Anda di halaman 1dari 7

Pernikahan Antar Agama Antara Islam Dan Kristen Di Indonesia

Helen Richmond

Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi penduduk muslim terbesar di

dunia dengan karakteristik masyarakat yang majemuk dan hidup secara berdampingan

dalam berbagai macam bentuk interaksi. Dalam urusan perkawinan, praktitk perkawinan

beda agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, mengingat tingginya tingkat

migrasi, pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, serta

berbagai faktor lainnya. Pada jurnal yang ditulis oleh Helen Richmond yang berjudul,

"Pernikahan Beda Agama Antara Muslim dan Kristen di Indonesia" akan mengulas isu

tersebut secara lebih mendalam. Dalam jurnalnya, Richmond mendiskusikan mengenai

kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakt Indonesia dalam mengelola keragaman

dan pluralisme agama dalam konteks pernikahan beda agama khususnya pada perkawinan

antara Islam dengan Kristen.

Dalam penelitiannya, Richmond memberikan pengantar mengenai pernikahan di

Indonesia pada periode pra kolonial. Sejak dulu, di berbagai belahan Nusantara,

masyarakat mengorganisir aspek budaya, politik, dan kehidupan ekonomi berpedoman

pada hukum adat yang meliputi segala aspek kehidupan. Seiring dengan berjalannya

waktu, hukum Islam mulai masuk ke dalam budaya lokal, khususnya di wilayah hukum

keluarga Islam. Seiring dengan berkembangnya komunitas muslim, masjid kemudian tidak

hanya sebagai tempat beribadah melainkan juga sebagai sarana dalam merundingkan hal-

hal yang berkaitan dengan masyarakat. Sistem arbitrase atau tahkim ini didirikan dan

1
pengadilan hukum adat ini merupakan pendahuluan dari pengadilan Islam awal yang

kemudian akan berkembang.

Seiring berjalannya waktu, Islam menantang aspek kebudayaan lokal, seperti

stratifikasi yang kuat sifat masyarakat Jawa, tetapi Islam di Indonesia ini juga dibentuk

oleh tradisi dan pemahaman kepercayaan lokal. Richmond memberikan argumen yang

mendukung tulisannya melalui studi yang dilakukan Hooker tentang hukum Malaka pada

abad 15 yang mengungkapkan bahwa unsur-unsur tertentu diadaptasi dari Islam dan adat.

Penerapan fikih Islam terutama yang diambil dari mazhab Syafi'i terlihat dalam hukum

yang berkaitan dengan pernikahan. Kemudian dari abad ke 16 terjadi tingkat pertukaran

yang signifikan antara Melayu-Indonesia Nusantara dan Timur Tengah.

Uraian tersebut menjadi dasar dan pengantar mengenai bagaimana hukum Islam

dan adat berinteraksi, yang kemudian mencitpakan persinggungan sosial dan kultural.

Pada pembahasan berikutnya, Richmond menguraikan mengenai hubungan

Belanda-Islam dalam konteks pernikahan dan perkawinan antar agama pada jaman

kolonial. Dalam kajiannya tentang hubungan antar agama pada jaman tersebut, diketahui

adanya empat pola utama Belanda dalam menanggapi perjumpaan dengan umat Muslim.

Pedagang Belanda menunjukkan kehati-hatian, keingintahuan dan kekaguman. Mereka

tidak menyetujui doktrin Islam tetapi menghormati perilaku Muslim. Pandangan tersebut

tergantikan dengan pandangan yang lebih negatif tentang Islam pada abad ke-17. Belanda

mengembangkan kebijakan memberikan pengakuan terhadap hukum keluarga Islam

sambil memperluas kekuasaan otoritas dan pengadilan sipil. Di masa ini, pengakuan

Belanda atas undang-undang perkawinan, perceraian, dan warisan Islam menunjukkan

bahwa unsur syariah telah diterapkan dalam berbagai komunitas. Peran penasihat agama

2
Islam atau penghulu dalam urusan administrasi perkawinan diakui pada tahun 1820.

Terbitnya dekrit kerajaan secara resmi mendirikan pengadilan Islam di sejumlah wilayah

pada tahun 1882 yang bertujuan menangani perkawinan, perceraian, dan warisan.

