Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KOMUNITAS DAN BUDAYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tema 19

“Asuhan Kebidanan Komunitas”

DOSEN PEMBIMBING:

Mega Dewi Lestari, SST.,M.Keb

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

1. Neng Rospita Permatasari 314119002 5. Vebby Aulia A 314119024


2. Anggraini Prathama 314119004 6. Rika Indriani 314119031
3. Syerina Noer Amalia 314119009 7. Husniah 314119036
4. Devia Mustika A 314119019

S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KESEHATAN

UNIIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tepat waktunya.
Tidak lupa shalawat serta salam terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kepada
keluarganya, para sahabatnya, dan kita sebagai umatnya.
Tujuan dibuatnya laporan ini tidak lain untuk memenuhi tugas mata kuliah Tema 19
“Asuhan Kebidanna Komunitas”. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Asuhan Kebidanan Komunitas bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Ibu Mega Dewi Lestari, SST.,M.Keb
sebagai dosen pembimbing dalam laporan ini sehingga saya bisa menyelesaikan tugas ini
tepat waktu. Saya menyadari makalah yang kita susun ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, saya nantikan demi kesempurnaan
laporan ini.

Cimahi, 27 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................... 1
B. Masalah ................................................................................................................2
C. Tujuan ..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................3
A. Komunitas............................................................................................................3
B. Prinsip pelayanan asuhan dan tanggung jawab bidan pada pelayanan kebidanan
komunitas............................................................................................................3
C. Ruang lingkup pelayanan kebidanan di komunitas.............................................4
D. Kegiatan dalam pelayanan kebidanan komunitas PWS KIA..............................5
E. Konsep sosial budaya..........................................................................................6
F. Aspek perilaku ibu, keluarga dan masyarakat mempengaruhi kesehatan ibu hamil
...........................................................................................................................10
G. faktor sosial, budaya, kesetaraan gender dan KDRT........................................11
H. Aspek sosial yang mempengaruhi perilaku dan depresi....................................24
I. Pendekatan sosial budaya dalam mengatur strategi pelayanan kesehatan dan
kebidanan di komunitas.....................................................................................24
J. Strategi dalam merubah perilaku masyarakat....................................................26
K. Pandangan masyarakat tentang dukun bayi dan petugas kesehatan..................30
BAB III PENUTUP.......................................................................................................35
A. Kesimpulan ...................................................................................................35
B. Saran .............................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................37

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan kematian ibu di Indonesia saat ini kondisinya cukup
memprihatinkan. Data terakhir dalam Survei Demografi dan Kependudukan
Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukan bahwa angka kematian ibu (AKI)
masih sebesar 228/100 ribu kelahiran hidup bahkan SDKI 2012 menunjukkan
adanya kenaikan estimasi AKI di Indonesia. Kondisi ini menjadi sangat sulit
untuk pencapaian target penurunan angka kematian ibu sebesar 118/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015.
Kematian ibu di negara berkembang termasuk di Indonesia masih
banyak terjadi di rumah, tanpa pertolongan tenaga kesehatan, keterlambatan
akses untuk menerima perawatan yang berkualitas dan sebagainya. Hal ini juga
erat kaitannya ketidaktahuan wanita, suami, dan keluarga tentang pentingnya
pelayanan antenatal (pemeriksaan selama kehamilan), pertolongan oleh tenaga
kesehatan terampil, persiapan kelahiran dan kegawatdarutan, merupakan
beberapa faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu
hamil dan bayi baru lahir.
Upaya penurunan AKI tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi
lebih penting lagi peran serta masyarakat. Dalam mempercepat keberhasilan
penurunan AKI, disamping faktor akses dan pelayanan kesehatan, masyarakat
dengan segenap potensi dan peran sertanya juga merupakan agenda prioritas.
Terdapat beberapa hambatan dalam menurunkan AKI dan AKB di
masyarakat salah satunya adalah pengaruh sosial dan budaya yang buruk di
masyarakat. Bila beberapa budaya yang terdapat di masyarakat ini tidak segera
diatasi, maka akan berdampak pada kualitas kesehatan ibu dan anak. Pentingnya
peran Bidan di komunitas untuk menurunkan AKI dan AKB dengan beberapa
pendekatan dan strategi untuk menurunkan AKI dan AKB dalam aspek sosial
budaya.
Kebidanan komunitas merupakan suatu konsep dasar bidan dalam
melayani keluarga dan masyarakat. Pelayanan kebidanan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan Konsep adalah kerangka ide yang
mengandung suatu pengertian tertentu. Kebidanan berasal dari kata “Bidan”.
Kebidanan(midwifery) adalah mencakup pengetahuan yang dimiliki dan
kegiatan pelayanan untuk menyelamatkan ibu dan bayi
Pelayanan kebidanan komunitas adalah bagian dari upaya kesehatan
keluarga. Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya

1
kesehatan di masyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Penyelenggaraan
kesehatan keluarga bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil, sehat, bahagia
dan sejahtera. Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan
dan perkembangan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud komunitas?
2. Apa yang dimaksud konsep sosial budaya?
3. Apa yang dimaksud budaya dalam kesetaraan gender?
4. Apa yang dimaksud budaya dalam aspek pendidikan?
5. Apa yang dimaksud dengan aspek tradisi yang merugikan?
6. Apa yang dimaksud budaya dalam aspek ekonomi?
7. Bagaimana strategi merubah perilaku masyarakat?
C. Tujuan
Mengetahui mengenai komunitas dan budaya termasuk kesetaraan gender,aspek
pendidikan,tradisi yang merugikan,aspek ekonomi dan strateginya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komunitas
Kebidanan komunitas merupakan suatu konsep dasar bidan dalam
melayani keluarga dan masyarakat. Pelayanan kebidanan merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan Konsep adalah kerangka ide yang
mengandung suatu pengertian tertentu. Kebidanan berasal dari kata “Bidan”.
Kebidanan(midwifery) adalah mencakup pengetahuan yang dimiliki dan
kegiatan pelayanan untuk menyelamatkan ibu dan bayi
Pelayanan kebidanan komunitas adalah bagian dari upaya kesehatan
keluarga. Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya
kesehatan di masyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Penyelenggaraan
kesehatan keluarga bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil, sehat,
bahagia dan sejahtera. Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Jadi tujuan dari pelayanan kebidanan komunitas adalah meningkatkan
kesehatan ibu dan anak balita di dalam keluarga sehingga terwujud keluarga
sehat sejahtera dalam komunitas tertentu.

Kebidanan komunitas adalah pelayanan kebidanan yang menekankan pada


aspekaspek psikososial budaya yang ada di komunitas (masyakart sekitar).
Maka seorang bidan dituntut mampu memberikan pelayanan yang bersifat
individual maupun kelompok. Untuk itu bidan perlu dibekali dengan
strategi-strategi untuk mengatasi tantangan/kendala seperti berikut ini.
1. Sosial budaya seperti ketidakadilan gender, pendidikan, tradisi yang
merugikan Ekonomi, seperti kemiskinan.
2. Politik dan hukum, seperti ketidakadilan sosial.
3. Fasilitas, seperti tidak ada peralatan yang cukup, pelayanan rujukan.
4. Lingkungan, seperti air bersih, daerah konflik, daerah kantong
(daerah yang terisolir), kumuh, padat, dll.
B. Prinsip pelayanan asuhan dan tanggung jawab bidan pada pelayanan
kebidanan komunitas
Prinsip pelayanan asuhan kebidanan komunitas adalah sebagai berikut.
1. Kebidanan komunitas sifatnya multi disiplin meliputi ilmu kesehatan
masyarakat, sosial, psikologi, ilmu kebidanan, dan lain-lain yang
mendukung peran bidan di komunitas.
2. Berpedoman pada etika profesi kebidanan yang menjunjung harkat
dan martabat kemanusiaan klien.

3
3. Ciri Kebidanan komunitas adalah menggunakan populasi sebagai
unit analisis. Populasi bisa berupa kelompok sasaran (jumlah
perempuan, jumlah Kepala Keluarga (KK), jumlah laki-laki, jumlah
neonatus, jumlah balita, jumlah lansia) dalam area yang bisa
ditentukan sendiri oleh bidan. Contohnya adalah jumlah perempuan
usia subur dalam 1 RT atau 1 kelurahan/ kawasan perumahan/
perkantoran.
4. Ukuran keberhasilan bukan hanya mencakup hasil upaya bidan,
tetapi hasil kerjasama dengan mitra-mitra seperti PKK, kelompok
ibu-ibu pengajian, kader kesehatan, perawat, PLKB, dokter, pekerja
sosial, dll.
5. Sitem pelaporan bidan di komunitas, berbeda dengan kebidanan
klinik. Sistem pelaporan kebidanan komunitas berhubungan dengan
wilayah kerja yang menjadi tanggung jawabnya.
C. Ruang lingkup pelayanan kebidanan di komunitas
kebidanan komunitas merupakan salah satu area praktik bidan, yang
pelayanannya diberikan baik pada individu, keluarga, maupun masyarakat
luas dengan memperhatikan dan menghargai budaya dan nilai-nilai
masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
keluarganya. Dalam praktiknya menggunakan pendekatan pemecahan
masalah yang dikenal dengan proses/manajemen kebidanan. Langkah/proses
manajemen kebidanan meliputi hal berikut ini.
1. Mengumpulkan secara sistematis dan mengupdate secara lengkap
data yang relevan untuk pengkajian yang komprehensif keadaan
kesehatan setiap klien termasuk riwayat kesehatan dan pemeriksaaan
fisik yang teliti.
2. Mengidentifikasi dan menetapkan diagnosa berdasarkan interpretasi
data dasar. Setelah ditetapkan diagnosa maka bidan harus
menentukan rencana untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang
ditemuka. Contoh: hasil pemeriksaan Ibu hamil didapatkan
konjungtiva pucat dan pemeriksaan laboratorium penunjang hasil
haemoglobin rendah di bawah normal. Maka ibu dinyatakan diagnosa
hamil dengan anemia.
3. Mengidentifikasi kebutuhan asuhan/masalah klien. Contoh: Ibu hamil
dengan anemia, maka rencana yang paling tepat adalah memberikan
tablet zat besi untuk meningkatkan kadar haemoglobin.
4. Memberikan informasi dan dukungan pada klien agar mampu
mengambil keputusan untuk kesehatannya. Bidan melakukan

