Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di undangkan KUH perdata (BW) oleh
pemerintah Belanda.Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam
stbl.1847 No.23. Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi
dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia
Merdeka.
Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang
berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Pada tahun 1848,kodifikasi hukum
perdata belanda di berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848.Dan Tujuh tahun
kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan stbl.1919.
Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan
pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala
peraturan di nyatakan masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut UUD
termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun,
secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami
beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut di sesuaikan
dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
PERTEMUAN KE 2
Setiap negara memiliki sistem, norma, dan prinsip hukum yang berbeda-beda sesuai dengan
konteks wilayah negara tersebut. Biasanya sistem hukum ini dipengaruhi oleh adat, agama,
hingga warisan kolonial yang sempat menjajah negara bersangkutan. Indonesia menganut
sistem hukum rule of law yang diambil dari prinsip Roma-Belanda. Sistem ini merupakan
gubahan dari warisan penjajahan Belanda, diatur dengan campuran hukum adat dan agama
yang diakui di Indonesia. Sedangkan sumber hukumnya diadaptasi dari negara Anglo Saxon
dan hukum Eropa kontinental.
Sistem hukum Eropa kontinental menjadi sumber hukum Indonesia merupakan sistem hukum
yang mengutamakan sumber hukum tertulis sebagai sumber hukum. Tujuan penerapan
hukumnya adalah mendapatkan kepastian hukum bagi seluruh warga negara.
Berikut sistem hukum yang diaplikasikan di berbagai negara di dunia sebagaimana dilansir
dari Cantwell & Goldman PA:
Hukum sipil adalah sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara di seluruh
dunia. Pada prinsipnya, hukum sipil diorganisasikan melalui otoritas legal yang tersemat
melalui kode-kode tertulis. Hukum sipil berasal dari hukum Romawi-Jerman dan diterapkan
di Benua Eropa, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan beberapa negara lainnya.
Berlawanan dengan kodifikasi hukum di hukum sipil, pada sistem common law,
yurisprudensi adalah sumber hukum utama dan ia menganut doktrin sistem preseden.
Menurut Nurul Qamar dalam Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System
dan Common Law System (2010: 49), doktrin sistem preseden secara substansial
mengandung makna bahwa hukum terikat putusan hakim untuk mengikuti dan atau
menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh pendahulunya
untuk kasus serupa.
Sitem common law berasal dari Inggris dan diterapkan di banyak negara berbahasa Inggris
seperti Australia, Kanada, Amerika Serikat, Wales, dan negara-negara lainnya.
Customary Law atau Hukum Adat
Hukum adat berasal dari kebiasaan yang melekat di komunitas tertentu. Ciri lazim dari
hukum adat biasanya berdasarkan hukum tak tertulis. Selain itu, adat yang berada di
masyarakat sudah berlaku secara luas sehingga diterima secara hukum. Ia juga turut mengatur
relasi sosial secara umum.
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang diatur beradasarkan kitab suci dan
kepercayaan agama. Hukum Islam atau hukum syariah adalah sistem hukum yang paling
banyak diterapkan sebagai hukum agama. Ia mengatur kehidupan publik dan privat
masyarakatnya. Lazimnya, hukum agama Islam kerap ditemukan di beberapa negara di benua
Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan juga diterapkan di negara-negara
dengan masyarakat mayoritas muslim.
Hukum campuran merujuk pada kombinasi berbagai elemen hukum legal yang telah
dipaparkan di atas. Hukum campuran juga dikenal dengan sebutan hukum prulalistik. Ia
menggabungkan beberapa sistem legal seperti hukum sipil, hukum adat, dan hukum agama.
Hukum campuran kerap ditemukan di negara bekas jajahan, yang selepas kemerdekaannya
masih mempertahankan beberapa elemen hukum kolonial dan menyesuaikannya dengan
konteks masyarakat saat itu.
Beberapa sistem hukum campuran dapat ditemukan di negara bagian Lousiana yang
menggabungkan antara hukum sipil dan common law. Demikian juga Afganistan yang
mencampurkan antara hukum sipil, hukum adat, dan aturan syariah.
Kita mengenal 2 (dua) sistem hukum yang berbeda, yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan
Sistem Hukum Inggris. Orang lazim menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman
atau Civil Law System dan Common Law System . Indonesia menganut sistem hukum Civil
Law dan Amerika menganut sistem hukum Common Law . Apa itu ciri-ciri Civil Law dan
Common Law ?
Sistem Hukum
Civil Law dan Common Law merupakan dua sistem hukum yang berbeda. Satjipto Rahardjo
dalam bukunya Ilmu Hukum (hal. 235) berpendapat bahwa di dunia ini kita tidak jumpai satu
sistem hukum saja, melainkan lebih dari satu. Adapun sistem hukum yang dimaksud di sini
termasuk unsur-unsur seperti: struktur, kategori, dan konsep. Perbedaan dalam hal tersebut
mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai.
Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa kita mengenal dua sistem hukum yang berbeda,
yaitu Sistem Hukum Eropa Benua dan Sistem Hukum Inggris. Orang juga lazim
menggunakan sebutan Sistem Hukum Romawi-Jerman atau Civil Law System untuk yang
pertama, dan Common Law System untuk yang kedua.
Ciri pokok Civil Law adalah sistem yang menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum
perdata dan hukum publik. Kategori seperti itu tidak dikenal dalam sistem Common Law .
Menurut Nurul Qamar dalam bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law
System dan Common Law System
2. Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis , sehingga undang-undang
menjadi rujukan hukumnya yang utama.
Alasan mengapa sistem Civil Law menganut paham kodifikasi adalah antara lain karena
kepentingan politik Imperium Romawi, kepentingan kepentingan-kepentingan lainnya di luar
itu. Kodifikasi diperlukan untuk menciptakan keseragaman hukum dalam dan di tengah-
tengah keberagaman hukum. Agar kebiasaan-kebiasaan yang telah ditetapkan sebagai
peraturan yang ditetapkan menjadi hukum yang berlaku umum, perlu dipikirkan kesatuan
hukum yang berkepastian. Pemikiran itu, solusinya adalah diperlukannya suatu kodifikasi
hukum.
Sistem ini hakim yang mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan dan memutus suatu
perkara. Hakim bersifat aktif dalam menemukan fakta hukum dan cermat dalam penilaian
bukti. Hakim di dalam sistem Hukum Perdata berusaha untuk mendapatkan gambaran
lengkap dari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Sistem ini mengandalkan
profesionalisme dan kejujuran hakim.
Ada 2 (dua) alasan mengapa yurisprudensi dianut dalam sistem Common Law , yaitu:
a. Alasan psikologis
Alasannya adalah karena setiap orang yang ditugasi untuk menyelesaikan perkara, ia
cenderung sedapat-dapatnya mencari alasan pembenar atas putusannya dengan mengacu pada
putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memikul tanggung jawab atas putusan yang
dibuatnya sendiri.
b. Alasan praktis
Diharapkan adanya putusan yang terjadi karena adanya jaminan bahwa hukum harus
mempunyai keadilan pada setiap kasus konkrit. Selain itu menurut sistem Common Law ,
menempatkan undang-undang sebagai acuan utama merupakan suatu perbuatan yang
berbahaya karena aturan undang-undang itu merupakan hasil karya kaum teoretisi yang
bukan tidak mungkin berbeda dengan fakta dan tidak sinkron dengan kebutuhan. Lagi pula
dengan berjalannya waktu, undang-undang itu sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan yang
ada, sehingga memerlukan intrepretasi pengadilan.
Doktrin ini secara substansial mengandung makna bahwa hakim yang terikat untuk mengikuti
dan menerapkan putusan pengadilan terdahulu, baik yang ia buat sendiri atau oleh
pendahulunya untuk kasus serupa. Maskipun dalam sistem Common Law , dikatakan berlaku
doktrin Stare Decisis , tetapi bukan berarti tidak memungkinkan penyimpangan oleh
pengadlan, dengan melakukan pembedaan, pengadilan asalkan saja dapat membuktikan
bahwa fakta yang berlainan dengan fakta yang telah diputus oleh pengadilan terdahulu.
Artinya, fakta yang dinyatakan baru dinyatakan tidak serupa dengan fakta yang telah
disajikan.
Sistem ini kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing menggunakan pengacara di
depan hakim. Para pihak masing-masing menyusun strategi sedemikianrupa dan
mengemukakan dalil-dalil dan alat-alat bukti sebanyak-banyaknya di pengadilan. Jadi yang
berperkara lawan antar satu dengan yang lainnya yang dipimpin oleh pengacara masing-
masing.
