Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUN

Demam berdarah dengue (DBD)/ dengue hemorrhagic fever adalah


penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue masuk ke
dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes
albopictus dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot (myalgia) dan/
atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam (maculopapular skin
rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.1,2
Demam berdarah dengue secara internasional dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan virus dan di transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.
DHF endemik lebih dari 100 negara di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan
sub-tropis. WHO memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap
tahunnya.3 Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai
100 juta infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus
DHF mengakibatkan 22.000 kematian yang kebanyakan terjadi pada anak-anak.
Berdasarkan data resmi yang disampaikan ke WHO, kasus DB di seluruh
Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada tahun 2008
dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013.3 DHF merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia.4
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air.Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DHF tahun 2010 di Asean,
dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Pada tahun 2015,
tercatat terdapat 126.675 penderita DHF di 34 provinsi di Indonesia, dan 1.229
orang diantaranya meninggal dunia. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan
iklim dan rendahnya kesadaran masyararakat untuk menjaga kebersihan
lingkungan.4 Faktor kepadatan penduduk juga berperan memicu tingginya kasus
DHF, karena tempat hidup nyamuk hampir seluruhnya adalah buatan manusia
seperti dari kaleng bekas, ban bekas hingga bak mandi. Dengan tingginya jumlah
kasus DHF yang terjadi, pemahaman mengenai DHF dan penatalaksanaan yang
tepat diperlukan guna menurunkan angka mortalitas dan morbiditas di
masyarakat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dengue Hemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis berupa demam
yang terjadi secara mendadak 2-7 hari. Dapat disertai gejala perdarahan dengan
atau tanpa adanya syok, dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan
peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai normal.1,4,5 Infeksi virus dengue
dapat disertai dengan terjadinya kebocoran plasma. Perubahan patofisiologi pada
infeksi virus dengue menentukan perbedaan perjalanan penyakit antara DHF
dengan dengue fever (DF). Perubahan patofisiologis tersebut dapat berupa
kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat
diketahui dengan terjadinya trombositopenia dan peningkatan hematokrit.1 Virus
dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty
dan Aedes albopictus dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot
(myalgia) dan/ atau nyeri sendi (arthralgia) yang disertai leukopenia, ruam
(maculopapular skin rush), limfadenopati, trombositopenia dan diatesis
hemoragik.1,3,5
2.2 Epidemiologi
DHF secara internasional dianggap sebagai penyakit yang disebabkan
virus dan di transmisikan oleh nyamuk yang paling signifikan.DHF endemik
lebih dari 100 negara di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub-tropis. Di
Amerika Serikat, DHF yang disebabkan oleh spesies Aedes aegypti dapat
ditemukan secara musiman di Louisiana, Florida bagian selatan, New Mexico,
Arizona, Texas, Georgia, Alabama, Mississippi, North dan South Carolina,
Kentucky, Oklahoma, dan Tennessee. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian DF telah
meningkat 30 kali lipat.3

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 50 sampai 100


juta infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus ini 500.000 kasus
DHF mengakibatkan 22.000 kematian, kebanyakan terjadi pada anak-anak.
Berdasarkan data resmi yang disampaikan ke WHO, kasus demam berdarah di
1
seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melampaui 1,2 juta pada tahun
2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013. Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus
demam berdarah dilaporkan terjadi di Amerika saja, dimana 37, 687 kasus
merupakan DHF berat. Setelah epidemi DHF yang pertama diketahui pada tahun
1953 sampai 1954 di Filipina, penyakit ini terus menyebar ke seluruh penjuru
dunia.3
Kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2020 tercatat sebanyak 108.303 kasus.
Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 138.127 kasus. Sejalan
dengan jumlah kasus, kematian karena DBD pada tahun 2020 juga mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2019, dari 919 menjadi 747 kematian. 6

Gambar 1. Incidence Rate (IR) DBD Provinsi Riau tahun 2018-2019


Provinsi Riau jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2019
sebanyak 4.135 orang dan angka kematian sebanyak 30 orang. Bila
dibandingkan dengan tahun 2018 terjadi peningkatan kasus yang
cukup signifikan dimana angka kesakitan 12,44 per 100.000
penduduk. Sedangkan kasus DBD di pelalawan pada tahun 2019
sebanyak 20 orang. 7

2.3 Etiologi dan Transmisi


a. Virus
DHF disebabkan oleh virus dengue.Virus dengue termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus ini mengandung single-strand RNA
sebagai genom.8 Genom virus dengue mengandung sekitar 11000 basis
nukleotida, yang merupakan kode untuk satu polyprotein tunggal yang dipecah
secara pos menjadi 3 molekul protein struktural (C, prM, dan E) yang membentuk
partikel virus dan 7 protein nonstruktural ( NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b,
dan NS5) yang hanya ditemukan pada sel inang yang terinfeksi dan diperlukan
untuk replikasi virus.9Di antara protein non- struktural, glikoprotein envelope
2
yaitu NS1, bersifat diagnostik dan patologis.Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm, yang terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat
molekul 4x106.Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-
4.Genotipe atau garis keturunan yang berbeda (virus yang sangat terkait dalam
urutan nukleotida) telah diidentifikasi dalam setiapserotipe, menyoroti keragaman
genetic yang luas dari serotype dengue.Di antara mereka,genotipe"Asia" DEN-2
dan DEN-3 sering dikaitkan dengan infeksi berat penyakit yang disertai dengan
dengue sekunder. Infeksi dengan serotipe manapun akan memberi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus tersebut.8Di Indonesia keempat serotipe ini
ditemukan, dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Penelitian terbaru
menemukan adanya serotipe DEN-5 yang pertama kali diumumkan pada tahun
2013.9
b. Vektor
Virus dengue ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk Aedes aegypty dan
Aedes albopictus yang terinfeksi ke tubuh manusia dengan masa inkubasi 4-10
hari.Infeksi bisa didapat melalui satu gigitan saja. Nyamuk Aedes aegypty
biasanya mengigit pada siang hari. Nyamuk ini merupakan spesies tropis dan
subtropis yang terdistribusi secara luas di seluruh dunia yang hidup diantara antara
garis lintang 35° LU dan 35 ° LS di bawah ketinggian 1000 m (3.300 kaki).
Tahapan nyamuk yang belum matang sering ditemukan di habitat air, terutama
pada penampungan dengan air yang tenang dan menggenang seperti ember, bak
mandi, ban bekas, dan yang lainnya. 1,4,10
Wabah DHF juga dikaitkan dengan
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies kompleks Aedes
scutellaris. Masing-masing spesies ini memiliki ekologi, perilaku dan distribusi
geografis yang tertentu. Dalam beberapa dekade terakhir, nyamuk Aedes
albopictus ini telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika dan Eropa, yang
dibantu oleh perdagangan internasional ban bekas, dimana telur nyamuk disimpan
ketika bannya menggenangkan air hujan. Telur tersebut dapat pula bertahan hidup
selama berbulan-bulan tanpa adanya air.8

