Anda di halaman 1dari 37

BAB I

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. PENGERTIAN

Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer,
1999, hal. 472).
Tuberculosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi
percikan ludah (droplet), orang ke orang dan mengkolonisasi bronkiolus atau
alveolus (Corwin, 2001, hal. 414).
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang
paru, tetapi juga mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, 2002,
hal. 9).

B. ETIOLOGI

Tuberculosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,


sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal
0,3 – 0,6 um. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehingga disebut
bakteri tahan asam. Sifat lain kuman ini adalah aerob yaitu kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan O2 nya. Dalam hal ini tekanan O2
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis. (Soeparman,
1999, hal. 715).
Mereka yang paling beresiko tertular basil adalah mereka yang tinggal
berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif khususnya individu yang sistem
imunnya tidak adekuat (Corwin, 2001, hal. 414).
C. MANIFESTASI KLINIK

Gejala utama TB paru menurut Mansjoer (1999 hal 472) adalah:


a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41oC,
b. Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar, sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah muncul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang
lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang
pecah.
c. Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Maleise
Gejala maleise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu
makan, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat
malam.
Pasien TB paru menampakkan gejala klinis yaitu:
a. Tahap asimtomatis
b. Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnansi dan regresi
c. Eksaserbasi yang memburuk.
d. Gejala berulang dan menjadi kronik.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda:
a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronchi basah, dan lain-lain).
b. Tanda-tanda penarikan paru diafragma, dan mediastrium.
c. Sekret di saluran nafas dan ronchi.
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronkus.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer (1999 hal. 472 ) pemeriksaan penunjang pada
Tuberculosis paru antara lain:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, Limfositosis)
c. Foto toraks Postereor Anterior (PA) dan lateral. Gambaran foto toraks
yang menunjang diagnosis tuberculosis, yaitu:
1) Bayang lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah.
2) Bayangan berawan (patchy) berbercak (nodular).
3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
5) Adanya kalsifikasi.
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
7) Bayangan milier.
d. Pemeriksaan sputum BTA
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru, namun
pemeriksaan ini tidak sensitif karena hanya 30 – 70% pasien TB yang
dapat di diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini.
e. Tes PAP (Peroksislase anti Peroksidase)
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen
imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya lg 6 spesifik
terhadap basil TB.
f. Tes Mantoux/Tuberkulin
g. Teknik Polymerase Chain Reaction
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam
berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada satu
mikroorganisme dalam spesimen.
h. Becton Dikinson Diagnotic Instrumen System (BACTEC)
Deteksi Growth Index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak oleh Mycobacterium Tuberculosis.
i. Enzim Inked Immunosorbent Assay
j. Mycodot
Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang
direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan
dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah
memadai maka warna sisir akan berubah.

E. PATOFISIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis yang biasanya ditularkan melalui inhalasi
percikan ludah (droplet), orang ke orang dan mengkolonisasi bronkiolus atau
alveolus. Apabila bakteri tuberculin dalam jumlah yang bermakna berhasil
menembus mekanisme pertahanan sistem pernapasan dan berhasil menempati
saluran napas bawah, maka pejamu akan melakukan respons imun dan
peradangan yang kuat. Karena respons yang hebat ini, akibat diperantarai oleh
sel T, maka hanya sekitar 5 % orang yang terpajan basil tersebut menderita
tuberculosis aktif. Penderita TBC yang bersifat menular bagi orang lain adalah
mereka yang mengidap infeksi tuberculosis aktif dan hanya pada masa infeksi
aktif.
Basil mycobacterium tuberculosis sangat sulit dimatikan apabila telah
mengkolonisasi saluran nafas bawah, maka tujuan respons imun adalah lebih
untuk mengepung dan mengisolasi basil bukan untuk mematikannya. Respons
selular melibatkan sel T serta makrofag. Makrofag mengelilingi basil diikuti
oleh sel T dan jaringan fibrosa membungkus kompleks makrofag basil
tersebut. Tuberkel akhirnya mengalami kalsifikasi dan disebut kompleks
Ghon, yang dapat dilihat pada pemeriksaan sinar-x toraks. Sebelum ingesti
bakteri selesai, bahan mengalami perlunakan (perkijuan). Mikro-organisme
hidup dapat memperoleh akses ke sistem trakeobronkus dan menyebar melalui
udara ke orang lain. Bahkan walaupun telah dibungkus secara efektif, basil
dapat bertahan hidup dalam tuberkel.
Apabila partikel infeksi terisap oleh orang sehat, akan menempel pada
jalan nafas atau paru-paru. Kuman menetap di jaringan paru akan bertumbuh
dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini kuman dapat
terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan
paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut
sarang primer.
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil
yang lebih besar cenderung tertahan di salurang hidung dan cabang besar
bronkus. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Kerusakan pada paru akibat infeksi adalah disebabkan oleh basil serta
reaksi imun dan peradangan yang hebat. Edema interstisium dan pembentukan
jaringan parut permanen di alveolus meningkatkan jarak untuk difusi oksigen
dan karbondioksida sehingga pertukaran gas menurun.(Corwin, 2001: 414)
F. CLINICAL PATHWAY
Droplet nucler/dahak yang mengandung
basil TBC (Mycobacterium Tuberculosis)