4
pendidikan kesehatan terkait dengan kondisi kesehatan yang
ditemukan dengan harapan klien dapat mengikuti anjuran dari bidan
untuk mengatasi masalah kesehatannya.
D. Kegiatan dalam pelayanan kebidanan komunitas PWS KIA
PWS KIA adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program
KIA di suatu wilayah kerja secara terusmenerus, agar dapat dilakukan tindak
lanjut yang cepat dan tepat, meliputi program pelayanan ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, dan keluarga
berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan
balita. Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi surveilans.
Kegiatan pokok PWS KIA, meliputi:
1. Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu
hamil di semua fasilitas kesehatan.
2. Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten,
diarahkan ke fasilitas kesehatan.
3. Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar disemua
fasilitas kesehatan.
4. Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar disemua
fasilitas kesehatan.
5. Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan
6. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara
adekuat dan pengamatan terus-menerus oleh tenaga kesehatan.
7. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di
semua fasilitas kesehatan.
8. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai
standar di semua fasilitas kesehatan.
9. Peningkatan pelayanan KB sesuai standar. Indikator pemantauan
PWS KIA, meliputi:
a) Cakupan pelayanan antenatal pertama kali (K1)
b) Cakupan pelayanan antenatal minimal 4 kali (K4)
c) Cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan (Pn)
d) Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (Kf 3)
e) Cakupan pelayanan neonatus pertama kali (KN 1)
f) Cakupan pelayanan neonatus lengkap (KN Lengkap)
g) Deteksi faktor risiko dan komplikasi maternal oleh
masyarakat
h) Cakupan penanganan komplikasi maternal (PK)
i) Cakupan penanganan komplikasi neonatus (NK)

5
j) Cakupan pelayanan kesehatan bayi (K Bayi)
k) Cakupan pelayanan kesehatan anak balita (K Balita)
l) Cakupan pelayanan kesehatan anak balita sakit yang dilayani
dengan MTBS
m) Cakupan peserta KB aktif (contraceptive prevalence rate,
CPR) dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun
masyarakat.
Tindakan bidan dalam rangka peningkatan kesehatan di tingkat komunitas
1) Menilai kebutuhan masyarakat, rencanakan dan sediakan komunitas
tertentu terhadap suatu program. Misalnya: kelompok untuk orangtua
tunggal, kelompok dukungan menyusui yang memberikan bantuan
praktis dan moral untuk perempuan menyusui, dll
2) Mengakses kelompok yang sulit dijangkau atau yang tidak
mengakses layanan yang disediakan
3) Mengembangkan sumber daya untuk mendukung perbaikan
4) Menyediakan program kesehatan tingkat masyarakat sesuai evidence
based misalnya P4K, desa siaga, dll
E. Konsep sosial budaya
1. Pengertian Kebudayaan
Secara sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil dari
cipta, karsa, dan rasa. Sebenarnya budaya atau kebudayaan berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau
mengerjakan.Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan adalah
seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan
manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai
budaya.Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi
kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan
kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.Menurut
Herskovits, budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari
lingkungannya (culture is the human-made part of the environment).
Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia,

6
baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk
terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka
bisa disebut budaya.
2. Unsur Kebudayaan
Koentjaraningrat (2002) membagi budaya menjadi 7 unsur: yakni
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur
itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.
3. Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Mempelajari Kebudayaana
a. Didalam semua religi atau agama, ada kepercayaan tertentu yang
berkaitan dengan kesehatan, gizi, dll. Misal : orang yang beragama
Islam : tidak makan babi, sehingga dalam rangka memperbaiki status
gizi, seorang petugas kesehatan dapat menganjurkan makanan lain
yang bergizi yang tidak bertentangan dengan agamanya.
b. Dengan mempelajari organisasi masyarakat, maka petugas kesehatan
akan mengetahui organisasi apa saja yang ada di masyarakat,
kelompok mana yang berkuasa, kelompok mana yang menjadi
panutan, dan tokoh mana yang disegani. Sehingga dapat dijadikan
strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku
kesehatan masyarakat.
c. Petugas kesehatan juga perlu mengetahui pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat
maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu
ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan
dalam memperbaiki status kesehatan.
d. Petugas kesehatan juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih
mudah berkomunikasi, menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan
bersama dan rasa persaudaraan.
e. Selain itu perlu juga mempelajari tentang kesenian dimasyarakat
setempat. Karena petugas kesehatan dapat memanfaatkan kesenian
yang ada dimasyarakat untuk menyampaikan pesan kesehatan.
f. Sistem mata pencaharian juga perlu dipelajari karena sistem mata
pencaharian ada kaitannya dengan pola penyakit yang diderita oleh
masyarakat tersebut.
g. Teknologi dan peralatan masyarakat setempat. Masyarakat akan
lebih mudah menerima pesan yang disampaikan petugas jika petugas
menggunakan teknologi dan peralatan yang dikenal masyarakat.

7
4. Aspek Sosial yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku
Kesehatan
Ada beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status kesehatan
antara lain adalah:
a. UmurJika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola
penyakit berdasarkan golongan umur. Misalnya balita
lebihbanyak menderita penyakit infeksi, sedangkan golongan usia
lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi,
penyakit jantung koroner, kanker, dan lain-lain.
b. Jenis KelaminPerbedaan jenis kelamin akan menghasilkan
penyakit yang berbeda pula. Misalnya dikalangan wanita lebih
banyak menderita kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak
menderita kanker prostat.
c. PekerjaanAda hubungan antara jenis pekerjaan dengan pola
penyakit. Misalnya dikalangan petani banyak yang menderita
penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan di sawah
dengan lingkungan yang banyak cacing. Sebaliknya buruh yang
bekerja diindustri, misal di pabrik tekstil banyak yang menderita
penyakit saluran pernapasan karena banyak terpapar dengan debu.
d. Sosial EkonomiKeadaan sosial ekonomi juga berpengaruh pada
pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih banyak
ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi
tinggi, dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak ditemukan
dikalangan masyarakat yang status ekonominya rendah.

5. Aspek Budaya yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku


Kesehatan

Menurut G.M. Foster (1973), aspek budaya dapat mempengaruhi


kesehatan al:
a. Pengaruh tradisiAda beberapa tradisi didalam masyarakat yang
dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat.
b. Sikap fatalistisHal lain adalah sikap fatalistis yang juga
mempengaruhi perilaku kesehatan. Contoh : Beberapa anggota
masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang
beragama islam percaya bahwa anak adalah titipan Tuhan, dan
sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang
berusaha untuk segera mencari pertolongan pengobatan bagi
anaknya yang sakit.

8
c. Sikap ethnosentrisSikap yang memandang kebudayaan sendiri
yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak
lain.
d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya Contoh : Dalam upaya
perbaikan gizi, disuatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk
makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan
vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat
bernaggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan
kambing, dan mereka menolaknya karena status mereka tidak
dapat disamakan dengan kambing.
e. Pengaruh normaContoh : upaya untuk menurunkan angka
kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena ada
norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan
pelayanan dengan bumil sebagai pengguna pelayanan.
f. Pengaruh nilaiNilai yang berlaku didalam masyarakat
berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh : masyarakat
memandang lebih bergengsi beras putih daripada beras merah,
padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi
diberas merah daripada diberas putih.
g. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari
proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan.Kebiasaan yang
ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan
pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang
biasa makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan
makannya setelah dewasa.
h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku
kesehatanApabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan
perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus
dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika
melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang
terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk
memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan
tersebut.
6. Perubahan Sosial Budaya
Menurut Koentjaraningrat, bahwa perubahan budaya yang terjadi
di masyarakat dapat dibedakan kedalam beberapa bentuk:
a. Perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat
b. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan besar

9
c. Perubahan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan.

