Anda di halaman 1dari 103

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/359188016

PEMBIAYAAN KESEHATAN : KONSEP DAN BEST PRACTICES DI INDONESIA

Book · September 2021

CITATIONS READS

0 575

6 authors, including:

Estro Dariatno Sihaloho Giovanni van Empel


Universitas Padjadjaran Universitas Gadjah Mada
69 PUBLICATIONS   97 CITATIONS    4 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Haerawati Idris Adiatma Y M Siregar


Universitas Sriwijaya Universitas Padjadjaran
50 PUBLICATIONS   96 CITATIONS    54 PUBLICATIONS   365 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Health Economics of Cigarette (Smoking Habits) in Indonesia View project

Maluku Corner UNPAD - Bappeda Prov Maluku View project

All content following this page was uploaded by Estro Dariatno Sihaloho on 12 March 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMBIAYAAN
KESEHATAN
KONSEP DAN BEST PRACTICES DI
INDONESIA

SERI EKONOMI KESEHATAN

BUKU II

Ery Setiawan
Estro Dariatno Sihaloho
Fitriana Yuliawati
Giovanni van Empel
Haerawati Idris
Adiatma YM Siregar
Seri Ekonomi Kesehatan II
Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Best Pratices

©2021 PPJK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Penulisan buku ini dimungkinkan atas dukungan rakyat Amerika melalui United States Agency for International
Development (USAID) yang diproduksi melalui kontrak Health Financing Activity USAID No. 72049719C00002.
Materi yang disampaikan, baik berupa informasi narasi dan visualisasi infografik sepenuhnya menjadi tanggung
jawab ThinkWell, dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Buku ini dapat diakses dari https://thinkwell.global/ dan http://ppjk.kemkes.go.id/ dan dapat disebarluaskan secara
cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkannya. PPJK Kementerian Kesehatan RI, United States Agency
for International Development (USAID) (2021). Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Best Practices di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Pengarah : dr. Kalsum Komaryani MPPM


(Kepala PPJK Kementerian Kesehatan RI)

Koordinator : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH
Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity (HFA)

Manager Program & : Ryan R. Nugraha


PJ Penerbitan Buku

Penyelia Buku : Adiatma YM Siregar

Penulis : Ery Setiawan, Estro Dariatno Sihaloho, Fitriana Yuliawati, Giovanni van Empel,
Haerawati Idris

Penyelaras Akhir : Sonta Frisca Manalu

Diterbitkan oleh:
PPJK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Cetakan I, September 2021

Ukuran Buku : 21 x 29,6 cm


Tebal Buku : xvi, 83 hlm

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

368.42
Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Sekretariat
p Jenderal
Pembiayaan Kesehatan Concept and Best Practice :
Seri ekonomi kesehatan Il.— Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI. 2021

ISBN 978-623-301-246-1

1. Judul I. HEALTH CARE ECONOMICS AND ORGANIZATIONS


II. HEALTHCARE FINANCING
III. INSURANCE, HEALTH
IV. HEALTH POLICY
V. GOVERNMENT PROGRAMS

PPJK Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Jl. H.R. Rasuna Said Kav 4-9 Jakarta 12950 Indonesia
Phone: (62-21) 5201587, 5201591 Email: kontak@depkes.go.id
Website: http://www.depkes.go.id

ii P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESIA


Tim Penyusun

Pengarah : dr. Kalsum Komaryani MPPM


(Kepala PPJK Kementerian Kesehatan RI)

Koordinator : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH


Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity (HFA)

Manager Program & : dr. Ryan R. Nugraha, M.P.H.


PJ Penerbitan Buku

Anggota : Andhika Nurwin Maulana, S.E., M.S.E.


Dian Amelia
Mutia Astrini Pratiwi, M.P.A.

Penyelia Buku : Dr. Adiatma Y.M Siregar, S.E., M. Econ. St.

Penulis : Ery Setiawan, S.K.M., M.E., A.A.A.K.


Estro Dariatno Sihaloho, S.E., M.Si.
Fitriana Yuliawati, S.K.M., M.Kes.
dr. Giovanni van Empel, M.Sc.
Dr. Haerawati Idris, S.K.M., M.Kes.

Penyelaras Akhir : Sonta Frisca Manalu

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESIA iii
iv P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Kata Pengantar

P
usat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kementerian Kesehatan
telah berkomitmen untuk membangun ekosistem pembiayaan dan jaminan
kesehatan yang kuat dan berkelanjutan. Komitmen ini diwujudkan dalam
bentuk inisiatif PPJK untuk secara ekstensif meningkatkan kapasitas akademisi
dan praktisi kesehatan dalam bidang pembiayaan kesehatan.

Beberapa upaya peningkatan kapasitas yang telah dilakukan, antara lain bimbingan
rekapituliasi biaya program Kesehatan Masyarakat dengan menggunakan aplikasi
SISCOBIKES, peningkatan kapasitas Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK), dan tata kelola
Casemix Based Groups (CBGs) kepada rumah sakit di seluruh Indonesia.

PPJK menyadari bahwa upaya peningkatan kapasitas dalam bidang pembiayaan dan
jaminan kesehatan tersebut membutuhkan dukungan referensi dan sumber daya
pengetahuan yang kuat, baik yang bersumber dari disiplin ilmu maupun praktik kebijakan
ekonomi kesehatan. Pengetahuan ini berguna baik sebagai sumber inspirasi panduan
dalam pengambilan kebijakan jaminan dan pembiayaan kesehatan.

Karena itulah PPJK menyambut baik dan memberikan apresiasi tinggi terhadap USAID-
ThinkWell LLC yang telah memprakarsai Health Financing Activity (HFA). Melalui
program Young Health Economists (YHE), HFA telah menghimpun tenaga-tenaga ahli
muda dalam bidang ekonomi kesehatan dan mendorong mereka untuk memberikan
kontribusi keilmuan dan pemikiran bagi peningkatan kualitas pembiayaan dan jaminan
kesehatan. Saya berharap YHE dapat menjadi sebuah komunitas praktisi (community of
practice) ekonomi kesehatan yang di masa depan dapat menjadi motor penggerak sistem
kesehatan, serta hub bagi para ahli dalam mengembangkan tatanan sistem pembiayaan
kesehatan.

Seri Ekonomi Kesehatan ini adalah salah satu produk penting YHE. Saya mengucapkan
terima kasih atas kesediaan para tenaga ahli muda mencurahkan ilmu dan pengalaman
mereka dalam buku ini; juga para koordinator penulisan yang telah membantu
memastikan kualitas dan kesesuaian buku dengan konteks perkembangan sistem
kesehatan Indonesia. Melalui berbagai telaah, analisis kasus, dan refleksi terhadap praktik-
praktik pembiayaan kesehatan yang mereka bahas tuntas dalam buku ini, saya berharap
buku dapat menjadi katalisator untuk mempercepat proses perbaikan jaminan dan
pembiayaan kesehatan di Indonesia.

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A v
Penghargaan serupa juga saya sampaikan kepada Kementerian PPN/BAPPENAS,
Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, organisasi non-pemerintah seperti the
World Bank, para akademisi, praktisi kebijakan ekonomi kesehatan baik di rumah sakit,
Dinas Kesehatan dan pihak-pihak lain yang telah memberikan berbagai masukan bagi
penyempurnaan buku ini. Saya berharap kolaborasi ini akan terus berlanjut sehingga
mampu menghasilkan produk-produk pengetahuan yang berguna bagi peningkatan
kualitas kebijakan, pelayanan, jaminan, dan pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, 2 Juni 2021

dr. Kalsum Komaryani MPPM.


Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI

vi P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Kata Pengantar

D
i Indonesia dan negara-negara mitra lainnya di seluruh dunia, United States
Agency for International Development (USAID) atau Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat bekerja untuk memobilisasi pendekatan seluruh
masyarakat dalam mengoptimalkan sistem kesehatan untuk mencapai potensi
penuhnya. Kami menyadari perlunya visi bersama untuk memastikan kolaborasi yang
efektif dalam lingkungan yang terus berkembang dan berubah. Dengan bekerja sama,
kita dapat mempercepat kemajuan menuju sistem kesehatan yang lebih tangguh dan
lebih mampu memajukan perawatan preventif, promotif, dan kuratif. Untuk mencapai
tujuan yang ambisius tetapi realistis ini, USAID tetap berkomitmen untuk membantu
Pemerintah Indonesia membangun dan memperkuat sistem kesehatan yang kuat dan
berkelanjutan—khususnya dalam program prioritas seperti HIV, TB, dan kesehatan ibu
dan bayi baru lahir.

Melalui USAID, Pemerintah Amerika Serikat berinvestasi untuk mengembangkan


kekayaan sumber daya manusia Indonesia—termasuk pelajar dan profesional—agar lebih
banyak lagi penduduk Indonesia yang dapat menikmati kesehatan yang lebih baik. Health
Financing Activity (HFA) USAID memperkuat kemampuan para profesional Indonesia,
termasuk pejabat pemerintah, untuk menggunakan fakta dan data dalam proses
pembuatan kebijakan. Hal ini akan meningkatkan efisiensi pembiayaan dan pengeluaran
domestik untuk kesehatan, meningkatkan mekanisme dan kapasitas belanja kesehatan
strategis, serta mengoptimalkan manajemen tenaga kesehatan, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas manajemen pembiayaan kesehatan masyarakat.

Elemen kunci dari kemitraan penting ini adalah program fellowship HFA USAID, yang
dirancang untuk memperdalam kemampuan Young Health Economists (YHE) atau
ekonom kesehatan muda generasi berikutnya di Indonesia melalui aktivitas akademis yang
ketat. Program YHE membekali akademisi, praktisi, dan ekonom kesehatan yang sedang
berkembang agar dapat menerapkan prinsip-prinsip kebijakan berbasis bukti dalam
merencanakan, menganalisis, dan merancang kebijakan pembiayaan kesehatan dalam
sistem kesehatan yang kompleks. Sejauh ini, 30 orang ekonom kesehatan muda yang
luar biasa telah lulus dari program ini dan telah diterima di Indonesian Health Economics
Association (InaHEA) atau Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia yang bergengsi.

Untuk mempertahankan dan melembagakan pertukaran pengetahuan dan pembelajaran


yang difasilitasi oleh fellowship ini, HFA USAID dan 30 ekonom kesehatan muda tersebut
mengembangkan enam buku referensi ekonomi kesehatan ini untuk mendefinisikan
konsep ekonomi dan mengembangkan ide-ide transformatif untuk meningkatkan
pembiayaan kesehatan di Indonesia.

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A vii
Setiap buku membahas secara mendalam berbagai aspek ekonomi kesehatan yang
berbeda, termasuk belanja kesehatan strategis, pembiayaan kesehatan, national health
account, dan banyak lagi. Buku ini diterbitkan oleh Pusat Pembiayaan dan Jaminan
Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang merupakan mitra USAID,
dan tersedia bagi siapa saja yang membutuhkannya. Saya berharap buku-buku ini
akan memberikan akses ke informasi yang komprehensif dan relevan tentang ekonomi
kesehatan yang dibutuhkan oleh para pemimpin sistem kesehatan di Indonesia untuk
terus memajukan dan memperkuat sistem kesehatan Indonesia. USAID berharap dapat
melihat bagaimana informasi yang terkandung dalam buku-buku ini dapat meningkatkan
pendanaan kesehatan dan kebijakan berbasis bukti.

Sebagai penutup, izinkan saya mewakili USAID untuk mengucapkan terima kasih kepada
Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
para ekonom kesehatan muda, Bappenas, Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan, dan
tim HFA USAID. Terima kasih atas kontribusi Anda dalam penerbitan buku-buku yang
informatif dan inspiratif ini. Kami berharap kolaborasi dan publikasi ini dapat membawa
perubahan nyata: kesehatan yang lebih baik untuk lebih banyak orang Indonesia.

Pamela Foster
Director, Office of Health
USAID/Indonesia

viii P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Prakata

K
emajuan teknologi kesehatan, kompleksitas layanan kesehatan, serta tuntutan
untuk menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh penduduk mengharuskan
adanya sinergi antara teknologi kedokteran dan kesehatan serta ketersediaan
sumber daya di berbagai negara. Kondisi ini mendorong berkembangnya ilmu
ekonomi kesehatan dalam tiga dekade terakhir dan telah mendapat tempat yang luas di
berbagai negara. Namun di Indonesia, ilmu ekonomi kesehatan berjalan relatif stagnan.

USAID melalui Health Financing Activity (HFA) bekerja sama dengan Pusat Pembiayaan
dan Jaminan Kesehatan (PPJK) membantu Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan
proses sustainable health financing melalui projek-projek pembiayaan kesehatan di
tahun 2019-2024. Projek USAID mengidentifikasi kendala dalam sistem pembiayaan
kesehatan di Indonesia yaitu terbatasnya kapasitas dan jumlah orang yang memahami
tentang ekonomi kesehatan.

Didorong oleh alasan tersebut, projek HFA dengan senang hati berterima kasih para
penulis Young Health Economists (YHE), yaitu anak-anak muda yang disupervisi oleh
health economists senior, yang telah menyelesaikan 6 buku ekonomi kesehatan.

Salah satu tema yang dibahas dalam buku ekonomi kesehatan tersebut adalah pembiayaan
kesehatan. Tema ini dibahas karena, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan 2020-2024, Pembiayaan Kesehatan merupakan fondasi penting
dalam mencapai tatanan sistem kesehatan yang baik, yang pada akhirnya mempengaruhi
pencapaian derajat kesehatan. Tema ini membahas secara mendalam konsep serta
aplikasi pembiayaan kesehatan, metode serta siklus pembiayaan dan peruntukannya,
serta kesetaraan dalam layanan kesehatan sebagai bagian dari capaian pembiayaan
kesehatan dengan fokus pembahasan pada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Buku ini diharapkan menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mengembangkan dan
memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia melalui disiplin ilmu ekonomi kesehatan.
Kami berharap buku ini bermanfaat bagi perguruan tinggi, pemangku kebijakan dalam
bidang kesehatan, dan berbagai pihak lain yang mempunyai interest dan kemauan
mendalami ilmu ekonomi kesehatan.

Salam,

Hasbullah Thabrany
Chief of Party for the Indonesia Health Financing Activity

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A ix
x P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Daftar Singkatan

ABC : Activity Based Costing


APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Askes : Asuransi Kesehatan
BLT : Bantuan Langsung Tunai
BOK : Bantuan Operasional Kesehatan
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPJS-K : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
CBGs : Case Based Groups
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
DAK : Dana Alokasi Khusus
DAU : Dana Alokasi Umum
DBD : Demam Berdarah Dengue
DEA : Data Envelopment Analysis
DHA : District Health Account
DJS : Dana Jaminan Sosial
DPP : Dokter Praktik Perorangan
DRGs : Diagnosis Related Groups
DTD : Dana Transfer Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
EPF : Employee Provident Fund
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
HMO : Health Maintenance Organization
GFATM : Global Fund for AIDS, Tuberculosis, and Malaria
IDHS : Indonesian Demographic and Health Surveys
IFLS : Indonesian Family Life Survey
INA-CBGs : Indonesian Case Base Groups
INA-DRGs : Indonesian Diagnosis Related Groups
Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Sosial Masyarakat
Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
K/L : Kementerian/Lembaga
KDK : Kebutuhan Dasar Kesehatan
Kesling : Kesehatan Lingkungan
KLB : Kejadian Luar Biasa

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A xi
MTEF : Medium Term Expenditure Framework
NHI : National Health Insurance
NHSO : National Health Security Office
OASDI : Old-Age, Survivors, and Disability Insurance
OASDHI : Old-age, Survivors, Disability, and Health Insurance
OECD : Organisation for Economic Co-operation and Development
OOP : Out of Pocket
OOPPS : Out of Pocket Payments
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBI : Penerima Bantuan Iuran
PBPU : Pekerja Bukan Penerima Upah
PCU : Primary Care Unit
PDB : Produk Domestik Bruto
PEN : Pemulihan Ekonomi Nasional
Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan 
PFABC : Performance-Focused Activity Based Costing
PFM : Public Financial Management
PKH : Program Keluarga Harapan
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPACC : Patient Protection Affordable Care Act
PPU : Pekerja Penerima Upah
Promkes : Promosi Kesehatan
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Raskin : Beras Miskin
RCCs : Ratio of Cost to Charges
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SDGs : Sustainable Development Goals
SDM : Sumber Daya Manusia
SIMK : Sistem Informasi Manajemen Kesehatan
SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKN : Sistem Kesehatan Nasional
SOSCO : Social Security Organization
SPM : Standar Pelayanan Minimal
Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional
TA : Tahun Anggaran
TDABC : Time Driven Activity Based Costing
TKDD : Transfer ke Daerah dan Dana Desa
UC : Unit Cost
UHC : Universal Health Coverage/Cakupan Kesehatan Semesta
UKM : Usaha Kesehatan Masyarakat
UKP : Usaha Kesehatan Perorangan
US-FDA : US Food and Drug Administration
WHO : World Health Organization

xii P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Daftar Isi

Kata Pengantar Kementerian Kesehatan RI v


Kata Pengantar USAID vii
Prakata Health Finance Activity ix
Daftar Singkatan xi
Daftar Isi xiii
Prolog xv

BAB 1 KONSEP PEMBIAYAAN KESEHATAN 1


1.1. Pengantar 1
1.2. Biaya Kesehatan 1
1.3. Pembiayaan Kesehatan 4
1.4. Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 10
1.5. Penutup 13
Daftar Pustaka 13

BAB 2 PROSES PEMBIAYAAN KESEHATAN 17


2.1. Pengantar 17
2.2. Perencanaan (Planning) 18
2.3. Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing) 21
2.4. Penganggaran (Budgeting) 23
2.5. Penutup 32
Daftar Pustaka 32

BAB 3 KONSEP ASURANSI SEBAGAI BAGIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 35


3.1. Pengantar 35
3.2. Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan 41
3.3. Penutup 47
Daftar Pustaka 48

BAB 4 EKUITAS DALAM KESEHATAN 49


4.1. Pengantar 49
4.2. Latar Belakang 50
4.3. Konsep Ekuitas 51
4.4. Bukti Empiris 58
4.5. Penutup 61
Daftar Pustaka 62

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A xiii
BAB 5 KEBIJAKAN DAN POTRET PEMBIAYAAN KESEHATAN 65
5.1. Pengantar 65
5.2. Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain 66
5.3. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia 70
5.4. Pembiayaan Kesehatan Saat Pandemi COVID-19 76
5.5. Penutup 78
Daftar Pustaka 78

Glosarium 81
Tentang Penulis 83

xiv P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
PROLOG

Health Finance Activity dan Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Kesehatan

Lanskap pembiayaan kesehatan Indonesia telah mengalami perubahan besar sejak


dilaksanakannya Program Jaminan Kesehatan Nasional pada 2014, dari supply side
financing menjadi demand side financing. Perubahan ini telah melahirkan perkembangan
dan inovasi ekonomi kesehatan yang cukup pesat.

JKN telah memudahkan masyarakat mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan


tanpa harus takut dengan biaya yang mahal, atau dengan kata lain melindungi rumah
tangga dari pengeluaran kesehatan besar yang dapat memiskinkan rumah tangga
akibat penyakit katastropik. Berbagai instrumen pembiayaan kesehatan publik telah
dikembangkan, termasuk alokasi sistem monitoring serta efisiensi pembiayaan kesehatan
demi peningkatan layanan kesehatan berkelanjutan.

Kecepatan perubahan, inovasi, dan reformasi sistem kesehatan tersebut membutuhkan


kapasitas yang mumpuni dari seluruh sumber daya kesehatan, terutama para
tenaga kesehatan dan akademisi kesehatan, untuk terus-menerus mendorong dan
mengembangkan perbaikan kebijakan pelayanan kesehatan.

Kapasitas kunci yang diperlukan antara lain melakukan advokasi pembiayaan, mendorong
pemerintah daerah untuk mengaplikasikan sistem perencanaan dan penganggaran
kesehatan yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan kualitas program kesehatan
masyarakat. Akademisi kesehatan yang ada di setiap perguruan tinggi sudah semestinya
terlibat dalam proses advokasi perubahan ini dengan menjadikan dirinya sebagai pusat
rujukan dalam teori serta praktik ekonomi kesehatan bagi pemerintah daerah.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya kesehatan itulah Program Health
Finance Activity dirancang. Program ini merupakan kolaborasi United States Agency for
International Development (USAID) dan Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program ini akan berlangsung selama lima
tahun dengan tujuan spesifik mengembangkan analisis atas evidence data dan fakta
kesehatan untuk menyokong pembiayaan kesehatan yang tepat guna dan berkelanjutan.

Implementasi program ini digarap oleh ThinkWell sebagai lembaga pelaksana kegiatan,
bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Universitas
Gadjah Mada, Results for Development (R4D), serta mitra pemerintah lainnya seperti
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Berbagai upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan USAID HFA dan PPJK
Kementerian Kesehatan antara lain serial seminar, diskusi pertukaran pengalaman, dan

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A xv
pelatihan tentang berbagai topik ekonomi kesehatan yang melibatkan tenaga kesehatan
dan akademisi kesehatan bagi dari lingkungan pemerintah dan nonpemerintah.
Beberapa contoh kegiatan yang bisa disebut misalnya “Pelatihan “Pelatihan Jurnalistik
bidang Ekonomi Kesehatan” dan “Pelatihan Analisis Sosioekonomi dan Kesehatan”.

Seri Ekonomi Kesehatan untuk Akademisi Muda

Salah satu perhatian HFA adalah konsolidasi dan peningkatan kapasitas ilmu ekonomi
kesehatan di kalangan ahli dan akademisi muda. Untuk tujuan ini, HFA dan PPJK telah
melaksanakan program The Young Health Economists, yang menghasilkan seri buku
didaktik di bidang ekonomi kesehatan.

Seri Ekonomi Kesehatan terdiri dari enam buku, yaitu (1) Pengantar Ekonomi Kesehatan;
(2) Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (3) Belanja Strategis
Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (4) Evaluasi Ekonomi dan Penilaian
Teknologi Kesehatan: Konsep dan Praktik Terbaik di Indonesia; (5) Akun Kesehatan
Nasional; dan (6) Manajemen Keuangan dan Akuntansi dalam Ekonomi Kesehatan.

Buku seri ini ditulis dengan niat besar mendorong dan memperkenalkan ilmu ekonomi
kesehatan sebagai insight dan jalan keluar bagi pengembangan sistem kesehatan di
Indonesia. Ekonomi kesehatan, yang pertama kali digaungkan oleh ekonom Kenneth Arrow
pada 1963, pada akarnya mengobservasi interaksi antar-faktor determinan kesehatan dan
fungsi sistem layanan kesehatan demi menghasilkan derajat kesehatan terbaik.

Buku seri ini diharapkan dapat menjadi sumber belajar dan referensi bagi akademisi
dan praktisi kesehatan, serta para perencana kebijakan kesehatan baik di tingkat pusat
maupun daerah, terutama mereka yang ingin melakukan penelitian atau mendesain
program-program pelayanan kesehatan secara efisien dan tepat sasaran.

Metode Penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan

Proses penyusunan Seri Ekonomi Kesehatan ini menempuh jalan panjang. Serial modul
ini merupakan hasil dari rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas, pelatihan, dan diskusi
intensif banyak pihak yang diselenggarakan oleh Program HFA.

Seri EKonomi Kesehatan ditulis secara kolaboratif oleh para ekonom muda yang menjadi
peserta kegiatan peningkatan kapasitas dengan latar belakang profesi yang beragam. Di
dalam modul yang ditulisnya kita akan melihat bagaimana mereka memandang ekonomi
kesehatan dari perspektif dan kepakarannya masing-masing.

Para penulis mengembangkan buku ini dengan bimbingan seorang penyelia pada setiap
topik. Dalam waktu yang cukup lama, penulis dan penyelia ini bersama-sama mendalami
dan mengembangkan setiap topik sehingga menghasilkan buku yang komplet seperti
sekarang. Materi buku juga telah melewati proses review yang melibatkan beragam
pemangku kebijakan di sektor kesehatan. Merekalah yang memberikan masukan terhadap
konten buku dari sisi praktikal terhadap setiap topik pembahasan. Melalui proses ini,
HFA USAID dan PPJK Kemenkes RI berharap buku ini memiliki kedalaman konten yang
memadai, baik dari sisi teoretis maupun praktik pengelolaan pembiayaan kesehatan.

Buku Seri II yang tengah Anda baca ini berjudul Pembiayaan Kesehatan: Konsep dan Praktik
Terbaik di Indonesia. Buku akan mengantarkan Anda untuk mendalami Konsep Pembiayaan
Kesehatan, Proses Pembiayaan Kesehatan, Konsep Asuransi Sebagai Bagian Pembiayaan
Kesehatan, Ekuitas dalam Kesehatan, dan Kebijakan dan Potret Pembiayaan Kesehatan.

xvi P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Konsep
Pembiayaan
BAB
1 Kesehatan
Haerawati Idris, Adiatma YM Siregar

1.1. Pengantar

Bab ini membahas mengenai konsep dasar pembiayaan kesehatan. Pembiayaan


Kami akan mengawali dengan pengantar dan kemudian membahas kesehatan
mengenai biaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan diakhiri merupakan salah
dengan penutup. Semua konsep dasar yang disajikan bertujuan satu komponen
membantu para pembaca memahami sistem pembiayaan dalam suatu
kesehatan dan penerapannya di Indonesia. Hal ini diharapkan sistem kesehatan.
berguna bagi praktisi di lapangan dalam mengambil keputusan
terkait pembiayaan kesehatan.

1.2. Biaya Kesehatan

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata “biaya kesehatan”?


Mungkin sebagian orang menganggap biaya kesehatan adalah
dana yang digunakan untuk masalah kesehatan, misalnya biaya
yang dikeluarkan ketika sakit, membeli obat, atau membeli alat
kesehatan. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi
sesungguhnya hanya mencakup sebagian kecil biaya kesehatan.
Ketika berbicara tentang biaya kesehatan, kita perlu melihat
biaya dan pembiayaan kesehatan dalam perspektif suatu sistem.
Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu komponen dalam
suatu sistem kesehatan.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 1


Biaya kesehatan merupakan sejumlah dana yang perlu disiapkan
dalam menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan
kesehatan untuk memenuhi kebutuhan individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Biaya kesehatan dibagi menjadi dua
perspektif (Azwar, 1996): perspektif penyedia layanan kesehatan
dan perspektif pengguna jasa.

Dari perspektif penyedia layanan kesehatan, biaya kesehatan


merupakan sejumlah uang yang harus disiapkan dalam
menyelenggarakan layanan kesehatan. Layanan kesehatan bisa
dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan swasta. Adapun dana yang
disiapkan oleh penyedia layanan kesehatan berupa biaya investasi
(investment cost) dan biaya operasional (operasional cost). Dana
tersebut digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Dari perspektif pengguna jasa, biaya kesehatan merupakan


sejumlah dana yang harus disiapkan ketika menggunakan layanan
kesehatan. Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa
pelayanan kesehatan berasal dari kantong pribadi individu (out of
pocket).

Secara umum, Biaya kesehatan memiliki beragam jenis dan peruntukan. Hal ini
terdapat dua jenis disesuaikan dengan jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan
biaya kesehatan: yang dimanfaatkan. Secara umum, terdapat dua jenis biaya
biaya pelayanan kesehatan (Azwar, 1996): biaya pelayanan kedokteran dan biaya
kedokteran dan pelayanan kesehatan masyarakat. Biaya pelayanan kedokteran
biaya pelayanan adalah dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan
kesehatan kesehatan pasien, sedangkan biaya pelayanan kesehatan
masyarakat. masyarakat dibutuhkan dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan masyarakat. Biaya ini bertujuan mencegah penyakit,
memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Pengumpulan, penyediaan, dan pembelanjaan keuangan


digunakan untuk pembiayaan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM)
dan Usaha Kesehatan Perorangan (UKP). Hal ini dilakukan dengan
memobilisasi dana dari masyarakat, pemerintah, dan public-private
mix. Pembiayaan bagi masyarakat miskin umumnya ditanggung
oleh pemerintah, sedangkan pembiayaan untuk masyarakat
mampu bersumber dari masyarakat itu sendiri melalui mekanisme
jaminan kesehatan, baik secara wajib maupun sukarela (Gotama,
2010).

Biaya kesehatan dianggap baik jika memenuhi empat komponen:


pertama, biaya kesehatan tersedia dalam jumlah yang cukup dan
masyarakat dapat memanfaatkan layanan kesehatan dengan
mudah. Kedua, penyebaran dana harus sesuai dengan kebutuhan.
Ketiga, pemanfaatan dana harus diatur secara saksama. Keempat,
pengelolaan biaya kesehatan hendaklah meningkatkan efektivitas
dan efisiensi. Namun, pelaksanaan di lapangan tidaklah demikian.
Masalah yang kontradiktif masih sering terjadi, dari jumlah dana
yang masih terbatas, penyebaran atau alokasi dana yang tidak

2 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat, pengelolaan dana yang
belum baik, hingga biaya kesehatan yang terus meningkat.

Menurut Azwar (1996), masalah pembiayaan dapat diatasi


dengan meningkatkan jumlah dana, memperbaiki alokasi dana,
manajemen dana, dan mengendalikan biaya kesehatan. Masalah
peningkatan biaya kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti tingkat inflasi, tingkat permintaan, kemajuan ilmu dan
teknologi, perubahan pola penyakit, perubahan pola pelayanan
kesehatan, perubahan pola hubungan dokter dengan pasien,
mekanisme pengendalian biaya yang lemah, dan penyalahgunaan
asuransi kesehatan (Setyawan, 2018).

Sistem kesehatan membutuhkan sumber daya keuangan untuk Sistem kesehatan


mencapai tujuan yang ditargetkan. Biaya utama sebagian besar membutuhkan
sistem pelayanan kesehatan diserap oleh kebutuhan biaya sumber sumber daya
daya manusia, perawatan di rumah sakit, dan penyediaan obat- keuangan untuk
obatan. Di sebagian besar negara tropis, pelayanan kesehatan mencapai tujuan
dibiayai oleh pengeluaran pemerintah, swasta (didominasi out of yang ditargetkan.
pocket), dan bantuan eksternal. Pembiayaan pelayanan kesehatan di
negara berpenghasilan rendah dan menengah menjadi tantangan
yang signifikan. Banyak negara berpenghasilan menengah ke
atas di seluruh Amerika Latin, Afrika, dan Asia telah mampu
menyediakan perlidungan kesehatan untuk sebagian besar
dari populasi mereka. Mekanisme pembiayaan yang digunakan
diharapkan mampu memastikan akses ke pelayanan kesehatan
dan melindungi individu dari bencana utang ketika mengakses
pelayanan kesehatan (Rhatigan Jr, 2020).

Menurut Azwar (1996), secara umum sumber biaya kesehatan


dikelompokkan menjadi dua, yakni pertama, seluruh pembiayaan
bersumber dari anggaran pemerintah. Negara yang menggunakan
model ini menyediakan biaya kesehatan untuk masyarakat
sepenuhnya. Pelayanan kesehatan diberikan oleh pemerintah
secara cuma-cuma. Tidak ada campur tangan dari pelayanan
kesehatan swasta.

Kedua, sebagian pembiayaan ditanggung oleh masyarakat.


Beberapa negara mengajak peran serta masyarakat untuk ikut andil
dalam pelayanan kesehatan, baik dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan maupun pemanfaatan layanan kesehatan. Pada kondisi
ini, swasta pun ikut berperan dalam penyediaan layanan kesehatan
sehingga masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan dengan
mengeluarkan dana sendiri.

Berikut empat sumber utama pembiayaan untuk sektor kesehatan


(Kutzin, 2008; Mills & Gilson, 1988).
1. Pembiayaan pemerintah untuk pelayanan kesehatan meliputi
pengeluaran kesehatan di semua tingkat pemerintah (pusat dan
daerah), termasuk pengeluaran perusahaan publik.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 3


2. Pembiayaan swasta, dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Pembayaran langsung merupakan pembayaran
pribadi yang dilakukan langsung kepada berbagai penyedia,
termasuk praktik swasta, tabib tradisional, dan apoteker. Biaya
pengguna untuk layanan yang disediakan pemerintah atau
pelayanan kesehatan swasta yang berasal dari kantong sendiri
dianggap sebagai pembiayaan kesehatan dari sumber swasta.
Biaya yang sama, kontribusi, atau pra-pembayaran oleh anggota
dalam skema pembiayaan masyarakat juga dianggap berasal
dari sumber non-pemerintah.
Pembayaran tidak langsung merupakan pembayaran layanan
kesehatan oleh pengusaha sebagai cakupan dan pembiayaan
kesehatan oleh badan non-pemerintah lainnya, seperti
pengumpulan dana amal.
3. Pembiayaan asuransi kesehatan. Ada tiga jenis asuransi utama,
yaitu asuransi pemerintah atau sosial, asuransi swasta, dan
asuransi berbasis pengusaha atau pekerja.
4. Pembiayaan sumber eksternal. Pembiayaan ini bersumber
dari bantuan organisasi luar dalam membantu program
kesehatan, seperti dari WHO, World bank, dan organisasi lain
dalam membiayai program prioritas kesehatan suatu negara,
seperti HIV, TB, Malaria, dan imunisasi. Selama lima belas tahun
terakhir, pendanaan eksternal meningkat secara signifikan
untuk kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah
dengan beban penyakit yang tinggi. Bantuan pembangunan
untuk kesehatan, biasa disebut bantuan asing, merupakan porsi
yang signifikan dari pengeluaran kesehatan di negara-negara
berpenghasilan rendah, rata-rata 40% dari total pengeluaran
perawatan kesehatan (J. L. Dieleman et al., 2016).

1.3. Pembiayaan Kesehatan


Dalam sistem Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health
kesehatan, tujuan Organization (2000), pembiayaan kesehatan mengacu pada fungsi
pembiayaan sistem kesehatan yang berkaitan dengan pengumpulan, alokasi,
kesehatan adalah dan mobilisasi dana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
menyediakan masyarakat, secara individu dan kolektif. Dalam sistem kesehatan,
pendanaan dan tujuan pembiayaan kesehatan adalah menyediakan pendanaan
menetapkan dan menetapkan insentif atau pembiayaan bagi penyedia layanan,
insentif atau serta memastikan semua individu memiliki akses terhadap
pembiayaan bagi pelayanan kesehatan masyarakat secara efektif. Lebih lanjut lagi,
penyedia layanan, WHO menjelaskan bahwa pembiayaan kesehatan mengacu
serta memastikan pada bagaimana menggunakan sumber daya keuangan untuk
semua individu memastikan bahwa sistem kesehatan dapat memenuhi kebutuhan
memiliki akses kesehatan setiap orang secara kolektif & memadai (Organization,
terhadap 2010).
pelayanan
kesehatan Pembiayaan kesehatan menjadi suatu bagian yang sangat
masyarakat mendasar dari sistem kesehatan. Dengan dukungan pembiayaan
secara efektif. kesehatan, sistem kesehatan akan mampu memelihara dan

4 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pada kondisi Sumber
yang sangat ekstrem, ketidaktersediaan pendanaan kesehatan pembiayaan
akan menyulitkan layanan kesehatan, pengobatan, pelaksanaan kesehatan suatu
program, pencegahan, dan promosi kesehatan. Pembiayaan bukan negara dapat
hanya sekadar menghasilkan pendanaan, melainkan negara berasal dari
mampu memantau dan mengevaluasi pembiayaan untuk sistem pemerintah dan
kesehatan dengan menggunakan berbagai indikator. Pembiayaan non-pemerintah
kesehatan bukan hanya membahas cara meningkatkan dana yang akan
pelayanan kesehatan, melainkan juga mencakup alokasi pendanaan digunakan
yang ada. secara luas untuk
membiayai upaya
Sumber pembiayaan kesehatan suatu negara dapat berasal dari kesehatan.
pemerintah dan non-pemerintah yang akan digunakan secara
luas untuk membiayai upaya kesehatan. Namun, sering kali
terjadi persaingan alokasi pendanaan dalam suatu sistem. Cara
pengalokasian dana tidak hanya dipengaruhi oleh cara layanan,
tetapi juga penetapan prioritas dalam hukum ekonomi kesehatan
(Tulchinsky & Varavikova, 2014). Pembiayaan kesehatan diharapkan
mampu menyediakan sumber daya dan insentif untuk pelaksanaan
sistem kesehatan. Selain itu, pembiayaan kesehatan menjadi
penentu utama kinerja sistem kesehatan dalam hal pemerataan,
efisiensi, dan outcome kesehatan (Schieber, Baeza, Kress, & Maier,
2006).

Berikut beberapa macam model pembiayaan kesehatan yang


dapat diadopsi oleh beberapa negara (Setyawan, 2018):
1. Pembiayaan secara langsung (direct payments by patients)
Setiap individu mengeluarkan biaya secara langsung berdasarkan
tingkat penggunaan layanan kesehatan yang diterima. Model
pembiayaan ini dapat mendorong penggunaan layanan
kesehatan secara lebih hati-hati. Kondisi ini melahirkan kompetisi
antara penyedia layanan kesehatan dalam menarik perhatian
konsumen (free market). Walaupun hal ini tampak sehat,
transaksi kesehatan menjadi tidak seimbang. Konsumen tidak
mampu memahami dengan baik akan kebutuhan kesehatan
dan masalah kesehatan yang dimiliki. Seluruhnya dikontrol
oleh penyedia layanan kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan
inefisiensi dan pemakaian terapi secara berlebihan.
2. Pembayaran oleh pengguna (user payments)
Pasien membayar layanan kesehatan secara langsung, baik
kepada pemerintah maupun swasta. Besaran dan mekanisme
pembayaran telah diatur secara formal oleh penyedia layanan
kesehatan dan pemerintah. Pada kondisi yang lebih kompleks,
besaran biaya setiap kunjungan dapat berbeda-beda sesuai
dengan jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (misalnya
untuk pelayanan kesehatan di fasilitas swasta). Besaran biaya per
episode ketika sakit bersifat tetap atau flat rate.
3. Pembiayaan berbasis tabungan (saving-based)
Pengeluaran biaya kesehatan individu didasarkan pada
tingkat penggunaannya. Individu memperoleh bantuan dalam

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 5


pengumpulan dana dalam bentuk tabungan. Ketika dibutuhkan,
individu tersebut dapat memakai dana tersebut. Model ini dapat
meng-cover biaya pelayanan kesehatan yang bersifat primer dan
lanjutan, tetapi individu akan mengalami kesulitan membiayai
pelayanan yang bersifat kronis dan kompleks. Oleh sebab itu,
perlu model pembiayaan lain untuk mendukung model ini dalam
menanggung biaya kesehatan yang kompleks dan populasi yang
lebih luas.
4. Pembiayaan informal
Model ini tidak mengatur besaran, jenis, dan mekanisme
pembayaran. Besaran biaya disesuaikan dengan kesepakatan
antara penyedia dan pengguna layanan kesehatan. Umumnya
penyedia layanan kesehatan lebih dominan dalam pengaturannya.
Selain uang, barang dapat digunakan sebagai alat tukar untuk
memperoleh pelayanan kesehatan, misalnya dari penyedia
layanan kesehatan mantri atau pengobatan tradisional. Model ini
biasanya diadopsi oleh negara-negara berkembang yang belum
memiliki sistem kesehatan yang mampu melindungi seluruh
masyarakatnya.
5. Pembiayaan berbasis-asuransi (insurance-based)
Dalam model ini individu tidak membiayai pelayanan kesehatan
secara langsung, tetapi terjadi pengalihan risiko kesakitan
seseorang menjadi risiko kelompok. Selain itu, terjadi pembagian
risiko biaya secara adil. Biaya pelayanan kesehatan disesuaikan
dengan perhitungan dan akan ditanggung dari dana yang
telah dikumpulkan bersama. Individu membayar premi dengan
mekanisme pembayaran yang diatur oleh organisasi pengelola
dana asuransi.

Selain kelima model tersebut, model pembiayaan kesehatan


lainnya adalah model Out of Pocket (Pengeluaran dari Kantong
Sendiri). Pengeluaran pada model ini berasal dari individu ketika
ingin mengakses pelayanan kesehatan dan tidak didanai oleh
program asuransi. Model pembiayaan ini diterapkan di sebagian
besar negara yang berpenghasilan rendah (J. Dieleman, Campbell,
& Chapin, 2017).

Model Hal ini akan memberatkan banyak segmen dari populasi yang tidak
pembiayaan memiliki sumber pendapatan tunai dan memiliki sedikit tabungan.
kesehatan antar- Biaya yang bersumber dari kantong sendiri sering menyebabkan
negara berbeda, keluarga jatuh miskin. Hal ini menjadi penghalang yang sulit diatasi
disesuaikan untuk mengakses layanan perawatan kesehatan yang diperlukan.
dengan Negara-negara berpenghasilan tinggi cenderung lebih sedikit
kebutuhan mengeluarkan biaya kesehatan dari kantong sendiri karena lebih
masing-masing. banyak penduduk yang dilindungi oleh skema asuransi kesehatan
prabayar (Rhatigan Jr, 2020).

Model pembiayaan kesehatan antar-negara berbeda. Penggunaan


model pembiayaan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing. Model yang diadopsi diharapkan mampu

6 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


menciptakan akses, keadilan, dan efisiensi pelayanan kesehatan.
Pembiayaan pelayanan kesehatan di negara-negara berpenghasilan
menengah ke atas dan tinggi umumnya disediakan melalui
asuransi kesehatan (sering kali berbasis lapangan pekerjaan atau
serikat pekerja) atau pembiayaan pemerintah yang didanai oleh
perpajakan umum.

Pendanaan pemerintah sangat terbatas di negara berpenghasilan Hampir semua


rendah karena kurangnya basis pajak yang signifikan. Asuransi skema asuransi
kesehatan sulit diterapkan di negara tersebut karena beban penyakit kesehatan yang
yang tinggi, pendapatan penduduk yang kurang, dan kesulitan diterapkan
menciptakan kumpulan risiko yang besar dan beragam (Mills, di negara ini
2014). Hampir semua skema asuransi kesehatan yang diterapkan di memerlukan
negara ini memerlukan subsidi dari permerintah untuk menopang subsidi dari
sistem mereka (Sachs, 2012). permerintah
untuk menopang
Interaksi fungsi-fungsi pembiayaan kesehatan ditunjukkan sistem mereka.
pada Gambar 1.1. Pembiayaan kesehatan meliputi fungsi dasar
pengumpulan pendapatan (revenue collection), pengumpulan
sumber daya (pooling resources), dan pembayaran intervensi
(purchase of interventions). (Gottret & Schieber, 2006; Rannan-Eliya,
2009):
1. Pengumpulan pendapatan adalah bagaimana sistem kesehatan
mengumpulkan uang dari rumah tangga, bisnis, dan sumber
eksternal.
2. Pengumpulan berkaitan dengan akumulasi dan pengelolaan
pendapatan sehingga anggota kelompok berbagi risiko kesehatan
secara kolektif. Hal ini akan melindungi anggota kelompok
individu dari pengeluaran kesehatan yang besar dan tidak dapat
diprediksi. Pembayaran di muka memungkinkan anggota untuk
membayar biaya rata-rata di muka, membebaskan mereka dari
ketidakpastian, dan memastikan kompensasi jika terjadi kerugian.
Pengumpulan ini memungkinkan pembentukan asuransi dan
redistribusi pengeluaran kesehatan antara individu berisiko (tinggi
dan rendah) dan individu berpenghasilan (tinggi dan rendah).
3. Pembelian mengacu pada mekanisme yang digunakan untuk
membeli layanan dari penyedia publik dan swasta.

Gambar 1.1.
Hubungan
Fungsi-Fungsi
Pembiayaan
Kesehatan

Diadopsi dari G. Schieber,


Baeza, C., Kress, D., &
Maier, M. (2006). Financing
Health Systems in the 21st
Century. Disease Control
Priorities in Developing
Countries, 225, 224.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 7


Fungsi pembiayaan kesehatan di atas memiliki implikasi yang
penting untuk mendukung kerja sistem kesehatan berupa:
1. Jumlah dana yang tersedia (saat ini dan di masa depan) dan
tingkat layanan esensial dan perlindungan keuangan bagi
populasi.
2. Keadilan (ekuitas).
3. Efisiensi ekonomi dari upaya peningkatan pendapatan.
4. Tingkat pooling (subsidi risiko, asuransi) dan pembayaran di
muka (ekuitas subsidi)
5. Jumlah dan jenis layanan yang dibeli dan dikomsumsi terhadap
dampak kesehatan dan biaya kesehatan (efektivitas biaya dan
efisiensi alokasi layanan)
6. Efisiensi teknis dari produksi layanan (tujuannya adalah untuk
menghasilkan setiap layanan dengan biaya rata-rata minimum)
7. Akses fisik dan finansial dan ke layanan oleh populasi (termasuk
ekuitas akses dan manfaat)

Fungsi Dalam hal kebijakan kesehatan di tingkat negara, ketujuh


pembiayaan fungsi pembiayaan kesehatan di atas berguna untuk, pertama
kesehatan pengumpulan dana yang dapat meningkatkan pendapatan yang
berguna untuk memadai dan berkelanjutan dengan cara yang adil dan efisien.
pengumpulan Hal ini dilakukan dengan menyediakan kebutuhan individu
dana yang dapat akan paket dasar layanan esensial dan perlindungan keuangan
meningkatkan terhadap bencana keuangan yang terjadi ketika individu sakit.
pendapatan yang Kedua, penggabungan risiko untuk mengelola pendapatan yang
memadai dan dikumpulkan dan menyatukan risiko kesehatan secara adil dan
berkelanjutan efisien. Ketiga, pembelian dapat memastikan pembelian layanan
dengan cara yang kesehatan secara efisien, baik alokasi maupun teknis.
adil dan efisien.
Fungsi pembiayaan di atas diwujudkan dalam tiga model
pembiayaan kesehatan sebagai berikut (Gottret & Schieber, 2006;
Jaworzyľska, 2016):
1. National Health Service (NHS)
Model Layanan Kesehatan Nasional juga sering disebut dengan
Model Beveridge. NHS dikenal pertama kali di Inggris pada 5 juli
1948. Model ini diperkenalkan oleh William Beveridge. Model
ini ditandai dengan cakupan universal yang bersifat wajib dan
pembiayaan yang bersumber dari pendapatan umum nasional
dan kepemilikan nasional. Dalam sistem ini, perawatan kesehatan
disediakan dan dibiayai oleh pemerintah melalui pembayaran
pajak. Model ini menawarkan pelayanan gratis bagi seluruh
populasi. Negara-negara yang menggunakan model Beveridge
atau variasi di dalamnya di antara Inggris Raya, Spanyol, sebagian
besar Skandinavia, dan Selandia Baru.
2. Asuransi sosial
Model pembiayaan ini sering disebut dengan model Bismarck.
Model ini diperkenalkan oleh Kanselir Prusia Otto Von Bismarck.

8 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Cakupan universal wajib berada di bawah sistem jaminan sosial.
Kontribusi asuransi ini bersumber dari karyawan dan pemberi
kerja. Model Bismarck meliputi struktur, pembiayaan, dan
pemberian pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, model Bismarck
mewakili layanan yang tersedia bagi karyawan melalui cakupan
asuransi kesehatan yang disponsori oleh majikan. Model Bismarck
diadopsi oleh Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Jepang, Swiss,
dan beberapa bagian di Amerika Latin.
3. Asuransi swasta
Pembelian asuransi kesehatan swasta ini berbasis pada
perusahaan atau perorangan. Model asuransi kesehatan swasta
dengan akses manfaat yang dikondisikan berdasarkan polis
asuransi swasta. Dana yang dialokasikan untuk membiayai
manfaat layanan kesehatan berasal dari premi asuransi swasta.
Produsen layanan kesehatan adalah entitas swasta. Negara-
negara Anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat membangun
sistem pembiayaan mereka berdasarkan model ini.

Bagaimana dengan mekanisme pembiayaan kesehatan? Menurut


WHO, skema pembiayaan pelayanan kesehatan adalah komponen
struktural dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan,
yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang mampu
memperoleh pelayanan kesehatan. Skema pembiayaan pelayanan
kesehatan termasuk pembayaran langsung oleh rumah tangga
untuk layanan dan barang serta pengaturan pembiayaan oleh
pihak ketiga (Organization, 2017a). Manfaat atau cakupan dibagi
ke dalam cakupan luas dan cakupan ruang lingkup. Cakupan
luas berarti kelompok populasi yang dicakup oleh bentuk sistem
prapembayaran atau perlindungan sosial apa pun, sedangkan
cakupan ruang lingkup mengacu pada jenis layanan kesehatan
yang disediakan pada skema sistem prapembayaran atau skema
perlindungan sosial. Hal tersebut secara detail dideskripsikan pada
Tabel 1.1.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 9


Tabel 1.1. Indikator
untuk Menilai
Mekanisme
Pembiayaan
Kesehatan
Menurut
Framework
McIntyre dan
Kutzin (2016)

C. Y. Myint, Pavlova, M.,


Thein, K.-N.-N., & Groot, W.
(2019). A Systematic Review
of The Health-Financing
Mechanisms in The
Association of Southeast
Asian Nations Countries
and The People’s Republic
of China: Lessons for The
Move Towards Universal
Health Coverage. PLoS
One, 14(6), e0217278.

1.4. Mekanisme Pembiayaan Kesehatan di


Indonesia

Berikut mekanisme pembiayaan kesehatan yang diterapkan di


Indonesia (Myint et al., 2019): sumber utama pendapatan berasal
dari pajak langsung, pajak tidak langsung, dan out of pocket (OOP).
Metode pengumpulan pendapatan menggunakan sistem single
pool. Jenis penyedia layanan kesehatan berasal dari penyedia publik
dan swasta. Dalam hal pembelian, penyedia layanan untuk pelayanan
kesehatan mengandalkan campuran penyedia publik dan swasta.

Cakupan pelayanan berupa layanan kesehatan esensial dan berbiaya


tinggi atau pelayanan tersier. Luas cakupan mencakup sekitar 63%
masyarakat melalui subsidi pemerintah dan/atau pembayaran di
muka dan/atau skema pengelompokan risiko. Cakupan ini belum
mencapai tingkat yang direkomendasikan WHO, yaitu lebih dari
90%. Paket layanan bersifat komprehensif, tetapi tergantung pada
jenis asuransi yang dipilih oleh individu (perawatan tingkat pertama,
kedua, dan ketiga)(Marzoeki, Tandon, Bi, & Pambudi, 2014).

Penyedia layanan di Indonesia membutuhkan akreditasi. Metode


pembayaran penyedia menggunakan sistem kapitasi dan
Diagnostic Related Group (DRG). Dana dikumpulkan ke satu
tempat yang disebut asuransi kesehatan nasional (single pool).
Meskipun pendapatan dimasukkan ke kumpulan tunggal, tarif

10 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


premium bervariasi berdasarkan status pekerjaan di Indonesia.
Sumber pendapatan asuransi kesehatan nasional terdiri dari
kontribusi sosial dan subsidi pemerintah untuk orang miskin dan
target spesifik (Myint et al., 2019).

Standar anggaran minimal suatu negara yang ditetapkan oleh WHO


adalah sekitar 5%-6% dari total APBN. Tujuannya adalah agar mampu
meningkatkan derajat kesehatan dengan dukungan pembiayaan
kesehatan yang kuat. Idealnya suatu negara menganggarkan 15-20%
dari APBN. Anggaran yang besar diharapkan mampu membiayai
kebutuhan pelayanan kesehatan yang cukup mahal. Kesehatan
menjadi investasi suatu negara untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan produktivitas masyarakatnya (Organization, 2014).

Sejak 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan telah meningkat


Sejak 2004,
secara signifikan. Hal ini terjadi karena kebijakan pembiayaan
anggaran
kesehatan pemerintah yang lebih fokus untuk mengurangi risiko
pemerintah untuk
keuangan dari pengeluaran perawatan kesehatan, khususnya untuk
kesehatan telah
kelompok miskin. Peningkatan anggaran ini juga diamanatkan
meningkat secara
oleh UU Kesehatan, yang menetapkan bahwa alokasi anggaran
signifikan.
pemerintah secara nasional setidaknya harus berjumlah 5% dari total
anggaran pemerintah pusat (APBN); sementara untuk anggaran
daerah (APBD) alokasi untuk kesehatan minimal berjumlah 10%.
Berdasarkan persyaratan hukum itu, pemerintah telah menambah
alokasi anggaran untuk perawatan kesehatan secara nasional
hingga 5% dari total pemerintah anggaran pada 2016. Jumlahnya
diperkirakan sekitar 109 Triliun Rupiah (Mahendradhata et al., 2017).

Sumber pendanaan kesehatan di Indonesia berasal dari APBN,


APBD, dana swasta, out of pocket, hibah, dan donor dari perusahaan
ataupun luar negeri. Sumber dana tersebut dialokasikan untuk
membiayai program dan kegiatan di bidang kesehatan, baik bersifat
fisik maupun nonfisik.

Gambar 1.2. merangkum aliran pembiayaan yang terjadi dalam


sistem kesehatan Indonesia. Aliran dana pemerintah termasuk
proses pengumpulan pendapatan dari rumah tangga, perusahaan
swasta, dan sumber eksternal dan transfer ke daerah pemerintah
dan fasilitas kesehatan. BPJS kesehatan merupakan administrator
dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mengumpulkan
kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta, dan rumah tangga
menjadi satu kumpulan nasional dan membeli layanan kesehatan
dari penyedia publik dan swasta. Aliran dana pribadi meliputi
pengeluaran Out of Pocket (OOP) dari rumah tangga, perusahaan di
fasilitas publik dan swasta. Sejak lima tahun yang lalu, hanya sekitar
satu persen dari total pengeluaran kesehatan berasal sumber
eksternal (Pinto, Masaki, & Harimurti, 2016).

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 11


Gambar 1.2.
Aliran Pembiayaan
Kesehatan

Diadopsi dari Pinto, R.,


Masaki, E., & Harimurti,
P. (2016). Indonesia
Health Financing System
Assessment: Spend More,
Spend Right, Spend Better:
World Bank.

Dalam 20 tahun terakhir, reformasi di bidang pembiayaan


kesehatan di Indonesia bergerak sangat dinamis, dari penargetan
berbagai program menuju UHC. Upaya reformasi pembiayaan yang
dilaksanakan pada akhir 1990-an bertujuan untuk memberikan
perlindungan finansial bagi masyarakat miskin sebagai respons
terhadap krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1998. Pada
2004 dibentuk skema asuransi kesehatan sosial. Pada 2008, skema
tersebut ditingkatkan dan diperluas lebih jauh. Kemudian pada
tahun 2011, skema perlindungan keuangan lainnya diperkenalkan
secara khusus untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium
(Millenium Development Goals/MDGs). Akhirnya, sebuah langkah
menuju Universal Health Coverage (UHC) dimulai pada tahun
2014 dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional/JKN
(Mahendradhata et al., 2017).

JKN adalah reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya


mengatasi tiga pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan
pendapatan, penggabungan, dan pembelian. JKN berpotensi
menciptakan momentum untuk bergerak menuju kebijakan
dan strategi yang terkoordinasi untuk mencapai tujuan Sistem
Kesehatan Nasional (SKN). JKN telah berupaya menciptakan
distribusi yang adil dari beban sistem pendanaan. Negara perlu
melanjutkan dan membuat penyesuaian yang diperlukan sehingga
sistem kesehatan dapat berfungsi secara berkualitas, efisien dan
adil. Pada saat yang sama menyediakan perlindungan finansial
berkelanjutan kepada rakyat (Mahendradhata et al., 2017).

Sistem UHC berkembang pesat di Indonesia dan mencakup


203 juta orang. Kini Indonesia dikenal sebagai pengguna skema
pembayar tunggal terbesar di dunia dan telah meningkatkan
pemerataan kesehatan dan akses layanan. Kesuksesan di awal

12 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


memberikan tantangan lain, seperti munculnya kelompok “missing
middle”. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan sejumlah
kecil orang yang terdaftar di UHC dengan kuintil kekayaan Q2-Q3
Untuk mendorong
dibandingkan orang di kuintil lainnya, dan rendahnya cakupan UHC
tercapainya akses
pada anak sejak lahir sampai usia 4 tahun (Agustina et al., 2018).
yang universal
dibutuhkan
Pembiayaan publik sangat penting untuk membuat kemajuan
kebijakan
menuju UHC. Komitmen kebijakan Tujuan Pembangunan
pembiayaan yang
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB
memperhatikan
menekankan bahwa setiap orang harus memiliki akses ke layanan
pemerataan
kesehatan yang berkualitas dan penggunaan layanan ini mampu
dan membantu
melindungi keuangan individu (Organization, 2017b). Dampak
penduduk miskin.
pada pengeluaran publik untuk kesehatan akan bergantung pada
sejauh mana kebijakan fiskal dan prioritas kesehatan terjadi. Selama
periode ini sangat penting untuk memastikan tingkat pembiayaan
publik untuk mempertahankan cakupan layanan yang efektif
dan perlindungan risiko keuangan terhadap UHC (Tandon, Cain,
Kurowski, Dozol, & Postolovska, 2020).

1.5. Penutup

Secara luas, pembiayaan kesehatan dipandang mampu memberikan


kontribusi bagi perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara.
Pembiayaan kesehatan yang optimal dan berkelanjutan sangat
penting dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Oleh
karena itu, perencanaan dan pengelolaan pembiayaan kesehatan
yang memadai akan membantu negara dalam memobilisasi sumber
pembiayaan kesehatan, mengalokasikannya secara rasional, dan
menggunakannya secara efektif serta efisien. Untuk mendorong
tercapainya akses yang universal dibutuhkan kebijakan pembiayaan
yang memperhatikan pemerataan dan membantu penduduk
miskin.

Daftar Pustaka

Agustina, R., Dartanto, T., Sitompul, R., Susiloretni, K., Achadi, E.,
Taher, A., . . . Shankar, A. (2018). Universal Health Coverage
in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges. Lancet
(London, England).

Azwar, A. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan, Sistem


Kesehatan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Binarupa Aksara.

Dieleman, J., Campbell, M., & Chapin, A. (2017). And the Global
Burden of Disease Health Financing Collaborator Network.
Evolution and Patterns of Global Health Financing 1995-
2014: Development Assistance for Health, and Government,
Prepaid Private, and Out-Of-Pocket Health Spending in 184
Countries. The Lancet, 389(10083), 1981-2004.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 13


Dieleman, J. L., Schneider, M. T., Haakenstad, A., Singh, L., Sadat, N.,
Birger, M., . . . Chapin, A. (2016). Development Assistance
for Health: Past Trends, Associations, and the Future
of International Financial Flows for Health. The Lancet,
387(10037), 2536-2544.

Gotama, D. P. I. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan (Isu-


Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Gottret, P., & Schieber, G. (2006). Health Financing Revisited: A


Practitioner’s Guide. The World Bank.

Jaworzyľska, M. (2016). A Comparative Analysis of the Health System


Financing in Poland and Selected Countries. Economics
and Sociology, 9(3), 41-51.

Kutzin, J. (2008). Health Financing Policy: A Guide for Decision-


Makers. Health Financing Policy Paper. Copenhagen, WHO
Regional Office for Europe, 24.

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo, P.,


Marthias, T., Harimurti, P., & Prawira, J. (2017). The Republic
of Indonesia Health System Review.

Marzoeki, P., Tandon, A., Bi, X., & Pambudi, E. S. (2014). Universal
Health Coverage for Inclusive and Sustainable
Development: Country Summary Report for Indonesia.

Mills, A. (2014). Health Care Systems in Low-And Middle-Income


Countries. New England Journal of Medicine, 370(6), 552-
557.

Mills, A., & Gilson, L. (1988). Health Economics for Developing


Countries: A Survival Kit.

Myint, C.-Y., Pavlova, M., Thein, K.-N.-N., & Groot, W. (2019). A


Systematic Review of The Health-Financing Mechanisms
in The Association of Southeast Asian Nations Countries
and The People’s Republic of China: Lessons for The Move
Towards Universal Health Coverage. PLoS One, 14(6),
e0217278.

Organization, W. H. (2000). The World Health Report 2000:


Health Systems: Improving Performance. World Health
Organization.

Organization, W. H. (2010). Monitoring the Building Blocks of


Health Systems: A Handbook of Indicators and Their
Measurement Strategies. World Health Organization.

14 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Organization, W. H. (2014). WHO Global Health Expenditure Atlas.
September 2014. WHO Global Health Expenditure Atlas.
Switzerland2014.

Organization, W. H. (2017a). A System of Health Accounts 2011 Revised


edition: OECD Publishing.

Organization, W. H. (2017b). World Bank. Tracking Universal Health


Coverage: 2017 Global Monitoring Report. World Health
Organization.

Pinto, R., Masaki, E., & Harimurti, P. (2016). Indonesia Health Financing
System Assessment: Spend More, Spend Right, Spend Better:
World Bank.

Rannan-Eliya, R. P. (2009). Strengthening Health Financing in Partner


Developing Countries. Task Force on Global Action for Health
System Strengthening, Editor (2009) Global Action For Health
System Strengthening. Tokyo: Japan Center for International
Exchange, 59-90.

Rhatigan Jr, J. J. (2020). Health Systems and Health Care Delivery


Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases
(pp. 214-218): Elsevier.

Sachs, J. D. (2012). Achieving Universal Health Coverage in Low-


Income Settings. The Lancet, 380(9845), 944-947.

Schieber, G., Baeza, C., Kress, D., & Maier, M. (2006). Financing Health
Systems in the 21st Century. Disease Control Priorities in
Developing Countries, 225, 224.

Setyawan, F. E. B. (2018). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Jurnal


Berkala Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan, 2(4).

Tandon, A., Cain, J., Kurowski, C., Dozol, A., & Postolovska, I. (2020).
From Slippery Slopes to Steep Hills: Contrasting Landscapes
of Economic Growth and Public Spending For Health. Social
Science & medicine, 259, 113171.

Tulchinsky, T., & Varavikova, E. (2014). Chapter 11-Measuring costs: The


Economics of Health. The New Public Health, 575-611.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 15


16 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A
Proses
Pembiayaan
BAB
2 Kesehatan
Estro Dariatno Sihaloho, Adiatma YM Siregar

2.1. Pengantar Konsensus umum


menyatakan
Proses pembiayaan kesehatan merupakan hal yang mendasar untuk bahwa proses
mencapai target indikator kesehatan dari tingkat kabupaten atau pembiayaan
kota, provinsi, hingga nasional. Proses pembiayaan yang tidak tepat kesehatan tidak
menyebabkan alokasi dana yang tidak tepat sasaran. Hal tersebut hanya bertujuan
meminimalkan tenaga kesehatan yang akan diperkerjakan, obat- mencari dan
obatan yang tersedia, dan mengurangi promosi kesehatan (World mengumpulkan
Health Organization, 2008). dana yang cukup,
melainkan juga
WHO menekankan bahwa proses pembiayaan kesehatan dapat meliputi proses
dilakukan dengan berbagai cara. Namun konsensus umum penganggaran
menyatakan bahwa proses pembiayaan kesehatan tidak hanya dengan tepat.
bertujuan mencari dan mengumpulkan dana yang cukup,
melainkan juga meliputi proses penganggaran dengan tepat.
Banyak pengambil kebijakan yang masih belum memahami proses
pembiayaan kesehatan sehingga pembuatan kebijakan kesehatan,
perencanaan, penetapan biaya hingga penganggaran dilaksanakan
secara terpisah. Hal tersebut menyebakan ketidakselarasan (Rajan,
et al., 2016).

Adapun proses pembiayaan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga


bagian, yaitu perencanaan, perhitungan kebutuhan biaya, dan
penganggaran (Gani 2002; Rajan et al, 2016) yang akan dibahas
secara mendetail dalam bab ini.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 17


2.2. Perencanaan (Planning)

Perencanaan merupakan awal proses pembiayaan kesehatan.


Perencanaan yang baik dapat mengidentifikasi kegiatan yang
akan dibiayai. Gani, et al. (2002) membagi perencanaan menjadi
empat bagian, yaitu analisis situasi, penetapan tujuan, identifikasi
kegiatan, dan penyusunan rencana operasional.

2.2.1 Analisis Situasi

Deskripsi masalah Dari analisis situasi akan diperoleh deskripsi masalah kesehatan
kesehatan yang terjadi di dalam masyarakat, kinerja sistem pelayanan atau
diidentifikasi kesehatan hingga saat ini, faktor risiko lingkungan, dan faktor
dengan prinsip risiko perilaku (Gani, et al., 2002). Deskripsi masalah kesehatan
dan metode diidentifikasi dengan prinsip dan metode epidemiologi yang
epidemiologi menghasilkan besaran masalah kesehatan, distribusi kelompok
yang masalah kesehatan, dan kemungkinan sumber masalah kesehatan.
menghasilkan Untuk melakukan deskripsi masalah, pengambil kebijakan dapat
besaran masalah menganalisis data primer yang dikumpulkan dengan survei atau
kesehatan, data sekunder yang dikumpulkan dari laporan puskemas, laporan
distribusi rumah sakit, laporan program, survei demografi dan kesehatan
kelompok Indonesia, Survei Sosial Ekonomi Sosial (Susenas), dan lain-lain.
masalah
kesehatan, dan Kinerja atau sistem pelayanan dan program kesehatan disusun
kemungkinan berupa tren output layanan kesehatan apakah sesuai dengan target
sumber masalah yang ditentukan sebelumnya. Dalam menyusun kinerja pelayanan
kesehatan. dan program kesehatan dapat juga dicari masalah dan tantangan
yang ditemukan di lapangan. Hasil kinerja pelayanan saat ini akan
menjadi sangat penting untuk merumuskan tujuan atau target
output dalam proses perencanaan.

Analisis faktor risiko lingkungan bertujuan untuk mengetahui


faktor lain yang meningkatkan masalah kesehatan, tetapi tidak
berkaitan langsung dengan kejadian penyakit. Contohnya adalah
nyamuk Aedes Aegypti merupakan sumber penyakit (yang
berkaitan langsung dengan kejadian DBD), sedangkan curah hujan
merupakan faktor yang secara tidak langsung berkaitan dengan
kejadian DBD (Kosnayani and Hidayat, 2018). Analisis faktor risiko
lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan hasil surveilans,
laporan puskesmas, data yang diperoleh dari pemerintah daerah,
survei khusus atau pengamatan staf Dinas Kesehatan (Dinkes) dan
laporan masyarakat.

Analisis faktor risiko perilaku bertujuan untuk menganalisis faktor


perilaku yang berkontribusi terhadap masalah kesehatan. Salah
satu contoh adalah perilaku buang air besar sembarangan yang
menimbulkan masalah kesehatan (Anggoro, 2017). Analisis faktor
risiko perilaku dapat dilakukan menggunakan data Susenas, hasil
survei khusus atau pengamatan staf, laporan masyarakat, dan
laporan puskesmas.

18 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


2.2.2. Penetapan Tujuan

Gambar 2.1.
Pelaksanaan
Program
Kesehatan

Gani, et al. (2002). Modul


Pelatihan Perencanaan
dan Penganggaran
Kesehatan Terpadu (P2KT).
Jakarta: PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

Gani, et al. (2002) mendefinisikan penetapan tujuan program dibagi


menjadi dua bagian, yaitu outcome atau hasil yang berkaitan dengan
tujuan umum dan output atau target yang berkaitan dengan
tujuan khusus. Tujuan umum berkaitan dengan perbaikan derajat
kesehatan, sedangkan tujuan khusus merupakan pencapaian
output yang berkaitan dengan perbaikan kinerja program. Contoh
dari tujuan umum adalah KLB Polio tidak terjadi, sedangkan contoh
dari tujuan khusus adalah jumlah balita yang berhasil diimunisasi
sebesar 80%. Gambar 2.1 menggambarkan pelaksanaan suatu
program kesehatan yang terdiri dari kegiatan, input, output, target,
dan outcome.

Dalam menentukan tujuan program harus dipertimbangkan target


atau tujuan yang menjadi komitmen nasional dan komitmen global.
Contohnya Kementerian PPN/Bappenas menetapkan seluruh
isu kesehatan dalam SDGs dalam satu outcome, yakni jaminan
kehidupan yang sehat dan kesejahteraan bagi semua orang di segala
usia. Output yang diusung untuk mewujudkan tujuan SDGs dibagi
menjadi tiga pilar, yaitu paradigma sehat, pelayanan kesehatan,
dan jaminan kesehatan nasional (Kementerian PPN/Bappenas
n.d.). Output paradigma sehat dilakukan dengan mengedepankan
konsep promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan serta
menempatkan kesehatan sebagai input penting dari proses
pembangunan. Output pelayanan kesehatan lebih ditekankan pada
peningkatan akses dan mutu layanan. Output jaminan kesehatan
nasional diperoleh dengan meningkatkan jaminan kesehatan
kepada seluruh penduduk dan warga negara asing yang tinggal di
Indonesia. Sementara itu, penentuan tujuan (target) khusus harus
memiliki rumusan kuantitatif yang spesifik, sasaran penduduk yang
jelas, sasaran lokasi yang jelas, dan waktu pencapaian yang jelas.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 19


2.2.3. Identifikasi Kegiatan

Gani, et al. (2002) menyampaikan bahwa identifikasi kegiatan sangat


penting karena erat kaitannya dengan perhitungan kebutuhan
anggaran. Proses penyusunan kegiatan merujuk pada (1) rumusan
tujuan (output program), (2) rumusan proses dan input program,
(3) rumusan faktor risiko lingkungan, dan (4) rumusan faktor
risiko perilaku. Kegiatan-kegiatan program disusun berdasarkan
penyusunan anggaran berbasis kinerja. Kegiatan dapat dibagi
menjadi kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung yang
dideskripsikan melalui Gambar 2.2.

Gambar 2.2.
Pengidentifikasian
Kegiatan

Gani, et al. (2002). Modul


Pelatihan Perencanaan
dan Penganggaran
Kesehatan Terpadu (P2KT).
Jakarta: PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

2.2.4. Penyusunan Rencana Operasional

Setelah identifikasi kegiatan selesai dilakukan, rencana operasional


disusun yang terdiri dari (Gani, et al., 2002):

Gambar 2.3.
Rencana
Operasional

Gani, et al. (2002). Modul


Pelatihan Perencanaan
dan Penganggaran
Kesehatan Terpadu (P2KT).
Jakarta: PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

20 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Setelah proses analisis situasi hingga penyusunan rencana
operasional selesai perlu diperiksa kembali apakah masih ada
kegiatan yang dapat diintegrasikan menjadi satu sehingga tidak
akan tumpang-tindih.

2.3. Perhitungan Kebutuhan Biaya (Costing)

Perhitungan kebutuhan biaya adalah suatu hal yang sangat Perkiraan biaya
penting dalam suatu layanan kesehatan saat ini. Perkiraan biaya dipergunakan
dipergunakan untuk menganalisis efektivitas biaya, evaluasi untuk
ekonomi, dan menilai dampak dari sebuah program yang menganalisis
dilaksanakan lembaga milik pemerintah dan swasata dalam efektivitas biaya,
mencegah, mendeteksi, dan mengobati suatu penyakit (Lipscomb evaluasi ekonomi,
et al. 2009). Bahkan saat ini perhitungan kebutuhan biaya menjadi dan menilai
salah satu hal yang paling penting bagi lembaga kesehatan, dampak dari
misalnya rumah sakit (Carroll and Lord, 2016). Carroll dan Lord (2016) sebuah program
mengidentifikasi perhitungan kebutuhan biaya (costing) menjadi yang dilaksanakan
lima jenis yaitu: lembaga milik
1. Traditional Costing merupakan metodologi akuntansi biaya pemerintah dan
yang menghitung biaya keseluruhan pada sebuah program swasata dalam
dengan tingkat persentase tertentu (Paulus, van Raak, and mencegah,
Keijzer 2002). Perhitungan dengan metode ini mudah, tetapi mendeteksi, dan
dikritisi karena diaggap gagal untuk menghitung biaya berbagai mengobati suatu
layanan dan tidak menunjukkan biaya yang akurat (Carroll and penyakit.
Lord, 2016)
2. Activity Based Costing (ABC) merupakan metodologi akuntasi
biaya yang menghitung semua biaya kegiatan yang ada untuk
mendukung terlaksananya sebuah program. Metode ini juga
menghitung biaya tidak langsung yang berhubungan dalam
pelaksaan sebuah program (Velmurugan, 2010). Pengunaan
metode ini memberi pengambil kebijakan informasi yang lebih
akurat. Keakuratan metode menjadi keunggulan dibandingkan
pendekatan perhitungan biaya lain sehingga banyak digunakan
dalam berbagai evaluasi biaya dan keuntungan (Namazi 2009).
3. Time Driven Activity Based Costing (TDABC) merupakan
perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi
beberapa kekurangan dari metode Activity Based Costing (ABC).
Metode TDABC berasumsi bahwa sebagian besar sumber daya,
seperti tenaga kerja, peralatan, dan fasilitas, memiliki kapasitas
yang dapat diukur dari sisi waktu (Namazi, 2009).
4. Performance-Focused Activity Based Costing (PFABC)
merupakan iterasi ketiga dari metode ABC. Perhitungan dengan
metode PFABC dapat menilai setiap kegiatan dengan berbagai
cara, yaitu berdasarkan pemanfaatan waktu atau kualitas.
Metode PFABC memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat
mengidentifikasi kegiatan yang penting (Namazi, 2009).
5. Ratio of Cost to Charges (RCCs) merupakan penetapan biaya
khusus untuk industri kesehatan. Rumah sakit yang berpartisipasi
harus mengajukan laporan tahunan ke pusat layanan kesehatan.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 21


Rumah sakit diberikan wewenang untuk memperkirakan
seluruh biaya dari setiap departemen penghasil pendapatan dan
memasangkannya semua total biaya tiap departemen untuk
menghitung rasio tingkat biaya yang dikeluarkan rumah sakit
terhadap harga yang dikenakan kepada pasien.

Sejalan dengan metode Activity Based Costing (ABC), Gani et


all (2002) menyusun sebuah perhitungan biaya yang mengubah
program-program ke dalam nilai moneter yang disebut sebagai
Activity and Input Based Costing and Budgeting pada Gambar
2.4.

Gambar 2.4.
Activity and Input
Based Costing and
Budgeting

Gani, et al. (2002). Modul


Pelatihan Perencanaan
dan Penganggaran
Kesehatan Terpadu (P2KT).
Jakarta: PT.Nisarindo Jaya
Abadi.

2.3.1. Micro-Costing

Selain lima metode perhitungan biaya yang diidentifikasi Carroll


dan Lord (2016) terdapat metode perhitungan biaya yang disebut
dengan Micro-Costing. Metode ini dilaksanakan dengan cara
mengumpulkan data yang lebih terperinci tentang semua sumber
daya yang digunakan dalam pelaksanaan suatu progam dan
dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi ekonomi dari program
sebelumnya. Micro-costing memberikan hasil yang lebih tepat
dan detail dibandingkan metode penetapan biaya sebelumnya
yang biaya rata-ratanya relatif lebih besar dibandingkan data yang
seharusnya (Frick, 2009).

Di dalam metode Micro-costing, seluruh komponen biaya dihitung


berdasarkan persentase penggunaan setiap variabel dalam
melaksanakan layanan. Hasil perhitungan bahkan dapat dibagi

22 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


menjadi dua bagian besar, yaitu perspektif dari penyedia layanan
dan perspektif dari pengguna layanan (Siregar, Pitriyan, and Walters
2018). Dimodifikasi penelitian dari Drummond, M.E., Sculpher, M.J.,
Torrance (2006), Siregar, Pitriyan dan Walters (2018) berikut adalah
langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menghitung biaya
program kesehatan (Gambar 2.5).

Gambar 2.5.
Langkah-Langkah
Menghitung
Biaya Program
Kesehatan

Dimodifikasi dari
Drummond, M.E.,
Sculpher, M.J., Torrance
(2006), Siregar, Pitriyan dan
Walters (2018)

Gambar 2.5. menunjukkan perhitungan biaya dari perspektif


penyedia layanan yang melibatkan biaya tenaga kerja, biaya
peralatan, biaya pemeliharaan, dan biaya barang habis pakai,
sedangkan perhitungan biaya dari perspektif pengguna layanan
melibatkan biaya medis (misalnya biaya laboratorium dan obat-
obatan) dan biaya nonmedis (misalnya biaya transportasi dan
hilangnya produktivitas). Siregar, Pitriyan, dan Walters (2018)
mengukur produktivitas yang hilang dengan menggunakan waktu
kerja yang hilang ketika menggunakan layanan kesehatan (seperti
waktu tunggu dan waktu layanan).

Waktu tunggu yang lama di fasilitas kesehatan berdampak buruk


pada fisik, mental, dan keuangan pasien (Tsui and Fong 2018). Hal
ini akan meningkatkan total biaya kesehatan, baik yang ditanggung
penyedia layanan maupunpengguna layanan karena waktu
sembuh semakin lama (Fielden et al, 2005). Setelah pemerintah
memiliki semua rincian pembiayaan dari semua program yang
ada, pemerintah dapat masuk ke tahap selanjutnya dalam proses
pembiayaan kesehatan, yaitu penganggaran (budgeting)

2.4. Penganggaran (Budgeting)

Penganggaran sangat penting untuk mencapai tujuan utama


seluruh perencanaan kesehatan baik level nasional maupun daerah.
WHO (2016) mendefinisikan anggaran sebagai bagian dari APBN
yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang melibatkan semua
kementerian dan lembaga terkait. Anggaran kesehatan lebih dari
sekadar anggaran sederhana yang menyajikan instrumen akuntansi

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 23


yang memuat pendapatan dan pengeluaran, tetapi lebih dari itu
karena memuat komitmen nyata negara untuk menyukseskan
strategi kesehatan (Rajan et al, 2016). Byrne (2006) mendefinisikan
pentingnya penganggaran dalam kesehatan sebagai berikut:
1. Kontrol penggunaan keuangan yang dapat ditunjukkan dengan
kesesuaian antara perencanaan (planning) dan penggunaan
anggaran sepanjang waktu berjalan.
2. Delegasi penggunaan keuangan yang akan meningkatkan
kecepatan pengambilan keputusan pada tingkat jabatan
organisasi dalam lembaga atau kementerian yang dapat
menggunakan anggaran.
3. Terjemahan dari perencanan yang tepat yang ditunjukkan
dengan distribusi alokasi dengan tepat dan produktivitas
penggunaan alokasi.

2.4.1. Prinsip Penyusunan Anggaran

Untuk Untuk mendapatkan output dan outcome yang maksimal,


mendapatkan penyusunan anggaran kesehatan haruslah berbasis kinerja
output dan atau disebut dengan penyusunan anggaran terpadu berbasis
outcome yang kinerja. Gani, et al. (2002) menyampaikan tujuh prinsip yang harus
maksimal, diperhatikan pada saat penyusunan anggaran berbasis kinerja,
penyusunan yaitu:
anggaran 1. Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota adalah penanggung
kesehatan jawab utama dalam penyusunan anggaran untuk semua
haruslah berbasis program (menyeluruh).
kinerja atau 2. Penyusunan anggaran harus memperhitungkan kebutuhan
disebut dengan biaya dari setiap program secara bottom up. Penyusunan
penyusunan anggaran bottom up dapat mengidentifikasi kebutuhan
anggaran anggaran dari unit layanan kesehatan terkecil dalam sistem
terpadu berbasis kesehatan (Bengoa, 2013).
kinerja.
3. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang antara unit
yang melaksanakan kegiatan langsung (pelayanan) dan unit
yang melaksanakan kegiatan penunjang sesuai dengan bobot
kegiatan masing-masing. Kegiatan langsung atau layanan
kesehatan biasanya dilakukan oleh fasiltias kesehatan, seperti
puskesmas dan rumah sakit, sedangkan kegiatan penunjang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam bentuk pelatihan,
koordinasi, atau pengawasan.
4. Alokasi anggaran harus terpadu dan seimbang yang seharusnya
dibagi menjadi anggaran operasional, anggaran pemeliharaan,
dan anggaran investasi. Investasi di dalam pelayanan kesehatan
adalah hal yang sangat penting, tidak terkecuali pada fasilitas
kesehatan puskesmas (Stenberg et al, 2019).
5. Sumber anggaran kesehatan dapat berasal dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau swasta.
6. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan masyarakat atau swasta

24 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


memiliki karakteristik masing-masing.
7. Penyusunan anggaran perlu memperhatikan kondisi adanya
mata anggaran yang dapat digunakan bersama antarprogram,
seperti anggaran supervisi program. Integrasi antarprogram
perlu dilakukan untuk mencegah ketumpangtindihan dan
inefisiensi.

Dalam penyusunan anggaran, Gani, et al. (2002) menyampaikan


beberapa masalah atau “penyakit” yang sering terjadi, yaitu:
1. Anggaran kesehatan yang terlalu kecil sehingga pembiayaan
program sangat minim.
2. Realisasi anggaran yang terlambat karena proses turunnya
anggaran yang berasal dari pusat membutuhkan waktu dan
proses administrasi yang lebih lama.
3. Sulitnya daerah melakukan konsolidasi anggaran yang berasal
dari pusat.
4. Anggaran biaya operasional obat/bahan habis pakai yang minim.
Hal ini menyebabkan kinerja pelayanan yang tidak optimal.
5. Biaya kegiatan penunjang dan administratif yang besar, seperti
biaya pertemuan, perjalanan, dan kegiatan penunjang lainnya
sehingga membuat fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, sulit
untuk melakukan pembiayaan.
6. Lemahnya kaitan antara anggaran dan kinerja yang ditunjukkan
dengan masih banyak mata anggaran yang sulit dijelaskan
hubungan logisnya dengan output program atau bahkan tidak
terdapat output program.
7. Penyusunan anggaran yang cenderung untuk kuratif, sedangkan
anggaran untuk preventif, seperti promosi kesehatan (promkes)
dan kesehatan lingkungan (kesling) masih minim. Padahal
preventif adalah hal penting dalam sistem kesehatan.

Terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan


anggaran, yaitu (1) pengganggaran menyeluruh untuk semua
program, (2) kebutuhan anggaran ditetapkan secara bottom up,
(3)terpadu dan seimbang antara unit penunjang dan unit layanan,
dan (4) terpadu dan seimbang antara anggaran investasi dan
operasional atau pemeliharaan. WHO mendefinisikan anggaran WHO
menjadi lima komponen, yaitu Apa, Mengapa, Kapan, Siapa, dan mendefinisikan
Bagaimana (Rajan et al, 2016). (Lihat Gambar 2.6) anggaran
menjadi lima
Penganggaran yang terkait dengan proses penetapan alokasi komponen, yaitu
sumber daya menghasilkan keluaran yang terbaik. Penganggaran Apa, Mengapa,
menjadi sangat penting karena menjadi instrumen tertulis yang Kapan, Siapa, dan
menunjukkan komitmen nyata sebuah negara atau daerah dalam Bagaimana.
mengimplementasikan kebijakan dan strategi kesehatan.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 25


Gambar 2.6.
Lima Komponen
Anggaran

World Health Organization.


(2008). Health Systems
Financing.

2.4.2. Bentuk Sistem Penganggaran

Terdapat empat proses penganggaran yang diterapkan oleh


berbagai negara di dunia, yaitu Public Financial Management,
Medium Term Expenditure Framework, Line-Item Budgeting for
Health, dan Performance Budgeting.

2.4.2.1. Public Financial Management (PFM)

PFM merujuk pada seperangkat hukum, aturan, sistem, dan


proses yang digunakan oleh pemerintah suatu negara atau daerah
untuk memobilisasi pendapatan, mengalokasikan dana publik,
melakukan belanja, dan mempertanggungjawabkan penggunaan
dana dengan hasil audit (Lawson, 2015). PFM terdiri dari enam
bagian siklus yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Pada praktiknya PFM berfokus pada proses pelaksanaan


perencanaan dan penggunaan anggaran kesehatan yang kredibel.
Proses pengawasan, seperti proses akuntansi, audit internal,
dan audit eksternal, diperlukan untuk memastikan aliran dana
digunakan secara efisien hingga menghasilkan output maksimal.
Di beberapa negara, Praktik PFM mendapat dukungan dari
berbagai donor di dunia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
di Afrika menggunakan data 1998-2007, terdapat beberapa negara
yang mengalami perbaikan signifikan di institusi atau sistem
penganggaran, seperti Burkina Faso, Tanzania, dan Zambia (Lawson
2001).

26 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Gambar 2.7.
Public Financial
Management
(PFM)

Andrew Lawson.
(2015). Public Financial
Management. GSDRC
Professional Development
Reading Pack No. 6.
Birmingham, UK: GSDRC,
University of Birmingham.

2.4.2.2. Medium Term Expenditure Framework (MTEF)

MTEF merupakan kerangka penganggaran jangka menengah


yang bersifat komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang
dapat menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan
kebijakan prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi
ekonomi makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya
disusun untuk tiga tahun (Rajan et al, 2016). Dalam kerangka ini,
departemen diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk
alokasi dan penggunaan dana dalam pencapaian ouput dan
outcome. Penganggaran ini dapat membantu menghubungkan
perkiraan pendapatan, alokasi sektoral dan prioritas kebijakan
kesehatan yang lebih spesifik. Rajan (2016) membagi lima kunci
tahapan dari proses MTEF pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Lima


Kunci Tahapan
Proses MTEF

D. Rajan, H. Barroy, and


K. Stenberg. (2016).
Strategizing National
Health in the 21st Century:
A Handbook. World Health
Organization.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 27


Sebagian Sebagian besar negara di Eropa telah menggunakan sistem
besar negara MTEF dengan jangka waktu yang berbeda, dari dua hingga lima
di Eropa telah tahun. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan
menggunakan Lithuania menjadi negara dengan periode MTEF selama dua tahun.
sistem MTEF Bulgaria, Slovakia, Slovenia, Spanyol, dan beberapa negara lainnya
dengan jangka memiliki periode MTEF selama tiga tahun, sedangkan Jerman,
waktu yang Austria, Belgia, Denmark dan beberapa negara lainnya memiliki
berbeda, dari masa empat tahun (Filc and Scartascini, 2010). Filc and Scartascini
dua hingga lima (2010) mencatat terdapat dua negara yang memiliki periode lima
tahun. tahun dalam pelaksanaan MTEF, yaitu Irlandia dan Latvia.

2.4.2.3. Line-Item Budgeting for Health

Metode penganggaran ini telah digunakan sejak lama di berbagai


negara dengan informasi anggaran yang diatur berdasarkan
kategori biaya yang terdiri dari kategori staf, perlengkapan atau
biaya operasional, dan peralatan atau barang modal (Rajan et al,
2016). Fasilitas kesehatan akan menerima jumlah anggaran tetap
untuk periode tertentu untuk input tertentu (misalnya untuk staf
dan obat-obatan).

Line-Item Budgeting menjadi cara lembaga legistlatif untuk


melakukan pengawasan karena memiliki pos-pos yang spesifik,
tetapi menjadi penghambat bagi fasilitas kesehatan untuk
mengelola dana kesehatan secara fleksibel karena pengeluaran
harus mengikuti garis anggaran yang sudah ditentukan
secara ketat. Jenis penganggaran ini sering disebut dengan
penganggaran tradisional. Walaupun memiliki banyak kelemahan,
jenis penganggaran ini masih banyak digunakan karena dianggap
mudah untuk dilaksanakan. Dari begitu banyak negara yang pernah
menggunakan line item budgeting, Korea Selatan menjadi negara
yang sukses mengubah line item budgeting menjadi programme
budgeting.

2.4.2.4. Performance Budgeting

OECD (2008) mendefinisikan Performance Budgeting atau


Penganggaran Berbasis Kinerja sebagai penganggaran yang
menghubungkan dana yang dialokasikan dengan hasil yang terukur
dan efisien. Di dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, para
pemangku kepentingan harus menemukan implementasi yang
paling sesuai dengan tata kelola dan struktur kelembagaan yang
lebih luas. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja harus memiliki
fleksibilitas dan fokus pada outcome, tidak hanya output. Di dalam
pelaksanaannya, pemangku kepentingan tidak perlu memiliki
terlalu banyak target. Target dapat dibatasi, tetapi banyak cara
pengukuran keberhasilan target dapat digunakan. Perlunya
pengukuran keberhasilan target juga perlu diiringi dengan
peningkatan kualitas penyajian dan pelaporan informasi kinerja
(OECD, 2008).

28 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Gani, et al. (2002) menyampaikan dalam sektor kesehatan, anggaran
berbasis kinerja ditunjukkan dengan adanya keseimbangan antara
anggaran kegiatan pelayanan langsung dan kegiatan penunjang.
Kedua-duanya perlu disusun berdasarkan kebutuhan dan output
atau outcome yang jelas. Penelitian sebelumnya menunjukkan
beberapa negara telah melakukan Penganggaran Berbasis
Kinerja, seperti Australia, Kanada, Swedia, Belanda, Selandia Baru,
Inggris, dan Amerika Serikat. Terdapat berbagai tantangan yang
dihadapi dengan sangat baik oleh negara-negara tersebut untuk
melaksanakan Penganggaran Berbasis Kinerja (Sterck and Scheers
2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan OECD (2008) langkah
yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyusun Penganggaran
Berbasis Kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9.
Menyusun
Anggaran Berbasis
Kinerja

OECD. (2008). Policy Brief


Performance Budgeting: A
Users’ Guide. (March).

2.4.3. Efisiensi dan Efektivitas

Kunci penting dalam penyusunan anggaran adalah efisiensi dan


efektivitas. Efektivitas adalah pencapaian target atau outcome dari
suatu kegiatan atau intervensi kesehatan sesuai dengan apa yang
direncanakan. Sementara itu, efisiensi adalah kondisi yang paling
ekonomis dari pelaksanaan suatu intervensi yang ditunjukkan
dengan rasio input dan output pada intervensi (Enrique and Marta,
2020). Konsep efisiensi dan efektivitas dapat dibedakan melalui
kerangka pemikiran yang disusun oleh Ulrike, Adriaan, Fabienne,
(2008) pada Gambar 2.10.

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 29


Gambar 2.10.
Membedakan
Konsep Efisiensi
dan Efektivitas

Ulrike, Adriaan,
Fabienne (2008)
The Effectiveness
and Efficiency of
Public Spending.
Pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilakukan dengan
Directorate General
Economic and menggunakan perhitungan model DEA/Data Envelopment Analysis
Financial Affairs (DG (Lo Storto and Goncharuk, 2017). Ukuran dasar efisiensi dibedakan
ECFIN), European menjadi dua, yaitu efisiensi alokatif dan efisiensi teknis. Secara
Commission. konsep, efisiensi alokatif mengacu pada penggunaan input yang
bervariasi untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda,
sedangkan efisiensi teknis berkaitan dengan pencapaian output
maksimum dengan penggunaan biaya paling rendah (Akazili et al,
2008). Contoh penggunaan input, output, dan outcome di dalam
pengukuran efisiensi dan efektivitas dapat dilihat pada Gambar 2.11.

Contoh
Penggunaan
Input, Output, dan
Outcome

J., M. Akazili,
Adjuik, S. Chatio,
E. Kanyomse, A.
Hodgson, M. Aikins, Pada saat diolah menggunakan DEA, model 1 akan menghasilkan
and J. Gyapong. indeks efisiensi dari sistem layanan kesehatan, sedangkan model
(2008). “What 2 akan menghasilkan indeks efektivitas dari layanan kesehatan.
Are the Technical Orientasi pada model 1 adalah input dan output, sedangkan orientasi
and Allocative
pada model 2 adalah ouput dan outcome. Model 1 juga disebut
Efficiencies of
Public Health
sebagai Efisiensi Teknis karena menggunakan perpaduan jenis
Centres in Ghana?” input (moneter dan nonmoneter). Sementara itu, efisiensi alokatif
Ghana Medical biasanya menggunakan input berupa nilai moneter. Contoh proses
Journal. perhitungan efisiensi alokatif (Sihaloho and Siregar, 2019) dapat
dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12.
Contoh Proses
Perhitungan
Efisiensi Alokatif

Estro Sihaloho and


Adiatma Siregar.
(2019). The Analysis
of Tuberculosis
Funds Efficiency
on High Burden
Countries. Jurnal
Ekonomi dan
Bisnis 22(1):45–62.

30 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Selain pengaruh dari cara penggunaan input dan menghasilkan Untuk
output yang maksimal, model 1 (skor efisiensi alokatif) juga menghitung
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalkan perilaku masyarakat faktor lingkungan
menggunakan tembakau dan jumlah dana pengendalian tembakau yang memiliki
di suatu negara dapat berpengaruh terhadap skor efisiensi alokatif pengaruh paling
(Sihaloho and Siregar, 2019). Contoh lain faktor lingkungan adalah besar terhadap
pengaruh perilaku buang sampah botol plastik sembarangan skor efisiensi
yang dapat menampung air menjadi faktor yang secara tidak dapat digunakan
langsung berkaitan dengan kejadian DBD. Untuk menghitung metode analisis
faktor lingkungan yang memiliki pengaruh paling besar terhadap Tobit.
skor efisiensi dapat digunakan metode analisis Tobit (Afonso and
Fernandes, 2008).

Studi Kasus Indonesia

P
roses perencanaan dan management, penganggaran berbasis
penganggaran diatur oleh UU kinerja, dan kerangka pengeluaran
17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, jangka menengah sudah mulai
dan UU 25/2004. Undang-undang diperkenalkan kepada para pemangku
tersebut menuliskan bagaimana daerah kebijakan (Widodo, 2017). Pada tahun
dan pusat memiliki peran yang sama 2011, penerapan penganggaran berbasis
penting dalam melakukan proses kinerja dan kerangka pengeluaran
perencanaan hingga penganggaran. jangka menengah untuk berbagai
program dan kegiatan di kementerian
Dengan sistem desentralisasi saat atau lembaga. Hingga saat ini
ini, pemerintah daerah tidak bisa pemerintah Indonesia masih perlu
menggantungkan proses perencanaan meningkatkan kualitas penganggaran.
hingga penganggaran sepenuhnya
pada pemerintah pusat. Pemerintah Penganggaran berbasis kinerja di
daerah tidak dapat hanya berpatokan laporan keuangan Kementerian dan
pada data-data yang dimiliki oleh lembaga masih bersifat administratif
pemerintah pusat untuk melakukan karena realisasi serapan anggaran
analisis situasi. Pemerintah daerah belum dapat menunjukkan apakah
harus berusaha memiliki data sendiri realisasi anggaran sudah mencapai
dan menganalisisnya dengan benar kinerja yang ditargetkan (Farhan, 2012).
sehingga menghasilkan perencanaan Pemerintah perlu melakukan perbaikan
hingga penganggaran yang tepat. dan melakukan evaluasi agar anggaran
berbasis kinerja tidak hanya dilakukan
Berbagai jenis penganggaran pada tahap penyusunan, tetapi hingga
telah dilakukan oleh pemerintah pada tahap pertanggungjawaban
Indonesia. Pada tahun 2003, metode (Farhan, 2012).
penganggaran public finance

KON SEP PEMBIAYA A N KESEHATA N 31


2.5. Penutup
Proses Output dan outcome yang maksimal dari program kesehatan
pembiayaan di Indonesia membutuhkan pelaksanaan proses pembiayaan
kesehatan terdiri kesehatan yang benar sehingga pembiayaan menjadi tepat
dari tiga tahap, sasaran. Hal tersebut akan mendorong pembiayaan yang besar
yaitu proses untuk program yang penting dan mengurangi pembiayaan untuk
perencanaan, program yang tidak efisien.
proses
perhitungan Proses pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga tahap, yaitu proses
biaya, dan proses perencanaan, proses perhitungan biaya, dan proses penganggaran.
penganggaran. Setiap pemangku kepentingan di Indonesia wajib mengetahui
ketiga proses tersebut secara baik dan benar.

Ketiganya memiliki peran yang sama penting sehingga


pelaksanaannya harus memiliki kualitas yang maksimal. Sudah
saatnya pelaksanaan semua program kesehatan dari level institusi
kesehatan terendah hingga tertinggi mengacu pada efisiensi dan
efektivitas sehingga berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia
lebih cepat diselesaikan.

Daftar Pustaka

Afonso, António and Sónia Fernandes. (2008). Assessing and


Explaining the Relative Efficiency of Local Government.
Journal of Socio-Economics 37(5):1946–79.

Akazili, J., M. Adjuik, S. Chatio, E. Kanyomse, A. Hodgson, M. Aikins,


and J. Gyapong. (2008). “What Are the Technical and
Allocative Efficiencies of Public Health Centres in Ghana?”
Ghana Medical Journal.

Anggoro, Rena Ratri. (2017). Gambaran Perilaku Buang Air


Besar Sembarangan Pada Masyarakat Desa Jatimulyo,
Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Penelitian Kesehatan
15(2):129–34.

Bengoa, Rafael. (2013). Transforming Health Care: An Approach to


System-Wide Implementation. International Journal of
Integrated Care.

Byrne, Michael. (2006). The Usefulness of Budgets in the


Healthcare Sector. Irish Journal of Management.

Carroll, Nathan and Justin C. Lord. (2016). The Growing Importance


of Cost Accounting for Hospitals. Journal of Health Care
Finance.

Drummond, M.E., Sculpher, and M.J., Torrance, G. (2006). Methods


for The Economic Evaluation of Health Care Programme.
Journal of Epidemiology & Community Health.

32 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Enrique, Burches, and Burches Marta. (2020). Efficacy, Effectiveness
and Efficiency in the Health Care: The Need for an
Agreement to Clarify Its Meaning. International Archives of
Public Health and Community Medicine.

Farhan, Yuna. (2012). Reformasi Penganggaran Di Indonesia.


Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparasi
Anggaran.

Fielden, Jann M., J. M. Cumming, J. G. Horne, P. A. Devane, A. Slack,


and L. M. Gallagher. (2005). Waiting for Hip Arthroplasty:
Economic Costs and Health Outcomes. Journal of
Arthroplasty.

Filc, Gabriel and Carlos Scartascini. (2010). Is Latin America on the


Right Track? An Analysis of Medium-Term Frameworks
and the Budget Process.

Frick, Kevin D. (2009). Microcosting Quantity Data Collection


Methods. Medical Care 47(7 Suppl 1):S76–81.

Gani, Ascobat. (2002). Modul Pelatihan Perencanaan dan


Penganggaran Kesehatan Terpadu (P2KT). Jakarta:
PT.Nisarindo Jaya Abadi.

Kementerian PPN/Bappenas. n.d. Kehidupan Sehat dan Sejahtera.


Retrieved (http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-3/#).

Kosnayani, Ai Sri, and Asep Kurnia Hidayat. (2018). Hubungan


antara Pola Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota
Tasikmalaya Tahun 2006-2015 (Kajian Jumlah Curah Hujan
dan Hari Hujan).” Jurnal Siliwangi Seri Sains dan Teknologi
4(1).

Lawson, Andrew. (2001). Evaluation of Public Financial


Management Reform. Burkina Faso, Ghana and Malawi
2010.

Lawson, Andrew. (2015). Public Financial Management. GSDRC


Professional Development Reading Pack No. 6.
Birmingham, UK: GSDRC, University of Birmingham.

Lipscomb, Joseph, K. Robin Yabroff, Martin L. Brown, William


Lawrence, and Paul G. Barnett. (2009). Health Care Costing:
Data, Methods, Current Applications. Medical Care.

Mandl, Ulrike, Adriaan Dierx, and Fabienne Ilzkovitz. (2008). The


Effectiveness and Efficiency of Public Spending.

Namazi, Mohammad. (2009). Performance-Focused ABC: A


Third Generation of Activity-Based Costing System. Cost
Management.

PROSES PEMBI AYA A N KESEHATA N 33


OECD. (2008). Policy Brief Performance Budgeting: A Users’ Guide.
(March).

Paulus, Aggie, Arno van Raak, and Femke Keijzer. (2002). ABC: The
Pathway to Comparison of the Costs of Integrated Care.
Public Money and Management.

Rajan, D., H. Barroy, and K. Stenberg. (2016). Strategizing National


Health in the 21st Century: A Handbook. World Health
Organization.

Sihaloho, Estro and Adiatma Siregar. (2019). The Analysis of


Tuberculosis Funds Efficiency on High Burden Countries.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis 22(1):45–62.

Siregar, Adiatma Y. M., Pipit Pitriyan, and Dylan Walters. (2018).


The Annual Cost of Not Breastfeeding in Indonesia:
The Economic Burden of Treating Diarrhea and
Respiratory Disease among Children (< 24mo) Due to
Not Breastfeeding According to Recommendation.
International Breastfeeding Journal 13(1):10.

Stenberg, Karin, Odd Hanssen, Melanie Bertram, Callum Brindley,


Andreia Meshreky, … Tessa Tan-Torres Edejer. (2019). Guide
Posts for Investment in Primary Health Care and Projected
Resource Needs in 67 Low-Income and Middle-Income
Countries: A Modelling Study. The Lancet Global Health.

Sterck, Miekatrien, and Bram Scheers. (2006). Trends in


Performance Budgeting in Seven OECD Countries. Public
Performance & Management Review.

Lo Storto, Corrado, and Anatoliy G. Goncharuk. (2017). Efficiency


vs Effectiveness: A Benchmarking Study on European
Healthcare Systems.” Economics and Sociology.

Tsui, Yee-man and Ben Y. F. Fong. 2018. “Waiting Time in Public


Hospitals: Case Study of Total Joint Replacement in Hong
Kong.” Public Administration and Policy: An Asia-Pacific
Journal.

Velmurugan, Manivannan Senthil. (2010). The Success and Failure


of Activity-Based Costing Systems. Journal of Performance
Management.

Widodo, Teguh. (2017). Performance-Based Budgeting: Evidence


from Indonesia.

World Health Organization. (2008). Health Systems Financing.

34 P E M BI AYA A N KES EH ATAN


Konsep Asuransi
Sebagai Bagian
BAB
3 Pembiayaan Kesehatan
Ery Setiawan, Adiatma YM Siregar

3.1. Pengantar

Bab ini akan memberikan pemahaman skema asuransi yang Asuransi


terkait dengan pembiayaan kesehatan di Indonesia. Pembahasan kesehatan
akan diberikan secara runut, dari prinsip dasar asuransi kesehatan, merupakan
manajemen risiko, hingga perbedaannya dengan skema asuransi suatu instrumen
komersial. sosial yang
ditujukan untuk
3.1.1. Prinsip Dasar Asuransi Kesehatan mengartikulasikan
prinsip gotong
Asuransi kesehatan merupakan suatu instrumen sosial yang royong atau
ditujukan untuk mengartikulasikan prinsip gotong royong atau solidaritas
solidaritas masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan. Dalam masyarakat dalam
analogi sederhana, masyarakat secara bersama-sama berkontribusi bidang pelayanan
memberikan pertolongan semampunya untuk membantu kesehatan.
anggota masyarakat yang sakit. Bentuk solidaritas sosial ini dalam
terminologi modern sering kali disebut dengan asuransi dan yang
akan dibahas lebih khusus adalah asuransi kesehatan. Secara
umum terdapat beberapa prinsip dasar dalam skema asuransi
dapat dilihat di Tabel 3.1.

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 35


Tabel 3.1. Prinsip Asuransi Intisari
Prinsip-Prinsip
Dasar Asuransi Utmost Good of Faith Kontrak asuransi harus disepakati oleh kedua belah
pihak (asuransi dan peserta) yang didasarkan pada
pemahaman dan kepercayaan yang sama.
Insurable Interest Orang yang diasuransikan mengalami beberapa
Jeffrey W. Stempel. (2012).
Principles of Insurance
kerugian finansial akibat kerusakan atau kejadian
Law: Fourth Edition. yang tertanggung.
Carolina: Academic Press. Indemnity Skema asuransi bukan merupakan instrumen
untuk spekulasi atau cari untung sehingga besaran
benefit yang ditanggung tidak boleh lebih tinggi.
Subrogation Ketika asuradur memberikan penggantian penuh
atas kerugian objek atau benda tertanggung,
kepemilikan atas objek tersebut berpindah kepada
asuradur (berlaku untuk asuransi kerugian—non-
kesehatan)
Contribution Tingkat kontribusi yang adekuat atas kerugian yang
ditanggungkan
Proximate Cause Ketika kerugian disebabkan oleh lebih dari
satu penyebab, proksi atau penyebab terdekat
harus dipertimbangkan untuk memutuskan
pertanggungan oleh asuradur.
Loss Minimization Upaya dari tertanggung meminimalkan kerugian
yang terjadi.

Secara prinsip konteks asuransi kesehatan berdasarkan sifat


penyelenggaraannya dibagi menjadi dua jenis, yaitu asuransi
kesehatan yang bersifat komersial dan sosial. Pada dasarnya asuransi
kesehatan komersial bertujuan memberikan perlindungan kepada
penduduk yang ditandai dengan hubungan transaksi yang bersifat
sukarela, sebagaimana layaknya transaksi dagang. Sementara
itu, asuransi kesehatan sosial bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada penduduk berdasarkan penegakan keadilan
sosial sehingga kepesertaanya bersifat wajib.

Asuransi kesehatan sosial berkembang untuk mengatasi isu


kegagalan pasar (market failure), dari sistem kesehatan yang secara
umum dapat menjamin penduduk secara luas hingga harga atau
kontribusi yang terjangkau. Bentuk asuransi kesehatan sosial telah
hadir dalam beberapa dekade terakhir, antara lain Askes Pegawai
Negeri Sipil, Asuransi Jasa Raharja, dan JPK Jamsostek. Pada
dasarnya bentuk asuransi tersebut belum sepenuhnya menerapkan
prinsip asuransi kesehatan sosial secara konsisten, misalnya dalam
hal kepesertaan dan norma penentuan tingkat kontribusi.

Dalam implementasinya beberapa asuransi tersebut dapat


memberikan penggantian biaya kesehatan dalam bentuk uang
atau pelayanan kesehatan (in kind benefit). Karena tingginya
moral hazard, asuransi kesehatan yang memberikan penggantian
uang semakin terbatas. Pada kondisi tertentu pemberian jaminan
dalam bentuk pelayanan sulit diterapkan. Dalam penyelenggaraan
program JKN, isu-isu terkait dengan penetapan paket manfaat,
penyedia layanan dan sebagainya cenderung dapat dikelola secara

36 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


lebih baik dengan adanya regulasi yang jelas. Meskipun asuransi
komersial dan sosial memiliki beberapa perbedaan karakteristik
umum, perhatian terkait manajemen risiko tetap menjadi isu yang
sangat penting dalam penyelenggaraan skema asuransi.

3.1.2. Pemahaman Tentang Risiko

Dalam konteks penyelenggaraan skema asuransi kesehatan,


pemahaman tentang risiko menjadi penting, terutama dalam
mendefinisikan paket manfaat dan estimasi tingkat utilisasi atas
pertanggungan yang terjadi. Istilah “risiko” digunakan dalam
asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang
sifatnya bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau
risiko murni (Thabrany, 2001). Secara prinsip terdapat beberapa
karakteristik ideal atas risiko yang dapat diasuransikan seperti yang
dijelaskan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2.
Karakteristik Risiko Intisari
Karakteristik Risiko
Large Number of Semakin tinggi pooling risiko yang ditanggung yang Diasuransikan
Exposure Units dalam suatu skema asuransi, akan semakin mudah
diprediksi probabilitas dari kerugian yang akan terjadi
George. E. Rejda and
dan tidak terlalu fluktuatif secara periodik.
M. J. Mc.Namara. (2011).
Accidental and Risiko yang dapat ditanggungkan adalah risiko Principles of Risk
Unintentional Loss murni atau yang tidak dispekulasi untuk tujuan Management and
Insurance: Twentieth
mendapatkan keuntungan dari insiden yang terjadi
Edition. London: Pearson.
atau ditanggungkan.
Determinable and Risiko kerugian yang ditanggungkan harus
Measurable Loss dapat dikuantifikasi pada besaran tertentu untuk
memfasilitasi penyesuaian kerugian yang dapat
ditanggungkan.

Dalam setiap langkah kehidupan risiko selalu ada. Skala risiko bisa
kecil, seperti terjatuh akibat tersandung batu, ataupun besar, seperti
kecelakaan lalu lintas yang dapat menyebabkan kematian atau
kecacatan. Setiap orang mempunyai cara tersendiri agar terhindar
dari berbagai risiko. Berdasarkan prinsip bahwa risiko adalah
peluang (dapat terjadi dan tidak terjadi), terdapat empat kategori
manajemen risiko sebagai berikut (Redja, et.al; Emmet, et.al. 2003).
1. Menghindari risiko (risk avoidance): individu memilih untuk tidak
mengambil risiko atas kejadian atau bahaya yang akan menimpa
dirinya. Contohnya agar terhindar dari risiko kecelakaan mobil,
individu lebih memilih menggunakan moda transportasi lainnya,
misalnya kereta daripada mengendarai mobil pribadi. Upaya
yang lebih ekstrem adalah sama sekali tidak bepergian untuk
mengeliminasi risiko kecelakaan.
2. Mengurangi risiko (risk reduction): individu tetap memilih untuk
mengambil risiko karena tidak mungkin untuk mengeliminasi
semua risiko. Namun, individu berusaha mengurangi terjadinya
risiko atas insiden atau kerugian melalui berbagai upaya.
Contohnya agar mengurangi risiko insiden kecelakaan mobil,
individu akan berupaya mengemudi dengan kecepatan tertentu.

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 37


3. Memindahkan risiko (risk transfer): individu berusaha untuk
memindahkan risikonya menjadi risiko kelompok, yaitu
melalui skema asuransi. Ini berarti secara prinsip individu tetap
mengambil risiko, tetapi mentransfer dari risikonya sendiri
menjadi risiko kumpulan.
4. Mengambil risiko (risk taker): individu memilih untuk mengambil
risiko tanpa modifikasi upaya ekstra untuk mengurangi risiko
terjadinya insiden atau kerugian atas dirinya.

3.1.3. Perbedaan Asuransi Komersial dan Asuransi Sosial

Akses terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian


pelayanan menyebutkan bahwa program asuransi sosial wajib diselenggarakan.
kesehatan Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dasar bagi
merupakan kesejahteraan masyarakat. Pasal 14 menyebutkan bahwa program
hak asasi setiap asuransi sosial hanya dapat diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
penduduk. Negara (UU No. 2 Tahun 1992). Kepesertaan dalam skema asuransi
Deklarasi PBB sosial bersifat wajib sebagaimana terkait dengan karakteristik
pada tahun 1948 pelayanan kesehatan yang ditandai dengan ketidakpastian
dengan jelas (uncertainty). Akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan
menyebutkan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB pada 1948 dengan jelas
bahwa setiap menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak terhadap jaminan
penduduk berhak kesehatan di saat sakit. Secara praktik individu menyadari risiko
terhadap jaminan terjadinya sakit, tetapi pada umumnya tidak mempunyai kemauan
kesehatan di saat dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan
sakit. menutup risiko sakit yang akan terjadi di masa depan.

Orang-orang di usia produktif akan mengambil risiko (risk taker)


terhadap masa depannya karena pengalaman menunjukkan
mereka jarang menderita sakit. Risiko sakit pada 10-20 tahun
mendatang dianggap terlalu jauh untuk diantisipasi. Mereka
umumnya tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar meskipun
mereka mampu membeli. Sebaliknya, orang tua dan sebagian orang
dengan penyakit kronis bersedia membeli asuransi karena mereka
memiliki pengalaman membayar biaya pengobatan yang mahal.
Namun, penghasilan mereka sudah jauh berkurang. Walaupun
mereka memiliki penghasilan yang cukup, biaya pengobatan jauh
lebih besar daripada penghasilan mereka.

Orang-orang dalam kelompok tersebut mau membeli asuransi.


Namun jika hanya mereka yang mau membeli asuransi, perusahaan
asuransi akan menarik premi yang sangat besar untuk menutupi
biaya pengobatan yang tinggi. Perusahaan asuransi bahkan tidak
bersedia menjamin orang-orang dengan risiko di atas rata-rata
(substandar) sehingga kelompok berisiko tersebut tidak memiliki
jaminan kesehatan. Kondisi tersebut kemudian yang mendasari
pentingnya asuransi sosial

Asuransi sosial bertujuan menjamin semua orang memperoleh


akses terhadap layanan kesehatan tanpa mempedulikan status
ekonomi atau usia. Prinsip ini disebut sebagai keadilan sosial (social

38 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di
dunia. Asuransi sosial memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban
di berbagai kelompok masyarakat: kaya-miskin, sehat-sakit, muda-
tua, risiko rendah-risiko tinggi, sebagai wujud hakikat peradaban
manusia. Namun, tidak sedikit orang awam beranggapan bahwa
skema asuransi sosial adalah suatu program asuransi yang hanya
ditujukan untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Hal ini
mungkin ditenggarai oleh persepsi terhadap Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesma) ataupun Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda). Faktanya, baik skema Jamkesmas maupun Jamkesda
merupakan bentuk dari bantuan sosial, bukan asuransi sosial.
Gambar 3.1 menjelaskan posisi asuransi sosial dalam kerangka
jaminan sosial (social security).

Gambar 3.1. menunjukkan secara implisit bahwa meskipun


penyelenggaraan program JKN menurut UU No. 40 Tahun 2004
berbasis pada penyelenggaraan Asuransi Sosial, di dalamnya juga
Gambar 3.1.
Pilar Jaminan
Sosial

Undang Undang No. 40


Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial.

ada komponen bantuan sosial, yaitu pada cakupan kelompok


penerima bantuan iuran. Salah satu perbedaan mendasar antara
pilar bantuan sosial dan asuransi sosial adalah ada atau tidaknya
kontribusi (iuran) dari peserta atau tertanggung dalam skema
jaminan.

Dalam konteks bantuan sosial, tentu tertanggung atau penerima


manfaat tidak memberikan kontribusi finansial terhadap program,
lain halnya dengan peserta dalam pilar asuransi sosial. Dengan
demikian, perlu dipahami bahwa peserta Penerima Bantuan
Iuran (PBI) dalam konteks program tidak berarti tidak membayar
iuran atau gratis karena secara prinsip iurannya dibayarkan oleh
pemerintah. Dengan demikian, peserta PBI juga berhak mendapat
manfaat kebutuhan dasar yang sama dengan kelompok peserta

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 39


yang membayar iuran secara mandiri meskipun tanggung jawabnya
untuk membayar iuran telah diwakili oleh negara.

Sementara itu, pilar ketiga atau jaminan yang sifatnya tambahan


disediakan oleh penjamin atau asuradur swasta. Karena
fungsinya sebagai jaminan tambahan, asuransi swasta umumnya
menyediakan produk yang bersifat complementary terhadap
manfaat dasar yang disediakan oleh program asuransi sosial.
Dalam praktiknya memang akan ada manfaat yang dijamin,
baik oleh program asuransi sosial maupun asuransi swasta. Oleh
karena itu, konsep koordinasi manfaat (Coordination of Benefit)
diterapkan untuk menjaga kesesuaian atas prinsip indemnity
(rule of indemnity), yaitu besaran manfaat yang dibayarkan tidak
boleh melebihi jumlah total kerugian yang dialami. Karena begitu
kompleksnya karakteristik asuransi sosial dan komersial, Tabel 3.3.
akan menjelaskan perbedaan utama dari kedua skema ini.

Tabel 3.3. Asuransi


Asuransi Sosial Asuransi Komersial
Perbedaan
(Wajib) (Sukarela)
Asuransi Sosial Aspek
dan Asuransi Sifat gotong royong Tua-Muda, Kaya- Sehat-Sakit
Komersial antar-golongan Miskin, Sehat-Sakit
Seleksi Bias Tidak ada karena Adverse atau favorable
semua penduduk tergantung keahlian
H. Thabrany. (2001) merupakan peserta asuradur dalam proses
Asuransi Kesehatan
di Indonesia. Depok:
underwriting (identifikasi
Universitas Indonesia. pre-existing condition)
Premi Not risk-related Risk-related
Biasanya proporsional Biasanya dengan harga
(%) terhadap upah tertentu
Paket Sama untuk seluruh Bervariasi sesuai pilihan
peserta peserta
Keadilan/Equity Egaliter, sosial Liberter, individual
Pilihan Bapel/Asuradur Biasanya tidak ada Banyak
atau terbatas
Pilihan Provider Umumnya sangat Pada model tradisional,
luas. Pada penerapan umumnya sangat luas.
teknik managed Pada model managed
care, pilihan terbatas care, pilihan terbatas.
Kemampuan Sangat tinggi Sangat rendah
Pengendalian Biaya
Kompetisi Bapel/ Umumnya kecil/ Umumnya tinggi
Asuradur rendah
Respons Pelayanan Pemenuhan Pemenuhan permintaan
Medis kebutuhan medis (demand)
(medical needs)
Badan Penyelenggara Pemerintah atau Bebas (pemerintah atau
quasi pemerintah swasta)
Bersifat nirlaba Bersifat pencari laba/
nirlaba
Pembayaran fasilitas Bervariasi dari Bervariasi dari kapitasi
kesehatan kapitasi sampai fee sampai fee for service
for service

40 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Tabel 3.3. menekankan perbedaan mendasar atau prinsip antara
asuransi sosial dan asuransi komersial. Sebagai contoh, asuransi
komersial bekerja dengan berbasis pada minimalisasi risiko yang
berimplikasi pada bagaimana mereka melakukan seleksi peserta
dan penetapan besaran premi atau iuran, sementara asuransi
sosial bekerja dengan berbasis pada pemenuhan hak asasi atas
kebutuhan dasar kesehatan. Berdasarkan prinsip tersebut, semua
penduduk merupakan target cakupan dalam program ini tanpa
memandang risiko atau riwayat kesehatan sebelumnya sehingga
terminologi seleksi bias tidak lagi valid dalam konteks asuransi
sosial. Semua penduduk
merupakan target
3.2. Peran dan Posisi Skema Jaminan Kesehatan cakupan dalam
dalam Sistem Kesehatan program ini tanpa
memandang
risiko atau riwayat
Bab ini menekankan peran asuransi atau jaminan kesehatan
kesehatan
terhadap skema pembiayaan kesehatan di Indonesia. Dengan
sebelumnya
demikian, subbab ini akan mengartikulasikan secara lebih rinci
sehingga
bagaimana kedudukan jaminan kesehatan, termasuk dampaknya,
terminologi
terhadap struktur sistem kesehatan dan perbaikan luaran kesehatan
seleksi bias tidak
secara agregat.
lagi valid dalam
konteks asuransi
3.2.1. Kedudukan Skema Jaminan Kesehatan dalam sosial.
Sistem Kesehatan Nasional

Peninjauan kedudukan dan peran skema jaminan kesehatan


dalam sistem kesehatan di Indonesia secara prinsip berangkat dari
beberapa peraturan perundangan antara lain, Undang-Undang No
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Presiden No 18 Tahun
2020 tentang RPJMN 2020-2024, serta Peraturan Presiden Nomor
72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). (Lihat
Gambar 3.2)

Gambar 3.2.
Kedudukan
Pembiayaan
Kesehatan
dalam Peraturan
Perundangan

Undang Undang No.


36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.

Peraturan Presiden No.


18 Tahun 2020 Tentang
RPJMN 2020-2024.

Peraturan Presiden No. 72


Tahun 2012 Tentang Sistem
Kesehatan Nasional.

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 41


UU Kesehatan secara tegas menjelaskan bahwa tujuan pembangunan
kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat sebagai salah satu investasi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosisal dan ekonomi.
Dalam mengejawantahkan tujuan tersebut dalam suatu strategi
konkret, Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang RPJMN merumuskan
beberapa strategi, khususnya pada Strategi 3 tentang peningkatan
Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan


Nasional secara prinsip berisi beberapa subsistem utama terkait
dalam kerangka sistem kesehatan secara umum. Salah satunya
adalah subsistem Pembiayaan Kesehatan. Pada subsistem ini
termaktub demarkasi yang jelas antara fungsi pembiayaan untuk
barang publik dan barang privat. Pembiayaan pelayanan kesehatan
masyarakat yang merupakan barang publik menjadi tanggung
jawab pemerintah, sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan
perorangan bersifat privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat
miskin dan tidak mampu menjadi tanggug jawab pemerintah.

Sejalan dengan Pilar Jaminan Sosial pada Gambar 3.1, pilar Asuransi
Sosial bekerja dengan kontribusi iuran aktif dari masyarakat,
sedangkan iuran masyarakat tidak mampu ditanggung atau
dibayarkan oleh pemerintah. Hal ini secara tidak langsung
menggambarkan kedudukan skema asuransi kesehatan dalam
kerangka sistem kesehatan secara umum, terutama terkait dengan
skema pembiayaan kesehatan. Di sisi lain, pembiayaan kesehatan
yang bukan bersifat personal, seperti program fogging dan
perbaikan sanitasi, menjadi bagian dari pembiayaan pemerintah,
baik pada tingkat pusat maupun daerah.

Pasal 22 Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem


Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa paket manfaat
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bersifat komprehensif dari
layanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif, tetapi dalam
konteks perorangan. Jadi, segala upaya kesehatan yang bersifat
komunitas atau Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) secara prinsip
bukan merupakan domain dari skema Asuransi Sosial, melainkan
cakupan program pemerintah.

Gambar 3.3.
Peran Cakupan
Jaminan
Kesehatan dalam
Pencapaian Target
Pembangunan
Kesehatan

Undang Undang No. 40


Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial.

42 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Universal Health Coverage (UHC) merupakan parameter penting
dalam sistem kesehatan, tetapi secara prinsip bukan merupakan
tujuan akhir dari suatu pembangunan kesehatan. Seperti
dideskripsikan pada Gambar 3.3, input dalam proses pembangunan
kesehatan adalah beberapa komponen dalam Sistem Kesehatan
Nasional dengan target yang dicapai adalah pemenuhan hak dasar
kesehatan, peningkatan iuaran (outcome) kesehatan, perlindungan
sosial dan finansial, serta peningkatan efisiensi. Peran cakupan
jaminan dalam hal ini berfungsi sebagai katalisator atau pemercepat
mesin sistem kesehatan yang terdiri dari beberapa subsistem
utama yang dapat digerakkan dengan lebih efisien dan efektif.

Gambar 3.4.
Pilar Universal
Health
Coverage
(UHC).

WHO. (2016). Sustainable


Development Goals (SDGs)
Point 3.8 that Aims to
Achieve Universal Health
Coverage, Including
Financial Risk Protection,
Access to Quality Essential
Health Care Services, and
Access to Safe, Effective,
Quality, and Affordable
Essential Medicines
and Vaccines for All.
https://iris.wpro.who.int/
handle/10665.1/12880
WHO mendefinisikan bahwa Universal Health Coverage (UHC)
adalah visi dengan semua orang dan komunitas memiliki akses
terhadap layanan kesehatan yang berkualitas di mana pun dan
kapan pun mereka membutuhkannya, tanpa mengalami kesulitan
finansial. Hal ini termasuk spektrum utuh layanan kesehatan yang
dibutuhkan sepanjang hidup dari promosi kesehatan hingga
pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan perawatan paliatif yang
terbaik didasarkan pada sistem perawatan kesehatan primer yang
kuat. Berdasarkan definisi tersebut secara implisit dinyatakan
bahwa Universal Health Coverage mengandung komponen yang
kompleks dalam menjamin akses layanan Kesehatan, tidak terbatas
pada upaya kesehatan perorangan.

Gambar 3.4. menunjukkan dua fungsi utama dalam kerangka


Universal Health Coverage. Pertama menjamin perlindungan
sosial atas akses layanan kesehatan. Kedua menjamin aksesibilitas
masyarakat terhadap layanan esensial yang aman, berkualitas,
terjangkau, termasuk vaksin. Secara kelembagaan dalam konteks
peraturan perundangan di Indonesia, fungsi untuk penjaminan
perlindungan finansial (financial protection) tercakup dalam tugas
pokok BPJS Kesehatan melalui implementasi program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Sementara itu, fungsi untuk menjamin
akses terhadap layanan kesehatan, termasuk berbagai upaya untuk

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 43


menurunkan risiko kesakitan (health risk reduction), merupakan
bagian dari peran pokok pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dengan demikian, prinsip Universal Health Coverage (UHC) tidak
terbatas pada program JKN, tetapi juga jaminan untuk menurunkan
risiko sakit yang merupakan domain dari pemerintah.

3.2.2. Kontribusi Program Jaminan Kesehatan Nasional


Terhadap Perbaikan Indikator Kesehatan

Dalam rangka mengukur kontribusi Jaminan Kesehatan Nasional


atau skema Asuransi Sosial terhadap indikator kesehatan, subbab
ini akan menekankan telaah kasus yang terdiri dari lima dimensi
utama, antara lain cakupan kepesertaan, pertumbuhan fasilitas
kesehatan, akses peserta terhadap layanan kesehatan, konsumsi
layanan kesehatan, dan pembiayaan.

3.2.2.1. Cakupan Kepesertaan

Dimensi kepesertaan merupakan proksi yang sering kali digunakan


secara praktik untuk menilai seberapa komprehensif program
jaminan kesehatan yang dikelola sudah menjangkau target sasaran,
yaitu seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 3.5.
Tren Cakupan
Kepesertaan JKN
2014-2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

Buku Statistik JKN 2014-2018 menunjukkan bahwa secara umum


terjadi peningkatan kepesertaan JKN di semua segmen. Secara
spesifik, pertumbuhan segmen Penerima Bantuan Iuaran (PBI)
APBD dan Pekerja Bukan Penerima Upah/PBPU (sektor informal)
telah meningkat sekitar 240% dan 242% dari tahun 2014 hingga
2018, sedangkan keanggotaan Pekerja Penerima Upah/PPU (sektor
formal) sekitar 105% untuk periode lima tahun (Statistik JKN 2014-
2018, 2020).

44 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


3.2.2.2. Fasilitas Kesehatan

Parameter kedua yang menjadi tolak ukur adalah bagaimana


skema Jaminan atau Asuransi Kesehatan Sosial dapat mendorong
pertumbuhan fasilitas kesehatan, baik pada tingkat layanan primer
maupun rujukan (rumah sakit).

Gambar 3.6.
Tren Pertumbuhan
Fasilitas Kesehatan
Primer dan
Rujukan 2014-2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

Gambar 3.6. menunjukkan bahwa fasilitas kesehatan swasta


(Dokter Praktik Perorangan, Klinik Pratama, dan Rumah Sakit)
secara umum meningkat secara konsisten selama lima tahun
terakhir penyelenggaraan program JKN. Hal ini secara implisit
menyiratkan peran penting sektor swasta dalam kerangka
Sistem Kesehatan Nasional, khususnya konteks penyelenggaraan
program Jaminan Kesehatan. Pertumbuhan fasilitas kesehatan ini
menjadi proksi penting yang perlu diperhatikan untuk menjamin
bahwa permintaan layanan kesehatan dapat terbentuk karena
kemampuan membayar (melalui skema pembiayaan JKN). Tanpa
adanya ketersediaan sisi suplai, permintaan tidak akan mampu
didorong.

3.2.2.3. Akses

Akses terhadap layanan kesehatan merupakan faktor yang penting


dalam menilai fungsi negara untuk menjamin hak asasi kebutuhan
dasar kesehatan.

Gambar 3.7.
Tren Peningkatan
Akses Layanan
Kesehatan 2014-
2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 45


Gambar 3.7. secara keseluruhan menunjukkan terjadi peningkatan
akses orang (peserta) yang signifikan untuk layanan kesehatan dari
2014 hingga 2018 di semua jenis layanan dan kelompok kepesertaan.
Meskipun tampaknya total akses orang ke fasilitas kesehatan
didominasi oleh mereka yang terdaftar di keanggotaan kelas 1,
fakta menunjukkan bahwa peningkatan akses yang signifikan
ditemukan di antara mereka yang berada di keanggotaan kelas
ketiga, baik dalam kasus perawatan primer dan rumah sakit.

3.2.2.4. Konsumsi

Aspek lain yang menjadi tolak ukur seberapa tinggi pemanfaatan


layanan kesehatan dari peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah
angka konsumsi layanan dari tahun ke tahun pada setiap kelompok
tingkat pendapatan atau regional.

Gambar 3.8.
Tren Peningkatan
Konsumsi Layanan
Kesehatan 2014-
2018

Dewan Jaminan Sosial


Nasional. (2020). Statistik
JKN 2014-2018. Jakarta.

Jika dilihat sepintas, konsumsi total layanan kesehatan tampak


dominan di Pulau Jawa dan beberapa provinsi dengan kapasitas
fiskal yang lebih tinggi atau populasi padat. Namun jika ditinjau lebih
detail, pertumbuhan konsumsi dari tahun ke tahun mengungkapkan
fakta lain. Secara keseluruhan, keberadaan JKN telah berdampak
pada peningkatan konsumsi perawatan rawat jalan primer lebih dari
dua kali lipat di hampir seluruh provinsi di Indonesia dalam jangka
waktu lima tahun. Lebih jauh lagi, tren peningkatan pemanfaatan
di bagian Timur Indonesia (misalnya Papua dan Maluku) meningkat
lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan status awal pada 2014.

3.2.2.5. Pembiayaan Kesehatan

Sebagaimana fungsi utama dari Universal Health Coverage


dalam menciptakan perlindungan finansial bagi rakyat Indonesia,
pengeluaran out of pocket dari pasien sering kali digunakan pada
tingkat global sebagai komparasi sejauh mana skema jaminan
sosial yang diselenggarakan mampu menurunkan pengeluaran
mandiri dari masyarakat atas akses layanan Kesehatan.

46 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 3.9.
Tren Pembiayaan
Program Jaminan
Kesehatan 2014-
2018

National Health Account.


(2018) Kementerian
Kesehatan.

Gambar 3.9. secara prinsip menunjukkan bahwa share pembiayaan


domestik khususnya BPJS Kesehatan dalam program Jaminan
Kesehatan mengalami peningkatan yang konsisten dari tahun
ke tahun selama lima tahun penyelenggaraan program JKN.
Sebaliknya, pengeluaran mandiri masyarakat cenderung menurun
cukup signifikan, yaitu sekitar 10% dalam lima tahun terakhir. Hal
ini menjadi salah satu tolak ukur penting dalam mewujudkan
fungsi Universal Health Coverage, terutama dalam menjamin
perlindungan finansial masyarakat terhadap akses layanan
Kesehatan.

3.3. Penutup

Secara umum Bab ini mengejawantahkan kaitan prinsip dasar


asuransi sebagai salah satu instrumen dalam pembiayaan kesehatan,
terutama dalam pembiayaan kesehatan Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP). Hal ini secara lugas disampaikan pada Perpres
No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional dengan
pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan
barang publik menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan
untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat
privat, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu menjadi tanggug jawab pemerintah.

Dalam praktiknya mandat dari peraturan perundangan yang


ada, termasuk UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN, UU No. 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, hingga Perpres No. 72 Tahun
2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional diterjemahkan melalui
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Semangat utama dalam implementasi program ini antara lain
terkait dengan salah satu fungsi Universal Health Coverage (UHC),
khususnya dalam menjamin perlindungan sosial masyarakat atas
layanan kesehatan.

KON SEP ASURA N SI SEBAGA I BAGIA N PEMBIAYA A N KESEHATA N 47


Peran program Peran program JKN dalam sistem kesehatan khususnya berfungsi
JKN dalam sebagai salah satu instrumen pembiayaan kesehatan. Dalam
sistem kesehatan bab ini ditinjau dari beberapa aspek penting, antara lain cakupan
khususnya kepesertaan, fasilitas Kesehatan, akses, konsumsi, dan pembiayaan.
berfungsi Secara umum, penyelenggaraan program JKN selama lima tahun
sebagai salah telah mendorong banyak reformasi positif terutama meningkatkan
satu instrumen akses masyarakat terhadap layanan kesehatan serta penurunan
pembiayaan pengeluaran mandiri masyarakat saat mengakses layanan.
kesehatan.

Daftar Pustaka

Dewan Jaminan Sosial Nasional. (2020). Buku Statistik JKN 2014-


2018. Jakarta: author.

National Health Account. (2018) Kementerian Kesehatan.

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 Tentang RPJMN 2020-2024.

Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 Tentang Sistem


Kesehatan Nasional.

Rejda, George. E., and M. J. Mc.Namara. (2011). Principles of Risk


Management and Insurance: Twentieth Edition. London:
Pearson

Stempel, Jeffrey W. (2012). Principles of Insurance Law, Fourth


Edition. Carolina: Academic Press.

Thabrany, H. (2001). Asuransi Kesehatan di Indonesia. Depok:


Universitas Indonesia.

Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Asuransi.

Undang Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan


Sosial.

Vaughan, Emmett J., & Therese M. Vaughan. (2003). Fundamentals


of Risk and Insurance. Pennsylvania: Wiley.

48 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Ekuitas
dalam
BAB
4 Kesehatan
Giovanni van Empel

4.1. Pengantar

Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Sebagai salah


oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) yang satu komponen
efektif per Januari 2014 memasuki usia pelaksanaan yang ketujuh dalam Sistem
tahun. Sebagai salah satu komponen dalam Sistem Kesehatan Kesehatan
Nasional (SKN), JKN merupakan instrumen yang penting dalam Nasional, JKN
menjamin kejadian bencana finansial (financial catastrophic) merupakan
ketika individu jatuh sakit. Praktis, sejak ada JKN lebih dari 80% instrumen yang
populasi Indonesia memiliki akses terhadap paket manfaat JKN. penting dalam
Perluasan skema JKN tidak lagi hanya melingkupi masyarakat yang menjamin
diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin dan segenap pekerja kejadian bencana
formal yang tergabung di pemerintahan dan swasta, tetapi juga finansial ketika
mayoritas pekerja sektor informal (Wiseman et al, 2018). individu jatuh
sakit.
Sebagai salah satu instrumen kebijakan yang menyasar sisi
permintaan, JKN berusaha untuk mencapai tujuan terselenggaranya
Sistem Kesehatan Nasional, yaitu meningkatkan status kesehatan
masyarakat. Dengan menghilangkan halangan finansial (financial
barrier), individu dapat mengakses dan menggunakan layanan
masyarakat yang diberikan oleh pusat layanan kesehatan
setempat. Namun demikian, status perkembangan tujuan SKN
lainnya masih perlu banyak dikaji, misalnya dalam menjamin
keadilan dalam kontribusi pembiayaan (Pisani, Kok, dan Nugroho,
2017).

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 49


Selain itu, komponen SKN tentu tidak hanya terbatas pada
pembiayaan. Ada komponen tenaga kesehatan, suplai teknologi
kesehatan, serta kualitas layanan yang perlu dilihat status
perkembangannya dari lensa keadilan.

Bab ini akan bertujuan untuk memberikan snapshot terkait konsep


ekuitas kesehatan (health equity), memaparkan konsep ekuitas,
serta memberikan perkembangan kajian empiris mengenai isu
ini di Indonesia. Beberapa bukti empiris akan mencakup faktor
penawaran (provider) dan juga permintaan (pasien atau individu).
Bab ini bukan bermaksud untuk menjadi referensi komprehensif ,
melainkan memberikan catatan kaki berisi referensi bagi pembaca
yang tertarik untuk membaca isu ini lebih dalam.

Bab ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama akan membahas
latar belakang dari isu ekuitas kesehatan. Bagian kedua akan
membahas konsep ekuitas serta mendiskusikan beberapa isu
mengenai konsep akses dan kebutuhan. Bagian ketiga akan
memaparkan kajian empiris yang sudah dilakukan oleh peneliti.

4.2. Latar Belakang

Pertimbangan dunia untuk fokus pada isu ketimpangan


merupakan proses alamiah saat ekspansi akses terhadap layanan
kesehatan, melalui kebijakan UHC yang diimplementasikan di
berbagai negara. Kebijakan UHC merupakan salah satu kemajuan
terbesar yang dicapai oleh dunia melalui konsensus tingkat tinggi.
Halangan finansial dalam mengakses layanan kesehatan praktis
menjadi minimal, bahkan nol kalau kita lihat dari perspektif biaya
langsung. Namun demikian, persoalan sistem kesehatan tidak
hanya tantangan halangan finansial (Kutzin, 2013).

Gambar 4.1.
Kerangka Sistem
Kesehatan WHO
(2007)

World Health Organization.


(2000). The World Health
Report 2000: Health
Systems. Improving
Performance. World
Health Organization.

Dalam pembiayaan kesehatan, perluasan akses melalui kebijakan


asuransi kesehatan publik bertujuan mendorong individu untuk
menggunakan layanan kesehatan yang dibutuhkan (demand side
policy). Namun, kepemilikan asuransi tidak otomatis membuat

50 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


pemiliknya menggunakan layanan yang tersedia, misalnya karena
ada persoalan preferensi terhadap risiko.

Sekelompok masyarakat tertentu dapat saja berkeyakinan bahwa


pergi ke puskesmas adalah hal berisiko dan tidak bermanfaat.
Pada kasus lain, sekelompok masyarakat di suatu daerah perlu
mengalokasikan waktu lima jam hanya untuk satu kali jalan
berkunjung ke fasilitas kesehatan terdekat. Selain itu, para pekerja
sektor informal dengan penghasilan harian menghadapi dilema
untuk memutuskan apakah dia akan memeriksakan kesehatannya
atau pergi bekerja untuk memenuhi kebutuhannya hari itu.

Adalah benar tersedianya asuransi kesehatan mengurangi Sistem kesehatan


kemungkinan untuk terjadinya bencana finansial (financial tidak hanya
catastrophic) bagi pemiliknya saat jatuh sakit (Erlangga, Suhrcke, bertujuan
et al., 2019; Mills et al., 2012; Puteh & Almualm, 2017; Xu et al., 2007). melindungi
Namun, sistem kesehatan tidak hanya bertujuan melindungi seseorang dari
seseorang dari bencana finansial, melainkan juga bertujuan untuk bencana finansial,
pembangunan kesehatan (World Health Organization, 2000). melainkan juga
bertujuan untuk
Variasi situasi yang terjadi di setiap negara, termasuk Indonesia, pembangunan
membuat tantangan sistem kesehatan tidak hanya bisa diselesaikan kesehatan.
dengan kebijakan ekspansi akses layanan kesehatan melalui
penyediaan asuransi kesehatan (Jacobs et al., 2012). Persoalan
struktural, seperti keterjangkauan akses, kualitas layanan yang
berbeda antar-fasilitas kesehatan di seluruh daerah, serta preferensi
individual, menyebabkan persoalan ketimpangan kesehatan
(health inequity).

Untuk memahami lebih mengenai ketimpangan dalam kesehatan,


kita perlu membahas beberapa konsep penting yang melahirkan
kajian ketimpangan dalam kesehatan. Konsep-konsep ini terkait
erat dengan konteks, mengalami proses dialektika, lalu mendorong
berbagai kajian empiris.

4.3. Konsep Ekuitas

Variasi definisi dari ekuitas dalam pelayanan kesehatan (equity


in health care) telah banyak diusulkan. Pada saat awal konsep
ekuitas diperbincangkan di kalangan ilmuwan, ekuitas merujuk
pada kesamaan pengeluaran (kesehatan) per kapita (equality of
expenditure per capita). Definisi ini menekankan formula alokasi
dana yang digunakan oleh suatu negara. Namun, pengertian ini
tidak memperhatikan konsep “kebutuhan” (Culyer & Wagstaff, 1993).

Definisi kedua adalah “distribusi atau alokasi (layanan kesehatan)


berdasarkan kebutuhan”. Namun, pada awalnya definisi ini tidak
menemukan konsensus terhadap apa yang dimaksud sebagai
“kebutuhan”. Definisi ketiga adalah “kesetaraan dalam kesehatan”
(equality of health) dan definisi keempat adalah “kesetaraan dalam

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 51


akses”. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan
akses.

4.3.1. Definisi Kebutuhan

Berdasarkan variasi definisi pada literatur, Culyer dan Wagstaff (1993)


menyimpulkan definisi “kebutuhan” yang lebih tepat sebagai “Seluruh
pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan peningkatan
kesehatan secara maksimal. Dengan kata lain, seluruh pengeluaran
yang diperlukan untuk mengurangi kapasitas individu untuk
menerima manfaat (dari layanan kesehatan) menjadi nol (tidak ada).”

Pembuat Dalam beberapa dokumen kebijakan, perspektif yang dipilih adalah


kebijakan standar kebutuhan minimal. Pembuat kebijakan kesehatan di
kesehatan di berbagai negara di awal 1970—saat munculnya konsep Managed
berbagai negara Care—melihat perlunya usaha untuk mengontrol pengeluaran
di awal 1970 kesehatan. Perspektif ini secara implisit menilai bahwa masyarakat
melihat perlunya telah mendapat layanan kesehatan melebihi yang diperlukan.
usaha untuk
mengontrol Hal yang luput dari pandangan ini adalah bahwa kebutuhan perlu
pengeluaran dilihat dari produksi output layanan kesehatan dan kepada siapa
kesehatan. alokasi ini diberikan. Karena dalam konteks kebijakan publik secara
umum, kebutuhan perlu dilihat sebagai preferensi keinginan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Definisi kebutuhan ini secara ekstensif dibahas oleh Norman Daniel,


Profesor Filsafat Kesehatan di Universitas Harvard. Daniel (1985)
berpandangan pendekatan dalam definisi kebutuhan layanan
kesehatan perlu mempertimbangkan hal berikut:
1. Layanan kesehatan bersifat khusus. Pandangan ini membedakan
layanan kesehatan dengan tujuan lainnya. Hal ini memungkinkan
untuk melihat layanan kesehatan sebagai hal utama dalam
usaha untuk mengembalikan kesetaraan peluang (fair equality
of opportunity) dalam kegiatan produksi ekonomi, misalnya.
2. Fungsi unik dari spesies manusia. Layanan kesehatan diperlukan
agar seseorang menjadi sehat. Tubuh sehat atau tanpa penyakit
memungkinkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang unik yang
berkaitan dengan jati diri spesies manusia.
3. Kesetaraan dalam peluang (fair equality of opportunity). Hal ini
merujuk pada bahwa meskipun masyarakat terdiri dari individu
yang memiliki kebutuhan, preferensi, hingga kemampuan yang
berbeda, setiap individu patut mendapatkan peluang yang sama
untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.

Perdebatan mengenai definisi kebutuhan berimplikasi pada


cara pandang filosofis terhadap kesehatan. Kritik dari perspektif
ekonomi misalnya:
1. Jurang tidak berujung. Jika tujuan kebijakan adalah
memaksimalkan status kesehatan, hal ini memungkinkan
sekelompok pasien pada kondisi tertentu mendapatkan

52 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


berbagai macam input layanan kesehatan. Sebagian dari
layanan kesehatan ini sayangnya tidak selalu berdampak
pada peningkatan status kesehatan sehingga menyebabkan
inefisiensi.
2. Kebutuhan perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya.
Tujuan masyarakat untuk memperbaiki status kesehatan perlu
mempertimbangkan biaya dan harga untuk memproduksi layanan
kesehatan. Seperti jenis barang lainnya, kesehatan juga mengalami
penurunan manfaat marginal. Ketika mempertimbangkan
kemanfaatan dari setiap Rupiah yang dikeluarkan, masyarakat
perlu menimbang hal lain yang dapat memberikan manfaat
untuk kesehatan yang lebih besar dan mengalokasikan dananya
untuk hal tersebut, misalnya penguatan edukasi untuk kesehatan
(melalui kurikulum pendidikan).
3. Kebutuhan yang dianggap monoton. Ketika analisis kebutuhan
didefinisikan dalam terminologi sumber daya yang dibutuhkan
per kapita (needed health resources per capita), secara implisit ada
asumsi yang tidak tepat yang mengatakan bahwa satu-satunya
cara untuk meningkatkan status kesehatan adalah dengan
meningkatkan layanan kesehatan (frekuensi dan intensitas).
Padahal, ada hal-hal lain yang sebenarnya dapat dilakukan untuk
meningkatkan kesehatan seseorang, misalnya dengan cara
memperbaiki pola makan serta berolahraga secara rutin.

Secara praktis informasi mengenai kebutuhan didasarkan pada


penggunaan data sebagai proksi untuk mengestimasi seberapa Secara praktis
besar kebutuhan suatu negara atau daerah dalam mengalokasikan informasi
sumber dayanya. Proksi yang digunakan antara lain adalah indikator mengenai
mortalitas, morbiditas, dan dalam kasus lain seperti status sosio- kebutuhan
ekonomi individu. Pola penggunaan layanan kesehatan dapat didasarkan pada
dilihat secara retrospektif dari indikator tersebut. Perbedaan pola penggunaan
penggunaan layanan kesehatan karena status sosio-ekonomi data sebagai
misalnya dianggap sebagai sinyal terjadinya ketimpangan. proksi untuk
Meskipun demikian, masih terjadi perdebatan apakah pola mengestimasi
penggunaan layanan kesehatan dapat menangkap “kebutuhan” seberapa besar
individu secara utuh. kebutuhan suatu
negara atau
Perbedaan cara pandang ini setidaknya menyimpulkan dua faktor daerah dalam
yang penting dalam mendefinisikan kata “kebutuhan” (Oliver dan mengalokasikan
Mossialos, 2004). Pertama, status kesehatan seseorang sebelum sumber dayanya.
mendapat layanan kesehatan. Ini merupakan pandangan yang
umum diterima oleh praktisi medis. Kedua, kapasitas individu
untuk mendapatkan manfaat dari layanan kesehatan. Dengan kata
lain, jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
manfaat yang setinggi-tingginya yang mendefinisikan besar atau
kecilnya kebutuhan seseorang. Pandangan ini lazim dianut oleh
ekonom kesehatan.

Hal yang menarik adalah kedua pandangan ini selain sama


pentingnya, juga dalam berbagai kesempatan dapat saling
bergesekan. Contohnya, penderita penyakit terminal dengan

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 53


kondisi buruk, seperti kanker pankreas stadium lanjut, bisa saja
tidak menerima terapi efektif yang mampu memberikan manfaat,
misalnya untuk memperpanjang usia. Kasus-kasus seperti ini
menekankan pentingnya aspek ekuitas pada studi-studi evaluasi
teknologi kesehatan. Hal ini kemudian membuat pengambilan
keputusan dapat menentukan apakah teknologi kesehatan akan
diadopsi atau tidak penting untuk dipertimbangkan.

4.3.2. Definisi Akses

Menurut Mooney (1983) dan Le Grand (2018), akses perlu dilihat


dalam aspek biaya yang dikeluarkan individu ketika mendapatkan
layanan kesehatan. Implikasi dari interpretasi ini adalah tidak semua
orang mengeluarkan biaya yang sama. Sebagai contoh, kelompok
berpenghasilan menengah ke bawah akan mengeluarkan
biaya yang relatif lebih banyak dibandingkan kelompok yang
berpenghasilan menengah ke atas.
Definisi akses
terhadap layanan Culyer dan Wagstaff (1993) menginterpretasikan akses dengan lebih
kesehatan sederhana sebagai “Kesetaraan dalam akses layanan kesehatan
secara hati-hati memerlukan kondisi dengan jumlah maksimal konsumsi layanan
didefinisikan kesehatan yang sama untuk semua individ (Equal Access for Equal
sebagai Need)”. Definisi akses terhadap layanan kesehatan secara hati-
kemampuan hati didefinisikan sebagai kemampuan untuk mendapatkan paket
untuk layanan kesehatan dengan kualitas tertentu, dengan menimbang
mendapatkan kemampuan finansial individu.
paket layanan
kesehatan Rentang paket serta standar layanan menuntut pengambil
dengan kualitas kebijakan untuk menilai akses secara utuh, baik level nasional
tertentu, dengan (agregat) maupun regional atau daerah dengan karakteristik yang
menimbang melekat padanya. Perbedaan akses antardaerah tidak terhindarkan
kemampuan dan menjadi penting untuk selalu melakukan penilaian dan evaluasi
finansial individu terhadap variasi akses (Jacobs et al., 2012).
serta memproses
informasi 4.3.2.1. Equity Versus Equality
kesehatan.
Pertanyaannya apakah ekuitas (equity) sama dengan equality? Kedua
konsep tersebut perlu dibedakan. Kesetaraan (equality) mengacu
pada kuantitas yang dapat diukur secara objektif. Contoh dari equality
adalah ketika dua ibu rumah tangga dengan usia yang sama, Wati
dan Rumi, dirawat di suatu rumah sakit, mendapatkan layanan yang
sama persis, dari pemeriksaan fisik, uji laboratorium, pemeriksaan
penunjang, hingga tindakan lanjutan. Layanan kesehatan tersebut
dapat diukur secara objektif dan tidak sedikit pun perbedaan dalam
jumlahnya, misalnya kunjungan dokter dan frekuensi terapi.

Sebaliknya, ekuitas merujuk pada konsep normatif, yaitu kondisi


tidak terdapatnya kesetaraan yang disebabkan oleh hal yang dapat
dihindari. Secara konseptual, ekuitas tidak selalu berarti kesetaraan
(equality). Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 4.2.

54 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 4.2.
Ilustrasi Equality
vs Equity

Interaction Institute for


Social Change | Artist:
Angus Maguire. https://
interactioninstitute.org/
illustrating-equality-vs-
equity/

4.3.3. Vertical vs Horizontal Inequity

Variasi kondisi kesehatan antar-individu secara alamiah akan terjadi.


Banyak kondisi menyebabkan suatu perbedaan. Namun, perlu
diketahui apakah perbedaan status kesehatan terjadi karena faktor
yang dapat dihindari (unwarranted variation) atau tidak dapat
dihindari (warranted variation). Salah satu faktor yang tidak dapat
dihindari adalah predisposisi genetik, misalnya kecenderungan
seseorang untuk menderita diabetes. Faktor lainnya adalah responsif
atau tidaknya seseorang terhadap terapi. Selain cenderung untuk
menderita sakit, setiap individu memiliki kecenderungan yang
berbeda dalam merespons terapi.

Faktor-faktor yang dianggap bisa dihindari adalah apabila intensitas


pemberian terapi dalam satu episode rawat inap berbeda karena
jenis kelamin, usia (pada konteks tertentu dapat menjadi faktor yang
tidak dapat dihindari), etnis, pendapatan, status sosio-ekonomi,
dan jenis asuransi. Jika terjadi perbedaan tersebut, hal ini disebut
sebagai horizontal inequity. Horizontal equity1 mensyaratkan equal
treatment of equal needs. Pelayanan harus sama terhadap mereka
yang kebutuhannya sama.

Di sisi lain karena kebutuhan antarindividu bisa berbeda, misalnya


tergantung pada keparahan penyakit, pelayanan sangat mungkin
diberikan sesuai kebutuhan. Vertical inequity terjadi pada konteks
ini, tetapi ketimpangan ini didasarkan oleh faktor-faktor yang dapat
diterima (karena perbedaan kebutuhan).

1 Pembaca yang menginginkan bahasan yang lebih teknis dan menyeluruh serta ingin
mendalami teknik analisis dengan data rumah tangga silakan merujuk ke O. O’Donnell,
Van Doorslaer, E., Wagstaff, A., & Lindelow, M. (2007). Analyzing Health Equity Using
Household Survey Data: A Guide to Techniques and Their Implementation. The World
Bank.

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 55


Gambar 4.3.
Kurva Konsentrasi
Hipotetikal

Asante, A., Price, J., Hayen,


A., Jan, S., & Wiseman, V.
(2016). Equityin Health
Care Financing in Low-
and Middle-Income
Countries: A Systematic
Review of Evidence from
Studies Using Benefit
and Financing Incidence
Analyses. PloS One, 11(4),
e0152866.

4.3.4. Faktor yang Berdampak pada Equal Access for


Equal Need

Untuk itu, terdapat berbagai faktor yang memengaruhi akses


terhadap layanan kesehatan. Faktor-faktor ini memiliki dampak
berbeda kepada kelompok. Setidaknya secara garis besar, ada dua
faktor yang dapat kita telusuri lebih lanjut.

Pertama, faktor penawaran, misalnya letak dan lokasi geografis


setiap individu terhadap pusat layanan kesehatan. Tentu ada variasi
jarak yang tidak sama dan perbedaan ini dapat diterima melalui
berbagai pertimbangan. Karena dalam konteks layanan kesehatan,
layanan spesialistik misalnya sulit dibayangkan dapat tersedia
secara merata di seluruh area geografis (Mulyanto et al., 2018, 2019).

Kebijakan tersedianya layanan standar perlu dipastikan dalam


norma minimal yang disepakati bersama. Untuk itu, beberapa
hal ini perlu diperhatikan dalam alokasi sumber daya kesehatan.
Pertama, distribusi terjadi berdasarkan ukuran populasi, input
biaya, kebutuhan layanan kesehatan, dan distribusi kelompok
sosio-ekonomi populasi di suatu daerah (Asante et al., 2016). Hal-hal
tersebut penting untuk menjadi indikator tambahan, selain riwayat
utilisasi layanan kesehatan di suatu daerah. Kedua, kebijakan
afirmatif juga diperlukan untuk melakukan identifikasi daerah yang

56 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


relatif timpang, terutama dalam menyoal kapasitas yang terbatas
di daerah yang dianggap tertinggal (Jacobs et al., 2012). Adanya
kebijakan afirmatif penting untuk menjaga layanan kesehatan di
daerah berjalan dengan baik.

Faktor kedua adalah permintaan (demand). Faktor utama yang


dapat menghalangi akses layanan kesehatan adalah faktor
finansial (Kim et al., 2017). Adanya biaya yang harus dikeluarkan
secara mandiri (out of pocket) dalam bentuk biaya (co-payment/co-
insurance/user charges) memiliki dampak disproporsional terhadap
kelompok dengan pendapatan rendah (Wagstaff, Flores, Hsu, et al.,
2018; Wagstaff, Flores, Smitz, et al., 2018; Wagstaff & van Doorslaer,
2000). Proporsi biaya yang harus dikeluarkan kelompok ini relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tinggi
meskipum secara absolut jumlah rupiah yang dikeluarkan sama.

Kelompok miskin cenderung menghindari pusat layanan kesehatan


dan penggunaan layanan kesehatan oleh kelompok ini menjadi
relatif lebih rendah. Ulasan sistematis yang dilakukan oleh Qin et
al (2019) memperlihatkan dampak negatif iur biaya. Hampir semua
negara dan konteks yang menerapkan iur biaya menunjukkan pola
penurunan frekuensi penggunaan layanan kesehatan yang seragam.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap akses adalah Faktor lainnya
informasi, pengetahuan, kepercayaan, budaya lokal, serta biaya yang juga
tidak langsung, seperti biaya perjalanan. Kelompok pekerja di sektor berpengaruh
informal dengan penghasilan harian harus menimbang-nimbang terhadap akses
untuk melakukan kunjungan ke rumah sakit atau puskesmas adalah informasi,
atau tidak. Karena ketika memilih berkunjung, ia harus merelakan pengetahuan,
pendapatannya hari itu. kepercayaan,
budaya lokal,
Beberapa studi (Mtei et al., 2012; Wagstaff, 2012) menunjukkan hal serta biaya tidak
tersebut meskipun biaya medis langsung sudah ditanggung oleh langsung, seperti
skema asuransi kesehatan sosial. Variasi dalam penggunaan layanan biaya perjalanan.
kesehatan hampir selalu ditemukan (Sharma et al., 2017), sehingga
perlu diidentifikasi untuk memastikan variasi kesenjangan dalam
penggunaan layanan kesehatan, misalnya karena pilihan sadar
individu.

Sebagai ilustrasi, anak kembar dengan pengetahuan, usia, dan


pendapatan yang identik bisa memiliki preferensi kesehatan yang
berbeda. Contohnya sang kakak cenderung menghindari risiko
dibandingkan sang adik sehingga sang kakak memilih untuk
berkunjung ke rumah sakit untuk penyakit ringan (self limiting
disease). Perbedaan intensitas penggunaan ini bukan disebabkan
oleh faktor yang dapat dihindari.

Pembahasan konsep ekuitas secara natural akan mempertanyakan


beberapa hal berikut: apakah yang dikhawatirkan secara konseptual
terjadi; sejauh mana ketimpangan terjadi; dan apa saja yang membuat
ketimpangan semakin tajam. Pemahaman bukti empiris penting

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 57


untuk mengetahui situasi terkini, hal yang dapat dilakukan, dan
yang sebaiknya dihindari. Bukti empiris di bagian selanjutnya tidak
mencakup seluruh artikel ilmiah dalam kajian ekuitas di Indonesia,
tetapi hanya beberapa kajian pilihan dengan kualitas tinggi.

4.4. Bukti Empiris

Studi dampak JKN terhadap utilisasi dilakukan oleh Erlangga et.al


(2019). Kebijakan JKN menghilangkan sebagian tantangan finansial
bagi individu untuk mendapatkan akses layanan kesehatan. Studi yang
dilakukan menggunakan data panel Indonesian Family Life Survey
(IFLS) pada 2007 dan 2014. Kebijakan JKN menunjukkan peningkatan
probabilitas utilisasi kesehatan pada kedua kelompok yang disubsidi
pemerintah (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan kelompok sukarela
(non-PBI) sebesar 1,8% dan 8,2% untuk layanan rawat inap. Kelompok
sukarela mengalami peningkatan probabilitas menggunakan layanan
kesehatan rawat jalan sebesar 7,9%. Meskipun JKN menghilangkan
sebagian biaya, perbedaan probabilitas antara kedua kelompok ini
menunjukkan kelompok subsidi yang cenderung miskin memiliki
biaya tidak langsung yang lebih tinggi. Dengan demikian, potensi
ketimpangan masih tetap ada. Namun, JKN menjamin individu dari
kemungkinan pengeluaran biaya katastropik.

Gambar 4.4.
Kemudahan Akses
ke Rumah Sakit
Menurut Provinsi

Data Diolah dari Laporan


RISKESDAS (2018)

58 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Studi Mulyanto et al (2019) juga melihat inequality dalam utilisasi
layanan kesehatan. Berdasarkan data IFLS, studi ini juga melihat
lebih spesifik faktor-faktor yang memengaruhi variasi penggunaan
layanan kesehatan, dari layanan primer, layanan rawat jalan di
tingkat sekunder (rumah sakit), layanan rawat inap, hingga layanan
pencegahan penyakit kardiovaskular.

Hasil menunjukkan faktor pendidikan menjelaskan variasi


penggunaan layanan kesehatan ini. Misalnya, perbedaan pendidikan
menjelaskan penggunaan layanan rawat jalan di rumah sakit lebih
besar dibandingkan dengan penggunaan layanan di tingkat primer.
Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin
sering dia menggunakan layanan rawat jalan di rumah sakit.

4.4.1. Studi Morbiditas

Beberapa studi juga berusaha melihat pola socioeconomic Salah satu


inequalities dalam berbagai kondisi kesehatan. Salah satunya penyebab
adalah studi yang dilakukan Rizal dan van Doorslaer (2019) yang stunting adalah
bermaksud menilai dampak faktor ketidaksetaraan dalam kejadian faktor ekonomi,
stunting. Penyebab stunting adalah faktor ekonomi, media pola melalui media
konsumsi di rumah tangga, faktor pendidikan, dan juga lingkungan pola konsumsi
tempat tinggal. di rumah
tangga, faktor
Dengan data IFLS, mereka menemukan prevalensi stunting berat pendidikan, dan
(severe stunting) turun secara signifikan antara periode 2007 juga lingkungan
dan 2014, tetapi tidak untuk prevalensi stunting. Analisis yang tempat tinggal.
dilakukan juga melihatkan faktor akses (diukur dengan imunisasi
dan kelahiran di fasilitas kesehatan). Hal tersebut menjelaskan
ketimpangan prevalensi stunting antara kelompok kaya dan miskin
semakin kecil.

Hodge et al. (2014) menunjukkan penurunan angka kematian


anak di bawah lima tahun dan juga neonatus di level nasional.
Dengan data Indonesian Demographic and Health Surveys (IDHS),
studi ini melihat tren penurunan inequality angka kematian anak
di bawah lima tahun dan neonatus dari 1980 hingga 2011. Secara
umum, penurunan ini terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali. Ketika
membandingkannya dengan pulau non-Jawa/Bali, ketimpangan
prevalensi ini justru membesar. Hal ini menunjukkan faktor
penawaran patut diteliti lebih jauh.

Peran faktor penawaran dalam menjelaskan ketimpangan dapat


dilihat dari studi Nababan et al (2018) dalam menindaklanjuti
temuan Hodge et al (2014). Dengan data DHS dari 1991 hingga 2012,
studi ini melihat tren penggunaan layanan kesehatan maternal
di Indonesia. Kelahiran di pusat layanan kesehatan meningkat
dari 22% pada 1986 menjadi 73% pada 2012. Namun, ketimpangan
pengguna juga dapat terlihat. Probabilitas kelompok perempuan
terkaya (diukur dari aset dan distribusi kuantil) untuk melahirkan
di fasilitas kesehatan lima kali lebih tinggi dibandingkan kelompok

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 59


perempuan termiskin. Lebih lanjut, perempuan yang tinggal
di perkotaan memiliki probabilitas tiga kali lebih tinggi untuk
melahirkan di fasilitas kesehatan dibandingkan dengan kelompok
perempuan termiskin. Penggunaan layanan kesehatan ini
terkonsentrasi di pulau Jawa dan Bali.

4.4.2. Faktor Penawaran

Rokx et al (2010) menyebutkan investasi sektor kesehatan sejak 25


tahun terakhir relatif didominasi oleh sektor privat. Dari 1996 hingga
2007 relatif terjadi peningkatan jumlah dokter pada populasi secara
umum dan juga jumlah Puskesmas, tetapi tanpa adanya tenaga
dokter di fasilitas yang disebutkan terakhir. Hal ini karena dokter
paling banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan.

Gambar 4.5.
Tren Jumlah
Puskesmas

Diolah dari Presentasi


BPJS Kesehatan. (2018))

Studi Booth et al (2019) menunjukkan data Kementerian Kesehatan


pada 2018. Jumlah Posyandu (per 1 juta populasi) secara absolut
tidak memiliki banyak perbedaan, misalnya jumlah Posyandu di
Papua sebanyak 874 dan di Jawa dan Bali sebanyak 746. Namun,
Puskesmas di Jawa-Bali hanya berjumlah 24 per 1 juta populasi,
sedangkan Papua memiliki 560 Puskesmas per 1 juta populasi.
Rasio antara Puskesmas dan Posyandu di Papua dan Bali adalah
6,6:30,7. Nilai tersebut terlihat baik, tetapi ketika staf Puskesmas
hendak melakukan supervisi Posyandu, jarak antar-Posyandu
dengan waktu tempuh yang lama membuat proses supervisi tidak
bisa berjalan dengan baik.

60 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 4.6.
Proporsi
Puskesmas
Terhadap
Kecukupan SDM
Kesehatan

Diolah dari Pusdatin


Kementerian Kesehatan.
(2017)

Lebih lanjut, studi ini juga memperlihatkan dari 283.370 Posyandu


di Indonesia, hanya 61% yang tergolong dapat memberikan layanan
kepada masyarakat. Variasi cukup lebar juga ditemui, misalnya 99%
Posyandu tergolong aktif, sementara hanya 8% Posyandu di Maluku
yang tergolong aktif.

Bukti kajian empiris memperlihatkan ketimpangan kesehatan


di Indonesia mulai berkembang dan memiliki arti yang semakin
penting. Peran faktor supply dalam ketimpangan kesehatan masih
terbatas, misalnya belum ada studi yang melihat variasi kualitas
ketimpangan layanan kesehatan (secara objektif) . Selain itu, perlu
juga untuk melihat lagi evolusi dari temuan beberapa tahun yang
lalu. Untuk itu, kerja sama antara pembuat kebijakan dan akademisi
diperlukan untuk terus meneliti hal tersebut di Indonesia.

4.5. Penutup

Bab ini membahas secara singkat mengenai ekuitas dalam kesehatan.


Ketimpangan dalam kesehatan telah menjadi agenda global saat
ini. Bukti-bukti empiris mulai memperlihatkan seberapa inklusif dan
responsif sistem kesehatan di suatu negara. Dalam sudut pandang
ilmu ekonomi, ketimpangan adalah potensi terhadap inefisiensi
atau alokasi sumber daya yang tidak optimal. Ketimpangan juga
mengindikasikan disparitas dari apa yang dibutuhkan dengan apa
yang tersedia. Mengoreksinya membutuhkan perencanaan dan
kebijakan yang baik dari semua elemen, tidak hanya mendapatkan
titik optimal dalam alokasi sumber daya, tetapi juga berkenaan
dengan aspek etis dari ketimpangan itu sendiri.

EKUI TAS DA L A M KESEHATA N 61


Daftar Pustaka

62 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Kebijakan dan
Potret Pembiayaan
BAB
5 Kesehatan
Fitriana Yuliawati

5.1. Pengantar UHC memiliki


paling tidak
Kesehatan merupakan komponen penting untuk menentukan mencakup
kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Negara tiga dimensi,
berkepentingan agar seluruh warga negaranya sehat (health for all). yaitu cakupan
Hal tersebut membutuhkan kelembagaan untuk menuju Universal peserta, cakupan
Health Coverage (UHC). UHC adalah suatu sistem kesehatan pelayanan,
dengan setiap orang di dalam masyarakat memiliki akses yang dan cakupan
adil dan merata terhadap pelayanan kesehatan, baik pelayanan pembiayaan.
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu sesuai
dengan kebutuhan dan biaya dapat dijangkau (Bhisma, 2010).

Sistem pembiayaan kesehatan yang tepat merupakan salah satu


pendukung tercapainya UHC. UHC memiliki dua elemen utama,
yaitu akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu dan
perlindungan risiko finansial. Sistem pembiayaan kesehatan dalam
UHC dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pembayaran tunggal
(single payer), pembayaran ganda (two-tier/dual health care
system), dan sistem mandat asuransi (WHO, 2005).

Pembiayaan kesehatan sungguh tidak bisa disepelekan. Jika tidak


dilakukan dengan benar, hal tersebut bisa berdampak terhadap
sektor industri dan sektor ekonomi. Salah satu contoh, di masa
pemerintahan Bill Clinton, Amerika Serikat pernah mengalami
kekeliuran dalam penghitungan pembiayaan kesehatan dalam

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 65


upaya mewujudkan Health Care Reform. Saat itu, pemerintah
Amerika Serikat berupaya melakukan perbaikan terhadap tingginya
biaya kesehatan yang berdampak pada anjloknya dunia industri.
Industri mobil di Amerika kalah bersaing dengan Jepang karena
harga per unitnya bisa mencapai dua kali lebih mahal daripada
Jepang (Trisnantoro, 2014). Dengan demikian, kesehatan bukan
hanya merupakan hak dari warga negara, melainkan investasi yang
menentukan pertumbuhan perekonomian suatu negara.

5.2. Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara Lain

World Bank (2019) menyebutkan tiga pilar utama yang harus


dikedepankan dalam pembiayaan Kesehatan, yaitu kecukupan
(sufficiency), pengalokasian anggaran yang efisien dan efektif
(efficiency and effectiveness), dan pembiayaan kesehatan yang
keberlanjutan (sustainability). Sistem pembiayaan kesehatan sangat
bervariasi di tiap negara. Hal ini bergantung pada bagaimana
kemampuan pemerintah menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
dan asuransi kesehatan di negaranya.

Selain itu, perbedaan karakteristik penduduk, pendapatan negara,


ekonomi, dan geografis juga menjadi faktor yang diperhitungkan
bagi suatu negara dalam menentukan sistem pembiayaan
kesehatan. Beberapa negara di dunia telah memiliki pengalaman
tersendiri untuk mencapai UHC, misalnya Malaysia, Thailand,
Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris.

5.2.1. Malaysia

Malaysia Malaysia memberikan peran yang lebih besar kepada sektor


memberikan swasta dalam hal pelayanan kesehatan. Malaysia juga mulai
peran yang mengembangkan bidang kesehatan sebagai daya tarik wisata/
lebih besar medical tourism (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et al., 2011).
kepada sektor Pemerintah Malaysia sudah mewajibkan tabungan hari tua
swasta dalam bagi para pegawai sejak 1951. Warga juga dijamin oleh Employee
hal pelayanan Provident Fund (EPF), sedangkan Social Security Organization
kesehatan. (SOSCO) menjamin warga yang mendapat kecelakaan kerja atau
pensiunan yang cacat. (Purwoko, 2014).

Sistem pembiayaan kesehatannya terdiri dari kesehatan publik


(promotif dan preventif) dan kesehatan privat (kuratif dan
rehabilitatif). Sumber dana kesehatan publik berasal dari pajak,
anggaran pendapatan negara, SOSCO, dan EPF. Sementara itu,
dana kesehatan privat berasal dari iuran dari masyarakat. 1 RM
per bulan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter
umum dan 5 RM untuk pelayanan dari dokter spesialis. Sistem
pembiayaan kesehatan ini tidak termasuk untuk penyakit berat
yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi (katastropik).
(Jaafar, Safurah Noh, et al., 2013).

66 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Pajak untuk alat kesehatan dan obat-obatan dibebaskan untuk
menekan biaya operasional pelayanan kesehatan. Praktik dokter
dibatasi di satu tempat pada fasilitas pelayanan kesehatan baik milik
pemerintah atau swasta, untuk menjaga mutu layanan. Meskipun
demikian, pemerintah tetap menjamin pendapatan yang tinggi
bagi dokter sebagai apresiasi bagi profesi medis. Klaim pembiayaan
kesehatan di rumah sakit menggunakan sistem Global Budget
(WHO, 2005).

5.2.2. Thailand

Thailand membutuhkan waktu hampir setengah dekade untuk Thailand


mencapai UHC. Berbagai sistem pembiayaan telah diuji, berawal dari menerapkan
sistem out of pocket sampai dengan sistem pembiayaan prospektif sistem pelayanan
(Indrayathi PA, 2016). Setelah kebijakan UHC diperkenalkan pada kesehatan
April 2002, perlindungan kesehatan sosial dibagi ke dalam tiga rujukan, dari
skema pembiayaan, yaitu Social Health Insurance for Formal PCU untuk
Private Sector (sekitar 15%) untuk menjamin pegawai swasta, Civil upaya promotif-
Servant Medical Benefit Scheme (7%) untuk menjamin menjamin preventif,
pegawai negeri beserta anggota keluargnya, dan UHC Scheme hingga jenjang
(sekitar 76%) melalui National Health Security Office/NSHO (Health berikutnya, yaitu
Resource Survey, 2012). rumah sakit
distrik (rumah
NHSO merupakan lembaga independen yang mengelola “sistem sakit sekunder
30 Baht”, yaitu sistem yang menjamin peserta mendapat pelayanan dan tersier, serta
kesehatan komprehensif dengan membayar 30 Baht (Rp 7.000) rumah sakit
per bulan. NHSO berada di bawah otoritas dari Minister of Public pendidikan).
Health. NHSO akan mengeluarkan budget tahunan untuk kapitasi,
HIV, penyakit metabolik, gagal ginjal, dan gangguan jiwa. Budget
tahunan akan dibagikan untuk pasien rawat jalan dan rawat
inap, kegiatan promotif dan preventif, vaksin, high-cost accident,
diabetes, kegawatdaruratan, rehabilitasi untuk pasien cacat,
pengobatan tradisional, mutu layanan dan preliminary assistance.
Selain itu, NHSO juga menjalin kerja sama dengan pemerintah
lokal (dengan sharing beban 20-50%) untuk upaya promotif dan
preventif. (Adisasmito, 2008).

Thailand menerapkan sistem pelayanan kesehatan rujukan,


dari Primary Care Unit (PCU) untuk upaya promotif-preventif,
hingga jenjang berikutnya, yaitu rumah sakit distrik (rumah sakit
sekunder dan tersier, serta rumah sakit pendidikan). Thailand
juga mempunyai semacam balai pengobatan (health center)
yang memberikan penugasan kepada SDM Kesehatan dan Non-
kesehatan terlatih untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi masyarakat khususnya di pedesaan. Pada tahun 201
data menunjukkan bahwa kunjungan ke health center mencapai
54%, lebih tinggi dibanding tahun 2000 yang hanya mencapai
46,1%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kemudahan akses
masyarakat terhadap layanan kesehatan. Thailand dinilai sudah
tidak lagi memiliki masalah dalam hal akses layanan pada fasilitas
kesehatan tingkat pertama sehingga lebih memprioritaskan di

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 67


layanan kesehatan tingkat lanjut (Indrayathi PA, 2016). Thailand
mulai membangun pusat medis dengan spesialisasi tertentu,
seperti kardiologi, onkologi, neurologi, neonatal, gastrointestinal,
ortopedi, dan optometry. (Futuready, 2016).

5.2.3 Taiwan

Sejak tahun 1995, Sejak tahun 1995, Taiwan memiliki asuransi sosial wajib (mandatory)
Taiwan memiliki yang disebut National Health Insurance (NHI). Asuransi sosial ini
asuransi sosial memiliki sistem pembayaran tunggal (single payer) yang dijalankan
wajib (mandatory) oleh pemerintah. Dana bersumber dari premi yang berbasis pajak
yang disebut gaji (payroll tax) dan anggaran pemerintah (Bhisma Murti, 2010; Jui-
National Health fen&Rachel Lu, 2014). Pendapatan lainnya berasal dari sumber lain,
Insurance (NHI). seperti denda atas tunggakan pembayaran premi, kontribusi lotre
kesejahteraan masyarakat, dan cukai rokok (Jui-fen & Rachel Lu,2014).
Sepuluh bulan setelah peluncuran NHI, 92,3% masyarakat Taiwan sudah
terdaftar dalam program ini (Jui-fen & Rachel Lu, 2014). Administrator
NHI bekerja sama dengan sebagian besar provider kesehatan milik
pemerintah dan swasta sehingga masyarakat dengan mudah
mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama (Bisma Murti,2010).

Ketika ada warga yang tidak membayar premi tepat waktu,


pemberitahuan akan sesegera mungkin dikirimkan. Taiwan memiliki
warga yang cukup taat hukum sehingga tingkat kepatuhan sangat
tinggi (Dr. Ching-chuan Yeh,2012).

5.2.4. Jepang

Setelah Perang Sejak tahun 1927, Jepang sudah memulai jaminan kesehatan
Dunia II, Jepang bagi para pekerja sektor swasta, tetapi manfaatnya masih kurang
berupaya komprehensif (Fukawa, Tetsuo, 2002). Setelah Perang Dunia II,
meningkatkan Jepang berupaya meningkatkan sistem kesehatan, termasuk
sistem kesehatan, asuransi kesehatannya. Pada tahun 1954 ditetapkan subsidi untuk
termasuk asuransi asuransi kesehatan sebesar 1 Miliar Yen. Hal ini bertujuan untuk
kesehatannya. memenuhi UHC yang akhirnya tercapai pada tahun 1961. Sejak
tahun 1973 penduduk lansia sudah tidak membayar iuran (Ikegami,
Naoki, et al., 2004).

Pada tahun 1984 pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan


bahwa masyarakat wajib membayar seluruh pengobatan sebesar
10%. Kemudian pada tahun 1997 terjadi peningkatan sebesar 20%
dan sejak tahun 2003 hingga kini terus terjadi peningkatan hingga
30%. Namun, peningkatan tersebut tidak berlaku untuk seluruh
masyarakat. Cost-sharing asuransi kesehatan yang berlaku saat
ini adalah: 1. Umur ≥75 tahun membayar 10%; 2. Umur 70-75 tahun
membayar 20%; 3. Usia wajib belajar–70 tahun membayar 30 %; dan
4. Anak yang belum sekolah membayar 30% (Fukawa, Tetsuo, 2002).

Berbagai macam asuransi yang dikelola pemerintah di antaranya


adalah National Health Insurance, Mutual Aid Insurance, dan

68 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Advanced Eldery Medical Service System. Semua sistem asuransi
memberlakukan pelayanan kesehatan yang sama. Harga perawatan
medis berdasarkan rekomendasi The Central Social Insurance
Medical Council yang ditentukan oleh pemerintah. Harga obat
berdasarkan standar yang ditetapkan pemerintah. Jaminan
kesehatan di Jepang tidak mengenal sistem rujukan sehingga
peserta bebas memilih layanan kesehatan baik di klinik dokter
maupun langsung ke rumah sakit (Pernando, Anggara, 2015).

5.2.5. Amerika Serikat

Asuransi Kesehatan di Amerika Serikat mengalami perkembangan Sistem kesehatan


yang cukup panjang. Dimulai dari 1798 pendirian US Marine di Amerika Serikat
Hospital Service sehingga para pelaut mendapatkan pelayanan menerapkan
kesehatan dengan pemotongan upah yang dilakukan setiap bulan. sistem asuransi
Pada 1847 berdiri suatu organisasi asuransi kesehatan pertama di komersial, artinya
Massachusetts-Boston, kemudian diikuti oleh pendirian organisasi masyarakat
asuransi kesehatan lainnya. Pada 1937 rumah sakit mulai membuka berhak
kegiatan asuransi kesehatan dengan mendirikan Blue Cross memilih untuk
Assocation. Para dokter lalu kemudian mendirikan Blue Shield menggunakan
Association pada 1946. asuransi atau
tidak.
Selanjutnya Medicare dan Medicaid OASDI (Old-Age, Survivors, and
Disability Insurance) diundangkan pada 14 Agustus 1935 di Amerika
Serikat. Medicare adalah sistem asuransi bagi usia lanjut, penderita
cacat, dan penderita gagal ginjal yang dijalankan oleh Pemerintah
Federal. Medicaid OASDI merupakan sistem asuransi bagi
masyarakat miskin yang dijalankan oleh Pemerintah Federal dan
Negara Bagian. Namun, banyak penduduk yang tidak terlindungi
oleh kedua asuransi ini. Pada 1965 ditambahkan program OASDHI
(Old-age, Survivors, Disability, and Health Insurance) (PT. Asuransi
Kesehatan Indonesia,1997).

Karena timbul masalah pembiayaan kesehatan pada 1973 dan


untuk meminimalkan penambahan conventional health insurance,
Pemerintah Amerika Serikat membentuk Health Maintenance
Organization (HMO) melalui undang-undang (Trisnantoro L,
2014). HMO adalah organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat
pre-paid (dibayar di muka), bertanggung jawab memberikan
pelayanan kesehatan komprehensif (preventif, promotif, kuratif,
dan rehabilitatif) terhadap populasi tertentu yang telah terdaftar
sebagai peserta dengan membayar sejumlah uang yang dihitung
berdasarkan kapitasi atau per bulan per orang.

Pada 1970 diperkenalkan DRGs yang pertama kali diterapkan di


rumah sakit Negara Bagian New Jersey. Pembayaran berdasarkan
DRGs diberlakukan untuk Program Medicare pada 1983 dan
Program Medicaid pada 1984 (Adisasmito, 2008).

Sistem kesehatan di Amerika Serikat menerapkan sistem asuransi


komersial, artinya masyarakat berhak memilih untuk menggunakan

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 69


asuransi atau tidak. Hal ini menyebabkan biaya operasional kesehatan
di Amerika Serikat semakin besar, premi meningkat setiap tahun,
mutu pelayanan kesehatan diragukan, dan unnecessary utilization
meningkat. Tingginya biaya kesehatan berdampak pada produk
domestik bruto di Amerika Serikat (Trisnantoro L, 2014).

Berdasarkan The US Censuss Beureau 2009 tercatat sebanyak 16,9%


dari total populasi penduduk Amerika Serikat tidak memiliki asuransi
kesehatan (Trisnantoro L, 2014). Hal ini memicu pelaksanaan reformasi
dalam sektor kesehatan. Pada 2010 dibuat kebijakan melalui Patient
Protection Affordable Care Act (PPACC). Reformasi kesehatan
tersebut tetap memberi kesempatan kepada asuransi kesehatan
dan pemberi pelayanan kesehatan swasta untuk beroperasi dengan
regulasi yang lebih ketat dan subsidi pemerintah yang lebih besar
yang diperuntukkan bagi warga miskin. (Bhisma, 2010).

5.2.6. Inggris

NHS memberikan Inggris memperkenalkan asuransi kesehatan nasional sejak tahun


hampir semua 1911 dan saat ini telah mencapai UHC. Sistemnya dikenal dengan
jenis pelayanan National Health Service (NHS), yaitu suatu sistem kesehatan yang
kesehatan secara dikelola oleh pemerintah dan sebagian besar dananya bersumber
gratis, kecuali dari pajak umum (tax-funded). NHS memberikan hampir semua
pembayaran obat jenis pelayanan kesehatan secara gratis, kecuali pembayaran obat
yang diresepkan, yang diresepkan (prescription drug), pengobatan gigi, dan mata.
pengobatan gigi,
dan mata. NHS melakukan efisiensi biaya yang bertujuan untuk memperbaiki
pelayanan kesehatan. Inggris juga memberi kesempatan bagi
warganya untuk membeli pelayanan kesehatan tambahan
melalui asuransi swasta. Ada beberapa faktor yang memengaruhi
Inggris bertransisi menuju UHC. Pertama, tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sehingga meningkatkan kemampuan
warga negara untuk membayar premi. Kedua, pertumbuhan
sektor formal sehingga memudahkan pengumpulan kontribusi
(revenue collection). Faktor selanjutnya adalah ketersediaan tenaga
terampil dalam pengelolaan sistem asuransi kesehatan nasional,
kemampuan pengumpulan (pooling) dana dan integrasi berbagai
skema asuransi kesehatan, serta efektivitas regulasi pemerintah
(WHO, 2005).

5.3. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Pasal 28 H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa


setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan dan negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
bagi seluruh warga negaranya. Setiap warga negara berhak
untuk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bermutu dengan biaya yang
terjangkau. Untuk mencapai kondisi tersebut, dibutuhkan sistem
pembiayaan kesehatan yang tepat.

70 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Pembiayaan kesehatan di Indonesia bertujuan untuk menyediakan
pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah
yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan.
UU Kesehatan mengatur mandatory spending, yaitu sumber
pembiayaan kesehatan yang berasal dari pemerintah pusat minimal
5% APBN di luar gaji, dan yang bersumber dari pemerintah daerah,
minimal 10% APBD di luar gaji.

Sejak 2016 Pemerintah Pusat sudah memenuhi mandatory spending Sejak 2016
di bidang kesehatan, sebesar 5% dari APBN. Namun, muncul beberapa Pemerintah Pusat
permasalahan, di antaranya adalah definisi dan peruntukan anggaran sudah memenuhi
kesehatan dalam UU Kesehatan terlalu luas. Contohnya adalah mandatory
adanya pengaturan mengenai sumber pembiayaan dari pemerintah spending
pusat dan pemerintah daerah “diprioritaskan untuk kepentingan di bidang
pelayanan publik” minimal 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan kesehatan,
dalam APBN dan APBD, terutama bagi penduduk miskin, kelompok sebesar 5% dari
lanjut usia, dan anak terlantar. Hal ini menimbulkan potensi multi- APBN.
interpretasi dan ruang pengalokasian belanja kesehatan menjadi
tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya. Tantangan
lainnya adalah kompleksitas dalam perencanaan dan penganggaran
sehingga menimbulkan kesulitan menghubungkan kinerja
anggaran dan pencapaian pembangunan kesehatan. Hal ini
menyebabkan pengalokasian anggaran kesehatan menjadi kurang
efisien. Sampai saat ini pun belum terdapat perangkat peraturan
yang sifatnya operasional dan dapat digunakan sebagai panduan
dalam pengalokasian dan pemanfaatan anggaran sesuai dengan
amanah yang telah ditetapkan.

5.3.1. Perjalanan Indonesia Menuju UHC

Sejak krisis ekonomi pada 1998 Indonesia mencapai pertumbuhan


ekonomi yang cukup kuat dengan ruang fiskal yang berkembang.
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita terus meningkat dari US$
780 pada 2000 menjadi US$ 3847 pada 2017. Indonesia menjadi
kekuatan ekonomi terbesar keempat di Asia Timur dan ekonomi
terbesar ke-15 di dunia berdasarkan paritas daya beli (World Bank,
2018). Indonesia juga bertujuan menjadi salah satu 10 (sepuluh)
ekonomi global terbesar pada tahun 2025 (OECD, 2012).

Secara demografis, terjadi pergeseran pada populasi usia kerja


dan usia lanjut yang relatif meningkat terhadap populasi lainnya.
Proyeksi demografi dan epidemiologi serta pertumbuhan ekonomi
memproyeksikan meningkatnya permintaan untuk perawatan
kesehatan di Indonesia. Perubahan tersebut juga memengaruhi
sistem kesehatan di Indonesia (Mahendradhata, Yodi, et all, 2017).
Jadi, diperlukan suatu reformasi, reorientasi, dan revitalisasi pada
pelayanan kesehatan.

Reformasi kebijakan pembangunan kesehatan di Indonesia telah


dilakukan melalui Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Salah satunya

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 71


adalah perubahan subsistem upaya kesehatan dan pembiayaan
kesehatan (Gotama Indra, et al., 2010). Pembiayaan kesehatan
yang kuat, stabil, dan berkesinambungan sangat berpengaruh
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan guna mencapai
tujuan penting pembangunan kesehatan di suatu negara, yakni
pemerataan dalam pelayanan kesehatan dan akses (equitable
access to health care) serta pelayanan yang berkualitas (assured
quality).

Sebagai bentuk reformasi kesehatan dan untuk mewujudkan


jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk (UHC) sesuai amanat
UUD 1945, dibentuklah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (UU BPJS). Berdasarkan UU tersebut, pemerintah
meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada
awal 2014 dengan target UHC tercapai dalam waktu lima tahun.
Perubahan tersebut juga memengaruhi program asurasi sosial
bagi keluarga miskin dalam program Jaminan Sosial Masyarakat
(Jamkesmas) karena harus diintegrasikan ke dalam sistem JKN.
(Lihat Gambar 5.1)

Gambar 5.1.
Kerangka
Operasional Peta
Jalan Jaminan
Kesehatan

DJSN. (2012). Peta


Jalan Menuju Jaminan
Kesehatan Nasional
2012-2019.

Model pembayaran biaya pelayanan kesehatan dibedakan menjadi


dua sistem, yaitu sistem kapitasi dan Indonesia Case Base Groups
(INA CBGs). Sistem kapitasi diterapkan dalam sistem pembayaran
ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Sistem kapitasi ini
pernah diterapkan dalam program Jamkesmas, tetapi terdapat
beberapa regulasi yang menyulitkan penggunaan dana kapitasi
ini digunakan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas layanan
kesehatan, seperti dana kapitasi harus disetor ke kas daerah dan
menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan pengalaman
tersebut, dalam pelaksanaan JKN beberapa regulasi disesuaikan
untuk mengatur pengelolaan dana kapitasi yang dibayarkan
langsung oleh BPJS Kesehatan kepada bendahara melalui rekening
dana kapitasi di puskesmas sesuai dengan jumlah peserta yang
terdaftar.

72 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Penerapan Model Pembayaran INA-CBGs dilakukan untuk Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tungkat Lanjutan (FKRTL). Pada pelaksanaan
Jamkesmas, pembayaran klaim tahun 2009 sampai dengan akhir
2010 dilakukan berdasarkan INA-DRGs, sedangkan pada akhir 2010
sampai sekarang dilakukan dengan menggunakan INA-CBGs
yang merupakan pengembangan dari sistem Indonesia Diagnosis
Related Group (INA-DRGs).

5.3.2. Defisit Pembiayaan JKN

Memasuki tahun ketujuh program JKN telah mencakup 223,4 juta jiwa
atau 83% dari jumlah penduduk di Indonesia. Pemanfaatan program
JKN juga terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan
program JKN telah menjadi bagian dari sistem kesehatan nasional
yang dibutuhkan masyarakat. Peningkatan jumlah peserta diikuti
dengan naiknya biaya pelayanan kesehatan yang menjadi beban
program JKN. Tercatat bahwa sejak 2015-2019, terdapat kenaikan
biaya pelayanan kesehatan sebesar 107%, terutama pada pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan. Namun demikian, kenaikan biaya
pelayanan tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah pendapatan
iuran. Pendapatan iuran yang diterima oleh BPJS Kesehatan
lebih kecil dibandingkan biaya pelayanan sehingga terjadi defisit
pembiayaan mencapai 15,5 T pada 2019 (Lihat Gambar 5.2).