Sebagai negara hukum, Indonesia pastinya memiliki sistem hukum untuk mengatur ketertiban
di dalam negara. Ketentuan Indonesia sebagai negara hukum telah tertulis dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD RI tahun 1945. Pengertian sistem merupakan sebuah kesatuan yang bersifat
menyeluruh yang terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan. Dalam buku Sistem
Pemerintahan Indonesia (1989) karya Musanef, sistem merupakan kelompok bagian yang
bekerja sama untuk melakukan suatu tujuan. Apabila salah satu bagian rusak atau tidak dapat
menjalankan tugasnya. Maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan terpenuhi atau mengalami
gangguan. Norma hukum berbeda dengan norma lainnya karena memiliki sanksi yang tegas.
Dalam buku Menguak Realitas Hukum (2008) karya Ahmad Ali, hukum merupakan
seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Dibuat oleh pemerintah dan dituangkan dalam aturan tertulis maupun tidak tertulis. Bersifat
mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Disertai dengan
ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut.
Definisi Sistem Hukum Sistem hukum merupakan seperangkat aturan yang tersusun secara
teratur serta berasal dari berbagai pandangan, asas, teori para pakar. Sistem hukum dan
peradilan saling berhubungan satu sama lain. Dua-duanya membentuk sinergi di bidang
hukum secara menyeluruh di suatu negara. Sistem Hukum Nasional Dilansir dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sistem hukum Indonesia
dibuat berdasarkan pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar nasional. Sementara Pancasila
digunakan sebagai sumber hukum dasar nasional.
Prinsip pembentukan peraturan hukum nasional adalah peraturan yang sederajat atau yang
lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan yang sederajat atau yang lebih rendah. Apabila
peraturan yang sederajat bertentangan dengan peraturan sederajat lainnya (sejenis). Maka
yang berlaku adalah peraturan yang terbaru, peraturan yang lama dikesampingkan (lex
posterior derogat priori). Maka yang berlaku adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Sementara untuk peraturan yang mengatur hal-hal kekhususan dari hal-hal umum (sejenis)
yang diatur oleh peraturan yang sederajat. Maka yang berlaku adalah adalah peraturan yang
mengatur hal khusus tersebut (lex specialis derogat lex generalis). Selain UUD RI 1945 dan
Pancasila, Indonesia juga memiliki hukum nasional yang merupakan warisan hukum
kolonial, antara lain:
4. HIR, dll.
Arti dan Macam Hukum Perdata, Faktor penyebab berbhineka hukum perdata, Pedoman
politik pemerintah hindia belanda , Sistematika hukum perdata serta kedudukan hukum
perdata setelah kemerdekaan
hukum perdata sebagaimana terdapat dalam KUHPer meliputi semua hukum “privat materil”
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
2. Hukum Perdata dalam arti luas :
bahan hukum sebagaimana tertera dalam KUHPer, KUHD beserta sejumlah undang-undang
yang disebut undang-undang mengenai koperasi, undang-undang Perniagaan
memuat ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan dengan orang lain.
Misal : perkawinan, perjanjian, waris. Ketentuan hukum perdata materil ini terdapat dalam
KUHPer, KUHD dll
yaitu suatu ketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum
materiil. Ketentuan hukum perdata ini terdapat dalam HIR (RIB) khusus mengenai acara
perdata.
a. Faktor Ethis yaitu : keanekaragaman Hukum adat kita karena kita terdiri dari bermacam-
macam suku bangsa
b. Faktor Yuridis yaitu : terdiri dari penggolongan penduduk (Pasal 163 IS) dan
pengelompokan hukum (Pasal 131 IS)
a. Perintah KODIFIKASI
2. Hukum Keluarga, mengatur hukum yang bersumber pada pertalian kekeluargaan, mislanya
mengenai hukumj perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan. Hak dan
kewajiban disini tidak dapat dinilai dengan uang dan pada prinsipnya merupakan hubungan
hukum yang sifatnya kekal.
4. Hukum Waris mengatur mengenai harta benda seseorang setelah ia meninggal dunia.
Kedudukan KUHPerdata di Indonesia sering menuai pro dan kontra. Pada sidang Badan
Perancangan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei 1962, Sahardjo, S.H.,
sebagai Menteri Kehakiman pada masa tersebut menyatakan gagasan bahwa KUHPerdata
hanya dianggap sebagai pedoman. Hal ini disebabkan karena KUHPerdata dirasa kurang
sesuai dengan nilai–nilai yang hidup di Indonesia. Sebagaimana cita–cita negara Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan mengharapkan adanya sistem hukum yang didasarkan
kepribadiaan Indonesia, penafsiran KUHPerdata sebagai pedoman merupakan suatu bentuk
dorongan agar terwujudnya cita–cita tersebut. Dengan gagasan ini, hakim dapat
mengesampingkan beberapa pasal dalam KUHPerdata dan menggagas suatu aturan yang
baru. Pendapat ini juga didukung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3
Tahun 1963 yang diterbitkan oleh Ketua mahkamah Agung pada masa kepemimpinan
Wirjono Prodjodikoro, Burgerlijk Wetboek (BW) dianggap sebagai suatu kodifikasi hukum
tidak tertulis.
