Anda di halaman 1dari 5

AL-IQTISHAD

Kata al-iqtishad yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa


Indonesia menjadi ekonomi, terambil dari kata qasd. Kata ini dengan segala
derivasinya disebut sebanyak enam kali di dalam Al-Qur’an. Al-Isfahani
menuliskan bahwa makna kata al-iqtishad yang akar katanya adalah al-
qasd, bermakna istiqamah al-tariq (jalan lurus). Jika disebut kata qasadtu
qasdahu maknanya nahawtu nahwahu. Selanjutnya Al-Iqtisad memiliki
dua sisi, salah satunya adalah yang mahmud (terpuji) seperti al-jud
(kesederhanaan) merupakan sifat yang baik antara al-israf (boros) dan al-
bukhl (Pelit). Demikian juga dengan syaja’ah (berani) adalah sifat yang baik
antara al-tahawwur (nekat) dan al-jubn (pengecut). Sedangkan sisi lainnya
adalah taraddud (plin-plan atau ragu) antara yang mahmud dengan yang
mazmum.

Di dalam buku-buku ekonomi Islam yang berbahasa Arab, ditemukan


istilah al-iqtishad yang diterjemahkan dengan ekonomi. Baqir Sahdr adalah
contoh cendikiawan Islam awal yang telah melahirkan karya dalam bidang
Ekonomi Islam. Buku itu berjudul Iqtishaduna yang artinya ekonomi kita.
Sebelumnya Baqir Shadr telah menulis buku yang berjudul, Falsafatuna
atau Filsafat kita. Para penulis ekonomi Islam kontemporer juga mengikuti
jejak Shadr dan menulis buku dengan menggunakan kata al-iqtishad.

kata Iqtishad tidak ditemukan pada literatur keislaman klasik. Ia


merupakan kosa kata baru. Hasil penelusuran literatur terhadap kata ini
menunjukkan bahwa istilahIqtishad dimunculkan pertama kali oleh Al-
Ghazali (1058-1111) dalam kitabnya yang terkenal Ihya ‘Ulum Ad-Din.
Dalam kitabnya ini, Al-Ghazali menyatakan mempelajari ilmu Iqtishad
adalah wajib bagi setiap muslim yang bekerja (kullumuslimmuktasab)
sebagaimana kewajiban menuntut ilmu yang lain. Sedangkan tujuan
mempelajarinya tidak lain adalah untuk menghindari kesulitan dalam
bermu’amalah dan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada larangan-
larangan agama, dan agar tidakterjadi kerusakan dalam kehidupan
ekonomi secara luas. Kemudian tahun 1902, istilah Iqtishad muncul dalam
buku yang membahas beberapa persoalan ekonomi, berjudul Ilm Al-
Iqtishadkarya Muhammad Iqbal (1876-1938), seorang tokoh pembaharu
Islam dari India.

Istilah Iqtishad merupakan tashrif (bentuk perubahan) dari kata qashada


yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al Hadits. Iqtishad secara literal berarti
‘seimbang’ (equilibrium, balanced) dan‘tengah tengah’ (in between). Dalam
kata al-qasdu juga terkandung makna ‘al-tawassuth’ (pertengahan,
moderat), dan ‘al-i’tidal’ (sikap adil). Makna-makna ini sangat dekat
dengan salah satu Hadits Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Iman
Ahmad sebagai berikut: “Tidak akan miskin orang yang bersikap ‘iqtashada’
(pertengahan, moderat, adil) dalam pengeluaran/pembelanjaan”.

Sedangkan dalam Al-Qur’an, kata qashada dan tasrifnya disebutkan


sebanyak enam kali didalam al-Quran, sebagai berikut :

1. Dalam al-Quran, sebagai berikut : Dalam surah Al-Nahl ayat 9, kata


qashdu al-sabil diartikan sebagai jalan yang lurus, terjemah ayatnya
sebagai berikut :

ِ ۤ ۤ ِ َّ ‫وعلَى هاّللِ قَص ُد‬


َ ْ ‫السبِْي ِل َومْن َها َجا ِٕىٌر َۗولَ ْو َشاءَ ََلَ هدى ُك ْم اَ ْْجَع‬
‫ي‬ ْ ٰ ََ
“Allahlah yang menerangkan jalan yang lurus dan di antaranya ada
(jalan) yang menyimpang. Jika Dia menghendaki, tentu Dia memberi
petunjuk kamu semua (ke jalan yang benar)”
2. Dalam surat Al-Luqman ayat 32, kata muqtashidun juga diartikan
jalan yang lurus.
ِ ِ ِ ِ ‫واِ َذا َغ ِشي هم َّموج َكالظُّلَ ِل دعوا ه‬
ٰ‫ي لَهُ ال ٰديْ َن ەۚ فَلَ َّما َهنٰ ُىه ْم ا ََل الَِْب‬َ ْ ‫اّللَ ُمُْلص‬
ٰ َُ َ ٌ ْ َُْ َ
ِ ِ ِۗ
‫فَ ِمْن ُه ْم ُّم ْقتَص ٌد َوَما ََْي َح ُد ِبيهتنَآ اَّل ُك ُّل َختَّار َك ُف ْو‬
ٍ َّ ‫ه‬ِ

“Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka
menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya Maka tatkala
Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka
tetap menempuh jalan yang lurus, dan tidak ada yang mengingkari ayat-
ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.”

