Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HALANGAN MENIKAH DAN PERNIKAHAN YANG


TERLARANG
Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas kuliah Fiqh Munakahat
Dosen pengampu : Dr. Muhammad Faisol, S.S.,M.Ag.

Disusun oleh kelompok 3

Salimatul Hasanah 212102040022


Mardatilla 212102040020
Berlian Nur Zahro 212102040007

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Fiqh
Munakahat, dengan judul “menikah dan pernikahan yang terlarang”.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran, masukan dan kritik dari
semua pihak demi penyempurnaan makalah ini. Kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kekurangan informasi dan susunan didalamnya. Semoga
pembaca mendapatkan manfaat dari makalah ini. Akhir kata, terimakasih atas
perhatiannya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Masalah.....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Halangan menikah yang bersifat selamanya dan sementara.................
B. Bentuk-bentuk pernikahan yang dilarang.............................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di dalam hukum islam juga mengenal larangan perkawinan yang dalam fiqih disebut dengan
mahram ( orang yang haram dinikahi ) . di dalam masyarakat istilah ini sering disebut dengan
muhrim sebuah istilah yang tidak terlalu tepat. Muhrim, kalaupun kata ini ingin digunakan
maksudnya adalah suami yang menyebabkan istriny tidak boleh kawin dengan pria lain
selama masih terikat dalam sebuah perkawinan atau masih berada dalam,iddah talak
raj’i,Ulama’ fiqih telah membagi mahram ini ke dalam 2 macam yang pertama mahram
mu’aqqat ( larangan untuk waktu tertentu ) dan yang kedua mahram mu’abad ( larangan
untuk selamanya ). Mengacu dalam status hukum yang kuat, posisi yang cukup strategis dan
luhur tujuan perkawinan, maka Hukum Islam mengatur semua aspek dalam perkawinan yang
diorientasikan untuk menjaga eksistensi dan keharmonisannya. Aspek-aspek itu mencakup
ranah preventif (pencegahan perkawinan), agar mawaddah wa ar-rahmah sebagai tujuan
perkawinan tetap terjaga optimal dan tidak terlepas. Menegnai upaya preventif, di dalam
hukum perkawinan islam(fiqih almunakahah) dikenal adanya beberapa perkawinan yang
dilarang oleh syara’. Larangan perkawinan dalam hukum islam ini semata untuk menghindari
madharat yang akan terjadi jika perkawinan tetap dilaksanakan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa halangan menikah yang bersifat selamanya dan sementara?
2. Apa saja bentuk bentuk pernikahan yang dilarang?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui halangan menikah yang bersifat selamanya dan sementara
2. Dapat mengetahui bentuk bentuk pernikahan yang dilarang
BAB II
PEMBAHASAN

A. Halangan menikah yang bersifat selamanya dan sementara


Mahram Ta’bîd adalah orang-orang yang selamanya haram dikawin. Larangan yang telah
disepakati ada tiga, yaitu: Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang
haram dinikahi untuk selamanya (ta’bîd) karena pertalian nasab adalah;
1) Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis
keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas),
2) Anak perempuan kandung, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis
lurus kebawah,yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki
maupun perempuan dan seterusnya kebawah,
3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja,
4) Bibi, adalah saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau ibu
dan seterusnya keatas,
5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau
perempuan dan seterusnya.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, bahwa perkawinan dilarang
antara dua orang yang;
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun keatas,
2. Bergaris keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara orang dengan saudara neneknya.Sedangkan dalam KHI Bab IV
tentang Larangan Perkawinan Pasal 39 menyebut, dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan karena pertalian
nasab;
a. dengan orang yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya,
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu,
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

Dari uraian di atas,dapat difahami bahwa nasab menjadi keharaman dalam perkawinan, hal
ini relevan dengan UU Perkawinan dan juga KHI,kalimat yang digunakan sangat singkat
akan tetapi sangat tegas.Hal ini yang menjadi maqâsid al-syarî’ah yaitu menjaga nasab (hifz
al-nasl),menjaga dari memikirkan syahwat terhadap perempuan-perempuan yang
diharamkannya.Orang yang merasakan syahwat terhadap ibunya atau berfikir untuk
bersenang-senang dengannya,karena cinta kasih yang terjalin, pemberian yang mulia yang
dibawa dalam hati anak laki-laki terhadap ibunya dari segi fitrah yang bersih.Semua itu
mencegah anak laki-laki untuk mengarah pada pandangan yang salah, didasarkan pada
ketetapan pernikahan kerabat-kerabat tersebut dari bertentangan hak-hak,memenuhi
kewajiban-kewajiban.Tentang keharaman menikahi ibu,dikatakan dalam ketetapan
keharaman perempuan-perempuan berdasarkan keturunan nasab.