Faktor dari luar: Batuk, bersin Faktor dari dalam:


- Faktor toksik (alkohol, rokok) - Usia muda/bayi
- Sosial ekonomi rendah - Gizi buruk
- Terpapar penderita TBC Dihirup masuk paru - Lanjut usia
- Lingkungan buruk

Mycobacterium menetap/dormant

Resiko tinggi
Kurang informasi Imunitas tubuh menurun Penyebaran kuman

Kurang pengetahuan Membentuk sarang TB


Premonia Kecil/sarang primer

Broncus Pleura Infiltrasi setengah


bagian paru

Iritasi Menyebabkan
infiltrasi pleura
Sesak napas
Peradangan
pada bronkus
Terjadi gesekan inspirasi
dan eksperasi
Malaise Batuk Pembuluh
darah pecah
Distres pernapasan

Anoreksi Skret kental Nyeri dada


a

BB Menurun Batuk darah


Resiko kerusakan
pertukaran gas

Nutrisi kurang Bersihan jalan


dari kebutuhan napas tidak efektif

G. KOMPLIKASI
Sumber: (Corwin, 2001; Soeparman, 1998 & Doengoes, 2000)
Komplikasi yang mungkin muncul akibat TBC antara lain (Depkes,
2000, hal 11) :
1. Hemoptisis
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
3. Bronkiektasis
4. Pneumotorak
5. Penyebaran infeksi ke organ lain
6. Insufisiensi cardio pulmoner

H. PENATALAKSANAAN THERAPI MEDIC


Menurut Mansjoer (1999 hal 473) penatalaksanaan pada tuberculosis
paru antara lain:
1. Obat anti TB (OAT)
OAT harus di berikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisi dengan atau tanpa obat ketiga.
Tujuan pemberian OAT, antara lain:
a. Membuat konversi sputum BTA positif menjadi _egative secepat
mungkin melalui kegiatan bekterisid.
b. Mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah pengobatan
dengan kegiatan sterilisasi.
c. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi melalui perbaikan
daya tahan imunologis.
2. Pengobatan TB dilakukan melalui 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bekterisid untuk memusnahkan
populasi kuman yang membelah dengan cepat.
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan
jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan
konvensional.
OAT yang biasa digunakan antara lain Isoniazid (INH), Rifampisin
®, Pirazinamid (Z) dan Steptomosin (S) yang bersifat bekterisid dan
etambutol yang bersifat bakteriostatik.
3. Panduan OAT pada TB paru (WHO 1993)
Panduan Klasifikasi dan Fase
Fase Awal
OAT Tipe Penderita Lanjutan
Kategori 1 I.BTA (+) baru 2 HRZS (E) 4 RH
J.Sakit berat: BTA (-) luar paru 2 RHZS (E) 4 R3H3
Kategori 2 Pengobatan Ulang:
K. Kambuh BTA (+) 2 RHZES/1 RHZE 5 RHE
L.Gagal 2 RHZES/1 RHZE 5 R3H3E3
Kategori 3 M. TB paru BTA (-) 2 RHZ 4 RH
N. TB luar paru 2 RHZ/2 R3H3Z3 4 R3H3

Keterangan:
4 HRZ : Tiap hari selama 2 bulan
4 RH: Tiap hari selama 4 bulan
4 H3R3: 3 kali seminggu selama 4 bulan
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

Pemberian Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang


melibatkan hubungan kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Canpernito, 2000,2).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik
tersebut yaitu proses keperawatan. Proses keperewatan dipakai untuk membantu
perawat dalam melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi
masalah keperawatan yang ada, dimana keempat komponennya saling
mempengaruhi satu sama lain yaitu : pengkajian, perencanaan, implementasi dan
evaluasi yang membentuk suatu mata rantai (Budi anna Keliat, 1994,2).
Dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 4 tahap yaitu :
Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. (H. Lismidar, 1990, IX).