F. Aspek perilaku ibu, keluarga dan masyarakat mempengaruhi kesehatan ibu


hamil

Aspek perilaku ibu di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu :

1. Usia.
Usia ibu yang terlalu kecil (<20 tahun) secara fisik dan psikologi kondisi
ibu masih belum matang, sedangkan usia > 35 tahun ibu sudah memiliki
banyak kekurangan baik dari fisik yang mudah lelah dan psikologi karena
beban yang semakin banyak.
2. Pendidikan.
Pendidikan mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan mencari
penyebab serta solusi dalam hidupnya. Pendidikan tinggi ibu biasanya
akan bertindak lebih rasional daripada ibu yang pendidikan rendah.
3. Psikologis.
Selama kehamilan terjadi perubahan psikologi ibu dan emosional. Jika
psikologis ibu menerima kehamilannya maka ibu akan menjaga dan
memenuhi kebutuhan kehamilannya.
4. Pengetahuan.
Pengetahuan ibu tentang kehamilan sangat mempengaruhi sikap ibu dalam
memenuhi kebutuhan kehamilannya misalnya tentang asupan gizi ibu
hamil.
Aspek perilaku keluarga dan masyarakat.
1. Dukungan keluarga
Kehamilan melibatkan seluruh anggota keluarga karena nantinya akan
hadir seorang anggota keluarga baru  terjadi perubahan hubungan dalam
keluarga
2. Dukungan suami
Respon suami tehadap kehamilan istri memberikan ketenangan batin dan
perasaan senang dalam diri istri. Bentuk dukungan suami:
a. Dukungan psikologi. Contoh : ungkapan empati, kepedulian, dan
perhatian seperti menemani istri saat periksa hamil
b. Dukungan sosial. Dukungan yang bersifat nyata dan dalam bentuk
materi, contoh : persiapan finansial khusus untuk persalinan
c. Dukungan informasi. Contoh : mencari informasi mengenai
kehamilan, dengan ini akan menjaga kesehatan, kejiwaan istri agar
tetap stabil, tenang dan bahagia
d. Dukungan lingkungan. Contoh : membantu pekerjaan istri.

10
G. faktor sosial, budaya, kesetaraan gender dan KDRT
1. Kesetaraan Gender
a. Pengertian Gender
Secara umum gender dapat diartikan sebagai perbedaan
peran, kedudukan dan sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki
maupun perempuan melalui konstruksi secara social maupun
kultural (Nurhaeni 2009). Sedangkan menurut Oakley adalah
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial, yakni perbedaan yang bukan
kodrat dan bukan ketentuan tuhan, melainkan diciptakan oleh
manusia melalui proses sosial dan kultural. Lebih lanjut
dikemukakan oleh Haspels dan Suriyasarn gender adalah sebuah
variabel sosial untuk menganalisa perbedaan laki-laki dan
perempuan yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab dan
kebutuhan serta peluang dan hambatan.Kesetaraan gender adalah
suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki menikmati status
dan kondisi yang sama untuk merealisasikan hak asasinya secara
penuh dan sama-sama berpotensi daam menyumbangkan
pembangunan.
b. Dampak konsep gender
Pembagian yang ketat antara peran, posisi, tugas dan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki telah menyebakan
ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki, misalnya laki-
laki diposisikan sebagai kepala di keluarga oleh masyarakat,
disatu sisi karena posisinya ini misalnya ia bisa mendapat akses
terhadap pendidikan yang baik dibandingkan perempuan, tetapi
disisi lain, jika ia tidak bekerja atau menganggur ia akan
dianggap rendah oleh masyarakat. Sedangkaan untuk perempuan,
karena ia diposisikan sebagai ibu rumah tangga maka ia
bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh
anak yang membutuhkan energi yang banyak, dan jika wanita
tidak bekerja tidak ada tuntutan kepadanya.
c. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
Gender dan marginalisasi perempuanb. Gender dan
subordanasi perempuanc. Gender dan streotipd. Gender dan
kekerasane. Gender dan beban gandaKesetaraan Gender menurut
laporan UNICEF 2007 akan menghasilkan “Deviden” ganda.
Perempuan yang sehat, berpendidikan, berdaya, akan memiliki

11
anak-anak perempuan dan laki-laki yang sehat, berpendidikan
dan percaya diri. Pengaruh perempuan yang sangat besar dalam
rumah tangga telah memperlihatkan dampak yang positif pada
gizi, perawatan kesehatan dan pendidikan anak-anak.Suatu
paradigma baru diperukan untuk memberikan kerangka dan
menjelaskan hubungan antara perempuan dan lakilaki diberbagai
lapisan masyarakat.Strategi-strategi untuk perubahan diperlukan
yaitu bagaimana melakukan perubahan hubungan antara
perempuan dan laki-laki yang responsive gender, sehingga
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Upaya yang dapat dilakukan adalah penguatan
mainstream (pengarusutamaan) gender yang merupakan suatu
strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dalam
segala aspek kehidupan social kemasyarakatan. Pengarusutamaan
gender merupakan suatu proses dan strategi agar isu-isu
gender/kesenjangan gender dikenali dan diatasi melalui
kebijakan, program dan pelayanan-pelayanan yang
berkesinambungan.
2. Hambatan Sosial dan Budaya: Masih kurangnya pengetahuan
masyarakat terkait perawatan kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan.
pemahaman masyarakat tentang kehamilan adalah persoalan yang
biasa, sehingga tidak perlu dipersoalkan apalagi diinformasikan
kepada orang lain. Pemahaman seperti ini juga dilatar belakangi oleh
adanya rasa malu bagi seorang ibu dan keluarganya untuk
memeriksakan kehamilan apabila masih dalam usia muda (3 bulan
kebawah), di samping itu juga ada perasaan khawatir atau takut
dianggap terlalu berharap. Hal ini seperti yang diungkapkan informan
sebagai berikut:
“Jika kehamilan masih muda (di bawah 3 bulan) rasanya malu
diinformasikan kepada orang lain dan apalagi diperiksa
kehamilannya karena takut dikatakan terlalu berharap (Arok)
sehingga akan membuat malu kalau nanti jadinya tidak jadi hamil"
Adanya pandangan dari masyarakat tersebut di atas, maka
seorang ibu hamil akan cenderung memeriksakan kehamilan apabila
mereka sudah merasa yakin bahwa mereka hamil 4 bulan ke atas,
dan apabila ditemukan ada persoalan selama kehamilan. Rasa malu
dan belum ada kepastian ini pula yang membuat, seorang ibu hamil

12
dan keluarganya juga tidak mempersiapkan secara baik persalinan
yang akan dihadapi. Persiapan hanya akan dilakukan seminggu
sebelum persalinan.Pemahaman seperti ini akhirnya membuat
berbagai persoalan kehamilan terkadang tidak terpantau dengan cepat
oleh tenaga kesehatan. Bahkan persoalan seorang ibu hamil
terkadang tidak bisa dimasuki, sehingga menjadi persoalan bagi
bidan dan tenaga kesehatan lainnya, karena dianggap sebagai
persoalan pribadi dan keluarganya. Akibatnya berbagai upaya untuk
memasukkan pengetahuan-pengetahuan kesehatan yang benar terkait
dengan kehamilan dan persalinan, relatif sulit dilakukan bahkan oleh
kader posyandu sendiri, karena sering dianggap mencampuri urusan
pribadi seseorang. Pengetahuan masyarakat menurut informan
tenaga kesehatan tentang masalah kesehatan ibu hamil dan bersalin
juga relatif kurang. Masyarakat di sini hanya memerlukan tenaga
kesehatan ketika sudah terjadi masalah, kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan relatif kurang. Masyarakat di daerah ini tidak
terlalu mementingkan kesehatannya, di mana ketika ibu sudah hamil
besar tidak ada perlakuan khusus terhadap ibu tersebut, dan tetap saja
masih pergi ke sawah untuk menjalankan aktifitasnya. Masyarakat
beranggapan pekerjaan tersebut sudah hal yang biasa. Persepsi
masyarakat terhadap tenaga bidan bahwa bidan masih relatif muda,
dan masyarakat cenderung merasa kurang percaya dengan bidan
tersebut karena belum berpengalaman dalam membantu persalinan.
Begitu juga dengan bidan, tampaknya juga merasa kurang percaya
diri dan lebih bersikap hati-hati dengan dukun setempat. Mereka
masih ada perasaan khawatir terhadap dukun yang dianggap
mempunyai kemampuan lebih, dimana dukun tidak hanya membantu
ibu melahirkan tapi dia juga ilmu untuk bisa menahan kelahiran.
Selanjutnya masyarakat menyatakan bahwa pendekatan tenaga
kesehatan kepada masyarakat masih dianggap kurang dan perlu
peningkatan.Sementara itu, pandangan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan oleh dukun lebih bersifat kekeluargaan.
Hubungan dukun dengan masyarakat sudah terbina dengan baik.
Dukun bisa menenangkan ibu hamil dan memberikan pelayanan yang
baik serta bersifat kekeluargaan, dan pembayarannya relatif murah
tidak ada tarifnya. Dalam hal ini biasanya dukun diberikan imbalan
berupa beras sebanyak satu atau dua sukek. Bagi mereka yang
ekonominya relatif cukup baik cenderung menambahkan uang

