Anda di halaman 1dari 10

TAHUN

2022

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN POLIGAMI DI MASYARAKAT


(INDONESIA)

Nama Mahasiswa : Mofed EfendI


Kelas : PAIS 22

UIN KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ


JEMBER

ii
TEMPLATE PROBLEM BASED LEARNING

Nama Mahasiswa : Mofed Efendi

Kelompok Mapel : PAI

Judul Modul : Fiqih

Judul Masalah : PROBLEMATIKA PELAKSANAAN POLIGAMI DI MASYARAKAT


(INDONESIA)

No Komponen Deskripsi
1. Identifikasi Masalah Materi ajar ini disusun atas dasar dari hasil analisis materi
(berbasis masalah ajar yang sebelumnya sudah dibaca dan dipelajari oleh
yang ditemukan di penulis dan penulis menemukan masalah – masalah
lapangan) sebagai berikut :
1. Materi yang sering mengalami miskonsepsi
terutama pada siswa yaitu mengenai makna
poligami.
2. Terdapat materi yang sulit dipahami konsep
adil dengan beberapa istri
3. Serta mengalami kesulitan dalam konsep poligami
harus izin dari istri pertama
4. Adanya materi yang sulit dipahami tentang
problematika poligami di masyarakat
(indonesia)pertama
Relevansi
1. Menjelaskan tentang makna poligami
2. Memahami tentang konsep adil dengan beberpa istri
3. Memahami konsep kewajiban seorang suami untuk
ijin berpoligami pada istri pertama
4. Menganalisis tentang problematika poligami sirri
tanpa izin istri pertama yang terjadi di masyarakat

Materi yang akan dibahas

ii
POLIGAMI
DALAM AJARAN
ISLAN

PENGERTIAN DAN KONSEP ADIL KONSEP PROBLEMATIKA


HUKUM DALAM KEWAJIBAN IJIN POLIHAMI SISSRI
POLIGAMI POLIGMAI POLIGAMI TANPA IZIN ISTRI

2. Penyebab Masalah 1. Bagaimana makna poligami


(dianalisis apa yang 2. Bagaimana konsep adil dengan beberapa istri
menjadi akar masalah 3. Bagaimana konsep kewajiban seorang suami untuk
yang menjadi pilihan ijin berpoligami pada istri pertama
masalah) 4. Bagaimana tentang problematika poligami sirri
tanpa izin istri pertama yang terjadi di masyarakat

3. Solusi 1. Poligami dalam ajaran Islam


a. Dikaitkan dengan Secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini
teori/dalil yang yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan
relevan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan
b. Sesuaikan dengan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai
langkah/prosedur isterinya di waktu yang bersamaan”. Di masyarakat
yang sesuai seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi
dengan masalah sebagian laki-laki seakan menjadi sesuatu yang
yang akan dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya
dipecahkan semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti
aturan yang sebenarnya. Memang Pada asalnya
hukum poligami itu diperbolehkan jika seseorang
suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap
isteri-isterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim,
maka seorang suami lebih baik untuk beristeri satu
saja.

Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan


manusia serta memelihara kepentingan dan
kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum.
Kebolehan poligami untuk mewujudkan
kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina

ii
dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan.
Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa
pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk
beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu jika
dipandang darurat.
Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi
sampai maksimal empat orang isteri. Ayat pokok yang
dapat dijadikan acuan dilakukannya poligami, yakni
QS. al-Nisa' (4): 3

Artinya
“Dan jika kamu kawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang
kamu senangi dua tiga atau empat. Tetapi jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Yusuf Qardhawi menjelaskan kondisi darurat yang


dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami
adalah sebagai berikut:
a. Ditemukan seorang suami yang menginginkan
keturunan, akan tetapi ternyata isterinya tidak
dapat melahirkan anak disebabkan karena
mandul atau penyakit.
b. Di antara suami ada yang memiliki overseks,
akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks,
memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu
panjang sedangkan suaminya tidak sabar
menghadapi kelemahan isterinyatersebut.
c. jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah
laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan.
Di situ terdapat kemaslahatan yang harus
didapat oleh sebuah masyarakat dan para
wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa
suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan
terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa


kebolehan seorang suami untuk beristeri lebih dari
satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak
sebagaimana tersebut di atas. Katakanlah itu adalah
pasal yang harus dimiliki oleh seorang suami
sebelum berpoligami. Namun ada pasal penting
lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu

i
terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil
dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi seorang
suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah
terhadap isteri-isterinya adalah konsekuensi dari
tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil
dimaksud berarti seorang suami dapat memenuhi
hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan secara
wajar.