c. Host
Setelah masa inkubasi yang terjadi sekitar 4-10 hari, infeksi oleh salah
satu dari empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum yang luas dari
penyakit ini, walaupun sebagian besar infeksi tidak menunjukkan gejala atau
subklinis. Infeksi primer diduga menginduksi munculnya kekebalan protektif
seumur hidup dengan serotipe yang terinfeksi.8 Individu yang menderita infeksi
3
dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3 bulan dari
infeksi primer, tetapi tanpa kekebalan lintas pelindung jangka panjang. Anak-anak
muda khususnya mungkin kurang mampu jika dibandingkan dengan orang dewasa
untuk mengimbangi kebocoran kapiler dan akibatnya memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk mengalami dengue shock.
Dalam proses transmisi, nyamuk menggigit penderita yang terinfeksi
virus dengue, dimana virus dengue banyak terdapat di dalam darah penderita
terutama pada hari ke 5. Beberapa penderita tidak menunjukkan gejala yang
signifikan namun dapat mentransmisikan virus ke dalam nyamuk yang
menggigitnya. Setelah virus masuk ke dalam nyamuk, virus tersebut akan
memerlukan tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum dapat ditularkan ke manusia
lain. Nyamuk tersebut tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin dari
beberapa hari hingga beberapa minggu.8
Data terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel bisa memediasi
terjadinya kebocoran plasma. Kebocoran plasma diduga berhubungan dengan
efek fungsional daripada merusak sel-sel endotel. Trombositopenia mungkin
berhubungan dengan terjadinya perubahan dalam megakaryocytopoieses oleh
infeksi sel hematopoietik manusia dan gangguan pertumbuhan sel progenitor,
disfungsi platelet (aktivasi platelet dan agregasi) serta terjadi peningkatan
penghancuran atau konsumsi. Perdarahan mengakibatkan trombositopenia dan
disfungsi trombosit yang terkait atau disseminated intravascular coagulation.
Kesimpulannya, ketidakseimbangan sementara antara mediator inflamasi, sitokin
dan kemokin terjadi selama perjalanan dengue yang parah, didorong oleh beban
virus pada fase awal yang tinggi sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi sel
endotel vaskular dan kekacauan sistem hemokoagulasi yang menyebabkan
kebocoran plasma dan syok.

2.4. Patofisiologi dan Patogenesis


DHF merupakan mosquito-borne viral disease yang disebabkan oleh virus
dengue dengan tipe antigen yang berbeda, yaitu tipe 1-4.1,4 Walaupun DF dan
DHF disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang
berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah
hemokonsentrasi yang khas pada DHF yang bisa mengarah pada kondisi
4
renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena
proses imunologi.11 Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan
berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera
terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari
gejala panas mulai. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis
DBD adalah respon imun humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan
dalam proses netralisasi virus dan proses sitolisis. Peran limfosit T baik T-helper
(CD4) maupun T-sitotoksis (CD8) juga berperan dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
virus namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap
virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (Antigen Presenting
Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper
dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit
virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis
antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
dan antibodi fiksasi komplemen.1,8
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise
dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifestasi perdarahan karena terjadi agregasi
trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat
ringan.5 Imunopatogenesis DHF merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori
yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis DHF dan DSS yaitu
teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory).1

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti


juga virus binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan
sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat
menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat serotipe virus yang paling virulen.11

5
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus
dengue dengan tipe yang berbeda. Jika terdapat antibodi yang spesifik terhadap
jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi
sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak
dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.1
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi
yang akan berikatan dengan reseptor dari membran sel leukosit terutama
makrofag. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1,11
Patogenesis terjadinya kebocoran plasma pada DHF dapat dilihat pada
Gambar 1. Pada gambar 1 digambarkan bahwa terjadi konsentrasi kompleks imun
yang tinggi akibat reinfeksi yang mengakibatkan reaksi amnestik antibodi.
Infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibodi sehingga virus berkembang di makrofag. Infeksi
makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksis
sehingga diproduksilah limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresikanlah berbagai mediator inflamasi,
seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang
megakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadilah kebocoran plasma.

6
Gambar 2.Imunopatogenesis DHF1
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien,
respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-
antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi
sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama
24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan
permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan
kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara
adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh
karena itu pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.1,11

7
Gambar 3. Patogenesis Terjadinya Syok Pada DHF.11
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat),
sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia (degranulasi trombosit). Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulapati konsumtif (KID; koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan. 1,11
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu
peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi,
perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.1

8
Gambar 4. Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DHF.12
Trombositopenia pada infeksi dengue tejadi melalui mekanisme
supresi sumsum tulang, destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada masa awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah tubuh dapat
mengkompensasi, maka akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis.
Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia akan
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan adanya stimulasi
thrombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
thrombositopenia.
2.5 Manifestasi Klinis
Infeksi dengan hanya salah satu dari empat serotipe dengue dapat
menghasilkan spektrum penuh dan beratnya penyakit. Spektrum penyakit
dapat berkisar dari, sindrom demam non-spesifik ringan, demam berdarah
klasik (DF), dengan bentuk parah dari penyakit, DHF dan demam berdarah
shock syndrome (DSS). Bentuk parah biasanya terwujud setelah hari 2-7
fase demam dan sering ditandai dengan tanda-tanda peringatan klinis dan
laboratorium. Walaupun tidak ada agen terapeutik untuk infeksi dengue,
kunci keberhasilan penanganan adalah penggunaan waktu yang tepat dan
kebijaksanaan perawatan suportif, termasuk pemberian cairan isotonik
intravena atau koloid, serta pemantauan ketat tanda-tanda vital dan status
hemodinamik, keseimbangan cairan, dan parameter hematologi.8

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung


dari interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena
itu infeksi virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik)
ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang
jelas, dengue fever (DF) dan bermanifestasi berat dengan dengue
hemorrhagic fever(DHF) tanpa syok atau dengue shock syndrome
(DSS).8Manifestasi klinis bergantung pada strain virus, faktor host
misalnya umur, dan status imun. Berikut ini adalah bagan manifestasi
klinis dari infeksi virus dengue.8