3. Dalam surat Al-Fatir ayat 32, kata muqtashidun diartikan


pertengahan.
ۚ
‫اصطََفْي نَا ِم ْن ِعبَ ِاد ََن فَ ِمْن ُه ْم ظَ ِاِلٌ لِٰنَ ْف ِسهٖ ۚ َوِمْن ُه ْم‬ ِ ‫ُُثَّ اَورثْنَا الْ ِكت‬
ْ ‫هب الَّذيْ َن‬
َ َْ
ۗ
‫ض ُل الْ َكبِ ْ ُْي‬ ِ ِ‫ص ٌد ۚوِمْن هم سابِ ٌۢق ِِب ْْل هْي ِت ِِبِ ْذ ِن ه‬
ِ
ْ ‫ك ُه َو الْ َف‬ َ ‫اّلل ۗ هذل‬ٰ َْ ٌ َ ْ ُ َ َ‫ُّم ْقت‬

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih
di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya
diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan9 dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.”

4. Dalam surat Al-Maidah ayat 66, kata muqtashidatun diartikan umat


atau golongan pertengahan.

‫اَّل ِْنْي َل َوَمآ اُنْ ِزَل اِلَْي ِه ْم ِٰم ْن َّرّٰبِِ ْم ََّلَ َكلُ ْوا ِم ْن فَ ْوقِ ِه ْم َوِم ْن‬
ِْ ‫ولَو اَََّّنُم اَقَاموا التَّوهرىةَ و‬
َ ْ ُ ْ َْ
ۤ ِ َ‫ت اَرجلِ ِه ۗم ِمْن هم اَُّمةٌ ُّم ْقت‬
‫ص َدةٌ ۗ َوَكثِ ْْيٌ ِٰمْن ُه ْم َساءَ َما يَ ْع َملُ ْو َن‬ ْ ُ ْ ُ ْ ‫ََْت‬
ِ

“Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat


dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya,
niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki
mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan dan Alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.”

5. Dalam surat Al-Luqman ayat 19, kata waaqshid berarti sederhana.


ِ ‫ك اِ َّن اَنْ َكر ْاَّلَصو‬ِۗ ِ ‫ض‬
‫اْلَ ِم ِْْي‬
ْ ‫ت‬ ‫و‬
ُ َْ‫ص‬‫ل‬
َ ‫ات‬َْ َ َ ‫ص ْوت‬
َ ‫ض م ْن‬
ْ ُ ‫ك َوا ْغ‬
ِ ْ‫واق‬
َ ِ‫ص ْد ِ ِْف َم ْشي‬ َ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

6. Dalam ayat 42 surat At-Taubah, kata qaashidan diartikan


(perjalanan) yang sederhana dan dekat.
ۗ ٌۢ
‫ُّقةُ َو َسيَ ْحلِ ُف ْو َن‬ ْ ‫اص ًدا ََّّلتَّبَ عُ ْو َك َوهل ِك ْن بَعُ َد‬
َّ ‫ت َعلَْي ِه ُم الش‬ ِ َ‫ضا قَ ِري با َّوس َفرا ق‬
ً َ ًْ ً ‫لَ ْو َكا َن َعَر‬
‫استَطَ ْعنَا َْلََر ْجنَا َم َع ُك ْۚم يُ ْهلِ ُك ْو َن اَنْ ُف َس ُه ْۚم َو ٰه‬
‫اّللُ يَ ْعلَ ُم اِ ََّّنُْم لَ هك ِذبُ ْو َن‬ ِ
ْ ‫ِِب هّٰلل لَ ِو‬

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka.
mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup
tentulah Kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri
mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka
benarbenar orang-orang yang berdusta.”

Dari penjelasan yang diuraikan secara rinci di atas dapat disimpulkan


bahwa makna al-Iqtishad adalah melakukan sesuatu atau mengatur
sesuatu sesuai dengan ketentuan, adil, dan seimbang. Penggunaan kata
Iqtishad juga mengandung arti berkegiatan lurus, mencari keuntungan
tanpa menindas orang (golongan) lain, mengutamakan keadilan dan
keseimbangan dalam masyarakat yang tingkat ekonominya berbeda-beda.
Iqtishad tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam dan secara konsep maupun
prakteknya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan sumber nilai
Islam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Iqtishad melihat persoalan pemenuhan kebutuhan manusia tidak


hanya berkaitan dengan faktor produksi, konsumsi, dan distribusi, berupa
pengelolaan sumber daya yang ada untuk kepentingan bernilai materi.
Akan tetapi, lebih dari itu, Iqtishad melihat persoalan tersebut sangat
terkait dengan persoalan moral, ketidakadilan, dan ketauhidan. Sehingga
dalam kajiannya, Iqtishad menempatkan individu (manusia) sebagai objek
kajian, tidak hanya dengan memposisikannya sebagai mahluk sosial, tetapi
juga sekaligus sebagai mahluk yang mempunyai potensi religius. Oleh
sebab itu, Iqtishad menggunakan filosofi nilai-nilai Islam sebagai dasar
pijakannya.

Makna Iqtishad yang menjadikan keadilan dan sikap pertengahan


sebagai ruhnya inilah yang diimplementasikan secara nyata dalam
kehidupan masyarakat Islam di sepanjang sejarahnya, semenjak zaman
Rasulullah SAW, kemudian diteruskan oleh para Khulafa Rasyidin dan
masa-masa setelahnya. Sejarah menjadi bukti, Iqtishad yang menjadi sistem
negara telah menjadikan Pemerintahan Islam tangguh dan mampu
mencapai kejayaannya selama berabad-abad. Jika pun setelah masa
jayanya, pemerintahan Islam mengalami keterpurukan, maka hal itu lebih
disebabkan oleh faktor politik, bukan karena faktor kelemahan konsep
iqtishad.

Anda mungkin juga menyukai