Persusuan (radhā’ah)
menurut pandangan para ulama, bahwa larangan kawin karena hubungan sesusuan adalah
sampainya air susu wanita ke dalam perut anak yang belum mencapai usia dua tahun Hijriyah
dengan metode tertentu.Wanita atau laki-laki yang mempunyai mahram dari jalur susu
mempunyai keistimewaan dan kekebalan hukum sebagaimana mahram yang terbentuk dari
jalur nasab. Yaitu antara laki-laki dan wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh
saling mengawini.Para ulama klasik sepakat bahwa wanita yang haram dinikahi karena
hubungan sesusuan adalah segala macam susuan yang dapat menjadi sebab haramnya
perkawinan, yaitu dimana anak menyusu tetek dengan menyedot air susunya, dan tidak
berhenti dari menyusui kecuali dengan kemaunnya sendiri tanpa paksaan.
Hubungan sesusuan yang diharamkan adalah;
1) Ibu susuan (Ibu radâ’/ murdî’ah/ wanita yang menyusui), yaitu ibu yang menyusui,
maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai
ibu bagi anak yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.
2) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang
menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak
susuan sehingga haram melakukan perkawinan.
3) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami dari
ibu susuan dan seterusnya keatas.
4) Kemenakan susuan perempuan; anak perempuan saudara ibu susuan.
5) Saudara susuan perempuan, saudara seayah kandung maupun seibu
Sebagai penjelasan hubungan persusuan ini dapat dikemukakan beberapa hal, susuan yang
mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang diberikan pada anak yang masih
memperoleh makanan dari air susu, mengenai beberapa kali seorang ibu bayi menyusui pada
seorang ibu yang menimbulkan keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab
sebagaimana tersebut dalam hadis diatas, dengan melihat dalil yang kuat.
1) Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan kerabat
semenda, keharaman ini disebutkan dalam surat al-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci
tersebut;
2) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu
atau ayah.
Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu anak
tersebut
3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah.
4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan
seksual antara ibu denganayah. Persoalan dalam hubungan musaharah adalah
keharaman ini disebabkan karena semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau
dapat juga dikarenakan perzinahan.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah hanya disebabkan
oleh semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan
yang dicela itu disamakan dengan hubungan musaharah. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah, disamping disebabkan akad yang
sah, bisa juga disebabkan karena perzinaan.

Para Imam Madzhab sepakat apabila ibu dari seorangperempuan yang dinikahi dan telah
dicampuri maka anak perempuan itu tidak boleh dinikahi oleh orang yang menikahi ibunya,
meskipun anak perempuan itu tidak berada dalam asuhannya.
Daud berkata: ‚Jika anak perempuan tersebut tidak berada dibawah kekuasaannya maka ia
boleh dinikahi‛.
Keharaman perempuan musaharah
yaitu mahram karena hubungan perbesanan, bergantung pada terjadinya percampuran pada
kemaluannya, tapi dengan dorongan syahwat. Menurut Imam Hanafi,hal demikian dapat
mengakibatkan keharamannya. Bahkan menurutnya, melihat kemaluan sama dengan
bercampur dalam hal keharaman mengawini musaharah.Istri ayah (ibu tiri) haram dikawin,
hal ini menjadi kesepakatanpara ulama atas dasar semata-mata akad walaupun tidak
disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi atau belunamanya adalah
‚istri ayah‛ (zaujat al-abi). Ibu istri (mertua) tergolong didalamnya nenek dari istri dan ibu
dari ayah istri hingga keatas. Mereka digolongkan dalam ummahat alnisâ’i (ibu-ibu istri).
Anak istri (anak tiri) dengan syarat keharamannya karena telah menyetubuhi ibunya; artinya
kalau seorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata akad (belum terjadi
persetubuhan) maka mengawini anaknya tidak haram (boleh).Sebagian ulama berpendapat,
ini berlaku pula secara timbal balik ibu istri (mertua), artinya, haram pula mengawini ibu istri
(mertua) hukumnya tidak haram sedangkan yang lainnya (jumhúr) berpendapat, syarat
persetubuhan itu hanya berlaku bagi anak tiri, tidak berlaku bagi mertua
Haram Gairu Ta’bíd
maksudnya adalah orang yang haram dikawin untuk masa tertentu (selama masih ada hal-hal
yang mengharamkannya) dan saat hal yang menjadi penghalang sudah tidak ada, maka halal
untuk dikawini. Seperti pertalian mahram antara laki-laki dengan perempuan iparnya
(saudara perempuan istri), antara laki-laki dengan bibi istri dan seterusnya. Wanita-wanita
yang haram dinikah tidak untuk selamanya (bersifat sementara) adalah sebagai berikut:

1) Halangan bilangan
2) Halangan mengumpulkan
3) Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu waktu
4) Halangan kafir
5) Halangan ihrám
6) Halangan iddah
7) Halangan perceraian tiga kali
8) Halangan peristrian
B. Bentuk-bentuk pernikahan yang dilarang
1. Nikah Mut’ah / Kawin Kontrak
Dalam terminologi bahasa Arab, mut’ah berasal dari kata mata’a–mut’atan yangmengarah
pada makna bersenang-senang dan memanfaatkan. Sedangkan secara etimologimaksudnya
adalah seseorang menikahi seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan
suatupemberian padanya, berupa harta, makanan, pakaian, atau yang lainnya. Jika masanya
telah selesai,maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa adanya kata talak dan juga tanpa
warisan. Para ulama’ telah sepakat atas keharaman pernikahan ini kecuali dari golongan
Syi’ah.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan pada awal Islam untuk kebutuhan darurat saat
itukemudianRasulullah s.a.w., mengharamkannya dua kali; pertama pada saat perang Khaibar
tahun7 H dan yang kedua pada saat Fath al Makkah pada tahun 8 H, sebagaimana hadits yang
diriwayatkan ‘Ali bin Abi Thalib; Bahwasannya Rasulullah s.a.w., melarang (nikah) mut’ah
pada hari (perang) Khaibar dan (melarang) memakan (daging) keledai yang jinak. (H.R
muslim)
Selanjutnya, adapun golongan yang menghalalkan nikah mut’ah yaitu dari golonganSyi’ah.
Adapun alasan-alasan mereka sebagai berikut; Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al Ansaribahwa Ia
berkhutbah di hadapan kami dan berkata; “Sungguh aku tidak berbicara dengan kalian
melainkan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasulullah s.a.w., beliau berkata pada
peperangan Hunain,‘Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hariakhir
menyiramkan airnyake tanaman orang lain, yakkni menyetubuhi wanita hamil (dari orang
lain). Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menggauli tawanan
wanita hingga ia memastikan ketidakhamilannya.
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepaxda Allah dan hari akhir menjual ghanimah
(harta rampasan perang) sehingga dibagikan.’.”Golongan Syiah memahami hadits diatas
sebagai dalil dibolehkannya nikah mut’ah. Adapun Abdul Manan mengkritiknya sebagai
berikut; apabila diperhatikansecara mendalam baik secara burhani maupun bayani tidak
ditemukan suatu karinah yang dapat memberi petunjuk kepada kebolehan kawin mut’ah.
2. Nikah syighar
Secara etimologis, kata syighar bermakna “kekosongan”, “sesuatu yang kosong”. Bentuk
pernikahan ini dinamakan syighar sebab didalamnya tidak ada penyerahan mahar. Sementara
itu, Amir Syarifuddin dalam bukunyasecara definitif mengartikan nikah syighar melalui
hadits Nabi dari Nafi’ bin Ibn Umar muttafaq ‘alaihyang dikutip al Shan’aniy dalam kitabnya
Subul al Salam “seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannyadengan ketentuan laki-
laki lain itu mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada mahar diantara
keduanya.” Nikah syighar yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat
orang yang menikahi anaknya itu juga menikahkan putri yan ia miliki dengannya. Baik
pernikahan itu dengan memberikan mas kawin bagi keduanya maupun salah satu darinya saja
atau tidak memberikan maskawin sama sekali
Pernikahan semacam ini adalah rusak (tidak sah) dan haram menurut kesepakatan para
ulama’ baik yang maharnya disebutkan atau pun tidak. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.,
Iaberkata; “Rasulullah s.a.w., melarang nikah syighar. Ibnu Namir menambahkan, “Nikah
syighar adalah seorang yang mengatakan kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan
anakperempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan anak perempuanku’, atau
‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan
saudara perempuanku’.”(HR. Muslim)
3. nikah tahlil
Secara etimologi, tahlil berakar dari kata halala–yuhallilu–tahliilan yang berarti
menghalalkan sesuatu yang haram. Dalam hal ini apabila dikaitkan dengan perkawinan akan
berartiperbuatan yangmenyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan
perkawinan menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain
melakukan perkawinan itu. disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal melakukan
perkawinan yang dilakukan muhallil disebut muhallal lah.
Dalam pernikahan tahlil, tidak ada sedikitpun kehendak untuk menikahinya. Jikamaksudnya
untukmenggaulinya hari itu, dan ada seseorang yang mengisyaratkan kepadanya untuk
