Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PPOK

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS

DISUSUN OLEH

NAMA:JELITA PERONIKA SIMANULLANG


NIM:21.028
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernapasan
yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis. Masalah utama yang
menyebabkan terhambatnya arus udara tersebut bisa terletak pada saluran
pernapasan (Bronkitis kronik) maupun pada parenkim paru (Emfisema). Kedua
penyakit dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan penyakitnya
telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif (Darmanto, 2009). Menurut
WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus
– menerus yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
kronis pada saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun.
World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang menderita
PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat.
Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima didunia dan
diperkirakan menjadi penyebab utama 2 ketiga kematian di seluruh dunia tahun
2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005, yang
setara dengan 5% dari semua kematian secara global (WHO,2015). Menurut Riset
Kesehatan Dasar prevalensi terjadinya PPOK di Indonesia pada tahun 2013
sebanyak 3,7% dan prevalensi di Jawa Tengah sebesar 3,4%. Dilihat dari jenis
kelamin, penderita PPOK berjenis kelamin laki-laki di Indonesia sebanyak 4,2%,
sedangkan penderita berjenis kelamin perempuan sebanyak 3,3%. Adapun faktor
yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut yaitu kebiasaan merokok
yang masih tinggi baik perokok aktif, pasif maupun bekas perokok, polusi udara
terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan. Terjadi pada
lansia, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (seperti bronkitis, TB).
Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada pasien PPOK berupa sesak nafas, batuk
disertai dengan sputum, aktifitas yang terbatas, penurunan berat badan.
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak
dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (physics,
electroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi dan komunikasi (SK Menkes. No.
80 tahun 2013). Pada kasus Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ini peranan
fisioterapi yaitu mengurangi bahkan mengatasi gangguan terutama yang 3
berhubungan dengan gerak dan fungsi diantaranya mengurangi sesak nafas,
membantu pengeluarkan sputum, meningkatkan ekspansi thorak dan
meningkatkan kualitas hidup. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, fisioterapi
menggunakan modalitas Chest Physiotherapy meliputi nebulizer, kombinasi
diafragma breathing exercise dan pursed lip breathing untuk mengurangi sesak
nafas, coughing exercise untuk membantu pengeluarkan sputum, dan mobilisasi
sangkar thorak untuk meningkatkan ekspansi thorak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang muncul pada kasus PPOK maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh Nebulizer, dan Chest Physiotherapy terhadap penurunan


derajat sesak napas pada kondisi PPOK ?

2. Apakah ada pengaruh Nebulizer, dan Chest Physiotherapy terhadap


pengeluaran sputum pada kondisi PPOK ?
3. Apakah ada pengrauh Nebulizer, dan Chest Physiotherapy terhadap
peningkatan ekspansi sangkar thorak pada kondisi PPOK ?

4. Apakah ada pengaruh Nebulizer, dan Chest Physiotherapy terhadap


peningkatan aktifitas fungsional ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis sebagai berikut :

1. Tujuan Umum

Untuk meningkatkan pengetahuan dalam mempelajari, mengidentifikasi


dan mengetahui manfaat fisioterapi dalam mengatasi permasalahan PPOK.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh pemberian nebulizer, dan chest physiotherapy


terhadap derajat sesak napas pada kondisi PPOK.

b. Mengetahui pengaruh pemberian nebulizer, dan chest physiotherapy


terhadap pengeluarkan sputum pada kondisi PPOK.

c. Mengetahui pegaruh pemberian nebulizer, dan chest physiotherapy


terhadap peningkatan ekspansi sangkar thorak pada kondisi PPOK

d. Mengetahui pengaruh pemberian nebulizer, dan chest physiotherapy


terhadap peningkatan aktifitas dan kemampuan fungsional
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut


sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan
atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi
terhadap tingkat keparahan pasien.

PPOK biasanya berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru


terhadap partikel berbahaya dalam udara. PPOK merupakan suatu penyakit
multikomponen yang dicirikan oleh terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan
jalan napas, dan kerusakan alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan
kondisi terkait bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.

Pada PPOK seringkali ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama,


meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI
2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang
ditandai oleh batuk kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak
disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal, disertai
dengan kerusakan dinding alveolus. Tidak jarang penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK

.2.2 Faktor Risiko

PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase


eksaserbasi akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi
perburukan yang mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh
suatu faktor pencetus dan ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang
memberat. Secara umum resiko 4 terjadinya PPOK terkait dengan jumlah partikel
gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya serta berbagai faktor
dalam individu itu sendiri. Asap Rokok Dari berbagai partikel gas yang noxius atau
berbahaya, asap rokok merupakan salah satu penyebab utama, kebiasaan
merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok yang
dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada kejadian PPOK
karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama
telah disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis
kronis dan emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya
percepatan penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama
dari manuver ekspirasi paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan dosis terhadap
intensitas merokok, yang ditunjukkan secara spesifik dalam bungkus-tahun (rata-
rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan jumlah total
tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara merokok dan
perkembangan PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini
masih sangat bervariasi.

Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada FEV1,


hanya 15% dari variasi FEV1 yang dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-
tahun. Temuan ini mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor
genetik sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan
obstruksi jalan nafas. Paparan Pekerjaan Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan
obstruksi aliran udara dapat diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja.
Beberapa paparan pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara,
panambangan emas, dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko
obstruksi aliran udara kroni. Polusi Udara Beberapa peneliti melaporkan
meningkatnya gejala respirasi pada orang-orang yang tinggal di daerah padat
perkotaan dibandingkan dengan mereka yang 5 tinggal di daerah pedesaan, yang
berhubungan dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada
wanita bukan perokok di banyak negara berkembang, adanya polusi udara di
dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak, telah dikatakan
sebagai kontributor yang potensial.
Infeksi Berulang Saluran Respirasi Infeksi saluran respirasi telah diteliti
sebagai faktor risiko potensial dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada
orang dewasa, terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran
respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor predisposisi
potensial pada perkembangan akhir PPOK.

Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK Kecenderungan meningkatnya


bronkontriksi sebagai reaksi terhadap berbagai stimulus eksogen, termasuk
methakolin dan histamin, adalah salah satu ciriciri dari asma. Bagaimanapun juga,
banyak pasien PPOK juga memiliki ciriciri jalan nafas yang hiperesponsif.
Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan PPOK dalam
kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara, dan gejala pulmonal mengarahkan
kepada perumusan hipotesis Dutch yang menegaskan bahwa asma, bronkitis
kronis, dan emfisema merupakan variasi dari dasar penyakit yang sama, yang
dimodulasi oleh faktor lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran
patologis yang nyata.

Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT) Defisiensi α1AT yang berat merupakan


faktor risiko genetik terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien
PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan bahwa faktor
genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan untuk berkembangnya PPOK.
α1AT adalah suatu anti-protease yang diperkirakan sangat penting untuk
perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami oleh bakteri,
leukosit PMN, dan monosit.

2.3 Patofisiologi

Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan


fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila
terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan
terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama
dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi
mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan
cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa
sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi
hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang
berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan,
keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi
mukus.

Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif. Dampak
lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding alveolus.
Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan
bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal largeairspace.
Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan yang
berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran
pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.
Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang
menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas.

Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi
hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan
sirkulasi udara.6 7 Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara
distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan
berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan
terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis
pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses
penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus.
III. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan penelitian dapat
disimpulkan bahwa pengaruh breathing retraining pada pasien PPOK di ruang
Rajawali 6B Instalasi Rajawali RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukkan:

1. Karakteristik responden pada distribusi usia menunjukkan bahwa rata-rata usia


responden adalah 42,9 tahun untuk kelompok perlakuan dan 48,7 tahun untuk
kontrol. Sebagian besar responden memiliki riwayat merokok. Jenis kelamin pada
sebagian besar responden perlakuan dan kontrol adalah laki-laki sebanyak 32
orang. Riwayat pendidikan responden pada kelompok perlakuan sebagian besar
adalah SMP, sedangkan pada kelompok control sebagian besar memiliki riwayat
pendidikan SMP. Jenis pekerjaan responden perlakuan sebagian besar adalah
petani sedangkan untuk kelompok kontrol sebagian besar adalah pedagang.
Berdasarkan distribusi riwayat merokok, semua responden laki-laki pada kedua
kelompok mempunyai riiwayat merokok. Sebagian besar responden perlakuan
menderita penyakit PPOK lebih dari 3 tahun sebanyak 13 orang sedangkan yang
kurang dari 3 tahun yaitu 3 orang, untuk kelompok kontrol sebanyak 14 orang
menderita PPOK lebih dari 3 tahun dan yang kurang dari 3 tahun sebanyak 2
orang.

2. Kualitas tidur pasien PPOK sebelum dilakukan breathing retraining pada


kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mayoritas responden dalam kategori
kualitas tidur buruk. http://repository.unimus.ac.id 71

3. Setelah dilakukan breathing retraining pada kelompo kresponden perlakuan


terdapat 3 orang yang termasuk dalam kategori kualitas tidur buruk dan 13 orang
termasuk dalam kategori baik. Sedangkan kualitas tidur pasien PPOK saat
observasi awal dan observasi akhir pada kelompok kontrol termasuk dalam
kategori buruk.

4. Terdapat pengaruh breathing retraining pada kualitas tidur pasien penyakit


paru obstruktif kronik sebelum dan sesudah dilakukan breathing retraining
dikelompok perlakuan dengan hasil nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000 < 0,005.
Maka dapat di ambil kesimpulan bahwa pengaruh breathing retraining dapat
meningkatkan kualitas tidur pada pasien PPOK.

B. Saran
Saran peneliti yang dapat diberikan terkait hasil penelitian ini pada
berbagai pihak untuk dapat membantu meningkatkan kualitas tidur pada pasien
PPOK antara lain sebagai berikut:

1. Bagi Responden dan Masyarakat Masyarakat terutama responden penelitian


diharapkan dapat menerapkan latihan beathing retraining secara teratur untuk
meningkatkan kualitas tidur, mengurangi cemas, mengurangi gejala sesak, dan
dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat khususnya klien PPOK.

2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan Program terapi nonfarmakologi seperti


pemberian pendidikan dan keterampilan terkait latihan breathing retraining pada
pasien PPOK dapat diberikan sebagai bentuk pelayanan kesehatan untuk
mengurangi atau mengatasi gangguan tidur yang diakibatkan oleh sesak nafas,
sehingga pasien yang mengalami sesak nafas ataupun gangguan pernafasan dapat
menggunakan latihan breathing retaraining.

http://repository.unimus.ac.id 72 3. Bagi Penelitian Hasil penelitian ini


diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai aplikasi
breathing retraining pada pasien dengan PPOK. Penelitian selanjutnya diharapkan
dapat menyempurnakan pembahasan dan aplikasi breathing retraining terhadap
kualitas tidur pada pasien PPOK, serta penggunaan lembar observasi untuk
memantau kualitas tidur pasien PPOK.

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai