Anda di halaman 1dari 153

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA

OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019

TESIS

OLEH :

IRA SYAFIRA
NIM : 1505195181

PROGRAM STUDI S2 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019

i
2

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA


OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memeroleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M)
dalam Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kebijakan Manajemen Dan Pelayanan Kesehatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Helvetia Medan

Oleh:
IRA SYAFIRA
NIM : 1505195181

PROGRAM STUDI S2 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
3
4

Telah Diuji pada Tanggal : 16 November 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Hj. Razia Bagum Suroyo., M.Sc., M.Kes


Anggota : 1. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes
2. Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A
3. Imam Muhammad, S.E., S.Kom., MM., M.Kes
5
6

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI

Sebagai sivitas akademika Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan


Helvetia Medan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ira Syafira


Nim : 1505195181
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Fakultas Kesehatan Masyarakat Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non
Exclusive Royalty Freeb Right) atas tesis saya yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA


OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia Medan
berhak menyimpan, mengalih media format, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (Database), merawat dan mempublikasi tesis saya tanpa meminta izin dari
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis, pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian persyaratan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : 16 November 2019
Yang menyatakan,

(Ira Syafira)
i
ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA


OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019

IRA SYAFIRA
1505195181

Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi


rapuh dan mudah retak atau patah. Berdasarkan data rekam medik yang diperoleh
pada tahun 2015 sebanyak 106 kasus osteoporosis ditemukan pada wanita
menopause dan lanjut usia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan
menganalisis pengaruh usia, aktivitas fisik, merokok, riwayat keluarga, riwayat
fraktur terhadap osteoporosis pada ibu menopause.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian Mix
Methods dengan model penelitian Sequential Explanatory dengan sampel
kuantitatif sebanyak 87 responden dan informan pada pendekatan kualitatif yaitu
10 ibu menopause dan petugas kesehatan. Teknik pengumpulan data
menggunakan kuesioner dan istrumen wawancara penelitian. Analisis data dalam
penelitian ini yaitu analisis multivariat menggunakan uji binary logistic.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh antara usia dari hasil uji
statistik sebesar 0,044 < 0,05, aktifitas fisik sebesar 0,012 < 0,05, riwayat keluarga
sebesar 0,014 < 0,05 dan riwayat fraktur sebesar 0,035 < 0,05, variabel merokok
sebesar 0,223 > 0,05. Variabel yang paling dominan memiliki pengaruh yaitu
variabel riwayat keluarga dengan nilai OR 36,869.
Kesimpulan pada penelitian ini yaitu ada pengaruh antara usia aktivitas
fisik, riwayat keluarga dam riwayat fraktur terhadap osteoporosis pada ibu
menopause namun pada variabel merokok tidak terdapat pengaruh terhadap
osteoporosis pada ibu menopause. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
masukan bagi puskesmas dalam penanganan osteoporosis dan dapat
meningkatkan pengelolaan program pencegahan osteoporosis dengan upaya-
upaya promosi kesehatan.

Kata Kunci : Osteoporosis, Usia, Aktifitas Fisik, Merokok, Riwayat


Keluarga, Riwayat Fraktur
Daftar Pustaka : 27 Buku + 29 Jurnal (1999-2018)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Analisis Faktor-Faktor Risiko yang Memengaruhi terjadinya
Osteoporosis pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat Tahun 2017”.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M.) pada Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan
berbagai pihak, baik dukungan moril, materil dan sumbangan pemikiran. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc., M.Kes, selaku Pembina Yayasan
Helvetia Medan, sekaligus pembimbing I yang telah membimbing dan
memberikan masukan dalam penyusunan Tesis ini.
2. Iman Muhammad, SE., S.Kom., M.M., M.Kes, selaku Ketua Yayasan
Helvetia Medan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Institut Kesehatan Helvetia sekaligus Penguji II yang telah memberikan
waktu masukan dalam penyusunan Tesis ini.
3. Dr. H. Ismail Effendi, M.Si, selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia.
4. Dr. Asriwati, S.Kep., Ns., S.Pd., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia.
5. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan perhatian, kesabaran, dan ketelitian memberikan
bimbingan dan arahan terus-menerus sejak penyusunan proposal hingga tesis
ini selesai.
6. Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A, selaku Dosen Penguji I yang telah
meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam memberi masukan tesis
ini.

iii
7. Seluruh Dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah
mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
8. Kepala Puskesmas dan staff yang telah memberikan bimbingan dan izin
kepada penulis untuk melakukan penelitian di Puskesmas ini.
9. Orangtua tercinta dan seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan, dan semangat selama berlangsungnya masa perkuliahan hingga
memasuki masa penyelesaian perkuliahan.
10. Teman-teman seperjuangan seangkatan yang ikut memberikan doa dan
motivasi, juga dukungan moral, material kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan Tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan Hidayah-Nya atas segala
kebaikan yang telah diberikan.

Medan, 16 November 2019

Ira Syafira
1505195181

iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ira Syafira, lahir di Stabat 09 Desember 1993, putri dari

bapak A. Boynizar dan ibu Khairani, S.Pd. Penulis beragama islam dan beralamat

di Stabat Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Impres pada tahun

2005. Menyelesaikan sekolah menengah pertama di SMP Hang Tuah Stabat pada

tahun 2008. Menyelesaikan SMA pada tahun 2011 di SMA Persialan Stabat.

Menyelesaikan pendidikan Diploma III Akademi Kebidanan Helvetia Medan pada

tahun 2014. Menyelesaikan pendidikan D4 Kebidanan Helvetia Medan pada tahun

2015. Pada tahun 2015 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi S2

Kesehatan Masyarakat di Institut Kesehatan Masyarakat Helvetia Medan sampai

dengan sekarang.

v
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRACT ..................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
1.4.1. Manfaat Teoritis ........................................................... 9
1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10


2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ..................................................... 10
2.2. Telaah Teori ............................................................................. 15
2.2.1. Osteoporosis ................................................................. 15
2.2.2. Faktor Risiko Osteoporosis .......................................... 32
2.2.3. Menopause ................................................................... 41
2.3. Landasan Teori ........................................................................ 50
2.4. Kerangka Konsep .................................................................... 51
2.5. Hipotesis Penelitian.................................................................. 51

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 52


3.1. Desain Penelitian ..................................................................... 52
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 52
3.2.1. Lokasi Penelitian .......................................................... 52
3.2.2. Waktu Penelitian........................................................... 53
3.3. Populasi dan Sampel pada Pendekatan Kuantitatif .................. 53
3.3.1. Populasi pada Pendekatan Kuantitatif .......................... 53
3.3.2. Sampel pada Pendekatan Kuantitatif ............................ 53
3.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 54
3.4.1. Jenis Data ...................................................................... 54
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 54
3.5. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 54
3.5.1. Uji Validitas .................................................................. 54
3.5.2. Uji Reliabilitas .............................................................. 56

vi
3.6. Variabel dan Definisi Operasional ........................................... 57
3.7. Metode Pengukuran ................................................................. 58
3.8. Metode Pengolahan Data ........................................................ 59
3.9. Analisis Data ............................................................................ 60
3.10. Informan pada Pendekatan Kualitatif....................................... 62
3.11. Metode Pengumpulan Data pada Pendekatan Kualitatif .......... 63
3.12. Analisis dan Interpretasi Data pada Pendekatan Kualitatif ...... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 65


4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...................................................... 65
4.1.1. Letak Geografis ............................................................ 65
4.1.2. Demografi ..................................................................... 65
4.1.3. Gambaran Umum Proses Penelitian ............................. 66
4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif ...................................................... 67
4.2.1. Analisis Univariat ......................................................... 67
4.2.2. Analisis Bivariat ........................................................... 73
4.2.3. Analisis Multivariat ...................................................... 78
4.3. Hasil Penelitian Kualitatif ........................................................ 82
4.3.1. Karakteristik Informan.................................................. 82
4.3.2. Deskripsi Matriks Wawancara pada Informan ............. 86

BAB V PEMBAHASAN .............................................................................. 88


5.1. Pengaruh Usia terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat ..................................................................................... 88
5.2. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Terjadinya Osteoporosis
pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 91
5.3. Pengaruh Merokok terhadap Terjadinya Osteoporosis pada
Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 94
5.4. Pengaruh Riwayat Keluarga terhadap Terjadinya
Osteoporosis pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat ..................................... 97
5.5. Pengaruh Riwayat Fraktur terhadap Terjadinya Osteoporosis
pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 99
5.6. Keterbatasan Penelitian ............................................................ 102

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 103


6.1. Kesimpulan .............................................................................. 103
6.2. Saran ......................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105


LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1. Perbedaan Osteoporosis Tipe I dan Tipe II....................................... 21

3.2. Kebutuhan Energi Berbagai Aktivitas .............................................. 46

3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Aktifitas Fisik ................................... 64

3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Merokok ........................................... 64

3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Keluarga ............................. 65

3.4. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Fraktur ................................ 65

3.5. Hasil Uji Reliabilitas ........................................................................ 66

3.6. Aspek Pengukuran ........................................................................... 68

4.1. Karakteristik Responden.................................................................. 67

4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Aktifitas


Fisik ................................................................................................. 68

4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Aktifitas Fisik ............. 69

4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Merokok


pada Ibu Menopause ........................................................................ 69

4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Merokok pada Ibu


Menopause ....................................................................................... 70

4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat


Keluarga pada Ibu Menopause ....................................................... 70

4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Keluarga


pada Ibu Menopause ........................................................................ 71

4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat


Fraktur pada Ibu Menopause .......................................................... 72

4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Fraktur pada


Ibu Menopause ................................................................................ 72

viii
4.10. Tabulasi Silang Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .................................................... 73

4.11. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Kejadian


Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .......................... 74

4.12. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian


Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .......................... 75

4.13. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Keluarga dengan


Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat ........... 76

4.14. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan


Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat ........... 77

4.15. Uji Regresi Logistik ........................................................................ 78

4.16. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Model Summary ..................... 81

4.17. Karakteristik Informan .................................................................... 82

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1. Skema Terjadinya Osteoporosis .................................................... 31

2.2. Kerangka Konsep .......................................................................... 59

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 : Kuesioner .................................................................................. 108

2 : Master Tabel Uji Validitas........................................................ 110

3 : Master Tabel Penelitian ............................................................ 111

4 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .......................................... 114

5 : Output SPSS ............................................................................. 118

6 : Lembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) ................................... 130

7 : Surat Izin Survei Awal dari Institut Kesehatan Helvetia............ 131

8 : Surat Balasan Izin Survei Awal ................................................. 132

9 : Surat Izin Uji Validitas dari Institut Kesehatan Helvetia ........... 133

10 : Surat Balasan Uji Validitas........................................................ 134

11 : Surat Izin Penelitian dari Institut Kesehatan Helvetia ................ 135

12 : Surat Balasan Izin Selesai Penelitian ........................................ 136

13 : Lembar Bimbingan Tesis 1 ....................................................... 137

14 : Lembar Bimbingan Tesis 2 ....................................................... 138

15 : Dokumentasi Penelitian ............................................................ 139

xi
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi

rapuh dan mudah retak atau patah. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang

ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan

mikroarsitektur (bentuk mikro/terhalus) jaringan tulang yang mengakibatkan

menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga

menyebabkan tulang mudah patah. Osteoporosis dijuluki sebagai silent epidemic

diseases, karena menyerang secara diam, tanpa adanya tanda khusus, sampai

pasien mengalami patah tulang (1).

Osteoporosis kini telah menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat

yang paling sering terjadi pada orang berusia lanjut, terutama pada wanita. Ketika

wanita mencapai usia menopause, maka semakin menurun pula kadar kalsium

dalam tulang. Sebelum terjadi fase menopause, biasanya didahului dengan fase

premenopause. Premenopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause. Bagi

kebanyakan perempuan gejala fase premenopause mulai muncul pada usia 40

tahun yang menimbulkan gejala yang sangat mengganggu aktivitas kehidupan

wanita, termasuk hilangnya kesuburan dan meningkatnya risiko osteoporosis pada

kondisi menjelang menopause (2).

World Health Organization (WHO) menentukan kriteria tentang berat

ringannya keropos tulang yang sudah diterima oleh seluruh dunia. Bila T-score<-

2,5 digolongkan sebagai osteoporosis. Nilai T-scoredi bawah -1,0 dinamakan

1
2

osteopenia atau massa tulang yang rendah. Nilai T-score di antara -1 sampai +1

tergolong BMD (Bone Mineral Density) normal. Osteoporosis terjadi jika laju

penghancuran tulang meningkat, sedangkan pembentukan kembali menurun,

sehingga tulang menjadi rapuh dan keropos (3).

Wanita memiliki resiko osteoporosis lebih tinggi dibanding laki-laki, hal

ini dikarenakan wanita mengalami proses kehamilan dan menyusui serta

penurunan hormon estrogen pada saat premenopause, menopause dan pasca

menopause. Pada pria juga memiliki resiko terkena osteoporosis, penyakit

osteoporosis pada pria juga dipengaruhi oleh hormon. Bedanya laki-laki tidak

mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat (4).

Penyebab osteoporosis diantaranya, yaitu rendahnya hormon estrogen

pada wanita, rendahnya aktivitas fisik, kurangnya paparan sinar matahari,

kekurangan vitamin D, usia lanjut dan rendahnya asupan kalsium. Hal ini terbukti

dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata masyarakat Indonesia yaitu

sebesar 254 mg per hari, hanya seperempat dari standar internasional, yaitu

1000-1200 mg per hari untuk orang dewasa (5).

Seiring bertambahnya usia, daya serap kalsium akan menurun.

Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan massa tulang 30%-50%,

sedangkan pria 20%-30%. Selain itu, diperkirakan 80% kepadatan tulang

diwariskan secara genetik sehingga osteoporosis dapat diturunkan. Setiap tahun

sekitar 25 juta wanita di seluruh dunia diperkirakan mengalami menopause.

Jumlah wanita usia 50 tahun ke atas diperkirakan meningkat dari 500 juta pada

saat ini menjadi lebih dari 1 miliar pada2030, sedangkan wanita premenopause
3

sebanyak 342 juta. Di Asia, masih menurut data World Health Organization

(WHO), pada 2025 jumlah wanita yang berusia tua diperkirakan akan melonjak

dari 107 juta ke 373juta (6).

Menurut WHO, osteoporosis menduduki peringkat kedua, di bawah

penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Menurut data

Internasional Osteoporosis Foundation (IOF), lebih dari 30% wanita diseluruh

dunia mengalami resiko patah tulang akibat osteoporosis, bahkan mendekati

40%. Sedangkan pada pria, resikonya berada pada angka 13%. Angka kejadian

patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis diseluruh dunia mencapai angka 1,7

juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3

juta orang pada tahun 2050 (6).

Penderita osteoporosis di Eropa, Jepang, dan Amerika adalah sebanyak

75juta penduduk, sedangkan di Cina 84 juta penduduk, dan ada 200 juta penderita

osteoporosis diseluruh dunia. Penderita osteoporosis di Inggris, satu dari tiga

wanita dan satu dari dua belas pria diatas 50 tahun akan mengalami fraktur arena

osteoporosis. Penderita osteoprosis di Australia bertambah dari 15% pada wanita

usia 60-64 tahun menjadi 71% pada usia 80 tahun, dan bagi pria dengan usia yang

sama, angka meningkat dari 1,6% menjadi 19% (6).

Hasil penelitian yang dilaksanakan bersama perhimpunan Osteoporosis

Indonesia, melaporkan bahwa proporsi penderita Osteoporosis pada penduduk

yang berusia diatas 50 tahun, adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria.

Menurut hasil analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14

provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai


4

tingkat yang perlu di waspadai yaitu 19,7%. Itulah sebabnya kecenderungan

osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Negeri

Belanda. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis tertinggi adalah Sumatera

Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), di Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara

(2,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%) (7).

Berdasarkan analisis data dan risiko osteporosis yang dilakukan

Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006. Fonterra Brands Indonesia,

pravalensi osteoporosis di Indonesia saat ini telah mencapai 41,75%. Artinya

setiap 2 dari 5 penduduk Indonesia memiiki risiko utuk terkena osteoporosis. Hal

ini lebih tinggi dari pravalensi dunia yang hanya 1 dari 3 berisiko Osteoprosis (8).

Wanita yang mendekati menopause, produksi hormon estrogen, hormon

progesteron dan hormon seks lainnya mulai menurun (9). Perubahan yang terjadi

pada usia menopause antara lain: perubahan organ repoduksi, perubahan hormon,

perubahan fisik dan perubahan emosi. Akibat perubahan organ reproduksi

maupun hormon tubuh pada saat menopause akan mempengaruhi berbagai

keadaan fisik tubuh seorang wanita yang berupa keluhan-keluhan

ketidaknyamanan yaitu hot fluses (perasaan panas), keringat berlebih, vagina

kering, tidak dapat menahan air seni, hilangnya jaringan penunjang, penambahan

berat badan, gangguan mata, nyeri tulang dan sendi (10).

Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki banyak arti atau makna

yang terdiri dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa Yunani, yang

digunakan untuk menjelaskan gambaran berhentinya haid atau menstruasi yang

terjadi pada usia 49-51 tahun. Hal ini merupakan akhir proses biologis dari siklus
5

menstruasi, yang dikarenakan terjadinya perubahan hormon yaitu penurunan

produksi hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (11).

Menopause ada hubungannya dengan menarche (haid yang pertama kali

datang) Semakin dini menarche terjadi, makin lambat menopause terjadi. Pada

saat ini, semakin dini datangnya menarche akan mengakibatkan semakin lambat

datangnya menopause, sehingga membuat masa reproduksi menjadi lebih panjang

(12).

Berdasarkan data WHO tahun 2014, jumlah perempuan menopause

diseluruh dunia diperkirakan mencapai 33 juta jiwa, meningkat sekitar 5,6% dari

tahun sebelumnya dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun selanjutnya.

Sekitar 25 juta perempuan di seluruh dunia diperkirakan mengalami menopause

setiap tahunnya. Jumlah perempuan usia 50 tahun ke atas diperkirakan meningkat

dari 500 juta pada saat ini menjadi lebih dari 1 miliar pada tahun 2030. Menurut

data WHO, pada tahun 2025 jumlah perempuan yang berusia tua di Asia

diperkirakan akan melonjak dari 107 juta ke 373 juta (6).

Kecenderungan populasi perempuan menopause di Indonesia semakin

tinggi. Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) perempuan Indonesia yang

memasuki menopause sebesar 7,4% dari populasi pada tahun 2000. Jumlah

tersebut diperkirakan meningkat menjadi 11% pada tahun 2005 dan akan naik lagi

sebesar 14% atau sekitar 30 juta orang pada tahun 2015. Peningkatan populasi

perempuan menopause pada umumnya akan disertai berbagai tingkat dan jenis

permasalahan yang kompleks yang berdampak pada peningkatan masalah

kesehatan perempuan menopause tersebut (8).


6

Wanita di kota besar seperti Medan rata-rata mengalami menopause di

akhir usia 40-an tahun atau di awal 50 tahun, namun kini menurut penelitian

terbaru, 1 dari 16 wanita berisiko menopause dini. Seperti profil penduduk yang

tergambar di salah satu Kelurahan Sei Sikambing Medan, pada tahun 2011 jumlah

penduduk perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Disana juga didapatkan

jumlah usia lansia yang cukup banyak. Ada sekitar 76 jiwa perempuan sudah

mengalami menopause (13).

Perubahan pada tulang terjadi oleh karena kombinasi rendahnya hormon

estrogen dan hormon paratiroid. Tulang mengalami dekalsifikasi (pengapuran)

artinya kalium menurun sehingga tulang keropos dan mudah terjadi patah tulang.

