Tugas Sesi 4
Tugas Sesi 4
Tugas sesi 4
2. Dalam rekomendasi GCCS 2017 yang akan diselenggarakan November 2017, hasil
lokakarya ini memasukkan beberapa kesepakatan, yakni diantaranya Pertama,
Pengembangan dan penerapan hukum, kebijakan dan praktik terkait cybersecurity harus
sesuai dengan hukum internasional, termasuk hukum hak asasi manusia internasional dan
hukum humaniter internasional. Kedua, Undang-undang, kebijakan dan praktik yang
terkait dengan cybersecurity tidak boleh digunakan sebagai dalih untuk melanggar hak
asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi, berorganisasi, berserikat dan berkumpul.
Ketiga, Respon pemerintah terhadap insiden cybercrime seharusnya tidak melanggar hak
asasi manusia. Keempat, Pemangku kepentingan harus mempromosikan pendidikan,
keaksaraan digital lebih inklusif berdasarkan geografis agar mudah dipahami masyarakat,
dan pelatihan teknis digital serta hukum sebagai sarana untuk meningkatkan keamanan
dunia maya dan realisasi jaminan perlindungan hak asasi manusia dalam pembentukan
kebijakan keamanan dunia maya di tingkat Internasional.
Daerah tertinggi laporan kasus Cybercrime hanya di bulan Desember 2016 berada pada
wilayah Polda Metro Jaya (91 kasus), Jambi (36 kasus), dan Sumatera Utara (20 Kasus).
Jumlah kasus tertinggi di kepolisian ditempati oleh laporan kasus Pencemaran nama
baik/defamasi, Komunikasi Fraud/Hoax dan Web Fraud. Khusus sepanjang tahun 2016,
daerah penyumbang laporan perkara kasus Pasal Defamasi UU ITE terbanyak di
Indonesiaditempati olehpropinsi Nusa Tenggara Barat(NTB) dengan jumlah laporan 86
kasus. Hingga akhir 2016, 30 kasus masih di tahap penyelidikan, 10 kasus di tingkat
penyidikan, namun sebanyak 37 kasus tidak dapat ditindaklanjuti ke penyidikan,
sedangkan 9 kasus lainnya telah dilimpahkan ke kejaksaan.
Dengan jumlah personel dan kapabilitas penegak hukum yang terbatas dalam menangani
kasus cybercrime, maka hal ini juga akan berpengaruh pada tingkat kemampuan
penyelesaian kasus. Berdasarkan jumlah laporan kasus cybercrime terendah dalam data
Mabes Polri, yakni ditempati oleh kasus pornografi anak. Dari 4 laporan pada tahun 2016
tidak ada satupun yang dapat dituntaskan atau tingkat persentase penyelesaian kasus
sebanyak 0.00%. Hal ini terjadi penurunan jumlah kasus yang dapat diselesaikan
dibanding tahun 2015 dimana dari 29 laporan kasus pornografi anak, terdapat 1 kasus
yang dapat dituntaskan penyidik (tingkat penyelesaian kasus sebesar 3,45%). Hal ini
dapat dijumpai juga pada jumlah laporan kasus tertinggi yaitu kasus penghinaan/defamasi
yang menempati jumlah 708 hampir 2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya (Tahun
2015 = 485 laporan). Terlihat pula penurunan kemampuan penyelesaian kasus defamasi
yang semula tahun 2015 dapat diselesaikan sebanyak 24,74% menjadi hanya 23,45% di
tahun 2016.