13
kurang lebih sebesar Rp50.000,-. Selanjutnya sebagian masyarakat
lebih mempercayai dukun karena sudah berpengalaman, dan sudah
banyak ibu yang dibantu melahirkan.Jika dalam proses persalinan,
dukun menyatakan sudah tidak sanggup lagi, maka dukun
memberikan izin untuk memanggil bidan. Sebelum bidan membantu
menangani persalinan biasanya bidan meminta izin terlebih dahulu
kepada dukun yang dianggap sakti (punya ilmu ghaib), kalau tidak
takut nanti di "pampan" sehingga anak tidak bisa lahir.Begitu juga
pada keadaan kegawatdaruratan, di mana ibu sudah saatnya harus
dirujuk, tapi harus tetap seizin dukun dan keluarga serta ninik
mamak. Keputusan melalui musyawarah keluarga untuk membawa
ibu ke rumah sakit yang ada di Solok tersebut terkadang
membutuhkan waktu sampai satu malam. Situasi ini menyebabkan
terlambat memutuskan untuk dirujuk, masalah geografi dan
transportasi yang sulit juga menjadi kendala sehingga dapat
menyebabkan ibu dengan komplikasi ini terlambat untuk ditangani.
3. Hambatan Sosial dan Budaya: masih kuatnya tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap perawatan kesehatan ibu hamil dan bersalin.
Masyarakat cenderung mempunyai kepercayaan dan tradisi yang
terkait dengan perawatan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Dalam hal pemeriksaan kehamilan dapat dikatakan bahwa
pemeriksaan kehamilan dengan menggunakan bantuan dukun
beranak dianggap merupakan suatu kepercayaan dan kebiasaan
masyarakat di kampung. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun
beranak, selain karena sudah merupakan tradisi atau kebiasaan
masyarakat setempat, juga dimungkinkan oleh kondisi jumlah tenaga
dukun beranak yang relatif banyak jika dibandingkan dengan jumlah
tenaga bidan.
Apalagi hal ini diperburuk oleh kondisi tenaga kesehatan yang
cenderung tidak berada ditempat dan pelayanan pada hari tertentu
saja (Selasa dan Rabu), jarak yang jauh dengan biaya transportasi ke
Puskesmas yang relatif besar, sehingga pada waktu pemeriksaan
kehamilan yang pertama kali masyarakat cenderung menggunakan
jasa tenaga dukun beranak. Pada umumnya masyarakat di daerah ini
mempunyai kebiasaan melahirkan di rumah dengan bantuan dukun
beranak sebagai tenaga pertolongan pertama persalinan. Alasan
informan melahirkan di rumah karena merasa lebih nyaman, tenang
di rumah sendiri didampingi oleh keluarga.

14
Sedangkan dukun dipilih sebagai penolong persalinan karena
sudah dikenal dekat, dipercaya dan sudah merupakan tradisi yang
dilakukan secara turun temurun, dan bayarannya bisa dengan beras
satu atau dua sukek (satu sukek adalah sekitar dua liter), tergantung
dari kondisi ekonomi masyarakat.adanya kecenderungan dari
masyarakat untuk meminta bantuan persalinan dengan dukun beranak
terlebih dahulu. Masyarakat mempunyai anggapan nanti saja ke
tenaga kesehatan, yaitu kalau kondisinya sudah tidak bisa lagi
ditangani oleh dukun beranak. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
jika kondisi persalinan tidak bisa ditangani dukun beranak, maka
barulah biasanya dukun beranak tersebut meminta keluarga untuk
memanggil bidan.
Namun kondisi seperti ini biasanya sudah dalam kondisi yang
kritis yang sudah bukan ditangani bidan lagi tetapi sudah harus
dirujuk ke rumah sakit, seperti yang diungkapkan informan sebagai
berikut:
“lebih baik ke dukun beranak sajalah dahulu, ya nanti-nanti
sajalah ke bidan. Jika dukun beranak sudah menyerah, maka baru
disuruh memangil bidan. Pada saat ini biasanya kondisi ibu tersebut
sudah dianggap bukan “makanany bidan lagi”, tetapi sudah harus
dibawa ke rumah sakit”.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan masalah kegawatdaruratan
tersebut menjadi terlambat untuk dirujuk. Dukun tidak hanya
membantu persalinan, tetapi juga membantu perawatan terhadap anak
dan ibu habis melahirkan, seperti membantu memandikan anak dan
ibu setelah melahirkan yaitu lebih kurang setengah jam setelah
persalinan, mencuci pakaian ibu yang terkena darah waktu
melahirkan, melakukan pemijatan, melakukan pemasangan babek
(ikatan kain panjang yang diikatkan pada bagian bawah perut) supaya
peranakan tidak turun, dan menganjurkan untuk meminum ramuan
“obat pahit” (sekalian kunyit) serta ramuan jamu bersalin.
Salah satu tradisi adat paska kelahiran adalah tradisi turun mandi,
yaitu kegiatan turun mandi anak ke kali dimaksudkan untuk melepas
hutang kepada dukun, yang mana dalam hal ini masyarakat
beranggapan bahwa ada perasaan berhutang kepada dukun yang telah
membantu persalinan diikuti dengan mencuci tangan dukun yang
terkena darah waktu melahirkan. Rangkaian kegiatan ini harus
dilakukan oleh masing-masing keluarga sesudah kelahiran anak

15
kurang lebih satu bulan, baik laki maupun perempuan, dan
masyarakat akan merasa malu jika tidak melaksanakan kegiatan
tersebut. Tradisi turun mandi ini sudah merupakan tradisi turun
temurun, yang dilakukan secara adat, dan dalam hal ini dukun
dianggap menjadi tokoh penting dalam kegiatan tersebut.
4. Kondisi Geografis dan Keterbatasan; Akses Pelayanan Kesehatan
Keterpencilan membuat pelayanan kesehatan relatif terbatas,
tidak saja karena keterbatasan tenaga kesehatan yang bisa
menjangkau semua lapisan masyarakat, tetapi juga lebih disebabkan
karena jadwal pelayanan hanya bisa dilakukan pada hari-hari tertentu
saja. Ketersediaan sarana prasarana pendukung yang dimiliki
lembaga kesehatan yang relatif masih terbatas, sehingga beberapa
program yang seharusnya dilakukan oleh lembaga kesehatan ini
akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Kondisi keterbatasan akses dan
layanan kesehatan tersebut mengakibatkan pertolongan kesehatan
yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan justru cenderung
terkendala, padahal persoalan sakit apalagi melahirkan tidak bisa
dijadwalkan dan tidak bisa ditunda-tunda. Upaya masyarakat untuk
memberdayakan diri agar mandiri dan mampu mengatasi persoalan
kesehatan yang mereka hadapi, juga terkadang terhambat karena
kurangnya pengetahuan yang mereka miliki, serta kurangnya
penyuluhan tentang kesehatan di tengah masyarakatnya.
5. Kondisi ekonomi masyarakat

Sebagian besar (±90%) masyarakat di lokasi penelitian


mempunyai mata pencaharian sebagai petani, yang hanya
mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan mereka. Dalam
memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, biasanya masyarakat
akan menjual sebagian hasil pertaniannya seperti beras ke pasar.
Hasil pertanian yang mereka peroleh cenderung dimanfaatkan untuk
kebutuhan hidup sehari-hari. Penghasilan yang relatif terbatas,
mengakibatkan masyarakat kesulitan ketika harus mengeluarkan
biaya yang cukup besar untuk persalinan. Kondisi ini membuat
masyarakat akhirnya lebih banyak memilih pelayanan kesehatan
yang relatif tidak membutuhkan biaya besar dalam waktu bersamaan,
yaitu tenaga dukun beranak. Hasil wawancara dengan informan
diketahui bahwa persalinan dengan tenaga bidan bisa menghabiskan
biaya sampai Rp800.000,- apalagi kalau lokasi bidan yang relatif
jauh. Ini berbeda apabila persalinan dilakukan kepada dukun beranak

16
yang hanya mengeluarkan biaya antara Rp50.000,- sampai dengan
Rp100.000,-. Bagi masyarakat yang kurang mampu bisanya
memberikan beras sebanyak satu atau dua sukek (satu sukek sama
dengan 21/2 liter beras).

Besarnya biaya persalinan ini, lebih disebabkan karena bidan


terkadang harus meminta dana tambahan apabila ia harus diajak ke
rumah untuk membantu persalinan tersebut. Sementara sebagian
besar masyarakat memang lebih menyukai melakukan persalinan di
rumah, dengan alasan keluarga bisa membantu dan terasa lebih
nyaman. Walaupun masyarakat Batu Bajanjang ini sudah mendengar
adanya Jampersal, namun belum semua masyarakat bisa
memanfaatkannya, bahkan sebagian masyarakat belum mengetahui
akan adanya Jampersal ini.