Terutama terjadi pada persendian paha. Mengingat peningkatan yang stabil dalam

kehidupan masyarakat harapan dan perubahan dramatis dalam gaya hidup, seperti

perubahan dalam asupan makanan dan pekerjaan (misalnya, sedikit orang terlibat

dalam pekerjaan pertanian), aktivitas fisik berkurang, meningkat perilaku

menetap,kita menduga bahwa osteoporosis dapat menjadi lebih umum dan

prevalensi dapat terus meningkat dalam waktu dekat. Namun, peningkatan

kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan asupan makanan dalam beberapa

tahun terakhir mungkin terbukti memperlambat kejadian penyakit ini. Terdapat

beberapa faktor risiko terjadinya osteoporosis, yaitu faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi antara lain adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, riwayat

fraktur, sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah indeks
7

massa tubuh, konsumsi alkohol, merokok, menopause dini, aktifitas fisik,

penyakit sistemik dan penggunaan steroid jangka panjang.

Berdasarkan data rekam medik yang diperoleh dari Wilayah Kerja

Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat, pada tahun 2015 sebanyak 106 kasus

osteoporosis ditemukan pada wanita menopause dan lanjut usia. Jumlah kasus

osteoporosis meningkat setiap tahunnya terutama pada wanita lanjut usia yang

telah mengalami menopause. Mengingat besarnya pravalensi dan risiko terjadinya

osteoporosis terutama pada wanita lanjut usia yang mengalami menopause,

menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Faktor Risiko yang Memengaruhi Terjadinya Osteoporosis Pada Ibu Menopause

di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat Tahun

2019”.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

a. Apakah faktor usia mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause ?

b. Apakah faktor aktivitas fisik mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada

wanita menopause ?

c. Apakah faktor merokok mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause ?

d. Apakah riwayat keluarga mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause ?
8

e. Apakah ada faktor riwayat fraktur mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada

wanita menopause

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor risiko

yang memengaruhi terjadinya osteoporosis pada ibu menopause di Desa Pantai

Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh faktor usia dengan terjadinya osteoporosis pada

wanita menopause.

b. Untuk mengetahui pengaruh faktor aktivitas fisik dengan terjadinya

osteoporosis pada wanita menopause.

c. Untuk mengetahui pengaruh faktor merokok dengan terjadinya osteoporosis

pada wanita menopause.

d. Untuk mengetahui pengaruh riwayat keluarga dengan terjadinya osteoporosis

pada wanita menopause.

e. Untuk mengetahui faktor riwayat fraktur dengan terjadinya osteoporosis pada

wanita menopause.
9

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:

a. Reponden/Wanita

Bagi wanita yang memasuki usia menopause (diatas 50 tahun) diharapkan

mengerti tentang faktor risiko penyebab terjadinya osteoporosis sehingga

dapat mengambil tindakan pencegahan sebelum osteoporosis semakin parah

dan menimbulkan dampak yang buruk seperti patah tulang/fraktur, keropos

tulang dan rasa nyeri pada tulang yang luar biasa.

b. Puskesmas

Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan referensi untuk dapat

memberikan bimbingan dan perhatian yang lebih kepada ibu yang mulai

memasuki usia menopause tentang pentingnya menjaga kesehatan dan

mencegah dari osteoporosis, karena wanita menopause pada usia diatas 50

tahun lebih berisiko untuk terkena osteoporosis.

c. Peneliti

Diharapkan penelitian ini menjadi sumber ilmu, wawasan serta dapat

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti dalam bidang penelitian

kuantitatif. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan

sumber referensi yang menarik perhatian para penelitiyang lain untuk dapat

melakukan penelitian lanjutan dengan variabel lain.


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu

Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian terdahulu

yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun hasil

penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian yaitu

Analisis Faktor Risiko yang Memengaruhi Terjadinya Osteoporosis Pada Wanita

Menopause di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten

Langkat Tahun 2017.

Penelitian yang dilakukan oleh Wisnu Wardhana (2012) tentang faktor

risiko osteoporosis pada pasien dengan usia diatas 50 tahun. Subyek penelitian

adalah pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang diperiksa densitas tulang

menggunakan alat Dual Dual Energy X–ray Absorptiometry (DEXA). Penelitian

ini menggunakan desain kasus-kontrol. Data yang digunakan adalah data primer

melalui hasil wawancara dan data sekunder dari catatan medik pasien. Data yang

terkumpul diolah dan dianalisis dengan uji bivariat dan multivariat. Total

responden yang diteliti adalah 50 pasien, yaitu 25 pasien osteoporosis sebagai

kasus dan 25 pasien bukan osteoporosis sebagai kelompok kontrol. Variabel yang

terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah jenis kelamin wanita, usia lebih

dari 65 tahun, menopause dini, dan diabetes melitus. Indeks massa tubuh, riwayat

keluarga, riwayat fraktur, konsumsi steroid jangka panjang, konsumsi alkohol,

kebiasaan merokok, sirosis hepatis, hipertiroid, dan gagal ginjal kronik tidak

terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis. Jenis kelamin wanita, usia, menopause
11

dini, dan diabetes melitus merupakan faktor-faktor risiko terjadinya osteoporosis

pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang (14).

Penelitian lain juga dilakukan oleh Kridiana (2012) tentang faktor risiko

osteoporosis pada wanita pascamenopause (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah

Kota Semarang) Tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik

observasional, menggunakan metode observasional dengan rancangan kasus

kontrol. Populasi 56 penderita osteoporosis di wilayah RSUD Kota Semarang.

Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel

sebanyak 56 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dengan

wawancara. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan

uji chi square dengan α = 0,05). Dengan uji alternatif uji fisher. Dari hasil

penelitian ini didapatkan usia (p. value = 0,289 > 0,05), indeks massa tubuh (p.

value = 0,259 < 0,05), aktifitas fisik (p. value = 0,087 < 0,05), riwayat keluarga

(p. value = 0,422 > 0,05 ), riwayat fraktur (p. value = 0,319 < 0,05), kortiosteroid

jangka panjang (p. value = 0,089 < 0,05), menopause dini (p. value = 0,343 <

0,05), diabetus mellitus (p. value = 0,429 < 0,05), serosis hati (p. value = 0,130 <

0,05), hipertiroid (p. value = 0,003 < 0,05), gagal ginjal kronik (p. value = 0,141 <

0,05). Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia,

indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur, menopause dini, diabetus

mellitus terhadap Osteoporosis pada wanita pascamenopause (15).

Penelitian serupa dilakukan oleh Marjan & Marliyati (2013) tentang

hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian

osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Tujuan penelitian ini adalah
12

untuk mengetahui hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik

dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Penelitian

ini menggunakan desain cross sectional. Subjek diambil secara purposivedengan

kriteria tertentu dan jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah

37 orang lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan

energi dan protein adalah normal, fosfor pada kategori cukup dan kalsium

diklasifikasikan pada kategori kurang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian

osteoporosis (p>0.05). Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat

kecukupan kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis (p<0.05).

Tingkat kecukupan kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang kurang merupakan

faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis (16).

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Permatasari, Oktavianus dan

Wicaksono (2013) tentang hubungan aktivitas fisik dan terjadinya osteoporosis

pada wanita pascamenopausedi Poliklinik Bedah Tulang RSUD dokter soedarso

Pontianak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aktivitas

fisik total yang dilakukan oleh wanita pascamenopause yang mengalami

osteoporosis dan tidak mengalami osteoporosis di RSUD dr. Soedarso Pontianak.

Metodologi dalam penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional

dengan pendekatan case control. Data diambil secara consecutive sampling untuk

27 subjek kasus dan kontrol. Subjek yang memenuhi kriteria diukur densitas

tulang menggunakan densitometri QUS dan menjawab pertanyaan pada kuesioner

aktivitas fisik GPAQ. Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan
13

SPSS 20. Hasil terdapat perbedaan bermakna antara aktivitas fisik total dan

terjadinya osteoporosis pascamenopause (p<0,01). Sehingga dapat ditarik

kesimpulan adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik total dan

terjadinya osteoporosis pasca menopause (17).

Penelitian selajutnya dilakukan oleh Handayani, Oktavianus, Trianto

(2013) tentang gambaran risiko osteoporosis berdasrkan indeks massa tubuh pada

lanjut usia di Panti Sosial Tresnawerdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya

Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

cross sectional. Sebanyak 51 orang lanjut usia dijadikan sampel penelitian

dengan metode total sampling. Berat badan diukur dengan timbangan digital,

tinggi badan diukur menggunakan microtoise staturemeter, Osteoporosis dinilai

melalui pengukuran densitas tulang dengan menggunakan Hologic Sahara

Quantitative Ultrasound Densitometry (QUS) pada tulang calcaneus, yang

digolongkan menjadi 3 yaitu normal, osteoporosis, osteopenia. Hasil: Sebanyak

31 orang lansia (60,8%) mengalami osteoporosis, sebanyak 30 orang lansia

(58,8%) memiliki indeks massa tubuh normal. Osteoporosis terjadi sebanyak

71,4% pada lansia dengan IMT< 17, 100% pada lansia dengan IMT 17-18,4,

60% pada lansia dengan IMT 18,5-24,9, 50% pada lansia dengan IMT 25-27, dan

20% pada lansia dengan IMT >27. Kesimpulan: Kejadian osteoporosis di Panti

Sosial Tresna Werdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya terjadi paling

banyak pada lansia dengan IMT 17-18,4, dan paling sedikit pada lansia dengan

IMT >27 (18).


14

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Pratiwi (2014) tentang faktor yang

berhubungan dengan kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun

2014, Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Data yang digunakan

adalah data primer melalui hasil wawancara dengan responden dan data

sekunder dari catatan buku kunjungan responden di Puskesmas Pondok

Betung Tangerang Selatan. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan

uji univariat dan bivariat. Total responden yang diteliti adalah 51 responden,

yaitu semua pasien dengan osteoporosis. Variabel yang terbukti menjadi faktor

risiko osteoporosis adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi

kortikosteroid, menopause, aktivitas Fisik dan merokok. Sedangkan yang tidak

terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah indeks massa tubuh dan riwayat

Fraktur (19).

Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Januwati, Yunitasari, dan

Nastiti (2015) tentang hubungan antara aktifitas fisik dengan resiko osteoporosis

wanita menopause pada ibu PKK RT 02 RW 01 di Kelurahan Komplek Kenjeran

Surabaya, Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman’s

Rho dengan α = 0.01 diperoleh Nilai Sign.(2tailed) = 0.00 atau < α . Hasil ini

menunjukkan bahwa H1 diterima, artinya terdapat hubungan yang signifikan

antara aktifitas fisik dengan resiko kejadian osteoporosis pada wanita menopouse

di RT 2/ RW 1 kelurahan komplek Kenjeran Surabaya. Nilai koefisien korelasi -

0.699 menunjukkan bahwa korelasi ini memiliki kekuatan yang cukup kuat

dengan arah hubungan negatif atau berlawanan yang artinya jika aktifitas fisik
15

tinggi maka resiko osteoporosis rendah, begitupun sebaliknya jika aktifitas fisik

rendah maka resiko osteoporsis akan tinggi (20).

2.2. Telaah Teori

2.2.1. Osteoporosis

Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang

ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks

dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan

tulang sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang (21). Osteoporosis ditandai

oleh kekuatan tulang yang mengarah kepada peningkatan risiko fraktur,

demikianlah pentingnya kekuatan tulang dalam terjadinya risiko patah tulang.

Sedangkan tulang yang rendah kepadatan tulangnya adalah salah satu faktor risiko

yang paling utama untuk terjadinya fraktur (22).

Pengertian osteoporosis yang telah disepakati oleh Consensus

Development Conference Diagnosis Prophylasisand Treatment of Osteoporsis

tahun 1991 adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa

tulang dan menurunnya mikroarsitektur jaringan tulang, yang menyebabkan

peningkatanfragilitas tulang dan peningkatan risiko fraktur (23).

Secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone

Mineral Density (BMD) yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari 2,5 SD

dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral

Density T-score< -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai-2,5 SD dari

orang dewasa muda sehat (21). 13-18% wanita di atas 50 tahun memiliki

osteoporosis dan 37-50% memiliki osteopenia. Kondisi lain yang berkaitan


16

dengan osteoporosis adalah osteopenia yang merupakan keadaan dimana

kepadatan tulang sudah berkurang. Bila kondisi osteopenia terusberlanjut maka

keadaannya dapat berubah menjadi osteoporosis. Dengan kata lain kondisi

osteopenia merupakan tahapan yang sudah berisiko untuk menajdi osteoporosis.

Sebutan lain dari osteoporosis adalah silent diseasekarenapada stadium awal

tidak menimbulkan gejala yang nyata, gambaran radiologi baru jelas bila

penurunan densitas mineral tulang lebih dari 30% (24).

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis

dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan

kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan

femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada

tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini.

Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan

(trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang

menyebabkan fraktur. Ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan

rendahnya densitas tulang (23).

A. Epidemologi

Di Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia diatas 45 tahun menderita

osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa tulang yang

selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita

osteoporosis adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat menderita

osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan massa tulang yang menjadi risiko

untuk osteoporosis. Satu dari 2 wanita dan satu dari 4 pria diatas berusia 50
17

tahun akan menjadi fraktur yang berhubungan dengan fraktur selama hidup

mereka. Di negara berkembang seperti Cina, osteoporosis mencapai proposi

epidemik. Terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun (25).

Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih rendah dibanding

populasi kaukasian. Studi juga mendapatkan bahwa massa tulang orang Asia lebih

rendah dibandingkan massa tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur

pada orang Asia didapatkan lebih sedikit (26).

B. Klasifikasi Osteporosis

Osteoporosis diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Osteoporosis Post Menenopause

Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang

membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.

Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi bisa

muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita mempunyai risiko

yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopause, wanita kulit putih dan

daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini dari pada wanita kulit hitam.

b. Osteoporosis Senilis

Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia

dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan

tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.

Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering

menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan

postmenopausal
18

c. Osteoporosis Sekunder

Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis. Yang disebabkan oleh

keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa

disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid dan

paratiroid) dan obat-obatan kortikosteroid,barbiturat, anti kejang dan hormon

tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa

memperburuk keadaan osteoporosis.

d. Osteoporosis Juvelin Idiopatik

Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui. Hal ini

terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memilki kadar dan fungsi

hormonal yang normal, kadar vitamin yang normal tidak memiliki penyebab yang

jelas dari rapuhnya tulang (27).

Menurut Ai Sri Kosnayani, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai

berikut : (28)

a. Osteoporosis Primer

Ada beberapa pendapat tentang osteoporosis, yang paling dikenal ada 2

tipe osteoporosis yaitu : (28)

1) Osteoporosis tipe I ditandai dengan demineralisasi pada tulang belakang

terutama pada bagian lumbar dan tulang lengan. Osteoporosis tipe I l ebih

banyak terjadi pada wanita pascamenopouse yang berumur antara 51-65 tahun

atau 1-15 tahun sesudah menopause, karena itu osteporosis tipe I sering

disebut osteoporosis pascamenopouse yang berhubungan dengan menopause

dan penurunan kadar estrogen.


19

2) Osteoporosis tipe II ditandai dengan demineralisasi pada tulang belakang,

pelvis, humerous dan tibia. Terjadi pada laki-laki dan perempuan yang

berumur diatas 70-75 tahun. Pada osteoporosis tipe II, tulang trubekular dan

kortikal dipengaruhi oleh peningkatan umur yang mengakibatkan menurunnya

aktifitas sel tulang terutama aktivitas osteoblas. Faktor lain yang

mempengaruhi terjadinya osteoporosis tipe II adalah penurunan sintesis

kalsitriol yang disebabkan oleh menurunnya aktifitas enzim 1-hydroxylase

dalam ginjal dan penurunan absorbsi kalsium intestinal karena penuaan. Jika

ini terjadi keadaan akan berlipat ganda apabila ditambah dengan rendahnya

asupan kalsium dan atau tingginya asupan fosfor yang memacu peningkatan

konsentrasi hormon paratiroid karena tingginya konsentrasi hormon paratiroid

darah akan merangsang hormon resorpsi tulang dan meningkatkan

demineralisasi tulang. Menurut Kosnayani, Osteoporosis tipe II disebut juga

senile Osteporosis, dimana osteoprosis tipe I dan tipe II mempunyai

perbedaan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Osteoporosis Tipe I dan Tipe II


No. Parameter Osteoporosis
Tipe I (Menopause) Tipe II (Senile)
1 Umur 55-57 tahun >75 tahun
2 Rasio 6;1 2;1
3 Bone Loss Trabelukar > Trabelukar =
Kortek Kortek
4 Patah Tulang Spinal Fremur tulang
5 Penyebab Utama Estrogen Berkurang Umur
6 Pentingnya Kalsium Kurang Sangat Penting
Dalam Diet
20

Osteoporosis
No. Parameter
Tipe I (Menopause) Tipe II (Senile)
7 Absorbsi Kalsium Turun Turun
8 Hormon Paratyroid Turun Naik
Sumber: Ai Sri Kosnayati (2007)

b. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya,

yaitu karena adanya penyakit lain yang mendasari, definisi atau konsumsi obat

yang dapat menyebabkan osteoporosis.

1) Penyebab Genetik

(a) Kistik fibrosis

(b) Ehlers – Danlos Syndrome

(c) Penyakit penyimpanan glikogen

(d) Penyakit Gaucher

(e) Hemokromatosis

(f) Homosistinuria

(g) Hiperkalsiura idiopatik

(h) Sindroma marfan

(i) Osteogenesis imperfekta

2) Keadaan Hipogonad

(a) Insensitifitas androgen

(b) Anoreksia nervosa / bulimia nervosa

(c) Hiperprolaktinemia

(d) Menopause prematur

3) Gangguan endokrin

(a) Akromegali
21

(b) Insifisiensi adrenal

(c) Sindroma Cushing

(d) Diabetes Melitus

(e) Hiperparatiroidism

(f) Hipertiroidisme

(g) Hipogonadism

(h) Kehamilan

(i) Prolaktinoma

4) Gangguan yang diinduksi obat

(a) Glukokortikoid

(b) Heparin

(c) Antikonvulsan

(d) Barbiturate

(e) Antipsikotik

C. Patogenesis Osteoporosis

Tulang merupakan jaringan ikat yang dinamik dalam metabolisme

pembentukan dan penyerapan tulang yang dinamakan bone remodeling yang

merupakan fungsi 2 sel tulang yaitu osteoblas dan osteoklas. Dalam masa

pertumbuhan bone remodeling atau sampai mencapai puncak pada usia dekade ke

3 dan kemudian bergeser kearah penyerapan lebih banyak akibat proses

degenerasi, sehingga terjadi osteoporosis yang rentan terhadap timbulnya fraktur.

Kegiatan osteoblas dan osteoklas dipengaruhi oleh multi-faktor. Etiologi pada

manula mungkin karena menurun, defisiensi Vitamin D, perubahan hormonal


22

(estrogen, PTH, kalsitonin) serta kegiatan fisik yang menurun atau gaya hidup

(29).

Tulang terdiri dari dari 2 bagian yaitu bagian dalam yang terdiri dari

tulang trabekula berbentuk seperti sarang lebih (spongiosa) dan bagian luar yang

padat (korteks) yang pada proses penuaan, trabekula berkurang dan tulang

korteks menipis sebagai akibat dari metabolisme negatif (artinya katabolik lebih

dasar dari anabolik) karena pengaruh hormonal dan hal ini jelas tampak bahwa

ostepenia/osteoporosis lebih sering terdapat pada wanita pasca menopause karena

berkurangnya estrogen. Kegiatan osteoblas yang berasal dari mesenchym

bermigrasi membentuk matrik kolagen yang kemudian akan terjadi osteosit

(mengalami mineralisasi dan terbentuknya tulang baru) yang berperan dalam

pengaturan kecepatan bone turnover, secara lokal yang dipengaruhi pula oleh

faktor mekanik. Osteoklas yang merupakan sel dengan banyak inti berasal dari

makrofag sumsum tulang atau dari monosit dalam sirkulasi yang disebut

preosteoklas, berfungsi dalam proses penyerapan resorpsi tulang.