2. Konsep Adil
Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki
pengertian yang kompleks dan sukar untuk
merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah
tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif
dan memiliki unsur subyektifitas. Kata adil misalnya,
ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka
akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil
menurut suatu masyarakat, juga belum tentu adil bagi
masyarakat yang lain. Adil bagi orangsekarang belum
tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil
mengandung banyak arti:
a. Tidak berat sebelah, tidak memihak,
b. Berpihak kepada yang benar,
c. Berpegang kepada kebenaran,
d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.
Secara terminologi adil berarti mempersamakan
sesuatu dengan yang lain baik dari segi ukuran,
sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan
tidak berbeda sama lain.
Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku
adil, menurut Muhammad Husein al-Zahabi
mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan dalam
memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap
sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan oleh
manusia.
Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan bahwa
keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami
adalah keadilan material seperti yang berkenaan
dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum,
perumahan dan lain-lain. Secara umum ada empat
konsep keadilan.
1. adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang
dikehendaki oleh konsepsi tersebut adalah
persamaan dalam hak. Setiap suami wajib
melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan
prinsip keadilan itu ialah persamaan diantara dua
yang sama. Dan persamaan di antara istri-istri itu
menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya

v
dalam statusnya sebagai istri, dan memperhatikan
sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya.
2. adil yang ditunjukkan untuk pengertian
“seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu
kelompok yang didalamnya terdapat beragam
bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama
syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian.
3. adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya.
4. adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil ini
berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi
dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu.

Selain itu keadilan dalam pemberian nafkah juga harus


sangat diperhatikan Nafkah itu ada yang bersifat
lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan
immateri (batiniyah). Sehubungan dengan
pembagian nafkah tersebut maka keadilan pun
terbagi menjadi dua yaitu keadilan dalam
memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam
memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk
pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil
terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan,
minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran.
Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini
sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami
terhadap isteri-isterinya. Maka jika seorang suami
tidak dapat
berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang
mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram
bagi laki-laki untuk berpoligami.
Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan
yang bersifat batin kecenderungan hati/cinta. Usaha
untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-
isteri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi
seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan
tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil
sebagaimana diisyaratkan oleh al- Qur’an:

Artin ya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku


adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu

v
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)

Kalau se a n da in ya keadilan membagi cinta ini


menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami,
maka tertutup hukum kebolehan bagi seorang
suami untuk berpoligami meskipun sudah berada
pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya
berlaku adil dalam membagi cinta, maka Menurut
Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan
dan diberikan toleransi, namun tidak termaafkan
untuk nafkah lahir.
Ayat ini juga d a p at dipahami bahwa seorang suami
yang berpoligami tidak hanya untuk berkomitmen
untuk adil, karena ayat tersebut memastikan bahwa
siapapun seorang suami tidak akan pernah bisa
berbuat adil kepada isteri-isterinya, karena itu
penting keharusan adanya maslahat yang lebih besar
untuk isteri-isteri dan anak-anaknya. Perhatikan
bagaimana tingginya konflik berumah tangga bagi
para suami yang beristeri lebih dari satu, perseteruan
antara para isteri, kecemburuan buta, permusuhan
antara para anak, perebutan harta waris dan
dosa-dosa yang ditimbulkan akibat perilaku
berpoligami. Karena itu, pikirkan kemaslahatan yang
lebih penting jika melakukan poligami seperti untuk
kepentingan dakwah, mendapatkan keturunan hebat,
dan kemaslahatan buat seluruh anggota keluarganya.

3. Konsep kewajiban Ijin Poligami


Poligami memang bukan hal yang dilarang, se ka lip un
juga tidak dianjurkan. Tetapi praktek dilapangan
mengharuskan adanya UU dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh suami jika ada keinginan untuk
berpolingami.
Dasar –dasar itu antara lain
a. UU Perkawinan No 01 Tahun 1974 pasal 4 dan
pasal 5 yang berbunyi (1) Dalam seorang suami
akan beristri lebih dari seorang. Sebagaimana
disebut dalam pasal 3 ayat 2, maka ia wajib
mengajukan ke pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
b. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
hanya kan memberi izin kepada suami yang akan
lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
menjadi seorang istri

v
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan
c. istri tidak dapat melairkan keturunan

