Helen Richmond
dunia dengan karakteristik masyarakat yang majemuk dan hidup secara berdampingan
dalam berbagai macam bentuk interaksi. Dalam urusan perkawinan, praktitk perkawinan
beda agama merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari, mengingat tingginya tingkat
berbagai faktor lainnya. Pada jurnal yang ditulis oleh Helen Richmond yang berjudul,
"Pernikahan Beda Agama Antara Muslim dan Kristen di Indonesia" akan mengulas isu
dan pluralisme agama dalam konteks pernikahan beda agama khususnya pada perkawinan
Indonesia pada periode pra kolonial. Sejak dulu, di berbagai belahan Nusantara,
pada hukum adat yang meliputi segala aspek kehidupan. Seiring dengan berjalannya
waktu, hukum Islam mulai masuk ke dalam budaya lokal, khususnya di wilayah hukum
keluarga Islam. Seiring dengan berkembangnya komunitas muslim, masjid kemudian tidak
hanya sebagai tempat beribadah melainkan juga sebagai sarana dalam merundingkan hal-
hal yang berkaitan dengan masyarakat. Sistem arbitrase atau tahkim ini didirikan dan
1
pengadilan hukum adat ini merupakan pendahuluan dari pengadilan Islam awal yang
stratifikasi yang kuat sifat masyarakat Jawa, tetapi Islam di Indonesia ini juga dibentuk
oleh tradisi dan pemahaman kepercayaan lokal. Richmond memberikan argumen yang
mendukung tulisannya melalui studi yang dilakukan Hooker tentang hukum Malaka pada
abad 15 yang mengungkapkan bahwa unsur-unsur tertentu diadaptasi dari Islam dan adat.
Penerapan fikih Islam terutama yang diambil dari mazhab Syafi'i terlihat dalam hukum
yang berkaitan dengan pernikahan. Kemudian dari abad ke 16 terjadi tingkat pertukaran
Uraian tersebut menjadi dasar dan pengantar mengenai bagaimana hukum Islam
dan adat berinteraksi, yang kemudian mencitpakan persinggungan sosial dan kultural.
Belanda-Islam dalam konteks pernikahan dan perkawinan antar agama pada jaman
kolonial. Dalam kajiannya tentang hubungan antar agama pada jaman tersebut, diketahui
adanya empat pola utama Belanda dalam menanggapi perjumpaan dengan umat Muslim.
tidak menyetujui doktrin Islam tetapi menghormati perilaku Muslim. Pandangan tersebut
tergantikan dengan pandangan yang lebih negatif tentang Islam pada abad ke-17. Belanda
sambil memperluas kekuasaan otoritas dan pengadilan sipil. Di masa ini, pengakuan
bahwa unsur syariah telah diterapkan dalam berbagai komunitas. Peran penasihat agama
2
Islam atau penghulu dalam urusan administrasi perkawinan diakui pada tahun 1820.
Terbitnya dekrit kerajaan secara resmi mendirikan pengadilan Islam di sejumlah wilayah
pada tahun 1882 yang bertujuan menangani perkawinan, perceraian, dan warisan.
Penjelasan ini menjadi pengantar secara historis mengenai proses penerapan hukum
perkawinan di Indonesia.
berdasarkan ras yang berbeda : Eropa (Jepang termasuk), Timur Asing (Cina, India, dan
Arab), dan Inlanders (pribumi). Hukum pidana Belanda dan hukum keamanan Negara
berlaku untuk semua, namun hukum perkawinan diterapkan secara berbeda pada tiap
kelompok. Orang Eropa berada di bawah hukum perkawinan Belanda dan kelompok
undang dan tata cara perkawinan Kristen pertama dilakukan di Maluku pada tahun 1861
dan dicatat di Kantor Catatan Sipil. Pada tahun 1933 undang-undang baru menggantikan
undang-undang tahun 1861 yang mengatur perkawinan orang kristen Jawa, Minahasa, dan
Ambon. Peraturan Belanda juga mengatur tentang Perkawinan Campuran yang diartikan
sebagai perkawinan antar dua orang di Indonesia yang memiliki hukum berbeda.