Siklus remodeling tulang dimulai dengan aktifitas dari resorpsi tulang

oleh aktivitas osteoklas sehingga terbentuk Lakuna Howship pada trabekula dan

Haversian pada korteks, diikuti dengan pengendapan substansi semen oleh

selmonokuler dan terjadilah pembatasan antara bagian resorpsi dan pembentukan

tulang baru. Estrogen juga merangsang growth factor yang menyebabkan

pembentukan tulang. Oleh karena itu pada masa pertumbuhan, pembentukan

tulang lebih banyak dari kerusakan yang mencapai puncaknya pada usia dekade

ke 3 dan kemudian setelah usia 30 aktivitas osteoklas tidak dapat diimbangi oleh
23

osteoblas, karena penurunan kadar estrogen akibat proses degenerasi rangsangan

pada osteoblas kurang, sehingga terjadilah keadaan yang disebut osteopenia

(BMD-1SD dan -2,5 SD dari T-score). Apabila terus berlanjut akan terjadi

osteoporosis (-5 SD dari T-score atau kurang) dengan risiko timbulnya fraktur

pada cedera yang ringan (29).

Massa tulang pada orang dewasa yang lebih tua setara dengan puncak

massa tulang puncak yang dicapai pada usia 18-25 tahun dikurangi jumlah

tulangyang hilang. Puncak massa tulang sebagian besar ditentukan oleh faktor

genetik, dengan kontribusi dari gizi, status endokrin, aktifitas fisik dan kesehatan

selama pertumbuhan. Proses remodeling tulang yang terjadi bertujuan untuk

mempertahankan tulang yang sehat dapat dianggap sebagai program

pemeliharaan, yaitu dengan menghilangkan tulang tua dan menggantikannya

dengan tulang baru. Kehilangan tulang terjadi ketika keseimbangan ini berubah,

sehingga perpindahan tulang berjumlah lebih besar daripada penggantian tulang.

Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena adanya menopause dan bertambahnya

usia (29).

Pemahaman pathogenesis osteoporosis primer sebagian besar masih

deskriptif. Penurunan massa tulang dan kerapuhan meningkat dapat terjadi karena

kegagalan untuk mencapai puncak massa tulang yang optimal, kehilangan tulang

yang diakibatkan oleh resorpsi tulang meningkat atau penggantian kehilangan

tulang yang tidak adekuat sebagai akibat menurunnya pembentukan tulang. Selain

itu, analisis pathogenesis osteoporosis harus mempertimbangkan heterogenitas

ekspresi klinis (29).


24

D. Diagnosis Osteoporosis

Diagnosis penyakit osteoporosi kadang-kadang baru diketahui setelah

terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau

patah tulang lainnya pada lanjut usia, baik pria maupun wanita (30). Diagnosis

osteoporosis dulunya ditentukan dengan sinar-X biasa. Namun dengan cara ini

berkurangnya massa tulang baru terlihat setelah kehilangan 40% dari massa

tulang. Setelah tahun 1980an dikembangkan metode baru yang lebih akurat untuk

mengukur kepadatan tulang yang dikenal dengan “Bone Mineral Density”(BMD)

tes. Metode ini tidak menyebabkan rasa sakit dan noninvasif scan serta dosis

radiasinya sangat rendah. Tes ini sebaiknya dilakukan bagi orang-orang yang

mempunyai faktor risiko tinggi untuk menderita osteoporosis (31).

BMD atau tingkat densitas tulang merupakan prediktor paling kuat

terhadap kejadian fraktur. Risiko fraktur pada orang dewasa dua kali rata-rata

terhadap pengurangan SD (standar deviasi) pada variasi pengukuran (tulang

rusuk, pinggul dan pergelangan tangan). Maksudnya adalah risiko fraktur pada

seorang individu dengan BMD dibawah 20% dari populasi adalah lima kali lebih

tinggi dibandingkan dengan individu lain dengan usia dan jenis kelamin yang

sama (32).

WHO menentukan aturan terhadap pengukuran BMD sebagai diagnosis

penyakit osteoporosis.

a) Normal: densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata-rata

dewasa muda (T>-1).


25

b) Osteopenia : densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar deviasi

dibawah rata-rata dewasa muda normal (-2,5< T < -1).

c) Osteoporosis: densitas tulang lebih dari 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata

dewasa muda normal (>- 2,5).

Meskipun berbagai kriteria densitometrik digunakan untuk mendifinisikan

osteoporosis, kriteria berdasarkan pengukuran masa tulang, umumnya yang

paling banyak diterima dan digunakan. Beberapa metode BMD tes yang saat ini

sering dilakukan antara lain:

a. DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry)

Ada beberapa cara untuk mengukur massa tulang, namun yang paling

sering digunakan adala DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry). Metode ini

mengukur massa tulang di pinggul, pergelangan tangan, tulang belakang atau

seluruh rangka dan sering disebut dengan scan tulang. Nilai massa tulang yang

didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD=Bone

Mineral Density) sedangkan nama umum untuk pengukuran tulang adalah

densitometri tulang. Untuk mengukur massa tulang dengan scan tulang, pasien

perlu berbaring. Sebuah bantal diletakkan di bagian bawah paha agar tulang

belakang bagian bawah berada dalam posisi selurus mungkin selama pengukuran.

Batang logam tipis bergerak dari atas ke bawah daerah yang diukur dan pasien

perlu masuk kedalam tabung, seperti mesin scan lainnya. Pasien tidak perlu

menanggalkan baju, hanya saja pakaian yang mengandung logam perlu

ditinggalkan sebelum pengukuran. Selain itu, tidak perlu penyuntikan atau

prosedur lain yang menyusahkan (33).


26

b. QST (Quantitative Computed Tomography)

Dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang bagian

bawah (low spine), tempat dimana biasa mengalami perubahan massa tulang

paling sering pasa usia lanjut. QCT digunakan untuk mengukur kepadatan tulang

lengan bawah. Dosis radiasi pada tes ini lebih besar 10 kali dari pada DXA dan

juga lebih mahal (31).

c. QUS (Quantitative Ultrasound)

Tes ini menggunakan gelombang suara, dapat digunakan untuk mengukur

kepadatan tulang tumit, tulang kering (tibia) dan jari-jari. Massa tulang juga bisa

diukur dengan gelombang ultrasonik, caranya disebut peredaman gelombang

ultrasonik (BUA= broadband ultrasoun attenuation). Cara ini biasa digunakan

untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus), biasanya kaki direndam dalam

air. Cara ini tidak menggunakan radiasi, oleh karena itu sangat aman (33).

Osteoporosis dinilai dengan menggunakan Hologic Sahara Quantitative

Ultrasound Densitometry (QUS) pada tulang calcaneus. Alat ini memiliki 2

membran transduksi BUA dengan diameter 19 mm yang ditempelkan pada tumit

melalui bantalan elastomerik yang diolesi dengan gel. Alat ini dapat bekerja pada

suhu lingkungan antara 15°C hingga 37,7° C dan kelembaban relatif 20% hingga

80%. Alat ini menggabungkan pengukuran BUA (desibel per megahertz) dan

SOS(meter per detik) pada zona sentralcalcaneus, untuk mengetahui perkiraan

densitas mineral tulang tumit (Heel Bone Mineral Density) yang kemudian

ditampilkan sebagai skor T yang dihitung berdasarkan persamaan: HBMD

(gram/cm2) = 0,002692 × (BUA+SOS) – 3,687 (30).


27

Quantitative Ultrasound mengukur densitas massa tulang dengan

mengukur kecepatan dan jumlah suara yang ditransmisikan ke tulang dan alat ini

dapat digunakan pada tulang dengan jaringan lunak dalam jumlah sedikit seperti

calcaneus atau tumit. Calcaneus terdiri atas 95% tulang trabekular. Menurut

penelitian ultrasound pada tumit merupakan prediktor risiko fraktur yang lebih

baik dibandingkan ultrasound pada phalanges. Kecepatan suara lebih tinggi pada

tulang yang padat dan lebih rendah pada tulang yang tidak padatatau tulang yang

memiliki banyak rongga (34).

E. Gejala Osteoporosis

Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita

osteoporosis senilis), sehingga pada awal osteoporosis tidak menimbulkan gejala.

Namun, kemudian muncullah gejala-gejala seperti :

a. Nyeri terus-menerus yang tidak kunjung hilang

Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi menipis,

timbulah nyeri tulang dan kelainan bentuk. Menipisnya tulang belakang

menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa

patah secara spontan atau terkena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara

tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu di punggung, yang akan bertambah

nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan

terasa sakit, akan tetapi biasanya rasa sakit akan menghilang secara bertahap

setelah beberapa minggu atau bulan (35).


28

b. Tubuh memendek

Ketika beberapa tulang belakang hancur, akan terbentuk kelengkungan yang

abnormal dari tulang belakang yang menyebabkan ketegangan otot dan

timbul rasa sakit. Tulang lain bisa ikut patah, kerap kali disebabkan oleh

tekanan ringan atau karena jatuh.

c. Mudah menderita patah tulang terutama tulang pinggul

d. Disertai gejala menopause: panas, banyak keringat, keputihan, dan susah tidur

e. Pascamenopause : pelupa, nyeri tulang belakang (35).

F. Patofisiologi Osteoporosis

Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan.

Tulang memilki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan

menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk

membentuk tulang). Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan,

akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh

sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang). Kemudian terjadi

penyerapan kembali yang dilakukan oleh osteoklas dan nantinya akan

menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam (35). Dengan demikian tulang

yang sudah diserap osteoklas yang berasal dari prekusor di sumsum tulang

belakang setelah sel osteoklas hilang (33).

Endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut dan hormon yang

mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resopsi tulang menjadi lebih cepat) dan

estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteoporosis,

terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja


29

osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoklas lebih besar daripada

osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulangpun akan menurun, dan akhirnya

terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis.

Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang

sehingga mengakibatkan kerapuhan. Terjadinya osteoporosis secara seluler

disebabkan oleh karena jumlah dan aktifitas sel osteoklas melebihi dari jumlah

dan aktifitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan ini mengakibatkan

penurunan masa tulang. Selama pertumbuhan, tubuh meningkat dalam ukuran

dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada

permukaan luar korteks. Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama, yaitu:

untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk

mempertahankan kekuatan tulang rangka dan mensuplai kalsium dari tulang

rangka untuk mempertahankan kalsium serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh

kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress.

Kebutuhan akut kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas

sebagaimana juga transport kalsium oleh osteosit, peningkatan remodeling tulang

dan kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan (31).

Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersikulas,

termasuk estrogen, androgen, vitamin D dan hormon paratiroid (PTH), demikian

juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF-II,

transforming growth factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide

(PTHrP), ILs, prostaglandin dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF).

Faktor ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling baru
30

teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti

oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh

osteoblas. Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi diantara osteoblas, sel-

sel sumsum tulang lain dan osteoklas telah diidentifikasi sebagai RANK ligan

(reseptor activator dari NF-kappa-B; RANKL) RANKL, anggota dari keluarga

TFN, disekresi oleh osteoblas dan sel-sel tertentu dari system imun (36).

Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktifitas

RANK dan RANKL merupakan suatu jalur final umum dalam perkembangan

dan aktifitas osteoklas. Umpan hormonaluntuk RANKL, juga disekresi oleh

osteoblas, desebut sebagai osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktifitas

osteoklas tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh

tambahan juga termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat aktifitas

fisik. Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi, fibroblast sinoval

dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke reseptor ikatan-membran RANK

untuk memicu diferensiasi, aktivitas, dan survival osteoklas. Sebaliknya ekpresi

osteiproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor yang menghambat katabolisme tulang

memicu efek anabolkc. OPG mengikat dan menetralisir RANKL, memicu

hambatan osteoklastogenesis dan menurunkan survival osteoklas yang

sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti NBF, PTH,

hormone paratiroid, PGE2, prostaglandin E2, TNF, tumor necrosis factor, LIF,

Leukimia inhibitory factor, TP, thrombospondin, PDGF, platelet-derived growth

factor, OPG-L, osteoprotegerin-ligand, IL, interleukin, TGF-, transforming


31

growth factor. Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi oleh jumlah yang

seimbang jaringan tulang baru (21).

Masa tulang rangka tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah

tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30-45 tahun, proses resorpsi dan formasi

menjadi tidak seimbang dan resorpsi melebihi formasi. Ketidakseimbangan

ini dapat dimulai pada lokasi tulang rangka yang berbeda, ketidakseimbangan

ini terlebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa tulang yang

berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu

penurunan aktivitas osteblas. Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang

membuat pengurangan reversible pada jaringan tulang tetapi dapat juga

menghasilkan kehilangan jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang

panjang (21).

Gambar 2.1 Skema Terjadinya Osteoporosis


Sumber : Wachjudi, 2008

Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat

digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan

pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik
32

menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga

meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik

secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan

meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan

hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid

seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan

resorpsi tulang (37).

2.2.2. Faktor Risiko Osteoporosis

Faktor risiko osteoporosis pada lanjut usia yang berhubungan dengan

penurunan kualitas hidup dan kepadatan tulang akibat proses penuaan.

A. Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi

a. Faktor Demografi

1) Usia

Usia adalah salah satu dari faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat

direkayasa, Pada lanjut usia daya serap kalsium akan menurun seiring dengan

bertambahnya usia (7). Setelah usia 40 tahun, akan terjadi peningkatan risiko

fraktur hal ini berkaitan dengan osteoporosis pada laki-laki juga perempuan.

Insiden fraktur distal radius meningkat setelah usia 40 tahun dan meningkat

hingga usia 55 tahun pada laki-laki dan usia 65 tahun pada wanita. Rasio

terjadinya fraktur distal radius antara wanita dan pria adalah 2:1 (pada usia lebih

dari 35 tahun) sedangkan rasionya menjadi 8:1 (setelah usia 80 tahun) (38).

Menurut Ilyas, indonesia pada kurun waktu antara tahun 1990-2050

akan mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia (lansia) diatas 50 tahun pada tahun
33

2015 kelak akan mencapai kurang lebih 24 juta orang kira-kira 10% dari

jumlah total penduduk Indonesia yang ada. Pada tahun 2020 jumlah lansia akan

meningkat lagi menjadi 29 juta orang atau menjadi 11,4% dari total penduduk

(39).

Menurut Indonesia White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan

Osteoporosis Indonesia (Perosi) pada tahun 2007 yaitu osteoporosis pada wanita

yang berusia di atas 50 tahun mencapai 32,3% dan pada pria usia diatas 50 tahun

mencapai 28,8 %. Secara keseluruhan percepatan proses penyakit osteoporosis

pada wanita Indonesia sebesar 80% dan pria 20% (35). Prevalensi osteoporosis

pada usia kurang dari 55 tahun lebih tinggi pada laki-laki, tetapi setelah usia

diatas 55 tahun ternyata prevalensi osteoporosis lebih tinggi pada perempuan (8).

Tulang mempunyai 3 permukaan, atau biasa disebut juga dengan envelop,

dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang

yang menghadap lubang sumsung tulang disebuut dengan endosteal envelop,

permukaan luarnya disebut periosteal envelop, dan diantara keduanya terdapat

intracortical envelop. Ketika masa anak-anak, tulang baru terbentuk dalam

periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang

kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena

meningkatnya produksihormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia,

pertumbuhan tulang akan semakin berkurang (21).

Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-56

tahun) dari pada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki

hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara


34

osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga denga fraktur osteoporotic

akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan

meningkat secara bermakna setelah umur 50 tahun, fraktur vertebra meningkat

setelah umur 60 tahun, dan fraktur pangggul sekitar 70 tahun (40).

b. Faktor Status Kesehatan

1) Riwayat Keluarga

Besarnya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor genetik,

terutama diturunkan dari pihak ibu kepada anak wanitanya. Wanita yang dalam

sejarah kesehatan keluarga, nenek atau ibunya, pernah mengalami patah tulang

belakang lebih berisiko mengalami pengurangan massa tulang. Osteoporosis

juga berhubungan dengan adanya riwayat keturunan. Jika memiliki riwayat

keluarga yang menderita osteoporosis diperkirakan 60-80% salah satu anggota

keluarganya akan mudah mengalami patah tulang belakang maka anak

wanita akan lebih muda untuk mengalami penurunan masa tulang lebih

cepat dan lebih berisiko mengalami osteoporosis (41).

2) Riwayat Fraktur

Orang yang pernah mengalami riwayat fraktur akan berisiko terkena

fraktur lagi karena mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita yang

pernah patah tulang belakang risiko mengalami patah tulang pergelangan

tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali dan tulang panggul 2-3 kali.

Pada orang yang pernah mengalami patah tulang pergelangan tangan akan

berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-4 kali, patah tulang

belakang 2-7 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali. Pada orang yang pernah
35

patah tulang panggul akan berisiko mengalami patah tulang belakang 2-3 kali

dan patah tulang panggul 1-2 kali. Beberapa penelitian sebelumnya telah

menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko

osteoporosis (42).

B. Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi

a. Faktor Gaya Hidup

1) Merokok

Kebiasaan merokok juga bisa merusak tulang. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa merokok bisa menurunkan estrogen dan mempercepat

menopause. Suatu penelitian terhadap 300 wanita muda usia 20-29 tahun yang

sehat tapi perokok ternyata BMD tulang relatif lebih rendah. Demikian juga

wanita setelah menopause yang merokok lebih banyak mengalami patah tulang

panggul daripada yang tidak merokok. Penyerapan kalsium di usus orang yang

biasa merokok menjadi terganggu padahal kalsium dibutuhkan untuk

pertumbuhan tulang (27). Dengan berhenti merokok secara total, membuat

estrogen dalam tubuh seseorang beraktifitas dan juga dapat mengeliminasi risiko

kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang mencakup 20%-30% pada

pria dan 40%-50% pada wanita (43).

Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen

sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah

daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan

mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat

badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini (kira-kira
36

5 tahun lebih awal) dari pada non-perokok. Berdasarkan hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan di Padang Pariaman dari 38 responden yang memiliki

riwayat sebagai perokok, sebagian besarnya (86,8%) berada pada tingkat risiko

tinggi osteoporosis (43).

Merokok berhubungan dengan rendahnya kepadatan mineral tulang,

meningkatkan kehilangan massa tulang dan semakin tinggi risiko pada tulang

pada pria. Namun belum diketahui apakah merokok mempengaruhi sirkulasi

level endrogen atau memiliki efek langsung terhadap jaringan tulang (36).

Merokok berhubungan dengan massa tulang yang rendah, mempercepat masa

menopause dan meningkatkan kehilangan massa tulang pada pasca menopouse.

Selain itu pada wanita, merokok juga dapat menurunkan sirkulasi konsentrasi

estrogen yang dapat meningkatkan kerja osteoklas dalam meresorpsi tulang

sehingga menyebabkan tulang kehilangan massanya. Sebuah penelitian yang

dilakukan Ai Sri Kosnayani (2007) menyebutkan bahwa pada saudara kembar

melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok selama masa

dewasanya akam mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5-10%

dari tulang mereka ketika menopause tiba (28).

Adapun klasifikasi perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi

perhari yaitu sebagai berikut:

(a) Tidak merokok : tidak mengkomsumsi rokok

(b) Perokok ringan : < 10 batang/hari

(c) Perokok sedang : 10-20 batang/hari

(d) Perokok berat : > 20 batang/hari (44).


37

2) Aktifitas Fisik

Orang yang tidak bergerak lama, tidak ada rangsangan gravitasi bumi

atau tekanan mekanik lain, akan membuat banyak mineral tulang hilang dan

menyebabkan tulang menjadi keropos. Kurangnya olahraga dan latihan secara

teratur, menimbulkan efek negatif yang menghambat proses pemadatan massa

tulang dan kekuatan tulang. Namun olahraga yang sangat berlebih (maraton,

atlit) pada usia muda, terutama anak perempuan yang telah haid akan

menyebabkan haidnya terhenti karena kekurangan estrogen sehingga penyerapan

kalsium berkurang dengan segala akibatnya. Kurang gerak badan akan

mengurangi kepadatan tulang, kekuatan dan kebugaran juga akan

membuatkalsium keluar semakin meningkat melalui urin yang akan

menyebabkan tulang menjadi keropos. Pada usia lanjut, kurang gerak badan

menyebabkan lemahnya otot dan meningkatkan risiko jatuh dan patah tulang.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa aktivitas fisik di masa lalu dapat

mengurangi risiko terjadinya patah tulang pinggul sebesar 1/3 nya (43).

