Tahun 2016, di negara kita banyak diwarnai dengan kasus guru yang dilaporkan
orang tua peserta didiknya ke pihak berwajib. Sebut saja, kasus yang menimpa
Nurmayani Salam, Guru Biologi di SMP Negeri 1 Kabupaten Bantaeng, Sulawesi
Selatan yang harus mendekam di penjara karena mencubit peserta didiknya, karena
tidak melaksanakan kegiatan sekolah, yakni Shalat Dhuha. Hal serupa juga terjadi
pada Sambudi, Guru SMP Raden Rahmat, Belongbendo, Sidoarjo, yang disidangkan
pada Juni 2016. Penyebabnya sama, Sambudi dituduh mencubit peserta didiknya
yang mangkir pada kegiatan sekolah, Shalat Dhuha. Apakah cara guru mendisiplinkan
peserta didik di sekolah harus sampai ke ranah hukum?
Pertama yang kita bahas adalah tindakan guru dalam mendisiplinkan peserta
didiknya. Berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2008 tentang Guru, Pasal 39 ayat 1
berbunyi “guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang
melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis
maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan
peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah
kewenangannya”. Kemudian, ayat 2 berbunyi “sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta
hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru,
dan peraturan perundang-undangan”. Inilah yang menjadi dasar seorang guru dalam
mendisiplinkan peserta didiknya. Yang menjadi perdebatan di sini, bagaimanakah
hukuman yang bersifat mendidik itu? Apakah kekerasan fisik diperbolehkan?.
Hukuman yang bersifat mendidik bisa dengan teguran, pemberian tugas,
pemanggilan orang tua ataupun pengembalian kepada orang tua. Bagaimana dengan
hukuman fisik? Dalam kode etik guru, Pasal 6 Ayat 1 Poin f berbunyi “guru menjalin
hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan
diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”. Artinya, di dalam
kode etik Guru masih diperbolehkan adanya “kekerasan fisik” asal jangan sampai di
luar batas kaidah pendidikan. Namun, batasan kaidah pendidikan inilah yang masih
kabur, sehingga dalam memberikan kekerasan fisik untuk mendisiplinkan peserta
didik, guru malah dianggap melanggar UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Hal ini lah yang kerap kali dijadikan dasar oleh orang tua peserta
didik untuk memperkarakan guru yang mereka anggap telah melakukan kekerasan
fisik yang berlebihan kepada anaknya. Lalu, apakah kasus-kasus di atas dapat
dianggap kekerasan fisik yang berlebihan?.
Kasus di atas, bila orang tua peserta didik memperkarakannya dan didukung
dengan bukti visum, maka pihak berwajib dapat menahan guru yang bersangkutan.
Akan tetapi, apabila hal itu dilakukan untuk penegakan peraturan dan tata tertib
sekolah, maka orang tua dan pihak berwajib juga harus mempertimbangkan dasar
hukum guru melakukan hal tersebut yakni PP Nomor 78 Tahun 2008 Tentang Guru.
Terlebih lagi, pada UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, juga diatur
perlindungan terhadap guru, yakni di pasal 39 ayat 1, 2, dan 3. Bila terjadi kasus
seperti ini, boleh dikatakan kedua pihak berada di posisi yang sama, karena masing-
masing pihak memiliki dasar hukum atas tindakannya. Bagaimana penyelesaiannya?
Mediasi mutlak dilakukan dan semua pihak wajib menahan diri. Ketika terjadi
kasus seperti ini, pihak berwajib yang menerima laporan dari orang tua peserta didik,
hendaknya langsung berinisiatif mengadakan mediasi dengan mengundang pihak-
pihak yang terkait. Sosialisasikan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah serta
kode etik yang mengatur tindakan guru. Begitu juga sebaliknya, juga disampaikan
tentang UU Perlindungan Anak. Dampak-dampak yang mungkin terjadi jika kasus
tersebut sampai ke ranah hukum, juga harus disampaikan, dengan harapan dapat
menjadi bahan pertimbangan masing-masing pihak untuk bertindak.
Maraknya kasus-kasus seperti ini dapat membuat para guru menjadi apatis
terhadap peserta didik. Namun, apatis bukanlah solusi yang tepat. Tindakan preventif
seperti membangun komunikasi yang baik antara sekolah, guru, peserta didik, dan
orang tua peserta didik. Karena pada dasarnya kasus-kasus seperti ini terjadi karena
miss komunikasi antara guru dan orang tua peserta didik. Sosialisasikan peraturan
dan tata tertib yang ada di sekolah kepada orang tua peserta didik ketika pertama kali
masuk ke sekolah. Selain itu, jelaskan pula konsekuensi-konsekuensi bila tidak
mentaati peraturan dan tata tertib sekolah serta kalau memang diperlukan adakan
hitam di atas putih dengan orang tua peserta didik, sehingga kasus serupa tidak
sampai terulang. Hal inilah yang dilakukan sekolah-sekolah di daerah penulis,
membangun komunikasi yang baik antara sekolah, guru, peserta didik, orang tua,
masyarakat dan pemerintah. Sehingga sampai saat ini, di daerah penulis tidak ada
kasus orang tua peserta didik yang melaporkan gurunya karena tindak kekerasan di
sekolah.