Anda di halaman 1dari 5

Sistem Kekerabatan dan Sistem Sosial Minangkabau

Rossa Arianto

rossaarianto32@gmail.com

Pendidikan Sosiologi Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Padang

Abstrak

Kebudayaan Minangkabau adalah kebudayaan yang masih menganut sistem kekerabatan yang berdasarkan pada
asas matrilineal hingga saat ini. Artikel ini bertujuan untuk memahami sistem kekerabatan dan sistem sosial
Minangkabau serta pemenuhan tugas mata kuliah Masyarakat dan Kebudayaan Minangkabu. Kebudayaan
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal menempatkan perempuan sebagai pihak menetap, sedangkan pihak
laki-laki sebagi pihak yang mendatangi rumah perempuan. Sistem kekerabatan menempatkan perempuan sebagai
pewaris harta kekayaan.

1. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Pada sistem kekerabatan matrilineal ini garis keturunan adalah dari ibu dan wanita: anak-
anaknya hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya ayah dan keluarganya tidak masuk clan
anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-
garis keturunan lmatrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah
seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Menurut teori
evolusi, garis keturunan ibu dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah.
Selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan
ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitikberatkan terhadap evolusi
kehidupan manusia.

Garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan
pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi suatu perubahan
dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh karena itu, bagi orang Minangkabau garis
keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali
hubungannya dengan adatnya.

2. Sistem perkawinan dan adat menetap setelah kawin.

Ada 3 bentuk perkawinan pada masyarakat yaitu

a. Kawin jujur

b. Kawin sumando

c. Kawin bebas
Perkawinan masyarakat adat Minangkabau itu bersifat matrilokal yaitu lstri tidak ikut ke
rumah suami dan tidak pula masuk sebagai anggota keluarga dalam keluarga suaminya namun si
suamilah yang akan berdiam di rumah si istri. Pegertian "berdiam di rumah istri" di dalam
perkawinan sumando, sebenarnya suami tidak menetap di rumah istrinya tapi ia tetap menetap di
rumah keluarga asalnya (keluarga paruiknya sendiri). Hanya saja setiap malam ia akan datang
kerumah istrinya dan akan pulang di pagi hari.

Pada perkawinan adat Minangkabau ada syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang paling
utama adalah perkawinan tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip eksogami. Perkawinan
eksogami yaitu pnnslp perkawinan melarang perkawinan antara laki laki dan perempllan yang
seklan. Ini berarti bahwa seseorang Minangkabau dilarang kawin dengan seseorang yang berasal
dari suku yang serumpun. Suku serum pun disini di maksudkan adalah serumpun menurut garis
ibu, hingga eksogami pada masyarakat Minangkabau di sebut eksogami matrilokal atau eksogami
Matrilinial. " Akan tetapi pengertian serumpun, berbeda pada tiap-tiap daerah di Minangkabau.
Apakah serumpun itu sarna dengan semande, saparuik, sejurai, sesuku atau sesudut, semua
tergantung pada suku tersebut.

3. Suku (clan) & organisasi sosial Minangkabau

Kebudayaan Minangkabau secara turun-temurun telah menegaskan bahwa suku atau klen
merupakan komunitas yang satu meskipun berlainan desa atau daerahnya. Laki-laki adalah pihak
yang datang ke pihak perempuan, sistem ini berbeda dengan kekerabatan patrilineal pada
umumnya yang menempatkan perempuan yang datang ke pihak laki-laki. Keluarga inti menurut
kebudayaan Minangkabau diatur berdasarkan garis keturunan ibu. Ibu sebagai pusat kekerabatan
itu dalam kebudayaan Minangkabau disebut dengan Bundo Kanduang. Hubungan kekerabatan
dalam kebudayaan Minangkabau sebagai akibat dari adanya perkawinan akan melahirkan
hubungan sebagai berikut:

1) Tali kerabat induak bako anak pisang.

2) Tali kekerabatan sumando dan pasumandan

3) Sumando

4) Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya dia
berperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan mamak rumah
gadangnya.

5) Tali kekerabatan ipar, bisan dan menantu.

4. Kepemimpinan tradisional Minangkabau.

Struktur sosial Minangkabau tradisional dapat dibagi dalam dua sistem yang berbeda, yaitu:
The Royal Family System (Sistem keluarga penguasa kerajaan/bangsawan) dan The Commoners
(rakyat biasa). Kampung biasanya dikepalai oleh kepala kampung. Disamping itu juga terdapat
kepala dari masing-masing suku. Biasanya ada beberapa buah suku yang termasuk ke dalam
sebuah kampung. Kepala suku yang tertua di antara kepala suku yang ada dalam kampung yang
bersangkutan dipilih untuk menjadi kepala kampung, mereka dimuliakan dengan istilah Datuk
yang dipusakai.