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah komponen kunci dan pondasi proses keperawatan, pengkajian
terbagi dalam tiga tahap yaitu, pengumpulan data, analisa data dan diagnosa
keperawatan. (H. Lismidar, 1990. Hal 1).

Pengumpulan data
Dalam pengumpulan data ada urutan – urutan kegiatan yang dilakukan yaitu:
1) Identitas klien
Nama, umur, kuman TBC menyerang semua umur, jenis kelamin, tempat
tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah
dan satitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan
pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB patu yang lain. (dr. Hendrawan
Nodesul, 1996. Hal 1).

2) Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi
pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada
saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.

3) Riwayat penyakit sekarang


Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di
rasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam,
nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong penderita untuk
mencari pengonbatan.
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan
menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul.
Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan
keluhan-keluhannya tersebut.
4) Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit – penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang
mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA efusi pleura serta
tuberkulosis paru yang kembali aktif.

5) Riwayat penyakit keluarga


Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita
penyakit tersebut sehingga sehingga diteruskan penularannya.

6) Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan
terhadap dirinya.
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi
kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya
riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain (dr. Hendrawan
Nodesul, 1996).
7) Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya
riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa
menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak –
desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah
yang sumpek. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996).
b) Pola nutrisi dan metabolik
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan
selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan
effusi pleura keadaan umumnya lemah.
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan
menurun. (Marilyn. E. Doenges, 1999).

c) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien
yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
Klien TB paru tidak mengalami perubahan atau kesulitan dalam miksi
maupun defekasi.
d) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan
Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu
pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan
untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh
perawat dan keluarganya.
Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu
aktivitas. (Marilyn. E. Doegoes, 1999).

e) Pola tidur dan istirahat


Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu
akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke
lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik
dan lain sebagainya.
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru
mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat. (Marilyn. E.
Doenges, 1999).
f)Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami
perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh
anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun
juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena
penyakit menular. (Marilyn. E. Doenges, 1999).

g) Pola sensori dan kognitif


Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan
pendengaran) tidak ada gangguan.

h) Pola persepsi dan konsep diri


Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya
sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang
awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit
berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan
gambaran positif terhadap dirinya.
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan
rasa kawatir klien tentang penyakitnya. (Marilyn. E. Doenges, 1999).

i)Pola reproduksi dan seksual


Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse
akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit
dan kondisi fisiknya masih lemah.
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah
karena kelemahan dan nyeri dada.

j)Pola penanggulangan stress


Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan
mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat
dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu
mengenai penyakitnya.
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan
mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan
terhadap pengobatan. (dr. Hendrawan Nodesul, 1996. Hal 23).

k) Pola tata nilai dan kepercayaan


Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan
dari Tuhan.
Karena sesak napas, nyeri dada dan batuk menyebabkan terganggunya
aktifitas ibadah klien.

8) Pemeriksaan fisik
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku
pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan
berat badan pasien.
Pemeriksaan yang mendukung berdasarkan system tubuh :

a) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
Inspeksi : Adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma, pergerakan
napas yang tertinggal, suara napas melemah. (Purnawan Junadi
DKK, th 1982, hal 213)
Palpasi : Fremitus suara meningkat. (Hood Alsogaff, 1995. Hal 80)
Perkusi : Suara ketok redup. (Soeparman, DR. Dr. 1998. Hal 718)
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan
yang nyaring. (Purnawan. J. dkk, 1982, DR. Dr. Soeparman, 1998.
Hal 718)
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui
dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya
dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya >
250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada
yang tertinggal pada dada yang sakit.
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya
tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan
berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam
posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas
di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan
makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari
parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari
atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i
– e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka akan
terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus,
Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)

b) Sistem kordiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada
ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk
menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman
dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu
getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara
jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah.
Adanya takipnea, takikardia, sianosis, bunyi P2 yang mengeras.
(DR.Dr. Soeparman, 1998. Hal 718).

c) Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga
diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau
comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain
itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan dan pengecapan.
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 4 – 5 – 6.

d) Sistem gastrointestinal
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu
juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah
nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk
mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien
teraba. Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinarta, tumor).
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun. (DR.Dr.
Soeparman, 1998. Hal 718).

e) Sistem muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada
kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan
pemerikasaan capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan
pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan
keadaan sehari – hari yang kurang meyenangkan. (Hood Al Sagaff, 1995. Hal
87).

f) Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya
lesi pada kulit, pada Px dengan effusi biasanya akan tampak cyanosis akibat
adanya kegagalan sistem transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-
lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun.

g) Sistem pengindraan
Pada klien TB paru untuk pengindraan tidak ada kelainan.
h) Sistem genetalia
Biasanya klien tidak mengalami kelainan pada genitalia.

9) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini
berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya
terdapat di apeks dan segmen posterior lobus atas paru – paru atau pada
segmen superior lobus bawah. (Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal 719).
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300
cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa
penumpukkan kostofrenikus. Pada effusi pleura sub pulmonal, meski cairan
pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak tumpul, diafragma kelihatan
meninggi. Untuk memastikan dilakukan dengan foto thorax lateral dari sisi
yang sakit (lateral dekubitus) ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila
cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff, 1990, 786-787).

b) Pemeriksaan laboratorium
(1) Darah
Adanya kurang darah, ada sel – sel darah putih yang
meningkatkan serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses aktif.
(Head Al Sagaff. 1995. Hal 91).

(2) Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum yang
terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang biasanya diambil pada
pagi hari. (DR. Dr. Soeparman dkk, 1998. Hal 719, Barbara. T. long.
Long. Hal 447, th 1996).

(3) Test Tuberkulosis


Test tuberkulosis memberikan bukti apakah orang yang dites
telah mengalami infeksi atau belum. Tes menggunakan dua jenis bahan
yang diberikan yaitu : Old tuberkulosis (OT) dan Purifled Protein
Derivative (PPD) yang diberikan dengan sebuah jarum pendek (1/2 inci)
no 24 – 26, dengan cara mecubit daerah lengan atas dalam 0,1 yang
mempunyai kekuatan dosis 0,0001 mg/dosis atau 5 tuberkulosis unit (5
TU). Reaksi dianggap bermakna jika diameter 10 mm atau lebih reaksi
antara 5 – 9 mm dianggap meragukan dan harus di ulang lagi. Hasil akan
diketahui selama 48 – 72 jam tuberkulosis disuntikkan. (DR. Dr.
Soeparman, 1998, hal 721, Sylvia. A. price, 1995, hal 755, Barbara. C.
long, 1996, hal 446).

Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :


a. Pemeriksaan Biokimia
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Transudat Eksudat
Kadar protein dalam effusi 9/dl <3 >3
Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6
Kadar LDH dalam serum
Berat jenis cairan effusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negatif Positif
Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga
cairan pleura :
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit
infeksi, arthritis reumatoid dan neoplasma
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis
adenocarcinona (Soeparman, 1990, 787).
b. Analisa cairan pleura
- Transudat : jernih, kekuningan
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan
- Hilothorax : putih seperti susu
- Empiema : kental dan keruh
- Empiema anaerob : berbau busuk
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah
c. Perhitungan sel dan sitologi
Leukosit 25.000 (mm3):empiema
Banyak Netrofil : Pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru
Banyak Limfosit : Tuberculosis, limfoma, keganasan.
Eosinofil meningkat : Emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan jamur
Eritrosit : Mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan
tampak kemorogis, sering dijumpai pada pankreatitis
atau pneumoni. Bila erytrosit > 100000 (mm 3
menunjukkan infark paru, trauma dada dan
keganasan.
Misotel banyak : Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa
disingkirkan.
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat
ditemukan sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi
karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme
obstruksi, preamonitas atau atelektasis (Alsagaff
Hood, 1995 : 147,148)
d. Bakteriologis
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneamo
cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB
kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang
positif sampai 20 % (Soeparman, 1998: 788).

Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan
masalah klien. Masalah klien yang timbul yaitu, sesak napas, batuk, nyeri dada,
nafsu makan menurun, aktivitas, lemas, potensial, penularan, gangguan tidur,
gangguan harga diri.
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan dianalisa
sehingga dapat ditemukan adanya masalah yang muncul pada klien tuberkulosis
paru komplikasi effusi pleura. Selanjutnya masalah tersebut dirumuskan dalam
diagnosa keperawatan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir dari perkajian adalah merumuskan Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah
kesehatan klien yang dapat diatas dengan tindakan keperawatan (H. Lismidar,
1990, 12).
Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data sari hasil
pengkajian, maka diagnosa keperawatan yang ditemukan di kelompokkan menjadi
diagnosa aktual, potensial dan kemungkinan. (Budianna Keliat, 1994,1)
Dari analisa data diatas yang ada dapat dirumuskan diagnosa keperawatan
pada klien dengan tuberkulosis paru komplikasi effusi pleura sebagai berikut :
1) Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan dengan sekresi mukopurulen
dan kurangnya upaya batuk (Marilyn E. Doenges, 1999)
2) Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang sehubungan dengan
keletihan, anorerksia atau dispnea. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
3) Resiko terhadap transmisi infeksi sehubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang resiko potogen. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
4) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan
dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan
perawatan dirumah.
5) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret kental,
kelemahan dan upaya untuk batuk. (Marilyn. E. Doenges, 1999)
6) Potensial terjadinya kerusakan pertukaran gas sehubungan dengan penurunan
permukaan efektif proses dan kerusakan membran alveolar – kapiler.
(Marilyn. E. Doenges, 1999)
7) Ganggguan pemenuhan kebutuhan tidur sehubungan daerah sesak napas dan
nyeri dada. (lynda, J. Carpenito, 1998).
8) Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan
Martin Tucleer, dkk, 1998).
9) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu
makan akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen
(Barbara Engram, 1993).
10) Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
11) Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap
dan sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).
12) Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan
keletihan (keadaan fisik yang lemah). (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).
13) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan
dengan kurangnya informasi. (Barbara Engram, 1993).

C. PERENCAAAN
Setelah mengumpulkan data, mengelompokan dan merumuskan Diagnosa
keperawatan, maka tahap selanjutnya adalah menyusun rencana tindakan untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah klien.(Budianna Keliat,
1994, 16). Dalam tahap perencanaan ini meliputi 3 tahap yaitu : menentukan
prioritas Diagnosa keperawatan, menentukan tujuan m+erencanakan tindakan
keperawatan.
Dari Diagnosa keperawatan diatas dapat disusun rencana keperawatan
sebagai berikut :
1. Diagnosa keperawatan pertama : Ketidakefektifan pola pernapasan sehubungan
dengan sekresi mukopurulen dan kurangnya upaya batuk.
1. Tujuan : pola nafas efektif
2. Kriteria hasil :
- klien mempertahankan pola pernafasan yang efektif
- frekwensi irama dan kedalaman pernafasan normal (RR 16 – 20
kali/menit)
- dipsnea berkurang.
3. Rencana tindakan
a) Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori
pernapasan : catat setiap peruhan
b) Kaji kualitas sputum : warna, bau, konsistensi
c) Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam
d) Baringan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler
tinggi.
e) Bantu dan ajakan klien berbalik posisi, batuk dan napas dalam setiap 2
jam sampai 4 jam.
f) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat – obatan.
4. Rasional
a) Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret.
b) Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan perawatan dan
pengobatan selanjutnya.
c) Mengetahui sendini mungkin perubahan pada bunyi napas.
d) Membantu mengembangkan paru secara maksimal.
e) Batuk dan napas dalam yang tetap dapat mendorong sekret laluar.
f) Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret
dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial.