SEMA No.3 Tahun 1963 menyingkirkan beberapa pasal-pasal KUHPer yang dianggap
bertentang dengan UUD 1945 yaitu Pasal 108 BW, 110 BW, dan 284 BW. Bertentangan
dengan pendapat sebelumnya, sebagian kelompok menganggap KUHPerdata sebagai suatu
undang–undang yang berlaku secara sah dalam sistem hukum Indonesia. Pendapat ini
didasarkan dengan aturan peralihan UUD NRI 1945 yang memberlakukan KUHPerdata
sebagaimana disebutkan sebelumnya. Selain itu, pembaharuan bagian–bagian KUHPerdata
selama ini melalui pengaturan yang lebih khusus. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi
generali, pengaturan tersebut mengesampingkan KUHPerdata itu sendiri tetapi tidak spesifik
mencabut keberadaan KUHPerdata.
Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan
Teknik Pembentukannya juga menyatakan bahwa pengertian pencabutan peraturan
perundang[1]undangan berbeda dengan pengertian perubahan peraturan perundang-undangan
sehingga pencabutan peraturan perundang[1]undangan tidak merupakan bagian dari
perubahan peraturan perundang-undangan (Soeprapto, 2007: 174). Menurut Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, suatu peraturan perundang–undang hanya dapat digantikan
atau diubah, maupun dinyatakan tidak berlaku lagi/dicabut dengan peraturan perundang–
undangan yang setingkat atau lebih tingi, dengan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan
KUHPerdata merupakan suatu undang–undang.
Kelemahan UU
CONTOHNYA:
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, maupun karena undang-undang, yang dapat ditafsirkan bahwa perikatan lahir
karena perjanjian atau undang-undang, dengan kata lain undang-undang dan perjanjian
adalah sumber perikatan. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian sendiri
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dari perumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan perjanjian dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan (verbintenisscheppende overeenkomst) atau perjanjian yang obligatoir.
Menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak
lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya
menyangkut persetujuan “perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela
(zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Sehubungan dengan
hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian
tersebut.
Abdulkadir Muhammad Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memiliki
beberapa kelemahan antara lain :
a.Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja
“mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah
pihak..
Salim H. S; definisi perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah memiliki kelemahan sebagai berikut: 1) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat
disebut perjanjian; 2) Tidak tampak asas konsensualisme; 3) Bersifat dualisme.
PERTEMUAN KE 10
Berdasarkan asas the persuasive force of precedent, bahwa hakim boleh mengikuti atau tidak
keputusan-keputusan hakim sebelumnya perihal kasus atau perkara yang sejenis. Asas ini
banyak mendasari dan berlaku khususnya di Indonesia. Berlakunya asas ini, didasarkan
karena tidak hanya yurisprudensi saja yang dijadikan landasan yuridis, namun juga undang-
undang. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya
sebagai pelaksana undang-undang, melainkan sebagai pembentuk hukum. Secara normatif,
hal tersebut adalah baik, tetapi pada praktiknya justru terdapat banyak kelemahan.
Beberapa hakim dalam memutus lebih menekankan kepada aspek sosiologis dan terkadang
banyak menyalahi aturan hukum. Tidak menjadi masalah bahwa terdapat keputusan-
keputusan hakim yang menyimpang dari aturan hukumnya, tetapi bagaimana bila suatu
keputusan hukum tersebut ternyata merugikan pihak lain dan meskipun tidak merugikan
pihak yang memohon maupun bersengketa.
PERTEMUAN KE 14
Diskusikan
Menurutnya, adat recht merupakan nomenkaltur yang menunjukkan sebagai suatu sistem
hukum asli yang sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang mendiami seluruh penjuru
Nusantara, meskipun penamaan tersebut bukan asli bersumber dari Indonesia. Hukum Adat
sebagai adat recht yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social
control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Keberadaan hukum adat dalam sistem hukum nasional Indonesia mendapat tempat penting
dan strategis. Hukum adat sebagai bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat sudah ada jauh sebelum produk hukum kolonial diberlakukan di Indonesia atau
bahkan pada sejarah kolonialisme di Indonesia.
Pasal 5 ayat(1) UUNo. 48 tahun 2009 menentukan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.