Penjelasan ini menjadi pengantar secara historis mengenai proses penerapan hukum

perkawinan di Indonesia.

Sistem hukum yang dipraktikkan di bawah kolonialisme Belanda dikelompokkan

berdasarkan ras yang berbeda : Eropa (Jepang termasuk), Timur Asing (Cina, India, dan

Arab), dan Inlanders (pribumi). Hukum pidana Belanda dan hukum keamanan Negara

berlaku untuk semua, namun hukum perkawinan diterapkan secara berbeda pada tiap

kelompok. Orang Eropa berada di bawah hukum perkawinan Belanda dan kelompok

lainnya sesuai dengan hukum adatnya sendiri.

Pernikahan Kristen selama periode VOC di bawah tanggungjawab gereja. Undang-

undang dan tata cara perkawinan Kristen pertama dilakukan di Maluku pada tahun 1861

dan dicatat di Kantor Catatan Sipil. Pada tahun 1933 undang-undang baru menggantikan

undang-undang tahun 1861 yang mengatur perkawinan orang kristen Jawa, Minahasa, dan

Ambon. Peraturan Belanda juga mengatur tentang Perkawinan Campuran yang diartikan

sebagai perkawinan antar dua orang di Indonesia yang memiliki hukum berbeda.

Ungkapan dalam GHR Stbl.1898/158 adalah Pasal 7 (2): “Perbedaan agama, ras atau

tempat asal bukanlah halangan untuk menikah". Richmond mengutip pasal yang kemudian

menjadi polemik mengenai perkawinan antar agama.

Selama masa kekuasaan Belanda yang panjang itulah, hukum pernikahan yang

berbeda diterapkan pada Muslim dan Kristen. Muslim memiliki pengadilan agamanya

sendiri sementara pernikahan Kristen terdaftar di pengadilan sipil. Faktor ini yang

3
nantinya menjadi relevansi dalam konflik yang muncul terkait RUU Perkawinan di

Indonesia.

Pada diskusi selanjutnya, Richmond banyak berfokus mengenai pasal yang

berkaitan dimana kemudian menciptakan interpretasi hukum yang berbeda. Adanya poin-

poin pasal tertentu yang dianggap tidak saling mendukung, menjadi suatu perdebatan. Hal

ini yang menyebabkan selama tahun 1980-an, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor

Catatan Sipil menolak permintaan pasangan beda agama untuk dicatatkan sebagai

pernikahan beda agama. Secara lebih mendalam, kebingungan tersebut diperparah dengan

adanya perbedaan pandangan di antara kalangan umat Islam tentang apakah hukum Islam

mengizinkan pernikahan beda agama bagi umat Islam. Penjelasan yang diuraikan

Richmond dalam hal ini memberikan suatu gambaran mengenai rangkaian kejadian yang

saling terkait. Argumentasi yang didasari dengan unsur historis memberikan pemahaman

yang menarik untuk disimak. Ada dua sudut pandang yang disajikan oleh Richmond

mengenai hukum perkawinan beda agama. Pada Maret 1976, sebuah surat yang berasal

dari Departemen Agama kepada Walikota Malang dengan tembusan ke Departemen

Hukum dan Dalam Negeri. Di dalam surat tersebut, Wasit Aulawi yang bertanggung

jawab atas Pengadilan Islam mengungkapkan bahwa hukum Islam memperbolehkan laki-

laki Muslim menikahi perempuan ahli kitab, tetapi sebaliknya tidak diperbolehkan. Surat

tersebut dimaksudkan untuk memberikan kejelasan kepada umat Islam atas kebingungan

seputar masalah ini. Di lain pihak, para pemimpin Protestan dan uskup Katolik Roma

berpandangan bahwa Negara memiliki tanggung jawab dalam membantu warganya yang

memiliih untuk melangsungkan pernikahan beda agama dan berpendapat bahwa Kantor

Catatan Sipil harus terus membantu pasangan tersebut. Perundingan pun masih terjadi di

4
tataran hukum Negara, dimana kemudian kekosongan hukum dalam undang-undang

terkait hal ini semakin menimbukan kebingungan yang cukup besar. Terdapat suara-suara

yang menyerukan agar pernikahan beda agama bisa diakui oleh Negara dan oleh hukum

agama masing-masing keyakinan. Suara-suara lain menyatakan bahwa pernikahan beda

agama saat ini dilarang.