9
Gambar 5. Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue8
Pada umumnya pasien mengalami demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat. Gejala lain seperti mual muntah, diare, ruam kulit,
nyeri kepala serta nyeri otot dan tulang. Nyeri kepala dapat menyeluruh atau
terpusat pada supraorbita dan retroorbita. Nyeri otot terutama pada tendon.1,2,10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi
pada hari 1 – 3 hari mencapai 40o C, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri
seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.Pada beberapa kasus ditemukan
nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan
mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 6 sakit dan ditandai
dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan
timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48
jam.Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit.Pada fase ini dapat terjadi syok. Fase pemulihan, bila
fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis
membaik.10
2.6 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 2011 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis berdasarkan WHO
2011:8
1. Demam akut, tinggi mendadak 2-7 hari pada beberapa kasus, eritema kulit,

10
nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai
dengan :
- Uji tourniket positif (yang palinng umum)
- Petekie, ekimosis, purpura
- Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
- Hematemesis dan/atau melena
3. Syok, dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang buruk
ditandai dengan nadi lemah, hipotensi, kulit pucat, dingin, lemah.
Kriteria Laboratoris:
- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
- Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma atau tanda
hemokonsentrasi sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapatkan terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya.Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura,
asites atau hipoalbuminemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia atau
peningkatan hematokrit, cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam
berdarah dengue. Adanya pembesaran hati selain dua kriteria klinis
pertama adalah dugaan terjadinya demam berdarah dengue sebelum onset
kebocoran plasma. Efusi pleura (X-ray dada atau ultrasonografi) adalah
bukti objektif terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya hipoalbumin
dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia, perdarahan
berat, kondisi ketika tidak adanya hematocrit dasar, dan peningkatan
hematocrit kurang dari 20% akibat pemberian terapi intravena secara dini.
Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia,
mendukung diagnosa demam berdarah dengue. ESR yang rendah (kurang
dari 10 mm/satu jam pertama) selama syok membedakan DSS dari syok
septik.1,8,9,
Berdasarkan tingkat keparahan, WHO (2004) membagi demam berdarah
dengue menjadi 4 derajat, yaitu: 8,11
1. Derajat 1: Demam yang disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
11
2. Derajat 2: Derajat 1, disertai perdarahan terjadinya spontan di kulit dan
perdarahan lainnya.
3. Derajat 3: Adanya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
daerah sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah.
4. Derajat 4: Syok berat, dimana nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
DF/DHF Derajat Gejala Laboratorium
DF Demam disertai 2 atau lebih tanda: • Leukopenia(wbc
- sakit kepala ≤
- nyeri retro orbital 5000sel/mm3)
- myalgia/ nyeri otot • Trombositopenia(Platelet
- arthralgia <150 000 cells/mm3).
- ruam • Peningkatan HCT (5% –
- tidak adanya tanda 10% ).
kebocoran plasma • Tidak ada bukti
kebocoran plasma

DHF I Demam dan manifestasi • Trombositopenia


perdarahan (<100.000/ul),
(uji bendung positif) dan adanya • Peningkatan HCT ≥20%
bukti ada kebocoran plasma
DHF II Gejala pada derajat I disertai • Trombositopenia
dengan perdarahan spontan (<100.000/ul)
• Peningkatan HCT ≥20%
DHF III Gejala pada derajat I atau II • Trombositopenia
disertai dengan kegagalan (<100.000/ul)
sirkulasi (nadi lemah, hipotensi, • Peningkatan HCT ≥20%
kulit dingin dan
lembab serta gelisah)
DHF IV Syok berat disertai dengan • Trombositopenia
tekanan darah dan nadi tidak (<100.000/ul)
terukur • Peningkatan HCT ≥20%

Tabel 1.Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan tingkat keparahan


2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menunjang diagnosis
DHF adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus.

12
Pemeriksaan yang umumya dan signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap. Diagnosis DHF secara definitif dapat dilakukan dengan isolasi virus,
identifikasi virus dan serologis.11
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi
virus. Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu
untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus, identifikasi virus
dan serologis.8
Isolasi virus
isolasi virus dengue dari spesimen klinis mungkin dilakukan pada sampel
yang diambil dalam 6 hari pertama sejak sakit dan segera diproses tanpa
penundaan. Spesimen yang cocok untuk isolasi virus termasuk : serum fase
akut, jaringan otopsi pada kasus yang fatal. (khusunya hati, limpa, kelenjar
limfe dan timus), serta dari nyamuk yang diambil dari area yang endemis.
Deteksi antigen virus
merupakan glikoprotein yamg diproduksi oleh semua flavivirus (NS1).
Antigen NS1 muncul di hari pertama gejala penyakit dan menghilang di hari
ke 5-6. Oleh karena itu, tes NS1 bisa dijadikan sarana untuk diagnostik yang lebih
cepat.
Respon imunologis dan uji serologis
Metode ini terdiri dari : IgM-capture enzyme-linked immunosorbent
assay (MAC-ELISA), IgG-ELISA, IgM/IgG ratio, Haemagglutination
inhibition test, Complement fixation test, Neutralization test,

Pemeriksaan Darah Lengkap:


Pemeriksaan darah yang dilakukaan secara rutin adalah kadar
hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit. Meningkatnya hematokrit yang pada
pasien DHF merupakan penanda terjadinya perembesan plasma. Selain itu dapat
juga ditemukantrombositopenia dan leukopenia.8Pada pemeriksaan darah lengkap
parameter yang diamati adalah terdapat trombositopenia (<100.000) di hari ke 3-
8, kebocoran plasma ditandai dengan peningkatan hematokrit ≥20% dari
hematokrit awal yang biasanya terjadi mulai dari hari ke-3 demam, leukosit
dapat normal atau menurun dan
mulai demam hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% total leukosit).
Pemeriksaan Faal Pembekuan Darah
13
Pemeriksaan faal pembekuan darah dapat digunakan sebagai acuan untuk
memandu terapi pada pasien dengan adanya manifestasi perdarahan yang parah.
Pada pemeriksaan faal pembekuan darah biasanya ditemukan protrombin time
memanjang, activated partial thromboplastin time memanjang, dan fibrinogen
rendah dan tingkat degradasi produk fibrin yang tinggi merupakan tanda DIC.
TEST SEROLOGI IgG/IgM
Respon antibodi terhadap infeksi terdiri dari munculnya berbagai jenis
immunoglobulin.Isotipe imunoglobulin IgM dan IgG memiliki nilai diagnostik
pada demam berdarah.Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari ke-3-5 setelah
onset penyakit, meningkat dengan cepat sekitar dua minggu dan menurun sampai
tingkat yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Karena kemunculan antibodi IgM
yang terlambat, yaitu setelah lima hari demam, tes serologis berdasarkan antibodi
ini yang dilakukan selama lima hari pertama penyakit klinis biasanya akan
menunjukkan hasil yang negatif.
Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat yang rendah pada akhir minggu
pertama, yang kemudian akan meningkat dan tetap untuk periode yang lebih lama
(selama bertahun-tahun). IgG terdeteksi mulai hari ke 3-5 demam. Meningkat
hingga minggu ke-3 dan dapat menghilang setelah 60-90 hari.Pada infeksi primer
IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14 dan pada infeksi sekunder IgG mulai
terdeteksi pada hari ke- 2.dapat terdeteksi selama lebih dari 60 tahun dan jika
tidak ada gejala. Setelah infeksi primer, IgG mencapai tingkat puncak dalam
darah setelah 14-21 hari.Selama infeksi berikutnya, tingkat puncaknya lebih awal
dan titer biasanya lebih tinggi.Selama infeksi dengue sekunder (ketika host
sebelumnya telah terinfeksi virus dengue), titer antibodi meningkat dengan
cepat.Antibodi IgG dapat terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan pada tahap awal,
dan bertahan dari beberapa bulan sampai periode seumur hidup.
Tingkat antibodi IgM secara signifikan lebih rendah pada kasus infeksi
sekunder.Oleh karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk
membedakan antara infeksi dengue primer dan sekunder.Trombositopenia
biasanya diamati antara hari ketiga dan kedelapan penyakit yang diikuti oleh
perubahan hematokrit lainnya. Baik IgG dan IgM memberikan kekebalan protektif
terhadap serotipe virus yang menginfeksi.8,12