Ungkapan dalam GHR Stbl.1898/158 adalah Pasal 7 (2): “Perbedaan agama, ras atau
tempat asal bukanlah halangan untuk menikah". Richmond mengutip pasal yang kemudian
Selama masa kekuasaan Belanda yang panjang itulah, hukum pernikahan yang
berbeda diterapkan pada Muslim dan Kristen. Muslim memiliki pengadilan agamanya
sendiri sementara pernikahan Kristen terdaftar di pengadilan sipil. Faktor ini yang
3
nantinya menjadi relevansi dalam konflik yang muncul terkait RUU Perkawinan di
Indonesia.
berkaitan dimana kemudian menciptakan interpretasi hukum yang berbeda. Adanya poin-
poin pasal tertentu yang dianggap tidak saling mendukung, menjadi suatu perdebatan. Hal
ini yang menyebabkan selama tahun 1980-an, Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor
Catatan Sipil menolak permintaan pasangan beda agama untuk dicatatkan sebagai
pernikahan beda agama. Secara lebih mendalam, kebingungan tersebut diperparah dengan
adanya perbedaan pandangan di antara kalangan umat Islam tentang apakah hukum Islam
mengizinkan pernikahan beda agama bagi umat Islam. Penjelasan yang diuraikan
Richmond dalam hal ini memberikan suatu gambaran mengenai rangkaian kejadian yang
saling terkait. Argumentasi yang didasari dengan unsur historis memberikan pemahaman
yang menarik untuk disimak. Ada dua sudut pandang yang disajikan oleh Richmond
mengenai hukum perkawinan beda agama. Pada Maret 1976, sebuah surat yang berasal
Hukum dan Dalam Negeri. Di dalam surat tersebut, Wasit Aulawi yang bertanggung
jawab atas Pengadilan Islam mengungkapkan bahwa hukum Islam memperbolehkan laki-
laki Muslim menikahi perempuan ahli kitab, tetapi sebaliknya tidak diperbolehkan. Surat
tersebut dimaksudkan untuk memberikan kejelasan kepada umat Islam atas kebingungan
seputar masalah ini. Di lain pihak, para pemimpin Protestan dan uskup Katolik Roma
berpandangan bahwa Negara memiliki tanggung jawab dalam membantu warganya yang
memiliih untuk melangsungkan pernikahan beda agama dan berpendapat bahwa Kantor
Catatan Sipil harus terus membantu pasangan tersebut. Perundingan pun masih terjadi di
4
tataran hukum Negara, dimana kemudian kekosongan hukum dalam undang-undang
terkait hal ini semakin menimbukan kebingungan yang cukup besar. Terdapat suara-suara
yang menyerukan agar pernikahan beda agama bisa diakui oleh Negara dan oleh hukum
pernikahan antar agama. Argumentasi yang terbentuk tetap didasari pada aspek historis
akan upaya kristenisasi yang terjadi apabila pernikahan antar agama dilegalkan di
diketahui dari uraian Richmond mengenai terbentuknya Kompilasi Hukum Islam di tahun
1991, yang menjelaskan bahwa pernikahan antar agama bagi umat Islam dilarang di
bawah hukum Islam yang saat ini berlaku di pengadilan agama Indonesia. Terkait
mengenai upaya Revisi Kompilasi Hukum Islam oleh Counter Legal Draft pada tahun
melakukan perkawinan antar agama seperti Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Gereja Kristen
keduanya adalah orang Kristen yang dibaptis. Richmond pun juga mengutip wawancara
dengan beberapa pendeta untuk memperkuat argumentasinya. Apa yang ditemukan dalam
wawancara tersbut cukup dilematis. Pro-kontra, plus-minus yang ditemukan pada praktik
5
pernikahan antar agama menjadi suatu keniscayaan sampai saat ini. Dalam uraian tersebut
Richmond berhasil memberikan gambaran secara objektif mengenai respon dan sikap
mengenai isu perkawinan antar agama. Survei dan studi yang telah dilakukan mengenai
terhadap aspirasi umat Islam, dan tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama
perkawinan sejak masa kolonial, hingga masa kemerdekaan, Indonesia bercita-cita untuk
memliki hukum yang mempersatukan hingga sampai pada suatu pemahaman yang
disepakati. Richmond juga banyak memberikan data dan argumentasi akan pengaruh
Islam dalam pembentukan kebijakan publik. Walaupun demikian, semakin hari masalah
berlangsung dalam suasana umat Islam dan Kristen yang mengalami revitalisasi agama
yang cukup besar dan terdapat kekhawatiran umat Islam akan adanya Kristenisasi.
6
Referensi
https://doi.org/10.1163/2589742X-00601005
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia: A Study of the Political Bases of Legal
Mas’udi , Masdar F., “Meletakkan Kembali Maslahah Sebagai Acuan Syari’at”, Jurnal