2. Diagnosa keperawatan kedua : Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


yang sehubungan dengan anoreksia, keletihan atau dispnea.
1) Tujuan : terjadi peningkatan nafsu makan, berat badan yang stabil dan bebas
tanda malnutrisi
2) Kriteria hasil
- Klien dapat mempertahankan status malnutrisi yang adekuat
- Berat badan stabil dalam batas yang normal.
3) Rencana tindakan
a) Mencatat status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas mukosa
oral, riwayat mual / muntah atau diare.
b) Pastikan pola diet biasa klien yang disukai atau tidak
c) Mengkaji masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik
d) Berikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan
e) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
f) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetukan komposisi diet.
4) Rasional
a) Berguna dalam mendefenisikan derajat / wasnya masalah dan pilihan
indervensi yang tepat.
b) Membantu dalam mengidentifukasi kebutuhan / kekuatan khusus.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masakan diet.
c) Berguna dalam mengukur keepektifan nutrisi dan dukungan cairan
d) Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputun atau obat untuk
pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
e) Memaksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu /
legaster.
f) Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat
untuk kebutuhan metabolik dan diet.
3. Diagnosa keperawatan ketiga : Resiko terhadap transmisi infeksi sehubungan
dengan kurangnya pengtahuan tentang resiko patogen.
1) Tujuan : klien mengalami penurunan resiko untuk menularkan penyakit
seperti yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien untuk mengubah tes
kulit positif.
2) Kriteria hasil :
- klien mengalami penurunan potensi menularkan penyakit yang
ditunjukkan oleh kegagalan kontak klien.
3) Rencana tindakan.
a) Identifikasi orang lain yang berisiko. Contah anggota rumah, sahabat.
b) Anjurkan klien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tisu dan
hindari meludah serta tehnik mencuci tangan yang tepat.
c) Kaji tindakan. Kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi
pernafasan.
d) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengatifan berulang
tuberkulasis.
e) Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
f) Kolaborasi dan melaporkan ke tim dokter dan Depertemen Kesehatan
lokal.
4) Rasional
a) Orang yang terpajan ini perlu program terapi obat intuk mencegah
penyebaran infeksi
b) Perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi
c) Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan membuang
stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular
d) Pengetahuan tentang faktor ini membantu klien untuk mengubah pola
hidup dan menghindari insiden eksaserbasi
e) Periode singkat berakhir 2 sampai 3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi
pada adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi
dapat berlanjut sampai 3 bulan
f) Membantu mengidentifikasi lembaga yang dapat dihubungi untuk
menurunkan penyebaran infeksi.

4. Diagnosa keperawatan keempat : Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan


pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan dirumah.
1) Tujuan : klien mengetahui pengetahuan imformasi tentang penyakitnya.
2) Kriteria hasil :
- Klien memperlihatkan peningkatan tingkah pengetahuan mengenai
perawatan diri.
3) Rencana tindakan
a) Kaji kemampuan klien untuk belajar mengetahui masalah, kelemahan,
lingkungan, media yang terbaik bagi klien.
b) Identifikasi gejala yang harus dilaporkan keperawatan, contoh
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas.
c) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan
alasan pengobatan lama,kaji potensial interaksi dengan obat lain.
d) Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan masalah.
e) Dorong klien atau orang terdekat untuk menyatakan takut atau masalah,
jawab pertanyaan secara nyata.
f) Berikan intruksi dan imformasi tertulis khusus pada klien untuk rujukan
contoh jadwal obat.
g) Evaluasi kerja pada pengecoran logam / tambang gunung, semburan
pasir.

4) Rasional
a) Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada
tahapan individu.
b) Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek
obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
c) Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai perbaikan kondisi klien.
d) Mencegah dan menurunkan ketidaknyamanan sehubungan dengan terapi
dan meningkatkan kerjasama dalam program.
e) Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi /
peningkatan ansietas.
f) Informasi tertulis menurunkan hambatan klien untuk mengingat sejumlah
besar informasi. Pengulangan penguatkan belajar.
g) Terpajan pada debu silikon berlebihan dapat meningkatkan resiko
silikosis, yang dapat secara nagatif mempengaruhi fungsi pernafasan.

5. Diagnosa keperawatan kelima : Ketidakefektifan jalan nafas yang sehubungan


dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk.
1) Tujuan : jalan nafas efektif
2) Kriteria hasil :
- klien dapat mengeluarkan sekret tanpa bantuan
- klien dapat mempertahankan jalan nafas
- pernafasan klien normal (16 – 20 kali per menit).
3) Rencana tindakan :
a) Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas, kecepatan, irama, dan
kedalaman penggunaan otot aksesori.
b) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif.
c) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu klien untuk batuk dan
latihan untuk nafas dalam.
d) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
e) Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari, kecuali ada
kontraindikasi.
f) Lembabkan udara respirasi.
g) Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik, bronkodilator , dan
kortikosteroid.

4) Rasional.
a) Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronkhi, mengi
menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk membersihkan
jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori
pernafasan dan peningkatan kerja penafasan.
b) Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum berdarah kental
diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka brongkial dan dapat
memerlukan evaluasi lanjut.
c) Posisi membatu memaksimalkan ekspansi paru dan men urunkan upaya
pernapasan. Ventilasi maksimal meningkatkan gerakan sekret kedalam
jalan napas bebas untuk dilakukan.
d) Mencegah obstruksi /aspirasi penghisapan dapat diperlukan bila klien tak
mampu mengeluaran sekret.
e) Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengecerkan sekret
membuatnya mudah dilakukan.
f) Mencegah pengeringan mambran mukosa, membantu pengenceran
sekret.
g) Menurunkan kekentalan dan perlengketan paru, meningkatkan ukuran
kemen percabangan trakeobronkial berguna padu adanya keterlibatan
luas dengan hipoksemia.

