikan ancaman berupa melemahnya perlindungan
alami pantai dan kerusakan biota pantai. Tolok ukur penilaian kerusakan
lingkungan pantai akibat kerusakan terumbu karang adalah luasan terumbu
karang yang rusak karena ditambang.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk terumbu karang:

o Ringan
Kerusakan akibat penambangan di bawah 10% luas kawasan.

o Sedang
Kerusakan akibat penambangan berkisar antara 10% sampai dengan 20%
luas kawasan.

o Berat
Kerusakan akibat penambangan berkisar antara 20% sampai dengan 30%
luas kawasan.

o Amat Berat
Kerusakan akibat penambangan berkisar antara 30% sampai dengan 40%
luas kawasan.

o Amat Sangat Berat


Kerusakan > 40% luas kawasan.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-81


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 7 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Penambangan Terumbu Karang


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-7 Menurunnya Penambangan Tererosinya pantai Luasan terumbu 50 Kerusakan di bawah 1)Penyuluhan masyarakat pantai
kualitas terumbu terumbu karang dan kerusakan biota karang yang rusak 10% luas kawasan mengenai pentingnya terumbu
karang laut akibat ditambang karang
100 Kerusakan berkisar 2)Konservasi dan rehabilitasi
10% sampai dengan terumbu karang yang ada
20% luas kawasan
150 Kerusakan berkisar 1)Penyuluhan masyarakat pantai
20% sampai dengan mengenai pentingnya terumbu
30% luas kawasan karang
200 Kerusakan berkisar 2)Konservasi dan rehabilitasi
30% sampai dengan terumbu karang yang ada
40% luas kawasan
250 Kerusakan lebih dari
40% luas kawasan

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-82


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

8) Rob Kawasan Pesisir

Rob kawasan pesisir terutama disebabkan karena penurunan tanah dan kenaikan
muka air laut. Hal ini mengakibatkan sistem drainasi menjadi tidak berfungsi,
terganggunya aktivitas penduduk, dan terganggunya perekonomian kota. Tolok
ukur penilaian kerusakan lingkungan pantai akibat rob adalah tinggi genangan dan
luas daerah yang tergenang.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk rob kawasan pesisir:

o Ringan
Saluran drainasi lokal penuh saat terjadi rob.

o Sedang
Saluran drainasi lokal meluap pada tempat¬tempat tertentu pada saat terjadi
rob.

o Berat
Tinggi genangan di jalan antara 0 cm sampai dengan 20 cm pada skala
Sedang (paling tidak satu jalur jalan utama tergenang).

o Amat Berat
Tinggi genangan di jalan antara 0 cm sampai dengan 20 cm pada skala luas
(paling tidak dua jalur jalan utama tergenang).

o Amat Sangat Berat


Tinggi genangan > 20 cm pada skala luas.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-83


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 8 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Rob pada Kawasan Pesisir


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
L-8 Rob pada Rob yang Sistem drainase tidak Tinggi genangan dan 50 Saluran drainase lokal 1)Penyediaan air bersih
kawasan pesisir terutama berfungsi, luas daerah yang penuh saat terjadi rob 2)Pembatasan pembuatan sumur
disebabkan terganggunya aktifitas tergenang dalam
penurunan penduduk dan 3)Perbaikan sistem drainase
tanah dan perkonomian kota
kenaikan muka
air laut
100 Saluran drainase lokal
pada tempat-tempat
tertentu meluap pada
saat terjadi rob
150 Tinggi genangan di 1)Penyediaan air bersih
jalan antara 0 cm 2)Pembatasan pembuatan sumur
sampai dengan 20 cm dalam
pada skala sedang 3)Perbaikan sistem drainase
(paling tidak satu jalur dengan sistem polder
jalan utama
tergenang)
200 Tinggi genangan di
jalan antara 0 cm
sampai dengan 20 cm
pada skala sedang
(paling tidak dua jalur
jalan utama
tergenang)
250 Tinggi genangan >20
cm pada skala luas

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-84


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Untuk tolok ukur Erosi/abrasi dan Kerusakan Bangunan akan dibagi menjadi
beberapa jenis yaitu:

9) Perubahan Garis Pantai

Terjadinya perubahan terhadap garis pantai dapat disebabkan oleh gangguan


terhadap angkutan sedimen menyusur pantai, pasokan sedimen berkurang,
adanya gangguan bangunan, dan kondisi tebing yang lemah sehingga tidak tahan
terhadap hempasan gelornbang. Perubahan terhadap garis pantai ini berdampak
pada mundurnya garis pantai dan terancamnya fasilitas yang ada di kawasan
pantai. Tolok ukurnya adalah laju mundurnya pantai.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk perubahan garis
pantai:

o Ringan
Garis pantai maju mundur, tetapi masih stabil dinamis.

o Sedang
Pantai mundur < 1 m/tahun.

o Berat
Pantai mundur 1 m/tahun sampai dengan 2 m/tahun.

o Amat Berat
Pantai mundur 2 m/tahun sampai dengan 3 m/tahun.

o Amat Sangat Berat


Pantai mundur > 3 m/tahun.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-85


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 9 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Perubahan Garis Pantai


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
II Erosi/Abrasi dan Kerusakan Bangunan
EA-1 Perubahan garis Gangguan Mundurnya garis Laju mundurnya 50 Garis pantai maju 1)Penataan kawasan pantai
pantai terhadap pantai (berkurangnya pantai mundur tetapi masih 2)Do Nothing
sedimen areal daratan/kawasan stabil dinamis
menyusur pantai) dan
pantai, pasokan teracamnya fasilitas
sedimen yang ada di kawasan
100 Pantai mundur 1)Penataan kawasan pantai
berkurang,
<1m/tahun 2)Pembangunan bangunan
adanya
150 Pantai mundur penghambat laju erosi
gangguan
<1m/tahun sampai disesuaikan dengan
bangunan,
dengan 2m/tahun penyebabnya; groin, tembok laut,
tebing lemah
200 Pantai mundur konservasi pasokan sedimen dari
tidak tahan
2m/tahun sampai daratan, redisain bangunan
gempuran
dengan 3m/tahun pengganggu
gelombang
250 Pantai mundur
>3m/tahun

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-86


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

10) Kerusakan Bangunan

Pada kawasan pantai sering dijumpai infrastruktur buatan manusia yang dibuat
dengan tujuan tertentu, misainya tujuan ekonomi dan transportasi, pertahanan
keamanan maupun perlindungan garis pantai. Infrastruktur buatan manusia
tersebut dapat berupa bangunan pengaman pantai, jalan, rumah, tempat ibadah
dan lainnya.

Bangunan yang dibangun pada material mudah tererosi seperti pasir atau jenis
tanah lainnya kemungkinan besar sangat rentan terhadap bahaya kerusakan
akibat gerusan. Gerusan yang terjadi pada struktur bangunan pantai diakibatkan
oleh gelombang dan arus atau kombinasi keduanya. Pada umumnya gerusan
terjadi pada bagian-bagian tertentu yang diakibatkan keberadaan struktur, terjadi
konsentrasi gelombang dan arus, yang akan memperbesar tegangan geser dasar
di bagian tersebut. Akibat gerusan adalah penurunan kestabilan dan penurunan
bangunan yang lambat faun akan mengakibatkan keruntuhan sebagian atau
bahkan seluruh struktur. Gerusan yang terjadi Pada fondasi bangunan dan
kerusakan bangunan akibat gempuran gelombang menyebabkan bangunan tidak
efektif dan membahayakan lingkungan atau masyarakat sekitar.

Tolok ukur penilaian kerusakan pantai akibat gerusan dan kerusakan bangunan
dapat dilihat dan kenampakan bangunan itu sendiri seperti keruntuhan bangunan,
abrasi bangunan, kemiringan bangunan, dan fungsi bangunan.