14
Gambar 6. Keadaan IgG dan IgM berdasarkan onset gejala8,12

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dilakukan dengan tujuan melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan ultrasonografi.Kelainan yang bisa didapatkan antara lain
dilatasi pembuluh darah paru, kardiomegali atau efusi perikard, dan
hepatomegaly. 1
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan apabila terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tifoid, chikungunya, dan campak. Pada awal perjalanan
penyakit yaitu pada fase demam, diagnosis banding dapat mencakup infeksi
bakteri, virus, atau infeksi parasit yang mirip dengan infeksi dengue seperti
demam tifoid, campak, malaria dan demam chikungunya.10
Demam berdarah dengue berbeda dengan demam tifoid, dimana jenis
demam tifoid yang lama dan suhu tubuh lebih meningkat biasanya pada sore
hari dan menurun pada pagi hari.Pola demam berperti anak tangga. Gejala lain
sama dengan DHF seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot. Pada
pemeriksaan penunjang dilakukan uji widal.10 Demam berdarah dengue dengan
demam chikungunya berbeda. Pada demam chikungunya biasanya seluruh
15
anggota keluarga dapat terserang dan cara penularannya mirip dengan penularan
influenza. Pada demam chikungunya, serangan demam mendadak lebih
mendadak dibandingkan dengan demam berdarah dengue, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, adanya
injeksi konjungtiva dan lebih sering disertai dengan nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan demam berdarah
dengue. Pada demam chikungunya tidak ditemukan adanya perdarahan
gastrointestinal, syok, dan tidak terjadinya peningkatan.1
Pada penyakit malaria, gejala klinis yang muncul yaitu biasanya demam
menggigil secara berkala dan biasanya terjadi sakit kepala secara bersamaan, suhu
badan menurun, terdapat anemia, splenomegali (pembesaran limpa), dan terjadi
ikterus (hemolisis dan gangguan hepar). Namun pada demam berdarah dengue,
demam terjadi secara mendadak, suhu dapat mencapai 380C - 400C yang terjadi 2
hingga 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, hepatomegali, terdapat tanda-tanda
syok, lemah, mual, muntah, sakit kepala, diare, dan ruam merah dan sakit pada
otot dan persendian. Pada tes laboratorium demam berdarah dengue biasanya
dilakukan uji serologi IgM, IgG, dan ELISA, dan mendeteksi antigen viral dengan
metode PCR serta dengan cara fluorosensi imunoglobulin. Sedangkan pada
malaria, tes laboratorium bisanya ditemukan parasit dalam darah yang dipulas
dengan Giemsa.8
Campak biasanya muncul dengan gejala klinis berupa adanya bercak
merah yang dapat hilang apabila di tekan. Bercak merah timbul pada hari ke-3
sampai dengan hari ke 5, yang kemudian akan berkurang pada minggu kedua dan
menimbulkan bekas terkelupas dan bercak kehitaman. Bercak merah muncul
diawali dengan adanya keluhan pilek dan batuk ketika munculnya demam pada
hari pertama.Sedangkan bercak yang timbul pada demam berdarah dengue muncul
pada hari ke-2 sampai 3. Pada hari ke-4 dan 5 bercak menghilang tanpa diikuti
proses terkelupas dan bercak kehitaman pada kulit. Selain gejala klinis tersebut
yang membedakan penyakit demam berdarah dengue dengan campak adalah pada
demam berdarah dengue terjadi penurunan trombosit/trombositopenia
(<100.000/uL) dan terjadi hemokonsentrasi lebih dari 20%. Selain itu pada DHF
akan tampak hasil positif pada pemeriksaan antibodi IgG dan IgM.8
Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DHF,
oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-
hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada
ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase
16
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis
leukemia. Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena
infeksi sekunder. 3

2.9 Penatalaksanaan
Pemantauan pasien DBD/DHF selama fase krisis (trombositopenia
sekitar 100.000 sel / mm3)
Fase kritis DBD merupakan periode terjadinya kebocoran plasma yang
dimulai sekitar waktu dari penurunan suhu badan hingga normal atau transisi
dari demam ke tidak demam. Trombositopenia adalah indikator yang
sensitif pada kebocoran plasma, tetapi juga dapat diamati pada pasien
dengan DD. Peningkatan hematokrit > 10% dari baseline merupakan
indikator objektif awal kebocoran plasma. Pemberian cairan intravena
harus dimulai jika asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit terus
berlanjut serta jika terdapat warning sign.
Parameter-parameter berikut harus dipantau:
 Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala
lainnya.
 Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi
karena hal tersebut merupakan petanda awal syok dan mudah/cepat untuk
dilakukan.
 Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-2
jam pada pasien syok.
 Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai
enam jam dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang
tidak stabil atau dicurigai mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa
hematokrit harus dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak
dilakukan, maka pemeriksaan hematokrit harus dilakukan setelah bolus
cairan dan jangan saat pemberian bolus cairan sedang berjalan.
 Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada
kasus tidak berat, per jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan
cairan. Selama periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kg/
jam (harus didasarkan pada berat badan ideal).
Terapi cairan intravena pada DBD selama
17
periode kritis Indikasi cairan IV:
 Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
 Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah
diberikan.
 Adanya ancaman munculnya yok
Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:
 Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi
usia < 6 bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
 Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti
dekstran 40 atau larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma masif,
dan tidak ada respon dengan pemberian kristaloid dalam jumlah yang
optimal (seperti yang direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik
seperti plasma dan hemaccel kemungkinan tidak efektif.
 Pemberian cairan untuk pemeliharaan +5% dehidrasi harus diberikan untuk
sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
 Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga 48 jam
bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok, durasi
terapi cairan intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60 sampai 72
jam. Hal ini karena pasien yang tidak syok baru saja memasuki fase kebocoran
plasma sementara pasien yang sudah syok, kebocoran plasma berlangsung
dalam durasi yang lebih panjang hingga terapi intravena dimulai.
 Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung
volume cairan adalah berat badan ideal.