menceraikannya, maka perbuatan ini tidak dibolehkan, dimana Ia bermaksud untuk
menggaulinya selama satu hari atau dua hari. Berbeda dengan orang menikah dengan maksud
tertentu, sementara perkaranya ada di tangannya. Dalam hal ini, tidak ada seorang pun yang
mengisyaratkan agar menceraikan istrinya.Jadi nikah tahlil adalah seorang laki-laki menikahi
wanita yang telah ditalak tiga olehsuaminya dan telah selesai masa iddahnya, dengan niat
agar wanita tersebut menjadi halal bagisuamiyang pertama. Dan yang diperhitungkan dalam
hal ini adalah niat suami yang kedua(muhallil) walaupun pernikahan ini tidak menyalahi
rukun.
4. pernikahan poliandri
Perkawinan poliandri adalah bentuk perkawinan, di mana seorang istri menikah dengan
beberapa suami. Dalam perspektif filosofis, hukum perkawinan poliandri merupakan bentuk
yang dilarang dan bertentangan dengan kodrat wanita. Poliandri adalah sebuah bentuk
poligami dimana seorang wanita mengambil dua suami atau lebih pada saat yang sama.
Poliandri berseberangan dengan poligini dan seluru Agama tidak membenarkan Poliandri
tersebut, yang melibatkan satu laki-laki dan dua perempuan atau lebih.
Perkawinan poliandri dilarang di Indonesia. Perkawinan poliandri adalah bentuk perkawinan,
di mana seorang istri menikah dengan beberapa suami. Dalam perspektif filosofis, hukum
perkawinan poliandri merupakan bentuk yang dilarang dan bertentangan dengan kodrat
wanita. Sejalan dengan perspektif filosofis, dalam perspektif normatif hukum poliandri
adalah haram berdasarkan dalil Al-Quran surat An-Nisa 4:24 dan Al-Sunnah Hadis Riwayat
Ahmad. Selain itu, dalam perspektif yuridis, hukum poliandri bertentangan dengan Pasal 3
ayat (1) yang menyatakan seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas
monogami).
5. pernikahan sesama jenis (gay atau lesbian)
Perkawinan sejenis atau perkawinan sesama jenis adalah perkawinan pasangan dengan jenis
kelamin yang sama, melalui sebuah upacara sipil atau keagamaan. Istilah kesetaraan
perkawinan mengacu pada status politis yakni perkawinan antara pasangan sejenis dan
pasangan berbeda jenis diakui setara oleh hukum. Pengajuan perkawinan sejenis bermacam-
macam di setiap yuridiksi, dilaksanakan melalui pengubahan hukum perkawinan secara
legislatif, putusan pengadilan berdasarkan jaminan konstitusional atas kesetaraan, atau suara
masyarakat langsung (dengan suara inisiatif atau referendum). Pengakuan perkawinan sejenis
dianggap sebuah hak asasi manusia, hak sipil, serta masalah politis, sosial, dan religius.
hukum menikah sesama jenis menurut agama tidak dibolahkan dan haram hukumnya,
begitupun di Indonesia tidak diperbolehkan menikah sesama jenis. dan hukum pernikahan
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanit
sebagai suami isteri. Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan
pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Halangan selamanya yaitu karena nasab seperti ibu,anak perempuan,saudara perempuan,bibi,
dan keponakan perempuan. Yang kedua karena sebab pertalian semenda (pernikahan) yaitu
ibu mertua,anak tiri perempuan,menantu perempuan dan ibu tiri.dan yang terakhir karena
sebab sesusuan seperti ibu susuan,nenek susuan,bibi susuan,keponakan susuan,saudara
perempuan susuan.Sedangkan halangan sementara yaitu halangan menikahi beberapa
perempuan yang bersifat sementara karena adanya hal hal tertentu. Apabila hal tertentu itu
tidak ada, maka dibolehkan menikahi perempuan tersebut.

Nikah yang dilarang ada lima macam yaitu Nikah Mut’ah / Kawin Kontrak, Nikah syighar,
pernikahan sesama jenis (gay atau lesbian), pernikahan poliandri,dan nikah tahlil.

B. Saran
Tentunya kami sudah meyadari jika dalam penyusunan makalah diatas masih banyak
kekurangan,kesalahan serta jauh dari kata sempurna,maka dari itu nantinya kami akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa
sumber dan kritik serta saran yang bisa membangun dari para teman teman semua.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/38687816/
Model_model_Perkawinan_yang_Dilarang_dalam_Islam
https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-poliandri-di-indonesia-lt624fde954f97d
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-perkawinan-sesama-jenis-
lt50c9f71e463aa
Muhammad Thalib, Buku Pegangan Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1993), 80.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 16, 16.
Indonesia, KUHPer, 18.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), 147-148.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, 34.

Anda mungkin juga menyukai