Berikut ini adalah tolok ukur penilaian kerusakan pantai untuk gerusan dan
kerusakan bangunan:

o Ringan
Bangunan masih dapat berfungsi balk di atas 75%

o Sedang
Bangunan masih berfungsi 50% sampai dengan 75%.

o Berat
Bangunan berfungsi tinggal 25% sampai dengan 50% tetapi tidak
membahayakan lingkungan.

o Amat Berat
Bangunan berfungsi tinggal 25% sampai dengan 50% dan membahayakan
lingkungan.

o Amat Sangat Berat


Bangunan sudah rusak parah dan memba hayakan lingkungan.
Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-87
Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 10 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Kerusakan Bangunan


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
II Erosi/Abrasi dan Kerusakan Bangunan
EA-2 Kerusakan Terjadinya Bangunan tidak efektif Kenampakan 50 Bangunan masih 1)Dilakukan kegiatan perawatan
bangunan gerusan pada dan mambahayakan bangunan seperti berfungsi baik di atas dan monitoring
(bangunan dapat pondasi lingkungan serta keruntuhan bangunan, 75% 2)Dibiarkan (Do Nothing )
berupa rumah, bangunan dan masyrakat sekitar abrasi bangunan,
100 Bangunan masih
jalan dsb) gempuran pada bangunan miring,
berfungsi 50% sampai
bangunan fungsi bangunan
dengan 75%
150 Bangunan berfungsi 1)Dilakukan kegiatan rehabilitasi
tinggal 25% sampai dan perbaikan bangunan
dengan 50% tetapi 2)Dilakukan redesainkembali
tidak membahayakan (bangunan lama dibongkar)
lingkungan 3)Pembangunan konstruksi
200 Bangunan berfungsi pelindung
tinggal 25% sampai
dengan 50% dan
membahayakan
lingkungan
250 Bangunan sudah rusak
parah dan
membahayakan
lingkungan

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-88


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Sedimentasi di muara sungai terdiri atas dua proses yaitu penutupan dan
pendangkalan muara. Penutupan muara sungai terjadi tepat di mulut muara
sungai pada pantai yang berpasir atau berlumpur yang mengakibatkan terjadinya
formasi ambang (bar) atau lidah pasir di muara. Proses ini terjadi karena kecilnya
debit sungai terutama di musim kemarau, sehingga tidak mampu membilas
endapan sedimen di mulut muara. Pendangkalan muara sungai dapat terjadi mulai
dari muara ke hula sampai pada suatu lokasi di sungai yang masih terpengaruh
oleh intrusi air laut (pasang surut dan kegaraman). Proses pendangkalan muara
sungai disebabkan oleh terjadinya pengendapan sedimen dari daerah tangkapan
air yang tidak mampu terbilas oleh aliran sungai sehingga menyebabkan banjir
muara.

11) Sedimentasi Muara Sungai Tidak untuk Pelayaran

Tolok ukur penilaian kerusakan pantai karena sedimentasi dan pendangkalan


muara sungai yang tidak digunakan untuk pelayaran didasarkan pada stabilitas
muara dan persentase penutupan (Tabel 3.11)

o Ringan
Muara sungai relatif stabil dan alur muara tinggal 50% sampai dengan 75%.

o Sedang
Muara sungai tidak stabil dan alur muara tinggal 50% sampai dengan 75%.

o Berat
Muara sungai tidak stabil dan alur muara tinggal 25% sampai dengan 50%.

o Amat Berat
Muara sungai tidak stabil dan kadang kadang tertutup.

o Amat Sangat Berat


Muara sungai tidak stabil dan setiap tahun tertutup.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-89


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 11 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Sedimentasi pada Muara Sungai


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
III Sedimentasi
SP-1 Sedimentasi Muara sungai Banjir muara sungai Stabilitas muara 50 Muara sungai relatif 1)Penataan kawasan pantai
muara sungai, tertutup lidah pada saat muara sungai, proses stabil dan alur muara 2)Dibiarkan (Do Nothing )
muara sungai pasir, material sungai tertutup, penutupan muara tinggal 50% sampai
tidak stabil dari hulu sangat muara sungai sungai, lama dengan 75%
(berpindah- banyak berpindah-pindah penutupan dan 100 Muara sungai tidak 1)Penataan kawasan pantai
pindah), muara dampaknya ke stabil dan alur muara 2)Pembangunan bangunan
sungai tidak kawasan pantai tinggal 50% sampai penghambat untuk stabilisasi
untuk pelayaran dengan 75% muara sungai seperti jetty
150 Muara sungai tidak
stabil dan alur muara
tinggal 25% sampai
dengan 50%
200 Muara sungai tidak
stabil dan kadang-
kadang menutup
250 Muara sungai tidak
stabil dan setiap tahun
tertutup