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus
memenuhi syarat-syarat berikut
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka
(2) Persetjuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
a pasal ini tidak diperlukan lagi isteri-isteri-
isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;
atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan
Persyaratan Ijin Poligami
a. Surat Gugatan/Permohonan (Bila Ada)
b. Foto copy Surat Nikah dengan istri pertama yng
dimateraikan Rp 6.000,- di Kantor Pos
c. Foto Copy KTP Pemohon, istri pertama dan
calon istri kedua masing-masing 1 lembar folio
1 muka (tidak boleh dipotong)
d. Surat pernyataan berlaku adil dari Pemohon
e. Surat keterangan tidak keberatan dimadu dari
istri pertama dan calon istri kedua bermaterai
Rp.6.000,- (blanko disediakan di Kantor PA Giri
Menang)
f. Surat keterangan gaji/penghasilan dari
perusahaan/kantor/Kelurahan diketahui oleh
Camat setempat
g. Surat Ijin Atasan (bagi PNS/TNI/POLRI)
h. Surat keterangan status calon istri kedua dari
Kelurahan

4. Problematika Poligami sirri tanpa ijin istri pertama


Melihat dari rumitnya proses yang ditetapkan undanng
perkawinann dan juga syarat dari pengadilan agama
setempat maka banyak para suami mencari jalan
pintas yakni, menikah dibawah tangan (pernikahan
sirri). Jelas kasus ini akan semakin membawa
kemudhorotan yang nyata. Karena mengandung unsur
kebohongan bagi pihak istri. Hal ini banyak dilandasi

v
oleh
1. Tidak mendapatkan ijin dari istri pertama
2. Menikah hanya karena nafsu semata (Serakah)
Meskipun poligami diizinkan dalam ajaran Islam
dengan syarat-syarat ketat, tetapi realitasnya
ternyata menyisakan penderitaan bagi istri, orang tua
dan anak-anak. Hancurnya rumah tangga dan
putusnya cinta kasih di antara mereka, bahkan anak
yang tidak berdosa pun sering menjadi korban.
Karena itu, poligami hendaknya dihindari oleh setiap
suami, sebab mengandung kemudharatan bagi
setiap anggota keluarga. Hal ini terungkap dalam
hadis Nabi SAW Riwayat Imam al-Bukhari, Muslim,
Turmudzi dan Ibnu Majah dari Miswar bin
Makhramah yang mengangkat peristiwa yang
dialami keluarga putri Nabi SAW (Fatimah) ketika Ali
akan melakukan poligami.
“Miswar bin Makhramah bercerita bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar
seraya berkata, “Sesungguhnya keluarga Hisyam bin
al-Mughirah meminta izinku untuk menikahkan
putrinya dengan Ali bin Abi Thalib. Aku tidak izinkan.
Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin
Abi Thalib lebih memilih menceraikan putriku dan
menikah dengan putrinya (Keluarga Hisyam).
Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku,
menyusahkannya berarti menyusahkanku dan
menyakitinya berarti menyakitiku” [H.R. al-Bukhari,
Muslim, at-Turmudzi dan Ibnu Majah].
Hadits di atas mempertegas prinsip monogami
dalam pernikahan. Nabi SAW melarang Ali bin Abi
Thalib untuk melakukan poligami, bahkan beliau
meminta Ali memilihmenceraikan Fatimah putri Nabi
jika tetap menikahi gadis tersebut. Alasan yang
diajukan Rasulullah adalah beliau tidak rela
andaikan poligami itu akan menyusahkan dan
menyakiti putri tercintanya Fatimah, yang berarti
menyakiti perasaan Rasulullah SAW sebagai ayahnya.
Dan jika ini terjadi pada saaat ini dengan melalui
prosedur yang ditetapkan maka kemudhorotan yang
terjadi pada kasus poligami sirri akan semakin terlihat
dan nyata. Alih-alih bisa mendapatkan 2 istri atau lebih,
bisa jadi istri pertama akan menggugat cerai suaminya,
dan dampaknya kepada keutuhan rumah tangga dan
anak-anak tentunya
Jadi, para suami hendaknya berfikir kembali untuk
melakukan poligami mengingat dampak yang di
berikan. poligami tidak menyebutkan bahwa poligami
itu perbuatan sunah atau yang dianjurkan. Poligami
dalam Islam merupakan ketentuan pembatasan

i
yang pernah terjadi sebelumnya (yang tidak terbatas).
Poligami dilakukan dengan memenuhi ketentuan adil.
Jika tidak bisa melakukannya lebih baih 1 saja.
Bahkan dalam perjalanannya masa poligami
rosulullah lebih sebentar dibangding masa
monogami beliau bersama Khodijah, dari situ kita
diajarkan bahwa monogami lebih dianjurkan dari
pada poligami.

Anda mungkin juga menyukai