6. Masih rendahmya pengembangan dan pemanfaatan potensi lokal


dalam upaya perawatan kesehatan ibu hamil dan bersalin
Hambatan lain adalah masih rendahnya pengembangan dan
pemanfaatan potensi lokal yang bisa digunakan dalam mengatasi
berbagai persoalan kehamilan, sementara lembaga kesehatan yang
ada di nagari ini justru belum bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Persoalan transportasi misalnya kondisi jalan dan jarak yang harus
ditempuh akan memakan biaya cukup besar apabila masyarakat harus
meminta pelayanan ke nagari terdekat apalagi ke Solok. Nilai-nilai
kebersamaan yang seharusnya bisa membantu mengatasi persalinan,
juga tidak banyak membantu karena persoalan kehamilan dan
persalinan adalah persoalan keluarga inti, sehingga terkadang tidak
banyak bantuan masyarakat luas yang bisa diandalkan.
Gambaran dari beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat
Batu Bajanjang di atas, akhirnya membuat sebagian besar
masyarakatnya lebih banyak mengandalkan tenaga tradisional yaitu
tenaga dukun. Bagi masyarakat Batu Bajanjang, dukun lebih dipilih
sebagai tenaga kesehatan dalam mengatasi berbagai persoalan
kehamilan dan persalinan, bukan saja karena sudah dikenal lama dan
dianggap berpengalaman, tetapi juga karena dukun bisa dipanggil
kapan saja untuk membantu persalinan, dan biaya yang dikeluarkan
juga dianggap tidak memberatkan masyarakatnya. Cara dukun dalam
membantu persalinan lebih banyak dalam bentuk mengurut, dan akan

17
memberikan ramuan bila kehamilan dan persalinan tersebut dianggap
bermasalah. Berbeda dengan tenaga bidan, yang dipahami lebih
mengandalkan obat-obatan daripada sentuhan fisik, disamping juga
karena penggunaan tenaga bidan juga dianggap membutuhkan lebih
banyak biaya. Walaupun sebagian besar persoalan kehamilan dan
persalinan diserahkan kepada dukun, tetapi bukan berarti keberadaan
bidan sebagai tenaga kesehatan ditolak oleh masyarakat. Kebiasaan
yang sudah lama mereka terima cenderung sulit untuk ditinggalkan,
sehingga meminta bantuan dukun tetap akan dilakukan walaupun ibu
hamil tersebut juga meminta bantuan kepada “tenaga kesehatan”
(bidan). Dalam FGD juga terungkap bahwa seorang dukun tidak
merasa keberatan apabila keluarga pasien justru meminta bidan ikut
mendampingi dukun dalam melakukan persalinan. Bahkan pada
kasus-kasus tertentu, seorang dukun justru akan menyuruh keluarga
ibu hamil untuk meminta bantuan persalinan kepada bidan apabila
sang dukun ini merasa tidak sanggup untuk membantu persalinan ibu
hamil tersebut.Menyikapi persoalan kehamilan dan persalinan di atas,
maka tampak masyarakat di lokasi penelitian bukanlah tidak mau
meminta pelayanan kesehatan dan persalinan dengan bidan atau
tenaga kesehatan. Persoalan pemahaman akan kemampuan dan
pengalaman seorang bidan sangat menentukan sistem pelayanan
kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan tersebut. Keterbatasan
ekonomi juga sering menjadi alasan mengapa masyarakat relatif
enggan dan jarang meminta pelayanan persalinan kepada bidan,
disamping persoalan kepercayaan yang relatif masih sulit untuk
dihilangkan. Masih kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga
dukun ini, juga didukung oleh masih lemahnya penyuluhan kesehatan
yang terprogram yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan yang ada.
7. Potensi Sumber Daya Lokal Yang Bisa Dimanfaatkan Dalam Upaya
Mengurangi Resiko Kematian Ibu
 Keberadaan Dukun
Potensi sumberdaya lokal yang bisa dimanfaatkan di lokasi
penelitian antara lain adalah;
1) keberadaan dukun beranak di dalam masyarakat di lokasi
penelitian masih dipercayai oleh masyarakat;
2) jumlah dukun beranak lebih banyak dibandingkan dengan tenaga
kesehatan, untuk satu nagari jumlahnya bisa mencapai kurang lebih

18
15 orang, sedangkan tenaga kesehatan untuk satu nagari jumlahnya
rata-rata satu atau dua orang. Hal ini sebaiknya keberadaan dukun
bukan sebagai kendala tapi bagaimana dioptimalkan sebagai potensi.
Persoalan yang sering dihadapi selama ini adalah masih kuatnya
beberapa tradisi yang harus dilakukan ibu hamil ketika meminta
pertolongan dengan dukun, yang dalam ilmu kesehatan dianggap
bertentangan dan tidak sesuai dengan petunjuk kesehatan. Misal
tradisi adanya kewajiban mandi bagi seorang ibu yang baru selesai
persalinan untuk mandi, walaupun di tengah malam sekalipun.
Sebagai sebuah tradisi, maka persoalan seperti ini seharusnya
dipahami secara arif, karena bisa saja dibalik kebiasaan tersebut
terselip sebuah pesan dan tujuan tertentu. Sebagai sebuah tradisi,
maka (melarang dan meniadakan kebiasaan ini) juga akan membuat
pengetahuan dengan faham bertolak belakang yang ingin disodorkan
juga akan mengalami resistensi. Oleh sebab itu, mencarikan
argumentasi yang lebih logis mungkin akan lebih baik dan bisa
diterima sesuai dengan nilai-nilai dan kebiasaan lokal
 Keberaaan pemimpin lokal

Keberadaan pemimpin lokal (mamak dan wali nagari) relatif


masih kuat, dimana pendapatnya diterima oleh masyarakatnya, dan
berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Sumberdaya lokal ini juga bisa dimanfaatkan
untuk memasukkan nilai-nilai ilmu kesehatan yang akan disodorkan
dan disosialisasikan kepada masyarakat. Akan tetapi, persoalan yang
tetap harus diperhatikan adalah persoalan tata cara dalam melakukan
sosialisasi juga harus disesuaikan dengan budaya lokal. Terkait
dengan adanya anggapan masyarakat bahwa persoalan kehamilan
adalah persoalan personal (malu memberi tahu), maka sosialisasi
yang dilakukan pun tidak dalam bentuk kelompok besar yang
sifatnya terbuka, tetapi akan menjadi lebih baik kalau dilakukan
secara tertutup dan dalam kelompok kecil. Peran kader posyandu
sangat dibutuhkan dalam melakukan sosialisasi dan penyuluhan bagi
para ibu hamil, karena keberadaan mereka yang relatif sudah bisa
diterima keberadaannya di tengah masyarakat.

 Potensi modal sosial masyarakat nagari

19
Terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan ibu hamil
dan keluarganya, perlu ada terobosan akan biaya yang harus
dikeluarkan oleh ibu hamil dan keluarganya apabila meminta
pelayanan kepada tenaga kesehatan. Persoalan biaya yang harus
dikeluarkan ibu hamil ketika meminta pelayanan kepada dukun,
sebenarnya juga tidaklah murah karena pasca persalinan ibu
hamil terkadang juga harus melakukan aktivitas tertentu sebagai
ucapan terima kasih kepada dukun tersebut. Perbedaannya, biaya
yang mereka keluarkan selama ini untuk dukun tidaklah
dikeluarkan sekaligus, tetapi tahap bertahap. Berbeda dengan
biaya yang harus dikeluarkan bila meminta pelayanan kepada
tenaga kesehatan, yang cenderung harus dikeluarkan sekaligus,
sehingga memang terkesan besar dan menyulitkan.Pentingnya
memiliki tabungan menjelang persalinan, tetap harus
disosialisasikan sebagai pemahaman dasar kepada ibu hamil dan
keluarganya. Walaupun selama ini pernah diterapkan sistem
arisan bagi ibu-ibu hamil, yang menyerupai sistem tradisional
julo-julo, tetapi tidak berjalan secara baik karena tersendatnya
pembayaran bagi ibu hamil yang sudah menerima. Oleh sebab
itu, perlu ada kreativitas yang mungkin bisa dimotori oleh kader
posyandu untuk membuat tabungan bersama yang bisa dijadikan
modal dasar pemberian "kredit"bagi ibu-ibu hamil sebagai
pengganti "arisan" yang lebih bersifat individual.

 Pola interaksi dan komunikasi yang berbasiskan sosial budaya


masyarakat

Terkait dengan pola interaksi dan komunikasi yang


dilakukan di tengah masyarakat, perlu adanya pemahaman
mendalam akan nilai-nilai sosial-budaya yang berkembang
ditengah masyarakat. Pemahaman akan nilai-nilai sosial-budaya
ini tidak saja terkait dengan tata cara berkehidupan di tengah
masyarakat, tetapi juga terkait dengan tata cara dalam
menjalankan dan melaksanakan pekerjaan dan program yang ada.

8. KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)


a. Pengertian
KDRT adalah singkatan dari Kekerasan Dalam Rumah
Tangga merupakan segala bentuk tindak kekerasan yang

20
dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti
secara fisik, psikis,seksual dan ekonomi, termasuk ancaman,
perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau
keluarga.
b. Bentuk-bentuk KDRT
 Kekerasan Fisik yaitu suatu tindakan kekerasan (seperti:
memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan
luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga
menyebabkan kematian.
 Kekerasan Psiki yaitu suatu tindakan penyiksaan secara
verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang
mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri,
meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk
bertindak dan tidak berdaya.
 Kekerasan Seksual yaitu suatu perbuatan yang berhubungan
dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual
dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak
memenuhi kebutuhan seksual istri.
 Kekerasan Ekonomi yaitu suatu tindakan yang membatasi
istri untuk bekerja didalam atau di luar rumah untuk
menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri
yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
c. Penyebab KDRT
a. Ketimpangan ekonomi antara suami dan istri
b. Penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
c. Otoritas dan pengambilan keputtusan ada ditangan suami
d. Terjadi perbedaan gender dan konsep maskulinitas yang
berkaitan dengan kekerasan kehormatan pria dan dominasi
atas perempuan dan persepsi bahwa pria mempunyai
kepemilikan terhadap perempuan
e. Budaya  Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan
pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki–laki dan
perempuan dimana laki–laki mendominasi perempuan.
f. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
g. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak

21
h. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga
dan bukan masalah sosial.
i. Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor
dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk
melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun
dari pihak- pihak yang terkait yang kurang
mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga,
sehingga data kasus tentang (KDRT) pun, banyak
dikesampingkan ataupun dianggap masalah yang sepele.
d. Dampak KDRT
a. Dampak terhadap wanita :
 ketakutan dan kecemasan
 hilangnya rasa percaya diri
 hilang kemampuan untuk bertindak dan rasa tak berdaya
b. Kematian
c. Trauma fisik berat : memar, patah tulang, cacatd.
d. Trauma fisik terhadap kehamilan yang beresiko terhadap ibu
dan janin.
e. Kehilangan akal sehat atau gangguan kesehatan jiwaf.
Paranoid
f. Curiga terus menerus dan tidak percaya dengan orang laing.
Ganggguan psikis berat (depresi, sulit tidur, mimpi buruk,
disfungsi seksual, kurang nafsu makan, ketagihan alkohol dan
obat-obatan terlarang)
g. Dampak terhadap anak-anak. Perilaku yang agresif atau
marah-marah. Meniru tindakan kekerasan yang terjadi
dirumahc. Mimipi buruk dan ketajutand. Sering tidak makan
dengan benare. Menghambat pertumbuhan dan belajarf.
Menderita banyak gangguan kesehatan
h. Dampak terhadap masyarakat. Siklus kekerasan akan
berlanjut ke generasi yang akan datang.
e. Peraturan terkait KDRT
1) UNDANG UNDANG NO 23 TAHUN 2004 TENTANG
PENGHAPUSAN KDRT
a. Selama ini KDRT dianggap sebagai masalah
pribadi atau keluarga sekarang ini telah menjadi
masalah publik karena persoalan KDRT

22
dilaksanakan untuk memelihara keutuhan rumah
tangga yang harmonis dan sejahtera.
b. Tujuannya : untuk penghapusan KDRT
dilaksanakan berdasarkan atas azaz penghormatan
HAM, keadilan gender non diskriminasi dan
perlindungan korban.
2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG
KESEHATAN REPRODUKSI BAB 3 PELAYANAN
KESEHATAN IBU
Pasal 10
(1) Dalam rangka menjamin kesehatan ibu, pasangan
yang sahmempunyai peran untuk meningkatkan kesehatan
ibu secara optimal.
(2) Peran pasangan yang sah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
 mendukung ibu dalam merencanakan keluarga;
 aktif dalam penggunaan kontrasepsi;
 memperhatikan kesehatan ibu hamil;
 memastikan persalinan yang aman oleh tenaga
kesehatan di fasilitas
 pelayanan kesehatan;
 membantu setelah bayi lahir;
 mengasuh dan mendidik anak secara aktif;
 tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga;
 mencegah infeksi menular seksual termasuk
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)
f. Peran bidan dalam KDRT
1) Merekomendasikan tempat pelindungan seperti crisis
center, shelter dan one stop crisis center
2) Memeberikan pendampingan psikologis dan pelayanan
pengobatan fisik korban.
3) Memberikan support pendampingan hukum dalam acara
peradiland. Melatih kader kader LSM untuk mampu
menjadi pendamping korbane. Mengadakan pelatihan
tentang perlindungan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga sebagai bekal untuk mendampingi korban.

23
H. Aspek sosial yang mempengaruhi perilaku dan depresi
Sosial Budaya merupakan aspek turun temurun, sering kali dijadikan
petunjuk dan tata cara berperilaku. Menurut GM Foster, aspek budaya yang
mempengaruhi perilaku :
1) Pengaruh tradisi
2) Sikap fatalistis
3) Sikap etnosentris
4) Pengaruh perasaan bangga pada statusnyae. Pengaruh normaf.
Pengaruh nilaig. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat
awal dari proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan. Pengaruh
konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan.
I. Pendekatan sosial budaya dalam mengatur strategi pelayanan
kesehatan dan kebidanan di komunitas
Cara pendekatan sosial budaya dalam kebidanan, dimana seorang bidan
harus :
1) Mampu menggerakkan peran serta masyarakat, khususnya kesehatan
ibu hamil, bersalin, nifas, BBL, remaja dan usia lanjut.
2) Memiliki kompetensi yang cukup terkait tugasnya, peran dan
tanggung jawabnya.Pendekatan yang dapat dilakukan :
a. Agama
Agama dapat memberi petunjuk atau pedoman pada umat
manusia dalam menjalani hidup, meliputi seluruh aspek
kehidupan, serta dapat membantu memecahkan masalah
hidup yang dialami.Aspek pendekatan agama dalam
memberikan pelayanan kebidanan dan kesehatan adalah:
 Agama memberikan petunjuk kepada manusia untuk
selalu menjaga kesehatannya.
 Agama memberikan dorongan batin dan moral yang
mendasar dan melandasi cita-cita dan perilaku
manusia dalam menjalani kehidupannya yang
bermanfaat bagi dirinya, keluarga, massyarakat dan
bangsa.
 Agama mengharuskan umat manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan dalam segala
aktivitasnya.
 Agama dapat menghindarkan umat manusia dari hal
yang bertentangan dengan ajaran.

24
Upaya yang dapat dilakukan ditinjau dari segi agama,
yaitu :

 Upaya pemeliharaan
Upaya dini yang dilakukan dalam pemeliharaan
kesehatan, dimulai sejak ibu hamil, agar bayi yang
dilahirkan sehat dengan ibu yang sehat pula.
Karena kesehatan merupakan faktor utama
manusia untuk dapat melakukan hidup dengan
baik sehingga terhindar dari penyakit dan
kecacatan. Misalnya dengan makan-makanan yang
bergizi, berolahraga dan lain-lain.
 Upaya pencegahan penyakit Dalam agama
pencegahan lebih baik dari pengobatan waktu
sakit. Upaya yang dapat dilakukan, yaitu :
- Imunisasi, pada bayi, balita, ibu hamil, wanita
usia subur, murid SD kelas 1-3
- Pemberian ASI pada anak sampai usia 2
tahun.
- Memberikan penyuluhan kesehatan.
b. Pendekatan dalam sistem banjar
Banjar merupakan bentuk kesatuan sosial yang berdasarkan
kesatuan wilayah, kesatuan sosial diperkuat oleh kesatuan
adat dan upacara keagamaan yang rumit.Cara bidan untuk
pendekatan :
 Menggerakkan dan membina peran serta
masyarakat dalam bidang kesehatan dengan
penyuluhan sesuai kebutuhan dan masalah.
c. Pendekatan dalam sistem paguyuban
Paguyuban merupakan suatu kelompok masyarakat yang
diantara para warganya diwarnai dengan hubungan sosial
yang penuh rasa kekeluargaan.
d. Pendekatan kesenian
Kesenian sebagai media penyuluhan kesehatan untuk
melakukan pendekatan pada masyarakat dengan menyelipkan
pesan-pesan kesehatan. Misalnya dengan kesenian wayang
kulit dapat dengan menyelipkan pesan kesehatan, dengan
menciptakan lagu berisi tentang permasalahan kesehatan
dengan menggunakan bahasa setempat, pada suatu acara di

25
desa bisa juga dengan memberikan pertanyaan tentang
kesehatan diawal atau di akhir acara.
J. Strategi dalam merubah perilaku masyarakat
Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku tersebut oleh WHO
dikelompokkan menjadi 3, yakni:
1) Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau
masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang
diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya
peraturan-peraturan/perundanganperundangan yang harus dipatuhi
oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang
cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung
lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum
didasari oleh kesadaran sendiri.
2) Pemberian informasiDengan memberikan informasi-informasi
tentang cara cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan,
cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan
pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka,
dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku
dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai
akan bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran mereka sendiri
(bukan karena paksaan).
3) Diskusi dan partisipasi Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang
kedua tersebut di atas di mana di dalam memberikan informasi
informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua
arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima
informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-
diskusi tentang informasi yang diterimannya. Dengan demikian maka
pengetahuan-pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku mereka
diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya perilaku
yang mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan
referensi perilaku orang lain. Sudah barang tentu cara ini akan
memakan waktu yang lebih lama dari cara yang kedua tersebut, dan
jauh lebih baik dengan cara yang pertama. Diskusi partisipasi adalah
salah satu cara yang baik dalam rangka memberikan informasi-
informasi dan pesan-pesan kesehatan.

26
Strategi untuk merubah perilaku masyarakat ini dapat dilakukan
melalui beberapa tahapan:
a) Memperkenalkan kepada masyarakat tentang gagasan dan
teknik mempromosikan perilaku masyarakat.
b) Mengidentifikasi perilaku masyarakat yang perlu dirubah dan
teknik-teknik mengembangkan strategi untuk perubahan
perilaku bagi individu, keluarga dan masyarakat.
c) Memotivasi perubahan perilaku masyarakat.
d) Merancang program komunikasi untuk berbagai kelompok
sasaran.Langkah memotivasi seseorang untuk mengadopsi
perilaku kesehatan yaitu :
 Memilih beberapa perubahan perilaku yang
diharapkan yang dapat diterapkan
 Mencari tau apa yang dirasakan oleh kelompok
sasaran mengenai perilaku tersebut melalui diskusi
terfokus, wawancara dan melalui uji coba
perilaku.
 Membuat pesan yang tepat sehingga sasaran mau
melakukan perubahan perilaku
 Menciptakan sebuah pesan sederhana, positif,
menarik berdasarkan apa yang disukai kelompok
sasaran
 Merancang komunikasi
a) Contoh perilaku sosial budaya masyarakat yang berkaitan dengan
kehamilan:
1) Upacara-upacara yang dilakukan untuk mengupayakan
keselamatan bagi janin dalam prosesnya menjadi bayi hingga
saat kelahirannya adalah upacara mitoni, procotan dan
brokohan.
2) Larangan masuk hutan, karena wanita hamil menurut
kepercayaan baunya harum sehingga makhluk-makhluk halus
dapat mengganggunya.
3) Pantangan keluar waktu maghrib dikhawatirkan kalau
diganggu mahluk halus atau roh jahat.
4) Pantangan menjalin rambut karena bisa menyebabkan lilitan
tali pusat.
5) Tidak boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah
melahirkan.