Tabel 9. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal


Berat Pemeliharaa M + 5% Berat Pemeliharaa M + 5%
Badan n (ml) defisit Badan n (ml) defisit
Ideal (ml) Ideal (Kg) (ml)
(Kg) 500 750 35 1800 3550
5 1000 1500 40 1900 3800
10 1250 2000 45 2000 4250
15 1500 50 2100 4600
2500
20 1600 55 2200 4950
25 2850
1700 3200 60 2300 5300
30

Transfusi trombosit tidak direkomendasikan dalam penanganan


trombositopenia (tidak boleh ada transfusi trombosit profilaksis). Namun
18
pemberian transfusi trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat hipertensi dengan trombositopenia yang sangat berat (<`10.000 sel.mm3)
Penanganan Pasien dengan Warning Sign
Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign
tersebut bukan suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dan
sebagainya. Munculnya trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran plasma
seperti kenaikan haemotokrit dan efusi pleura dapat membedakan antara DBD/SSD dari
penyebab yang lain. Pemeriksaan kadar gula darah dan tes laboratorium dapat
dilakukan untuk menemukan menyebabkan. Untuk masalah-masalah lainnya,
pemberian cairan intravena, terapi suportif dan simtomatik harus diberikan sementara
pasien tetap berada di bawah pengawan di rumah sakit. Pasien dapat dipulangkan ke
rumah dalam waktu 8 sampai 24 jam jika menunjukkan repon pemulihan yang cepat
dan tidak dalam fase kritis (platelet > 100 000 sel / mm3).

Manajemen DBD derajat I, I I (kasus non-syok)


Secara umum, masukan cairan (oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan
(untuk sehari) + 5% defisit (oral dan cairan I V bersama-sama), yang diberikan
dalam 48 jam. Misalnya, pada anak dengan berat badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50
ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah 1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu,
total M + 5% adalah 2.500 ml (Gambar 8). Pada pasien non-syok, jmlah cairan ini
akan diberikan dalam 48 jam pertama. Kecepatan infus cairan 2.500 ml ini dapat
diberikan sesuai Gambar 8 di bawah. [harap dicatat bahwa tingkat kebocoran plasma
T I D A K selalu sama] . Kecepatan pemberian cairan I V harus disesuaikan dengan
tingkat kehilangan plasma , dan disesuaikan dengan kondisi klinis, tanda-tanda vital,
produksi urin dan nilai hematocrit.

19
Gambar 8 : Kecepatan pemberian infus pada kasus non-syok
Manajemen syok : DBD derajat I I I
SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi
tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan
tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg ) . Ketika hipotensi muncul, selain
kebocoran plasma, kita harus menduga bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang
masif, dimana yang paling sering adalah perdarahan saluran cerna yang bisa saja tidak
tampak/tersembunyi.
Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda dari syok yang lain
misalnya syok septik . Sebagian besar kasus SSD akan memberikan respon terhadap
pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-500 ml (pada orang dewasa) dalam
1 jam atau bila perlu secara bolus. Selanjutnya, pemberian cairan harus mengikuti
grafik seperti pada gambar 9. Namun, sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah
cairan I V yang diberikan, kondisi klinis, tanda-tanda vital , produksi urin dan nilai
hematokrit harus diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan perbaikan klinis.

Gambar 9. Kecepatan infus pada kasus SSD


Pemeriksaan laboratorium ( A B C S ) harus dilakukan pada kasus syok dan
non-syok. Bila terlihat tidak ada perbaikan meskipun penggantian volume sudah
memadai (Kotak 14),

Kotak 14. Pemeriksaan laboratorium (ABCS) untuk pasien dengan kondisi syok atau dengan
komplikasi, dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis meski telah diberi terapi cairan
yang
adekuat
Singkatan Pemeriksaan L a b o r a t o r i um K e pe n t i ng an
A-Asidosis Analisa gas darah (kapiler dan Menandakan syok yang sedang berlangsung. Keterlibatan
vena) organ juga harus dievaluasi ; fungsi hati, BUN dan

20
B-Bleeding Hematokrit k r e a t i ni n
Jika terjadi penurunan nilai HCT dibandingkan
dengan nilai sebelumnya atau jika tidak berubah, lakukan
C-Calsium Elektrolit, Ca ++ cross-
match untuk transfusi darah secepatnya
Hipokalsemia terjadi pada kebanyakan DBD namun tanpa
gejala. Pemberian suplementasi kalsium pada kondisi yang
lebih berat/kompleks dapat diindikasikan. Dosis yang
dianjurkan 1 ml/kg maksimal 10cc kalsium
glukonas, dilarutkan dengan perbandingan 1:2, diberikan
S-Blood Sugar Kadar gula darah (fingerstick) secara I V
perlahan (dapat diulang tiap 6 jam jika diperlukan)
Kebanyakan kasus DBD disertai penurunan selera makan
dan muntah. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien

Penting diketahui bahwa kecepatan cairan I V dapat dikurangi jika telah terjadi
perbaikan perfusi perifer ; tetapi harus tetap diteruskan sampai minimum 24 jam dan
dapat dihentikan setelah 36-48 jam. Pemberian cairan yang berlebihan akan
menyebabkan efusi masif karena peningkatan permeabilitas kapiler. Algoritme
pemberian cairan untuk pasien dengan SSD dapat dilihat pada kotak 15.
Kotak 15. Algoritme pemberian cairan pada pasien SSD

