Anda di halaman 1dari 22

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh


Puji syukur patut kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah subhanallah
wa ta’ala, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita, sehingga kita semua
dapat beramal sholeh dan menanam bibit-bibit pahala yang akan kita pergunakan di akhirat
kelak. Tak lupa, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada nabi utusan Allah Ta’ala yang
terakhir, Rasulullah Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam, karena tanpa jasa beliau, kita tak
akan pernah merasakan indahnya beriman dan berislam.
Pertama-tama, ucap syukur dan terima kasih kami tujukan kepada Allah ‘Azza wa
Jalla yang telah melimpahkan rahmatNya, yang membuat kami selaku penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah yang diberikan pada kami. Tak lupa, kami berterima kasih
kepada Bapak Karimullah selaku guru Agama Islam yang telah membimbing kami dalam
mengikuti pelajaran Agama Islam di SMA Negeri 3 Sidoarjo. Kemudian, kami sampaikan
terima kasih pula kepada kedua orang tua kami yang tak pernah bosan membimbing,
menuntun, dan mendoakan kami semua. Dan terakhir, terima kasih kami arahkan kepada
seluruh teman-teman kami dan orang-orang di sekitar kami yang telah banyak membantu
kami dalam proses penyelesaian makalah ini.
Seperti judulnya, makalah ini ditujukan untuk mengupas tentang pernikahan, tentunya
dalam sudut pandang Islam. Di sini akan membahas mulai dari pengertian dan tujuan
pernikahan, dalil-dalil yang mendasari adanya pernikahan, hukum-hukum dalam pernikahan,
rukun dan syarat pernikahan, hak dan kewajiban setelah pernikahan, hingga hikmah
pernikahan.
Tak ada gading yang tak retak. Mungkin peribahasa ini lumrah dalam kehidupan kita.
Oleh karena itu, kami selaku penyusun meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam
makalah yang kami susun ini. Dan kami berharap, semoga dengan hadirnya makalah ini akan
mendatangkan manfaat dari pembaca sendiri maupun dari penyusun.
Billahi taufiq wal hidayah, assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Sidoarjo, 25 September 2014

Penyusun

1
Daftar Isi

Kata Pengatar....................................................................................................................1
Daftar Isi............................................................................................................................2
Pengertian Pernikahan.......................................................................................................3
Tujuan Pernikahan.............................................................................................................3
Dalil-Dalil Pernikahan.......................................................................................................4
Hukum Pernikahan............................................................................................................5
Rukun dan Syarat Pernikahan...........................................................................................10
Hak dan Kewajiban Pasca Pernikahan..............................................................................13
Hikmah Pernikahan...........................................................................................................17
Pernikahan Dalam Undang-Undang..................................................................................19
Daftar Pustaka...................................................................................................................20

2
Pengertian Pernikahan

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Berkata Imam Nawawi : “Nikah
secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut ‘akad nikah’, kadang
digunakan untuk menyebut hubungan seksual”.
Al-Fara’, seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa kata “Nukah al Mar-atu”memiliki
makna “organ kewanitaan”. Jika orang Arab mengatakan “nakaha al-mar-ata”, maka itu
berarti “telah menggauli di organ kewanitaannya”.
Adapun nikah secara istilah berarti akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan
yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual.

Tujuan Pernikahan
1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2. Untuk 'iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang), ihshon (membentengi diri)
dan mubadho'ah (bisa melakukan hubungan intim)
3. Menghindari fitnah
4. Memperbanyak ummat Muhammad SAW
5. Menyempurnakan agama
6. Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah
7. Melahirkan anak
8. Menjaga masyarakat
9. Legalitas untuk melakukan hubungan intim
10. Mempertemukan tali keluarga
11. Saling mengenal dan saling menyayangi
12. Menjadikan ketenangan dan kecintaan dalam jiwa suami dan isteri
13. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga islami yang sesuai dengan ajaran-Nya
14. Satu tanda kebesaran Allah SWT
15. Memperbanyak keturunan ummat Islam dan menyemarakkan bumi melalui proses
pernikahan