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-90


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

12) Sedimentasi muara sungai untuk pelayaran

Tolok ukur kerusakan pantai karena sedimentasi dan pendangkalan muara sungai
tidak stabil/berpindah-pindah dan muara sungai untuk pelayaran (Tabel 5.12)

o Ringan
Muara sungai stabil, alur menyempit dan perahu masih dapat masuk.

o Sedang
Muara sungai tidak stabil, alur menyempit tetapi perahu masih dapat masuk.

o Berat
Muara sungai tidak stabil, alur menyempit tetapi perahu sulit masuk.

o Amat Berat
Muara sungai tidak stabil, perahu hanya dapat masuk pada saat pasang.

o Amat Sangat Berat


Perahu tidak dapat masuk karena terjadi penutupan muara.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-91


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Tabel 12 Penilaian Kerusakan Pantai Karena Sedimentasi Muara Sungai


Kode Jenis Kerusakan Penyebab Ancaman Parameter Penilaian Bobot Kerusakan Uraian Kerusakan Alternatif Pemecahan Masalah
SP-2 Sedimentasi Muara sungai Banjir muara sungai Stabilitas muara 50 Muara sungai stabil 1)Dilakukan kegiatan perawatan
muara sungai, tertutup lidah pada saat muara sungai, proses dan alur menyempit alur
muara sungai pasir, material sungai tertutup, penutupan muara dan perahu masih 2)Dibiarkan (Do Nothing )
tidak stabil dari hulu sangat muara sungai sungai, lama dapat masuk
(berpindah- banyak berpindah-pindah penutupan dan 100 Muara sungai tidak
pindah), muara dampaknya ke stabil dan alur
sungai untuk kawasan pantai menyempit dan
pelayaran perahu masih dapat
150 Muarak sungai tidak 1)Dilakukan kegiatan pengerukan
stabil dan alur rutin
menyempit dan 2)Dilakukan pembangunan
perahu sulit masuk training jetty
200 Muara sungai tidak
stabil dan alur
menyempit dan
perahu dapat masuk
hanya pada saat
pasang
250 Perahu tidak dapat
masuk karena terjadi
penutupan muara
sungai

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-92


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Penentuan urutan prioritas penanganan kerusakan pantai tidak hanya dilihat pada
bobot kerusakan pantai, tetapi jugs didasarkan pada pembobotan tingkat
kepentingan pantai tersebut. Pembobotan tingkat kepentingan disajikan dalam
label berupa koefisien bobot tingkat kepentingan, seperti terlihat pada Tabel
berikut ini.

Tabel 13 Koefisien Bobot Tiap Kepentingan


Koefisien Bobot
No. Jenis Pemanfaatan Ruang Skala Kepentingan Tiap Kepentingan
1 Konservasi warisan dunia (seperti Pura Tanah Internasional 2,00
Lot)
2 Pariwisata yang mendatangkan devisa, tempat Kepentingan Negara 1,75
ibadah, tempat usaha, industri, fasilitas
pertahanan dan keamanan, daerah perkotaan,
jalan negara, bandar udara, pelabuhan, pulau-
pulau terluar
3 Pariwisata domestik, tempat ibadah, tempat Kepentingan Propinsi 1,50
usaha, industri, fasilitas pertahanan dan
keamanan, daerah perkotaan, jalan provinsi,
bandar udara, pelabuhan
4 Pariwisata domestik, tempat ibadah, tempat Kepentingan Kabupaten/Kota 1,25
usaha, industri, fasilitas pertahanan dan
keamanan, daerah perkotaan, jalan provinsi,
bandar udara, pelabuhan
5 Permukiman, pasar desa, jalan desa, tempat Kepentingan lokal terkait 1,00
ibadah dengan penduduk dan
kegiatan perekonomian
6 Lahan pertanian (pertanian, perkebunan dan Kepentingan lokal terkait 0,75
pertambakan) rakyat dengan pertanian
7 Lahan tidak dimanfaatkan dan tidak Tidak ada kepentingan 0,50
berdampak ekonomis dan lingkungan tertentu dan tidak berdampak