Gambar 5.2.
Laporan Aktivitas
Keuangan DJS
Kesehatan 2015-
2019

DJSN. (2012). Peta


Jalan Menuju Jaminan
Kesehatan Nasional 2012-
2019.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penanggulangan


defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan dengan mengendalikan
sisi pengeluaran DJS Kesehatan serta melakukan koreksi terhadap
sisi penerimaan DJS Kesehatan melalui penerbitan sejumlah
kebijakan, di antaranya penyesuaian besaran iuran program
JKN sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64
Tahun 2020. Selain koreksi besaran iuran, untuk memastikan
sustainabilitas pendanaan program diterapkan juga beberapa
kebijakan perbaikan fundamental program JKN sehingga kondisi
defisit dapat dihindarkan pada kemudian hari.

Pembiayaan kesehatan juga merupakan bagian yang penting dalam


implementasi JKN. Menurut Miller (2007) tujuan dari pembiayaan

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 73


kesehatan adalah mendorong peningkatan mutu, mendorong
layanan berorientasi pasien, mendorong efisiensi tidak memberikan
reward terhadap provider yang melakukan overtreatment,
undertreatment, serta adverse event, dan mendorong pelayanan
tim. Dengan sistem pembiayaan yang tepat diharapkan tujuan
tersebut dapat tercapai.

5.3.3. Menciptakan Ruang Fiskal Lain dalam


Pembiayaan Kesehatan di Indonesia

Penelitian terbaru Salah satu strategi keberlanjutan JKN adalah menciptakan sumber
menunjukkan pendapatan yang baru. Hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih.
bahwa kesehatan Reprioritas bidang kesehatan dan efisiensi keuangan negara akan
yang lebih baik sangat dibutuhkan agar dapat secara efektif membiayai pencapaian
tidak harus UHC di Indonesia. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
menunggu kesehatan yang lebih baik tidak harus menunggu perekonomian
perekonomian membaik.
membaik.
Langkah-langkah untuk mengurangi beban penyakit, menciptakan
anak-anak yang lebih sehat, dan meningkatkan harapan hidup
akan dengan sendirinya berkontribusi terhadap ekonomi yang lebih
baik (Bloom and Canning, 2005). Pertumbuhan ekonomi di negara
dengan pendapatan rendah dan menengah dapat disebabkan oleh
keluaran kesehatan yang lebih baik sehingga sebuah penelitian
menyimpulkan bahwa investasi di bidang kesehatan menghasilkan
9-20 kali lipat keuntungan investasi (Jamison, et al., 2013).

Pemerintah harus melaksanakan UU Kesehatan terkait


mandatory spending yang harus dialokasikan oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu, pilihan lainnya dapat
dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan kapasitas fiskal
untuk mencapai UHC di Indonesia. Meskipun sumber dominan
pembiayaan untuk BPJS berasal dari Pemerintah Pusat, di masa
datang pemerintah daerah dan swasta diharapkan terlibat dalam
pembiayaan JKN sehingga membantu menutup iuran dari
kelompok non-PBI di sektor informal.

Menciptakan ruang fiskal dengan melibatkan peran swasta perlu


terus dilakukan (public private partnership). Misalnya, salah satu
sumber ruang fiskal yang spesifik untuk kesehatan adalah pinjaman
dan hibah dari organisasi internasional, seperti The Global Fund for
AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GFATM) dan Aliansi GAVI. Selain itu,
perpajakan alkohol dan konsumsi rokok bisa dialokasikan menjadi
pendapatan langsung untuk anggaran kesehatan. Meskipun
demikian, tampaknya masih terdapat kendala politik untuk pajak
tembakau walaupun penelitian menunjukkan bahwa kenaikan
10% harga rokok bisa menurunkan konsumsi 3,5-6,1 persen dan
pendapatan pemerintah dapat meningkatkan sebesar 6,7-9% dari
pajak rokok (Depkes, 2004).

74 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Gambar 5.3.
Laporan WHO
tentang Epidemi
Tembakau Global,
2008

World Health Organization.


(2010). The World Health
Report-Health Systems
Financing: The Path
to Universal Coverage.
Available: http://www.who.
int/whr/en/index.html.

Thailand adalah contoh negara yang telah berhasil


mengimplementasikan pajak yang diperuntukkan secara langsung
untuk dana kegiatan promosi kesehatan. Pada tahun 2001 Thailand
melembagakan Yayasan Promosi Kesehatan Thailand (ThaiHealth).
Estimasi aliran pendapatan tahunan sebesar US$ 50 Juta didapat dari
dana yang berasal langsung dari 2% pajak tembakau dan konsumsi
alkohol (WHO, 2005). Contoh pajak lainnya yang dialokasikan untuk
menciptakan ruang fiskal untuk kesehatan dilakukan oleh Ghana
dan Zimbabwe. Sebesar 2,5% dari PPN di Ghana digunakan untuk
membantu pembayaran program asuransi kesehatan nasional.
Zimbabwe menambah pungutan sebesar 3% atas penghasilan
pribadi dan pajak perusahaan untuk membantu pembiayaan
intervensi terkait AIDS.

5.3.4. Redefinisi KDK dan Kelas Standar dalam


Program JKN

Perbaikan fundamental dalam program JKN terkait erat


dengan pembenahan tata kelola program JKN, baik secara
pengorganisasian penyelenggara program, penyediaan fasilitas
kesehatan serta pemenuhan sarana prasarana, penerapan standar
pelayanan kesehatan, standardisasi manfaat kelas rawat inap,
maupun perbaikan rancangan manfaat program agar sesuai
dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) peserta.

Dalam suatu sistem asuransi sosial, karena terbatasnya sumber


pendanaan yang berasal dari pendapatan iuran peserta, perlu
ada batasan terhadap biaya pelayanan kesehatan yang dapat
ditanggung. UU SJSN mengamanatkan bahwa batasan manfaat
yang ditanggung oleh program jaminan sosial kesehatan adalah
pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi KDK peserta.

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 75


Namun demikian, manfaat program JKN saat ini belum sepenuhnya
sesuai dengan prinsip pemenuhan KDK. Dengan perkembangan
situasi penyakit di Indonesia dan kondisi pendanaan program JKN,
manfaat yang ada perlu ditinjau kembali dengan menerapkan
prinsip pemenuhan KDK peserta. Kementerian Kesehatan dan
DJSN memulai kajian terkait dengan KDK dan Kelas Standar di
pertengahan 2020 dan segera menyusun strategi pelaksanaan.

Penerapan SPM Mengacu pada Perpres No. 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan
bidang kesehatan Nasional, penentuan pelayanan kesehatan dasar merujuk pada
tidak dapat kategori pelayanan kesehatan, yaitu pelayanan kesehatan
terpisah dengan masyarakat dan perorangan. Pelayanan dasar diatur dalam PP No.
penyelenggaraan 2 Tahun 2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan
program JKN. lingkup pelayanan yang telah diatur dalam Permenkes No. 4
Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan
Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan yang
memuat jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan
Pemerintah Wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara.
Penerapan SPM bidang kesehatan tidak dapat terpisah dengan
penyelenggaraan program JKN. Penekanan SPM bidang kesehatan
berfokus pada pelayanan promotif dan preventif, sementara
program JKN mendukung pelayanan promotif dan preventif serta
menitikberatkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif.

5.4. Pembiayaan Kesehatan saat Pandemi


COVID-19

Keadaan menjadi semakin pelik karena ketika penulis menuliskan


bab ini dunia tengah dilanda pandemik COVID-19, tak terkecuali
Indonesia. Indonesia dan seluruh negara tengah berjuang melawan
COVID-19. Tidak mudah bagi Indonesia untuk menghadapi pandemi
ini. Jika dilihat dari grafik, angkanya terus meningkat dengan tajam.
Positivity rate COVID-19 Indonesia terus mengalami peningkatan
selama enam bulan terakhir, bahkan persentasenya mencapai tiga
kali lipat daripada yang direkomendasikan WHO. Beberapa negara
mengambil langkah cepat dengan memberikan suntikan stimulus
ekonomi melawan penyebaran COVID-19, termasuk Indonesia.

Presiden Jokowi menambah alokasi belanja dan pembiayaan


dalam APBN TA 2020 sebesar Rp686,20 Triliun untuk stimulus fiskal
penanganan COVID-19. Dari total anggaran tersebut, sebanyak
Rp598,65 Triliun merupakan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional
(PEN), dan Rp87,55 Triliun untuk bidang kesehatan yang terdistribusi
ke beberapa K/L. Seluruh APBN difokuskan untuk mengurangi
tekanan berat di kuartal II–III 2020. Diharapkan pada kuartal IV 2020
terjadi pemulihan atau pengurangan tekanan. Dengan demikian,
masyarakat, dunia usaha, dan daerah bisa melakukan pemulihan
kegiatan ekonominya setelah terkena dampak COVID-19. Namun
sampai kuartal IV 2020, Indonesia justru dinyatakan resesi karena
terjadi penurunan ekonomi secara negatif sampai dua kali berturut-

76 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


turut. Meskipun demikian, angka negatif tersebut mengalami
perbaikan pada kuartal terkahir di tahun 2020.

Keputusan Menteri Keuangan No: 6/KM.7/2020 tentang Penyaluran


Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Kesehatan dan Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) dalam rangka pencegahan dan/
atau Penanganan COVID-19 merekomendasikan daerah untuk
menggunakan DAK Fisik dan Non-fisik untuk pencegahan dan/
atau penanganan COVID-19 melalui revisi rencana kegiatan. Namun
dalam hal lainnya, jika penanganan COVID-19 menggunakan DAK
Fisik, ini akan menyebabkan perubahan pada rencana kegiatan
yang telah disusun sebelumnya. Hal ini akan dapat berpotensi
mengganggu kegiatan di bidang pelayanan kesehatan dasar,
pelayanan kesehatan rujukan, dan penguatan intervensi stunting
di daerah yang menjadi program Prioritas Nasional 2020.

Pemerintah merasa perlu segera mengambil kebijakan dan Pemerintah


langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan kesehatan dan merasa
perekonomian nasional. Fokusnya adalah pada belanja untuk perlu segera
kesehatan, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net), dan mengambil
pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan kebijakan dan
masyarakat yang terdampak, serta menjaga stabilitas sektor langkah luar biasa
keuangan melalui PERPPU. Diperlukan penyesuaian besaran defisit dalam rangka
anggaran yang melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). penyelamatan
Oleh karena itu, perlu relaksasi kebijakan defisit APBN di atas 3% kesehatan dan
untuk tiga tahun (pada 2020, 2021, dan 2022). Setelah itu kembali perekonomian
ke disiplin fiskal maksimal defisit 3% mulai 2023. Jumlah pinjaman nasional.
yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan relaksasi defisit tersebut
dibatasi maksimal 60% dari PDB. Dengan berlakunya PERPPU ini,
besaran belanja wajib (mandatory spending) yang terdapat dalam
berbagai undang-undang dapat disesuaikan oleh Pemerintah,
antara lain:
1. Anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN di luar gaji, yang
diatur dalam UU Kesehatan;
2. Anggaran untuk desa yang bersumber dari APBN sebesar 10%
dari dan di luar Dana Transfer Daerah (DTD) yang diatur dalam
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan
3. Besaran Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan Dalam
Negeri Bersih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

Pemerintah tetap melakukan upaya menjaga pengelolaan fiskal


secara hati-hati melalui refocusing dan realokasi belanja untuk
penanganan COVID-19, melakukan penghematan belanja (belanja
K/L dan TKDD) tidak prioritas sesuai dengan perubahan kondisi
pada 2020.

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 77


5.5. Penutup

Pandemi ini merupakan sesuatu yang tidak pasti (uncertainty),


bersifat turbulensi, bahkan terlihat samar. Pandemi tidak hanya
merusak derajat kesehatan bangsa, tetapi juga meluluhlantahkan
tatanan ekonomi bangsa.

Reformasi Stimulus anggaran penanganan COVID-19 yang dikeluarkan


menyeluruh oleh Kementerian Keuangan RI telah menghabiskan hampir
program jaminan setengah dari APBN TA 2020. Kondisi ini semakin membuktikan
kesehatan bahwa sistem ketahanan kesehatan Indonesia masih belum kuat.
dirasakan krusial Berdasarkan hal tersebut, kemudian muncul suatu pertanyaan
karena peraturan apakah sesungguhnya selama ini tidak terjadi reformasi dasar pada
pelaksanaan yang sektor kesehatan di Indonesia.
berlaku masih
bersifat parsial Reformasi kesehatan bertujuan untuk peningkatan efisiensi,
dan tumpang- peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pemerataan pelayanan
tindih dan kesehatan, serta mencari inovasi atau sumber pembiayaan baru
manfaat program dalam pelayanan kesehatan. Reformasi menyeluruh program
yang belum jaminan kesehatan dirasakan krusial karena peraturan pelaksanaan
optimal. yang berlaku masih bersifat parsial dan tumpang-tindih dan
manfaat program yang belum optimal. Diharapkan upaya
pemerintah dalam meredefinisi KDK dan Kelas Standar yang
akan memulai perencanaan sarana dan prasarana pada 2021 dan
akan diimplementasikan pada 2022 dapat memperkuat sistem
kesehatan di Indonesia.

Daftar Pustaka

Agustina, Rina. (2019). Universal Health Coverage in Indonesia:


Concept, Progress, and Challenges. The Lancet, 393(10166),
pp. 75–102.

Adisasmito, Wiku. (2008). Kebijakan Standar Pelayanan Medik


dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan
Penerapannya di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

Bloom, D.E. and D. Canning. (2005). Health and Economic Growth:


Reconciling the Micro and Macro Evidence. CDDRL
Working Paper No. 42. Available: http://iis-db.stanford.edu/
pubs/20924/BloomCanning_42.pdf Accessed 1 Agustus
2020.

Chongsuvivatwong, Virasakdi. (2011). Health and Health-Care


Systems in Southeast Asia: Diversity and Transitions. The
Lancet.

Darmawan, Ede Surya. (2009). Obama’s Health Reform. Available:


http://staff.ui.ac.id/system/files/users/edesurya/material/
obamashealthreform.pdf .

78 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Depkes. (2004). Fakta Tembakau Indonesia: Data Empiris untuk
Strategi Nasional Penanggulangan Masalah Tembakau.
Jakarta: Author.

Fukawa, Tetsuo. (2002). Public Health Insurance in Japan.


Washington: World Bank Institute.

Gottret P, and Schieber G. (2006). Health Financing Revisited:


A Practitioner’s Guide. Available: http://siteresources.
worldbank.org/INTHSD/Resources/topics/HealthFinancing/
HFRFull.pdf.

Global Burden of Disease Health Financing Collaborator Network.


(2018). Trends in Future Health Financing and Coverage:
Future Health Spending and Universal Health Coverage In
188 Countries. The Lancet 2018; 391: 1783–98

Gotama, Indra. (2010). Reformasi Jaminan Sosial Kesehatan (Isu-


Isu Kesehatan & Jaminan Kesehatan). Jakarta: Pusat
Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Depkes RI.

Ikegami, Naoki. (2004). Japan’s Health Care System: Containing


Costs and Attempting Reform. Health Affairs.

Indrayathi PA. (2016). Bahan Ajar Pembiayaan Kesehatan di


Berbagai Negara. Denpasar: Program Studi Kesehatan
Masyarakat Udayana.

Jaafar, Safurah Noh. (2013). Malaysia Health System Review. Health


System in Transation Vol 3 No1.

Jamison, Dean. (2013). Global Health 2035: A World Converging


within A Generation. Available: https://www.thelancet.com/
article/S0140-6736(13)62105-4/fulltext.

Maeda, Akiko. (2014). Universal Health Coverage for Inclusive and


Sustainable Development: A Synthesis of 11 Country Case
Studies. Washington D.C: World Bank Publications

Mahendradhata, Y., Trisnantoro, L., Listyadewi, S., Soewondo,


P., Marthias, T., Harimurti, P., and Prawira, J. (2017). The
Republic of Indonesia Health System Review. Health
Systems in Transition Vol. 7 No. 1 2017.

Murti, Bhisma. (2010). Strategi untuk Mencapai Cakupan Universal


Pelayanan Kesehatan di Indonesia. fk.uns.ac.id/index.php/
download/file/36.

OECD. (2015). Health at a Glance 2015: OECD Indicators. Paris: OECD


Publishing. Available: http://dx.doi.org/10.1787/health_
glance-2015-en.

KEBI JA KA N DA N POT RET PEMBI AYA A N KESEHATA N 79


Pear, Robert. (2012). Health Law Critics Prepare to Battle over
Insurance Exchange Subsidies. Available: http://www.
nytimes.com/2012/07/08/.

PT. (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. (1997). Program


Jaminan Kesehatan Bagi Peserta Wajib. Jakarta. Available:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/31023/3/
Chapter%20II.pdf.

Pernando, Anggara. (2015). Ini Beda Jaminan Kesehatan Nasional


RI dan Jepang. Ampshare Article.

Purwoko, Bambang. (2014). Sistem Jaminan Sosial di Malaysia:


Suatu Tata Kelola Penyelenggaraan Program yang
Berbasis pada Pelembagaan yang Terpisah. E-Journal
Widya Ekonomika. ISSN 2338-7807. Vol 1 No 1. 2014.

Rachel Lu, Jui-fen. (2014). Universal Health Coverage Assessment


Taiwan. Available: http://gnhe.org/blog/wp-content/
uploads/2015/05/GNHE-UHC-assessment_Taiwan-1.pdf.

Setyawan Budi. (2018). Health Financing System. Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang. Vol 2 No
4.

Trisnantoro, Laksono. (2014). Universal Health Coverage and


Medical Industry in 3 Southeast Asian Countries. Available:
https://www.researchgate.net/publication/274896095.

Vicini, James; Stempel, Jonathan. (2012). US Top Court Upholds


Healthcare Law in Obama Triumph. Available http://
www.reuters.com/article/usa-healthcare-court-
idUSL2E8HS4WG20120628.

World Health Organization. (2005). Achieving Universal Health


Coverage: Developing the Health Financing System.
Technical Brief for Policy-Makers. Number 1, 2005. World
Health Organization, Department of Health Systems
Financing, Health Financing Policy.

World Health Organization. (2010). The World Health Report-


Health Systems Financing: The Path to Universal Coverage.
Available: http://www.who.int/whr/en/index.html.

Yeh, Ching-chuan. Access and Cost: What the U.S. Health Care
System Can Learn from Other Countries. Available: https://
www.help.senate.gov/imo/media/doc/Yeh1.pdf.

80 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


GLOSARIUM

Activity Based Costing : Metodologi akuntasi biaya yang menghitung semua biaya kegiatan
yang ada untuk mendukung terlaksananya suatu program.
Akses : Kemampuan untuk mendapatkan paket layanan kesehatan dengan
kualitas tertentu, dengan menimbang kemampuan finansial
individu serta memproses informasi kesehatan.
Anggaran : Bagian dari APBN yang dialokasikan untuk sektor kesehatan yang
melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait.
Asuradur : Perusahaan asuransi jiwa yang memberikan pertanggungan
dan mengadakan perjanjian tanggung-menanggung dengan
pemegang polis.
Asuransi Kesehatan : Suatu instrumen sosial yang ditujukan untuk mengartikulasikan
prinsip gotong royong atau solidaritas masyarakat dalam bidang
pelayanan kesehatan.
Biaya Pelayanan : Dana yang dikeluarkan untuk pengobatan dan pemulihan
Kedokteran kesehatan pasien.
Biaya Kesehatan : Sejumlah dana yang perlu disiapkan dalam menyelenggarakan
dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
BPJS Kesehatan : Administrator dari Jaminan Kesehatan Nasional yang
mengumpulkan kontribusi dari pemerintah, perusahaan swasta,
dan rumah tangga menjadi satu kumpulan nasional dan membeli
layanan kesehatan dari penyedia publik dan swasta.
Diagnostic Related : Cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis.
Efektif : Dapat memberi hasil; berhasil guna.
Efektivitas : Pencapaian target atau outcome dari suatu kegiatan atau intervensi
kesehatan sesuai dengan apa yang direncanakan.
Efisiensi : Kemampuan mencapai target dengan baik dan tepat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya.
Ekuitas : Kondisi atau keadaan yang adil, tidak parsial, dan fair.
Fee for Services : Metode pembayaran jasa ditetapkan setelah pelayanan kesehatan
yang diberikan.
Flat Rate : Besaran biaya per episode ketika sakit bersifat tetap.
Health Maintenance : Organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat pre-paid (dibayar
Organization di muka), bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan
komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) terhadap
populasi tertentu yang telah terdaftar sebagai peserta dengan
membayar sejumlah uang yang dihitung berdasarkan kapitasi atau
per bulan per orang.
Inflasi : Kemerosotan nilai uang karena banyak dan cepatnya uang beredar
sehingga menyebabkan kenaikan harga barang.

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A 81
Jaminan Kesehatan : Reformasi pembiayaan kesehatan yang berupaya mengatasi tiga
Nasional pilar pembiayaan kesehatan, yakni pengumpulan pendapatan,
penggabungan, dan pembelian.
Kapitasi : Sistem pembayaran di muka per bulan kepada FKTP berdasarkan
jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan
jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Kebutuhan : Seluruh pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan
peningkatan kesehatan secara maksimal.
Medicaid OASDI : Sistem asuransi bagi masyarakat miskin yang dijalankan oleh
Pemerintah Federal dan Negara Bagian.
Medicare : Sistem asuransi bagi usia lanjut, penderita cacat, dan penderita gagal
ginjal yang dijalankan oleh Pemerintah Federal.
Medium Term Expenditure : Kerangka penganggaran jangka menengah yang bersifat
Framework komprehensif, dengan lembaga pemerintah yang dapat
menghubungkan seluruh rencana pengeluaran dengan kebijakan
prioritas dalam kerangka fiskal (terkait dengan kondisi ekonomi
makro dan perkiraan pendapatan negara) yang biasanya disusun
untuk tiga tahun.
Missing Middle : Jumlah orang yang sedikit terdaftar di UHC dengan kuintil kekayaan
Q2-Q3 dibandingkan orang di kuintil lainnya.
Out of Pocket : Besaran dana yang digunakan oleh pemakai jasa pelayanan
kesehatan berasal dari kantong pribadi individu.
Pengeluaran Katastropik : Pengeluaran medis dari rumah tangga melebihi 10% dari total
pengeluaran rumah tangga.
Pengumpulan Pendapatan : Fungsi yang merujuk pada bagaimana negara mengumpulkan dan
memobilisasi dana.
Ratio of Cost to Charges : Penetapan biaya khusus untuk industri kesehatan.
Skema Asuransi Sosial : Suatu program asuransi yang hanya ditujukan untuk masyarakat
miskin atau kurang mampu.
Skema Pembiayaan : Komponen struktural dari sistem pembiayaan pelayanan kesehatan,
Pelayanan Kesehatan yakni pengaturan pembiayaan sehingga seseorang mampu
memperoleh pelayanan kesehatan.
Time Driven Activity Based : Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang mengatasi beberapa
Costing kelemahan pada metode Activity Based Costing (ABC).
Tobit : Model yang mengestimasi pengaruh faktor lingkungan terhadap
skor efisiensi.
Traditional Costing : Metodologi akuntansi biaya yang menghitung biaya keseluruhan
pada suatu program dengan tingkat persentase tertentu.
Universal Health Coverage : Sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi
memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.

82 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


Tentang Penulis

Ery Setiawan, S.K.M., M.E., A.A.A.K. Mendapatkan gelar kesarjanaan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat, dan master di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Ery berpengalaman melakukan berbagai penelitian kesehatan, khususnya pada area
evaluasi ekonomi kesehatan (cost of illness study, cost of treatment, HTA) penguatan
sistem kesehatan dan advokasi pembiayaan kesehatan. Ery juga aktif mendukung
Kementerian Kesehatan khususnya dalam hal perencanaan dan pembiayaan kesehatan
untuk beberapa program prioritas seperti HIV, TB, dan malaria.

Fitriana Yuliawati, S.K.M., M. Kes. Tenaga Ahli Komisi IX DPR RI di bidang kesehatan dan
analis di Bower Group Asia Indonesia. Fitriana berpengalaman melakukan riset, analisis
kebijakan pemerintah, serta ahli merancang berbagai UU di bidang kesehatan. Fitriana
pernah menjadi program manajer di beberapa Civil Society Organization yang bergerak
di bidang sosial, humanitarian, dan kesehatan reproduksi.

Dr. Adiatma Y.M Siregar, S.E., M. Econ. St. Alumnus Universitas Padjadjaran Bandung,
Queensland University, dan Radboud University ini kini mengajar dan menjadi peneliti
di Center for Economics and Development Studies (CEDS), Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Padjadjaran. Latar belakang keilmuan Adiatma ialah ilmu ekonomi, dengan
fokus ekonomi kesehatan. Adiatma mendalami analisis evaluasi ekonomi terkait isu HIV
dan AIDS, pemberian ASI, dan kesehatan jiwa.

dr. Giovanni van Empel, M.Sc. Dosen di Departemen Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Mendapatkan gelar dokter dari
UGM Yogyakarta, dan Master of Science in Health Economics dari University of York,
UK. Giovanni meminati riset yang menggunakan mikroekonometrika terapan untuk
memahami hubungan kausalitas di isu seputar faktor supply dalam layanan kesehatan.
Saat ini tengah mendalami studi doktoral bidang Ekonomika Kesehatan di Centre for
Health Economics, Monash University, Australia.

Estro Dariatno Sihaloho, S.E., M.Si. Dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran. Mendapatkan gelar sarjana dan
magister sains dari Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran. Estro aktif melakukan
berbagai penelitian di bidang Ekonomi Kesehatan pada Center for Economics and
Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran.

PEM B IAYAAN KESEHATA N : KON SEP DA N BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A 83
Dr. Haerawati Idris, S.K.M., M. Kes. Peneliti di Fakultas kesehatan Masyarakat, Universitas
Sriwijaya. Mendapatkan gelar sarjana dan magister ilmu kesehatan masyarakat dari
Universitas Hasanuddin, dan doktor di bidang ilmu kedokteran dan ksehatan dai UGM
Yogyakarta. Minat penelitian di bidang manajemen kesehatan, ekonomi kesehatan,
kebijakan kesehatan dan mutu layanan kesehatan. Editor in chief Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Haerawati juga terlibat dalam tim pendampingan perencanaan tata kelola
kesehatan bekerjasama dengan Biro Perencanaan Kementerian Kesehatan RI.

84 P E M BI AYA A N KES EH ATAN: KO NS EP DAN BEST PRACT ICES DI IN DON ESI A


View publication stats

Anda mungkin juga menyukai