3
Dalil-Dalil Pernikahan
a. Surat Ar-Rum, 30 : 21
[ َ‫ت ِلقَوْ ٍم يَتَفَ َّكرُون‬ َ ِ‫ق لَ ُك ْم ِم ْن َأ ْنفُ ِس ُك ْم َأ ْز َواجًا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ ِإ َّن فِي ٰ َذل‬
ٍ ‫ك آَل يَا‬ َ َ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه َأ ْن خَ ل‬
]٣٠:٢١
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

b. Surat An-Nisa’, 4 : 34
ٌ َ‫َات َحافِظ‬
‫ات‬ ٌ ‫ات قَانِت‬ ُ ‫ْض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم ۚ فَالصَّالِ َح‬ َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم َعلَ ٰى بَع‬ َّ َ‫الرِّ َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء بِ َما ف‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُّن ۖ فَِإ ْن َأطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل‬ َ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا ُ ۚ َوالاَّل تِي تَخَافُونَ نُ ُشو َزه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬ ِ ‫لِ ْل َغ ْي‬
]٤:٣٤[ ‫تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِياًل ۗ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِيرًا‬
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.

c. Surat Ali ‘Imran, 3 : 14


‫ض ِة َو ْال َخ ْي ِل ْال ُم َس َّو َم ِة َواَأْل ْن َع ِام‬
َّ ِ‫ب َو ْالف‬
ِ َ‫ير ْال ُمقَ ْنطَ َر ِة ِمنَ ال َّذه‬
ِ ‫ين َو ْالقَنَا ِط‬
¢َ ِ‫ت ِمنَ النِّ َسا ِء َو ْالبَن‬ ِ ‫اس حُبُّ ال َّشهَ َوا‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
]٣:١٤[ ‫ب‬ ِ ‫ع ْال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا ۖ َوهَّللا ُ ِع ْن َدهُ ُحسْنُ ْال َمآ‬ُ ‫ث ۗ ٰ َذلِكَ َمتَا‬
ِ ْ‫َو ْال َحر‬
Artinya : Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

4
d. Surat Al-Baqarah, 2 : 223
[ َ‫ث لَ ُك ْم فَْأتُوا َحرْ ثَ ُك ْم َأنَّ ٰى ِشْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموا َأِل ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا َأنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُمْؤ ِمنِين‬
ٌ ْ‫نِ َساُؤ ُك ْم َحر‬
]٢:٢٢٣
Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-
orang yang beriman.

Hukum-Hukum Pernikahan
Hukum pernikahan terbagi menjadi 2, yakni hukum asal dari pernikahan, dan hukum
menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

A. Hukum Asal dari Pernikahan

Ada 2 pendapat mengenai hukum asal pernikahan. Pendapat pertama menyatakan


bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama. Syekh
al-Utsaimin berkata, “Banyak dari ulama megatakan bahwa seseorang yang mampu
(secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena
pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut
terdapat maslahat yang agung”.
Dalil-dalil yang mendasari pendapat pertama ini adalah, diantaranya :

1. Hadits Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, Rasulullah


Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta),
hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam
(syahwat)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para

5
pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia
menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh
disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu
mengandung arti kewajiban).

2. Bahwa menikah merupakan perilaku pada utusan Allah Ta’ala, sebagaimana


firmanNya.
ٌ‫ك َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم َأ ْز َواجًا َو ُذ ِّريَّةً ۚ َو َما َكانَ لِ َرسُو ٍل َأ ْن يَْأتِ َي بِآيَ ٍة ِإاَّل بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ ۗ لِ ُك ِّل َأ َج ٍل ِكتَاب‬
َ ِ‫َولَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا ُر ُساًل ِم ْن قَ ْبل‬
]١٣:٣٨[
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. [QS. Ar-Ra’d, 13 : 38]

3. Hadist Anas bin Malik radiyallahu ‘anha


“Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun
berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak
akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas
kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan
mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga
tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang
saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan
Muslim)

4. Tidak menikah merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara,


sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadah adalah haram. Syekh al-
Utsaimin berkata :
“…dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk
penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk
peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah
haram. “   
6
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut
dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah
sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat sebagian besar para ulama. Imam
Nawawi berujar, “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama,
bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui
seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya
dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad”.

Dalil-dalil yang menjadi dasar pendapat mereka adalah:

1. Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam QS. An-Nisa’ ayat 4.


‫ث َو ُربَا َع ۖ فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تَ ْع ِدلُوا‬
َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬
َ َ‫وَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِكحُوا َما ط‬
]٤:٣[ ‫ك َأ ْدن َٰى َأاَّل تَعُولُوا‬ َ ِ‫ت َأ ْي َمانُ ُك ْم ۚ ٰ َذل‬
ْ ‫اح َدةً َأوْ َما َملَ َك‬
ِ ‫فَ َو‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [QS. An-
Nisa’, 4 : 4].