Sebuah nagari biasanya dapat berisikan empat sampai sepuluh suku. Bahkan lebih, di
padang tahun 1933 terdapat delapan sampai seppuluh suku di Koto Tangah. Jadi suku bukanlah
merupakan unit teritorial,. Oleh karena itu kesatuan teritorial yang merupakan daerah otonom
adalah nagari. Terdapat beberapa tingkat bentuk Unit teritorial, dari rumah adat, berikut taratak,
dusun, koto, sampai pada nagari sebagai puncaknya. Setiap nagari memiliki sebuah balai adat,
masjid, jalan-jalan raya atau setapak, pandan pakuburan, medan laga, tepian mandi, lapangan
Bahkan nagari seharusnya juga memiliki sawah, perkebunan dengan berbagai jenis tumbuhan
yang ada di dalamnya.

Berangkat dari konsepsi historis masyarakat Minangkabau, maka dapatlah di telusuri bagai
mana kehadiran sistem kepemimpinan dan pengelompokan struktur kepemimpinan yang
berdasarkan Tungku Tigo Sajarangan, yaitu Kepemimpinan Ninik Mamak, Alim Ulama dan
Cerdik Pandai. Ini dapat dilihat dan díamati dalam proses perkembangan masyarakat
Minangkabau pada realitas sosial masyarakat itu sendiri.

5. Sistem dan Pola Pewarisan dalam Adat/Budaya Minangkabau.

Masyarakat adat Minangkabau memiliki asas-asas hukum waris yang bersandar pada sistem
kemasyarakatatmya dan bentuk perkawinannya. Asas-asas hukum waris Minangkabau tersebut
adalah:

1) Asas Unilateral

Artinya, hak mewarisnya di dasarkan hanya pada satu garis kekeluargaan yaitu garis
ibu (Matrilinial) dan harta warisnya adalah harta pusaka yang diturunkan dari nenek
moyang melalui garis ibu, diteruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan.

2) Asas Kolektif

Asas kolektif berarti bahwa harta pusaka tersebut diwarisi bersama-sama oleh para
ahli waris dan tidak dapat di bagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli
waris. Yang dapat dibagikan hanyalah hak penggunaannya.

3) Asas Keutamaan

Asas keutamaan atau garis pokok keutamaan ialah suatu garis yang menentukan
lapisan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga si pewaris, artinya
bahwa akan ada golongan yang satu lebih di utamakan dari golongan yang lainnya

Dari asas-asas diatas maka terlihat bahwa sistem kewarisan yang di pakai oleh adat
Minangkabau adalah sistem kewarisan Kolektif Matrilinial, yang artinya harta pusaka
peninggalan para pewaris tidak dapat dibagibagikan, yang dapat dibagikan hanyalah hak
penggunaannya kepada para ahli waris yang berhak yaitu ahli waris yang ditentukan berdasarkan
sistem Matrilinial adalah pihak perempuan. Kepemilikan secara kolektif ini akan menyebabkan
kematian seorang anggota keluarga dalam rumah tidak berpengaruh terhadap sifat kekolektifan
harta pusaka itu.

6. Upacara daur hidup (life cycle) masyarakat Minangkabau.

Cukup Banyak bentuk upacara tradisional yang dilalui oleh seseorang mulai semenjak lahir
sampai ia meninggal dunia. Upacara daur hidup itu antara lain adalah upacara kelahiran, upacara
turun mandi, khitanan atau sunat rasul, akekah, perkawinan dan tamat kaji (Khatam quran),
batagak pangulu dan kematian. Semua upacara tersebut mengandung nilai-nilai adat dan agama
karena di Minagkabau adat dan agama berjalan seiring saling menopang antara satu dengan
lainnya, sebagaimana diungkapkan dalam falsafah yang berbunyi: adat basandi Syarak, syarak
bersandi kitabullah. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa sesungguhnya unsur kebudayaan
atau nilai-nilai budaya daerah bagian terpadu dari kerangka kebudayaan atau nilai-nilai budaya
daerah bagian terpadu dari kerangka kebudayaan nasional.
Daftar Pustaka

Munir, M. (2015). Sistem kekerabatan dalam kebudayaan Minangkabau: perspektif aliran filsafat
strukturalisme Jean Claude Levi-Strauss. Gadjah Mada University.

Winstar, Y. N. (2007). Pelaksanaan Dua Sistem Kewarisan Pada Masyarakat Adat Minangkabau. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 37.

Anda mungkin juga menyukai