Aktifitas fisik sangat mempengaruhi pembentukan massa tulang, beberapa

hasil penelitian menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki, berenang, dan

naik sepeda pada dasarnya memberi pengaruh melindungi tulang dan

menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Aktifitas fisik

sangat mempengaruhi embentuka massa tulang. Beberapa hasil penelitian

menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki, dan naik sepeda pada dasarnya

memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang

karena pertambahan umur (23).


38

Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau

anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang, seperti jalan kaki, jogging,

aerobik (termasuk dansa) atau jalan naik turun bukit. Aktifitas fisik juga dap at

dilihat dari kebutuhan energi untuk aktifitas yang dilakukan sehari-hari dengan

cara mencatat semua waktu kegiatan dalam satuan jam dan selanjutnya

dikalikan dengan kebutuhan energi untuk tiap jenis aktivitas dalam satuan

kalori/kg berat badan/jam. Kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2. Kebutuhan Energi Berbagai Aktivitas


Aktivitas Kall/Kg/Jam Aktivitas Kall/Kg/Jam
Bersepeda (cepat) 7,6 Main piano 1,4
Bersepeda (sedang) 2,5 Membaca keras 0,4
Bertukang/kayu 2,3 Berlari 7,0
(berat) Menjahit tangan 0,4
Menyulam 0,4 Menjahit mesin 0,6
Berdansa (cepat) 3,8 Menjahit mesin 0,4
Berdansa (sedang) 3,0 jahit motor
Mencuci piring 1,0 Menyayi keras 0,8
Mengganti baju 0,7 Duduk diam 0,4
Menyetir mobil 0,9 Berdiri tegap 0,6
Makan 0,4 Berdiri relaks 0,5
Mencuci pakaian 1,3 Menyapu lantai 1,4
Tiduran 0,1 Berenang 7,9
Mengupas Kentang 0,6 3km/jam
Main pingpong 4,4 Mengetik cepat 1,0
Menulis 0,4 Berjalan 3km/jam 2,0
Mengecat Kursi 1,5 Berjalan 3,4
6,8km/jam (cepat)
Berjalan 9,3
10km/jam (sangat
cepat)
Sumber : Ai Sri Kosnayani, 2007

Menurut Muhilal dkk (1994), melalui perhitungan Angka Metabolisme

Basal (AMB) responden dengan menggunakan persamaan menurut FAO (1985):

Wanita dengan usia 30 – 60 tahun : 8,7 BB + 829 kkal


39

Wanita dengan usia > 60 tahun : 10,5 BB + 596 kkal

Aktifitas fisik dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

(a) Ringan (jenis kegiatan 25 % waktu yang digunakan untuk duduk atau berdiri,

75% untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi

totalnya (AMB + aktivitas fisik) atau sebesar 1,55 AMB

(b) Sedang (jenis kegiatan 40% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 60%

untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi totalnya (AMB+

aktifitas fisik) atau sebesar 1,70 AMB3.

(c) Berat (jenis kegiatan 75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri,

25% untuk beridir atau bergerak) untuk wanita kebuutuuhan energi totaknya

(AMB+aktifitas fisik) atau sebesar 2,00 AMB.

Adapun aktivitas fisik yang baik seperti berjalan kaki, bersepeda, berlari,

berenang, dan lain-lain berdasarkan waktu pelaksanaan yang baik dan sehat

dilakukan minimal 3 kali setiap minggu selama 30 menit dan menjadi rutinitas.

Adapun kurang dari angka tersebut dikatakan aktivitas fisik atau olahraga yang

buruk dan tidak baik untuk kesehatan (45).

b. Faktor Metabolik

1) Penyakit

Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing manis lebih

mudah mengalami osteoporosis. Insulin merangsang pengambilan asam amino

ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kolagen. Kontrol gula yang

buruk juga akan memperberat metabolisme vitamin D pada penyakit tiroid atau

gondok. Kadar hormon tiroid tinggi atau berlebihan sehingga menyebabkan


40

penurunan massa tulang, begitu pula pada hipotiroid yang diberi pengobatan

hormon tiroksin. Beberapa penyakitseperti penyakit hati kronis, gagal ginjal

kronis serta beberapa kanker tertentu dikaitkan dengan timbulnya kerapuhan

tulang misalnya kanker sumsum tulang (6).

Penurunan densisitas tulang sering dialami penderita DM, bahkan dapat

terjadi fraktur. Penurunan massa tulang bersama sama dengan onset DM, namun

patogenesisnya masih belum jelas, ada dugaan diakibatkan defisiensi insulin,

terbuangnya kalsium pada saat glikosuria, atau peningkatan resorpsi karena sebab

lain. Pada DM tipe I, telah diamati dalam beberapa penelitian ternyata di dapatkan

gambaran radiologis pada tulang padat terdapat penipisaan struktur tulang.

Hal ini diduga disebabkan akibat kontrol gula darah yang buruk. Tetapi dalam

penelitian yang lebih besar tidak ditemukan hubungan kejadian frantur dengan

DM tipe I. Ketidaksesuaian ini disebabkan adanya perbedaan antara pemeriksaan

densitas tulang dengan tempat terjadinya fraktur. Pengukuran dengan

densitometry ternyata tidak adekuat pada penderita DM tipe Idisebabkan adanya

perbedaan/perubahan berat badan, sedangkan pada penderita dengan risiko tinggi

terhadap osteoporosis biasa terjadi pada tulang berongga biasanya pada penderita

dengan neurapati perifer, yaitu pada pergelangan kaki. Pada DM tipe II, densitas

tulang pada wanita tidak terjadi penurunan. Hal ini disebabkan pembentukan

massa tulang yang lebih daripada normal, yang berhubungan dengan peningkatan

indeks massa tubuh pada DM tipe II. Beberapa penelitian menduga hal tersebut

karena penderita dalam keadaan obese, mungkin juga adanya kadar estrogen dan

amylin yang lebih tinggi pada menopause (43).


41

2.2.3. Menopause

A. Defenisi

Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki banyak arti atau makna

yang terdiri dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa Yunani, yang

digunakan untuk menjelaskan gambaran berhentinya haid atau menstruasi. Hal ini

merupakan akhir proses biologis dari siklus menstruasi, yang dikarenakan

terjadinya perubahan hormon yaitu penurunan produksi hormon estrogen yang

dihasilkan oleh ovarium (46).

Menopause adalah titik dimana menstruasi berhenti. Usia rata-rata

menopause adalah 51,4 tetapi 10% wanita berhenti menstruasi pada usia 40 dan

5% tidak berhenti menstruasi sampai usia 60 tahun. Menopause adalah haid

terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir. Menopause terjadi karena penurunan

fungsi indung telur sehingga produksi hormon estrogen yang mengakibatkan

terhentinya atau matinya haid untuk selamanya (47).

Menopause merupakan suatu proses alami yang tak dapat dicegah.

Umumnya, wanita akan memasuki masa menopause pada awal atau pertengahan

usia 50-an.Menopause merupakan fase terakhir, di mana perdarahan haid seorang

wanita berhenti sama sekali. Fase ini terjadi secara berangsur-angsur yang

semakin hari semakin jelas penurunan fungsi kelenjar indur terlurnya (48).

B. Tahap Menopause

Menurut Mulyani (2013) menopause dibagi dalam beberapa tahapan yaitu

sebagai berikut:
42

a. Pra menopause

Fase ini terjadi pada usia 40 tahun dan dimulainya fase klimakterium.

Gejala yang timbul pada masa pramenopause yaitu :

1) Siklus menstruasi menjadi tidak teratur,

2) Perdarahan menstruasi menjadi tidak teratur,

3) Jumlah darah menstruasi menjadi lebih banyak,

4) Adanya rasa nyeri saat menstruasi.

b. Perimenopause

Yaitu fase peralihan antara masa pra menopause dan pasca menopause.

Gejala-gejala yang timbul pada masa perimenopause yaitu siklus menstruasi

menjadi tidak teratur dan siklus menstruasi menjadi lebih panjang.

c. Menopause

Yaitu fase dimana berhentinya menstruasi atau haid terakhir akibat adanya

perubahan kadar hormon dalam tubuh yaitu menurunnya fungsi estrogen dalam

tubuh. Gejala-gejala yang terjadi pada masa menopause yaitu sebagai berikut:

1) Keringat yang biasanya timbul pada malam hari,

2) Lebih mudah marah atau emosi,

3) Sulit istirahat atau tidur,

4) Haid menjadi tidak teratur,

5) Terjadi gangguan fungsi seksual,

6) Badan bertambah gemuk,

7) Sering kali tidak mampu untuk menahan kencing,

8) Stress dan depresi,


43

9) Nyeri otot sendi,

10) Hot flush atau sering disebut panas,

11) Terjadinya kekeringan pada vagina karena berkurangnya produksi lendir

pada vagina,

12) Terjadinya gangguan pada tulang,

13) Gelisah, khawatir, sulit konsentrasi, dan mudah lupa.

d. Post Menopause

Postmenopause adalah kondisi dimana seorang wanita telah mencapai

masa menopause. Pada masa postmenopause seorang wanita akan muda sekali

mengidap penyakit jantung dan pengeroposan tulang (osteoporosis) (49).

C. Penyebab Menopause

Tubuh wanita mempunyai persediaan sel telur atau ovum dengan jumlah

yang terbatas dan masa menopause itu terjadi ketika ovarium atau indung telur

telah kehabisan sel terlur atau ovum, hal ini menyebabkan produksi hormon dalam

tubuh terganggu yaitu berhentinya produksi hormon seks wanita yang tidak lain

adalah hormon estrogen dan progesterone. Hal tersebut mengakibatkan defesiensi

estrogen karena adanya pengurangan jumlah estrogen yang diproduksi oleh

indung telur (49).

Penurunan fungsi hormon dalam tubuh akan menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi tubuh dan gejala-gejala menopause akan mulai timbul dan

terasa meskipun menstruasi masih datang. Dengan pengurangan jumlah estrogen

yang diproduksi indung telur mengakibatkan haid tidak teratur, dan akhirnya

berhenti (49).
44

D. Jenis Menopause

Menopause pada wanita terbagi menjadi 2 jenis, diantaranya :

a. Menopause prematur

Menopause prematur adalah suatu keadaan diamana seorang wanita

menjadi lebih mudah untuk mengalami gangguan siklus haid dalam bentuk

hilangnya periode haid selama satu tahun sebelum usia 40 tahun. Menopause yang

terjadi pada usia kurang dari usia 40 tahun adalah suatu keadaan abnormal dan

wanita yang mengalaminya memerlukan perhatian khusus (48).

b. Menopause terlambat

Umumnya batas usia terjadinya menopause adalah usia 52 tahun. Namun

apabila ada seorang wanita yang masih mengalami menstruasi atau dalam arti

masih mengalami menstruasi di usia 52 tahun. Ada beberapa faktor yang

mendorong mengapa di usia 52 tahun masih ada wanita yang mengalami

menstruasi, diantara faktor tersebut adalah konstutisionalm fibromioma uteri dan

tumor ovarium yang menghasilkan estrogen. Wanita dengan karsinoma

endometrium sering dalam anamnesis disebut juga dengan menopause terlambat

(49).

E. Tanda dan Gelaja Menopause

Pada masa menopause wanita akan mengalami perubahan-perubahan.

Perubahan yang dirasakan oleh wanita tersebut adalah : (49)

a. Perubahan Pola Menstruasi (perdarahan)

Perdarahan yaitu keluarnya darah dari vagina. Gejala ini biasanya akan

terlihat pada awal permulaan masa menopause. Perdarahan akan terlihat beberapa
45

kali dalam rentang beberapa bulan dan akhirnya akan berhenti sama sekali. Gejala

ini sering kali disebut dengan gejala peralihan. Apabila perdarahan bertambah

berat ini bisa menjadi tanda suatu masalah yang lebih serius sehingga sebaiknya

melakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sesuatu yang

membahayakan.

b. Rasa Panas (Hot Flush)

Gejala ini dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh. Selain rasa

panas juga disertai dengan warna kemerahan pada kulit dan berkeringat. Rasa

panas ini akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akibatnya

seringkali wanita menopause kekurangan tidur. Masing-masing wanita menderita

masalah ini dalam tingkat yang berbeda-beda. Hot flush berlangsung dalam 30

detik sampai 5 menit. Keluhan hot flush berkurang setelah tubuh menyesuaikan

diri dengan kadar estrogen yang rendah.

c. Keluar Keringat di Malam Hari

Keluar keringat di malam hari disebabkan karena hot flushes. Semua

wanita akan mengalami gejolak panas ini. Gejolak panas mungkin sangat ringan

dan sama sekali tidak diperhatikan oleh orang lain. Mungkin hanya terasa seolah-

olah suhu meningkat secara tiba-tiba sehingga menyebabkan kemerahan disertai

keringat yang mengucur siseluruh tubuh anda. Rasa panas ini tidak

membahayakan dan akan cepat berlalu. Sisi buruknya adalah tidak nyaman tetapi

tidak pernah disertai rasa sakit.


46

d. Susah Tidur (insomnia)

Masalah insomnia atau susah tidur akan dialami oleh beberapa wanita

menopause. Selain itu juga wanita menopause akan terbangun pada malam hari

dan sulit untuk tidur kembali.

e. Kerutan pada Vagina

Pada vagina akan terlihat adanya perubahan yang terjadi pada lapisan

dinding vagina, pada masa menopause vagina akan terlihat menjadi lebih kering

dan kurang elastis. Hal ini dikarenakan adanya penurunan kadar hormon estrogen.

Efek dari gelaja ini akan timbul rasa sakit pada saat melakukan hubungan seksual.

f. Gejala Gangguan Motorik

Pada masa menopause aktivitas yang akan dikerjakan semakin berkurang,

hal ini dikarenakan wanita menopause akan mudah merasakan lelah sehingga

tidak sanggup untuk melakukan pekerjaan yang terlalu berat.

g. Sembelit

Proses metabolisme dalam tubuh akan menurun seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini dikarenakan tubuh akan berusaha untuk beradaptasi

dengan kadar estrogen yang baru.

h. Gejala Gangguan Sistem Perkemihan

Kadar estrogen yang rendah akan menyebabkan kadar estrogen menjadi

rendah dan akan menimbulkan penipisan pada jaringan kandung kemih dan

saluran kemih. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kontrol dari

kandung kemih sehingga sulit untuk menahan buang air kecil.


47

F. Faktor yang mempengaruhi menopause

Menurut Mulyani (2013) faktor yang mempengaruhi menopause adalah

sebagai berikut : (49)

a. Faktor psikis

Keadaan psikis seorang wanita akan mempengaruhi terjadinya monopause.

Keadaan seseorang wanita yang tidak menikah dan bekerja akan mempengaruhi

perkembangan psikis seorang wanita. Menurut beberapa penelitian, mereka akan

mengalami waktu menopause yang lebih mudah atau cepat dibandingkan yang

menikah dan tidak bekerja atau bekerja dan tidak menikah.

b. Cemas

Faktor lain yang mempengaruhi menopause adalah cemas. Kecemasan

yang dialami akan sangat menentukan waktu kecepatan atau bahkan

keterlambatan masa-masa menopause. Ketika seorang perempuan lebih sering

merasa cemas dalah kehidupannya, maka bisa diperkirakan bahwa dirinya akan

mengalami menopause lebih dini. Sebaliknya juga, jika seorang wanita yang lebih

santai dan rileks dalam menjalani hidup biasanya masa-masa menopause-nya akan

lebih lambat. Beberapa hal yang bisa menimbulkan kecemasan antara lain :

keluarga misalnya, hubungan dengan suami apakah suami menerima keadaan istri

dengan baik, hal ini akan berdampak pada kondisi psikologis. Selain itu juga

berkurangnya anggota keluarga juga bisa menjadi penyebab menopause.

c. Usia pada saat pertama haid (menarche)

Semakin mudah seorang wanita mengalami menstruasi pertama kalinya,

maka akan semakin tua atau lama untuk memasuki atau mengalami masa
48

menopause. Wanita yang mendapatkan menstruasi pada usia 16 atau 17 tahun

akan mengalami menopause lebih dini, sedangkan wanita yang haid lebih dini

seringkali akan mengalami menopause sampai pada usianya mencapai 50 tahun.

d. Usia melahirkan

Penelitian yang dilakukan oleh Beth Israel Deaconess Medical Center in

Boston mengungkapkan bahwa wanita yang masih melahirkan diatas usia 40

tahun akan mengalami usia menopause yang lebih tua atau lama. Hal ini

disebabkan karena kehamilan organ reproduksi. Bahkan akan memperlambat

sistem penuaan tubuh.

e. Merokok

Seorang wanita yang merokok akan lebih cepat mengalami masa

menopause. Pada wanita perokok diperoleh usia menopause lebih awal, sekitar

1,5 tahun. Merokok mempengaruhi cara tubuh memproduksi atau membuang

hormon estrogen. Di samping itu juga, beberapa peneliti meyakini bahwa

komponen tertentu dari rokok juga berpotensi membunuh sel telur. Menurut

hampir semua studi yang pernah dilakukan, wanita perokok akan mengalami masa

menopause pada usia yang lebih muda yaitu 43 hingga 50 tahun. Selama

menopause, ovarium wanita akan berhenti memproduksi sel telur sehingga wanita

tersebut tidak bisa hamil lagi.

f. Pemakaian kontrasepsi

Kontrasepsi dalam hal ini yaitu kontrasepsi hormonal. Hal ini dikarenakan

cara kerja kontrasepsi yang menekan kerja ovarium atau indung telur. Pada wanita
49

yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal akan lebih lama atau tua memasuki

masa menopause.

g. Sosial ekonomi

Keadaan sosial ekonomi seseorang akan mempengaruhi faktor fisik,

kesehatan, dan pendidikan. Bila faktor tersebut cukup baik, akan mempengaruhi

bebas fisiologis. Kesehatan akan faktor klimakterium sebagai faktor fisiologis.

h. Budaya dan lingkungan

Pengaruh budaya dan lingkungan sudah dibuktikan sangat mempengaruhi

wanita untuk dapat atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan klimakterium dini.

i. Diabetes

Penyakit autoimun seperti diabetes melitus menyebabkan terjadinya

menopause dini. Pada penyakit autoimun, antibodi yang terbentuk akan

menyerang FSH.

j. Status gizi

Faktor yang juga mempengaruhi menopause lebih awal biasanya

dikarenakan konsumsi yang sembarangan. Jika ingin mencegah menopause lebih

awal dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti berhenti

merokok, serta mengkonsumsi makanan yang baik misalnya sejak masih muda

rajin mengkonsumsi makanan sehat seperti kedelai, kacang merah, bengkoang,

atau pepaya.

k. Stress

Seperti halnya cemas mempengaruhi menopause, stress juga merupkan

salah satu faktor yang bisa menentukan kapan wanita akan mengalami
50

menopause. Jika seseorang sering merasa stress maka sama halnya dengan cemas,

wanita tersebut akan lebih cepat mengalami menopause.