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-93


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

2.3.3 Pembobotan dan Prioritas Penanganan

Penilaian kerusakan pantai dilakukan dengan menilai tingkat kerusakan pada


suatu lokasi pantai terpilih terkait dengan masalah erosi/abrasi, kerusakan
lingkungan, dan sedimentasi yang ada. Kemudian nilai bobot tersebut dikalikan
dengan koefisien pengali berdasar tingkat kepentingan kawasan tersebut. Bobot
akhor adalah hasil pengalian antara bobot tingkat kerusakan pantai dengan
koefisien bobot tingkat kepentingan. Agar prosedur pembobotan dan dan
penentuan urutan prioritas menjadi lebih sederhana maka digunakan cara
tabulasi.

Pembobotan tingkat kerusakan pantai dilakukan dengan skala 50 sampai dengan


250 dengan perincian seperti tabel berikut ini.

Tabel 14 Bobot Tiap Kerusakan


Jenis Kerusakan
Erosi/abrasi dan
No. Tingkat Kerusakan
Lingkungan Kerusakan Sedimentasi
Bangunan
1 Ringan (R) 50 50 50
2 Sedang (S) 100 100 100
3 Berat (B) 150 150 150
4 Amat Berat (AB) 200 200 200
5 Amat Berat Sekali (ABS) 250 250 250

Berikut ini adalah prosedur penilaian kerusakan pantai:

1. Penilaian kerusakan pantai dilakukan pada lokasi (kawasan) terjadinya


kerusakan.

2. Penilaian kerusakan pada satu lokasi dilakukan secara terpisah dengan lokasi
yang lain. Apabila satu lokasi terjadi beberapa jenis kerusakan maka penilaian
dilakukan pada kasusu kerusakan pantai terberat yang terjadi di lokasi
tersebut.

3. Khusus untuk penilaian kerusakan lingkungan harus dilakukan dengan sangat


hati-hati terutama terkait keberadaan bangunan atau fasilitas di sempadan
pantai, karena persepsi masyarakat sangat beragam (contoh: tempat ibdah
berada di sempadan pantai, hotel di sempadan pantai, lokasi rekreasi di
sempadan pantai).

4. Penilaian kerusakan pada suatu kawasan pantai yang cukup luas dapat
dilakukan dengan membagi kawasan tersebut menjadi beberapa lokasi sesuai
keperluan.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-94


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Berdasarkan data dari peninjauan lapangan dan analisis sensitifitas, maka


prioritas penanganan pantai dapat dikelompokkan menjadi:

1) Prioritas A (amat sangat diutamakan – darurat) : bobot > 300

2) Prioritas B (sangat diutamakan) : bobot 226 s/d 300

3) Prioritas C (diutamakan) : bobot 151 s/d 225

4) Prioritas D (kurang diutamakan) : bobot 75 s/d 150

5) Prioritas E (tidak diutamakan) : bobot < 75

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-95


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Contoh Kasus Penilaian Kerusakan Pantai Kasipute Sulawesi Tenggara

Bobot Tingkat Kerusakan Koofisien


No. Lokasi Lingkungan Erosi / Abrasi Sedimentasi Tingkat
L-1 L-2 L-3 L-4 L-5 L-6 L-7 L-8 EA-1 EA-2 SP-1 SP-2 Kepentingan (f)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Propinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Bombana


1 Pantai Kasipute Kecamatan Rumbia - - - - - - - - - 200 - - 1.25
2 Pantai Boepinang Kecamatan Poleang - - - - - - - - - 200 - - 1.00