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa
menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan
pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah
itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil
budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang
wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri,
dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa”.
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan
menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan ‘al-istihbab’ (sesuatu yang dianjurkan).

7
2. Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya, terutama
yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa
perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

B. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya

Adapun hukum nikah jika menilik kondisi orang yang melakukannya, adalah
sebagai berikut.

1. Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk
menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan
ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya,
sehingga dikhawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan. Atau karena
seorang penuntut ilmu yang tidak bisa konsentrasi dalam belajar akibat
memikirkan pernikahan, maka hukumnya menjadi wajib untuk menikah, dengan
catatan jika dia mampu untuk menjalankan pernikahan secara materi dan fisik,
serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya akan meambah
semangat dalam belajar ketika dia sudah menikah.
2. Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai
harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam
Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah
sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin
Sedangkan Dia Mempunyai Harta”.
3. Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak
mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak
mempunyai syahwat.
4. Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada
keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak
membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk
menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya.

8
Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya
terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan
tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya
suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. Begitu
juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya
harta yang cukup, maka baginya menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk
menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya
untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas
ulama Syafi’iyah.

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah.
Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi
kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan
minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi
dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks
saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti
kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan
dan ketentraman.

5. Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung
jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. Syekh al-Utsaimin memasukan
pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi (negara
yang memusuhi umat islam), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan
umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam
keadaan darurat, maka dibolehkan.

9
Rukun dan Syarat Pernikahan

1) Calon suami dan istri


Calon suami, dengan syarat:
a. Islam
b. Lelaki yang tertentu
c. Bukan lelaki mahram dengan calon isteri
d. Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
g. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
h. Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri
Calon istri, dengan syarat:
a. Islam
b. Perempuan yang tertentu
c. Bukan perempuan mahram dengan calon suami
d. Bukan seorang khunsa
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Tidak dalam idah
g. Bukan isteri orang

Mahram adalah adalah orang yang tidak boleh dinikahi karena masih ada pertalian
darah yang dekat. Allah berfirman tentang ajuran memilih pasangan hendaknya yang
bukan mahram pada QS An-Nisa 4:22
Macam mahram menurut Islam :
A. Mahram sebab keturunan:
A. Ibu dari bapak atau dari ibu, dan seterusnya
B. Anak, cucu, dan seterusnya kebawah
C. Saudara perempuan seibu dan sebapak
D. Saudara perempuan seibu atau sebapak saja
E. Bibi dari ibu atau bapak
F. Sepupu dari ibu atau dari bapak.

10
B. Mahram sebab persusuan:
A. Ibu yang pernah menyusui
B. Saudara perempuan dari anak ibu yang menyusui

C. Mahram sebab perkawinan :


A. Ibu mertua
B. Anak tiri
C. Menantu perempuan
D. Ibu tiri
E. Adik perempuan istri

2) Wali adalah orang yang berhak menikah, mempunyai syarat:


a. Islam, bukan kafir dan murtad
b. Lelaki dan bukannya perempuan
c. Baligh
d. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Tidak fasik
g. Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
h. Merdeka
i. Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya

Wali ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab ialah wali yang
berdasarkan pertalian darah. Berdasarkan urutan terdeat ialah :
a. Bapak kandung
b. Kakek dari bapak
c. Saudara laki-laki seibu sebapak
d. Saudara laki-lakisebapak
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapak
f. Anak laki-laki dari sebapak
g. Paman dari bapak yang sekandung
h. Paman dari bapak yang sebapak
i. Sepupu dari saudara bapak yang sekandung
j. Sepupu dari saudara bapak yang sebapak.

11
Wali hakim adalah wali hakim yang diangkat oleh calon pengantin karena wali nasab
sudah tidak ada, berhalangan hadir, atau ada perlimbahan dari wali nasab. Tidak ada
wali pernikahan tidak sah.