2.3. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini berdasarkan teori yang disampaikan

oleh Kemenkes dan Tandra mengenai faktor risiko yang menyebabkan terjadinya

penyakit osteoporosis. Berdasarkan teori tersebut, ada dua faktor yang

menyebabkan terjadinya osteoporosis yaitu faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Adapun faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dalam hal ini adalah

usia dan status kesehatan seseorang. Status kesehatan seseorang yang merupakan

faktor yang tidak dapat dimodifikasi terdiri dari riwayat osteoporosis dalam

keluarga, riwayat fraktur yang pernah dialami, indeks massa tubuh (IMT) dan

pengguna stereoid. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dirubah

adalah gaya hidup seseorang. Aktifitas atau kebiasaan seperti merokok dan

olahraga dapat mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Fisik yang jarang

melakukan olahraga atau latihan cenderung lebih rentan dan mudah untuk

terserang osteoporosis, begitu juga dengan tubuh seorang perokok aktif akan lebih

mudah untuk terkena osteoporosis daripada seseorang yang tidak merokok dan

rajin untuk melakukan latihan fisik atau olahraga.


51

2.4. Kerangka Konsep

Usia
Faktor Risiko Yang
Tidak Dapat
Dimodifikasi
Status Kesehatan:
a. Riwayat Keluarga
b. Riwayat Fraktur

Osteoporosis

Faktor Risiko Yang Gaya Hidup:


Dapat Dimodifikasi a. Merokok
b. Aktivitas fisik

Gambar 2.1 Kerangka Konsep


Sumber : (Modifikasi Kemenkes, 2008 & Tandra, et al., 2009

2.5. Hipotesis

a. Ada pengaruh usia dengan terjadinya osteoporosis pada wanita menopause

b. Ada pengaruh aktivitas fisik dengan terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause

c. Ada pengaruh merokok dengan terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause

d. Ada pengaruh riwayat keluarga dengan terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause

e. Ada pengaruh riwayat fraktur dengan terjadinya osteoporosis pada wanita

menopause
52

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Mix Methods dengan

jenis penelitian kuantitatif pendekatan cross sectional dan kualitatif pendekatan

studi kasus. Dimana menurut Creswell Mix Methods merupakan pendekatan

penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kuantitatif dan

kualitatif. Mix Methods juga merupakan metode penelitian yang memberikan

asumsi bahwa dalam menunjukan arah atau memberi petunjuk tentang cara

pengumpulan dan menganalisis data, serta perpaduan pendekatan kuantitatif dan

kualitatif melalui beberapa fase proses penelitian.

Pada penelitian ini model penelitian yang digunakan yaitu Sequential

Explanatory, peneliti memilih untuk menggunakan sequential explanatory yang

mana peneliti beranjak pada pendekatan kuantitatif kemudian dilanjut dengan

pendekatan kualitatif yang mana akan menganalisis pengaruh variabel

independent terhadap variabel dependent terlebih dahulu untuk mengidentifikasi

mengapa faktor tersebut paling mempengaruhi.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas

Stabat Kabupaten Langkat. Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di desa

karena diwilayah tersebut tingginya kejadian osteoporosis. Hal ini sesuai dengan
53

data yang diperoleh dari rekam medis Wilayah Kerja Puskesmas Stabat

Kabupaten Langkat yang menunjukkan bahwa banyaknya pasien osteoporosis

terutama pada lanjut usia.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada saat seminar proposal selesai hingga sampai

selesai penelitian pada bulan Oktober 2019. Dimulai dari pengumpulan data

dengan menggunakan kuesioner, serta melakukan pengolahan dan analisa data,

selanjutnya melakukan observasi dan wawancara.

3.3. Populasi dan Sampel Pada Pendekatan Kuantitatif

3.3.1. Populasi Pada Pendekatan Kuantitatif

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang telah memasuki usia

menopause. Berdasarkan data dari Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten

Langkat dari bulan Maret tahun 2018, sebanyak 87 ibu yang dirawat yang telah

memasuki usia menopause.

3.3.2. Sampel Pada Pendekatan Kuantitatif

Sampel dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik total populasi.

Dalam penelitian ini jumlah sampelnya adalah 87 orang ibu yang dirawat yang

telah memasuki usia menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten

Langkat.
54

3.4. Metode Pengumpulan Data Pada Pendekatan Kuantitatif

3.4.1. Jenis Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang

mana akan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan wawancara. Sedangkan

data sekunder dan data tertier yaitu data yang diperoleh dari catatan atau

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti data sekunder

dalam penelitian ini diperoleh dari data-data rekam medis Puskesmas Stabat

Kabupaten Langkat dan data tertier dalam penelitian ini adalah data-data

pendukung dari berbagai sumber seperti data dari BPS (Badan Pusat Statistik),

data dari RISKESDAS dan data yang didapat dari studi kepustakaan, jurnal, text

book dan lain sebagainya.

3.4.2. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan peneliti dimulai

dari melakukan survei awal untuk mendapatkan data-data, mengumpulkan data

dari lapangan yang mengandalkan instrument yang telah dipersiapkan peneliti

berupa kuesioner dan melakukan structured interview langsung kepada

responden.

3.5. Uji Instrumen Penelitian

3.5.1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun

tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu di uji dengan

uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor total
55

kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna

(construct validity). Apabila kuesioner tersebut telah memiliki validitas konstruk,

berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam kuesioner itu mengukur

konsep yang kita ukur. Pengujian validitas konstruk dengan SPSS adalah

menggunakan korelasi, instrumen valid apabila nilai korelasi (pearson

correlation) adalah positif dan nilai probabilitas korelasi (sig 2-tailed) < taraf

signifikan (α) sebesar 0,05. Uji validitas ini dilakukan kepada 20 responden dan

didapatkan nilai rtabel 0,444.

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Aktifitas Fisik


Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Keadaan Fisik 1 0,929 0,444 Valid
2 0,787 0,444 Valid
3 0,772 0,444 Valid
4 0,793 0,444 Valid
5 0,792 0,444 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel aktivitas

fisik menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki

nilai rhitung > rtabel.

Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Merokok


Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Merokok 1 0,768 0,444 Valid
2 0,686 0,444 Valid
3 0,790 0,444 Valid
4 0,235 0,444 Tidak Valid
5 0,837 0,444 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel merokok

menunjukkan bahwa 4 item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung >

rtabel, sedangkan 1 item soal lainnya dinyatakan tidak validi karena memiliki rhitung

< rtabel.
56

Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Keluarga


Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Riwayat 1 0,777 0,444 Valid
Keluarga 2 0,571 0,444 Valid
3 0,634 0,444 Valid
4 0,653 0,444 Valid
5 0,609 0,444 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel riwayat

keluarga menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki

nilai rhitung > rtabel.

Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas Riwayat Fraktur


Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Riwayat 1 0,708 0,444 Valid
Fraktur 2 0,859 0,444 Valid
3 0,652 0,444 Valid
4 0,756 0,444 Valid
5 0,697 0,444 Valid

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel riwayat

fraktur menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki

nilai rhitung > rtabel.

3.5.2. Uji Realibitas

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan

sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan

pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan

alat ukur yang sama.

Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala social (non

fisik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Untuk itu sebelum digunakan,

untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba
57

tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi pearson

(pearson correlation), seperti tersebut di atas. Perlu dicatat bahwa perhitungan

reliabilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah

memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung validitas terlebih dahulu

sebelum menghitung reliabilitas (50).

Tabel 3.5. Hasil Uji Reliabilitas


Variabel Cronbach’s Alpha r-tabel Keterangan
Aktifitas Fisik 0,872 0,444 Reliabel
Merokok 0,687 0,444 Reliabel
Riwayat Keluarga 0,657 0,444 Reliabel
Riwayat Fraktur 0,786 0,444 Reliabel

Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen diperoleh hasil bahwa nilai uji

reliabilitas diperoleh cronbach’s alpha dari variabel aktifitas fisik sebesar 0,872,

merokok sebesar 0,687, riwayat keluarga sebesar 0,657 dan riwayat fraktur

sebesar 0,786 yang menunjukkan bahwa hasil cronbach’s alpha pada keenam

variabel lebih besar dari nilai rtabel 0,444, sehingga instrumen penelitian

dinyatakan reliabel (handal).

3.6. Variabel dan Definisi Operasional

3.6.1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas (independen), faktor

usia, faktor aktivitas fisik, faktor merokok, faktor riwayat keluarga dan faktor

riwayat fraktur serta variabel terikat (dependen) yaitu kejadian osteoporosis pada

wanita menopause.
58

3.6.2. Definisi Operasional

Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel (yang diungkap

dalamdefinisi konsep) tersebut, secara operasional, secara praktik, secara nyata

dalamlingkup obyek penelitian/obyek yang diteliti.

Adapun definisi operasional adalah sebagai berikut:

1. Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan ibu.

2. Aktivitas fisik merupakan kondisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh ibu

menopause terkait aktifitas sehari-hari yaitu, sering atau tidaknya berolahraga

(kurang gerak atau cukup gerak) diukur melalui menggunakan kuesioner.

3. Merokok merupakan kondisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh ibu

menopause terkait apakah seorang perokok aktif atau tidak perokok aktif

diukur melalui menggunakan kuesioner.

4. Riwayat keluarga merupakan kondisi ada atau tidaknya riwayat keluarga yang

menderita osteoporosis diukur menggunakan kuesioner

5. Riwayat fraktur merupakan kondisi tentang riwayat fraktur yang pernah

dialami oleh ibu menopause diukur menggunakan kuesioner melalui

wawancara secara langsung

6. Osteoporosis, merupakan kondisi ibu menopause apakah terdiagnosa

osteoporosis atau tidak ada kejadian osteoporosis yang didapatkan dari rekam

medis di Puskesmas Stabat Kab. Langkat.

3.7. Metode Pengukuran

Pengukuran variabel disesuaikan dengan jenis variabel. Penilaian kategori

dilakukan dengan cara menilai jawaban/tanggapan responden terhadap kuesioner


59

yang telah ditentukan berdasarkan jawaban yang diberikan. Adapun metode

pengukuran variabel dapat dilihat pada Tabel. 3.1

Tabel. 3.6 Metode Pengukuran Variabel


No Variabel Cara dan Alat Skala Value Skala
X Ukur Pengukuran Ukur
1 Usia Kueioner a. 1-50 tahun a. <50 Interval
dengan teknik b. Lebih 50 tahun b. ≥50
wawancara

2 Aktivitas Kueioner a. 2-0 a. Baik Ordinal


Fisik dengan teknik b. 5-3 b.Tidak Baik
wawancara

3 Merokok Kueioner a. 2-0 a.Baik Nominal


dengan teknik b. 5-3 b.Tidak Baik
wawancara

4 Riwayat Kueioner a. 2-0 a. Ada Nominal


Keluarga dengan teknik b. 5-3 b.Tidak Ada
wawancara

5 Riwayat Kueioner a. 2-0 a.Ada Nominal


Fraktur dengan teknik b. 5-3 b. Tidak Ada
wawancara
Jenis
Variabel Cara dan Alat Skala
No Value Skala
Y Ukur Pengukuran
Ukur
1 Kejadian Diagnosis a. Osteoporosis a. 1 Nominal
Osteoporosis osteoporosis b. Tidak b. 0
Osteoporosis

3.8. Metode Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan dari keusioner diolah dengan menggunakan

program perangkat komputer dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Collecting

Melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen

kuesioner.
60

b. Checking

Melakukan pemeriksaan kelengkapan jawaban kesioner yang telah

dikumpulkan dengan tujuan agar data diolah secara benar, sehingga

pengolahan data memberikan hasil yang valid dan realiabel; dan terhindar dari

bias.

c. Coding

Setelah data yang diperlukan terkumpul lalu dilakukan proses coding atau

pengkodean menjadi bentuk angka serta pemberian nomor atau kode pada tiap

variabel sesuai dengan jawaban untuk memudahkan entry data.

d. Entering

Kuesioner yang telah dicoding dan dinilai lengkap maka dilakukan entry data

atau mengimput data dari jawaban responden kedalam program atau software

komputer.

e. Data Processing

Melakuan proses pengolahan data yang telah diiunput sesuai dengan

kebutuhan dari penelitian.

3.9. Analisis Data

3.9.1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis yang menitikberatkan pada

penggambaran atau deskripsi data yang telah diperoleh. Menggambarkan

distribusi frekuensi dari masing-masing variabel bebas dan variabel terikat dalam

bentuk tabel atau grafik. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik

setiap variabel penelitian


61

3.9.2. Analisis Bivariat

Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan (kolerasi) antara variabel

dependen dengan variabel independen yang bersangkutan. Uji yang digunakan

pada analisis bivariat ini adalah uji Chi-square dengan menggunakan derajat

kepercayaan 95% dengan batas kemaknaan perhitungan statistik p value 0,05.

Dalam uji ini kemaknaan hubungan dapat diketahui, pada dasarnya uji chi-square

digunakan untuk melihat antara frekuensi yang diamati (observed) dengan

frekuensi yang diharapkan (expected). Apabila hasil perhitungan menunjukan

nilai p < (0,05) maka dikatakan (Ho) ditolak, artinya kedua variabel secara

statistic mempunyai hubungan yang signifikan. Kemudian untuk menjelaskan

adanya asosiasi (hubungan) antara variabel terikat dengan variabel bebas

digunakan analisis tabulasi silang (51).

3.9.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat yaitu analisis multi variabel dalam satu atau lebih

hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara

simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek penelitian.

Analisis multivariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat kemaknaan

keefektifan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara simultan dan

sekaligus menentukan faktor bebas mana yang lebih dominan efektif

mempengaruhi variabel terikat. Analisis ini menggunakan teknik komputerisasi

dengan SPSS, dimana uji statistik yang digunakan adalah persamaan regresi linier

berganda (52).
62

3.10. Informan pada Pendekatan Kualitatif

Informan penelitian adalah orang yang telah ditentukan oleh peneliti untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.

Informan adalah orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan

diteliti dan pengambilan informan pada pendekatan kualitatif ini dilakukan

dengan tehnik pengambilan sampel non-probability sampling yaitu dengan

mengkombinasikan tehnik purposive sampllig dan snowball sampling. Tehnik

pengambilan sampel tersebut dipilih karena peneliti ingin menjaga kualitas data

dan data yang dihasilkan benar dari orang yang dianggap paling tahu tentang apa

yang diharapkan dan mampu memberikan data yang memuaskan.

- Informan kunci pada penelitian ini yaitu orang-orang yang mengalami

permasalahan atau yang akan diteliti. Pada penelitian yang dilakukan informan

kunci ditujukan pada ibu yang dirawat yang telah memasuki usia menopause dan

yang terkena osteoporosis sebanyak 47 orang dan informan penelitian yang di

tetapkan menjadi informan sebanyak 10 orang.

- Informan non kunci yaitu orang-orang yang dianggap mengetahui

permasalahan yang diteliti. Pada penelitian yang akan dilakukan, informan non

kunci ditujukan pada tenaga kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas

seperti petugas yang berwewenang dan bertanggung jawab pada program

pemeriksaan osteoporosis, keluarga atau orang terdekat yang berada sekitar ibu

yang telah terkena osteoporosis.


63

3.11. Metode Pengumpulan Data Pada Pendekatan Kualitatif

3.11.1. Jenis Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang

mana akan dilakukan dengan wawancara. Sedangkan data sekunder dan data

tertier yaitu data yang diperoleh dari catatan atau dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan penelitian seperti data sekunder dalam penelitian ini

diperoleh dari data-data rekam medis Puskesmas dan data tertier dalam penelitian

ini adalah data-data pendukung dari berbagai sumber seperti data dari BPS (Badan

Pusat Statistik), data dari RISKESDAS dan data yang didapat dari studi

kepustakaan, jurnal, text book dan lain sebagainya.

3.11.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan pada natural setting

(kondisi yang alamiah). Metode pengumpulan data dilakukan dengan Qualitative

Observation, dan In-depth Interview (wawancara mendalam) kepada informan

dengan menggunakan pedoman wawancara dan pertanyaan-pertanyaan yang

secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open-ended)

sebagai panduan yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari

para informan atau partisipan. Selanjutnya peneliti melakukan observasi terhadap

informan.

3.12. Analisis dan Interpretasi Data pada Pendekatan Kualitatif

Pada penelitian ini analisis data kualitatif menggunakan analisis data

model interaktif, yang mana data yang kita peroleh berupa kata-kata bukan angka-

angka. Data tersebut berasal dari metode pengumpulan yang bermacam-macam,


64

baik dari observasi, wawancara mendalam maupun dokumentasi. Data-data

tersebut dianalisis dimana prosesnya terdiri dari tiga alur kegiatan yang

berlangsung secara bersamaan yaitu:

1. Reduksi Data (Data Reduction) diartikan sebagai proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan transformasi data kasar

yang muncul dari catatan-catatan ataupun tulisan dilapangan (field note), dimana

reduksi data berlangsung secara terus menerus selama penelitian yang berorientasi

kualitatif berlangsung

2. Penyajian Data (Data Display) merupakan sekumpulan informasi tersusun

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

keputusan yang terus berkembang menjadi sebuah siklus dan penyajian data bias

dilakukan dalam sebuah matrik

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi (Verification) merupakan sebagian dari

suatu kegiatan dan konfigurasi yang utuh. Dimana kesimpulan – kesimpulan

diverifikasi selama penelitian berlangsung

Setelah menganalisis data kemudian dilanjutkan dengan keabsahan data

kualitatif yaitu dengan cara triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini adalah

pemeriksaan melalui triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan data hasil

pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan

orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang

waktu, membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai

pandangan dan pandangan orang yang memiliki latar belakang berlainan,

membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berlainan.


65

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis.

Kabupaten Langkat adalah sebuah kabupaten yang terletak disumatra

utara, Indonesia ibu kotanya stabat. Kabupaten langkat terdiri dari 23 kecamatan

dengan luas 6.272 km2 dan berpenduduk sejumlah 902.986 jiwa. Wilayah

kabupaten langkat terletak pada koordinat 3,140- 4,130 LU dan 9,7520 BT dengan

batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro

Darussalam

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Prop.NAD dan Tanah Alas

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai

4.1.2. Demografi

Desa Pantai Gemi terletak di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat

Dengan wilayah Desa Pantai Gemi yaitu:

1. Sebelah Barat : Sei Wampu

2. Sebelah Utara : Kw.Binjai

3. Sebelah Timur : Stabat Baru

4. Sebelah Selatan : Pertumbukan

Wilayah Kerja Desa Pantai Gemi seluas 501ha/m, dengan jumlah

penduduk sebanyak 8341 jiwa yang terdiri dari kepala keluarga sebanyak 2167

65
66

KK, jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 4170 jiwa dan jenis kelamin perempuan

sebanyak 4171 jiwa. Jumlah sarana kesehatan diDesa Pantai Gemi terdapat 7 unit

posyandu, 1 unit puskesmas, penduduk mayoritas suku melayu berjumlah jenis

kelamin laki-laki 2.478 jiwa dan jenis kelamin perempuan berjumlah 2.659 jiwa.

Mayoritas mata pencarian desa pantai gemi adalah petani dengan jenis kelamin laki-

laki berjumlah 501 jiwadan perempuan berjumlah 167 jiwa.

4.1.3. Gambaran Umum Proses Penelitian

Pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan pada pendekatan kuantitatif

diperoleh dengan menggunakan data primer dan dilakukan dengan menyebarkan

kuesioner terlebih dahulu dan kemudian dengan wawancara singkat, kemudian

dilanjutkan pendekatan kualitatif pada informan menggunakan metode indepth

interview (wawancara mendalam) serta observasi, Begitu juga dengan petugas

pemegang program osteoporosis yang dijadikan peneliti sebagai informan

pendukung. Sebelum melakukan wawancara mendalam dengan informan, peneliti

mengunjungi petugas untuk mengetahui ibu yang mana saja yang telah mengalami

osteoporosis kemudian peneliti melakukan kunjungan pada tempat tinggal ibu

yang mengalami yang dijadikan informan untuk memulai perkenalan dan

keakraban untuk membangun kepercayaan agar informan dapat memberikan

informasi secara terbuka dengan peneliti dan peneliti memberikan penjelasan

mengenai tujuan dari kunjungan peneliti kepada informan.

Kegiatan wawancara mendalam dilakukan pada petugas pemegang

program osteoporosis di Puskesmas, sedangkan wawancara pada ibu yang

mengalami osteoporosis dan keluarga dilakukan ditempat tinggal informan yang


67

mana waktu dan tempat wawancara disesuaikan dengan waktu luang yang

diberikan oleh informan.

