Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 6 :

1. FERNANDA SETYAWAN (A410170135)


2. YOLANDITA AUDHIA MENDY (A410200146)
3. BINTANG EKA PRATIWI (A410200152)
4. MUHAMMAD YUSUF QARDHAWI (A410200177)
5. SANTI KHOERUM ANGGRAENI (A410200178)
6. CLARINTA DELA PUSPITA (A410200181)
7. AFIFAH HILMIA NUGROHO (A410200182)

ETOS DAN KODE ETIK KEILMUAN

A. PENDAHULUAN
Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, maka manusia dituntut untuk
lebih maju dalam hal pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu
pengetahuan merupakan suatu hal yang wajib dimiliki oleh masing-masing orang. Karena
tanpa adanya ilmu pengetahuan maka manusia akan kesulitan untuk bersaing dengan
manusia yang lain guna kelangsungan hidup mereka di dunia yang hanya sebentar saja.
Oleh karena itu maka perlu adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara terus
menerus.
Untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan diperlukan beberapa hal diantaranya
yaitu objek yang dikaji harus jelas, metode pengembangan yang tepat, serta perlu adanya
etos dan kode etik keilmuan. Etos keilmuan diperlukan sebagai semangat untuk
memotivasi para ilmuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sekalipun dana dan fasilitas sudah cukup memadai, namun apabila tidak ada semangat
yang memotivasi untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan maka ilmu tersebut
tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan kode etik diperlukan untuk mempromosikan
persamaan manusia, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat selama proses
pengembangan ilmu pengetahuan berlangsung.
B. PEMBAHASAN
Etos secara etimologi berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat yang baik.
Menurut KBBI etos adalah pandagan hidup yang khas dari suatu golongan social.
Sedangkan keilmuan yang berasal dari kata ilmu menurut KBBI berarti pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara besistem menurut metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu sendiri. Dari
pengertian dari etos dan keilmuan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa etos keilmuan
adalah suatu pandangan hidup yang dijadikan sebagai semangat untuk menggali,
mendapatkan dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan.

Di dalam islam etos keilmuan dikenal sejak diturunkannya wahyu pertama oleh
Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Q.S. Al-Alaq (96) ayat 1-5. Dari ayat
tersebut, Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w untuk membaca. Ini berarti
bahwa sejak masa itu semangat untuk mencari tahu, mendapatkan serta mengembangkan
ilmu pengetahuan yang sudah dianjurkan oleh Allah SWT. Etos keilmuan telah
menumbuhkan proses belajar mengajar dan penelitian yang telah menimbulkan
perkembangan ilmu, baik yang lama maupun yang baru, dalam berbagai cabang.
Kemudian berbagi ilmu telah menjadi pendorong perubahan dan perkembangan
masyarakat.

Secara umum, wahyu pertama ini mengandung tiga misi kerasulan Muhammad
Saw., yaitu misi ketuhanan (rububiyah), misi kemanusiaan (insaniyah) dan misi
peradaban (al-‘ilm). Misi pertama (ketuhanan) disebutkan dalam teks wahyu pertama
dengan mengintrodusir pernyataan bismi rabbik al-ladzi khalaq dan ungkapan wa
rabbuka al-akram. Kedua pernyataan ini untuk menegaskan ketuhanan sejati sebagai
kritik atas keyakinan ketuhanan yang menyimpang dalam tradisi masyarakat Arab. Yaitu,
keyakinan terhadap ketuhanan Lata dan Uza yang biasa mereka sebut dalam segala
bentuk ritual keagamaan dan aktivitas kehidupan. Wahyu pertama di atas, merupakan
pembebasan dari keyakinan ketuhanan semu tersebut dengan menegaskan orientasi baru
terhadap ketuhanan sejati, yaitu Tuhan pencipta dan pemelihara kehidupan. Istilah rabb
tidak hanya berarti ketuhanan pasif, yakni sekedar pencipta, melainkan mengandung arti
ketuhanan dinamis, yakni sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pengatur kehidupan
(M. Quraish Shihab, 2002: 403).
Dengan demikian, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pernyataan bismi
rabbika al-ladzi khalaq (atas nama Tuhan Yang Menciptakan) merupakan misi
transendensi kehidupan, yakni bahwa segala aktivitas kehidupan harus diorientasikan
semata-mata sebagai pengabdian kepada Tuhan sejati. Inilah, misi pertama kenabian
Muhammad, Saw. yang harus menjadi nilai atau etos dalam segala aktivitas kerja,
keluarga, masyarakat, organisasi, bisnis (ekonomi), politik (penyelenggaraan kekuasaan),
pengelolaan pendidikan, penegakkan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesehatan dan lingkungan hidup serta pengembangan seni-kebudayaan (M.
Quraish Shihab, 2002: 403).