6. Diagnosa keperawatan keenam : Resiko terjadinya kerusakan pertukaran gas


sehubungan dengan penurunan permukaan efektif paru dan kerusakan membran
alveolar – kapiler.
1) Tujuan : Pertukaran gas berlangsung normal
2) Kreteria hasil :
- Melaporkan tak adanya / penurunan dispnea
- Klien menunjukan tidak ada gejala distres pernapasan
- Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang normal.

3) Rencana tindakan
a) Kaji dispnea, takipnea, menurunya bunyi napas, peningkatan upaya
pernapasan terbatasnya ekspansi dinding dada
b) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sionosis perubahan
warna kulit, termasuk membran mukosa
c) Tujukkan / dorong bernapas bibir selama ekshalasi
d) Tingkatkan tirah bang / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri
sesuai keperluan
e) Awasi segi GDA / nadi oksimetri
f) Berikan oksigen tambahan yang sesuai.

4) Rasional
a) TB paru menyebabkan efek luas dari bagian kecil bronko pneumonia
sampai inflamasidifus luas. Efek pernapasan dapat dari ringan sampai
dispnea berat sampai distress pernapasan
b) Akumulasi sekret . pengaruh jalan napas dapat menganggu oksigenasi
organ vital dan jarigan
c) Membuat, sehingga tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps
membantu menyebabkan udara melalui paru dan menghilangkan atau
menurtunkan napas pendek
d) Menurunkan konsumsi oksigen selama periode menurunan pernapasan
dapat menurunkan beratnya gejala
e) Penurunan kandungan oksigen (PaO2) dan atau saturasi atau peningkatan
PaCO2 menunjukan kebutuhan untuk intervensi / perubahan program
terapi
f) Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder
terhadap penurunan ventilasi atau menurunya permukaan alveolar paru.

7. Diagnosa keperawatn ketujuh : Gangguan pemenuhan tidur dan istirahat


sehubungan dengan sesak napas dan nyeri dada.
1) Tujuan : kebutuhan tidur terpenuhi.

2) Kriteria hasil :
- memahami faktor yang menyebabkan gangguan tidur
- Dapat menangani penyebab tidur yang tidak adekuat
- Tanda – tanda kurang tidur dan istirahat tidak ada.
3) Rencana tindakan
a) kaji kebiasaan tidur penderita sebelum sakit dan saat sakit
b) Observasi efek abot – obatan yang dapat di derita klien
c) Mengawasi aktivitas kebiasaan penderita
d) Anjurkan klien untuk relaksasi pada waktu akan tidur.
e) Ciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman.

4) Rasional
a) Untuk mengetahui sejauh mana gangguan tidur penderita
b) Gangguan psikis dapat terjadi bila dapat menggunakan kartifosteroid
temasuk perubahan mood dan uisomnia
c) Untuk mengetahui apa penyebab gangguan tidur penderita
d) Memudahkan klien untuk bisa tidur
e) Lingkungan dan suasana yang nyaman akan mempermudah penderita
untuk tidur.

8. Diagnosa Keperawatan Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan


menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga
pleura.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
Kriteria hasil :
- Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi
nafas terdengar jelas.
Rencana tindakan :
a. Identifikasi faktor penyebab.
Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan
jenis effusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan
yang terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan,
kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi
paru bisa maksimal.
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon
pasien).
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.
Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian
paru-paru.
f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam.
Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta
foto thorax.
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia. Dengan foto thorax dapat
dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang
paru.

9. Diagnosa Keperawatan Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan
nafsu makan akibat sesak nafas.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil :
- Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan hasil
laboratorium dalam batas normal.

Rencana tindakan :
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya,
kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya
nutrisi bagi tubuh.
b. Auskultasi suara bising usus.
Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya
gangguan pada fungsi pencernaan.
c. Lakukan oral hygiene setiap hari.
Rasional : Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu
makan.
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak
selingan memudahkan reflek.
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian di’it TKTP
Rasional : Di’it TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan
pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua
asam amino esensial.
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya
(zevity, ensure, socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 %
dari kebutuhan.
Rasional : Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah
asam lemak dalam tubuh.

