Anda di halaman 1dari 3

Latar belakang keluarga

Lahir pada 20 Oktober 1889, Luo Yixiu adalah anak perempuan pertama Luo Helou (罗合楼;
1871–1943), seorang shenshi (绅士) atau cendekiawan di desanya yang mencari nafkah sebagai
petani, dan istrinya (1869–1912) yang bermarga Mao dan merupakan bibi jauhnya Mao Zedong.
[9][b]
 Meskipun sejarawan Lee Feigon menyatakan bahwa keluarga Luo memiliki pengaruh di
daerah tempat tinggal mereka,[8] biografer Mao, Alexander V. Pantsov dan Steven I. Levine,
menyatakan bahwa mereka adalah keluarga yang miskin. [11] Luo Helou dan istrinya memiliki lima
putra dan lima putri, tetapi tujuh di antaranya telah meninggal dan hanya menyisakan tiga putri.
Ketiadaan anak laki-laki dewasa dari pasangan tersebut menurunkan status sosial mereka,
karena dalam masyarakat Tionghoa pada waktu itu, hanya anak laki-laki yang dapat melanjutkan
garis silsilah keluarganya.[12]

Pernikahan
Persiapan

Mao Yichang (kiri) menyelenggarakan pernikahan


putra sulungnya, Mao Zedong (kanan).
Mao Zedong lahir dan dibesarkan di tanah pertanian ayahnya di Shaoshanchong, sebuah desa
kecil yang dinamai berdasarkan Pegunungan Shaosan yang terletak di dekatnya. [13] Ayahnya
yang tegas, Mao Yichang, memutuskan untuk mengatasi tingkah Mao Zedong yang suka
memberontak dengan cara yang lazim pada masa itu, yaitu dengan menjodohkannya secara
paksa agar ia dapat bersungguh-sungguh dalam mengurus keluarga. [14] Yichang juga
menginginkan adanya seorang menantu untuk membantu istrinya, Wen Qimei, yang
kesehatannya menurun setelah bertahun-tahun bekerja keras sebagai petani. [12] Ia memilih Luo
Yixiu pada akhir 1907 atau 1908. [11] Hubungan kekerabatannya dengan keluarga Mao
kemungkinan berperan dalam penjodohan tersebut, karena keempat saudara ibu Luo Yixiu,
yang bermarga Mao, tinggal hanya sekitar dua li (satu kilometer) dari rumah Mao Yichang di
Shaoshanchong.[10] Dengan mengikuti tata cara tradisional, seorang comblang dikirim ke rumah
keluarga Luo. Keluarga pengantin tidak dapat langsung menerima lamaran tersebut karena hal
tersebut dianggap tidak patut pada masa tersebut, sehingga proses perjodohannya berlangsung
lama.[12] Luo Helou senang karena dapat menikahkan putri sulungnya. [12] Pada akhirnya, kedua
keluarga tersebut saling bertukar hadiah dan menandatangani akta nikah yang dianggap tidak
dapat dilanggar.[12]
Mao Zedong pertama kali bertemu dengan Luo Yixiu pada hari saat akta nikah ditandatangani.
[12]
 Cucu Mao Zedong, Kong Dongmei, menyatakan bahwa Mao tak senang dengan jodoh pilihan
ayahnya dan lebih menyukai sepupunya, Wang Shigu. Namun, rencana menikahi Wang tidak
seia sekata dengan seorang peramal setempat karena ramalan perjodohan mereka tidak cocok.
[12]
 Meskipun tidak suka dengan perjodohan yang direncanakan ayahnya, Mao bersedia menikahi
Luo.[12] Pada waktu itu, Mao berusia empat belas tahun, sedangkan Luo secara keliru dinyatakan
berusia dua puluh tahun oleh Edgar Snow;[15] kesalahan ini kemudian dibenarkan oleh penulis
biografi Mao Ross Terrill dan Philip Short.[16] Sementara itu, Jung Chang dan Jon Halliday serta
Alexander V. Pantsov dan Steven I. Levine menyatakan bahwa Luo berusia delapan belas tahun
saat menikah.[17]

Perkawinan
Perkawinan Mao dengan Luo diadakan pada tahun 1908. [2] Menurut sejumlah biografer Mao,
upacara tersebut diadakan menurut tata adat pedesaan Hunan. Oleh sebab itu, kemungkinan
perkawinan itu diawali dengan sebuah pesta di rumah mempelai laki-laki sehari sebelum
upacara berlangsung; pesta tersebut dihadiri oleh teman dan kerabat. Keesokan harinya,
mempelai perempuan dipakaikan busana merah dengan wajah yang ditutupi kain merah, lalu
diusung menggunakan tandu merah ke rumah keluarga mempelai laki-laki. Di sana, kain
penutup wajahnya dibuka, dan mempelai perempuan diharapkan menunjukkan perasaan tidak
senang atau tidak puas terhadap mempelai laki-laki dengan menghinanya secara terang-
terangan.[18] Menurut tradisi, penyulutan kembang api juga dilakukan. Sesudah itu, mempelai laki-
laki dan perempuan melakukan kowtow (sujud, membungkuk) kepada para tamu, lalu di
depan altar leluhur mempelai laki-laki, kepada para dewa-dewi, dan kepada satu sama lain. [19]
Jika adat Hunan benar-benar diikuti secara menyeluruh, perjamuan nikah dapat berlanjut selama
dua hari. Dalam acara tersebut, para tamu memberikan hadiah (biasanya uang) kepada
pengantin baru.[12] Puncak acara pernikahan tersebut ialah ketika para tamu memasuki kamar
pengantin. Di sana mereka akan membuat berbagai kode-kode yang bersifat seksual, dipimpin
oleh seseorang yang wajahnya dihitamkan. [20] Dalam tradisi pedesaan Tiongkok, mempelai
perempuan diharapkan dapat menunjukan noda darah pada kain kasur yang dipakai saat malam
perkawinannya untuk membuktikan bahwa selaput daranya telah dijebol saat berhubungan
seksual, pertanda bahwa ia menikah dalam keadaan masih perawan.[20]