Misi kedua dari kenabian Muhammad Saw., yakni misi kemanusiaan ditunjukkan
dalam ayat ketiga surat al-Alaq yang berbunyi: khalaq al-insâna min ‘alaq (Yang telah
menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq—bentuk jamak dari ‘alaqah—mengandung
arti plural, yakni di antaranya berarti segumpal darah yang beku (al-dam al-jâmid). ‘Alaq
dalam pengertian segumpal darah yang beku ini hampir dijumpai dalam seluruh kitab
tafsir klasik, termasuk Al-Quran. Berkaitan dengan misi kemanusiaan di atas, teks ayat
ketiga dari wahyu pertama ini, menjelaskan bahwa seluruh manusia diciptakan dari asal
yang sama, yakni ‘alaqah. Oleh karena itu, semua manusia adalah sama dan setara
(equality) dihadapan Tuhan, tidak ada yang inferior atau superior. Gagasan kesetaraan
ini, merupakan misi yang membebaskan dari segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam
masyarakat Arab ketika itu, terjadi diskriminasi antara kelas sosial kaya (the have) dan
kelas sosial miskin (the have not), budak dan Tuan, ‘azami dan non-‘azami, serta
diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Praktik diskriminatif tersebut,
melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial dan penindasan atau exploitation of man
by human beings. Dengan demikian, misi kemanusiaan dari kenabian Muhammad Saw.
dalam wahyu pertamanya itu adalah pembebasan dari segala bentuk diskriminasi dan
penindasan sosial dalam rangka menegakkan cita-cita sosial yang berkeadilan (M.
Quraish Shihab, 2002: 403).

Sementara misi ketiga dari kenabian Muhammad Saw. berdasarkan surat al-Alaq
di atas adalah mewujudkan masyarakat yang berperadaban (mission civilisatrice). Misi
peradaban ini, ditunjukkan dalam teks al-ladzi ‘alama bi al-qalam ‘alama al-insâna mâ
lam ya’lam (Yang mengajar (manusia) melalui perantaraan qalam. Mengajar manusia
apa yang tidak diketahuinya). Jika qalam merupakan simbol ilmu pengetahuan (sains)
dan ilmu pengetahuan merupakan simbol peradaban, maka qalam adalah simbol
peradaban (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Pemikiran penting dalam surat al-‘Alaq ini adalah berkait dengan perintah
membaca atau menggali ilmu pengetahuan (iqra’) yang dihubungkan dengan keimanan
atau ketauhidan (bismi rabbik).Tidak ada satu pun konsep yang secara operatif berperan
menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya selain konsep ilmu.
Maka dapat dikatakan bahwa tauhid dan keilmuan merupakan semangat kembar yang
dibawa Al-Quran sejak semula. Semangat tauhid dan keilmuan itulah yang terkandung
dalam formulasi wahyu pertama iqra bismi rabbik (bacalah atas nama Tuhan-mu) dan
iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam (bacalah dan Tuhanmu Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam) (M. Quraish Shihab,
2002: 403).

Formulasi iqra bismi rabbik dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-
qalam di atas, juga mengisyaratkan bahwa semangat keilmuan atau semangat menggali
dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan suatu ikhtiar suci yang berkait
langsung dengan aspek religiusitas ketuhanan. Karena itu, tujuan akhir dari pencarian dan
pengembangan keilmuan dalam Islam adalah pencerahan spiritualitas melalui sikap
ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Kesadaran ketuhanan (tauhid) dan tujuan
pencerahan spiritualitas inilah yang menjadi falsafah dasar pencarian dan pengembangan
keilmuan dalam Islam. Falsafah dasar keilmuan ini berpijak pada keyakinan akan segala
ketergantungan kepada rahman dan rahim-Nya. Karenanya, segala cita, sikap, pikir dan
prilaku keilmuan seharusnya menjadi bagian dari pengabdian seorang hamba kepada
Tuhan. Sehingga semangat pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan
serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni harus menjadi sarana yang
tidak bebas nilai dan harus diorientasikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,
seluruh bangsa dan umat manusiaan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Dengan demikian, antara awal dengan tujuan akhir dalam pencarian dan
pengembangan ilmu pengetahuan terjadi kesejalanan. Yaitu, awalnya iqra bismi rabbik
serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam (pencarian, penemuan,
pengembangan dan transfer ilmu atas nama Tuhan) dan tujuan akhirnya wa ‘sjud wa
‘qtarib serta rahmatan li al-‘âlamîn (pencerahan spiritualitas dan kesejahteraan seluruh
alam). Oleh karena itu, tidak seharusnya kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori
dan pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni tersebut
melahirkan keangkuhan intelektual (intellectual arogance) apalagi menimbulkan
kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta pengrusakan alam dan lingkungan.
(M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Kode etik berasal dari dua kata. Kode artinya tanda yang desetujui dengan
maksud tertentu. Sedangkan Etik itu berasal dari bahasa yunani yaitu “ethos” yang
memiliki arti watak, adab, cara hidup. Sadirman A.M,. mengatakan bahwa etika itu
sebagai tata susila atau hal-hal yang berhubungan dengan ketatasusilaan dalam
mengerjakan suatu pekerjaan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kode etik pada dasarnya tidak lain dari sejumlah nilai dan norma yang mengatur dan
mengarahkan tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri dengan mempertegas
kedudukan dan peranannya sekaligus untuk melindungi profesinya. Sedangkan dalam
pendidikan islam Kode Etik merupakan Pedoman tingkah laku yang harus di ikuti dan
ditaati oleh anggota- anggota suatu tertentu.

Nilai yang paling mendasar adalah tauhid yang biasanya bermakna keesaan
Tuhan: Allah itu Esa, tidak mempunyai partner dan tidak ada satu pun yang patut
disembah kecuali Dia. Makana yang sangat teologis ini meluas ke semua ciptaan-Nya
menjadi kesatuan manusia (antara jasmani dan rohaninya, antara fikr dan dzikrnya),
kesatuan manusia dan alam, keatuan pengetahuan dan nilai, kesatuan sunnatullah (antara
yang diwahyukan dan yang tidak diwahyukan) semua kesatuan ini diperlukan bagi
pengembangan ilmu (Sardar.1998:7;Santoso.1992:18-19)

Dari Tauhid lahir nilai khilafah. Alllah memberikan mandate kepada manusia
untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi, sehingga manusia tidak bebas sebebas-bebasnya
tetapi bertanggung jawab kepada Allah, termasuk dalam kegiatan pengembangan dan
penerapan ilmu. Khilafah mengimplisitkan bahwa manusia tidak mempunyai hak yang
eksklusif terhadap sesuatu dan bahwa ia harus bertanggung jwab untuk memelihara dan
melindungi integritas tempat dimana ia hidup dan menjalani kehidupannya. Karena itu,
praktik pengembangan dan penrapan ilmu yang mengekploitasi dan mendominasi alam
tidaklah memperoleh tempat dalam kerangka berfikir di atas (Sardar, 1988:7). Khilafah
mengimplisitkan juga pemenuhan tanggung jawab terhadap kebutuhan-kebutuhan
manusia dan makhluk lainnya yang disesuaikan dengan kehendak Allah. Pelaksanaan
yang tepat terhadap tanggung jawab yang luhur ini sesungguhnya merupakan hakikat
sebenarnya dari ibadah (Santoso, 1992:19).