Manajemen Syok : DBD derajat I V


Resusitasi cairan awal pada DBD derajat I V harus lebih agresif agar
cepat mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menilai A B C S dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan
pun harus segera ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan
darah berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana
penanganan pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg
pertama, ulangi bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan
dikoreksi segera mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus
21
segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan monitoring
ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral atau
intraarterial.
Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting untuk
keberhasilan penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka prognosis
bisa menjadi buruk. Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan tekanan darah,
jika pemberian cairan dianggap cukup adekuat seperti misalnya, tekanan vena sentral
tinggi (CVP), kardiomegali, atau diketahui memiliki fungsi/kontraktilitas jantung yang
buruk.
Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah pemberian resusitasi cairan dengan
atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya gangguan fungsi organ, maka
pasien harus mendapat penanganan suportif yang sesuai. Contoh penanganan suportif
terhadap fungsi organ adalah dialisis peritoneal, contiuous renal replacement therapy
(CRRT) serta ventilasi mekanik.
Jika akses intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat dicobakan
larutan elektrolit oral jika pasien sadar atau cara lain adalah jalur intraosseous. Akses
intraosseous merupakan suatu bagian dari upaya untuk menyelamatkan nyawa dan
harus bisa dicapai dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan
dalam mencapai akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.
Manajemen perdarahan masif
 Jika sumber perdarahan dapat diidentifikasi, upaya harus dilakukan
untuk menghentikan pendarahan jika mungkin. Epistaksis berat,
misalnya, dapat dikontrol dengan nasal packing. Transfusi darah harus
segera dilakukan dan tidak boleh ditunda sampai nilai HCT mengalami
penurunan. Jika jumlah darah yang hilang dapat diukur, maka jumlah
tersebut harus digantikan. Namun, jika pengukuran tidak mungkin
dilakukan, berikan 10 ml/kg whole blood atau 5 ml/kg packed red cell
dan evaluasi respon terapi. Pasien mungkin memerlukan pengulangan
satu kali atau lebih.
 Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton
bisa digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan
efikasinya.
 Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti
trombosit konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.
Penggunaannya dapat memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan.
 Rekombinan factor V II diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien
yang belum mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan
umumnya tidak tersedia.

22
Manajemen fase pemulihan
 Pemulihan dapat dikenali oleh perbaikan dalam parameter klinis, nafsu
makan dan keadaan umum.
 Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan kestabilan tanda-
tanda vital harus diperhatikan.
 Penurunan HCT kembali ke baseline atau lebih rendah serta diuresis
yang berangsur normal.
 Cairan intravena harus dihentikan.
 Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hypervolemia dapat terjadi dan
terapi diuretik dapat dipertimbang untuk mencegah edema paru.
 Hipokalemia dapat terjadi karena adanya stres dan upaya diuresis harus
diimbangi dengan asupan buah-buahan atau suplemen yang kaya akan kalium.
 Bradikardia cukup sering ditemukan dan pemantauan intensif perlu
dilakukan untuk kemungkinan komplikasi yang jarang seperti blok
irama jantung atau kontraksi prematur ventrikel (VPC).
 Pulihnya ruam kulit ditemukan pada 20% -30% dari
pasien. Tanda-tanda pemulihan
 Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan
stabil  Suhu normal.
 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau
internal.  Nafsu makan membaik.
 Tidak ada muntah, tidak ada sakit
perut  produksi urin baik.
 Hematokrit yang stabil pada nilai baseline.
 Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa
gatal, terutama pada ekstremitas.
Kriteria untuk pemulangan pasien
 Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan terapi
anti-demam.
 Nafsu makan
membaik.
 Perbaikan klinis
Terlihat.
Jumlah produksi urine memuaskan.
 Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock
 Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
 Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3. Jika tidak, pasien dapat
23
dianjurkan untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu
hingga trombosit menjadi normal. Pada kebanyakan kasus yang kompleks,
trombosit meningkat normal dalam waktu 3-5 hari.

2.10 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan melakukan memberantas
terhadap jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara
melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang
terbaik, ampuh, murah,
mudah dan dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat, yaitu16:
1. Membersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti: bak mandi / WC,
drum, dan lain-lain) sekurang-kurangnya 1 kali seminggu. Rutin
mengganti air di vas bunga, tempat minum burung dan lain-lain sekurang-
kurangnya satu kali seminggu.

2. Menutup dengan rapat tempat penampungan air, seperti ember, drum, dan
lain-lain agar tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk di tempat
tersebut.Taburkan bubuk ABATE pada tempat-tempat air yang tidak mungkin
atau sulit dikuras untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap
2-3 bulan sekali
3. Buang sampah pada tempatnya dan mengubur barang-barang bekas,
seperti kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang
dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak
nyamuk. Menutup lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah
atau adukan semen.
4. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap di dalam pakaian.

24
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
No RM : 060265
Umur : 40 tahun
JenisKelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Perum PMKS 1
Pekerjaan : Petani
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS :15 Maret 2022
Tanggal Pemeriksaan:15 Maret 2022

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD selasih dengan keluhan demam sejak 3 hari
25
SMRS. Demam dirasakan mendadak dan demam dikatakan tidak pernah turun.
Demam dikatakan memburuk baik saat pagi hari maupun malam hari. Pasien
minum obat tablet dari klinik untuk meringankan keluhannya, namun demam
dikatakan tidak kunjung membaik dan tetap tinggi. Demam dikatakan
menganggu aktivitas dan tidur pasien.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit kepala
dikatakan berlokasi di bagian atas kepala hingga ke bagian mata. Sakit kepala
dikatakan muncul pada saat terjadinya demam. Sakit kepala dirasakan seperti
tertekan benda berat. Sakit kepala dirasakan sepanjang hari dan terasa
memberat ketika suhu tubuh meningkat.Sakit kepala tidak membaik dengan
beristirahat.

26
Pasien mengeluh muntah bercak darah sejak 1 hari SMRS.
Muntah darah dikatakan muncul mendadak sebanyak 1 kali yakni
pada malam hari SMRS dengan volume muntah darah 1 sendok
makan. Riwayat trauma sebelum terjadi muntah darah disangkal
oleh pasien. Riwayat perdarahan di gusi dan hidung disangkal oleh
pasien.
Pasien juga mengeluh mual sejak 3 hari SMRS. Mual
dirasakan hilang timbul dan mulai memberat sejak 1 hari SMRS.
Keluhan mual disertai dengan muntah 4 kali. Pasien juga
mengeluhkan mencret 2 kali sejak 1 hari SMRS. Saat pemeriksaan
dilakukan, pasien masih mengeluh mual. Tidak ada riwayat
keluhan lain seperti nyeri ulu hati, nyeri perut, sesak nafas, batuk,
bintik-bintik merah di kulit, penglihatan kabur sejak pasien demam
pertama kali hingga pemeriksaan ini dilakukan.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya. Pasien menyangkal sempat bepergian ke daerah endemis
malaria sebelumnya. Riwayat pernah mengalami demam berdarah,
demam tifoid disangkal oleh pasien. Pasien mengaku tidak memiliki
riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus, hipertensi, maupun
penyakit ginjal. Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat maupun
makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit DM,
hipertensi, penyakit ginjal, penyakit jantung, dan asma.