4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif

4.2.1. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi usia, pendidikan dan pekerjaan.

Tabel 4.1. Karakteristik Responden

No Umur Frekuensi %
1 < 50 Tahun 44 50,6
2 ≥ 50 Tahun 43 49,4
Total 87 100,0
Pendidikan
1 SD 31 35,6
2 SMP 30 34,5
3 SMA 21 24,1
4 Sarjana 5 5,7
Total 87 100,0
Pekerjaan
1 IRT 66 75,9
2 Pegawai Swasta 20 23,0
3 PNS 1 1,1
Total 87 100,0

Berdasarkan tabel 4.1 diatas diketahui bahwa karakteristik responden

berdasarkan kategori umur, 44 orang (50,6%) yang berusia <50 tahun dan usia ≥

50 tahun sebanyak 43 orang (49,4%). Karakteristik responden berdasarkan

kategori pendidikan sebanyak 31 orang (35,6%) memiliki tingkat pendidikan SD,

tingkat pendidikan SMP sebanyak 30 orang (34,5%), tingkat pendidikan SMA

sebanyak 21 orang (24,1%), dan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 5 orang

(5,7%). Karakteristik responden berdasarkan kategori pekerjaan IRT sebanyak 66


68

orang (76,9%), pegawai swasta sebanyak 20 orang (23,0%) dan PNS sebanyak

sebanyak 1 orang (1,1%)

Pada analisa univariat semua variabel yaitu variabel x dan variabel y akan

diukur dan diolah kedalam sebuah table frekuensi, analisa univariat dari masing –

masing variabel dapat dilihat dibawah ini .

2. Aktifitas Fisik

Distribusi frekuensi berdasarkan aktifitas ibu responden di desa pantai

gemi kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang

dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Aktifitas


Fisik
Jawaban
No Pertanyaan Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda pernah melakukan olah 54 62,1 33 37,9 87 100
raga/aktifitas fisik lainnya sebanyak 3 kali
dalam seminggu?
2 Apakah anda pernah melakukan gerakan 56 64,4 31 35,6 87 100
kaki seperti jalan kaki, joging atau
aerobik?
3 Apakah anda pernah melakukan kegiatan 53 60,9 34 39,1 87 100
bersepeda?
4 Apakah anda pernah berenang 1 kali 53 60,9 34 39,1 87 100
seminggu?
5 Apakah anda melakukan aktifitas fisik 51 58,6 36 41,4 87 100
selama ± 30 menit/hari?

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban responden

tentang aktifitas fisik, menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1 sebagian besar

responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 54 responden (62,1%). Pada

pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 56

responden (64,6%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab “Ya”

yaitu sebanyak 53 responden (60,9%). Pada pertanyaan No. 4 sebagian besar


69

responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 53 responden (60,9%). Selanjutnya

pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak

51 responden (58,6%).

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Aktifitas Fisik


No Aktifitas fisik Frekuensi (f) %
1 Baik 44 50,6
2 Tidak Baik 43 49,4
Total 87 100,0

Distribusi frekuensi berdasarkan kategori aktifitas fisik responden dari 87

responden diketahui sebanyak 44 orang (50,6%) memiliki aktifitas fisik yang baik

dan ibu yang memiliki aktifitas fisik yang tidak baik ada 43 orang (49,4%).

3. Merokok

Distribusi frekuensi merokok pada ibu menopause di desa pantai gemi

kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan

sesuai skor jawaban tertera pada table 4.4. berikut.

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Merokok


pada Ibu Menopause
Jawaban
No Pertanyaan Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda tidak seorang perokok ? 59 67,8 28 32,2 87 100
2 Apakah anda membenci bau asap rokok? 62 71,3 25 28,7 87 100
3 Apakah anda tidak selalu terpapar oleh 59 67,8 28 32,2 87 100
asap dari seorang perokok?
4 Apakah dilingkungan rumah anda tidak 57 65,5 30 34,5 87 100
selalu ada seorang perokok?

Berdasarkan table 4.4 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban

responden tentang merokok, menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1 sebagian

besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 59 responden (67,8%). Pada

pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 62


70

responden (71,3%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab “Ya”

yaitu sebanyak 59 responden (67,8%). Selanjutnya pada pertanyaan No. 4

sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 57 responden (65,5%).

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Merokok pada Ibu


Menopause
No Merokok Frekuensi (f) %
1 Tidak Merokok 53 60,9
2 Merokok 34 39,1
Total 87 100

Distribusi frekuensi berdasarkan kategori merokok responden dari 87

responden diketahui sebanyak 53 orang (60,9%) yang tidak merokok

dikategorikan baik dan ibu yang merokok dikategorikan buruk ada 34 orang

(39,1%).

4. Riwayat Keluarga

Distribusi frekuensi pada riwayat keluarga ibu menopause di desa pantai

gemi kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang

dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada table 4.6 berikut.

Table 4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat


Keluarga pada Ibu Menopause
Jawaban
No Pertanyaan Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah ibu anda memiliki riwayat 46 52,9 41 47,1 87 100
penyakit osteoporosis?
2 Apakah ayah anda memiliki riwayat 44 50,6 43 49,4 87 100
penyakit osteoporosis?
3 Apakah kakek/nenek anda memiliki 46 52,9 41 47,1 87 100
riwayat penyakit osteoporosis?
4 Apakah abang/kakak anda memiliki 45 51,7 42 48,3 87 100
riwayat penyakit osteoporosis?
5 Apakah saudara-saudara lain anda 51 58,6 36 41,4 87 100
memiliki riwayat penyakit osteoporosis?
71

Berdasarkan table 4.6 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban

responden tentang variabel riwayat keluarga menunjukkan bahwa pada pertanyaan

No. 1 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 46 responden

(52,9%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu

sebanyak 41 responden (47,1%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden

menjawab “Ya” yaitu sebanyak 46 responden (52,9%). Pada pertanyaan No. 4

sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 45 responden (51,7%).

Selanjutnya pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya”

yaitu sebanyak 51 responden (58,6%).

Table 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Keluarga


pada Ibu Menopause
No Riwayat Keluarga Frekuensi (f) %
1 Tidak Ada 38 43,7
2 Ada 49 56,3
Total 87 100

Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan

Kategori riwayat keluarga responden dari 87 responden diketahui sebanyak 38

orang (43,7%) yang tidak mempunyai riwayat keluarga osteoporosis dan yang ada

riwayat keluarga osteoporosis sebanyak 49 orang (56,3%).

5. Riwayat Fraktur

Distribusi frekuensi pada riwayat fraktur ibu menopause di desa pantai

gemi Kec. Stabat Kab. Langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang

dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada table 4.8 berikut.


72

Table 4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat


Fraktur pada Ibu Menopause
Jawaban
No Pertanyaan Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda pernah mengalami patah 44 50,6 43 49,4 87 100
tulang?
2 Apakah anda pernah mengalami cidera 42 48,3 45 51,7 87 100
pada bagian tulang ?
3 Apakah anda pernah mengalami benturan 44 50,6 43 49,4 87 100
pada bagian tulang?
4 Apakah anda pernah mengalami masalah 39 44,8 48 55,2 87 100
yang mengakibatkan nyeri pada tulang?
5 Apakah anda pernah mengalami retak 52 59,8 35 40,2 87 100
pada tulang?

Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban

responden tentang variabel riwayat fraktur menunjukkan bahwa pada pertanyaan

No. 1 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 44 responden

(50,6%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu

sebanyak 42 responden (48,3%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden

menjawab “Ya” yaitu sebanyak 44 responden (50,6%). Pada pertanyaan No. 4

sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 39 responden (44,8%).

Selanjutnya pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya”

yaitu sebanyak 52 responden (59,8%).

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Fraktur


pada Ibu Menopause
No Riwayat fraktur Frekuensi (f) %
1 Tidak Ada 39 44,8
2 Ada 48 55,2
Total 87 100

Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan

Kategori riwayat fraktur responden dari 87 responden diketahui sebanyak 39


73

orang (44,8%) yang tidak ada riwayat fraktur dan yang ada riwayat fraktur

sebanyak 48 orang (55,2%).

4.2.2. Analisa Bivariat

Untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan, maka perlu dilakukan

uji untuk mengetahui apakah variabel bebas memengaruhi variabel terikat, uji

yang digunakan adalah uji chi square. Uji chi square merupakan uji komperatif

yang digunakan dalam data di penelitian ini. Uji signifikan antara data yang

diopservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan

(a<0.05) yang aritinya apabila diperoleh p-value <a, berarti ada hubungan yang

signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan apabila nilai p<value

berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel dan

variabel terikat.

1. Hubungan Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis

Untuk mengetahui apakah ada hubungan usia dengan kejadian

osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil

pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian usia

dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.10. Tabulasi Silang Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis di


Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Usia Osteoporosis Jumlah Sig-p
Osteoporosis
f % f % F %
< 50 Tahun 32 36,8 11 12,6 43 49,4
0,000
≥ 50 Tahun 3 3,4 41 47,1 44 50,6
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
74

Berdasarkan Tabel 4.10. tabulasi silang antara usia dengan kejadian

osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 43 responden (49,4%) yang memiliki

memiliki usia < 50 tahun, sebanyak 32 responden (36,8%) tidak mengalami

osteoporosis dan sebanyak 11 responden mengalami osteoporosis (12,6%).

Selanjutnya sebanyak 44 responden (50,6%) yang memiliki usia ≥ 50 tahun,

sebanyak 3 responden (3,4%) tidak mengalami osteoporosis dan sebanyak 41

responden (47,1%) mengalami osteoporosis.

Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =

0,000 (< 0,05). Hal ini membuktikan usia memiliki hubungan dengan kejadian

osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

2. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis

Untuk mengetahui apakah ada hubungan aktifitas fisik dengan kejadian

osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil

pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windwos, hasil pengujian

aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.11. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan


Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kejadian Osteoporosis
Aktifitas Tidak
Osteoporosis Jumlah Sig-p
Fisik Osteoporosis
f % f % f %
Baik 34 39,1 10 11,5 44 50,6
0,000
Tidak baik 1 1,1 42 48,3 43 49,4
Total 35 40,2 52 59,8 87 100

Berdasarkan Tabel 4.11. tabulasi silang antara aktifitas fisik dengan

kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 44 responden (50,6%) yang

memiliki memiliki aktifitas fisik yang baik, sebanyak 34 responden (39,1%) tidak
75

mengalami osteoporosis dan sebanyak 10 responden mengalami osteoporosis

(11,5%). Selanjutnya sebanyak 43 responden (49,4%) memiliki aktifitas fisik

yang tidak baik, sebanyak 1 responden (1,1%) tidak mengalami osteoporosis dan

sebanyak 42 responden (48,3%) mengalami osteoporosis.

Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =

0,000 (< 0,05). Hal ini membuktikan aktifitas fisik memiliki hubungan dengan

kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

3. Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian Osteoporosis

Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan kejadian

osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil

pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian

aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.12. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian


Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Merokok Osteoporosis Jumlah Sig-p
Osteoporosis
f % f % f %
Tidak merokok 24 27,6 29 33,3 53 60,9
0,268
Merokok 11 12,6 23 26,4 34 39,1
Total 35 40,2 52 59,8 87 100

Berdasarkan Tabel 4.12. tabulasi silang antara merokok dengan kejadian

osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 53 responden (60,9%) yang tidak

merokok, sebanyak 24 responden (27,6%) tidak mengalami osteoporosis dan

sebanyak 29 responden mengalami osteoporosis (33,3%). Selanjutnya sebanyak

34 responden (39,1%) yang merokok, sebanyak 11 responden (12,6%) tidak


76

mengalami osteoporosis dan sebanyak 23 responden (26,4%) mengalami

osteoporosis.

Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =

0,268 (> 0,05). Hal ini membuktikan merokok tidak memiliki hubungan dengan

kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

4. Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Osteoporosis

Untuk mengetahui apakah ada hubungan riwayat keluarga dengan

kejadian osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows,

hasil pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian

aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.13. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Keluarga dengan


Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kejadian Osteoporosis
Riwayat Tidak
Osteoporosis Jumlah Sig-p
Keluarga Osteoporosis
f % f % f %
Tidak Ada 32 36,8 6 6,9 38 43,7
0,000
Ada 3 3,4 46 52,9 49 56,3
Total 35 40,2 52 59,8 87 100

Berdasarkan Tabel 4.13. tabulasi silang antara riwayat keluarga dengan

kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 38 responden (43,7%) yang

tidak merokok, sebanyak 32 responden (36,8%) tidak mengalami osteoporosis dan

sebanyak 6 responden mengalami osteoporosis (6,9%). Selanjutnya sebanyak 49

responden (56,3%) yang merokok, sebanyak 3 responden (3,4%) tidak mengalami

osteoporosis dan sebanyak 46 responden (52,9%) mengalami osteoporosis.


77

Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =

0,000 (> 0,05). Hal ini membuktikan riwayat keluarga memiliki hubungan dengan

kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. `

5. Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan Kejadian Osteoporosis

Untuk mengetahui apakah ada hubungan riwayat fraktur dengan kejadian

osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil

pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian

aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.14. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan


Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Riwayat fraktur
Riwayat Tidak
Osteoporosis Jumlah Sig-p
Fraktur Osteoporosis
f % f % f %
Tidak Ada 30 34,5 9 10,3 39 44,8
0,000
Ada 5 5,7 43 49,4 48 55,2
Total 35 40,2 52 59,8 87 100

Berdasarkan Tabel 4.14. tabulasi silang antara riwayat fraktur dengan

kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 39 responden (44,8%) yang

tidak ada memiliki riwayat fraktur, sebanyak 30 responden (34,5%) tidak

mengalami osteoporosis dan sebanyak 9 responden mengalami osteoporosis

(10,3%). Selanjutnya sebanyak 48 responden (55,2%) yang merokok, sebanyak 5

responden (5,7%) tidak mengalami osteoporosis dan sebanyak 43 responden

(49,4%) mengalami osteoporosis.

Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =

0,000 (> 0,05). Hal ini membuktikan riwayat fraktur memiliki hubungan dengan

kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.


78

4.2.3. Analisis Multivariat

Analisis data multivariat dilakukan degan uji regresi logistik yang bertujuan

untuk mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel

terikat. Besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat dari nilai

Exp (B). Positif atau negatifnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat

dilihat dari nilai B, jika bernilai positif berarti mempunyai pengaruh positif, begitu

juga sebaliknya jika bernilai negatif berarti mempunyai pengaruh negatif.

Langkah yang dilakukan dalam analisis regresi logistik adalah menyeleksi

variabel yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat. Variabel yang

dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat

mempunyai nilai p < 0,005. Metode yang digunakan dalam analisis regresi

logistik yaitu metode backward. Metode Backward secara otomatis akan

memasukkan semua variabel yang terseleksi untuk dimasukkan ke dalam

multivariat. Secara bertahap, variabel yang tidak berpengaruh akan dikeluarkan

dari analisis. Proses akan berhenti sampai tidak ada lagi variabel yang dapat

dikeluarkan dari analisis.

Tabel 4.15. Uji Regresi Logistik


Variabel B Sig. Exp (B)
a
Step 1 Usia 2,852 0,046 17,314
Aktifitas Fisik 4,984 0,027 146,106
Merokok -2,742 0,223 0,064
Riwayat Keluarga 3,565 0,018 35,329
Riwayat Fraktur 3,791 0,019 44,310
Constant -7,400 0,001 0,001
Step 2a Usia 2,661 0,044 14,317
Aktifitas Fisik 3,442 0,012 31,259
Riwayat Keluarga 3,607 0,014 36,869
Riwayat Fraktur 3,085 0,035 21,859
Constant -7,822 0,001 0,000
79

1. Uji Regresi Logistik

Berdasarkan tabel 4.15. di atas uji yang dilakukan pada penelitian ini

menggunakan α = 0,05, variabel bebas (independen) yang mempunyai pengaruh

secara signifikan dengan variabel terikat (dependen) adalah sebagai berikut :

a. Apabila sig < α (0,05) maka terdapat pengaruh antara variabel independen

terhadap variabel dependen.

b. Apabila sig > α (0,05) maka tidak terdapat pengaruh antara variabel

independen terhadap variabel dependen.

1) Usia memiliki nilai sig-p 0,044 < 0,05 artinya usia memiliki pengaruh

secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja

Puskesmas Stabat tahun 2019.

2) Aktifitas fisik memiliki nilai sig-p 0,012 < 0,05 artinya aktifitas fisik

memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

3) Riwayat keluarga memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya riwayat

keluarga memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian

osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

4) Riwayat fraktur memiliki nilai sig-p 0,035 < 0,05 artinya riwayat fraktur

memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.

Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa faktor (usia, aktifitas fisik,

riwayat keluarga dan riwayat fraktur) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.


80

2. Odds Ratio

Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga

Odds Ratio (OR) pada uji regresi logistik dapat dilihat pada tabel 4.15.

a. Variabel usia dengan OR 14,317 maka usia ≥ 50 tahun memiliki pengaruh

terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 14 kali lipat dibandingkan usia <

50 tahun. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 14,317 = 2,661.

Oleh karena nilai B bernilai positif, usiua mempunyai pengaruh positif

terhadap kejadian osteoporosis.

b. Variabel aktifitas fisik dengan OR 31,259, maka aktifitas fisik yang tidak

baik memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 31 kali

lipat dibandingkan aktifitas fisik yang baik. Nilai B = Logaritma Natural

dari 31,259 = 3,442. Oleh karena nilai B bernilai positif, aktifitas fisik

mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.

c. Variabel riwayat keluarga dengan OR 36,869, maka responden yang

terdapat riwayat keluarga osteoporosis memiliki pengaruh terhadap

kejadian osteoporosis sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak

memiliki riwayat keluarga osteoporosis. Oleh karena nilai B = Logaritma

Natural dari 36,869 = 3,607. Oleh karena nilai B bernilai positif, riwayat

keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.

d. Variabel riwayat fraktur dengan OR 21,859, maka yang ada riwayat

fraktur memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 22

kali lipat dibandingkan yang tidak memiliki riwayat fraktur. Oleh karena

nilai B = Logaritma Natural dari 21,859 = 3,085. Oleh karena nilai B


81

bernilai positif, riwayat fraktur mempunyai pengaruh positif terhadap

kejadian osteoporosis.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, variabel yang paling besar memiliki

pengaruhnya terhadap kejadian osteoporosis yaitu variabel riwayat keluarga,

dimana responden yang terdpat riwayat keluarga osteoporosis, memiliki pengaruh

terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak

ada memiliki riwayat keluarga osteoporosis.

3. Interpretasi Analisis Regresi Logistic Model Summary

Tabel 4.16. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Model Summary

Step -2 Log Likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square


2 19,324a 0,676 0,913

Tabel 4.16 menunjukkan hasil interpretasi output analisis regresi logistik

model summary, nilai Pseudo R Square menjelaskan kemampuan variabel

independen dalam menjelaskan variabel dependen dengan menggunakan nilai Cox

& Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square sebesar

0,913 dan Cox & Snell R Square 0,676 yang menunjukkan bahwa kemampuan

variabel independen (usia, aktifitas fisik, riwayat keluarga dan riwayat fraktur)

dalam menjelaskan variabel dependen (kejadian osteoporosis) adalah sebesar

0,676 atau (67,6%) dan terdapat 100-67,6 = 32,4% faktor lain (pengetahuan,

sikap, status gizi, pola hidup sehat dukungan tenaga kesehatan dan lain-lain) di

luar model yang menjelas variabel dependen.


82

4.3. Hasil Penelitian Kualitatif

Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang ibu dan petugas

kesehatan yang mengalami osteoporosis yang berada di wilayah kerja Puskesmas

Stabat.

