Anda di halaman 1dari 2

Matkul : Isu Sosial dan Keprofesian Teknologi Informasi

Tugas sesi 4

1. Cybersecurity adalah perlindungan informasi digital dan pertahanan data tersebut


terhadap ancaman berbahaya dan akses yang tidak beralasan. Apa pertahanan terbaik?
Sistem Cybersecurity yang kuat memiliki banyak lapisan perlindungan yang tersebar di
komputer, perangkat, jaringan, dan program. Tetapi sistem keamanan dunia maya yang
kuat tidak hanya mengandalkan teknologi pertahanan dunia maya; itu juga bergantung
pada orang-orang yang membuat pilihan pertahanan dunia maya yang cerdas.

2. Dalam rekomendasi GCCS 2017 yang akan diselenggarakan November 2017, hasil
lokakarya ini memasukkan beberapa kesepakatan, yakni diantaranya Pertama,
Pengembangan dan penerapan hukum, kebijakan dan praktik terkait cybersecurity harus
sesuai dengan hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia internasional dan
hukum humaniter internasional. Kedua, Undang-undang, kebijakan dan praktik yang
terkait dengan cybersecurity tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk melanggar hak
asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi, berorganisasi, berserikat dan berkumpul.
Ketiga, Respon pemerintah terhadap insiden cybercrime seharusnya tidak melanggar hak
asasi manusia. Keempat, Pemangku kepentingan harus mempromosikan pendidikan,
keaksaraan digital lebih inklusif berdasarkan geografis agar mudah dipahami masyarakat,
dan pelatihan teknis digital serta hukum sebagai sarana untuk meningkatkan keamanan
dunia maya dan realisasi jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam pembentukan
kebijakan keamanan dunia maya di tingkat Internasional.

Memperkuat Unit Cyber Crime Investigation


ICJR melihat bahwa isu  cyber security, dalam kaitannya  dengan criminal policy dalam
konteks Indonesia masih perlu di amati secara lebih serius. Dari aspek penegakan hukum.
Saat ini Kepolisian RI telah memiliki Unit Cyber Crime Investigation Satellite Office di 7
Provinsi wilayah Indonesia, yakni di Polda Sumatera Utara (Sumut), Polda Sumatera
Selatan (Sumsel), Polda Kepulauan Riau (Kepri), Polda Metro Jaya, Polda Jawa Timur,
Polda Bali dan Polda Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun yang aktif berkoordinasi
dengan Bareskrim Polri Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber)
dan mampu melakukan pemeriksaan barang bukti digital (digital evidence) serta
mengeluarkan berita acara pemeriksaan barang bukti digital hanya Polda Metro Jaya dan
Polda Bali. Jumlah personel penyidik pada Dittipidsiber pada tahun 2012 berjumlah 27
orang, sedangkan pada tahun 2017 telah mengalami peningkatan jumlah personel
sehingga berjumlah 90 orang.
Adapun jumlah personel Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri
Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bidfisikomfor) yang telah memiliki sertifikasi
Digital Forensik dan bertugas menangani pemeriksaan barang bukti elektronik(digital
evidence) dan pengolahan dokumen elektronik berjumlah 20 orang.[1]Namun
kenyataannya, belum banyak penegak hukum yang menangani kasus cybercrime di
daerah memiliki sertifikasi digital forensik.Padahal kejahatan yang berkaitan dengan
siber[2] dan kejahatan siber[3]di berbagai wilayah Indonesia selalu menunjukkan
peningkatan laporan kasus setiap tahunnya dan memerlukan penegak hukum yang
memiliki kapabilitas dalam penggunaan teknologi siber (cyber capability) utamanya
dalam menelusuri bukti elektronik(digital evidence) sampai pada proses pengungkapan di
pengadilan.

Daerah tertinggi laporan kasus Cybercrime hanya di bulan Desember 2016 berada pada
wilayah Polda Metro Jaya (91 kasus), Jambi (36 kasus), dan Sumatera Utara (20 Kasus).
Jumlah kasus tertinggi di kepolisian ditempati oleh laporan kasus Pencemaran nama
baik/defamasi, Komunikasi Fraud/Hoax dan Web Fraud. Khusus sepanjang tahun 2016,
daerah penyumbang laporan perkara kasus Pasal Defamasi UU ITE terbanyak di
Indonesiaditempati olehpropinsi Nusa Tenggara Barat(NTB) dengan jumlah laporan 86
kasus. Hingga akhir 2016, 30 kasus masih di tahap penyelidikan, 10 kasus di tingkat
penyidikan, namun sebanyak 37 kasus tidak dapat ditindaklanjuti ke penyidikan,
sedangkan 9 kasus lainnya telah dilimpahkan ke kejaksaan.

Dengan jumlah personel dan kapabilitas penegak hukum yang terbatas dalam menangani
kasus cybercrime, maka hal ini juga akan berpengaruh pada tingkat kemampuan
penyelesaian kasus. Berdasarkan jumlah laporan kasus cybercrime terendah dalam data
Mabes Polri, yakni ditempati oleh kasus pornografi anak. Dari 4 laporan pada tahun 2016
tidak ada satupun yang dapat dituntaskan atau tingkat persentase penyelesaian kasus
sebanyak 0.00%. Hal ini terjadi penurunan jumlah kasus yang dapat diselesaikan
dibanding tahun 2015 dimana dari 29 laporan kasus pornografi anak, terdapat 1 kasus
yang dapat dituntaskan penyidik (tingkat penyelesaian kasus sebesar 3,45%). Hal ini
dapat dijumpai juga pada jumlah laporan kasus tertinggi yaitu kasus penghinaan/defamasi
yang menempati jumlah 708 hampir 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya (Tahun
2015 = 485 laporan). Terlihat pula penurunan kemampuan penyelesaian kasus defamasi
yang semula tahun 2015 dapat diselesaikan sebanyak 24,74% menjadi hanya 23,45% di
tahun 2016.

Anda mungkin juga menyukai