Riwayat Pribadi dan Sosial

27
Saat ini pasien tinggal disebuah rumah kontrakan dengan
istri dan anaknya. Pasien mengatakan limbah rumah tangga
dibuang melalui pipa yang disalurkan ke selokan di depan rumah.
Pasien mengaku merokok sejak usia muda dan biasa
menghabiskan 1 bungkus perhari. Riwayat mengkonsumsi alkohol
disangkal oleh pasien.
IV. PEMERIKSAAN FISIK (Saat awal Masuk UGD/15Maret 2022)
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 90 x/menit reguler, lemah
Respirasi : 20 x/menit
reguler Suhu aksila : 38,2 °C
Berat badan : 68 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 24,97 kg/m2

Status General
Mata : anemia -/-, ikterus-/-, odem palpebra -/-,
refleks pupil +/+ isokor, lakrimasi -/-,
conjunctival bleeding -/-
THT : tonsil T1 T1, faring hiperemis (-), lidah
typhoid (-)
Telinga :bentuk normal, sekret tidak ada
Hidung :bentuk normal, malar rash (-)
Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring
hiperemis (-)
Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-),
lidah kotor (-)

Mukosa mulut : basah, stomatitis angularis

28
(-),ulkus (-)
Leher : pembesearan kelenjar getah
bening (-) Thoraks : Simetris
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas: setinggi ICS II
Batas bawah: setinggi ICS V
Batas kanan: PSL
dekstra
Batas kiri: MCL sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular,
murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal fremitus normal
normal normal
normal
normal
normal normal

Perkusi :
Sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor

Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing


-/-

Abdomen
Inspeksi :simetris(+),distensi(-),me
teorismus(-) Auskultasi : bising usus (+)
normal

29
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba Perkusi : timpani,
asites (-)
Ekstrimitas : akral hangat, CRT < 2’’

Kulit : Rumple leed test (+)

Pemeriksaan penunjang

Darah Lengkap (15 Maret 2022)

Item pemeriksaan Hasil


Hemoglobin 14.8 g/dl
Leukosit 3.070/ mm3
Eritrosit 5.13 juta
Trombosit 99.300/mm3
Hematokrit 43.0%
Hitung jenis
Basofil 0%
Eosinofil 1%
N. Batang 0%
N. Segmen 78 %
Limfosit 16 %
Monosit 5%
Glukosa sewaktu 124,14 mg/dl
ureum 27,69 mg/dl
keratinin 1,7 mg/dl
SGOT/AST 58.5 u/I
SGPT/ALT 63.3 u/I
RAPID ANTIGEN Non-Reaktif

30
FOTO THORAX

Kesan :
Pulmo tak tampak keluhan
Cardiomegaly disertai elongation arcus aorta
PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Omeprazole/24 jam
- Sistenol 3x1
- Psidii 3x1
- Sukralfat syr 4x2cth
- Hepa q 3x1
- Channa 3x1

PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

31
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
16/03/22 Demam (+), TD : 111/68 mmhg DHF - IVFD RL 20 tpm
mual (-), RR :20 x/i - Inj. Omeprazole/24
sakit kepala N : 89 x/i jam
(+) T : 38,5oc - Sistenol 3x1
Hb : 14,3 g/dl - Psidii 3x1
Leukosit : 1.440/mm3 - Sukralfat syr
Eritrosit : 4,94 juta 4x2cth
Trombosit:62.800/mm3 - Hepa q 3x1
Hematokrit :41,1 % - Channa 3x1

17/03/22 Demam TD : 119/79 mmhg DHF - IVFD RL 20 tpm


berkurang, RR :20 x/i - Inj. Omeprazole/24
nyeri kepala N : 84 x/i jam
berkurang, T : 37,8oc - Sistenol 3x1
mual (-) Trombosit: - Psidii 3x1
24.000/mm3 - Sukralfat syr
4x2cth
- Hepa q 3x1
- Channa 3x1
- Imboost F 1x1
- Metil prednisolone
3x8mg
- Lansoprazole 2x1

18/03/20 Demam (-), TD : 124/82 mmhg DHF Os PAPS


22 sakit kepala RR :20 x/i trombositope
(-), mual (-) N : 98 x/i ni
T : 37,4 c
o

Hb : 16,8 g/dl
Leukosit : 3.950/mm3
Eritrosit : 5.71 juta
Trombosit:13.600/mm3
Hematokrit :47,1 %

32
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD selasih dengan keluhan


demam sejak 3 hari SMRS. Demam dirasakan mendadak dan
demam dikatakan tidak pernah turun. Demam dikatakan memburuk
baik saat pagi hari maupun malam hari. Pasien minum obat tablet
dari klinik untuk meringankan keluhannya, namun demam
dikatakan tidak kunjung membaik dan tetap tinggi. Demam
dikatakan menganggu aktivitas dan tidur pasien.
Pasien juga mengeluh nyeri kepala sejak 3 hari SMRS. Sakit
kepala dikatakan berlokasi di bagian atas kepala hingga ke bagian
mata. Sakit kepala dikatakan muncul pada saat terjadinya demam.
Sakit kepala dirasakan seperti tertekan benda berat. Sakit kepala
dirasakan sepanjang hari dan terasa memberat ketika suhu tubuh
meningkat.Sakit kepala tidak membaik dengan beristirahat. Pasien
mengeluh muntah bercak darah sejak 1 hari SMRS. Muntah darah
dikatakan muncul mendadak sebanyak 1 kali yakni pada malam hari
SMRS dengan volume muntah darah 1 sendok makan. Riwayat
trauma sebelum terjadi muntah darah disangkal oleh pasien. Riwayat
perdarahan di gusi dan hidung disangkal oleh pasien. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
Dari anamsesis diketahui bahwa pasien mengalami demam 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Hal ini sesuai dengan teori pada demam
berdarah dengue (DHF) dimana pada fase febris terjadi demam
mendadak selama 2-7 hari, sakit kepala, serta ditemukan muntah darah
sebagai tanda adanya perdarahan.
Kurva demam pada demam berdarah dengue berhubungan dengan
saat pelepasan sitokin karena reaksi imun terhadap serangan virus dengue.