Lebih lanjut, Richmond mengulik tentang perdebatan mengenai fatwa terhadap

pernikahan antar agama. Argumentasi yang terbentuk tetap didasari pada aspek historis

mengenai perkembangan fatwa yang banyak didasarkan pada kekhawatiran-kekhawatiran

akan upaya kristenisasi yang terjadi apabila pernikahan antar agama dilegalkan di

Indonesia. Richmond menggambarkannya secara kronologis. Sampai puncaknya dapat

diketahui dari uraian Richmond mengenai terbentuknya Kompilasi Hukum Islam di tahun

1991, yang menjelaskan bahwa pernikahan antar agama bagi umat Islam dilarang di

bawah hukum Islam yang saat ini berlaku di pengadilan agama Indonesia. Terkait

Kompilasi Hukum Islam ini, Richmond kemudian melanjutkan dengan menjelaskan

mengenai upaya Revisi Kompilasi Hukum Islam oleh Counter Legal Draft pada tahun

2004 menyebabkan kontroversi di masyarakat khususnya di kalangan umat Islam.

Sedangkan gereja protestan Indonesia mengadopsi berbagai posisi yang berbeda

mengenai perkawinan campur. Beberapa gereja mengizinkan pendetanya untuk

melakukan perkawinan antar agama seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen

Indonesia (GKI). Gereja lainnya hanya mengizinkan pernikahan Kristen di mana

keduanya adalah orang Kristen yang dibaptis. Richmond pun juga mengutip wawancara

dengan beberapa pendeta untuk memperkuat argumentasinya. Apa yang ditemukan dalam

wawancara tersbut cukup dilematis. Pro-kontra, plus-minus yang ditemukan pada praktik

5
pernikahan antar agama menjadi suatu keniscayaan sampai saat ini. Dalam uraian tersebut

Richmond berhasil memberikan gambaran secara objektif mengenai respon dan sikap

yang diambil dari masing-masing pihak.

Pada bagian akhirnya, Richmond mengungkapkan kepedulian dan keprihatinannya

mengenai isu perkawinan antar agama. Survei dan studi yang telah dilakukan mengenai

perkawinan antar agama, menjelaskan bahwa Indonesia berfokus pada menghadapi

tantangan dalam pengelolaan kemajemukan dan pluralitas, memberikan pengakuan

terhadap aspirasi umat Islam, dan tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama

sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi. Proses pengakuan beberapa undang-undang

perkawinan sejak masa kolonial, hingga masa kemerdekaan, Indonesia bercita-cita untuk

memliki hukum yang mempersatukan hingga sampai pada suatu pemahaman yang

disepakati. Richmond juga banyak memberikan data dan argumentasi akan pengaruh

Islam dalam pembentukan kebijakan publik. Walaupun demikian, semakin hari masalah

hukum yang kontroversial di Indonesia mengenai perkawinan antar agama semakin

menghasilkan perbedaan pandangan. Rumusan hukum perkawinan di Indonesia

berlangsung dalam suasana umat Islam dan Kristen yang mengalami revitalisasi agama

yang cukup besar dan terdapat kekhawatiran umat Islam akan adanya Kristenisasi.

Akhirnya, Richmond menutup dengan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup

penting dalam membentuk masa depan Indonesia.

6
Referensi

Aini, Noryamin, Ariane Utomo, and Peter McDonald. "Interreligious Marriage in

Indonesia."Journal of Religion and Demography”, no. 1 (2019): 189-214.

https://doi.org/10.1163/2589742X-00601005

Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study of the Political Bases of Legal

Institutions Berkeley: University of California, 1972.

Mas’udi , Masdar F., “Meletakkan Kembali Maslahah Sebagai Acuan Syari’at”, Jurnal

Ulumul Qur’an, No. 3 vol: IV, (Jakarta: PARAMADINA, 1995)

Anda mungkin juga menyukai