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-96


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Koofisien Berdasarkan Kerusakan Berdasarkan Kerusakan Berdasarkan Kerusakan


Bobot Tingkat Kerusakan Pantai
Bobot Tingkat Lingkungan dan Tingkat Erosi/Abrasi dan Tingkat Sedimentasi dan Tingkat
No. Lokasi Kepentingan Kepentingannya Kepentingannya Kepentingannya
Lingkungan Erosi / Abrasi Sedimentasi
Bobot Akhir Prioritas Bobot Akhir Prioritas Bobot Akhir Prioritas
Bobot Kode Bobot Kode Bobot Kode (3 x 9) (5 x 9) (7 x 9)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Propinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Bombana


1 Pantai Kasipute Kecamatan Rumbia - - 200 EA-2 - - 1.25 - - 250 B - -
2 Pantai Boepinang Kecamatan Poleang - - 200 EA-2 - - 1.00 - - 200 C - -

*) Prioritas A (amat sangat diutamakan) : Bobot > 300


*) Prioritas B (sangat diutamakan) : Bobot 226 - 300
*) Prioritas C (diutamakan) : Bobot 151 - 225
*) Prioritas D (kurang diutamakan) : Bobot 75 - 150
*) Prioritas E (tidak diutamakan) : Bobot < 75

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-97


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Contoh Kasus Penilaian Kerusakan Pantai Pulau Lembeh


Bobot Tingkat Kerusakan Koofisien
No. Lokasi Lingkungan Erosi / Abrasi Sedimentasi Tingkat
L-1 L-2 L-3 L-4 L-5 L-6 L-7 L-8 EA-1 EA-2 SP-1 SP-2 Kepentingan (f)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Pasir Panjang
1 RT 3 Pantai Kahona - - - - - - - - 200 50 - - 1.00
2 RT 4 Pamurutan - - - - - - - - 200 50 - - 1.00
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Doorbolaang
1 Pantai Nusu - - - - - - - - 150 50 - - 1.00
2 Pantai Bobo Besar - - - - - - - - 150 50 - - 1.00
3 Pantai Door - - - - - - - - 150 50 - - 1.00
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Pancuran
1 Pantai Lingkungan I - - - - - - - - 50 200 - - 1.00
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Utara Kelurahan Mawali
1 Pantai Mawali Besar - - - - - - - - 50 50 - - 1.00
2 Pantai Mawali Kecil - - - - - - - - 50 50 - - 1.00
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Utara Kelurahan Pintu Kota
1 Pantai Pintu Kota - - - - - - - - 50 50 - - 1.00

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-98


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Koofisien Berdasarkan Kerusakan Berdasarkan Kerusakan Berdasarkan Kerusakan


Bobot Tingkat Kerusakan Pantai
Bobot Tingkat Lingkungan dan Tingkat Erosi/Abrasi dan Tingkat Sedimentasi dan Tingkat
No. Lokasi Kepentingan Kepentingannya Kepentingannya Kepentingannya
Lingkungan Erosi / Abrasi Sedimentasi
Bobot Akhir Prioritas Bobot Akhir Prioritas Bobot Akhir Prioritas
Bobot Kode Bobot Kode Bobot Kode (3 x 9) (5 x 9) (7 x 9)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Pasir Panjang
1 RT 3 Pantai Kahona - - 200 EA-1 - - 1.00 - - 200 C - -
2 RT 4 Pamurutan - - 200 EA-1 - - 1.00 - - 200 C - -
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Doorbolaang
1 Pantai Nusu - - 150 EA-1 - - 1.00 - - 150 C - -
2 Pantai Bobo Besar - - 150 EA-1 - - 1.00 - - 150 C - -
3 Pantai Door - - 150 EA-1 - - 1.00 - - 150 C - -
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Selatan Kelurahan Pancuran
1 Pantai Lingkungan I 200 EA-2 - - 1.00 - - 200 C - -
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Utara Kelurahan Mawali
1 Pantai Mawali Besar - - 50 EA-1 - - 1.00 - - 50 E - -
2 Pantai Mawali Kecil - - 50 EA-1 - - 1.00 - - 50 E - -
Propinsi Sulawesi Utara Kota Bitung Kecamatan Lembeh Utara Kelurahan Pintu Kota
1 Pantai Pintu Kota - - 50 EA-1 - - 1.00 - - 50 E - -