27
6) Tidak boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang
akan dilahirkan kembar dempet atau siam.
7) Jangan membelah puntung atau kayu api yang ujungnya
sudah terbakar, karena anak yang dilahirkan bisa sumbing
atau anggota badannya ada yang buntung.
8) Jangan meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah
saat melahirkan.
9) Dilarang menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari
tangannya akan berdempet menjadi satu.
10) Jangan membuat kulit ketupat pada masa hamil karena orang
tua percaya bahwa daun kelapa untuk kulit ketupat harus
dianyam tertutup rapat oleh wanita hamil, sehingga
dikhawatirkan bayi yang lahir nanti kesindiran, tertutup jalan
lahirnya.
11) Tidak boleh membelah/memotong binatang, agar bayi yang
lahir nanti tidak sumbing atau cacat fisik lainnya.
12) Tidak boleh menutup pinggir perahu (galak haruk), memaku
perahu, memaku rumah, membelah kayu api yang sudah
terbakar ujungnya, memukul kepala ikan.
13) Pantangan nazar karena bisa menyebabkan air liur menetes
terus.
14) Menggunakan jimat saat bepergian.
15) Tidak boleh makan makanan yang berbau amis.
16) Tidak boleh mempersiapkan keperluan untuk bayi sebelum
lahir.

Peran bidan di komunitas terhadap perilaku selama hamil :

1) KIE tentang menjaga kehamilan yaitu dengan ANC


teratur, konsumsi makanan bergizi, batasi aktifitas fisik,
tidak perlu pantang makan.
2) KIE tentang segala sesuatu sudah diatur Tuhan Yang
Maha Esa, mitos yang tidak benar ditinggalkan.
3) Pendekatan kepada tokoh masyarakat untuk mengubah
tradisi yang negatif atau berpengaruh buruk terhadap
kehamilan.
4) Bekerjasama dengan dukun setempat.
5) KIE tentang tempat persalinan, proses persalinan,
perawatan selama dan pasca persalinan.

28
6) KIE tentang hygiene personal dan hygiene persalinan.

b) Contoh perilaku sosial budaya lainnya selama persalinan :


1) Bayi laki-laki adalah penerus keluarga yang akan menjaga
nama baik.
2) Bayi perempuan adalah pelanjut atau penghasil keturunan.
3) Memasukkan minyak ke dalam vagina supaya persalinan
lancar.
4) Melahirkan di tempat terpencil hanya dengan dukun.
5) Minum minyak kelapa memudahkan persalinan.
6) Minum air rendaman akar rumput fatimah dapat
memperlancar persalinan.
7) Minum madu dan telur dapat menambah tenaga untuk
persalinan.
8) Makan daun kemangi membuat ari-ari lengket, hingga
mempersulit persalinan.

Peran bidan di komunitas terhadap perilaku selama persalinan :

1) Memberikan pendidikan pada penolong persalinan


mengenai tempat persalinan, proses persalinan, perawatan
selama dan pasca persalinan.
2) Memberikan pendidikan mengenai konsep kebersihan
baik dari segi tempat dan peralatan.
3) Bekerja sama dengan penolong persalinan (dukun) dan
tenaga kesehatan setempat
c) Contoh perilaku sosial budaya selama nifas:
1) Pada masa nifas dilarang makan telur, daging, udang, ikan
laut dan lele.
 Dampak Positif : -
 Dampak Negatif : Dapat merugikan karena pada masa
nifas ibu membutuhkan makanan yang bergizi
seimbang agar ibu dan bayi menjadi sehat dan dampak
positif dari larangan ini tidak ada.
2) Setelah melahirkan atau setelah operasi, ibu hanya boleh
makan tahu dan tempe tanpa garam atau biasa disebut dengan
ngayep, dilarang banyak makan dan minum, dan makanan
harus disangan/dibakar sebelum dikonsumsi.
 Dampak positif : -

29
 Dampak negatif: Dapat menghambat penyembuhan
luka karena pada dasarnya makanan yang sehat akan
mempercepat penyembuhan luka dan dampak positif
dari larangan ini tidak ada.
3) Pada masa nifas, ibu dilarang tidur siang
 Dampak Positif : -
 Dampak negatif: Ibu menjadi kurang istirahat
sedangkan pada masa ini seorang ibu harus cukup
istirahat dan mengurangi kerja berat karena tenaga
yang tersedia sangat bermanfaat untuk kesehatan ibu
dan bayi.
4) Pada masa nifas dan saat menyusui, ibu harus puasa, tidak
makan makanan yang padat setelah waktu maghrib
 Dampak positif: Hal ini dibenarkan karena dalam
faktanya masa nifas setelah maghrib dapat
menyebabkan badan masa nifas mengalami
penimbunan lemak, disamping itu organorgan
kandungan pada masa nifas belum pulih kembali.
 Dampak negatif: Ibu menjadi kurang nutrisi sehingga
produksi ASI menjadi berkurang.
5) Pada masa nifas, ibu tidak boleh keluar rumah sebelum 40
hari.
 Dampak positif : -
 Dampak negatif : Hal ini tidak diperlukan karena pada
masa nifas, ibu dan bayi yang baru lahir harus periksa
kesehatan serta pada rentang waktu tersebut ada
beberapa imunisasi yang diperlukan oleh bayi.
K. Pandangan masyarakat tentang dukun bayi dan petugas kesehatan
1) Dukun Bayi
a) Definisi
Dukun adalah seorang anggota masyarakat pada umumnya seorang
wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan
dalam menolong persalinan secara tradisional dan memperoleh
keterampilan tersebut dengan secara turun temurun, belajar secara
praktis atau dengan cara lain yang menjurus kearah peningkatan
keterampilan bidan serta melalui petugas kesehatan.
b) Peran dukun bayi
 Peran dukun bayi sebagai penolong persalinan.

30
 Peran dukun bayi dalam memberikan perawatan kepada bayi
dan ibu.
 Peran Paraji sebagai Pemimpin Jalannya Upacara Slametan.
c) Hubungan Dukun Bayi dengan Masyarakat
Di dalam memberikan perawatan baik kepada bayi ataupun ibu bayi
mereka tidak harus diwajibkan mendatangi dukun bayi tetapi secara
sukarela dukun bayi akan mendatangi rumah pasiennya selama jarak
tempat tinggal mereka terjangkau. Pemberian upah atas perawatan
yang diberikan oleh dukun bayi tidak dipatok harga tertentu semua
diberikan atas dasar kemampuan finansial pasien.
d) Perspektif Masyarakat Mengenai Dukun Bayi Masyarakat
memandang dukun bayi sebagai seorang yang memiliki kemampuan
lebih atau supranatural dalam menekuni profesinya. Secara-sosio
kultural, kelahiran bagi orang Jawa dianggap sebagai krisis
kehidupan yang harus diseimbangkan antara Tuhan dan alam
sehingga adanya ritual dan upacara adalah mutlak dilakukan
adanyaMenjadi dukun bayi adalah pilihan yang tidak semua orang
dapat melakukannya sehingga memberikan pertolongan persalinan
dan serangkaian kegiatan yang menyertainya adalah suatu pekerjaan
mulia yang telah menyelamatkan manusia dari bahaya magis dan
nonmagis.
e) Tanggapan Masyarakat Mengenai Peranan Dukun Bayi dalam proses
persalinan:
a. Masyarakat berasumsi, keberadaan dukun bayi dan
praktiknya berarti telah melestarikan budaya yang secara
turun-temurun dijalankan pada peristiwa diseputar kelahiran
seorang bayi.
b. Dengan tetap melakukan upacara-upacara selametan di
seputar peristiwa kehamilan dan kelahiran masyarakat terikat
oleh aturan-aturan para leluhur mereka. Banyakmasyarakat
yang memahami bahwa peristiwa di seputar kehamilan dan
kelahiran adalah sesuatu yang sifatnya magis, percaya setiap
tahapannya diperlukan perlakuan khusus yang hanya dapat
dilakukan oleh orang tertentu, dalam hal ini adalah dukun
bayi.
2) Tenaga Kesehatan
Petugas kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan

31
melalui lembaga pendidikan di bidang kesehatan Persalinan oleh tenaga
kesehatan dianggap memenuhi persyaratan sterilitas, aman dan bila
mendadak terjadi kegawat daruratan maka pertolongan pertama serta
rujukan dapat dilakukan.
Pandangan terhadap Bidan Sebagai petugas yang secara langsung
memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya berkenaan
dengan kesehatan maternal, maka masyarakat bisa memberikan
penilaian ataupandangan terhadap pelayanan yang diberikan oleh bidan
tersebut. Meskipun secara umum masyarakat memandang bahwa
pelayanan yang diberikan oleh bidan kepada masyarakat sudah cukup
baik, namun dengan kondisi bidan yang beragam baik dari
segikemampuan menangani pasien, kepribadian, rasa pengambian dan
keinginan untuk melayani, dan berbagai faktor yang lain, maka
pandangan dan penilaian terhadap bidan menjadi cukup beragam.
Pertama, secara umum masyarakat memandang pelayanan yang
diberikan oleh bidan kepada masyarakat sudah cukup baik. Biasanya
mereka bersedia dipanggil bila ada yang membutuhkan pertolongannya.
Namun demikian ada yang menilai bahwa bidan pelayanannya kurang
bagus, misalnya ada bidan yang tidak segera mau datang bila dimintai
pertolongan. Keluhan yang banyak dikemukakan berkenaan dengan
kesiapan bidan memberikan pertolongan adalah ketika bidan diminta
memberikan pertolongan pada malam hari. Diantara bidan ada yang
enggan datang pada saat itu juga, pada hal proses kelahiran tidak bisa
ditunda. Selain itu ada yang melihat bahwa bidan dalam memberikan
pelayanan kebanyakan juga cenderung tidak proaktif, dalam arti
cenderung menunggu untuk dipanggil baik pada saat melakukan
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan maupun pasca
persalinan.
Kedua, di mata sebagian masyarakat bidan dipandang kurang
sabar dalam menunggui ibu yang akan melahirkan. Biasanya bidan
memang akan pulang lagi ke rumahnya setelah melihat kelahirannya
diperkirakan masih lama (beberapa jam lagi). Sehingga kadang-kadang
ketika bidan datang untuk yang kedua kalinya bayi sudah lahir, di bawah
pertolongan dukun. Apabila dibandingkan, secara umum dukun memang
cenderung lebih sabar dan telaten. Biasanya dukun akan menunggui
terus sejak ia dipanggil sampai proses kelahirannya.
Ketiga, dilihat dari kemampuan bidan dalam melakukan
pemeriksaan kehamilan dan menolong persalinan, umumnya bidan

32
dipandang cukup mampu melakukan tugasnya. Dibandingkan dengan
dukun, secara umum masyarakat memandang bahwa bidan lebih pintar
dan lebih mampu menangani kehamilan dan persalinan. Alasan yang
dikemukakan antara lain bahwa untuk menjadi bidan harus sekolah
cukup lama, dan peralatan yang dimiliki juga lebih lengkap. Keempat,
kebanyakan bidan merupakan pendatang, dalam arti bukan merupakan
penduduk asli setempat. Dengan kondisi semacam ini akan memberikan
pengaruh kepada pola hubungan sosial bidan dengan penduduk desa di
mana ia ditugaskan. Misalnya ada bidan yang kurang mampu
berkomunikasi secara baik dengan penduduk setempat, khususnya untuk
bidan baru yang bukan berasal dari etnis Madura. Selain itu ada bidan
yang tidak bertempat tinggal di desa tempatnya bertugas. Akibatnya
masyarakat mengalami kesulitan bila sewaktu-waktu membutuhkan
pertolongannya.Kelima, mengenai biaya pemeriksaan dan pertolongan
persalinan, secara umum dipandang cukup mahal. Meskipun tidak
secara eksplisit mereka mengaku keberatan dengan tarif yang dikenakan
bila minta pertolongan bidan, namun umumnya mereka membandingkan
dengan rendahnya ongkos persalinan lewat dukun. Dengan perbedaan
besarnya tarif tersebut menjadi salah satu pertimbangan penting untuk
memilih apakah ingin ditolong bidan atau dukun.

Faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap dukun dan


tenaga kesehatan:
a) Kemiskinan
Tersedianya berbagai jenis pelayanan publik serta persepsi
tentang nilai dan mutu pelayanan merupakan faktor penentu
apakah rakyat akan memilih tenaga kesehatan atau tidak.
Biasanya, perempuan memilih berdasakan penyedia layanan
tersebut, sementara laki-laki menentukan pilihan mereka
berdasarkan besar kecilnya biaya sejauh dijangkau oleh
masyarakat miskin. Sekitar 65% dari seluruh masyarakat miskin
yang diteliti menggunakan penyedia layanan kesehatan rakyat
seperti bidan di desa, puskesmas atau puskesmas
pembantu(pustu), sementara 35% sisanya menggunakan dukun
beranak yang dikenal dengan berbagai sebutan. Walaupun biaya
merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat miskin,
ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih
layanan yang diberikan oleh dukun. Biaya pelayanan yang

33
diberikan oleh bidan di desa untuk membantu persalinan lebih
besar daripada penghasilan RT miskin dalam satu bulan.
Disamping itu, biaya tersebut pun harus dibayar tunai.
Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun lebih lunak secara uang
tunai dan ditambah barang. Besarnya tarif dukun hanya
sepersepuluh atau seperlima dari tarif bidan desa. Dukun juga
bersedia pembayaran mereka ditunda atau dicicil (Suara
Merdeka, 2003).
b) Masih langkanya tenaga medis di daerah-daerah pedalaman
Sekarang dukun di kota semakin berkurang meskipun sebetulnya
belum punah sama sekali bahkan disebagian besar kabupaten,
dukun beranak masih eksis dan dominan. Menurut data yang
diperoleh Dinas Kesehatan Jawa Barat jumlah bidanjaga di Jawa
Barat sampai tahun 2005 ada 7.625 orang. Disebutkan pada data
tersebut, jumlah dukun di perkotaan hanya setengah jumlah
bidan termasuk di kota Bandung. Namun, di 9 kabupaten jumlah
dukun lebih banyak (dua kali lipat) jumlah bidan. Malah di Jawa
Barat masih ada 10 kabupaten yang tidak ada bidan (Ketua Mitra
Peduli/Milik Jabar).
c) Kultur budaya masyarakat
Masyarakat kita terutama di pedesaan, masih lebih percaya
kepada dukun beranak daripada bidan apalagi dokter. Rasa takut
masuk rumah sakit masih melekat pada kebanyakan kaum
perempuan. Kalaupun terjadi kematian ibu atau kematian bayi
mereka terima sebagai musibah yang bukan ditentukan manusia.
Selain itu masih banyak perempuan terutama muslimah yang
tidak membenarkan pemeriksaan kandungan, apalagi persalinan
oleh dokter atau para medis laki-laki. Dengan sikap budaya dan
agama seperti itu, kebanyakan kaum perempuan di padesaan
tetap memilih dukun beranak sebagai penolong persalinan
meskipun dengan resiko sangat tinggi.
d) Pelayanan yang dapat diberikan oleh dukun
Dalam mutu pelayanan tidak dipenuhinya standar minimal medis
oleh para dukun, seperti dengan praktek yang tidak steril
(memotong tali pusat dengan sebilah bambu dan meniup lubang
hidung bayi baru lahir dengan mulut).

34
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pelayanan kebidanan komunitas adalah bagian dari upaya kesehatan


keluarga. Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya kesehatan
di masyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Kebidanan komunitas adalah
pelayanan kebidanan yang menekankan pada aspekaspek psikososial budaya yang
ada di komunitas (masyakart sekitar). Populasi bisa berupa kelompok sasaran
(jumlah perempuan, jumlah Kepala Keluarga (KK), jumlah laki-laki, jumlah
neonatus, jumlah balita, jumlah lansia) dalam area yang bisa ditentukan sendiri oleh
bidan. Sitem pelaporan bidan di komunitas, berbeda dengan kebidanan klinik.
Sistem pelaporan kebidanan komunitas berhubungan dengan wilayah kerja yang
menjadi tanggung jawabnya. kebidanan komunitas merupakan salah satu area
praktik bidan, yang pelayanannya diberikan baik pada individu, keluarga, maupun
masyarakat luas dengan memperhatikan dan menghargai budaya dan nilai-nilai
masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
keluarganya. Dalam praktiknya menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang
dikenal dengan proses/manajemen kebidanan.
Bidan melakukan pendidikan kesehatan terkait dengan kondisi kesehatan
yang ditemukan dengan harapan klien dapat mengikuti anjuran dari bidan untuk
mengatasi masalah kesehatannya. PWS KIA adalah alat manajemen untuk
melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terusmenerus,
agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat, meliputi program pelayanan
ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, dan keluarga
berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita.
Sebenarnya budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Artinya segala
sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun

35
nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya.
B. SARAN

Bidan dapat melakukan asuhan dengan baik juga dapat memberikan


pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan keluhan klien, serta dapat
memotivasi klien agar tidak terlalu mencemaskan suatu hal karena dapat
berpengaruh terhadap kondisi kesehatannya ibu.

36
DAFTAR PUSTAKA

Bustami Lusiana El Sinta,dkk. 2017. BUKU AJAR KEBIDANAN KOMUNITAS.


Padang. CV. Rumah Kayu Pustaka Utama

Putri Setya dan Dewinny Septalia Dale. 2019. Asuhan Kebidanan Komunitas.
Yogyakarta. Pustaka Baru Press

Yulfira Media, Zainal Arifin, Gusnedi. 2014. HAMBATAN DAN POTENSI SUMBER
DAYA LOKAL DALAM UPAYA MENGURANGI RESIKO KEMATIAN
IBU DI KECAMATAN TIGO LURAH KABUPATEN SOLOK, PROVINSI
SUMATERA BARAT. Jurnal Kesehatan Reproduksi

37

Anda mungkin juga menyukai