Alhamdulillah kita telah sampai pada puasa Ramadhan 1443 H.
(syarh) atas kitab Sahih al-Bukhari, memberikan ulasan bahwa
Bulan Puasa ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan “ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi” merupakan kalimat kegembiraan dan suka cita. Salah satu alasannya adalah karena umum yang diharapkan supaya seseorang mendapatkan bulan Ramadhan memberikan kesempatan untuk melebur dosa ampunan atas seluruh dosanya, baik kecil maupun besar (Syarh kita. Sahih al-Bukhari li Ibn Baththal, juz 04 hal.149). Dalam sebuah hadits yang masyhur, dari jalur Abu Hurairah, Pengetahuan ini, meski telah disampaikan setiap tahun, perlu Rasulullah bersabda: diulas kembali, agar keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan sebagai pelebur dosa tidak dianggap “angin lalu” karena sudah terbiasa dan menjadi rutinitas tahunan yang akan selalu berulang. Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan Dengan meyakini atas keistimewaan bulan Ramadhan sebagai keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa bulan pelebur dosa maka kita semakin punya gairah untuk masa lalunya akan diampuni.” melakukan puasa dengan sebaiknya di siang hari, dan Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari nomor 38, melakukan qiyam Ramadhan di malam hari, dengan berbagai Imam Muslim nomor 1817, Abu Daud nomor 1374, at- kegiatan ibadah. Menghidupkan malam Ramadhan, Turmudzi nomor 684, an-Nasa’i nomor 2202, Ibnu Majah sebagaimana riwayat Abu Daud nomor 1374, memiliki fadilah nomor 1326 Ahmad bin Hanbal nomor 7170 dan beberapa kitab yang sama dalam peleburan dosa sebagaimana puasa. kumpulan hadits lain, dengan ada sedikit perbedaan redaksi. Ada dua pesan penting yang perlu dikemukakan terkait hadits di Jika kita mengamati hadits tersebut maka tidaklah salah atas. Pesan tersebut terkandung dalam dua redaksi hadits, yakni kesimpulan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan bagi terkait îmânan (keimanan) dan iḫtisâban (berharap pahala dari peleburan dosa-dosa kita. Kita menyadari, seiring dengan Allah). bertambahnya waktu dan usia, sedikit atau banyak, sengaja Saat memberikan komentar atas status gramatikal (tarkîb maupun tidak, kita pernah tergelincir dalam dosa. Untuk itu, naḫwî) kedua diksi tersebut, Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin bulan Ramadhan hadir sebagai kesempatan yang tepat, untuk Hajar, atau lebih dikenal dengan Ibnu Hajar al-Asqalani, mendapatkan ampunan atas dosa yang telah lampau. menjelaskan bahwa status gramatikal 2 kata tersebut bisa Abu al-Husain Ali bin Khalaf bin Abd al-Malik, atau lebih menjadi maf’ûl lah atau tamyîz, atau ḫâl di mana bentuk masdar dikenal dengan Ibnu Baththal, saat memberikan penjelasan tersebut bermakna isim fâil/pelaku (Fathul Bari Sarh Sahih al- Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115). Jika mengikuti tarkib yang Dengan keimanan, seseorang melakukan perbuatan ibadah terakhir, maka orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, dan puasa secara sadar atas kewajiban dan ketertundukan pada mendapatkan maghfirah Allah, haruslah berstatus mukmin Allah, sekaligus puasanya menjadi penanda atas keimanan (orang yang beriman) dan muḫtasib (orang yang berharap seseorang semakin kuat. Karena dengan berpuasa, dia pahala dari Allah). mengaktualisasikan kepercayaan dalam hati ke dalam praktik Kedua pesan penting ini perlu untuk selalu diselaraskan dan nyata amaliah. direfleksikan kembali pada tiap rutinitas amal ibadah kita, Diksi kedua adalah iḫtisâban. Makna yang sering disampaikan terutama terkait dengan puasa di Bulan Ramadhan ini. Diksi dan diterjemahkan, bahwa iḫtisâban adalah thalab al-thawâb îmânan (keimanan), memberikan pesan penting bahwa fondasi min Allah, mencari pahala dari Allah. Ibnu Hajar al-Asqalani ibadah puasa ini dilandasi dengan keimanan. (Fathul Bari Sarh Sahih al-Bukhari li Ibn Hajar, juz 4, h.115), Keimanan membuat seseorang meyakini (i’tiqâd) dan selain menukil makna tersebut, juga menyajikan pendapat al- membenarkan (tashdîq) dengan sepenuh hati, bahwa ibadah Khaththâbi, bahwa iḫtisâban adalah: puasa ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Hal ini disampaikan Ibnu al-Mundzir, sebagaimana dinukil Ibnu Baththâl (Syarah Sahih al-Bukhari, juz 04, h. 21 dan 30). Artinya, dengan fondasi keimanan, puasa dijalani dengan penuh Artinya, “Iḫtisâb itu berarti tekad yang kuat, yakni seseorang kesadaran atas kewajiban, dan keyakinan atas kewajiban berpuasa atas dasar kecintaannya pada pahala yang terkandung tersebut. Tanpa ada keimanan, bisa jadi puasa sekadar tradisi di dalam puasa Ramadhan, (juga atas dasar) kebaikan dirinya “guyub” karena membersamai keluarga, tetangga, atau teman dengan tanpa merasa terbebani atas puasa dan tak merasa terlalu yang sedang menjalani puasa. Hanya “ikut-ikutan” semata, panjang hari-hari puasanya.” tanpa ada kesadaran dan keyakinan dari internal pribadi. Dengan iḫtisâb, seseorang berusaha menjalani kewajiban puasa Oleh karena itu, keimanan ini penting sekali, terutama dalam Ramadhan dengan perasaan riang gembira, merasa ringan struktur bangunan amaliah seseorang. Karena kualitas keimanan dalam menjalani puasa bahkan dengan disertai aktivitas ibadah seseorang, menurut beberapa literatur, ditunjang oleh tiga hal, lainnya, serta menghargai setiap detik dan jam yang berlalu yaitu pembenaran dalam hati (tashdîq bi al-qalb), pernyataan selama bulan bulan Ramadhan. dengan lisan (iqrâr bi al-lisân), dan perbuatan dengan anggota Ihtisâb melatih kita bahwa melakukan ibadah mesti disertai tubuh (amal bi al-arkân). dengan ringan hati dan perasaan syukur. Syukur atas karunia dan kandungan yang ada di dalam bulan Ramadhan, dan syukur atas takdir Allah yang memberikan kita kesempatan untuk menjalani ibadah puasa. Ihtisâb juga menjadikan kita semakin menyadari bahwa pengharapan atas apresiasi dan pahala puasa kita mesti tetap dan selalu bersandar pada Allah, wa yanwî bi shiyâmihî wajhallâh (seseorang hendaklah berniat karena Allah atas puasa yang dilakukan), kata Ibnu Baththâl. Bukan bersandar atas apresiasi pimpinan, keluarga, kolega, atau tetangga, yang justru bisa menjadikan kualitas ibadah kita menurun. Dari sini kita semakin memahami makna hadits Qudsi bahwa “Puasa adalah untuk-Ku (Allah) dan Aku yang akan memberi balasan” (al- Bukhari nomor 1894, Muslim nomor 2764).