Ibadah yang berarti kontemplasi terhadap keesaan Allah yang memang banyak
manifestasinya. Salah satu bentuk manifestasinya yang bermakna sempit adalah ritus
dalam bentuknya yang khusus, tetapi dalam maknanya yang luas manifestasi ibadah
adalah suatu kehidupan yang secara terus menerus mengabdi dan patuh kepada Allah,
mencakup semua kegiatan spiritual, sosial, ekonomi, politik, budaya yang tujuan
luhurnya mencari ridha Allah. Salah satu manifestasi dari ibadah yang merupakan
prasyarat bagi pelaksanaannya yang efektif adalah ‘ilm (Santoso,1992:19).

Dilihat dari sumbernya ‘ilm dapat dipilah antara yang bersumber dari wahyu
(qauli) dan yang bersumber dari non wahyu (kauni). Pencarian ‘ilm kategori pertama
merupakan fardh al-‘ain (kewajiban setiap individu) karena ia penting bagi individu agar
bertahan hidup, tidak saja di dunia ini tetapi juga di kehidupan nanti. Sementara
pencarian ‘ilm kategori kedua merupakan fardh al-kifayah (kewajiban kelompok, tidak
setiap individu) karena ia penting bagi kelangsungan keseluruhan masyarakat (al-
Attas,1979:41-42). Pencarian ‘ilm baik kategori pertama maupun kedua, sekali lagi
adalah ibadah. Karena itu, ditolak pernyataan “ilmu itu untuk kepentingan ilmu” dan
“ilmu itu alat untuk mencapai tujuan”. Mengingat ilmu dikembangkan bukan untuk
kepentingan ilmu, tetapi untuk pengabdian kepada Allah, ternyata tidak semua ilmu
memenuhi maksud tersebut. Ini berimplikasi kepada kategorisasi halal dan haram
(Santoso,1992:19; cf. Sardar,1988:7).

Halal mencakup semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi individu,
masyarakat dan lingkungan. Ilmu yang halal akan mempromosikan ‘adl (keadilan sosial)
dan istishlah (kepentinagn umum) (Sardar,1988:8). Di dalam semua bidang ‘adl dan
istishlah dengan dimensinya yang luas memastikan bahwa ‘ilm itu dikembangkan untuk
mewujudkan persamaan universal, kebebasan individual, martabat sosial, dan nilai-nilai
lain yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peradaban muslim (Santoso,
1992:29).

Adapun haram mencakup semua ilmu dan kegiatan yang merusak manusia dan
lingkungannya, baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual. Sehubungan dengan itu,
penelitian yang mempromosikan alienasi, dehuamanisasi, pengangguran, konsentrasi
kekayaan pada segelintir orang, dan perusakan lingkungan ditolak. Kegiatan seperti itu
bersifat zhulm (penindasan) dan dinilai sebagai dhiya’ (kesia-siaan) (Sardar, 1988:8).

C. KESIMPULAN
Etos keilmuan adalah suatu pandangan hidup yang dijadikan sebagai semangat untuk menggali,
mendapatkan dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan. Kode etik keilmuan merupakan
pedoman tingkah laku yang harus diikuti dan ditaati oleh anggota- anggota tertentu dalam
hal pengembangan dunia keilmuan. Pencarian ilmu adalah ibadah, dikategorikan dalam
halal dan haram. Halal mencakup semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi
individu, masyarakat dan lingkungan. Ilmu yang halal akan mempromosikan ‘adl
(keadilan sosial) dan istishlah (kepentingan umum). Haram mencakup semua ilmu dan
kegiatan yang merusak manusia dan lingkungannya, baik secara fisik, intelektual,
maupun spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
"Etos Keilmuan dan Kode Etik Keilmuan". Dokumen.tips. 24 Oktober 2021.
https://dokumen.tips/documents/etos-keilmuan-dank-ode-etik-keilmuan.html

Anda mungkin juga menyukai