Anda di halaman 1dari 6

A. Definisi Istishab Istishab menurut bahasa berarti mencari sesuatu yang ada hubungannya.

Menurut istilah ulama fiqh, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut. Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang. Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab. B. Dasar Hukum Istishab Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram. Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah. C. Macam-Macam Istishab Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada: a. Istishhab berdasar penetapan akal

Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Midah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya. Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut: 1. (Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan). 2. (Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan. 3. (Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan. b. Istishhab berdasarkan hukum syara Sesuai dengan ketetapan syara bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syaratsyaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan lakilaki lain. Menyatakan bahwa hukum syara itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara yang pernah ditetapkan. Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya Kaidah-kaidah istishab antara lain: pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya. pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.

manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.

apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.

DASAR-DASAR FIQIH ISLAM A. Istihsan Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu) Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ahli usul fiqih istihsan ialah meninggalkan qiyas jaly (jelas) untuk berpindah kepada qiyas kafi (samar-samar) atau dari hukum kully (umum) kepada hukum Juzi atau Istisnai (pengecualian) karena ada dalil yang membenarkan perpindahan itu. Contoh Istihsan 1) Istihsan yang mengutamakan qiyas kafi dari pada qiyas jaly. 1. Qiyas : wanita yang haid diqiyaskan kepada orang junub. Illatnya sama yaitu tidak suci, sehingga orang yang haid haram membaca al-Quran. 2. Istihsan : Orang yang haid berbeda dengan orang yang junub, karena haid waktunya lama. Kehujjahan Istihsan. Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan. 1. Golongan syafiiyyah menolak Istihsan, karena berhujjah dengan istihsan dianggap menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat hanya sematamata didasarkan pada hawa nafsunya. 2. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan istihsan dengan pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas kafi dengan mengalahkan Qiyas Jaly atau mengutamakan dalil yang istisnai dari pada yang kully.

2. Contoh Istishab - Seorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Dalam masalah ini, ia harus berpegang pada ketentuan humum asal, yaitu belum berwudhu. - Seorang yang sudah berwudlu kemudian ragu-ragu apakah batal atau tidak maka hendaklah menetapkan hukum yang awal yaitu ada wudlu.

Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, padahal secara qiyas tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhunya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.[6] Lalu adakah contoh Istihsan di masa sahabat? DR. Syaban Muhammad Ismail menyebutkan beberapa bukti kasus yang dapat disebut sebagai cikal-bakal Istihsan di masa sahabat[13], salah satunya adalah kasus al-Musyarrakah. Dalam kasus ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung. Jenis-jenis Istihsan Para ulama yang mendukung penggunaan Istihsan sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi Istihsan dalam beberapa bagian berdasarkan 2 sudut pandang yang berbeda: Pertama, berdasarkan dalil yang melandasinya. 1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh alQuran atau al-Sunnah.

Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadits Nabi saw yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata: Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-salaf[30], maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula. (HR. Al-Bukhari no. 2085 dan Muslim no. 3010) 2. Istihsan dengan ijma. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum. Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.[31] 3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.[32]

4. Istihsan dengan urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda karena urf yang umum berlaku baik urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan-. Salah satu contoh Istihsan dengan urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya: Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumangkan NamaNya di dalamnya. (al-Nur:36) Namun urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata rumah (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid.[33]

Anda mungkin juga menyukai