10. Diagnosa Keperawatan Cemas atau ketakutan berhubungan dengan adanya


ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan : Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga
tidak terjadi kecemasan.
Kriteria hasil :
- Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan
keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas
teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.
Rencana tindakan :
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi
fowler.
b. Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.
Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat
diajak kerjasama dalam perawatan.
c. Ajarkan teknik relaksasi
Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
d. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat
bermanfaat dalam mengatasi stress.
e. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.
Rasional : Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik
f. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang
dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
g. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.

11. Diagnosa Keperawatan Gangguan pola tidur dan istirahat berhubungan dengan
batuk yang menetap dan nyeri pleuritik.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat
terpenuhi.
Kriteria hasil :
- Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami
gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan
pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.

Rencana tindakan :
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan
memperlancar peredaran O2 dan CO2.
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan
pasien sebelum dirawat.
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan
mengganggu proses tidur.
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.

12. Diagnosa Keperawatan Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari


berhubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).
Tujuan :Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteria hasil :
- Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup.
Rencana tindakan :
a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas
serta adanya perubahan tanda-tanda vital.
Rasional : Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan
aktivitas.
b. Bantu Px memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
c. Awasi Px saat melakukan aktivitas.
Rasional : Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan
selanjutnya.
d. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
Rasional : Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara
penuh.
e. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat.
Rasional : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.
f. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap.
Rasional : Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu
mengembalikan pasien pada kondisi normal.

13. Diagnosa Keperawatan Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.
Kriteria hasil :
- Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.
- PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan
evaluasi medik.
- Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan
pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.
Rencana tindakan :
a. Kaji patologi masalah individu.
Rasional : Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan
pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya
intervensi terapeutik.
b. Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.
Rasional : Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi
dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh.
c. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh,
nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).
Rasional : Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk
mencegah, menurunkan potensial komplikasi.
d. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat,
latihan).
Rasional : Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan
dan dapat mencegah kekambuhan.

D. PELAKSANAAN
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
rencana keperawatan diantaranya :
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;
ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi
serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari
rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan
perawatan yang muncul pada pasien (Budianna Keliat,SKp. tahun 1994,4).
Pada tahap pelaksanaan ini, fase pelaksanaan terdiri dari berbagai kegiatan yaitu :
1. Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan konsulidasi
2. Keterampilan interpersonal, intelektual, tehnical, dilakukan dengan cermat
dan efisien pada situasi yang tepat
3. Keamanan fisik dan psikologia dilindungi
4. Dokumentasi intervensi dan respon klien.
(Budi Anna Keliat, SKp, tahun 1994, hal 13).

E. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana
evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan
pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian
ulang (US. Midar H, dkk, 1989).
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :
a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.
d. Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan
aktivitas seperti biasanya.
e. Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti
sesak nafas, nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau
perawat yang merawatnya.
f. Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.
g. Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan
dengan penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak
menguntungkan bagi kesehatan seperti merokok, minum minuman beralkohol
dan pasien juga menunjukkan pengetahuan tentang kondisi penyakitnya.
Ada tiga alternatif yang dipakai perawat dalam menilai suatu tindakan
berhasil atau tidak dan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan rencana yang ditentukan, adapu
alternatif tersebut adalah :
1. Tujuan tercapai
2. Tujuan tercapai sebagian
3. Tujuan tidak tercapai
(Budi Anna Keliat, SKP, th 1994, hal 69.)
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (1995). Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press. Surabaya.

Amin muhammad, Hood Alsagaff. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga
University Press. Surabaya.

Blac,MJ Jacob. (1993). l.uckman & Sorensen’s Medical surgical Nursing A


Phsycopsicologyc Approach. W.B. Saunders Company. Philapidelpia.

Barbara Engram. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 1.


Penerbit EGC. Jakarta.

Carpenito, L.J., (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2. EGC
Jakarta.

Diana C. Baughman. ( 2000 ), Patofisiologi, EGC, Jakarta.

Hudak & Gallo, ( 1997 ). Keperawatan kritis : suatu pendekatan holistic, EGC,
Jakarta

Keliat, Budi Anna. (1991). Proses Keperawatan. Arcan. Jakarta.

Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI :


Media Aescullapius Jakarta.

Marylin E doengoes. (2000). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman untuk


Perencnaan /pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC.Jakarta.

Soeparman, Sarwono Waspadji. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.

Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep


Klinis Proses - Proses Penyakit. EGC. Jakarta.

Yunus Faisal. (1992). Pulmonologi Klinik. Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta.

36
37

Anda mungkin juga menyukai