1) Saksi
Selain wali saksipun juga diwajibkan ada dalam pernikahan sebagaimana sabda Nabi
Muhammad riwayat dari Usamah bin Zaid, “Tidak sah melainkan dengan wali dan
dua orang saksi yang adil” (H.R Ahmad). Syarat menjadi saksi:
a. Sekurang-kurangya dua orang
b. Islam
c. Berakal
d. Baligh
e. Lelaki
f. Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
g. Dapat mendengar, melihat dan bercakap
h. Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-
dosa kecil)
i. Merdeka

2) Ijab Qabul
Ijab adalah pengucapan wali yang berisi pernyataan menikahkan anaknya atau yang
menjadi anak karena pertalian darah. Seperti “Saya nikahkan engkau dengan anak
saya yang bernama Fulanah binti Fulan dengan maskawin kitab suci Al-Qur’an
tunai”.
Qabul adalah ucapan calon suami yang berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon
istrinya. Seperti “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan maskawin tersebut
tunai.” Sedangan mahar atau maskawin yaitu pemberian oleh calon suami ke caon
istri yang diserahkan pada saat akad nikah. Mahar dalam bentuk benda apa saja
asalkan bermanfaat. Memberi mahar kepada calon istri hukumnya wajib seperti yang
dijelaskan pada QS. An-Nisa, 4 : 4.
Syarat ijab :
a. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
c. Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (seperti nikah kontrak)
12
d. Tidak menyebut prasyarat sewaktu ijab dilafadzka.
Sedangkan syarat qabul adalah :
a. Ucapan harus sesuai dengan ucapan ijab
b. Tidak ada perkataan sindiran
c. Dilafadzkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
d. Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mut’ah (seperti nikah kontrak)
e. Tidak menyebut prasyarat sewaktu qabul dilafadzkan
f. Menyebut nama calon isteri
g. Tidak diselangi dengan perkataan lain

Hak dan Kewajiban Pasca Pernikahan


A. Hak Suami Istri

A. Hak-hak istri atas suami


1. Menafkahi istrinya, yaitu memberi makan minum, tempat tinggal menurut cara
yang baik. Rasul SAW bersabda :
“Kamu memberinya makan jika kamu makan, memberi pakaian jika kamu
berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekannya dan tidak
mendiamkannya kecuali dalam rumah (tidak boleh memindahkan istrinya
ketempat lain, kemudian mendiamkannya di tempat itu”(H.R Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Hiban).
2. Suami disunahkan untuk mengijinkan istrinya menjenguk saudaranya (mahram)
yang lagi sakit atau mahram yang meninggal dunia atau juga mengunjungi sanak
kerabatnya, jika tidak memberatkan suaminya.
3. Istri berhak mendapatkan jatah yang adil dari suaminya, jika suaminya itu
beristri lebih dari satu. Rasul SAW bersabda :
“Barangsiapa yang memiliki dua istri, lalu ia condong kepada salah satu dari
keduanya, maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan tertarik salah
satu pundaknya sambil jatuh bangun atau miring”(H.R.at-Tirmidzi)

13
B. Hak suami atas istri
1. Ditaati istrinya dalam kebaikan.
Istrinya wajib mentaati dalam hal yang bukan maksiat kepada Allah dan dalam
kebaikan. Istri tidak wajib mentaati suaminya dalam hati yang tidak sanggup
dikerjakannya atau hal-hal yang menyusahkannya. Firman Allah :
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya.” [QS. An-Nisa’, 4 : 34]
Rasul SAW bersabda: “Seandainya aku diperbolehkan memerintahkan
seseorang supaya bersujud kepada seseorang maka aku akan perintahkan
seorang istri bersujud kepada suaminya”(H.R.At-Tirmidzi)
2. Istri wajib menjaga harta suaminya, wajib menjaga kehormatannta dan tidak
boleh keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya. Firman Allah :
”Wanita-wanita shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada” [QS. An-Nisa’, 4 : 34]
3. Menghendaki berpergian dengan istrinya.
4. Dimintai izin oleh istri jika seorang istri ingin berpuasa sunnah dan suami berada
di rumah.

B. Kewajiban Suami Istri

A. Kewajiban suami
1. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan
agama. (At-Taubah: 24)

2. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya.
(At-Taghabun: 14)

3. Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-
Furqan: 74)

4. Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya


dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
14
5. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan:

 Memberi nasehat,

 Pisah kamar

 Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34)

‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada
Allah.

6. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya / keluarganya. (HR. Tirmidzi)
7. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-
Thalaq: 7)

8. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (HR. Tirmidzi)

9. Suami hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga.
Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada
keberkahan. (HR. Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)

10. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (HR. Abu Ya’la)

11. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zalim.(An-Nisa’: 19)

12. Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan,memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam
rumah sendiri. (HR. Abu Dawud).

13. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-
Tahrim : 6 ; HR. Muttafaqun Alaih)

15
14. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan denganwanita (hukum-
hukum haidh, istihadhah, dll.). (HR. AI-Ghazali)

15. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)

16. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (HR. Nasa’i)

17. Apabila istri tidak mentaati suami(durhaka kepada suami), maka suami wajib
mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (HR. AI-
Ghazali)

18. Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu
kepada istrinya. (AI- Baqarah: 40)

B. Kewajiban istri

1. Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi
daripada istri. (Al- Baqarah: 228)
2. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’:39)

3. Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:

 Menyerahkan dirinya,

 Mentaati suami,

 Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,

 Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami,

 Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

4. Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (HR. Nasa’ i, HR. Muttafaqun Alaih)

16
5. Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu
sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami
meridhainya. (HR. Muslim)

6. Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni
dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya.
(HR. Tirmidzi)

7. Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (HR. Ibnu Majah, HR. TIrmidzi)

8. Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada
suaminya. .. “(HR. Timidzi)

9. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (HR. Thabrani)

10. Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami (HR.
Thabrani)

11. Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya
(saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)

Hikmah Pernikahan
1. Menikah merupakan Sunnah para Nabi dan Rasul
Firman Allah: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap
masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).

2. Menikah merupakan salah satu upaya dalam menyempurnakan iman


Rasulullah bersabda:  “Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah,
mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia
17
telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dengan syarat
Bukhari Muslim.
Disepakati oleh adz Dzahabi)

3. Menikah merupakan bagian dari Tanda kekuasaan Allah


Hikmah terbesar dari suatu pernikahan ialah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah
SWT atas segala yang ada di muka bumi ini termasuk manusia. Segala sesuatu yang
diciptakan Allah di muka bumi ini telah ditetapkan fungsi dan tujuannya. Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum : 21)

4. Menikah untuk memenuhi kodrat sebagai manusia


Allah telah menetapkan kodrat manusia manusia untuk saling tertarik pada lawan jenisnya,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis mas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).” (QS Al-Imran ayat 14).

5. Menikah untuk meneguhkan akhlak terpuji


Dengan menikah, 2 anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu
berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang
baik. Didalam Islam mempunyai Akhlak baik sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri
seseorang ialah lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya sendiri namun bagi suatu
bangsa juga. Kenyataan yang ada selama ini adalah menujukkkan gejala yang tidak
baik, yang ditandai dengan merosotnya moral sebagian kaum muda dalam pergaulan.

6. Membangun rumah tangga yang Islami


Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi
kenyataan apabila tidak melalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan
18
terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra dan putri juga keturunan
bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga yang Islami.
Layaknya seperti perahu, perjalanan rumah tangga terkadang terombang-ambing ombak di
lautan.
Ada juga aral yang melintang. Ada kesulitan yang datang menghadang.
Semuanya merupakan tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan
sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya. Bersabar dan
selalu bersyukur merupakan kunci dalam meraih hikmah ini.

7. Menikah ialah sebaik-baik cara untuk bisa mendapatkan anak,


Memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan
untuk para kekasih-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38)

19
Pernikahan Dalam Undang-Undang

Pernikahan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.


Dalam undang-undang tersebut terdapat 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal. Beberapa hal
yang harus diketahui dalam undang-undang ini adalah :
1. Pengertian dan Tujuan Pernikahan
Dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, disebutkan bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Syarat Sahnya Perkawinan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu.”(Pasal 2 Ayat 1)
3. “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh memiliki seorang suami.” (Pasal 3 Ayat 1)
4. “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”(Pasal 2 Ayat 2)
5. Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang
berlaku dilarang kawin. (Pasal 8)
6. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat. (Pasal 30)

20
Daftar Pustaka

 Saminu. Pendidikan Agama Islam. Klaten : Viva Pakarindo


 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan
 http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/271/pengertian-menikah-dan-hukumnya/
 http://islamiwiki.blogspot.com/2013/05/tujuan-pernikahan-dalam-islam.html?m=1
 Islamqa.info/id/2127
 akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/rukun-dan-syarat-akad-nikah/
 inasukarno.blogspot.com.es/p/rukun-syarat-sah-nikah.html?m=1
 http://pecintaquransunnah.wordpress.com/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-dalam-
islam/
 http://Hak%20dan%20Kewajiban%20Suami%20Istri%20dalam%20Islam.htm

Sumber gambar depan :


http://www.sobatcantik.com/wp-content/uploads/2013/07/Apa-tujuan-pernikahan.jpg

21

Anda mungkin juga menyukai