33
Sitokin yang menyebabkan demam seperti IL-1 dan IL-6, TNF-α, IFN-γ.
Virus dengue merupakan pirogen eksogen. Pada saat virus sudah
menginfeksi dan berada di dalam darah, ada 2 respon imun yang bekerja.
Yaitu respon imun nonspesifik yang bekerja di awal dan cepat serta respon
imun spesifik yang bekerja lebih lambat. Makrofag akan segera bereaksi
dengan memfagositosis virus dan memprosesnya sehingga makrofag
menjadi APC (antigen presenting cell). Makrofag juga akan mensekresi
sitokin yang merangsang inflamasi, sitokin utama yang disekresi oleh
makrofag adalah IL-1 yang merupakan pirogen endogen. Pirogen adalah
bahan yang menginduksi demam yang dipicu baik faktor eksogen atau
endogen seperti IL-1.
Selain itu ada juga proses respon imun nonspesifik yang
diperankan oleh sel NK. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi, sebelum
respon imun spesifik bekerja. Antigen yang menempel di makrofag ini
akan mengaktivasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk
memfagosit lebih banyak virus. Dimulailah mekanisme respon imun
spesifik. Sel T yang diaktivasi adalah CD4+. CD4+ ini akan mengaktivasi
Th-2 untuk membentuk antibody lagi sehingga meningkatkan opsonisasi
dan aktivasi komplemen. CD4+ juga mengaktivasi Th-1 yang akan
mengaktivasi CD8+ melalui presentasi oleh molekul MHC-1. CD8+ ini
bersifat sitotoksik dan menghancurkan peptida virus. Th-1 akan
melepaskan IFN-γ, IL-2, dan limfokin. Sedangkan Th-2 melepaskan IL-4,
IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsat monosit
melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga
merangsang makrofag melepas IL-1, IL-2 juga merupakan stimulan
pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ. Pada Jalur komplemen, kompleks
imun akan menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil
akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1,TNF-α, IFN-γ, IL-2,
dan histamin.

34
IL-1,TNF-α, IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga
timbul demam. IL-1 bekerja pada termoregulator sedangkan TNF-α dan
IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang
pelepasan IL-1. Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipotalamus
anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis. Corpus
callosum lamina terminalis terletak di dinding rostral ventriculus III dan
merupakan sekelompok saraf termosensitif (cold and hot sensitive
neurons). IL-1 masuk ke dalam corpus callosum lamina terminalis melalui
kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2, selain
itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi
PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam
hipotalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir
mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang
menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil.
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab
terhadap gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu
makan, dan penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu
makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 danTNF-α. Keduanya akan
meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam
sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipotalamus ventromedial
yang berakibat pada penurunan intake makanan.
IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang
poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibody. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan
menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri
otot, nyeri kepala, muntah, dan somnolan.
Dalam keadaan normal, manusia mensekresi mukus di dalam saluran
pernafasan yang berfungsi sebagai pembersih berbagai macam kotoran
seperti debu yang tidak tersaring melalui silia hidung. Apabila terdapat debu

35
yang berlebihan, maka mukus yang disekeresikan akan semakin bertambah.
Infeksi atau iritasi pada saluran nafas juga menyebabkan hipersekresi mukus
pada saluran napas, kemudian, apabila terjadi hipersekresi mukus, terjadi
hipertrofi kelenjar submukosa pada trakea dan bronkus dan akhirnya mukus
tertimbun di dalam saluran napas. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi
sel goblet disaluran napas kecil, bronkus dan bronkiolus. Kondisi ini
kemudian merangsang membran mukosa untuk selanjutnya mengaktifkan
rangsang batuk dengan tujuan untuk mengeluarkan benda asing yang telah
mengiritasi saluran napas.
Dari pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan penurunan
kadar trombosit (trombositopenia), yaitu 99.300. Trombositopenia pada
infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum tulang, 2)
destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoesis termasuk megakariopoesis. Kadar
trombopoetin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan terjadinya stimulasi
trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen
C3g, terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi
melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-
tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yang paling utama
adalah terapi suportif. Pemberian IVFD RL 20 tpm. Pemeliharaan volume
cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting. Asupan cairan
pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.
Diberikan omeprazole dan sukralfat untuk mengurangi produksi asam

36
lambung, Psidii cap 3x1 tab untuk meningkatkan jumlah trombosit dengan
mekanisme menghambat replikasi virus dengue dan meningkatkan jumlah
GM-CSF yang menstimulasi pembentukan megakariosit sebagai bahan awal
trombosit, channa 3x1 untuk membantu mengurangi nyeri kepala, sistenol
3x1 untuk mengurangi demam, imboost F tab 1 x 1 sebagai multivitamin,
pencegahan anemia, dan penambah tenaga untuk masa penyembuhan.
Adapun prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad bonam. Prognosis penyakit
ini baik dengan terapi suportif yang adekuat.

37
BAB V
KESIMPULAN

Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue (DBD)


didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi
satu dari empat virus dengue, yaitu DENV1, DENV2, DENV3, dan
DENV4, dengan nyamuk dari genus Aedes sebagai vektor utama
penyakit ini. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh Demam
Dengue adalah adanya demam mendadak tinggi (390C-400C) terus
menerus, pola bifasik, selama 2-7 hari, disertai nyeri kepala, nyeri otot
(myalgia) dan sendi (atralgia), nyeri retro-orbital, fotofobia, gangguan
pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit dan
tenggorokan. Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue dapat
dibedakan dengan ada atau tidaknya kebocoran plasma.
Diagnosis Demam Dengue memerlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini. Demam
Dengue ditangani dengan pasien dianjurkan untuk bed rest selama
fase akut, menjaga suhu tubuh pasien tetap < 38,00C, pemberian
antipiretik jika suhu > 38,00C serta memenuhi kebutuhan cairan
pasien dengan minum yang cukup.
Pasien H 40 tahun laki-laki, terdiagnosis dengan demam
berdarah dengue grade II. Pemberian obat simptomatik pada
penanganan awal dan pemantuan hematocrit dan trombosit selama
masa perawatan

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.


Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo
AW dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :
2007.
2. Wahono TD. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan; 2004.


3. Sanyaolu, et al. Global epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An

Update. Journal of Human Virology & Retrovirology :2017 5(6);00179


4. Hairani LK. Gambaran epidemiologi demam berdarah di Indonesia. FKM UI.
2009.
5. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah dengue di
Indonesia. Farmaka. 2007; 5:12-29.
6. Kemenkes RI. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI: Situasi
Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta; 2020
7. Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Profil Kesehatan Provinsi Riau; 2019

8. World Health Organization. Prevention and control of dengue and


dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2011.p.5-45
9. Heilman, JM., wolff, JD., Beards GM., Basden, BJ. 2014.Dengue fever: a
Wikipedia clinical review. Open Medicine. 8(4)e105
10. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Media
Aesculapius.Jakarta: 2014.
11. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls. Diagnosis dan Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of
Pediatrics Problem. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2004. Hal 63-72
12. Suzanne Moore Shepherd. Dengue. Pennsylvania. Hospital of

3
University of Pennsylvania. 2014

13. Falconar AK, de Plata E, Romero-Vivas CM. Altered enzyme-


linkedimmunosorbent assay immunoglobulin M (IgM)/IgG optical density
ratios can correctly classify all primary or secondary dengue virus infections 1
day after the onset of symptoms, when all of the viruses can be isolated.
Clinical and Vaccine Immunology, 2006, 13:1044–1051.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di

sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34


15. Chen,K., Pohan, H. T., Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicinus. 2009; 22 (1)
16. Mansjoer, Arif & Suprohaita. Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.2000

Anda mungkin juga menyukai