4.3.1. Karakteristik Informan

Tabel 4.17. Karakteristik Informan


No Informan Karakteristik Informan
1 Informan I Nama : Ny. D
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
2 Informan II Nama : Ny. A
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : IRT
3 Informan III Nama : Ny. B
Usia : 40 tahun
Jumlah anak : 61 orang
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : PNS
4 Informan IV Nama : Ny. G
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
5 Informan V Nama : Ny.An
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
6 Informan VI Nama : Ny. K
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
7 Informan VII Nama : Ny.J
Usia : 59 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
8 Informan VIII Nama : Ny.N
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
83

Tabel 4.17. Lanjutan


No Informan Karakteristik Informan
9 Informan IX Nama : Ny.Y
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
10 Informan X Nama : Ny.S
Usia : 47 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta

Pada penelitian kualitatif ini informan utama yang diteliti terdiri dari 10

ibu yang mengalami osteoporosis, informan pertama bernama Ny.D dengan

pekerjaan IRT, berusia 58 tahun, informan pertama mengatakan mengalami

osteoporosis dan telah mengalaminya sejak berusia 56 tahun dan dikeluarga Ny.D

tidak ada riwayat bahwasannya keluarga pernah mengalami osteoporosis, Ny.D

juga mengatakan tidak pernah ada riwayat fraktur, Ny.D tidak pernah olahraga

dikarenakan keseharian Ny.D beraktivitas sebagai tukang cuci, Ny.D tidak pernah

merokok. Ny.D juga mengatakan memungkinkan Ny.D mengalami osteoporosis

dikarenakan faktor usianya yang sudah memasuki kategori tua.

Informan kedua bernama Ny.A berusia 60 tahun mengatakan mengalami

osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.A berusia 55 tahun. Dalam

keluarga Ny.A tidak ada riwayat bahwasannya pernah mengalami osteoporosis

sebelumnya, Ny.A juga mengatakan tidak pernah ada riwayat fraktur, Ny.A tidak

pernah olahraga dikarenakan Ny.A tidak sempat, Ny.A tidak pernah merokok.

Ny.A mengatakan Ny.A mengalami osteoporosis dikarenakan usianya yang sudah

tua dan didukung dengan pertanyataan petugas puskesmas bahwasannya

osteoporosis sering dialami oleh orang-orang yang lanjut usia.


84

Informan ketiga bernama Ny.B berusia 61 tahun, informan ketiga

mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya baru beberapa bulan dan

Ny.B mengatakan dikeluarga Ny.B tidak ada riwayat bahwasannya keluarga

pernah mengalami osteoporosis, Ny.B juga mengatakan tidak pernah mengalami

fraktur, Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan tidak ada waktu luang untuk

berolahraga, Ny.B tidak pernah merokok. Ny.B juga mengatakan memungkinkan

Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah cukup tua.

Informan keempat bernama Ny.G berusia 60 tahun, informan mengatakan

mengalami osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.G berusia 57 tahun dan

Ny.G mengatakan dikeluarga Ny.G tidak ada riwayat bahwasannya keluarga

pernah mengalami osteoporosis, Ny.G juga mengatakan tidak pernah mengalami

fraktur, Ny.G tidak pernah olahraga dikarenakan tidak memiliki waktu luang

untuk berolahraga, Ny.G tidak pernah merokok. Ny.G juga mengatakan

memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usian Ny.G

sudah cukup tua.

Informan kelima bernama Ny.An berusia 58 tahun, informan mengatakan

mengalami osteoporosis dan mengalaminya sudah cukup lama yaitu sekitar 3

tahun dan Ny.An mengatakan dikeluarga Ny.An tidak ada riwayat bahwasannya

keluarga pernah mengalami osteoporosis, Ny.An juga mengatakan tidak pernah

mengalami fraktur, Ny.An tidak pernah olahraga dikarenakan tidak ada waktu

luang untuk berolahraga, Ny.An tidak pernah merokok. Ny.An mengatakan

memungkinkan Ny.An mengalami osteoporosis dikarenakan faktor pekerjaan

Ny.A sebagai tukang cuci sehingga Ny.An mengalami osteoporosis.


85

Informan keenam bernama Ny.K berusia 60 tahun, informan mengatakan

mengalami osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.K berusia 59 tahun,

dan Ny.K mengatakan dikeluarga Ny.K tidak ada riwayat bahwasannya keluarga

pernah mengalami osteoporosis, Ny.K juga mengatakan tidak pernah mengalami

fraktur, Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan Ny.K harus berjualan sehingga

tidak ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.K tidak pernah merokok. Ny.K juga

mengatakan memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor

usianya yang sudah tua.

Informan ketujuh bernama Ny.J berusia 59 tahun, informan mengatakan

mengalami osteoporosis dan mengalaminya sejak 6 bulan belakangan dan Ny.J

mengatakan dikeluarga Ny.J ada beberapa orang yang mengalami osteoporosis

diantaranya Ayah dan kakak Ny.J. Ny.J juga mengatakan tidak pernah mengalami

fraktur, Ny.J jarang berolahraga dikarenakan tidak memiliki waktu luang untuk

berolahraga. Ny.J tidak pernah merokok. Ny.J juga mengatakan memungkinkan

Ny.J mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.

Informan kedelapan bernama Ny.N berusia 60 tahun, informan

mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya belum lama dan Ny.N

mengatakan ibu dari Ny.N memiliki riwayat mengalami osteoporosis, Ny.N juga

mengatakan tidak pernah mengalami fraktur, Ny.N sebelumnya sering

berolahraga, Ny.N tidak pernah merokok. Ny.N mengatakan memungkinkan

Ny.N mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.

Informan kesembilan bernama Ny.Y berusia 58 tahun, informan

mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya baru 6 bulan dan Ny.Y


86

mengatakan dikeluarga Ny.Y tidak ada riwayat bahwasannya keluarga pernah

mengalami osteoporosis, Ny.Y juga mengatakan tidak pernah mengalami fraktur,

Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan Ny.Y dulunya bekerja mulai pagi hingga

sore hari sehingga tidak ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.N tidak pernah

merokok. Ny.B juga mengatakan memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis

dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.

Informan kesepuluh bernama Ny.S berusia 47 tahun, informan kesepuluh

mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalami gejala osteoporosis sejak 1

tahun yang lalu beriringan dengan kejadian Ny.S mengalami jatuh dari tangga,

Ny.S mengatakan dikeluarga Ny.S tidak ada riwayat bahwasannya keluarga

pernah mengalami osteoporosis, Ny.S tidak pernah olahraga dikarenakan tidak

ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.S tidak pernah merokok. Ny.S

mengatakan kemungkinkan Ny.S mengalami osteoporosis dikarenakan Ny.S

jarang mengkonsumsi makanan bergizi.

4.3.2. Deskripsi Matriks Wawancara Pada Informan

Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan yaitu ibu yang

mengalami osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat, di dapat hasil

wawancara bahwasannya terkait faktor resiko terjadinya osteoporosis, dari 10

informan seluruh informan mengatakan terkena osteoporosis, namun berdasarkan

tingkat lamanya informan terkena osteoporosis berbeda-beda, dan asumsi dari

informan terkait faktor penyebab terjadinya osteoporosis dominan informan

mengatakan dikarenakan usia informan yang sudah memasuki usia tua dan 1 dari

10 informan mengatakan pernah mengalami jatuh dan patah tulang namun


87

memungkinkan bukan menjadi faktor penyebab informan tersebut mengalami

osteoporosis. 2 dari 10 informan yang diwawancarai mengatakan memiliki

riwayat osteoporosis pada keluarganya, dan dari 10 informan tidak ada informan

yang merokok.
88

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Usia terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu Menopause


di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Variabel usia memiliki nilai sig-p 0,044 < 0,05 artinya usia memiliki

pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja

Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel usia menunjukkan nilai OR

14,317 maka usia ≥ 50 tahun memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis

sebanyak 14 kali lipat dibandingkan usia < 50 tahun. Oleh karena nilai B =

Logaritma Natural dari 14,317 = 2,661. Oleh karena nilai B bernilai positif, usia

mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.

Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi

rapuh dan mudah retak atau patah. Osteoporosis merupakan penyakit tulang

degeratif yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang, dan adanya kelainan

mikroarsitektur jaringan tulang selama jangka waktu yang cukup lama.

Bersamaan dengan penuaan, isi mineral tulang menurun secara lebih cepat pada

wanita dari pada laki-laki, dan setelah menopause sampai 8% masa tulang hilang

per dekade. Meskipun itu telah dipercaya efek dari penuaan dan perubahan

hormonal, secara jelas dipercepat oleh kurangnya aktivitas fisik (inactivity).

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul

“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota

Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat hubungan

yang signifikan antara usia dengan osteoporosis pada wanita pascamenopause di

88
89

RSUD Kota Semarang. Usia memiliki hubungan dengan kejadian osteoporosis

yang dilihat dari hasil analisia diperoleh p = 0,023 berdasarkan pengambilan

keputusan uji chi square untuk uji hipotesis dimana nilai p < 0,05. Karena nilau

p= 0,023 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara faktor risiko usia dengan terjadinya osteoporosis pada wanita

pascamenopause di RSUD Kota Semarang (15).

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwasanya usia tidak

berpengaruh terhadap terjadinya osteoporosis, dalam penelitian ini terdapat usia

<50 tahun sebanyak 11 orang (12,6%) yang mengalami osteoporosis dan ada 32

orang (36,8%) yang tidak mengalami osteoporosis, sedangkan usia ≥ 50 ibu ada

41 orang (47,1%) yang mengalami osteoporosis dan ada 3 orang (3,4%) yang

tidak mengalami osteoporosis. Semakin bertambahnya usia, makin tinggi resiko

terkena osteoporosis, karena semakin meningkat usia seseorang maka fungsi

organ akan semakin menurun dan peluang untuk kehilangan tulang semakin

meningkat. Sekitar 0,5–1% pada wanita paska menopause dan pria dengan usia

lebih dari 80 tahun kehilangan massa tulang setiap tahunnya, sehingga lebih besar

untuk berisiko osteoporosis. Dengan bertambahnya usia, sel osteoblast akan lebih

cepat mati karena adanya sel osteoclast yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang

tidak dapat digantikan dengan baik dan massa tulang akan terus menurun.

Penurunan kepadatan tulang dimulai pada usia 30 tahun ke atas dan

semakin berkurang seiring berjalannya waktu dan usia hidup. Sekitar 35% tulang

padat dan 50% tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria

akan berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tersebut. Wanita akan kehilangan
90

tulang lebih banyak daripada pria, karena laju penghancuran tulang meningkat

akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa

tulang lebih sedikit sehingga sangat mudah mengalami patah tulang. Massa tulang

akan berkurang setelah usia sekitar 40 tahun. Penyerapan tulang tulang jauh lebih

cepat dibandingkan dengan proses pembentukan tulang, yang mana kondisi

tersebut juga dipengaruhi oleh kemunduran produksi hormone pengendali seperti

kalsitosin, estrogen dan testosteron. Kalsitosin aktifitasnya mengendur pada saat

menginjak usia 50 tahun, estrogen mulai pada saat usia 40 tahun dan estrogen

pada usia 60 tahun sehingga sering timbul osteoporosis pada usia ini, namun tidak

pada penelitian ini, bahwasannya peneliti menemukan hal yang berbeda dari teori,

penelitian ini menemukan bahwa ibu yang mengalami osteoporosis lebih dominan

berusia <50 tahun dibandingkan ibu yang berusia >50 tahun.

Menurut hasil penelitian ditunjukkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh

terjadinya osteoporosis. Hal ini dikarenakan dengan kebiasaan hidup sehat pada

usia berapapun maka terjadinya osteoporosis dapat dihindari. Namun begitu ibu

yang berusia > 50 tahun tidak menutup kemungkinan akan mengalami

osteoporosis, dimana semakin tinggi usia ibu, proporsi osteoporosis juga semakin

besar. Secara teori juga disebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, masa tulang yang

hilang akan lebih banyak dari pada masa tulang yang dibentuk, sehingga dengan

meningkatnya usia, masa tulang akan semakin berkurang. Teori menyebutkan

bahwa periode menopause berpengaruh terhadap masa tulang karena adanya

penurunan jumlah hormon estrogen dan progesteron. Dengan adanya penurunan

estrogen sebagai pelindung massa tulang, maka massa tulang akan lebih cepat
91

berkurang. Terjadinya menopause yang lebih awal akan mengakibatkan

penurunan masa tulang yang lebih awal pula.

5.2. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu


Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Variabel aktifitas fisik memiliki nilai sig-p 0,012 < 0,05 artinya aktifitas

fisik memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel usia

menunjukkan nilai OR 31,259, maka aktifitas fisik yang tidak baik memiliki

pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 31 kali lipat dibandingkan

aktifitas fisik yang baik. Nilai B = Logaritma Natural dari 31,259 = 3,442. Oleh

karena nilai B bernilai positif, aktifitas fisik mempunyai pengaruh positif terhadap

kejadian osteoporosis.

Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap

kesehatan yaitu terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker,

tekanan darah tinggi, kencing manis, serta berat badan terkendali, otot lebih lentur

dan tulang lebih kuat, bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional, lebih percaya

diri, lebih bertenaga dan bugar, dan secara keseluruhan keadaan kesehatan

menjadi lebih baik.

Lansia yang tidak aktif dalam beraktivitas fisik memiliki peluang lebih

besar terkena osteoporosis daripada lansia yang aktif beraktivitas fisik.

Peningkatan keseimbangan metabolisme tubuh, pertumbuhan dan penguatan

tulang merupakan manfaat yang dapat dirasakan tubuh apabila banyak bergerak.

Olahraga menggerakkan semua otot tubuh, sehingga akan merangsang tulang


92

untuk bertumbuh dan melatih tulang menjadi lebih kuat, padat dan keras. Semakin

teratur dan rajin berolahraga, maka peredaran darah menjadi semakin baik, dan

nutrisi yang baik akan terus dialirkan ke tulang untuk keperluan pertumbuhan.

Olahraga berguna agar tulang tidak banyak mengalami pengeroposan. Selain itu

olahraga juga menguatkan otot, mengurangi rasa nyeri, melatih keseimbangan

tubuh, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang berjudul

“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota

Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisia

diperoleh p= 0,354 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji

hipotesis dimana nilai p > 0,05. Karena nilai p= 0,354 > 0,05, maka dapat

dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko

aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis pada wanita pasca menopause di

RSUD Kota Semarang (15).

Selanjutnya penelitian yang dilakuka oleh Renidayati tahun 2011 tentang

Faktor Risiko terjadinya Osteoporosis pada Wanita Menopause, menunjukkan

bahwa 33,3% responden mengalami osteoporosis, 33,3% responden memiliki

badan kurus, 51% responden memiliki aktifitas rendah dari 54,9% responden

memiliki diet buruk. Terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran tubuh,

aktifitas (latihan) dan diet dengan kejadian osteoporosis (p=0,000). Disarankan

kepada pimpinan Puskesmas Bangkiang untuk mengeluarkan kebijakan rutin

untuk wanita tentang pentingnya aktifitas (latihan) dan meningkatkawn diet bagi

wanita menopause (53).


93

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwasanya ada pengaruh

antara aktifitas fisik terhadap terjadinya osteoporosis, dimana dalam penelitian ini

ditemukan dari 44 orang yang melakukan aktifitas fisik dengan baik terdapat

sebanyak 10 orang (11,5%) yang mengalami osteoporosis dan ada 34 orang

(39,1%) yang tidak mengalami osteoporosis, sedangkan dari 43 ibu yang

melakukan aktifitas tidak baik, sebanyak 42 orang (48,3%) yang mengalami

osteoporosis dan sebanyak 1 orang (1,1%) yang tidak mengalami osteoporosis.

Kebiasaan masyarakat dalam gaya hidup yang kurang sehat dapat memicu

timbulnya resiko osteoporosis lebih cepat, ditambah dengan aktifitas fisik yang

tidak baik yang mengakibatkan keseimbangan kalsium menjadi negatif maka akan

mempercepat terjadinya osteoporosis, biasanya dengan berolahraga menggerakkan

semua otot tubuh, akan merangsang tulang untuk bertumbuh dan melatih tulang

menjadi lebih kuat, padat dan keras. Semakin teratur dan rajin berolahraga, maka

peredaran darah menjadi semakin baik, dan nutrisi yang baik akan terus dialirkan

ke tulang untuk keperluan pertumbuhan.

Olahraga berguna agar tulang tidak banyak mengalami pengeroposan.

Selain itu olahraga juga menguatkan otot, mengurangi rasa nyeri, melatih

keseimbangan tubuh, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan, tulang memiliki

kemampuan untuk beradaptasi terhadap beban, semakin besar aktivitas yang

diciptakan oleh latihan maka semakin kuat pula massa tulang. Seseorang yang

jarang melakukan aktifitas fisik akan mengakibatkan turunnya massa tulang dan

dengan bertambahnya usia terutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi

lemah, sehingga akan berpeluang untuk timbulnya patah tulang, sejalan pada
94

penelitian ini terdapat pengaruh antara aktivitas fisik dengan terjadinya

osteoporosis yang mana pada penelitian ini ibu yang mengalami osteoporosis

dominan yang memiliki aktivitas fisik yang buruk.

Menurut peneliti aktifitas fisik sangat mempengaruhi pembentukan masa

tulang, beberapa hasil penelitian menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki,

berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberi pengaruh melindungi tulang

dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Kurang

aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dan mengurangi

masa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa

tulang yang lebih besar. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tinggi

aktifitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun

cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat

sedang dan rendah.

5.3. Pengaruh Merokok terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu


Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Variabel merokok memiliki nilai sig-p 0,223 > 0,05 artinya aktifitas fisik

memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah

Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel merokok

menunjukkan nilai OR 0,064, maka merokok memiliki pengaruh terhadap

kejadian osteoporosis sebanyak 0,1 kali lipat dibandingkan yang tidak merokok.

Nilai B = Logaritma Natural dari 0,064 = -2,742. Oleh karena nilai B bernilai

negatif, maka merokok mempunyai pengaruh negatif terhadap kejadian

osteoporosis.
95

Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen

sehingga kadar estrogen, pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah

daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan

mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat

badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini (kira-kira

5 tahun lebih awal) dari pada non-perokok.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul

“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota

Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara merokok terhadap terjadinya osteoporosis yang dilihat dari hasil analisia

diperoleh p= 0,000 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji

hipotesis dimana nilai p<0,05. Karena nilau p = 0,000 < 0,05 maka dapat

dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko riwayat

keluarga yang pernah mengalami osteoporosis sebelumnya dengan terjadinya

osteoporosis pada wanita pascamenopause Di RSUD Kota Semarang (15).

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadani tahun 2010

tentang Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya,

menunjukkan bahwa faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah faktor

yang bisa dirubah (alkohol, merokok, BMI kurang, kurang gizi, kurang olahraga,

jatuh berulang) dan faktor yang tidak bisa diubah (umur, jenis kelamin, riwayat

keluarga, menopause, penggunaan kortikosteroid, rematoid arthritis). Karena

puncak kepadatan tulang dicapai pada sekitar usia 25 tahun, maka sangatlah

penting untuk membangun tulang yang kuat di sepanjang usia, sehingga tulang-
96

tulang akan tetap kuat dikemudian hari. Asupan kalsium yang memadai

merupakan bagian penting untuk membangun tulang yang kuat (54).

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dimyati tahun 2017 tentang

Pengaruh Antara Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Sikap Lansia terhadap

Kejadian Osteoporosis, menunjukkan bahwa ada pengaruh (p<0,05) antara

aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan sikap terhadap kejadian osteoporosis.

Odds Ratio (OR) yang diketahui dalam penelitian ini, yaitu pada aktivitas fisik

sebesar 14,764, kebiasaan merokok sebesar 9,646, dan sikap sebesar 5,623.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah aktivitas fisik yang paling berpengaruh

terhadap kejadian osteoporosis setelah dikontrol kebiasaan merokok dan sikap

lansia (55).