Kehidupan pernikahan

Rumah keluarga Mao di Shaoshanchong pada tahun 2010; di rumah inilah Luo tinggal sesudah menikah.

Menurut keterangan yang ia tuturkan kepada Snow, Mao menolak untuk tinggal dengan istrinya
dan mengaku bahwa mereka tidak pernah berhubungan seks.[21] Tak lama setelah menikah, ia
melarikan diri dari rumah untuk tinggal dengan seorang pelajar pengangguran di Shaoshan. [22] Di
sana, ia mengisi waktu dengan membaca, kebanyakan yang dibaca merupakan karya-karya
sejarah seperti Catatan Sejarawan Agung karya Sima Qian dan Sejarah Bekas Dinasti
Han karya Ban Gu dan traktat-traktat politik seperti Protes-Protes Pribadi dari Pembelajaran Jiao
Bin karya Feng Guifen.[22]
Karena telah menjadi anggota keluarga Mao, Luo tinggal bersama kedua mertuanya, Mao
Yichang dan Wen Qimei. Namun, ia digunjingkan oleh masyarakat karena kepergian suaminya;
beberapa warga menganggapnya sebagai gundik Yichang.[22] Luo Yixiu meninggal karena
disentri pada 11 Februari 1910, sehari setelah Tahun Baru Imlek.[23] Setelah Mao Zedong kembali
ke rumah, ayahnya memaafkan pembangkangannya, dan pada musim gugur tahun 1910
bersedia membiayai pendidikannya di Sekolah Dasar Tinggi Dongshan, sehingga Mao
meninggalkan Shaoshanchong. [24] Pada tahun 1936, saat Mao berkata kepada Snow, "Saya tidak
menganggapnya sebagai istri",[15] ia sama sekali tidak bercerita tentang kematian Luo. [2] Makam
Luo Yixiu berada di sebuah gunung yang menghadap bekas tempat tinggal Mao Zedong di
Shaoshanchong, beberapa langkah dari makam orangtuanya. [25]
Peristiwa setelahnya
Ketika Mao Zedong kembali ke Shaoshan pada 1925 untuk mengurusi sebuah gerakan petani
lokal, ia mengunjungi para kerabat Luo Yixiu, termasuk Luo Helou, dan keponakannya, Luo
Shiquan (罗石泉). Luo Shiquan masuk Partai Komunis pada musim dingin tahun itu dan tetap
menjadi seorang aktivis petani hingga revolusi 1949.[26] Karena Luo Yixiu meninggal tanpa
keturunan, ketika keturunan Mao memperbarui buku silsilah pada tahun 1941, Mao Anlong (毛岸
龙, putra ketiga Mao Zedong dari istri keduanya Yang Kaihui) dimasukkan sebagai keturunan
Luo.[25] Pada tahun 1950, Mao mengutus putra sulungnya, Mao Anying, ke Shaoshan dan
menyuruhnya untuk mengunjungi Luo Shiquan. [27] Mao juga tetap menjalin kontak dengan dua
pria yang menikahi saudari-saudari Luo Yixiu, dan bertemu dengan salah satu dari mereka
ketika ia kembali ke Shaoshan pada tahun 1959, setelah meninggalkannya sejak tahun 1920-an.
[28]

Pengaruh terhadap Mao


Dalam Mao: A Reinterpretation, sejarawan Amerika Lee Feigon menyatakan bahwa pengalaman
Mao tentang perjodohan telah memberinya inspirasi untuk menjadi pembela hak asasi
perempuan pada akhir 1910-an, ketika ia mulai menulis artikel-artikel untuk pers sayap kiri yang
mengkritik sistem kekeluargaan tradisional Tionghoa, dan berpendapat bahwa cinta harus
menjadi penentu utama dalam pernikahan ketimbang kehendak keluarga atau masyarakat.
[8]
 Sebelumnya, keterangan semacam ini pernah diungkapkan oleh jurnalis dan sinolog, Clare
Hollingworth.[29] Senada dengan keterangan ini, Jung Chang dan Jon Halliday menyatakan dalam
buku biografi Mao: The Unknown Story bahwa pengalaman menikah dengan Luo telah membuat
Mao menjadi seorang "penentang keras" perjodohan. [2]
Setelah pernikahannya dengan Luo, Mao menikah dengan tiga wanita lain: Yang Kaihui pada
Desember 1920, He Zizhen pada Mei 1928, dan Jiang Qing pada November 1939.[30]

Anda mungkin juga menyukai