*) Prioritas A (amat sangat diutamakan) : Bobot > 300


*) Prioritas B (sangat diutamakan) : Bobot 226 - 300
*) Prioritas C (diutamakan) : Bobot 151 - 225
*) Prioritas D (kurang diutamakan) : Bobot 75 - 150
*) Prioritas E (tidak diutamakan) : Bobot < 75

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-99


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai II-100


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

BAB 3
PENUTUP

3.1 Rangkuman

Modul Permasalahan Kerusakan Pantai ini pada dasarnya terdiri dari beberapa
materi pokok bahasan yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penjelasan Tentang Abrasi dan Sedimentasi Pantai

Pada materi ini peserta diklat akan diberikan wawasan definisi dan penyebab
terjadinya proses abrasi dan sedimentasi. Uraian tentang definisi dan
penyebab ini akan mencakup materi tentang proses kerusakan, penyebab
timbulnya abrasi maupun sedimentasi sampai dengan dampak yang akan
ditimbulkan dari fenomena kerusakan pantai ini. Mengenai uraian penyebab
terjadinya kerusakan pantai ini, juga akan diuraikan faktor campur tangan
manusia terhadap lingkungan dan kerusakan pantai akibat faktor lainnya.

2. Muara Sungai

Salah satu materi permasalahan kerusakan pantai lainnya adalah materi


muara sungai. Dalam materi ini akan dibahas mengenai definisi muara sungai
itu sendiri dan semua parameter yang bisa mempengaruhi kerusakan muara
sungai. Selain itu juga akan dijelaskan kepada peserta diklat mengenai fungsi
muara sungai, karakter fisik muara sungai, kriteria penanganan muara sungai,
parameter desain dan strategi penanganan kerusakan muara sungai.

3. Aspek Monitoring dan Evaluasi

Untuk uraian monitoring dan evaluasi kerusakan bangunan pantai akibat


bencana akan dijabarkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum
No. 08/SE/M/2010 tanggal 17 Maret 2010 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penilaian Kerusakan Pantai dan Prioritas Penanganannya. Dalam pedoman ini
akan dijelaskan mengenai beberapa kriteria penyebab kerusakan lingkungan
pantai baik akibat ulah manusia maupun akibat gejala alam lainnya. Selain itu
juga akan disampaikan mengenai teknik untuk melakukan penilaian dan
pembobotan kerusakan lingkungan pantai yang pada akhirnya akan
menghasikan prioritas penanganannya.

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai III-1


Modul Diklat Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pantai

3.2 Daftar Pustaka

1. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 08/SE/M/2010 tanggal 17 Maret


2010 tentang Pemberlakuan Pedoman Penilaian Kerusakan Pantai dan
Prioritas Penanganannya.

2. Buku Pedoman Operasi dan Pemeliharaan Bangunan Pengaman Pantai (Surat


Edaran Menteri PU No. 01/SE/M/2011)

3. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps


of Engineer, Department of The Army (2001), Coastal Engineering Manual.

4. Coastal Engineering Research Center, Waterways Experiment Station, Corps


of Engineer, Department of The Army (2006), Coastal Engineering Manual.

5. Bambang Triatmodjo (1999), Teknik Pantai, edisi kedua, Beta Offset,


Yogyakarta,.

6. Bambang Triatmodjo (1996), Pelabuhan, Beta Offset, Yogyakarta.

7. Modul Arus Laut Oleh Sandro Wellyanto Lubis Tahun 2009

8. Manual Perencanaan Teknis Pengamanan Pantai Oleh PT Suwanda Karya


Mandiri Tahun 2007.

9. Perencanaan Jetty di Muara Sungai Ranoyapo Amurang (Kern Youla Pokaton,


H.J. Tawas, M. I. Jasin).

Modul MS 4 Permasalahan Kerusakan Pantai III-2

Anda mungkin juga menyukai