Menurut hasil penelitian kerusakan tulang akibat rokok merupakan proses

jangka panjang, sehingga semakin muda usia seseorang pertama kali merokok

maka semakin besar mengalami osteoporosis di masa tua. Saat usia anak-anak

hingga usia 30 tahun merupakan masa dimana tubuh menyimpan nutrisi untuk

membangun kepadatan tulang. Ketika individu merokok pada masa tersebut maka

kemampuan tubuh untuk menyimpan nutrisi akan berkurang sehingga mereka

yang merokok akan memiliki masa tulang yang lebih rendah saat

dewasa. Kepadatan kandungan mineral pada tulang individu perokok dilaporkan

lebih rendah 15-30% dibandingkan orang-orang yang tidak merokok. Setelah usia

30 tahun maka massa tulang akan menurun dengan sendirinya secara perlahan,

dan proses regenerasinya pun ikut melambat. Pada masa ini, kepadatan tulang

yang hilang tidak akan bisa kembali. Dengan ditambah kebiasaan merokok, maka
97

proses penurunan kepadatan tulang bisa terjadi bahkan lebih cepat lagi

sehinga berkembang menjadi osteopenia, yang merupakan gejala awal

osteoporosis.

Efek jangka panjang dari bahaya rokok terhadap kesehatan tulang juga

tidak terbatas pada individu yang menghisap rokok saja namun juga orang lain

yang menghirup atau terpapar asap rokok. Hal tersebut dikarenakan sebagian

besar racun terdapat pada asap rokok yang dapat terhirup dan diserap sehingga

menimbulkan efek kerusakan yang sama pada tubuh dan tulang orang-orang di

sekitar perokok. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan, yang mana ibu

yang merokok lebih dominan mengalami osteoporosis dan dari beberapa

wawancara yang dilakukan pada ibu yang mengalami osteoporosis mengatakn

bahwa ibu tidak merokok, namun ibu sering terpapar asap rokok di keseharian

ibu.

5.4. Pengaruh Riwayat Keluarga terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu


Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Variabel riwayat keluarga memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya riwayat

keluarga memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel riwayat

keluarga menunjukkan nilai OR 36,869, maka responden yang terdapat riwayat

keluarga osteoporosis memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis

sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga

osteoporosis. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 36,869 = 3,607. Oleh
98

karena nilai B bernilai positif, riwayat keluarga mempunyai pengaruh positif

terhadap kejadian osteoporosis.

Riwayat keluarga dengan osteoporosis, diperkirakan sebesar 60-80% salah

satu anggota keluarga akan lebih mudah mengalami osteoporosis. Pada ibu yang

pernah mengalami patah tulang belakang, maka anak perempuannya akan lebih

cepat mengalami pengeroposan massa tulang dan lebih berisiko mengalami

osteoporosis. Ukuran dan densitas tulang dipengaruhi oleh adanya genetik. Selain

itu, faktor keluarga memberi pengaruh dalam seseorang melakukan aktivitas fisik

dan kebiasaan makan. Sehingga dengan aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan

makan yang tidak baik dan kepadatan tulang yang rendah akan lebih berpeluang

untuk terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Faktor genetik berperan dalam

terjadinya osteoporosis, sebesar 60% yang terbukti berperan dalam kepadatan

mineral tulang.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul “Faktor

Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota Tangerang,

yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan riwayat

keluarga terhadap terjadinya osteoporosis yang dilihat dari hasil analisia diperoleh

p = 0,000 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji hipotesis

dimana nilai p < 0,05. Karena nilau p = 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko riwayat keluarga yang

pernah mengalami osteoporosis sebelumnya dengan terjadinya osteoporosis pada

wanita pascamenopause di RSUD Kota Semarang (15).


99

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ramadani tahun 2010 tentang

Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya, menunjukkan

bahwa faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah faktor yang bisa dirubah

(alkohol, merokok, BMI kurang, kurang gizi, kurang olahraga, jatuh berulang)

dan faktor yang tidak bisa diubah (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,

menopause, penggunaan kortikosteroid, rematoid arthritis). Karena puncak

kepadatan tulang dicapai pada sekitar usia 25 tahun, maka sangatlah penting untuk

membangun tulang yang kuat di sepanjang usia, sehingga tulang-tulang akan tetap

kuat dikemudian hari. Asupan kalsium yang memadai merupakan bagian penting

untuk membangun tulang yang kuat (54).

Menurut peneliti faktor genetika juga memiliki konstribusi terhadapa

massa tulang. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang

osteoporosis rata-rata memiliki masa tulang yang lebih rendah daripada anak

seusia mereka (kira-kira 3-7% lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam

keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan faktor risiko seseorang mengalami

patah tulang, sama halnya pada penelitian ini yang mana menunjukan faktor

riwayat keluarga berpengaruh terhadap terhadap kejadian osteoporosis di

Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat yang mana dapat dilihat dari hasil uji

statistik diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,038 < 0,05.

5.5. Pengaruh Riwayat Fraktur terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu


Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat

Variabel riwayat fraktur memiliki nilai sig-p 0,035 < 0,05 artinya riwayat

fraktur memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di


100

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel merokok

menunjukkan nilai OR 21,859, maka yang ada riwayat fraktur memiliki pengaruh

terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 22 kali lipat dibandingkan yang tidak

memiliki riwayat fraktur. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 21,859 =

3,085. Oleh karena nilai B bernilai positif, riwayat fraktur mempunyai pengaruh

positif terhadap kejadian osteoporosis.

Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan

jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan

kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka

terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres

kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. Fraktur dapat

terjadi oleh karena beberapa sebab, dan sebab-sebab itu tidak hanya trauma berat.

Kadang-kadang trauma ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya

sendiri terkena penyakit tertentu. Trauma atau tekanan ringan yang berulang dan

terus menerus juga dapat menyebabkan fraktur dan berakbat terjadinya

osteoporosis.

Pada wanita yang pernah patah tulang belakang risiko mengalami

patah tulang pergelangan tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali

dan tulang panggul 2-3 kali. Pada orang yang pernah mengalami patah tulang

pergelangan tangan akan berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-

4kali, patah tulang belakang 2-7 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali.

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul

“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota


101

Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara riwayat fraktur terhadap terjadinya osteoporosis yang dapat dilihat dari

hasil analisia diperoleh p = 0,011 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi

square untuk uji hipotesis dimana nilai p<0,05. Karena nilai p= 0,011 < 0,05 maka

dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko

riwayat fraktur sebelum terjadinya osteoporosis dengan terjadinya osteoporosis

pada wanita pascamenopause Di RSUD Kota Semarang (15).

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Santoso tahun 2012 tentang

Faktor-Faktor Penyebab Osteoporosis, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor

yang dapat menyebabkan osteoporosis, baik osteoporosis primer maupun

osteoporosis sekunder dengan patofisiologinya, dimana dari semua faktor

penyebab yang ada ditemukan adanya penurunan densitas masa tulang yang nyata

disertai dengan peningkatan risiko terjadinya fraktur pada tulang tersebut (56).

Menurut peneliti pada orang yang pernah patah tulang panggul akan

berisiko mengalami patah tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang panggul

1-2 kali. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat

fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis, namun berbanding

terbalik dengan penelitian ini, yang mana pada penelitian ini menunjukan faktor

riwayat fraktur tidak ada pengaruh terhadap terhadap kejadian osteoporosis di

Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat yang mana dapat dilihat dari hasil uji

statistik diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,035 < 0,05. Fraktur atau patah

tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan tulang terputus.

Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai,


102

apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah

tulang). Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik dan fraktur osteoporosis

dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan

kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur

proksimal.

5.6. Keterbatasan dalam Penelitian

Pelaksaan penelitian ini telah dilakukan sebaik mungkin, hal ini dilakukan

agar memperoleh hasil dan kesimpulan yang benar-benar merupakan kondisi yang

sesungguhnya terjadi. Akan tetapi pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari

kekurangan dan kelemahan karena tidak sedikit hal-hal yang terjadi yang mana

tidak sesuai dengan hal telah direncanakan sebelumnya dalam melakukan

pemeriksaan yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Berbagai keterbatasan

yang dirasakan selama melakukan penelitan antara lain:

1. Kemungkinan jawaban yang diberikan responden kurang menggambarkan

kondisi yang sesungguhnya. Hal ini terjadi karena kondisi dan pemahaman

responden terhadap pernyataan butir pertanyaan dan saat wawancara pada saat

menjawab kurang kejujuran sehingga jawaban yang diberikan kurang optimal.

2. Keterbatasan waktu, terutama waktu yang begitu relatif singkat untuk

melakukan penelitian dikarenakan ada saja kegiatan yang tidak bisa diketahui

peneliti terhadap informan yang diteliti, dan demikian juga keterbatasan waktu

yang dimiliki peneliti sendiri.


103

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan terkait Faktor

Resiko Yang Memengaruhi Terjadinya Menopause dapat diambil beberapa

kesimpulan untuk penelitian ini yaitu:

1. Ada pengaruh antara usia terhadap terjadinya osteoporosis di Wilayah Kerja

Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.

2. Ada pengaruh antara aktifitas fisik terhadap terjadinya osteoporosis di Wilayah

Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.

3. Tidak ada pengaruh antara merokok terjadinya osteoporosis di Wilayah Kerja

Puskesmas Stabat Kabupaten.

4. Ada pengaruh antara riwayat keluarga terhadap terjadinya osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.

5. Ada pengaruh antara riwayat fraktur terhadap terjadinya osteoporosis di

Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.

6.2. Saran

1. Bagi Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi responden

tentang faktor risiko penyebab terjadinya osteoporosis sehingga dapat

mengambil tindakan pencegahan sebelum osteoporosis semakin parah dan

103
104

menimbulkan dampak yang buruk seperti patah tulang/fraktur, keropos tulang

dan rasa nyeri pada tulang yang luar biasa.

2. Bagi Tempat Penelitian (Puskesmas)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi puskesmas dalam

penanganan osteoporosis dan dapat meningkatkan pengelolaan program

pencegahan osteoporosis dengan upaya-upaya promosi kesehatan yang

bertujuan member informasi kepada ibu yang mulai memasuki usia

menopause tentang pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah dari

osteoporosis, karena wanita menopause pada usia diatas 50 tahun lebih

berisiko untuk terkena osteoporosis.

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber ilmu, wawasan serta dapat

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti, dan penelitian ini dapat

menjadi acuan dan sumber referensi nantinya bagi peneliti untuk dapat

melakukan penelitian lanjutan dengan variabel-variabel yang berbeda lainnya.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai sarana pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca lainnya dalam

proses pengembangan ilmu dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain

yang ingin mengembangkan topik dalam penelitian dalam proses belajar

mengajar serta menambah referensi di perpustakaan sebagai bahan bacaan.


105

DAFTAR PUSTAKA

1. Misnadiarly. Osteoporosis Pengenalan, Faktor Risiko, Pencegahan dan


Pengobatan. Jakarta: Permata Puri Media; 2013.
2. Proverawati A. Menopause dan Sindrom Pramenopause. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2010.
3. World Health Organization. Who Scientific Group on the Assessment of
Osteoporosis At Primary Health. 2004;5–7.
4. La Ode S. Asuhan Keperawatan Genetik. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
5. Tandra H. Osteoporosis. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama; 2009.
6. Briot K, Roux C, Thomas T, Blain H, Buchon D, Chapurlat R, et al. 2018
update of French Recommendations on the Management of Postmenopausal
Osteoporosis. Jt Bone Spine. 2018;85(5):519–30.
7. Kemenkes RI. Infodatin-Osteoporosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Pusat Data dan Informasi; 2015.
8. Depkes RI. Kecenderungan Osteoporosis di Indonesia 6 Kali Lebih Tinggi
Dibanding Negeri Belanda. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2009.
9. Kusmiran. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba
Medika; 2011.
10. Manuaba IAC, Manuaba IBGF, Manuaba IBG. Memahami Kesehatan
Reproduksi Wanita. Jakarta: Arcan; 2009.
11. Northrup. Bijak Disaat Menopause Menciptakan Kesehatan Fisik dan
Emosional Saat Menghadapi Perubahan. Bandung: Q-Press; 2006.
12. Kahn EB, Ramsey LT, Brownson RC, Heath GW, Howze EH, Powell KE, et
al. The Effectiveness of Interventions to Increase Physical Activity A
Systematic Review and the Task Force on Community Preventive Services.
Am J Prev Med. 2002;22(4S):73–108.
13. Safitri A. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Menopause Pada Wanita Di
Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009. Fak Kesehat Masy Univ
Sumatera Utara. 2009;
14. Wardhana W. Faktor-Faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan Usia di
Atas 50 Tahun Lembar Pengesahan Laporan Hasil Kti Faktor – Faktor Risiko
Osteoporosis pada Pasien dengan Usia di Atas 50 Tahun. 2012;
15. Kridiana O. Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause (Studi
di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang). Fak Ilmu Keolahragaan
Univ Negeri Semarang. 2012;1–93.
16. Marjan AQ, Marliyati SA. Hubungan antara pola konsumsi pangan dan
aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di panti werdha bogor
(. 2013;8(2):123–8.
17. Permatasari D, Oktavianus, Wicaksono A. Hubungan Aktivitas Fisik dan
Terjadinya Osteoporosis Pada Wanita Pasca Menopause di Poliklinik Beah
Tulang RSUD Dokter Soedarso Pontianak. Electron Publ. 2013;3(1):1–21.
18. Handayani, Y, Oktavianus, Trianto HF. Gambaran Risiko Osteoporosis
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada Lanjut usia di Panti Sosial

105
106

Tresnawerdha Mulia Dharma di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013. Junal


Univ Tanjungpura. 2013;1–12.
19. Pratiwi R. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Osteoporosis
di Puskesmas Pondok Betung. Univ Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
2014;1–111.
20. Januwati TM, Yunitasari E, Nastiti AA. Hubungan Antara Aktifitas Fisik
Dengan Resiko Osteoporosis Wanita Menopause Pada Ibu PKK RT 02 RW
01 Di Kelurahan Komplek Kenjeran Surabaya. J Keperawatan Univ
Airlangga. 2019;48(9):67–72.
21. Kasper D, Fauci AS, Hauser SL, Longo, Braunwald E, Harrison TR.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Professional; 2008.
22. Johnell O, Kaufman J, Cummings S, Lane J, Bouxsein M, Babbitt A, et al.
Recommendations for Care of the Osteoporotic Fracture Patient to Reduce
the Risk of Future Fracture Developed by the World Orthopedic Osteoporosis
Organization (WOOO). 2004;1–6.
23. Hilmy CR. Patofisiology dari Osteoporosis. Simposium Osteoporosis.
Jakarta: PABOL; 1995.
24. WHO. Assessment of Fracture Risk and Its Application to Screening for
Postmenopausal Osteoporosis. Geneva: Report of a WHO Study Group;
1994.
25. Tian L, Yang R, Wei L, Liu J, Yang Y, Shao F, et al. Prevalence of
osteoporosis and related lifestyle and metabolic factors of postmenopausal
women and elderly men: A cross-sectional study in Gansu province,
Northwestern of China. Medicine (Baltimore). 2017;96(43):e8294.
26. Rachmatullah P, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing M. Osteoporosis pada
Usia Lanjut Tinjauan dari Segi Geriatri. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2007. 126 p.
27. Tandra H. Segala Sesuatu yang Harus anda Ketahui tentang Osteoporosis:
Mengenal, Mengatasi dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 2009.
28. Kosnayani AS. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks
Massa Tubuh dengan Kepadatan Tulang pada Wanita pascamenopause.
Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; 2007.
29. Prameswari N, Liben P. Peranan RANK, RANKL, dan Osteoprotegerin
dalam Osteoklastogenesis. Maj Ilmu Faal Indones. 2004;3:109–20.
30. Lane NE. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families.
New York: Oxford University Press; 1999.
31. Sarpini, Rusbandi. Osteoporosis. Apa dan Bagaimana Mencegah? War
Kesehat TNI-AL.
32. Barker ME, McCloskey E, Saha S, Gossiel F, Charlesworth D, Powers HJ, et
al. Serum retinoids and β-carotene as predictors of hip and other fractures in
elderly women. J Bone Miner Res. 2005;20(6):913–20.
33. Compston J. Seri kesehatan Osteoporosis. Jakarta: Dian Rakyat; 2002.
34. Guglielmi G. Osteoporosis and Bone Densitometry Measurements (Medical
Radiology). Berlin: Springer; 2013.
107

35. Junaidi I. Osteoporosis. Jakarta: Buana Ilmu Polpuler; 2007.


36. Barrett K, Brooks H, Boitano S, Barman S. Cardiovascular Regulatory
Mechanisms in Review of Medical Physiology. 23rd ed. Ganong’s review of
medical physiology. New York: McGraw Hill Companies; 2010. 555–568 p.
37. Wahjudi N. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC; 2008.
38. Bowman BA, Russell RM. No Title. Washington DC: International Life
Sciences Institute; 2001.
39. Ilyas M. Perbandingan Marfometri Vertebra Lumbal Dengan Metacarpal
Untuk mendeteksi Dini Osteoporosis di RS. DR. Wahidin Sudirohusono
Makassar. J Med Nusant. 2006;27(4).
40. Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis Jawa. Media
Med Indones. 2008;43(2):57–67.
41. Mangoenprasodjo S. Osteoporosis dan Bahaya Tulang Rapuh. Yogyakarta:
Thinkfresh; 2005.
42. Tebe C DRL et all. Risk factors for fragility fractures in a cohort of Spanish
women. 2001.
43. Kemenkes RI. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Pusat Data dan Informasi; 2008.
44. Sitepoe M. Kekhususan Rokok di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo; 2010.
45. Foundation NO. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of
Osteoporosis [Internet]. 2011. Available from:
http://www.nof.org/professionals/clinical-guidelines
46. Kasdu D. Kiat Sehat dan Bahagia di Usia Menopause. Jakarta: Puspa Swara;
2002.
47. Reitz R. Menopause, Suatu Pendekatan Positif. Jakarta: Bumi Aksara; 1993.
48. Northrup C. Bijak di Saat Menopause. Bandung: Q-Press; 2010.
49. Mulyani NS. Menopause. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.
50. Creswell J. Research Design Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.
51. Muhammad I. Panduan penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan
Menggunakan Metode Ilmiah. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis; 2015.
52. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta; 2010.
53. Renidayati, Clara, Sunardi. Faktor Risiko Terjadinya Osteoporosis Pada
Wanita Menopause. NERS J Keperawatan. 2011;7(2):130.
54. Ramadani M. Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya.
Stud Lit. 2010;4(2):111–5.
55. Dimyati KF. Pengaruh Antara Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Sikap
Lansia terhadap Kejadian Osteoporosis. J Berk Epidemologi. 2017;5(1):107–
17.
56. Santoso PB. Faktor-Faktor Penyebab Osteoporosis. Skripsi; 2012.
108
109
110

Lampiran 2
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
No. AF1 AF2 AF3 AF4 AF5 Jumlah M1 M2 M3 M4 M5 Jumlah RK1 RK2 RK3 RK4 RK5 Jumlah RF1 RF2 RF3 RF4 RF5 Jumlah
1 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5
2 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1
4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5
5 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 0 0 1 1 1 3
6 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 0 0 0 0 1
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1
8 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5
11 1 1 1 1 0 4 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5
12 0 1 0 0 1 2 0 1 0 0 1 2 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 2
13 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1
14 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 0 0 1 1 1 3 1 1 0 1 1 4
15 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 0 3 0 0 1 1 1 3
16 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 0 0 0 2
17 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1
18 1 1 1 1 1 5 1 1 0 1 1 4 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5
19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2
20 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5

Keterangan :
1 : Ya
0 : Tidak
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130

Lampiran 6
131

Lampiran 7
132

Lampiran 8
133

Lampiran 9
134

Lampiran 10
135

Lampiran 15
DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Pembagian Kuesioner Penelitian


136

Gambar 2. Pembagian Kuesioner Penelitian

Anda mungkin juga menyukai